Anda di halaman 1dari 23

TinjauanKepustakaan

PENATALAKSANAAN PADA CENTRAL


RETINAL ARTERY OCCLUSION

YOGI PRATAMA
WENI HELVINDA
KHALILUL RAHMAN

TAHAP III
SUBBAGIAN VITREORETINA
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS
PROGRAM STUDI OPHTHALMOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2021

1
BAB I
PENDAHULUAN

Central Retina Artery Occlusion (CRAO) merupakan suatu keadaan dengan


penurunan aliran darah secara tiba-tiba pada arteri retina sentral sehingga
menyebabkan iskemia pada bagian dalam retina. Keadaan ini merupakan salah satu
kedaruratan mata (true ocular emergencies) yang membutuhkan penanganan dengan
segera, karena iskemia yang lama akan menyebabkan kerusakan retina yang
irreversible.1,2
Data dari Wills Eye Hospital Amerika Serikat menyebutkan bahwa CRAO
terdapat pada 1 dari 10.000 pasien rawat jalan. Kelainan ini umumnya terdapat pada
penderita dengan usia rata- rata 60 tahun, meskipun dapat juga ditemukan pada anak-
anak. Insiden CRAO pada penderita yang berumur dibawah 30 tahun adalah 1 dari
50.000 pasien rawat jalan. Angka ini jauh lebih kecil pada penderita yang berumur
dibawah 10 tahun. Penderita laki- laki lebih banyak dari pada wanita, dengan
perbandingan 2:1. Hampir semua kasus CRAO adalah unilateral dan hanya 1%-2%
kasus bilateral.(dikutip kepustakaan 3)
CRAO mempunyai hubungan yang erat dengan berbagai macam penyakit
sistemik, antara lain hipertensi, penyakit jantung, penyakit pada pembuluh darah,
diabetes mellitus, sickle cell disease, dan giant cell arteritis. Beberapa keadaan yang
dapat menyebabkan CRAO adalah emboli, trombus intralumen, perdarahan di bawah
plak aterosklerotik, nekrosis arterial hipertensif, spasme, dan proses inflamasi. Semua
hal diatas menyebabkan sumbatan pada arteri, terutama pada lamina kribrosa
sehingga fungsi nutrisional dan input oksigen ke jaringan menjadi terganggu.
Gambaran klinis khas CRAO adalah Riwayat penurunan tajam penglihatan dengan
tiba-tiba, retina bagian posterior tampak lebih putih, dan ditemukan adanya cherry
red spot pada fovea central.1,3
Sekalipun dengan penatalaksanaan yang cepat dikatakan bahwa prognosis
CRAO tetap buruk. Hanya 21%-35% mata dapat bertahan dengan tajam penglihatan
yang masih baik. CRAO juga merupakan indikasi adanya penyakit sistemik yang

2
perlu segera dievaluasi sehingga memerlukan konsultasi segera dengan internist atau
kardiolog. Manajemen CRAO terdiri atas manajemen akut dan pencegahan sekunder
untuk mencegah kejadian iskemik. Kurang dari 10% pasien yang mengalami
perbaikan visus yang berarti, dan jarang pasien memiliki perbaikan spontan yang
komplit. Terapi konvensional dapat berupa pijat mata, mengurangi tekanan
intraokuler, meningkatkan aliran darah retina, vasodilatasi suplai darah retina,
menurunkan edema retina, menjaga oksigenasi sampai reperfusi spontan, dan
mengatasi trombus dengan trombolitik. Sampai saat ini, belum ada pengobatan yang
terbuki efektif untuk memperbaiki tajam penglihatan yang signifikan pada kasus
CRAO. Diagnosis yang tepat, cepat dan akurat, serta penanganan segera sangat
dianjurkan karena CRAO bukan hanya mengancam penglihatan tetapi penyakit
sistemik penyertanya juga mengancam jiwa pasien bila tidak dilakukan upaya
pencegahan. 1,2,4,7
Pada makalah ini akan dibahas mengenai anatomi retina, patofisiologi dan
penatalaksanaan CRAO.

