Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

HIDROSEFALUS

ELISABET ENGA TARALADU

2018610059

UNIVERSITAS TRIBHUWANA TUNGGADEWI MALANG

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

MALANG

2020
PENDAHULUAN

Hidrosefalus merupakan gangguan yang terjadi akibat kelebihan cairan serebrospinal


pada sistem saraf pusat. Kasus ini merupakan salah satu masalah yang sering ditemui di bidang
bedah saraf, yaitu sekitar 40% hingga 50%. Penyebab hidrosefalus pada anak secara umum dapat
dibagi menjadi dua, prenatal dan postnatal. Baik saat prenatal maupun postnatal, secara teoritis
patofisiologi hidrosefalus terjadi karena tiga hal yaitu produksi liquor yang berlebihan,
peningkatan resistensi liquor yang berlebihan, dan peningkatan tekanan sinus venosa.

A. DEFINISI
Kata hidrosefalus diambil dari bahasa Yunani yaitu Hydro yang berarti air, dan
cephalus yang berarti kepala. Secara umum hidrosefalus dapat didefiniskan sebagai suatu
gangguan pembentukan, aliran, maupun penyerapan dari cairan serebrospinal sehingga
terjadi kelebihan cairan serebrospinal pada susunan saraf pusat, kondisi ini juga dapat
diartikan sebagai gangguan hidrodinamik cairan serebrospinal.

B. ETIOLOGI
Penyebab hidrosefalus pada anak secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, yaitu
penyebab prenatal dan postnatal.
1. Penyebab prenatal
Sebagian besar anak dengan hidrosefalus telah mengalami hal ini sejak lahir atau
segera setelah lahir. Beberapa penyebabnya terutama adalah stenosis akuaduktus
sylvii, malfromasi Dandy Walker, Holopresencephaly, Myelomeningokel, dan
Malformasi Arnold Chiari. Selain itu, terdapat juga jenis malformasi lain yang jarang
terjadi. Penyebab lain dapat berupa infeksi in-utero, lesi destruktif dan faktor
genetik.1,2,10-12 Stenosis Akuaduktus Sylvius terjadi pada 10% kasus pada bayi
baru lahir. Insidensinya berkisar antara 0,5-1 kasus/1000 kelahiran. Insidennya 0,5-
1% kasus/1000 kelahiran. Malformasi Dandy Walker terjadi pada 2-4% bayi yang
baru lahir dengan hidrosefalus. Malformasi ini mengakibatkan hubungan antara ruang
subarakhnoid dan dilatasi ventrikel 4 menjadi tidak adekuat, sehingga terjadilah
hidrosefalus. Penyebab yang sering terjadi lainnya adalah Malformasi Arnold Chiari
(tipe II), kondisi ini menyebabkan herniasi vermis serebelum, batang otak, dan
ventrikel 4 disertai dengan anomali inrtakranial lainnya. Hampir dijumpai di semua
kasus myelomeningokel meskipun tidak semuanya berkembang menjadi hidrosefalus
(80% kasus).
2. Penyebab postnatal
Lesi massa menyebabkan sekitar 20% kasus hidrosefalus, kista arakhnoid dan kista
neuroepitelial merupakan kedua terbanyak yang mengganggu aliran likuor.
Perdarahan, meningitis, dan gangguan aliran vena juga merupakan penyabab yang
cukup sering terjadi.
C. PATOFISIOLOGI
Pembentukan cairan serebrospinal terutama dibentuk di dalam sistem ventrikel.
Kebanyakan cairan tersebut dibentuk oleh pleksus koroidalis di ventrikel lateral, yaitu
kurang lebih sebanyak 80% dari total cairan serebrospinalis. Kecepatan pembentukan
cairan serebrospinalis lebih kurang 0,35- 0,40 ml/menit atau 500 ml/hari, kecepatan
pembentukan cairan tersebut sama pada orang dewasa maupun anak-anak. Dengan jalur
aliran yang dimulai dari ventrikel lateral menuju ke foramen monro kemudian ke
ventrikel 3, selanjutnya mengalir ke akuaduktus sylvii, lalu ke ventrikel 4 dan menuju ke
foramen luska dan magendi, hingga akhirnya ke ruang subarakhnoid dan kanalis spinalis.
Secara teoritis, terdapat tiga penyebab terjadinya hidrosefalus, yaitu:
1. Produksi likuor yang berlebihan. Kondisi ini merupakan penyebab paling jarang dari
kasus hidrosefalus, hampir semua keadaan ini disebabkan oleh adanya tumor pleksus
koroid (papiloma atau karsinoma), namun ada pula yang terjadi akibat dari
hipervitaminosis vitamin A.
2. Gangguan aliran likuor yang merupakan awal kebanyakan kasus hidrosefalus.
Kondisi ini merupakan akibat dari obstruksi atau tersumbatnya sirkulasi cairan
serebrospinalis yang dapat terjadi di ventrikel maupun vili arakhnoid. Secara umum
terdapat tiga penyebab terjadinya keadaan patologis ini, yaitu:
a. Malformasi yang menyebabkan penyempitan saluran likuor, misalnya stenosis
akuaduktus sylvii dan malformasi Arnold Chiari.
b. Lesi massa yang menyebabkan kompresi intrnsik maupun ekstrinsik saluran
likuor, misalnya tumor intraventrikel, tumor para ventrikel, kista arakhnoid, dan
hematom.
c. Proses inflamasi dan gangguan lainnya seperti mukopolisakaridosis, termasuk
reaksi ependimal, fibrosis leptomeningeal, dan obliterasi vili arakhnoid.
3. Gangguan penyerapan cairan serebrospinal. Suatu kondisi seperti sindrom vena cava
dan trombosis sinus dapat mempengaruhi penyerapan cairan serebrospinal. Kondisi
jenis ini termasuk hidrosefalus tekanan normal atau pseudotumor serebri.
D. PATHWAY
E. Tanda dan gejala
Ukuran kepala lebih besar dari dua deviasi standar di atas ukuran normal atau
persentil 98 dari kelompok usianya. fontanel anterior yang sangat tegang (37%), sutura
tampak atau teraba melebar, kulit kepala licin, dan sunset phenomenon dimana kedua
bola mata berdiaviasi ke atas dan kelopak mata atas tertarik. nyeri kepala, muntah,
gangguan okulomotor, dan gejala gangguan batang otak (bradikardia, aritmia respirasi).
spastisitas pada eksremitas inferior yang berlanjut menjadi gangguan berjalan dan
gangguan endokrin.

