Anda di halaman 1dari 14

PENDAHULUAN

Retinopati diabetika merupakan penyebab terbanyak kasus kebutaan pada


dewasa berusia 20-74 tahun. Selama dua dekade pertama, hampir seluruh pasien dengan
diabetes tipe 1 dan lebih dari 60 % pasien dengan diabetes tipe 2 mengalami retinopati.
Menurut The Wisconsin Epidemiologic Study of Diabetic Retinopathy
(WESDR), 3,6 % pasien usia muda dengan diabetes tipe 1 dan 1,6 % pasien berusia
lanjut dengan diabetes tipe 2 mengalami kebutaan. Pada kelompok pasien usia muda,
86% kebutaan diakibatkan oleh retinopati diabetika. Sedangkan pada kelompok usia
lanjut, sepertiga kasus-kasus kebutaan ditemukan retinopati diabetika.8
Retinopati diabetika dan edema makula diabetika merupakan komplikasi
mikrovaskuler pada pasien-pasien dengan diabetes dan dapat menurunkan tajam
penglihatan yang berakhir dengan kebutaan. Stadium lanjut dari retinopati diabetika
ditandai dengan pertumbuhan abnormal pembuluh darah akibat iskemik. Seiring dengan
progresifitas penyakit, retinopati diabetika dapat berlanjut menjadi edema makula
diabetika. Edema makula diabetika timbul setelah rusaknya pertahanan pembuluh darah
retina akibat kebocoran dari dilatasi hiperpermeabilitas kapiler dan mikroaneurisma.
Floresensi angiografi secara umum digunakan sebagai perencanaan pengobatan
retinopati diabetika. Teknik ini menggunakan sodium floresensi secara intravena, diikuti
dengan fotografi retina secara cepat untuk mengevaluasi sirkulasi pembuluh darah retina.
Secara normal, floresensi tidak dapat melewati tight junction dari kapiler-kepiler retina,
tetapi pada retinopati diabetika dan edema makula retina, timbul kebocoran. Teknik ini
digunakan untuk mendeteksi secara dini perubahan pada pertahanan pembuluh darah
retina, penutupan kapiler dan mikroaneurisma.
Floresensi angiografi dapat mendeteksi tidak ada, ringan, atau sedang dari
retinopati diabetika. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Diabetes Control and
Complication Trial, floresensi angiografi dapat mendeteksi preretinopati pada 21 and
42% pasien dewasa dengan diabetes, yang tidak terdeteksi dengan fotografi atau
oftalmoskop.6
Pada kesempatan ini akan dibahas mengenai fundus floresensi angiografi pada
retinopati diabetika

1
Fundus Floresensi Angiografi

Floresensi angiografi merupakan suatu teknik diagnostik yang digunakan dalam


menginterpretasikan kelainan patologik mata. Teknik ini memberikan gambaran aliran
darah secara simultan melalui retina, khoroid dan jaringan-jaringan iris, dan membantu
memperjelas hal-hal yang berhubungan dengan perubahan dinamika cairan pada
penyakit-penyakit okuler.1,7
Teknik floresensi angiografi pertama kali diterangkan oleh Angus MacLean dan
A. Edward Maumenee. Kemudian Novotny and Alvis mengembangkan suatu sistem
fotografi untuk mendokumentasikan aliran floresensi melalui fundus okuli.
Saat ini, floresensi angiografi menjadi teknik yang dipakai secara luas untuk
mempelajari sirkulasi retina dan khoroid.

