Oleh:
ROSMITA, S. Kep
NIM 2107901177
LAPORAN PENDAHULUAN
A. KONSEP DASAR TEORI HIDROSEFALUS
1. DEFINISI
Hidrosefalus adalah suatu keadaan yang mengakibatkan bertambahnya
cairan serepbrospinalis baik oleh produksi yang berlebihan maupun gangguan
absorpsi. Dengan atau pernah disertai tekanan intracranial yang meninggi
sehingga terjadi pelebaran ruangan ruangan tempat aliran cairan
serepbrospinalis ( Darto Suharso, 2009).
Hidrosefalus merupakan suatu gangguan pembentukan, aliran, maupun
penyerapan dari cairan serebrospinal sehingga terjadi kelebihan cairan
serebrospinal pada susunan saraf pusat, kondisi ini juga dapat diartikan
sebagai gangguan hidrodinamik cairan serebrospinal.
2. ETIOLOGI
4. PATOFISIOLOGI
Pembentukan cairan serebrospinal terutama dibentuk di dalam sistem
ventrikel. Kebanyakan cairan tersebut dibentuk oleh pleksus koroidalis di
ventrikel lateral, yaitu kurang lebih sebanyak 80% dari total cairan
serebrospinalis. Kecepatan pembentukan cairan serebrospinalis lebih kurang
0,35- 0,40 ml/menit atau 500 ml/hari, kecepatan pembentukan cairan tersebut
sama pada orang dewasa maupun anak-anak. Dengan jalur aliran yang dimulai
dari ventrikel lateral menuju ke foramen monro kemudian ke ventrikel 3,
selanjutnya mengalir ke akuaduktus sylvii, lalu ke ventrikel 4 dan menuju ke
foramen luska dan magendi, hingga akhirnya ke ruang subarakhnoid dan
kanalis spinalis. Secara teoritis, terdapat tiga penyebab terjadinya
hidrosefalus, yaitu:
A. Produksi likuor yang berlebihan. Kondisi ini merupakan penyebab paling
jarang dari kasus hidrosefalus, hampir semua keadaan ini disebabkan oleh
adanya tumor pleksus koroid (papiloma atau karsinoma), namun ada pula
yang terjadi akibat dari hipervitaminosis vitamin A.
B. Gangguan aliran likuor yang merupakan awal kebanyakan kasus
hidrosefalus. Kondisi ini merupakan akibat dari obstruksi atau
tersumbatnya sirkulasi cairan serebrospinalis gayang dapat terjadi di
ventrikel maupun vili arakhnoid. Secara umum terdapat tiga penyebab
terjadinya keadaan patologis ini, yaitu: a. Malformasi yang menyebabkan
penyempitan saluran likuor, misalnya stenosis akuaduktus sylvii dan
malformasi Arnold Chiari. b. Lesi massa yang menyebabkan kompresi
intrnsik maupun ekstrinsik saluran likuor, misalnya tumor intraventrikel,
tumor para ventrikel, kista arakhnoid, dan hematom. c. Proses inflamasi
dan gangguan lainnya seperti mukopolisakaridosis, termasuk reaksi
ependimal, fibrosis leptomeningeal, dan obliterasi vili arakhnoid.
C. Gangguan penyerapan cairan serebrospinal
Suatu kondisi seperti sindrom vena cava dan trombosis sinus dapat
mempengaruhi penyerapan cairan serebrospinal. Kondisi jenis ini
termasuk hidrosefalus tekanan normal atau pseudotumor serebri.
5. PENATALAKSANAAN MEDIS
A. Terapi sementara
Terapi konservatif medikamentosa berguna untuk mengurangi cairan dari
pleksus khoroid (asetazolamid 100 mg/kg BB/hari; furosemid 0,1 mg/kg
BB/hari) dan hanya bisa diberikan sementara saja atau tidak dalam jangka
waktu yang lama karena berisiko menyebabkan gangguan metabolik.