F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dengan menggunakan USG dapat mendeteksi
hidrosefalus pada periode prenatal, dapat pula digunakan untuk mengukur dan memonitor
ukuran ventrikel, terutama digunakan pada anak prematur. CT Scan dapat digunakan
untuk mengukur dilatasi ventrikel secara kasar dan menentukan sumber obstruksi. CT
Scan dapat menilai baik secara fungsional maupun anatomikal namun tidak lebih baik
daripada MRI, namun karena pemeriksaannya cukup lama maka pada bayi perlu
dilakukan pembiusan.

G. Penatalaksanaan
1. Terapi sementara
Terapi konservatif medikamentosa berguna untuk mengurangi cairan dari pleksus
khoroid (asetazolamid 100 mg/kg BB/hari; furosemid 0,1 mg/kg BB/hari) dan hanya
bisa diberikan sementara saja atau tidak dalam jangka waktu yang lama karena
berisiko menyebabkan gangguan metabolik. Terapi ini direkomendasikan bagi pasien
hidrosefalus ringan bayi dan anak dan tidak dianjurkan untuk dilatasi ventrikular
posthemoragik pada anak.
Pada pasien yang berpotensi mengalami hidrosefalus transisi dapat dilakukan
pemasangan kateter ventrikular atau yang lebih dikenal dengan drainase likuor
eksternal. Namun operasi shunt yang dilakukan pasca drainase ventrikel eksternal
memiliki risiko tertinggi untuk terjadinya infeksi.15 Cara lain yang mirip dengan
metode ini adalah dengan pungsi ventrikel yang dapat dilakukan berulang kali.
2. Operasi shunting
Sebagian besar pasien memerlukan tindakan ini untuk membuat saluran baru
antara aliran likuor (ventrikel atau lumbar) dengan kavitas drainase (seperti
peritoneum, atrium kanan, dan pleura). Komplikasi operasi ini dibagi menjadi tiga
yaitu infeksi, kegagalan mekanis, dan kegagalan fungsional. Tindakan ini
menyebabkan infeksi sebanyak >11% pada anak setelahnya dalam waktu 24 bulan
yang dapat merusak intelektual bahkan menyebabkan kematian.
Endoscopic third ventriculostomy
Metode Endoscopic third ventriculostomy (ETV) semakin sering digunakan di
masa sekarang dan merupakan terapi pilihan bagi hidrosefalus obstruktif serta
diindikasikan untuk kasus seperti stenosis akuaduktus, tumor ventrikel 3 posterior,
infark serebral, malformasi Dandy Walker, syringomyelia dengan atau tanpa
malformasi Arnold Chiari tipe 1, hematoma intraventrikel, myelomeningokel,
ensefalokel, tumor fossa posterior dan kraniosinostosis. ETV juga diindikasikan pada
kasus block shunt atau slit ventricle syndrome. Kesuksesan ETV menurun pada
kondisi hidrosefalus pasca perdarahan dan pasca infeksi. Perencanaan operasi yang
baik, pemeriksaan radiologis yang tepat, serta keterampilan dokter bedah dan
perawatan pasca operasi yang baik dapat meningkatkan kesuksesan tindakan ini.
ASUHAN KEPERAWATAN HIDROSEFALUS