Bahan1,3,4,7,9,11,12,16,17,18
Sodium floresensi ( C 20H10Na2 ) adalah suatu bahan larut dalam air yang
merupakan molekul organik kompleks dengan berat molekul 376,27 daltons. Eksitasi
floresens muncul jika terpapar sinar biru dengan panjang gelombang antara 465 dan 490
nm, menghasilkan emisi sinar kuning-hijau dengan panjang gelombang 520-530 nm.
Dalam aliran darah floresens dieksitasi oleh cahaya dengan panjang gelombang 465nm,
dan dipancarkan pada panjang gelombang 525 nm.
Sodium floresensi merupakan kristal hidrokarbon berwarna orange-merah dan
dapat menyebar melalui aliran-aliran dalam tubuh dan melalui choriocapilaris, tetapi
tidak dapat menyebar melalui pembuluh darah endotel retina atau pigmen epithelium.
Sodium floresens dapat dikeluarkan melalui hepar dan ginjal dalam waktu 24 jam.
Larutan mengandung 500 mg floresensi tersedia dalam vial: 10 ml dalam 5%
floresensi atau 5 ml dalam 10 % floresensi, juga tersedia 3 ml dalam 25 % floresensi
(750 mg). Biasanya digunakan 5 ml dalam 10 % floresensi (500 mg floresensi). Larutan
floresensi disuntikkan melalui pembuluh darah vena antekubiti sebanyak 5-10 cc.
Kulit dan konjungtiva akan berwarna kekuningan 6 sampai 12 jam setelah
penyuntikan dan urine berwarna kuning-orange 24 sampai 36 jam setelah penyuntikan.
Efek samping lainnya dapat berupa:1

2
Mual, muntah atau reaksi vasovagal kira-kira 10 % kasus; reaksi
vasovagal berat meliputi bradikardi, hipotensi, shock dan sinkop jarang
ditemukan
Ekstravasasi dengan granuloma, toksik neuritis atau nekrosis jaringan
lokal ( jarang ditemukan)
Reaksi urtikaria kira-kira 1 % kasus
Reaksi anafilaktik ( 1 dalam 100.000 injeksi)

Teknik 3,7,9,16,17,18,19

Sebelum pemeriksaan dimulai, kepada penderita diterangkan tentang apa yang


akan dihadapinya. Pelebaran pupil yang maksimal akan mengurangi rasa sakit/silau
karena sinar lampu alat angiografi.
Cairan Sodium floresensi 10 % sebanyak 5 ml disuntikkan kedalam vena
antekubiti penderita dengan memakai wing needle. Penyuntikan dilakukan secara cepat,
diharapkan habis disuntikkan dalam waktu 2-3 detik. Untuk penghitungan waktu, saat
penyuntikan dilakukan, segera penunjuk waktu pada alat angiografi dijalankan. Lengan
penderita tetap dibiarkan dalam keadaan lurus, untuk mencegah gangguan aliran vena di
daerah axilla, sehingga waktu sirkulasi lengan ke retina dapat diukur secara tepat.
Dengan alat fundus kamera yang dapat mengambil foto seri selang beberapa
detik, foto fundus dibuat dengan memakai filter biru. Sebelum pelaksanaan pemeriksaan,
perlu dibuat 1 atau 2 buah foto tanpa filter dan dengan filter red free untuk
membandingkan dengan hasil foto floresensi. Juga dilakukan pengambilan foto fundus
pada mata yang lainnya untuk dibandingkan dengan mata yang satunya.
Pengambilan foto dilakukan sesudah 2-3 detik penyuntikkan. Cairan floresensi ini
biasanya muncul di retina dalam waktu 8-15 detik, dengan variasi antara 5-30 detik.
Waktu ini dikenal sebagai waktu sirkulasi lengan ke retina

3
Gambar 1. Injeksi flouresens melalui vena antecubiti dan alirannya. Dikutip dari
kepustakaan 11

Gambar 2.Prinsip fotografi dari Floresensi angiografi. Dikutip dari kepustakaan 11