Terapi ini direkomendasikan bagi pasien hidrosefalus ringan bayi dan
anak dan tidak dianjurkan untuk dilatasi ventrikular posthemoragik pada
anak. Pada pasien yang berpotensi mengalami hidrosefalus transisi dapat
dilakukan pemasangan kateter ventrikular atau yang lebih dikenal dengan
drainase likuor eksternal. Namun operasi shunt yang dilakukan pasca
drainase ventrikel eksternal memiliki risiko tertinggi untuk terjadinya
infeksi. Cara lain yang mirip dengan metode ini adalah dengan pungsi
ventrikel yang dapat dilakukan berulang kali.
B. Operasi shunting
Sebagian besar pasien memerlukan tindakan ini untuk membuat saluran
baru antara aliran likuor (ventrikel atau lumbar) dengan kavitas drainase
(seperti peritoneum, atrium kanan, dan pleura). Komplikasi operasi ini
dibagi menjadi tiga yaitu infeksi, kegagalan mekanis, dan kegagalan
fungsional. Tindakan ini menyebabkan infeksi sebanyak >11% pada anak
setelahnya dalam waktu 24 bulan yang dapat merusak intelektual bahkan
menyebabkan kematian.
C. Endoscopic third ventriculostomy
Metode Endoscopic third ventriculostomy (ETV) semakin sering
digunakan di masa sekarang dan merupakan terapi pilihan bagi
hidrosefalus obstruktif serta diindikasikan untuk kasus seperti stenosis
akuaduktus, tumor ventrikel 3 posterior, infark serebral, malformasi
Dandy Walker, syringomyelia dengan atau tanpa malformasi Arnold
Chiari tipe 1, hematoma intraventrikel, myelomeningokel, ensefalokel,
tumor fossa posterior dan kraniosinostosis. ETV juga diindikasikan pada
kasus block shunt atau slit ventricle syndrome. Kesuksesan ETV
menurun pada kondisi hidrosefalus pasca perdarahan dan pasca infeksi.
Perencanaan operasi yang baik, pemeriksaan radiologis yang tepat, serta
keterampilan dokter bedah dan perawatan pasca operasi yang baik dapat
meningkatkan kesuksesan tindakan ini.
Selain dari gejala-gejala klinik, keluhan pasien maupun dari hasil
pemeriksaan fisik dan psikis, untuk keperluan diagnostik hidrosefalus
dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan penunjang yaitu:
A. Rontgen foto kepala
Dengan prosedur ini dapat diketahui:
1) Hidrosefalus tipe kongenital/infantile, yaitu: ukuran kepala, adanya
pelebaran sutura, tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial kronik
berupa imopressio digitate dan erosi prosessus klionidalis posterior.
2) Hidrosefalus tipe juvenile/adult oleh karena sutura telah menutup
maka dari foto rontgen kepala diharapkan adanya gambaran kenaikan
tekanan intrakranial.
B. Transimulasi
Syarat untuk transimulasi adalah fontanela masih terbuka, pemeriksaan
ini dilakukan dalam ruangan yang gelap setelah pemeriksa beradaptasi
selama 3 menit. Alat yang dipakai lampu senter yang dilengkapi dengan
rubber adaptor. Pada hidrosefalus, lebar halo dari tepi sinar akan terlihat
lebih lebar 1-2 cm.
C. Lingkaran kepala
Diagnosis hidrosefalus pada bayi dapat dicurigai, jika penambahan
lingkar kepala melampaui satu atau lebih garis-garis kisi pada chart (jarak
antara dua garis kisi 1 cm) dalam kurun waktu 2-4 minggu.
D. Ventrikulografi
Yaitu dengan memasukkan kontras berupa O2 murni atau kontras lainnya
dengan alat tertentu menembus melalui fontanela anterior langsung
masuk ke dalam ventrikel. Setelah kontras masuk langsung difoto, maka
akan terlihat kontras mengisi ruang ventrikel yang melebar. Pada anak
yang besar karena fontanela telah menutup untuk memasukkan kontras
dibuatkan lubang dengan bor pada kranium bagian frontal atau oksipitalis.
Ventrikulografi ini sangat sulit, dan mempunyai risiko yang tinggi. Di
rumah sakit yang telah memiliki fasilitas CT Scan, prosedur ini telah
ditinggalkan.