Pengkajian

A. Anamnesis

Keluhan utama:
Hal yang sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan bergantung
seberapa jauh dampak dari hidrosefalus pada peningkatan tekanan intracranial, meliputi
muntah, gelisah nyeri kepala, letargi, lelah apatis, penglihatan ganda, perubahan pupil,
dan kontriksi penglihatan perifer.
1. Riwayat penyakit sekarang:
Adanya riwayat infeksi (biasanya riwayat infeksi pada selaput otak dan meningens)
sebelumnya. Pengkajian yang didapat meliputi seorang anak mengalami pembesaran
kepala, tingkat kesadaran menurun (GCS <15), kejang, muntah, sakit kepala,
wajahnya tanpak kecil cecara disproposional, anak menjadi lemah, kelemahan fisik
umum, akumulasi secret pada saluran nafas, dan adanya liquor dari hidung. A danya
penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran akibat adanya perubahan di dalam
intracranial. Keluhan perubahan prilaku juga umum terjadi.
2. Riwaya penyakit dahulu:
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat hidrosefalus sebelumnya,
riwayat adanyanya neoplasma otak, kelainan bawaan pada otak dan riwayat infeksi.
3. Riwayat perkembangan
Kelahiran premature. lahir dengan pertolongan, pada waktu lahir menangis keras atau
tidak. Riwayat penyakit keluarga, mengkaji adanya anggota generasi terdahulu yang
menderita stenosis akuaduktal yang sangat berhubungan dengan penyakit
keluarga/keturunan yang terpaut seks.
4. Pengkajian psikososiospritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien dan keluarga (orang tua) untuk
menilai respon terhadap penyakit yang diderita dan perubahan peran dalam keluarga
dan masyarakat serta respon atau pengruhnya dalam kehidupan sehari-hari. Baik
dalam keluarga maupun masyarakata. Apakah ada dampak yang timbul pada klien
dan orang tua, yaitu timbul seperti ketakutan akan kecatatan, rasa cemas, rasa ketidak
mampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal. Perawat juga memasukkan
pengkajian terhadap fungsi neurologis dengan dampak gangguan neurologis yang
akan terjadi pada gaya hidup individu. Perspektif perawatan dalam mengkaji terdiri
atas dua masalah: keterbatasan yang diakibatkan oleh deficit neurologis dalam
hubungan dengan peran sosial klien dan rencana pelayanan yang akan mendukung
adaptasi pada gangguan neurologis didalam system dukungan individu.
B. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum:
Pada keadaan hidrosefalus umumnya mengalami penurunan kesadaran (GCS <15) dan
terjadi perubahan pada tanda-tanda vital.
a. B1(breathing)
Perubahan pada system pernafasan berhubungan dengan inaktivitas. Pada
beberapa keadaan hasil dari pemeriksaan fisik dari system ini akan didapatka hal-
hal sebagai berikut:
- Ispeksi umum: apakah didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum,
sesak nafas, penggunaan otot batu nafas, dan peningkatan frekuensi
pernafasan. Terdapat retraksi klavikula/dada, mengembangan paru tidak
simetris. Ekspansi dada: dinilai penuh/tidak penuh, dan kesimetrisannya. Pada
observasi ekspansi dada juga perlu dinilai retraksi dada dari otot-otot
interkostal, substernal pernafasan abdomen dan respirasi paraddoks(retraksi
abdomen saat inspirasi). Pola nafas ini terjadi jika otot-otot interkostal tidak
mampu menggerakkan dinding dada.
- Palpasi: taktil primitus biasanya seimbang kanan an kiri
- Perkusi: resonan pada seluruh lapang paru.
- Auskultasi: bunyi nafas tambahan, seperti nafas berbunyi stridor, ronkhi pada
klien dengan adanya peningkatan produksi secret dan kemampuan batuk yang
menurun yang sering didapatkan pada klien hidrosefalus dengan penurunan
tingkat kessadaran.
b. B2 (Blood)
Frekuensi nadi cepat dan lemah berhubungan dengan homeostasis tubuh dalam
upaya menyeimbangkan kebutuhan oksigen perifer. Nadi brakikardia merupakan
tanda dari perubahan perfusi jaringan otak. Kulit kelihatan pucat merupakan tanda
penurunan hemoglobin dalam darah. Hipotensi menunjukan adanya perubaha
perfusi jaringan dan tanda-tanda awal dari suatu syok. Pada keadaan lain akibat
dari trauma kepala akan merangsang pelepasan antideuretik hormone yang
berdampak pada kompensasi tubuh untuk melakukan retensi atau pengeluaran
garam dan air oleh tubulus. Mekanisme ini akan meningkatkan konsentrasi
elektroloit sehingga menimbulkan resiko gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit pada system kardiovaskuler.
c. B3 (Brain)
Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan focus dan lebih lengkap
disbanding pengkajian pada system yang lain. Hidrosefalus menyebabkan
berbagai deficit neurologis terutama disebabkan pengaruh peningkatan tekanan
intracranial akibat adanya peningkatan CSF dalam sirkulasi ventrikel. Kepela
terlihat lebih besar jika dibandingkan dengan tubuh. Hal ini diidentifikasi dengan
mengukur lingkar kepala suboksipito bregmatikus disbanding dengan lingkar
dada dan angka normal pada usia yang sama. Selain itu pengukuuran berkala
lingkar kepala, yaitu untuk melihat pembesaran kepala yang progresif dan lebih
cepat dari normal. Ubun-ubun besar melebar atau tidak menutup pada waktunya,
teraba tegang atau menonjol, dahi tampak melebar atau kulit kepala tampak
menipis, tegang dan mengkilat dengan pelebaran vena kulit kepala. Satura
tengkorak belum menutup dan teraba melebar. Didapatkan pula cracked pot sign
yaitu bunyi seperti pot kembang yang retak pada perkusi kepala. Bola mata
terdorong kebawah oleh tekanan dan penipisan tulang subraorbita. Sclera tanpak
diatas iris sehingga iris seakan-akan matahari yang akan terbenam atau sunset
sign.