Floresensi angiografi normal 1,3,4,7,9,11,12,16,17,18,19

4
Pada floresensi angiografi normal, floresens pertama kali terlihat pada khoroid
sekitar 10-12 detik setelah injeksi pada pasien muda, 12-15 detik pada pasien tua dan 8
detik pada pasien yang sangat muda. Biasanya khoroid akan mulai berfloresensi 1atau 2
detik sebelum pengisian awal arteri retina sentralis. Floresensi khoroid awal adalah pucat,
berbercak dan menyebar tidak sempurna pada fundus posterior. Hal ini diinterpretasikan
sebagai scatterted islands dari pengisian fluoresens yang terlambat. Fase awal ini
dikenal sebagai Choroidal flush.
Dalam 10 detik ( kira-kira 20-25 detik setelah injeksi ) angiogram menjadi sangat
terang selama 5 detik, karena floresensi khoroid. Floresensi khoroid tidak kelihatan pada
makula oleh karena terdapat pigmen epitel yang lebih gelap pada fovea. Makula terlihat
gelap pada angiogram.
Dalam 1 sampai 3 detik setelah floresensi khoroid atau sekitar 10-15 detik setelah
injeksi, arteri retina sentralis mulai berfloresensi. Setelah terjadi pengisian arteri retina
sentralis, fluorensensi mulai mengalir kedalam arteri retina, kemudian ke arteriol-arteriol
prekapiler, kapiler, venula postkapiler dan terakhir ke dalam vena retina.
Pada 5-10 detik berikutnya , floresensi dari dua lamina paralel sepanjang dinding
pembuluh darah vena retina akan mulai menebal. Apabila pengisian floresensi
meningkat dalam vena, lamina akan membesar dan menyatu, dan selanjutnya
menghasilkan floresensi komplit dari vena retina.
Lebih kurang 30 detik setelah penyuntikan, floresensi konsentrasi tinggi yang
pertama akan mulai mengosong dari sirkulasi khoroid dan retina. Fase resirkulasi akan
berlanjut.
Terakhir, 3-5 menit setelah penyuntikan, secara lambat akan terjadi pengosongan
vaskularisasi khoroid dan retina, dan pembuluh darah berwarna abu-abu. Pembuluh darah
akan mengalami pengosongan komplit selama 10 menit. Ekstravasasi floresensi akan
berdifusi melalui jaringan khoroid, membran Bruch dan sklera.

5
Gambar 3. Floresensi angiografi normal. A. Fase choroidal. B.Fase pengisian arteri. C.
Fase artei-vena. D. Permulaan fase pengisian vena. E. Fase akhir. Dikutip dari
kepustakaan 11
Floresensi angiografi abnormal 1,3,4,7,9,11,12,16,17,18,19

6
Gambaran floresensi ini dikatakan abnormal apabila terdapat peningkatan
(hiperfloresensi) atau penurunan (hipofloresensi) dibandingkan floresensi biasa yang
dianggap normal.
Hiperfloresensi adalah area terang abnormal pada angiogram. Ada 4 penyebab
hiperfloresensi abnormal yaitu: preinjection flourescence, transmitted
flourescence, abnormal vessel dan leakage.
Preinjection flourescence: hiperfloresensi yang dapat terlihat sebelum larutan
floresensi disuntikkan dan disebabkan oleh autofloresensi atau pseudofloresensi
Transmitted flourescence: muncul jika floresensi mengisi khoriokapilaris normal,
tetapi lebih terlihat jika terdapat penurunan pigmen epithelium atau kehilangan
pigmen epithelium retina.
Abnormal vessel: jika adanya kerusakan pada retina, disc dan pembuluh darah
khoroid akan terlihat pengisian floresensi
Leakage: hiperfloresens yang disebabkan leakage, terlihat pada fase akhir atau
ekstravaskuler.

Hipofloresensi adalah area gelap abnormal pada angiogram. Ada 2 penyebab


hipofloresensi yaitu blocked flourescence atau suatu vascular filling defect.
Blocked flourescence: merupakan penurunan atau tidak adanya floresensi normal
pada retina dan khoroid yang disebabkan oleh tahanan jaringan atau cairan di
anterior ke sirkulasi retina dan khoroid.
Vascular filling defect: timbul jika sirkulasi pada fundus tidak terisi secara
normal. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya suatu jaringan vaskuler atau
obstruksi komplit atau partial dari pembuluh darah.

Retinopati diabetika

7
Retinopati diabetika merupakan mikroangiopati yang mempengaruhi arteriol
prekapiler retina, kapiler dan vena-vena. Kerusakan disebabkan oleh kebocoran
mikrovaskuler dari pembuluh darah dan oklusi mikrovaskuler.13,20

Klasifikasi retinopati diabetika berdasarkan stadium atau perjalanan


penyakitnya adalah:2,10
1. Non Proliferative Diabetic Retinopathy (NPDR) atau Background Diabetic
Retinopathy (BDR) dengan tanda-tanda:
o Mikroaneurisma
o Perdarahan intraretina berupa dot dan blot
o Eksudat keras
NPDR dapat dibagi menjadi mild, moderate dan severe
2. Pre Proliferative Retinopathy ( Pre PDR )
Perubahan-perubahan pada retina menunjukkan awal dari iskemia yang
meramalkan resiko timbulnya Proliferative Diabetic Retinopathy ( PDR)
dengan tanda-tanda:
o Pelebaran vena retina, venous turtuosity-venous beading
o Intra Retinal Microvascular Abnormalities ( IRMA )
o Arteriolar abnormalities
o Nervefibre layer infarcts cotton wool spots
o Mikroaneurisma dan perdarahan retina berat
o Daerah-daerah nonperfusi
3. Proliferative Diabetic Retinopathy ( PDR )
Dengan tanda-tanda:
o Neovaskularisasi di papil n. opticus atau ditempat lain
Neovascularization on the disc ( NVD )
Neovascularization elsewhere ( NVE )

