Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

SPLENEKTOMI

I. Konsep Splenektomi
1.1. Definisi
Splenektomi adalah adalah sebuah metode operasi pengangkatan limpa,
yang mana organ ini merupakan bagian dari system getah bening.
Splenektomi biasanya dilakukan pada trauma limpa, penyakit keganasan
tertentu pada limpa (hodkin`s disease dan non-hodkin`s limfoma,
limfositis kronik, dan CML), hemolitik jaundice, idiopatik
trombositopenia purpura, atau untuk tumor, kista dan splenomegali.
Indikasi lainnya dilakukan splenektomi ialah pada keadaan luka yang
tidak disengaja pada operasi gaster atau vagotomy dimana melibatkan
flexura splenika di usus
1.2. Etiologi
Limpa berfungsi sebagai tempat berkembangnya sel-sel darah putih
untuk daya tahan tubuh, selain itu limpa juga berfungsi sebagai
penghancur sel darah merah dan trombosit. Pada pasien thalassemia,
kelebihan zat besi akibat transfusi juga ditimbun di limpa, hal ini
menguntungkan organ lain agar terlindung dari zat besi yang berbahaya.
Pada pasien thalassemia, pembesaran limpa terjadi akibat penghancuran
sel darah merah yang berlebih. Apabila limpa semakin membesar, fungsi
limpa tidak terkontrol dan menimbulkan beragam gejala yang disebut
hipersplenisme. Gejala hipersplenisme adalah limpa yang semakin
membesar, rasa penuh pada perut, tidak dapat makan banyak akibat
desakan limpa pada saluran cerna, rendahnya sel darah putih, sel darah
merah dan trombosit. Pada keadaan ini, pengangkatan limpa
(splenektomi) dapat dipertimbangkan.
1.3. Tanda gejala
Gejala pada splenektomi adalah hipersplenisme :
1.3.1. Limpa yang membesar
1.3.2. Rasa penuh pada perut
1.3.3. Tidak dapat makan banyak akibat desakan limpa pada saluran
cerna.
1.3.4. Leucopenia (rendahnya sel darah putih) yang menyebabkan
infeksi bakteri berulang dan trombositopenia (rendahnya
trombosit) yang menyebabkan perdarahan.
1.3.5. Meningkatnya kebutuhan transfuse yang tinggi yaitu apabila
pasien mendapatkan transfuse 200-220 ml/kg/tahun untuk
mempertahankan Hb >10 gr/dl.

1.4. Patofisiologi
Kebanyakan splenektomi dilaksanakan setelah pasien didiagnosa dengan
hypersplenisme. Hypersplenisme bukanlah suatu penyakit spesifik
hanyalah suatu sindrom, yang dapat disebabkan oleh beberapa penyakit.
Ditandai oleh perbesaran limpa (splenomegali), defek dari sel darah, dan
gangguan sistem turn over dari sel-sel darah.

Pada hipersplenisme terjadi destruksi sel darah merah yang berlebihan.


Sehingga usia sel darah merah menjadi lebih pendek, terbentuk antibodi
yang menimbulkan reaksi antigen sehingga sel-sel rentan terhadap
destruksi. Kejadian ini bisa terjadi pada salah satu sel darah atau dapat
terjadi menyeluruh seperti pada pansplenisme.

Hipersplenisme meriupakan keadaan patologi faal limpa yang


mengakibatkan kerusakan dan gangguan sel darah merah. Gambaran
kliniknya terdiri dari trias splenomegali, pansitopeni, dan hiperplasia
kompensasi sumsum merah. Pembagian antara hipersplenisme primer
dan sekunder ternyata kurang tepat dan tidak lagi digunakan.
Hipersplenisme primer adalah hipersplenisme yang belum diketahui
penyebabnya, pembesaran limpa akibat beban kerja yang berlebih akibat
sel abnormal yang melewati limpa yang normal. Sedangkan sekunder
jika telah diketahui penyebabnya dimana limpa yang abnormal akan
membuang sel darah yang normal maupun yang abnormal secara
berlebihan.