3
BAB II

ANATOMI RETINA DAN PATOFISIOLOGI CRAO

Retina merupakan lapisan sel yang menyelubungi bagian dalam bola mata.
Retina melapisi sekitar 72% permukaan dalam bola mata dengan diameter 22 mm,
membentang dari saraf optik sampai ke ora serata. Retina merupakan bagian yang
berfungsi menerima rangsangan cahaya dan merubahnya menjadi impuls saraf yang
diteruskan ke kortek cerebri. 1,2,4

Gambar 1. Penampang bola mata dan retina.4

Retina berkembang dari invaginasi vesikel optik yang membentuk lapisan luar,
berupa epitel pigmen retina dan lapisan dalam yaitu neurosensori retina. Lapisan
terluar berbatasan dengan koroid, dan lapisan paling dalam berhubungan dengan
vitreous. Lapisan retina dari luar ke dalam adalah epitel pigmen retina beserta lamina
basal, sel kerucut dan batang, membran limitans eksterna, lapisan inti luar, lapisan

4
pleksiform luar, lapisan inti dalam, lapisan pleksiform dalam, lapisan sel ganglion,
lapisan serabut saraf dan membran limitans interna.2,3,4

Gambar 2. Lapisan retina.2

Retina mendapat suplai darah dari dua sumber, suplai pertama dari cabang arteri
retina sentral, yang mengalirkan darah ke bagian dalam retina, dan suplai ke dua dari
koriokapilaris koroid, yang memperdarahi bagian luar retina. Oklusi pada arteri retina
sentral hanya berpengaruh terhadap bagian dalam retina yang diperdarahinya, yaitu
membran limitans interna, lapisan serabut saraf, lapisan sel ganglion, lapisan
pleksiform dalam dan lapisan inti dalam.2,4,5

5
Gambar 3. Vaskularisasi Retina
A= Arachnoid, C = koroid, CRA = arteri retina sentralis, Col. Br. = cabang kolateral, CRV = vena
retina sentralis, D = duramater, LC = lamina kribrosa, ON = nervus optikus, PCA = arteri siliaris
posterior, PR = daerah prelaminar, R = retina,
S = sklera; SAS = ruang subarachnoid.2

Arteri retina sentral merupakan cabang pertama dan salah satu cabang terkecil
dari arteri oftalmikus. Arteri oftalmikus adalah pembuluh darah mayor yang
memperdarahi orbita yang merupakan cabang pertama dari arteri karotis interna.
Arteri retina sentral menembus bagian medial inferior selubung saraf optikus, kira-
kira 12 mm posterior bola mata. Kemudian berlanjut ke diskus optikus dan bercabang
dua menjadi cabang papiler superior dan inferior. Pada tempat arteri ini melewati
lamina kribrosa, dinding pembuluh darah menjadi lebih tipis karena lamella elastis
interna menghilang dan lapisan pembungkus otot medial menjadi berkurang. Cabang
papiler superior dan inferior dari arteri retina sentral kemudian masing-masing
bercabang lagi membentuk cabang nasal dan temporal. Cabang nasal berjalan
langsung ke perifer dan cabang temporal mengitari fovea sentral sebelum menuju ke
perifer.5,6,7
Pembuluh darah kapiler retina membentuk jaringan kapiler superfisial pada
lapisan serabut saraf dan jaringan kapiler intraretina pada lapisan nukleus dalam.
Jaringan kapiler intraretina memperoleh suplai darah dari arteriol yang terdapat pada

6
lapisan serabut saraf. Pembuluh darah retina merupakan end vessels yang secara
normal tidak beranastomosis.4,6,7
Arteri silioretina terdapat pada kira-kira 14% populasi dan sebanyak 25%
penderita oklusi arteri retina sentral memiliki arteri silioretina. Cabang-cabang arteri
silioretina yang berasal dari arteri siliaris posterior pendek ikut memperdarahi makula
melalui peredaran darah koroid. Arteri siliaris posterior yang memperdarahi koroid
ini berasal dari bagian distal arteri oftalmikus.5,6,8
Distribusi vena-vena pada retina mengikuti distribusi dari arteri. Pembuluh vena
mempunyai lapisan endotel yang mengandung sedikit jaringan ikat. Vena retina
sentral keluar dari selubung saraf optik pada tempat masuknya arteri retina sentral.5,6

Gambar 4. Suplai Darah Lapisan Retina.6

Pada CRAO, oklusi disebabkan oleh emboli yang berasal dari arteri carotis,
emboli trombosit-fibrin dihubungkan dengan aterosklerosis pada pembuluh darah
besar dan emboli calcific berasal dari penyakit katup jantung. Disamping itu CRAO
juga dihubungkan dengan trauma, kelainan koagulasi, dan pemakaian kontrasepsi
oral.7,8,9
CRAO disebabkan oleh atherosclerosis-related thrombosis, tetapi pada
beberapa kasus merupakan akibat embolisasi. Fenomena emboli dalam area distribusi

