Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN MASALAH


HIDROSEFALUS PADA Tn. M.D DI RUANG HCU MEDIKAL
RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH

Oleh:

ROSMITA, S. Kep
NIM 2107901177

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


STIKes MUHAMMADIYAH LHOKSEUMAWE
2022

LAPORAN PENDAHULUAN
A. KONSEP DASAR TEORI HIDROSEFALUS
1. DEFINISI
Hidrosefalus adalah suatu keadaan yang mengakibatkan bertambahnya
cairan serepbrospinalis baik oleh produksi yang berlebihan maupun gangguan
absorpsi. Dengan atau pernah disertai tekanan intracranial yang meninggi
sehingga terjadi pelebaran ruangan ruangan tempat aliran cairan
serepbrospinalis ( Darto Suharso, 2009).
Hidrosefalus merupakan suatu gangguan pembentukan, aliran, maupun
penyerapan dari cairan serebrospinal sehingga terjadi kelebihan cairan
serebrospinal pada susunan saraf pusat, kondisi ini juga dapat diartikan
sebagai gangguan hidrodinamik cairan serebrospinal.
2. ETIOLOGI

Hidrosefalus terjadi bila terdapat penyumbatan aliran cairan serebro-


spinal (CSS) pada salah satu tempat antara tempat pembentukan CSS dalam
sistem ventrikel dan tempat absorbsi dalam ruang subarakhnoid. Akibat
penyumbatan, terjadi dilatasi ruangan CSS diatasnya (Allan H. Ropper, 2005).

Teoritis pembentukan CSS yang terlalu banyak dengan kecepatan


absorbsi yang abnormal akan menyebabkan terjadinya hidrosefalus, namun
dalam klinik sangat jarang terjadi.  Penyebab penyumbatan aliran CSS yang
sering terdapat pada bayi dan anak (Allan H. Ropper, 2005:360)

1. Kelainan bawaan (kongenital)


1) Stenosis akuaduktus sylvii
2) Spina bifida dan kranium bifida
3) Sindrom Dandy-Walker
4) Kista araknoid dan anomali pembuluh darah
2. Infeksi
Akibat infeksi dapat timbul perlekatan meningen. Secara patologis
terlihat penebalan jaringan piamater dan arakhnoid sekitar sisterna basalis
dan daerah lain. Penyebab lain infeksi adalah toxoplasmosis.
3. Neoplasma
Hidrosefalus oleh obstruksi mekanik yang dapat terjadi di setiap tempat
aliran CSS. Pada anak yang terbanyak menyebabkan penyumbatan
ventrikel IV atau akuaduktus Sylvii bagian terakhir biasanya suatu
glikoma yang berasal dari serebelum, penyumbatan bagian depan
ventrikel III disebabkan kraniofaringioma.
4. Perdarahah
Perdarahan sebelum dan sesudah lahir dalam otak, dapat menyebabkan
fibrosis leptomeningen terutama pada daerah basal otak, selain
penyumbatan yang terjadi akibat organisasi dari darah itu sendiri.
3. MANIFESTASI KLINIS
Tanda klinis hydrocephalus bervariasi dan tergantung pada banyak
faktor, termasuk usia munculnya, sifat lesi yang menyebabkan obstruksi, dan
lama serta kecepatan munculnya tekanan intrakranium.  Iritabilitas, lesu, nafsu
makan buruk, dan muntah adalah lazim pada bayi dan anak yang menderita
hidrosefalus.
Pada bayi, angka percepatan pembesaran kepala merupakan tanda
yang paling menonjol. Fontanela anterior terbuka lebar dan menonjol, dan
vena kulit kepala dilatasi. Dahi lebar dan mata dapat berdeviasi ke bawah
karena pergeseran pelebaran ceruk suprapineal pada tektum menimbulkan
tanda mata “sunset phenomenom” atau matahari terbenam.
Pada anak, sutura cranialis sebagian tertutup sehingga tanda
hidrosefalus menjadi lebih tidak kentara. Nyeri kepala merupakan gejala yang
menonjol. Perubahan secara bertahap dalam kepribadian dan kemunduran
dalam produktivitas akademik menunjukkan adanya bentuk hidrosefalus
progresif lambat. Perkusi tengkorak dapat menimbulkan tanda “cracked-pot
sign” atau tanda Macewen, yang menunjukkan adanya pelebaran sutura.