8
o Komplikasi lanjut: perdarahan vitreous, proliferasi fibrovascular diatas
retina, traksi pada neovaskularisasi, ablasio retina karena Traksion Retinal
Detachment ( TRD )
4 . Diabetic Maculopathy atau Diabetic macular edema dapat terjadi pada stadium
NPDR maupun PDR. Perubahan pada macula dapat berupa:
o Edema makula dengan penebalan retina
o Eksudat keras makula
o Edema macula cystoid

Gambaran Klinik 5,13,14,19,20


o Mikroaneurisma: berlokasi pada lapisan nuclear retina bagian dalam dan
merupakan deteksi awal dari retinopati diabetika. Mikroaneurisma
berbentuk dots bulat kecil, biasanya berlokasi di temporal dari macula.
Floresensi angiografi: gambaran dots hiperfloresensi dari cabang
pembuluh darah selama fase arteri dan mencapai puncak pada fase vena.
o Perdarahan intraretina: berasal dari ujung vena kapiler yang berlokasi
pada lapisan retina bagian tengah, dapat berbentuk dot-blot.
Floresensi angiografi: terlihat blok floresensi dan hipofloresensi akibat
optical barrier
o Eksudat Padat: berlokasi antara lapisan pleksiform dalam dan lapisan
nuclear dalam retina, berwarna kekuningan yang berbatas tegas, dan
biasanya terdapat pada pole posterior
Floresensi angiografi: gambaran hipofloresensi akibat kelemahan optical
barrier
o Edema retina: berlokasi antara lapisan fleksiform luar dan lapisan nuclear
dalam. Pada keadaan lanjut dapat mengenai lapisan fleksiform dalam dan
lapisan nerve fibre layer.
Floresensi angiografi: gambaran hiperfloresensi fuzzy. Terlihat lebih jelas
pada fase vena dan adanya ekstravasasi floresensi melalui kapiler retina
yang rusak.

9
o IRMA
Floresensi angiografi: gambaran hiperfloresensi dan kebocoran Floresensi
akibat dilatasi pembuluh darah
o Neovaskularisasi
Floresensi angiografi: gambaran hiperfloresensi hot spot

Meskipun pemeriksaan floresensi angiografi dapat mengetahui patofisiologi dari


15
sirkulasi retina dan khoroid, tapi penggunaannya masih terbatas.

Floresensi angiografi tidak dilakukan pada keadaan-keadaan:


1. Retinopati diabetika baru dikenal dengan edema makula yang ringan.
Neovaskularisasi dapat dideteksi dengan oftalmoskop tanpa perlu dilakukan
floresensi angiografi.
2. Untuk menenangkan hati pasien, dimana dengan pemeriksaan oftalmoskop
keadaan normal dan tidak ditemukan mikroaneurisma
3. Retinopati diabetika proliferatif dengan karakteristik resiko tinggi.
4. Retinopati diabetika proliferatif.
5. Pada pasien-pasien dengan kontra indikasi seperti alergi obat, kehamilan,
kerusakan ginjal dan pada pasien-pasien yang tidak dapat duduk dengan
pemeriksaan slit lamp.

Indikasi Floresensi angiografi pada Retinopati diabetika:


o sebagai petunjuk dalam pengobatan CSME ( Clinically Significant Macular
Edema )
o untuk mengevaluasi penyebab-penyebab menurunnya tajam penglihatan.
Angiografi dapat mengidentifikasi daerah kapiler non-perfusi pada makula atau
edema makula.

10
o Sebagai petunjuk dalam mengidentifikasi area-area neovaskularisasi atau
kebocoran kapiler
o untuk membedakan edema makula cystoid yang disebabkan afakia/pseudofakia
dengan edema makula cystoid diabetika.