Sferositosis herediter adalah suatu penyakit akibat defek membran sel


darah merah sehingga sel darah merah terperangkap dalam limpa secara
berlebihan. Defek tersebut terjadi akibat defisiensi spektrin, suatu protein
rangka membran sel darah merah. Gambaran klinis beruapa anemia,
kelelahan, ikteruskadang ditemukan batu empedu berpigmen.

Splenektomi diindikasikan pada semua pasien tersebut untuk


menurunkan jumlah tangkapan sel darah merah abnormal dan koreksi
anemia. Saat operasi, penting untuk mencari adanya limpa assesorius.
Pengangkatan yang tidak adekuatakan memberikan pemulihan yang tidak
maksimal.

Tidak ada kelainan struktural dalam darah, akan tetapi membran sel
darah merah terbungkus olehantibodi sehingga sel darah merah tersebut
akan terperangkap dalam limpa sehinga menyebabkan hemolisis dan
anemia. Pasien biasanya diterapi dengan steroid dan penyakit yang
mendasarinya. Pasien yang tidak berespon terhadap streroid jangka
panjang dengan dosis tinggi merupakan calon untuk splenektomi. Sekitar
50 persen penderita berespon baik dengan splenektomi dan 30 persen
lainnya berespon baik terhadap kombinasi splenektomi dengan steroid
dosis rendah

Pada purpura trombopatik autoium, destruksi trombosit yang berlebihan


terjadi akibat pemaparan terus menerus dengan antibodi anti trombosit
dalam sirkulasi. Indikasi steroid bilamana pasien tidak berespon terhadap
terapi steroid jangka panjang dengan dosis tinggi.
1.5. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada splenektomi berupa USG

1.6. Komplikasi
1.6.1. Komplikasi sewaktu operasi
1.6.1.1. Trauma pada usus
a. Usus. Karena flexura splenika letaknya tertutup dan
dekat dengan usus pada lubang bagian bawah dari
limpa, ini memungkinkan usus terluka saat
melakukan operasi.
b. Perut. Perlukaan pada gaster dapat terjadi sebagai
trauma langsung atau sebagai akibat dari
devascularisasi ketika pembuuh darah pendek gaster
dilepas.
1.6.1.2. Perlukaan vaskular adalah komplikasi yang paling
sering pada saat melakukan operasi dapat terjadi
sewaktu melakukan hilar diseksi atau penjepitan
capsular pada saat dilakukan retraksi limpa.
1.6.1.3. Bukti penelitian dari trauma pancreas terjadi pada 1%-
3% dari splenektomi dengan melihat tigkat enzim
amylase. Gejala yang paling sering muncul adalah
hiperamilase ringan, tetapi tidak berkembang menjadi
pankreatitis fistula pankeas, dan pengumpulan cairan
dipankreas.
1.6.1.4. Trauma pada diafragma. Telah digambarkan selama
melakukan pada lubang superior tidak menimbulkan
kesan langsung jika diperbaiki. Pada laparoskopi
splenektomi, mungkin lebih sulit untuk melihat luka
yang ada di pneomoperitoneum. Ruang pleura
meruapakan hal utama dan harus berada dalam tekanan
ventilasi positf untuk mengurangi terjadinya
pneumotoraks
1.6.2. Komplikasi setelah operasi
1.6.2.1. Koplikasi pulmonal hampir terjadi pada 10% pasien
setelah dilakukan open splenektomi, termasuk
didalamnya atelektasis, pneumonia dan efusi pleura.
1.6.2.2. Abses subprenika terjadi pada 2-3% pasien setelah
dilakukan open splenektomi. Tetapi ini sangat jarang
terjadi pada laparoskopi splenektomi (0,7%). Terapi
biasanya dengan memasang drain di bawak kulit dan
pemkaian antibiotic intravena
1.6.2.3. Akibat luka seperti hematoma, seroma dan infeksi pada
luka yang sering terjadi setelah dilakukan open
splenektomi adanya gangguan darah pada 4-5% pasien.
Komplikasi akibat luka pada laparoskpoi splenektomi
biasanya lebih sedikit (1,5% pasien).
1.6.2.4. Komplikasi tromsbositosis dan dan trombotik. Dapat
terjadi setelah dilakukan laparoskopt splenektomi.
1.6.2.5. Ileus dapat terjadi setelah dilakukan open splenektomi,
juga pada berbagai jenis operas intra-abdominal
lainnya.
1.6.2.6. Infeksi pasca splenektomi (Overwhelming Post
Splenektomy Infection) adalah komplikasi yang lambat
terjadi pada pasien splenektomi dan bisa terjadi kapan
saja selama hidupnya. Pasien akan merasakan flu ringan
yang tidak spesifik, dan sangat cepat berubah menjadi
sepsis yang mengancam, koagulopati konsumtif,
bekateremia, dan pada akhirnya dapat meninggal pada
12-48 jam pada individu yang tak mempunyai limpa
lagi atau limpanya sudah kecil. Kasus ini sering
ditemukan pada waktu 2 tahun setelah splenektomi.
1.6.2.7. Splenosis, terlihat adanya jaringan limpa dalam
abdomen yang biasanya terjadi pada setelah trauma
limpa.
1.6.2.8. Pancreatitis dan atelectasis.