4. PATOFISIOLOGI
Pembentukan cairan serebrospinal terutama dibentuk di dalam sistem
ventrikel. Kebanyakan cairan tersebut dibentuk oleh pleksus koroidalis di
ventrikel lateral, yaitu kurang lebih sebanyak 80% dari total cairan
serebrospinalis. Kecepatan pembentukan cairan serebrospinalis lebih kurang
0,35- 0,40 ml/menit atau 500 ml/hari, kecepatan pembentukan cairan tersebut
sama pada orang dewasa maupun anak-anak. Dengan jalur aliran yang dimulai
dari ventrikel lateral menuju ke foramen monro kemudian ke ventrikel 3,
selanjutnya mengalir ke akuaduktus sylvii, lalu ke ventrikel 4 dan menuju ke
foramen luska dan magendi, hingga akhirnya ke ruang subarakhnoid dan
kanalis spinalis. Secara teoritis, terdapat tiga penyebab terjadinya
hidrosefalus, yaitu:
A. Produksi likuor yang berlebihan. Kondisi ini merupakan penyebab paling
jarang dari kasus hidrosefalus, hampir semua keadaan ini disebabkan oleh
adanya tumor pleksus koroid (papiloma atau karsinoma), namun ada pula
yang terjadi akibat dari hipervitaminosis vitamin A.
B. Gangguan aliran likuor yang merupakan awal kebanyakan kasus
hidrosefalus. Kondisi ini merupakan akibat dari obstruksi atau
tersumbatnya sirkulasi cairan serebrospinalis gayang dapat terjadi di
ventrikel maupun vili arakhnoid. Secara umum terdapat tiga penyebab
terjadinya keadaan patologis ini, yaitu: a. Malformasi yang menyebabkan
penyempitan saluran likuor, misalnya stenosis akuaduktus sylvii dan
malformasi Arnold Chiari. b. Lesi massa yang menyebabkan kompresi
intrnsik maupun ekstrinsik saluran likuor, misalnya tumor intraventrikel,
tumor para ventrikel, kista arakhnoid, dan hematom. c. Proses inflamasi
dan gangguan lainnya seperti mukopolisakaridosis, termasuk reaksi
ependimal, fibrosis leptomeningeal, dan obliterasi vili arakhnoid.
C. Gangguan penyerapan cairan serebrospinal
Suatu kondisi seperti sindrom vena cava dan trombosis sinus dapat
mempengaruhi penyerapan cairan serebrospinal. Kondisi jenis ini
termasuk hidrosefalus tekanan normal atau pseudotumor serebri.

Dari penjelasan di atas maka hidrosefalus dapat diklasifikasikan dalam


beberapa sebutan diagnosis. Hidrosefalus interna menunjukkan adanya
dilatasi ventrikel, sedangkan hidrosefalus eksterna menunjukkan adanya
pelebaran rongga subarakhnoid di atas permukaan korteks. Hidrosefalus
komunikans adalah keadaan di mana ada hubungan antara sistem ventrikel
dengan rongga subarakhnoid otak dan spinal, sedangkan hidrosefalus non-
komunikans yaitu suatu keadaan dimana terdapat blok dalam sistem ventrikel
atau salurannya ke rongga subarakhnoid. Hidrosefalus obstruktif adalah jenis
yang paling banyak ditemui dimana aliran likuor mengalami obstruksi.

Terdapat pula beberapa klasifikasi lain yang dilihat berdasarkan waktu


onsetnya, yaitu akut (beberapa hari), subakut (meninggi), dan kronis
(berbulan-bulan). Terdapat dua pembagian hidrosefalus berdasarkan gejalanya
yaitu hidrosefalus simtomatik dan hidrosefalus asimtomatik.