7
carotis bisa meliputi transient ischemic attack pada sirkulasi retina, merupakan
penyebab amaurosis fugax yang paling sering.9,10

CRAO dapat diklasifikasikan ke dalam 4 kategori dimana klasifikasi ini


penting untuk menilai dan membedakan fungsi visual dari keempat tipe CRAO,
diantaranya : 6, 7, 10, 11, 14
1. Non arteritic CRAO
Non arteritic CRAO merupakan 2/3 dari seluruh kasus CRAO, disebabkan
oleh platelet fibrin trombus dan emboli. Tipe ini menunjukkan gambaran klasik
CRAO berupa retinal whitening/opacification, cherry red spot dan perubahan
arteri retina, hilang atau jeleknya sisa sirkulasi retina pada gambaran fluorescein
fundus angiography (FFA), dan tidak adanya bukti giant cell arteritis.1,6

Gambar 3. Funduskopi Non arteritic CRAO 1

2. Non arteritic CRAO dengan cilioretinal artery sparing


Tipe ini memiliki gambaran klinis klasik non arteritic CRAO permanen dan
adanya arteri cilioretinal yang paten.

8
Gambar 6. Funduskopi mata kiri dengan non arteritic CRAO dengan paten arteri cilioretinal 6

3. Transient non arteritic CRAO


Menyebabkan kebutaan monokuler sementara, terjadi sekitar 15-17% dari
kasus CRAO. Transient non arteritic CRAO analog dengan transient ischemic
attact (TIA), dengan prognosis visus paling bagus. Tajam penglihatan bisa sangat
berbeda dari tipe yang lain, tergantung pada durasi transient CRAO. Pada tipe ini
terjadi oklusi arteri retina sentralis bisa bervariasi dari beberapa menit hingga
beberapa jam. Studi yang dilakukan pada hewan, penyebab emboli biasanya
berasal dari robeknya plak aterosklerosis atau vasospasme akibat pelepasan
serotonin dari platelet plak aterosklerosis. Pada fundus fotografi menunjukkan
adanya sejumlah besar cotton wool spots yang banyak pada daerah makula.6,11,12

Gambar 7. Funduskopi transient non arteritic CRAO 6

9
4. Arteritic CRAO
Arteritic CRAO hanya terdapat pada 5% kasus CRAO. Giant cell arteritis
(GCA) merupakan penyebab utama arteritic CRAO. GCA juga dihubungkan
dengan terjadinya anterior arteritic iskemic optic neuropathy (AAION).
Hilangnya penglihatan pada tipe ini terjadi akibat iskemia akut baik dari retina
maupun papil nervus optikus. Pada fundus fotografi ditemukan gambaran klasik
CRAO, dengan atau tanpa edem papil akibat AAION. Pada FFA ditemukan
CRAO dan oklusi arteri siliaris posterior.6,11,12

Gambar 8. Funduskopi arteritis CRAO dan AAION 6

Umumnya pasien datang dengan penurunan tajam penglihatan yang berat,


berkisar antara hitung jari hingga persepsi cahaya pada 90 % kasus. Penurunan
tajam penglihatan pada CRAO adalah akibat berkurangnya suplai darah pada
lapisan dalam retina akibat sumbatan arteri retina sentralis yang merupakan
cabang intra orbita pertama dari arteri oftalmika (cabang pertama arteri carotis
interna).12,13,15
Oklusi oleh karena emboli merupakan mekanisme yang paling sering terjadi
pada CRAO. Aterosklerosis sistem karotis merupakan sumber utama emboli
endogen retina dengan 80% dikaitkan dengan penyakit arteri karotis. Munculnya
plak ulseratif pada arteri karotis bahkan dengan stenosis minimal cenderung
menyebabkan emboli dibandingkan oklusi luas arteri karotis. Penyakit arteri

10
karotis dapat dievaluasi dengan ultrasonografi, arteriografi, dan CT angiografi.
5,10,11