Pengkajian tingkat kesadaran


Tingkat keterrjagaan klien dan respon terhadap lingkungan adalah indicator paling
sensitive untuk disfungsi system persarafan. Gejala khas pada hidrosefalus tahap lanjut
adalah adanya dimensia. Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien hidrosefalus
biasanya berkisar pada tingkat latergi, stupor, semikomatosa sampai koma.

Pengkajian fungi serebral, meliputi:


 Status mental. Obresvasi penampilan, tingkah laku, nilai gaya bicara, ekspresi
wajah dan aktivitas motorik klien. Pada klien hidrosefalus tahap lanjut biasanya
status mental klien mengalami perubahan. Pada bayi dan anak-anak pemeriksaan
statuss mental tidak dilakukan.
 Fungsi intelektual. Pada beberapa kedaan klien hidrosefalus didapatkan
penurunan dalam ingatan dan memori, baik jangka pendek maupun jangka
panjang. Pada pengkajian anak, yaitu sering didapatkan penurunan dalam
perkembangan intelektual anak dibandingkan dengan perkembangan anak normal
sesuai tingkat usia.
 Lobus frontal. Kerusakkan fungsi kognitif dan efek psikologik didapatkan jika
jumlah CSS yang tinggi mengakibatkan adanya kerusakan pada lobus frontal
kapasitas, memori atau kerusakan fungsi intelektual kortikal yamg lebih tinggi.
Disfungsi ini dapat ditunjukka pada lapang perhatian terbatas, kesulitan dalam
pemahaman, lupa, dan kurang motivasi yang menyebabka klien ini menghadapi
masalah frustasi dalam program rehabilitasi mereka.pada klien bayi dan anak-
anak penilaian disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak.
Pengkajin saraf cranial, meliputi:

 Saraf I (Olfaktori). Pada beberapa keaaan hidrosefalus menekan anatomi dan


fissiologis ssaraf ini klien akan mengalami kelainan padda fungsi penciuman/
anosmia lateral atau bilateral.
 Saraf II (Optikus): pada nak yang agak besar mungkin terdapat edema pupil saraf
otak II pada pemeriksaan funduskopi.
 Saraf III, IV dan VI (Okulomotoris, Troklearis, Abducens): tanda dini herniasi
tertonium addalah midriasis yang tidak bereaksi pada penyinaran . paralisis otot-
otot ocular akan menyusul pada tahap berikutnya. Konvergensi sedangkan alis
mata atau bulu mata keatas, tidak bisa melihat keatas,. Strabismus, nistagmus,
atrofi optic sering di dapatkan pada nanak dengan hidrosefalus.
 Saraf V (Trigeminius): karena terjadinya paralisis saraf trigeminus, didapatkan
penurunan kemampuan koordinasi gerakan mengunyah atau menetek.
 Saraf VII(facialis): persepsi pengecapan mengalami perubahan
 Saraf VIII (Akustikus): biasanya tidak didapatkan gangguan fungsi pendengaran.
 Saraf IX dan X( Glosofaringeus dan Vagus): kemampuan menelan kurang baik,
kesulitan membuka mulut
 Saraf XI (Aksesorius): mobilitas kurang baik karena besarnya kepala menghambat
mobilitas leher klien
 Saraf XII (Hipoglosus): indra pengecapan mengalaami perubahan.