5. PENATALAKSANAAN MEDIS
A. Terapi sementara
Terapi konservatif medikamentosa berguna untuk mengurangi cairan dari
pleksus khoroid (asetazolamid 100 mg/kg BB/hari; furosemid 0,1 mg/kg
BB/hari) dan hanya bisa diberikan sementara saja atau tidak dalam jangka
waktu yang lama karena berisiko menyebabkan gangguan metabolik.
Terapi ini direkomendasikan bagi pasien hidrosefalus ringan bayi dan
anak dan tidak dianjurkan untuk dilatasi ventrikular posthemoragik pada
anak. Pada pasien yang berpotensi mengalami hidrosefalus transisi dapat
dilakukan pemasangan kateter ventrikular atau yang lebih dikenal dengan
drainase likuor eksternal. Namun operasi shunt yang dilakukan pasca
drainase ventrikel eksternal memiliki risiko tertinggi untuk terjadinya
infeksi. Cara lain yang mirip dengan metode ini adalah dengan pungsi
ventrikel yang dapat dilakukan berulang kali.
B. Operasi shunting
Sebagian besar pasien memerlukan tindakan ini untuk membuat saluran
baru antara aliran likuor (ventrikel atau lumbar) dengan kavitas drainase
(seperti peritoneum, atrium kanan, dan pleura). Komplikasi operasi ini
dibagi menjadi tiga yaitu infeksi, kegagalan mekanis, dan kegagalan
fungsional. Tindakan ini menyebabkan infeksi sebanyak >11% pada anak
setelahnya dalam waktu 24 bulan yang dapat merusak intelektual bahkan
menyebabkan kematian.
C. Endoscopic third ventriculostomy
Metode Endoscopic third ventriculostomy (ETV) semakin sering
digunakan di masa sekarang dan merupakan terapi pilihan bagi
hidrosefalus obstruktif serta diindikasikan untuk kasus seperti stenosis
akuaduktus, tumor ventrikel 3 posterior, infark serebral, malformasi
Dandy Walker, syringomyelia dengan atau tanpa malformasi Arnold
Chiari tipe 1, hematoma intraventrikel, myelomeningokel, ensefalokel,
tumor fossa posterior dan kraniosinostosis. ETV juga diindikasikan pada
kasus block shunt atau slit ventricle syndrome.  Kesuksesan ETV
menurun pada kondisi hidrosefalus pasca perdarahan dan pasca infeksi.
Perencanaan operasi yang baik, pemeriksaan radiologis yang tepat, serta
keterampilan dokter bedah dan perawatan pasca operasi yang baik dapat
meningkatkan  kesuksesan tindakan ini.
Selain dari gejala-gejala klinik, keluhan pasien maupun dari hasil
pemeriksaan fisik dan psikis, untuk keperluan diagnostik hidrosefalus
dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan penunjang yaitu:
A. Rontgen foto kepala
Dengan prosedur ini dapat diketahui:
1) Hidrosefalus tipe kongenital/infantile, yaitu: ukuran kepala, adanya
pelebaran sutura, tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial kronik
berupa imopressio digitate dan erosi prosessus klionidalis posterior.
2) Hidrosefalus tipe juvenile/adult oleh karena sutura telah menutup
maka dari foto rontgen kepala diharapkan adanya gambaran kenaikan
tekanan intrakranial.
B. Transimulasi
Syarat untuk transimulasi adalah fontanela masih terbuka, pemeriksaan
ini dilakukan dalam ruangan yang gelap setelah pemeriksa beradaptasi
selama 3 menit. Alat yang dipakai lampu senter yang dilengkapi dengan
rubber adaptor. Pada hidrosefalus, lebar halo dari tepi sinar akan terlihat
lebih lebar 1-2 cm.
C. Lingkaran kepala
Diagnosis hidrosefalus pada bayi dapat dicurigai, jika penambahan
lingkar kepala melampaui satu atau lebih garis-garis kisi pada chart (jarak
antara dua garis kisi 1 cm) dalam kurun waktu 2-4 minggu.
D. Ventrikulografi
Yaitu dengan memasukkan kontras berupa O2 murni atau kontras lainnya
dengan alat tertentu menembus melalui fontanela anterior langsung
masuk ke dalam ventrikel. Setelah kontras masuk langsung difoto, maka
akan terlihat kontras mengisi ruang ventrikel yang melebar. Pada anak
yang besar karena fontanela telah menutup untuk memasukkan kontras
dibuatkan lubang dengan bor pada kranium bagian frontal atau oksipitalis.
Ventrikulografi ini sangat sulit, dan mempunyai risiko yang tinggi. Di
rumah sakit yang telah memiliki fasilitas CT Scan, prosedur ini telah
ditinggalkan.