11
KEPUSTAKAAN
1. American Academy of Ophthalmology. Retina and Vitreous. BCSC section
12. The Foundation of AAO. San Fransisco: 2001-2002; 15-18
2. American Academy of Ophthalmology. Retinal Vascular Disease. In: retina
and Vitreous. BCSC section 12. The foundation of AAO. San Fransisco: 2001-
2002; 91-99c
3. Anagnoste SR, Mandava N. Fundus Angiography In: Vitreoretinal Disease
The Essentials. Chapt 5, Regillo CD, Brown GC, Flynn HW (ED).Thieme
Medical Publishers Inc. New York: 1999; 51-58
4. Berkow JW, Orth DH, Kelley JS. Ophthalmology Monographs Fluorescein
angiography Technique and Interpretation. American Academy of
Ophthalmology. San Fransisco; 2001-2002; 1-27
5. Bresnick GH. Background Diabetic Retinopathy. basic principles and
interpretation. In: Retina, Ryan S (Ed). Chap 71. The CV Mosby
Company.St.Louis:1989;328-341
6. Ciulla TA, Amador AG, Zinman B. Diabetic Retinopathy and Diabetic
Macular Edema Pathophysiolgy, screening and novel therapies. Diabetes Care
26. 2003: 2653-2664
7. Federman JL, Maguire JI. Intravenous Fluorescein Angiography. In: Duanes
Clinical Ophthalmology. Vol 3, Chapt 4. Lippincottt William & Wilkins.
Philadelphia: 2001; 1-37
8. Fong DS et al. Retinopathy in Diabetes. Diabetes Care 27. 2004
9. Friberg TR. Examination of the Retina: Principle of Fluorescein Angiography.
In: Principles and Practise of Ophthalmology. Albert D, Jakobiec F (Ed). WB
Saunders Company. Philadelphia: 1994; 697- 707
10. Kadarisman RS, Elvioza, Azhar Z, Victor AA, Taim H. Fotokoagulasi laser
pada Retinopati diabetic. In understanding Ocular Diabetics, Kadarisman RS
9 (ED). Cooperation with Perdami Jaya. Jakarta: 1999; 41-42
11. Kanski JJ, Milewski SA, Damato BE. Fundus Angiography. In: Diseases of
Ocular Fundus. Elsevier Mosby. Philadelphia: 2005; 14-19

12
12. Kanski JJ. Acquired Macular Disorder. In: Clinical Ophthalmology A
Systemic Approach. Chap 10.Butterworth Heinemann: Oxford; 1999; 399
13. Kanski JJ. Retinal Vascular Disease. In: Clinical Ophthalmology A Systemic
Approach. Chap 12. Butterworth Heinemann: Oxford;1999:465-476
14. Kim JW, Everet. Diabetic Retinopathy. In: Vitreoretinal Disease The
Essentials. Chapt 5, Regillo CD, Brown GC, Flynn HW (ED).Thieme Medical
Publishers Inc. New York: 1999; 133-153
15. Kumar TV. Fundal Flourescein Angiography in Diabetic Retinopathy.In:
Understanding Ocular Diabetics, Kadarisman RS 9 (ED).Coorperation with
Perdami Jaya. Jakarta: 1999;73-74
16. Rahman K. Floresensi Angiografi Fundus Okuli ( Teknik dan Interpretasi ).
Dalam Kumpulan Makalah Retina
17. Richard G. Fluorescein Angiography Texbook and Atlas. Thieme Medical
Publisher. New York: 1990;1-23
18. Schatz H. Fluorescein Angiography: basic principles and interpretation. In:
Retina, Ryan S (Ed). Chap 57. The CV Mosby Company.St.Louis:1989; 3-46
19. Sowka J. Fluorescein Angiography. Diakses dari
www.nova.edu/~jsowka/course
20. Watkins PJ. Clinical Review ABC of Diabetes Retinopathy. BMJ. 2003

13
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

FUNDUS FLORESENSI ANGIOGRAFI

PADA RETINOPATI DIABETIKA

WENI HELVINDA

SUBBAGIAN RETINA

PPDS ILMU PENYAKIT MATA

FK UNAND/RS M.DJAMIL PADANG

2006

14

Anda mungkin juga menyukai