Jantung dan pembuluh darah besar merupakan sumber penting lain emboli
yang harus dipertimbangkan ketika melakukan evaluasi pada pasien CRAO.
Penyakit katup jantung, myxoma, dan pembentukan trombus di atrium kiri
sekunder akibat atrial fibrilasi, dapat menyebabkan terbentuknya emboli dan
oklusi vaskular. Disamping itu, right to left shunt seperti patent foramen ovale,
dapat menyebabkan emboli dari penyakit trombosis vena bisa mencapai sirkulasi
arteri. Sumber emboli endogen lain yang pernah dilaporkan diantaranya emboli
lemak akibat patah tulang, dan emboli cairan amnion saat melahirkan. 5,10,11
Emboli eksogen juga dapat mencapai sirkulasi retina dan menyebabkan
oklusi, seperti emboli akibat pemberian obat intravena, emboli dari injeksi steroid
dari daerah nasal atau periorbita, atau emboli yang berkaitan dengan produk darah
seperti emboli platelet selama transfusi. 16,17
Emboli pada sirkulasi retina 20%-30% dapat dilihat dengan oflamoskop,
Umumnya emboli dapat disebabkan oleh kolesterol, fibrin pletelet, dan emboli
calcific. Emboli kolesterol disebut juga hollenhorst plaque, biasanya kecil,
berwarna kuning terang, dan sering pada bifucation. Paling sering timbul dari plak
aterosklerosis arteri karotis. Emboli pletelet fibrin tampak abu-abu putih, lebih
besar, dan panjang dibanding emboli kolesterol, serta tampak melewati pembuluh
darah retina. Emboli calsific berukuran lebih besar, berwarna abu-abu putih, dan
dikaitkan dengan obstruksi lokal yang lebih berat. Emboli calcific lebih
disebabkan oleh penyakit katup jantung.10,11,18
CRAO menyebabkan edema intraselular pada lapisan dalam retina dan
piknosis nuclei sel ganglion. Akibatnya timbul nekrosis, iskemik retina menjadi
pucat dan tampak berwarna putih kekuningan. Polus posterior terlihat paling
pucat sebagai akibat penebalan lapisan serabut saraf dan lapisan ganglion.
Foveola menunjukkan gambaran “cherry red spot” yang disebabkan adanya
lapisan epitel pigmen retina dan koroid yang utuh dibawahnya dan tetap adanya
suplai darah dari lapisan koriokapilaris. Gambaran cherry red spot dapat timbul

11
30 menit setelah serangan CRAO akut, tetapi pada beberapa kasus dilaporkan
timbul 12-36 jam setelah serangan akut. Pucat pada retina ditemukan setelah 15
menit hingga beberapa jam dan akan berangsur hilang setelah 4-6 minggu.
Kerusakan lapisan-lapisan dalam retina dapat berlanjut dengan menyempitnya
arteriol retina dan pucatnya saraf optik. Lapisan epitel pigmen umumnya tidak
mengalami gangguan. Gambaran ‘boxcar” atau “cattle trucking” dapat terlihat
pada arteri dan vena retina yang merupakan tanda obstruksi berat. 6,7,9

Gambar 9. Emboli kolesterol (a), Emboli platelet fibrin (b),


Emboli calcific (c) 5

Trombosis merupakan mekanisme lain yang dapat menyebabkan oklusi


arteri retina sentralis. Trias klasik Virchow’s mengenai patogenesis trombosis
diantaranya abnormalitas dinding pembuluh darah, stasis aliran darah, dan
perubahan komponen darah (hiperkoagulasi). Terjadinya salah satu trias ini
ataupun kombinasi dari ketiganya dapat menyebabkan trombosis dan secara

12
signifikan meningkatkan kemungkinan terjadinya penyakit pada trombosis arteri.
Abnormalitas struktur pembuluh darah seperti prepapillary arterial loop dapat
menyebabkan turbulensi dan statis aliran darah sehingga berkontribusi
menyebabkan trombosis dan mengakibatkan oklusi arteri. Trombofilia
merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kondisi yang secara
genetik meningkatkan kemungkinan terjadinya trombosis pembuluh darah.
Kondisi ini diperberat jika terjadi bersamaan dengan faktor resiko hiperkoagulasi
lain seperti trauma, malignansi, kehamilan, penggunaan alat kontrasepsi oral,
penyakit autoimun, dan merokok. Perubahan pada komponen darah seperti
defisiensi human antithrombin (AT), protein C dan protein S dapat menyebabkan
tendensi pembentukan trombus dan menyebabkan CRAO. 5,15
GCA merupakan salah satu penyebab CRAO melalui mekanisme
vaskulitis dan trombosis. Pasien CRAO yang terjadi pada usia lebih dari 50
tahun dengan gejala nyeri pada mata, sakit kepala, nyeri pada kulit kepala, jaw
claudication, malaise, anoreksia, demam, dan penurunan berat badan, harus
dicurigai untuk kemungkinan GCA. Vaskulitis sitemik lain yang berhubungan
dengan penyakit vaskular kolagen, dapat menyebabkan CRAO, seperti
vasculitis rheumatoid dan systemic lupus erythematosus (SLE). 5,15,18
Vasospasme merupakan salah satu penyebab CRAO yang jarang terjadi.
Gass melaporkan bahwa beberapa derajat refleks spasme bisa berperan sebagai
penyebab oklusi arteri retina yang bisa disebabkan oleh migrain, penyakit
kolagen vaskuler, dan sickle cell hemoglobinopathies.14,15
Kondisi lokal di mata yang dikaitkan dengan oklusi pembuluh darah retina
diantaranya kondisi anomali struktur peripapillary arterial loop, drusen pada
papil saraf optik dan benda asing intra okuler. Peningkatan tekanan intraokuler
sekunder akibat glaukoma sudut tertutup, kompresi arteri oftalmika atau arteri
retina sentralis yang disebabkan oleh selulitis orbita, abses orbita, trombosis
sinus kavernosus, dan neoplasma dapat mencetuskan terjadinya CRAO. 5,15,29