E. Ultrasonografi
Dilakukan melalui fontanela anterior yang masih terbuka. Dengan USG
diharapkan dapat menunjukkan system ventrikel yang melebar. Pendapat
lain mengatakan pemeriksaan USG pada penderita hidrosefalus ternyata
tidak mempunyai nilai di dalam menentukan keadaan sistem ventrikel hal
ini disebabkan oleh karena USG tidak dapat menggambarkan anatomi
sistem ventrikel secara jelas, seperti halnya pada pemeriksaan CT Scan.
F. CT Scan kepala
Pada hidrosefalus obstruktif CT Scan sering menunjukkan adanya
pelebaran dari ventrikel lateralis dan ventrikel III. Dapat terjadi di atas
ventrikel lebih besar dari occipital horns pada anak yang besar. Ventrikel
IV sering ukurannya normal dan adanya penurunan densitas oleh karena
terjadi reabsorpsi transependimal dari CSS. Pada hidrosefalus
komunikans gambaran CT Scan menunjukkan dilatasi ringan dari semua
sistem ventrikel termasuk ruang subarakhnoid di proksimal dari daerah
sumbatan.
G. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Untuk mengetahui kondisi patologis otak dan medula spinalis dengan
menggunakan teknik scaning dengan kekuatan magnet untuk membuat
bayangan struktur tubuh.

6. KOMPLIKASI
A. Infeksi
Infeksi dapat menyebabkan meningitis (peradangan pada selaput otak),
peritonitis (peradangan pada selaput rongga perut), dan peradangan
sepanjang selang  Penggunaan antibiotik dapat meminimalkan risiko
terjadinya infeksi dan terkadang diperlukan tindakan pencabutan
selang shunt.
B. Perdarahan subdural (lokasi yang berada di bawah lapisan pelindung
otak duramater) Perdarahan subdural terjadi karena robekan pada
pembuluh darah balik (vena). Risiko komplikasi ini dapat diturunkan
dengan penggunaan shunt yang baik.
C. Obstruksi atau penyumbatan selang  shunt
yang terjadi pada selang shunt mengakibatkan gejala yang terus menerus
ada atau timbulnya kembali gejala yang sudah mereda. Sekitar sepertiga
kasus hidrosefalus dengan pemasangan shunt memerlukan penggantian
dalam waktu 1 tahun. Sebagian besar kasus (80%) memerlukan revisi
dalam 10 tahun.
D. Keadaan tekanan rendah (low pressure)
Bila cairan yang dialirkan terlalu berlebihan, maka dapat menjadi keadaan
dengan tekanan rendah. Gejaala yang timbul berupa sakit kepala dan
muntah saat duduk atau berdiri. Gejala ini dapat membaik dengan asupan
cairan yang tinggi dan perubahan posisi tubuh secara perlahan.