E. Ultrasonografi
Dilakukan melalui fontanela anterior yang masih terbuka. Dengan USG
diharapkan dapat menunjukkan system ventrikel yang melebar. Pendapat
lain mengatakan pemeriksaan USG pada penderita hidrosefalus ternyata
tidak mempunyai nilai di dalam menentukan keadaan sistem ventrikel hal
ini disebabkan oleh karena USG tidak dapat menggambarkan anatomi
sistem ventrikel secara jelas, seperti halnya pada pemeriksaan CT Scan.
F. CT Scan kepala
Pada hidrosefalus obstruktif CT Scan sering menunjukkan adanya
pelebaran dari ventrikel lateralis dan ventrikel III. Dapat terjadi di atas
ventrikel lebih besar dari occipital horns pada anak yang besar. Ventrikel
IV sering ukurannya normal dan adanya penurunan densitas oleh karena
terjadi reabsorpsi transependimal dari CSS. Pada hidrosefalus
komunikans gambaran CT Scan menunjukkan dilatasi ringan dari semua
sistem ventrikel termasuk ruang subarakhnoid di proksimal dari daerah
sumbatan.
G. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Untuk mengetahui kondisi patologis otak dan medula spinalis dengan
menggunakan teknik scaning dengan kekuatan magnet untuk membuat
bayangan struktur tubuh.
6. KOMPLIKASI
A. Infeksi
Infeksi dapat menyebabkan meningitis (peradangan pada selaput otak),
peritonitis (peradangan pada selaput rongga perut), dan peradangan
sepanjang selang Penggunaan antibiotik dapat meminimalkan risiko
terjadinya infeksi dan terkadang diperlukan tindakan pencabutan
selang shunt.
B. Perdarahan subdural (lokasi yang berada di bawah lapisan pelindung
otak duramater) Perdarahan subdural terjadi karena robekan pada
pembuluh darah balik (vena). Risiko komplikasi ini dapat diturunkan
dengan penggunaan shunt yang baik.
C. Obstruksi atau penyumbatan selang shunt
yang terjadi pada selang shunt mengakibatkan gejala yang terus menerus
ada atau timbulnya kembali gejala yang sudah mereda. Sekitar sepertiga
kasus hidrosefalus dengan pemasangan shunt memerlukan penggantian
dalam waktu 1 tahun. Sebagian besar kasus (80%) memerlukan revisi
dalam 10 tahun.
D. Keadaan tekanan rendah (low pressure)
Bila cairan yang dialirkan terlalu berlebihan, maka dapat menjadi keadaan
dengan tekanan rendah. Gejaala yang timbul berupa sakit kepala dan
muntah saat duduk atau berdiri. Gejala ini dapat membaik dengan asupan
cairan yang tinggi dan perubahan posisi tubuh secara perlahan.
3. INTERVENSI KEPERAWATAN
A. Diagnosa: Risiko gangguan perfusi serebral berhubungan dengan
peningkatan TIK (tekanan intrakranial)
Kriteria hasil:
Tidak terjadi peningkatan TIK (ditandai dengan nyeri kepala
hebat, kejang, muntah, dan penurunan kesadaran)
Tanda-tanda vital dalam batas normal (nadi: 60-120x/menit ,
suhu: 36,5- 37,5 oC, RR: 20-40x/menit)
Klien akan mempertahankan atau meningkatkan kesadaran
Implementasi:
Mempertahankan tirah baring dengan posisi kepala datar dan
pantau tanda vital
Memantau status neurologis
Memantau frekuensi/irama jantung dan denyut jantung
Memantau pernapasan, catat pola, irama pernapasan dan
frekuensi pernapsan.
Meninggikan kepala tempat tidur sekitar 30 derajat sesuai
indikasi.
B. Diagnosa: Gangguan rasa nyaman: nyeri berhubungan dengan luka
post operasi
Kriteria hasil:
Skala nyeri berkurang menjadi 3
Klien tampak tenang dan ekspresi wajah tidak menyeringai
Klien mampu berpartisipasi dalam aktifitas dan istirahat
Implementasi:
Nursalam. 2005. Asuhan Keperawatan BAyi dan Anak (untuk perawat dan bidan).
Jakarta: Salemba Medika.