13
BAB III

PENATALAKSANAAN CRAO

Penanganan CRAO dapat dibagi ke dalam penanganan akut dan


pencegahan sekunder terhadap penyebab iskemiknya. Belum ada terapi yang
terbukti meningkatkan tajam penglihatan setelah mengalami non arteritic
CRAO. Bagaimanapun, beberapa intervensi telah dilakukan untuk memulihkan
perfusi pada mata. Secara teori, semakin cepat retina mengalami reperfusi
setelah kondisi akut CRAO semakin besar peluang untuk meningkatkan fungsi
visual pasien. Terapi yang ideal masih diperdebatkan, pengobatan akut harus
diberikan dalam waktu 3 jam setelah kehilangan penglihatan untuk mencegah
iskemia retina permanen. Meskipun demikian kemungkinan bahwa pengobatan
yang diberikan dalam 6-12 jam setelah kehilangan penglihatan dibuktikan
masih bermanfaat, sedangkan pengobatan yang diberikan setelah 12 jam
kehilangan penglihatan akan memberikan hasil lebih jelek untuk fungsi
penglihatannya. Penekanan yang lebih besar harus dipertimbangkan untuk
pencegahan sekunder secara sistemik yang menyebabkan iskemik (seperti infark
miokard dan infark serebri) setelah CRAO, melakukan evaluasi sistemik dan
melakukan regulasi terhadap segala resiko. 1,2,16,20

3.1 Pijat Mata


Pijat mata dilakukan dengan mengkompresi bola mata dengan tekanan
pada okuler baik digital, atau lensa kontak (Goldman), atau Honan balloon, di
atas kelopak mata tertutup selama 10-15 detik, diikuti pelepasan yang
mendadak. Tujuan pijat mata adalah untuk meningkatkan perfusi retina dan
berpotensi mengeluarkan atau emboli dengan menyebabkan dilatasi arteriol
retina dan menurunkan tekanan intraokuler. Namun, penggunaan pijat mata saja

14
atau kombinasi dengan obat untuk mengurangi tekanan intraokuler belum
menunjukkan secara signifikan memperbaiki CRAO. 2,6, 14, 17

3.2 Laser atau Tindakan Operasi Embolektomi


Emboli yang terlihat pada CRAO dapat dihilangkan dengan menggunakan
Nd: Yag laser atau operasi (vitrektomi dengan kanulasi). Tindakan ini pernah
dilaporkan pada beberapa kasus. Meskipun pada semua kasus, dilaporkan
terdapat peningkatan perfusi dan fungsi visual setelah dislodging emboli,
prosedur ini dipersulit dengan terjadinya perdarahan vitreus pada 50% pasien
dan pembentukan false aneurysm arteri retina sentralis pada 1 kasus.
Penggunaan Nd:Yag laser dan operasi pada terapi CRAO masih kontroversi dan
tidak dianggap standar pengobatan. 2

3.3 Meningkatkan Tekanan Perfusi Arteri Retina

Penggunaan obat untuk menurunkan tekanan intraokuler, baik obat ataupun


obat sistemik untuk pengobatan (asetazolamid oral atau intravena atau), dapat
digunakan untuk manajemen akut CRAO untuk meningkatkan tekanan perfusi
arteri retina. Belum ada data yang yang dapat membuktikan bahwa dengan
menggunakan obat penurun tekanan intraokuler dapat meningkatkan tajam
penglihatan yang signifikan setelah serangan akut CRAO. 1, 2, 8,10