B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian
a. Pengkajian Primer
1) Airway
Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya penumpukan
sekret akibat kelemahan reflek batuk.
2) Breathing
Kelemahan menelan/ batuk/ melindungi jalan napas, timbulnya
pernapasan yang sulit dan / atau tak teratur, suara nafas terdengar
ronchi /aspirasi.
3) Circulation
TD dapat normal atau meningkat , hipotensi terjadi pada tahap lanjut,
takikardi, bunyi jantung normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan
membran mukosa pucat, dingin, sianosis pada tahap lanjut.
b. Pengkajian Sekunder
1) Aktivitas dan istirahat.
Data Subyektif: kesulitan dalam beraktivitas; kelemahan, kehilangan
sensasi atau paralysis, mudah lelah, kesulitan istirahat (nyeri atau
kejang otot).
Data obyektif:
a) Perubahan tingkat kesadaran
b) Perubahan tonus otot ( flaksid atau spastic), paraliysis (hemiplegia),
kelemahan umum
c) Gangguan penglihatan
2) Sirkulasi
Data Subyektif: Riwayat penyakit jantung (penyakit katup jantung,
disritmia, gagal jantung , endokarditis bacterial), polisitemia.
Data obyektif:
a) Hipertensi arterial
b) Disritmia, perubahan EKG
c) Pulsasi : kemungkinan bervariasi
d) Denyut karotis, femoral dan arteri iliaka atau aorta abdominal.
3) Integritas ego
Data Subyektif: Perasaan tidak berdaya, hilang harapan.
Data obyektif:
a) Emosi yang labil dan marah yang tidak tepat, kesediahan ,
kegembiraan.
b) Kesulitan berekspresi diri.
4) Eliminasi
Data Subyektif: Inkontinensia, anuria, distensi abdomen (kandung
kemih sangat penuh), tidak adanya suara usus (ileus paralitik).
5) Makan/ minum
Data Subyektif : Nafsu makan hilang, nausea / vomitus menandakan
adanya PTIK, kehilangan sensasi lidah , pipi , tenggorokan, disfagia.
Riwayat DM, Peningkatan lemak dalam darah.
Data obyektif:
a) Problem dalam mengunyah (menurunnya reflek palatum dan faring)
b) Obesitas (faktor resiko).
6) Sensori Neural
Data Subyektif:
a) Pusing / syncope (sebelum CVA / sementara selama TIA)
b) Nyeri kepala : pada perdarahan intra serebral atau perdarahan sub
arachnoid.
c) Kelemahan, kesemutan/kebas, sisi yang terkena terlihat seperti
lumpuh/mati.
d) Penglihatan berkurang.
e) Sentuhan : kehilangan sensor pada sisi kolateral pada ekstremitas
dan pada muka ipsilateral (sisi yang sama).
f) Gangguan rasa pengecapan dan penciuman.
Data obyektif:
a) Status mental : koma biasanya menandai stadium perdarahan,
gangguan tingkah laku (seperti: letergi, apatis, menyerang) dan
gangguan fungsi kognitif.
b) Ekstremitas : kelemahan / paraliysis (kontralateral) pada semua
jenis stroke, genggaman tangan tidak imbang, berkurangnya reflek
tendon dalam (kontralateral).
c) Wajah: paralisis / parese (ipsilateral).
d) Afasia (kerusakan atau kehilangan fungsi bahasa), kemungkinan
ekspresif/ kesulitan berkata kata, reseptif / kesulitan berkata kata
komprehensif, global / kombinasi dari keduanya.
e) Kehilangan kemampuan mengenal atau melihat, pendengaran,
stimuli taktil.
f) Apraksia : kehilangan kemampuan menggunakan motorik.
g) Reaksi dan ukuran pupil : tidak sama dilatasi dan tak bereaksi pada
sisi ipsi lateral.
7) Nyeri / kenyamanan
Data Subyektif: Sakit kepala yang bervariasi intensitasnya.
Data obyektif: Tingkah laku yang tidak stabil, gelisah, ketegangan otot
/ fasial.
8) Respirasi
Data Subyektif: Perokok (factor resiko).
9) Keamanan
Data obyektif:
a) Motorik/sensorik : masalah dengan penglihatan.
b) Perubahan persepsi terhadap tubuh, kesulitan untuk melihat objek,
hilang kewasadaan terhadap bagian tubuh yang sakit.
c) Tidak mampu mengenali objek, warna, kata, dan wajah yang pernah
dikenali.
d) Gangguan berespon terhadap panas, dan dingin/gangguan regulasi
suhu tubuh.
e) Gangguan dalam memutuskan, perhatian sedikit terhadap
keamanan, berkurang kesadaran diri.
10) Interaksi social
Data obyektif: Problem berbicara, ketidakmampuan berkomunikasi.
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
A. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan peningkatan
TIK (tekanan intrakranial).
B. Gangguan rasa nyaman: nyeri berhubungan dengan luka post operasi
C. Risiko infeksi berhubungan dengan luka post operasi