Pengkajian system motorik.

Pada infeksi umum, didapatkan kelemahan umum karena kerusakan pusat pengatur
motorik.

 Tonus otot. Didapatkan menurun sampai hilang


 Kekuatan otot. Pada penilaian dengan menggunakan tingkat kekuatan otot
didapatkan penurunan kekuatan otot-otot ekstermitas.
 Keseimbangan dan koordinasi. Didapatkan mengalami gangguan karena
kelemahan fisik umum dan kesulitan dalam berjalan.

Pengkajian ferleks.

Pemeriksaan reflex profunda, pengetukan pada tendo, ligamentum atau periosteum


derajat reflex pada rrespon normal. Pada tahap lanjut, hidrosefalus yang mengganggu
pusat refleks, maka akan didapatkan perubahan dari derajat refleks. Pemeriksaan refleks
patologis, pada fase akut refleks fisiologis sisi yang lumpuh akan menghilang. Setelah
beberapa hari refleks fisiologis akan muncul kembali didahului dengan refleks patologis.

Pengkajian system sensorik.

Kehilangan sensori karena hidrosefalus dapat berupa kerusakan sentuhan ringan atau
mungkin lebih berat, dengan kehilangan propriosepsi (kemampuan untuk merasakan
posisi dan gerakan bagian tubuh) serta kesulitan dalam menginterpretasikan stimuli
visual, taktil, dan auditorius.

d. B4 (Bledder)
Kaji keadaan urine meliputi warna, jumlah dan karakteristik urine, termasuk berat
jenis urine. Peningkatan jumlah urine dan peningkatan retensi cairan dapat terjadi
akibat menurunya perfungsi pada ginjal. Pada hidrosefalus tahap lanjut klien
mungkin mengalami inkontensia urin karena konfusi, ketidak mampuan
mengomunikasikan kebutuhan, dan ketidak mampuan mengomunikasikan
kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk menggunakan system perkemihan karena
kerusakan control motorik dan postural. Kadang-kadang control sfingter urinarius
eksternal hilang atau steril. Inkontensia urine yang berlanjut menunjukkan
kerusakan neurologis luas.

e. B5 (Bowel)
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan menurun, serta mual
dan muntah pada fase akut. Mual sampai muntah akibat peningkatan produksi
asam lambung sehingga menimbulkan masalah pemenuhan nutrisi. Pola defekasi
biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltic usus. Adanya kontensia
alvi yang berlanjut menunjukkan kerusakann neurologis luas. Pemeriksaan rongga
mulut dengan melakukan peniaian ada tidaknya lesi pada mulut atau perubahan
pada lidah dapat menunjukkan adanya dehidrasi. Pemeriksaan bising usus untuk
untuk menilai keberadaan dan kualitas bising usus harus dikaji sebelum
melakukan palpasi abdomen. Bising usus menurun atau hilang dapat terjadi pada
paralitik ileus dan peritonitis. Lakukan observasi bising usus selama ± 2 menit.
Penurunan motilitas usus dapat terjadi akibat tertelanya udara yang berasal dari
sekitar selang endotrakeal dan nastrakeal.

f. B6 (Bone)
Disfungsi motorik paling umum adalah kelemahan fisik umum, pada bayi
disebabkan pembesaran kepala sehingga menggangu mobilitas fisik secara umum.
Kaji warna kulit, suhu, kelembapan, dan turgon kulit. Adanya perubahan warna
kulit; warna kebiruaan menunjukkan adanya sianosis (ujung kuku,
ekstermitas,telingga, hidung, bibir dan membrane mukosa). Pucat pada wajah dan
membrane mukosa dapat berhubungan dengan rendahnya kadar hemoglobinatau
syok. Warna kemerahan pada kulit dapat menunjukan adanyadamam atau infeksi.
Integritas kulit untuk menilai adanya lesi dan dekubitus. Adanya kesulitan untuk
beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensori atau paralisis/hemiplegia,
mudah lelah menyebabkan masalah pada pola aktivitas dan istiraha.