3.4 Parasentesis Anterior Chamber

Parasentesis anterior chamber dilakukan dengan memasukkan jarum suntik


small gauge melalui limbus kornea ke dalam anterior chamber dan menarik
sejumlah kecil aqueous humor. Hal ini diharapkan dapat menurunkan tekanan
intraokuler dengan cepat, sehingga terjadi dilatasi arteri retina dan peningkatan
tekanan perfusi arteri retina. Parasentesis anterior chamber memiliki efek yang
mirip dengan oba-obat penurun tekanan intraokuler, tapi hasilnya belum

15
terbukti dapat meningkatkan tajam penglihatan signifikan pada pasien dengan
CRAO. 1, 2, 14

3.5 Hiperventilasi atau Inhalasi Carbogen

Inhalasi carbogen merupakan variasi kombinasi oksigen 95% dan


karbondioksida (CO2) 5%, atau hiperventilasi kedalam brown bag dapat
meningkatkan konsentrari CO2 darah dan menyebabkan asidosis respiratorik.
Meningkatnya konsentrasi CO2 akan mencegah vasokonstriksi yang diinduksi
oksigen pada pembuluh darah retina dan menyebabkan dilatasi arteriol retina,
sehingga meningkatkan perfusi retina dan meningkatkan tajam penglihatan
setelah CRAO. Namun, inhalasi carbogen atau penggunaan hiperventilasi tidak
menghasilkan peningkatan tajam penglihatan yang signifikan jika dibandingkan
dengan pasien yang tidak mendapatkan intervensi pada fase akut. 1, 2, 14

3.6 Obat-obatan yang Menginduksi Vasodilatasi atau Meningkatkan


Fleksibilitas Eritrosit

Obat sistemik seperti isosorbit dinitrate (ISDN) sublingual dan


pentoxifylline, juga dapat digunakan untuk pengobatan CRAO. ISDN dapat
menyebabkan dilatasi pembuluh darah retina dan sedikit dapat menurunkan
tekanan intraokuler, serta meningkatkan tekanan perfusi arteri retina. Mirip
dengan efek obat penurun tekanan intraokuler, carbogen, dan pijat mata,
penggunaan ISDN belum menunjukkan peningkatan tajam penglihatan pada
CRAO. Pentoxifylline merupakan obat oral yang telah menunjukkan
peningkatan fleksibilitas sel darah merah, mengurangi viskositas darah, dan
meningkatkan perfusi jaringan. Pada penelitan yang dilakukan oleh Incandela
dkk, pemberian pentoxifylline setelah CRAO menunjukkan peningkatan
signifikan aliran darah arteri retina sentralis. 2, 14

16
3.7 Hiperbarik Oksigen

Terapi hiperbarik dapat digunakan untuk mengatasi kondisi akut CRAO.


Terapi ini berfungsi untuk meningkatkan tekanan oksigen sehingga
menyebabkan peningkatan konsentrasi terlarut oksigen di dalam darah, dan
menyebabkan peningkatan sejumlah oksigen yang dibawa ke jaringan retina
yang mengalami iskemik. Terapi hiperbarik oksigen digunakan sebagai suportif
hingga terjadi reperfusi spontan retina atau sebagai modalitas terapi yang
digunakan untuk memulihkan perfusi retina. Meskipun pada beberapa kasus
menunjukkan peningkatan tajam penglihatan setelah terapi hiperbarik oksigen
pada CRAO, tetapi tidak terdapat peningkatan signifikan pasien yang tidak
mendapat terapi hiperbarik oksigen. 2, 18

3.8 Trombolitik

Trombolitik seperti urokinase, streptokinase, dan tissue plasminogen


activator (tPA) memiliki efikasi pada tatalaksana akut CRAO sebagaimana
efikasinya pada iskemik serebri akut. Obat ini dapat mengkonversi plasminogen
menjadi plasmin dan menyebabkan disolusi gumpalan fibrin, yang dianggap
sebagai penyebab utama bekuan pada CRAO. Karena belum ada standar
pengobatan yang pasti untuk penggunaan trombolitik pada CRAO, kebanyakan
klinisi menggunakannya berdasarkan stroke yang telah ditetapkan. Sayangnya,
pada beberapa uji klinis, penggunaan trombolitik belum terbukti meningkatkan
tajam penglihatan pada pasien CRAO. Kebanyakan studi memberikan
trombolitik 12 jam setelah hilangnya tajam penglihatan, sehingga hal ini dapat
menjelaskan mengapa rendahnya perbaikan tajam penglihatan pada pasien
CRAO. 16, 19, 20