3. INTERVENSI KEPERAWATAN
A. Diagnosa: Risiko gangguan perfusi serebral berhubungan dengan
peningkatan TIK (tekanan intrakranial)
Kriteria hasil:
 Tidak terjadi peningkatan TIK (ditandai dengan nyeri kepala
hebat, kejang, muntah, dan penurunan kesadaran)
 Tanda-tanda vital dalam batas normal (nadi: 60-120x/menit ,
suhu: 36,5- 37,5 oC, RR: 20-40x/menit)
 Klien akan mempertahankan atau meningkatkan kesadaran
Implementasi:
 Mempertahankan tirah baring dengan posisi kepala datar dan
pantau tanda vital
 Memantau status neurologis
 Memantau frekuensi/irama jantung dan denyut jantung
 Memantau pernapasan, catat pola, irama pernapasan dan
frekuensi pernapsan.
 Meninggikan kepala tempat tidur sekitar 30 derajat sesuai
indikasi.
B. Diagnosa: Gangguan rasa nyaman: nyeri berhubungan dengan luka
post operasi
Kriteria hasil:
 Skala nyeri berkurang menjadi 3
 Klien tampak tenang dan ekspresi wajah tidak menyeringai
 Klien mampu berpartisipasi dalam aktifitas dan istirahat

Implementasi:

 Mengkaji tingkat nyeri menurut skala pengkajian neonatus (0-7)


 Memberikan posisi nyaman pada klien
 Memberikan terapi non-nutritive sucking
 Melibatkan orangtua dalam setiap tindakan
 Melakukan kolaborasi pemberian ketorolac 2×7,5 mg
C. Diagnosa: Risiko infeksi berhubungan dengan luka post operasi
Kriteria hasil:
 Suhu dan tanda-tanda vital dalam batas normal. Luka insisi
operasi bersih, tidak ada pus
 Tidak ada tanda-tanda infeksi pada luka post operasi
(kemerahan, panas, dan bengkak)
Implementasi:
 Memonitor tanda-tanda vital.
 Mengbservasi tanda infeksi: perubahan suhu, warna kulit,
malas minum, irritability.
 Mengubah posisi kepala setiap 3 jam untuk mencegah
dekubitus
 Mengobservasi tanda-tanda infeksi pada luka insisi yang
terpasang shunt, melakukan perawatan luka pada shunt dan
upayakan agar shunt tidak tertekan.
 Melakukan kolaborasi pemberian ceftrixone 2×200 mg
DAFTAR PUSTAKA

Mc Closky & Bulechek. (2002). Nursing Intervention Classification (NIC). United


States of America:Mosby.

Meidian, JM. (2002). “Nursing Outcomes Classification (NOC).United States of


America:Mosby.

 Mualim. 2010. Askep Hidrosefalus. Diakses pada tanggal 29 Agustus


2012http://mualimrezki.blogspot.com/2010/12/askep-hydrocephalus.html

Nursalam. 2005. Asuhan Keperawatan BAyi dan Anak (untuk perawat dan bidan).
Jakarta: Salemba Medika.

Price,Sylvia Anderson. 2005.  Patofisiologi; Konsep klinis proses-proses


penyakit,Jakarta;EGC

Anda mungkin juga menyukai