Pemeriksaan diagnostic
 CT scan (dengan atau tanpa kontras): mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan,
determinan, ventrikuler dan perubahan jaringan otak.
 MRI: digunakan sama denga CT scan dengan atau tanpa kontras radioaktif
 Rongen kepala: mendeteksi perubahan struktur garis sutura.
 Pemeriksaan CSS dan Lumbal pungsi: dapat dilakukan jika diduga terjadi
perdarahan subarachoid. CSS dengan atau tanpa kuman dengan kultur yaitu
protein LCS normal atau menurun, leukosit meningkat/ tetap, dan glukosa
menurun atau tetap

Pengkajian Penatalaksanaan medis


1. Tirah baring total, bertujuan untuk mencegah resiko/gejala peningkatan TIK, untuk
mencegah resiko cedera dan mencegah gangguan neurologis
2. Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran)
3. Pemberian obat-obatan
4. Deksametason sebagai pengobatan antiedema serebral, dosis sesuai berat ringannya
truma.
5. Pengobatan antii edema, larutan hipetonis, yaitu manitol 20% atau glukosa 40 % atau
gliserol 10%.
6. Antibiotika yang mengandung barier darah otak (penisilin) atau untuk infeksi anaerob
diberikan metronidazole.
7. Makanan atau cairan, jika muntah dapat diberikan cairan infuse dekstrosa 5% 2-3 hari
kemudian diberikan makanan lunak.
8. Beberapa teknik pengobatan yang telah dikembangkan meliputi penurunan produksi
LCS dengan merusak sebagian fleksus (koroidalis).
C. Diagnose keperawatan
1. Resiko tinggi peningktan tekanan intracranial b.d peningkatan jumlah cairan
serebrospinal.
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d penumpukan sputum, peningkatan sekresi secret
dan penurunan volume batuk sekunder akibat adanya nyeri dan keletiha, ketidak
mampuan batuk/batuk produktif.
3. Nyeri yang berhubunngan dengan peningkatan tekanan intracranial.
4. Gangguan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d perubahan kemampuan mencerna
makanan, peningkatan kebutuhan metabolisme.
5. Resiko tinggi cidera berhubungan dengan kejang
6. Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan misinterpretasi informasi, ttidak
mengenal sumber-sumber informasi, ketegangan akibat krisis situasional.
7. Resiko gangguan integritas kulit b.d imobilisas, tiak adekuatnya sirkulasi perifer.
8. Resiko deficit cairan dan elektrolit b. dmuntah, asupan cairan kurang, peningkatan
metabolise.
9. Ansietas keluarga b.d keadaan yang kritis pada klien.

D. Intervensi Keperawatan
Dx 1. Resiko tinggi peningktan tekanan intracranial b.d peningkatan jumlah cairan
serebrospinal.
Tujuan: Setelah dilakukan atau diberikan asuhan keperawatan 2 x 24 jam klien tidak
mengalami peningkatan TIK.
Kriteria hasil: Klien tidak mengeluh nyeri kepala, mual-mual dan muntah, GCS 4,5,6
tidak terdapat papiledema, TTV dalam batas normal.