3.9 Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid dilakukan pada kasus arteritic CRAO yang
dicurigai akibat GCA berdasarkan hasil pemeriksaan klinis dan didukung oleh

17
pemeriksaan laboratorium darah. Pemberian kortikosteroid dosis tinggi
diberikan sebagai terapi inisial. 5
CRAO dikaitkan dengan tingginya derajat morbiditas dan mortalitas karena
komplikasinya yaitu kehilangan penglihatan yang berat dan permanen, serta
resiko sistemik. Selain menyebabkan penurunan penglihatan yang berat, CRAO
juga dapat menyebabkan berkurangnya lapangan pandang sehingga dapat
menyebabkan turunnya kemandirian dan kualitas hidup. Pasien CRAO
memerlukan pengawasan oftalmologi yang ketat tentang perkembangan
neovaskularisasi segmen anterior akibat iskemik okuler kronis. Kondisi ini
dapat menyebabkan peningkatan tekanan intraokuler akibat neovaskuler, yang
memberikan gejala nyeri dan penurunan tajam penglihatan yang memburuk
dengan cepat. Neovaskularisasi di segmen posterior dapat menyebabkan
perdarahan vitreus dan ablasio retina. 2, 21

Disfungsi visual yang semakin buruk meningkatkan resiko jatuh dan patah
tulang, yang akhirnya semakin mengurangi kemandirian dan kualitas hidup.
CRAO juga dikaitkan dengan adanya kondisi iskemik sebelumnya seperti infark
miokard atau infark serebri, dan juga CRAO dapat meningkatkan insiden infark
miokard dan infark serebri berikutnya. Hal ini pernah dilaporkan pada EAGLE
trial, dari 77 pasien dengan CRAO, 15 pasien (19,5%) mengalami stroke atau
transient ischemic attact (TIA) dimana 5 pasien mengalami stroke dalam 1
bulan sejak terdiagnosis CRAO, 4 dari 5 pasien ditemukan stenosis arteri karotis
ipsilateral terhadap CRAO nya. Studi yang dilakukan di Taiwan melaporkan
bahwa tingkat stroke 2,7 kali lipat lebih tinggi dalam 3 tahun pertama pada
pasien CRAO dibandingkan dengan insiden stroke tertinggi terjadi dalam bulan
pertama setelah terdiagnosis CRAO. Peningkatan resiko stroke dapat bertahan
hingga 10 tahun setelah CRAO.2
Resiko kardiovaskular juga tinggi pada pasien CRAO. Beberapa penelitian
menunjukkan kejadian iskemik kardiovaskular terjadi lebih sering dan menjadi
penyebab lebih tingginya mortalitas pada pasien CRAO dibandingkan stroke.

18
Studi kohort yang dilakukan Hankey dkk melaporakan 98 pasien dengan
CRAO atau BRAO, 29 pasien meninggal selama follow up (4,2 tahun), dimana
1 orang meninggal karena iskemik serebral, dan lebih dari separuh kematian
(59%) disebabkan oleh penyakit. Resiko kematian dalam 5 tahun akibat
penyakit setelah CRAO adalah 24%, sedangkan akibat iskemik serebral sekitar
11,7%. 6
Dapat disimpulkan bahwa CRAO merupakan manifestasi awal dari
penyakit sistemik yang mendasarinya, sehingga menempatkan pasien menjadi
lebih beresiko untuk selanjutnya menderita kondisi iskemik seperti infark
miokard dan infark serebri, yang akhirnya dapat menurunkan kemandirian dan
kualitas hidup serta meningkatkan mortalitas pasien.2, 13

19
BAB IV

KESIMPULAN

1. CRAO merupakan salah satu emergensi okular yang merupakan efek


sekunder dari penyakit sistemik tertentu. Keluhan utama pada pasien
CRAO pada umumnya adalah penurunan tajam penglihatan secara drastis
pada satu mata dan tidak disertai dengan rasa nyeri.

2. CRAO berkaitan erat dengan penyakit sistemik seperti hipertensi,


aterosklerosis, diabetes melitus, penyakit katup jantung dan giant cell
arteritis.

3. Penyebab CRAO dalam patofisiologinya adalah terjadinya emboli,


trombosis, spasme pembuluh darah dan nekrosis arterial hipertensif yang
berhubungan dengan penyakit sistemik tersebut.

4. CRAO diklasifikasikan dalam 4 kategori yaitu non arteritic CRAO, non


arteritic CRAO dengan cilioretinal artery sparing, transient non arteritic
CRAO dan arteritic CRAO.

20
5. Penatalaksanaan CRAO bertujuan untuk memperbaiki perfusi arteri retina
sentralis, mengatasi oklusi emboli, menurunkan TIO dan vasodilatasi
arteriol retina.

DAFTAR PUSTAKA

1. Osborne NN, Casson JB. Retinal Ischemia Mechanisms of Damage and Potential
Therapeutic Stratgies. In Progress in Retinal and Eye Research. Elsevier.
Netherlands. 2018: 92-132
2. Skuta GL, Cantor BL, Weiss JS. Basic and Clinical Science Course. Fundamentals
and Principles of Ophthalmology. San Fransisco: American Academy of
Ophthalmology. Section 2: 2019-2020: 76-92
3. Choi JS, Kim AK. Inhibition of Cyclooxigenase-2 Expression by Zinc-Chelator In
Ischemia Retina. In Vision Research. Elsevier. Japan. 2016: 2723-2726
4. Ryan SJ. Functional Anatomy of the Mammalian Retina. In Retina Fourth Edition.
Elsevier Mosby. USA. 2016: 43-83
5. Eva PR, Mhauter JP. Anatomy & Embriology of the Eye. In Vaughan & Asbury’s
General Ophthalmology Seventeenth Edition. Lange Medical Books/Mc Graw-Hill.
New York. 2016: 50-61

21
6. Hayreh SS, Zimmerman MB. Central retinal artery occlusion : visual out come.
American journal of ophthalmology vol 14 No 3. Elsevier; 2005. p. 376e1-e18.
7. Salmon JF. Retinal vascular disease. In : Kanski’s clinical ophthalmology a systemic
approach Ed 9. Elsevier; 2020. p. 527-531.
8. Cantor L, Rapuano CJ, McCannel C. The eye. In : Fundamentals and Principles of
Ophthalmology. American Academy of Ophthalmology. San Francisco; 2019. p. 119-
140.
9. Chronopplous A, Schutz JS. Central retinal artery occlusion a new provisional
treatment approach. In: Survey of ophthalmology; 2019. P. 1-32.
10. Kumar A, Agarwal D, Balaji A. Commentary a cluster of retinal artery occlusion
following cataract surgery. Indian journal ophthalmology; 2019. p. 635.
11. Russel JF, Scott NL, Haddock LJ et al. Central retinal artery occlusion on post
operative one day after vitreoretinal surgery. In : American journal of
apohthalmology case report. Elsevier; 2018.p. 93-96.
12. Lavin P, Patrylo M, Hollar M, et al. Stroke and risk factor with central retinal artery
occlusion. In : American journal of apohthalmology. Elsevier; 2018. p. 1-9.
13. Limaye K, Wall M, Uwaydat S, et al. Is management of central retinal artery
occlusion the next frontier in cerebral disease?. In : journal of stroke and
cerebrovascular disease; 2018. p. 1-11.
14. Lu N, Wang NL, Wang Gl, et al. Vitreous surgery with direct central retinal artery
massage for central retinal artery occlusion. In : Eye Journal; 2009. p. 867-872.
15. Tang P, Engel K, Parke DW. Early onset of ocular neovascularization after
hyperbaric oxygen therapy in a patient with central retinal artery occlusion. In :
Ophthalmol Ther .Springerlink; 2016. p. 1-7.
16. Hakim N, Hakim J. Intra arterial thrombolysis for central retinal artery occlusion. In :
Clinical ophthalmology. 2019. p. 2489-2509.
17. Fouda AY, Eidahshan CRAO, Narayanan SP, et al. Arginase pathway in acute retina
and brain injury : therapeutic opportunities and unexplored avenues. In : Frontier in
pharmacology; 2020. p. 1-7.

22
18. Berman ER. Glia ( Muller Cells). In Biochemistry of the Eye. Plenum Press. New
York and London.2013:410-411
19. Miller RF. The Physiology and Morphology of the Vertebrate Retina. In Retina
Fourth Edition Ryan SJ. Elsevier Mosby. USA. 2017: 127-204
20. Brown CG. Arterial Occlusive Disease. In Vitreoretinal Desease the Essentials.
Thieme. New York. 2015: 97-114

23

Anda mungkin juga menyukai