Intervensi :
1. Kaji factor penyebab dari keadaan individu/penyebab koma/penurunan perfusi
jaringan dan kemungkinan penyebab peningkatan TIK.
R/: deteksi dini untuk memperioritaskan intervensi , mengkaji status neurologi/tanda-
tanda kegagalan untuk menentukan perawatan kegawatan atau tindakan pembedahan.
2. Monitor tanda-tanda vital tiap 4jam
R/: Suatu keadaan normal bila sirkulasi serebral terpelihara dengan baik atau fluktuasi
ditandai dengan tekanan darah sistemik, penurunan dari autoregulator kebanyakan
merupakan tanda penurunan difusi local vaskularisasi darah serebral. Adanya
peningkatan tekanan darah, bradhikardi, distritmia, dispnia merupakan tanda
terjadinya peningkatan TIK.
3. Evaluasi pupil
R/: Reaksi pupil dan pergerakan kembali dari bola mata merupakan tanda dari
gangguan nervus/saraf jika batang otak terkoyak.
4. Monitor temperature dan pengaturan suhu lingkungan
R/: Panas merupakan refleks dari hipotalamus. Peningkatan kebutuhan mertabolisme
dan oksegen akan menunjang peningkatan TIK.
5. Pertahankan kepala / leher pada posisi yang netral, usahakan dengan sedikit bantal.
Hindari penggunaan bantal yang tinggi pada kepala
R/: perubahan kepala pada satu sisi dapat menimbulkan penekanan pada vena
jugularis dan menghambat aliran darah otak (menghambat drainase pada vena
serebral), untuk itu dapat meningkatkan TIK.
6. Berikan periode istirahat antara tindakan perawatan dan batasi lamanya prosedur.
R/: tindakan yang terus menerus dapat meningkatkan TIK oleh efek rangsangan
komulatif.
7. Kurangi rangsangan ekstra dan berikan rasa nyaman seperti massase punggung,
lingkungan yang tenang, sentuhan yang ramah dan suasana atau pembicaraan yang
tidak gaduh.
R/: memberikan suasana yang tenang (colming effect) dapat mengurangi respons
psikologis dan memberikan istirahat untuk mempertahan TIK yang rendah.
8. Cegah atau hindari terjadinya valsava maneuver.
R/: mengurangi tekanan intra torakal dan intraabdominal sehingga menghindari
peningkatan TIK.
9. Bantu pasien jika batuk, muntah.
R/: aktivitas ini dapat meningkatkan intra thorak atau tekanan dalam thorak dan
tekanan dalam abdomen dimana aktivitas ini dapat meningkatkan tekanan TIK.
10. Kaji peningkatan istirahat dan tingkah laku oada opagi hari.
R/: tingkat non verbal ini meningkatkan indikasi peningkatan TIK atau memberikan
refleks nyeri dimana pasien tidak mampu mengungkapkan keluhan secara verbal,
nyeri yang tidak menurun dapat meningkatkan TIK
11. Palpasi pada pembesaran atau pelebaran blader, peertahgankanb drainase urine secara
paten jika digunakan dan juga monitor terdapatnya konstipasi.
R/: dapat meningkatkan respon automatic yang potensial menaikan TIK.
12. Berikan penjelasan pada klien (jika sadar) dan orangtua tentang sebab akibat TIK
meningkat.
R/: meningkatkan kerja sama dalam meningkatkan perawatan klien dan m engurangi
kecemasan.
13. Observasi tingkat kesadaran dengan GCS
R/: perubahan kesadaran menunjukkan peningkatan TIK dan berguna menentukan
lokasi dan perkembangan penyakit.

14. Kolaborasi :
 Pemberian oksigen sesuai indikasi
R/: Mengurangi hipoksemia, dimana dapat meningkatkan vasodilatasi serebral
dan volume darah dan menaikkan TIK
 Berikan cairan intravena sesuai dengan yang di indikasikan
R/: Pemberian cairan mungkin diinginkan untuk mengurangi edema serebral,
meningkatkan minimum pada pembuluh darah, tekanan darah, dan TIK.
 Berikan obat osmotic diuretic, conytohnya manitol, furosid.
R/: diuretik mungkin digunakan pada vase akut untuk mengalirkan air dari
brain cells, dan mengurangi edema serebral dan TIK.
 Berikan sterioid, contohnya deksametason, metal prednisolone
R/: untuk menurunkan inflamasi (radang) dan mengurangi edema jaringan
 Monitor hasil laboratorium sesuai dengan indikasi seperti prothombin, LED.
R/: membantu memberikan informasi tentang efektivitas pemberian obat.

Dx2: Gangguan rasa nyaman: Nyeri sehubungan dengan meningkatkanya tekanan


intracranial, terpasang shunt .

Data Indikasi : Adanya keluahan Nyeri Kepala, Meringis atau menangis, gelisah, kepala
membesar

Tujuan :Setelah dilaksakan asuhan keperawatan 2x24 jam diharapkan nyeri kepala klien
hilang.

Kriteria hasil: pasien mengatakan nyeri kepala berkurang atau hilang (skala nyeri 0),
dan tampak rileks, tidak meringis kesakitan, nadi normal dan RR normal.

Intervensi :

1. Kaji pengalaman nyeri pada anak, minta anak menunjukkan area yang sakit dan
menentukan peringkat nyeri dengan skala nyeri 0-5 (0 = tidak nyeri, 5 = nyeri
sekali)
R/: Membantu dalam mengevaluasi rasa nyeri.
2. Bantu anak mengatasi nyeri seperti dengan memberikan pujian kepada anak untuk
ketahanan dan memperlihatkan bahwa nyeri telah ditangani dengan baik.
R/: Pujian yang diberikan akan meningkatkan kepercayaan diri anak untuk
mengatasi nyeri dan kontinuitas anak untuk terus berusaha menangani nyerinya
dengan baik.
3. Pantau dan catat TTV.
R/: Perubahan TTV dapat menunjukkan trauma batang otak.
4. Jelaskan kepada orang tua bahwa anak dapat menangis lebih keras bila mereka ada,
tetapi kehadiran mereka itu penting untuk meningkatkan kepercayaan.
R/: Pemahaman orang tua mengenai pentingnya kehadiran, kapan anak harus
didampingi atau tidak, berperan penting dalam menngkatkan kepercayaan anak.
5. Gunakan teknik distraksi seperti dengan bercerita tentang dongeng menggunakan
boneka, nafas dalam, dll.
R/: Teknik ini akan membantu mengalihkan perhatian anak dari rasa nyeri yang
dirasakan.

Dx.3: Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan


dengan perubahan mencerna makanan, peningkatan kebutuhan metabolisme.

Tujuan: Setelah dilaksakan asuhan keperawatan 1x24 jam diharapkan


ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh teratasi dengan

Kriteria hasil: tidak terjadi penurunan berat badan sebesar 10% dari berat awal, tidak
adanya mual-muntah.

Intervensi :

1. Pertahankan kebersihan mulut dengan baik sebelum dan sesudah mengunyah


makanan.
R/: Mulut yang tidak bersih dapat mempengaruhi rasa makanan dan meninbulkan
mual.
2. Tawarkan makanan porsi kecil tetapi sering untuk mengurangi perasaan tegang pada
lambung.
R/: Makan dalam porsi kecil tetapi sering dapat mengurangi beban saluran
pencernaan. Saluran pencernaan ini dapat mengalami gangguan akibat hidrocefalus.
3. Atur agar mendapatkan nutrien yang berprotein/ kalori yang disajikan pada saat
individu ingin makan.
R/: Agar asupan nutrisi dan kalori klien adeakuat.
4. Timbang berat badan pasien saat ia bangun dari tidur dan setelah berkemih pertama.
R/: Menimbang berat badan saat baru bangun dan setelah berkemih untuk
mengetahui berat badan mula-mula sebelum mendapatkan nutrient
5. Konsultasikan dengan ahli gizi mengenai kebutuhan kalori harian yang realistis dan
adekuat.
R/: Konsultasi ini dilakukan agar klien mendapatkan nutrisi sesuai indikasi dan
kebutuhan kalorinya.
6. Makanan atau cairan, jika muntah dapat diberikan cairan infuse dekstrosa 5% 2-3
hari kemudian diberikan makanan lunak.

E. Pelaksanaan /implementasi
Pelaksanaan tindakan keperawatan anak dengan hydrosefhalus didasarkan pada rencana
yang telah ditentukan dengan prinsip :
1. Mempertahankan perfusi jaringan serebral tetap adequat .
2. Mencegah terjadinya injuri dan infeksi
3. Meminimalkan terjadinya persepsi sensori
4. Mengatasi perubahan proses keluarga dan antisipasi berduka

F. Evaluasi
Setelah tindakan keperawatan dilaksanakan evaluasi proses dan hasil mengacu pada
kriteria evaluasi yang telah ditentukan pada masing-masing diagnosa keperawatan
sehingga :
 Masalah teratasi atau tujuan tercapai (intervensi di hentikan)
 Masalah teratasi atau tercapai sebagian (intervensi dilanjutkan)
 Masalah tidak teratasi / tujuan tidak tercapai (perlu dilakukan pengkajian
ulang & intervensi dirubah).

DAFTAR PUSTAKA
1. Satyanegara. Buku Ajar Bedah Saraf Edisi IV. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama; 2010.
P.267- 89

2. Ibrahim S, Rosa AB, Harahap AR. Hydrocephalus in children. In: Sastrodiningrat AD, ed.
Neurosurgery lecture notes. Medan: USU Press; 2012. P.671-80.

3. Espay AJ. Hydrocephalus [internet]. [place unknown]: Medscape reference; 1994 [updated
2012 Sept 17; cited 2013 April 28]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1135286-overview

4. National Institute of Neurosurgical Disorders and Stroke [internet]. Bethesda: National


Institutes of Health; 2013 [cited 2013 April 28]. Available from:
http://www.ninds.nih.gov/disorders/hydrocephalus/hydrocephalus.htm

5. Rizvi R, Anjum Q. Hydrocephalus in children [internet]. Pakistan: Journal of Pakistan


Medical Association; 2005 [cited 2013 April 28]. Available from:
http://jpma.org.pk/full_article_text.php?article_id=956

6. Rashid QT, Salat MS, Enam K, Kazim SF, Godil SS, Enam SA, et al. Time trends and age-
related etiologies of pediatric hydrocephalus: results of a groupwise analysis in a clinical cohort.
Childs Nerv.

Muttaqin, Arif. 2008. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan System
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Mansjoer. A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran jilid 2. EGC: Jakarta.

Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Universitas Indonesia. Buku kuliah 2 Ilmu
kedokteran: EGC

Ngoerah, I Gusti Ngoerah. 2001. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Saraf. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC

Anda mungkin juga menyukai