1.7. Penatalaksanaan
Indikasi dilakukannya splenektomi dapat dilihat sebagai berikut.
1.7.1. Elektif :
a. Kelainan hematologis
b. Bagian dari bedah radikal dari abdomen atas
c. Kista/tumor limpa
d. Penentuan stadium limfoma (jarang dikerjakan)
1.7.2. Darurat (Trauma)
Pendekatan terhadap limpa yang ruptur berbeda dari suatu
splenektomi elektif. Pasien yang mengalami trauma limpa harus
ditangani pertama kali dengan protokol ATLS (advanced trauma
life support) dengan kontrol jalan napas,pernapasan dan sirkulasi.
Bilas peritoneum atau pemeriksaan radiologis harus digunakan
untuk menilai cedera abdomen sebelum operasi.
1.7.3. Prosedur
Bisa digunakan insisi paramedian kiri atas, median, transversal
atau subkostal kiri. Pada kasus trauma, insisi mediana
memungkinkan akses yang lebih baik ke alat dalam lainnya.
a. Open splenektomi
Langkah pertama dan terpenting adalah memotong ligamen
lieno-renalis. Dengan berdiri di sebelah kanan pasien, dan
dengan asisten menarik perlahan pinggir kiri dari luka
operasi, jalankan satu tangan pada limpa ke bawah sampai
ligamen lieno-renalis. Dengan lembut, tarik limpa dan potong
ligamen lieno-renalis, mulai dari bagian bawah dan bergerak
ke atas kutup atas dengan menggunakan gunting dengan
gagang panjang.
Sekarang geser limpa ke atas dengan tangan kiri dan
perlahan-lahan dorong peritoneum dengan swab pada stick..
Jaringan terus disapu dari belakang limpa, saat limpa dibawa
ke arah luar. Kemudian omentum bisa dilepas dari kutup
bawah dengan memotong vasa gastroepiploica sinsitra antara
forsep arteri dan ligasi dengan benang serap. Pada tahap ini,
vasa brevia yang berjalan dari kutup atas limpa ke lambung
melalui ligamen gastro-lienalis harus diikat dan dipotong
sendiri-sendiri. Jaga untuk tidak merusak lambung.
Kemudian perhatian dialihkan ke pembuluh limpa. Jalankan
beberapa jari kiri ke sekeliling hilus dan palpasi cabang-
cabang arteri lienalis saat arteri tersebut memasuki limpa.
Dengan ibu jari pada kauda pankreas untuk melindunginya,
klip dan pisahkan cabang-cabang ini beserta vena-
venanya.Selanjutnya sisa ligamen gastro-lienalis bisa
dipotong. Limpa bisa diangkat dan pembuluh-pembuluh
utama diikat rangkap dua, arteri sebelum vena. Suction drain
ditempatkan pada rongga subfrenik dan dinding abdomen
ditutup lapis demi lapis.
b. Splenektomi darurat
Pada kasus ruptur limpa, perdarahan massif bisa
mengaburkan inspeksi. Prosedur pertama adalah
mengevakuasi bekuan secara manual dan dengan bantuan
suction. Jalankan tangan anda ke hilus untuk mengendalikan
perdarahan dengan menekan arteri dan vena lienalis di antara
telunjuk dan ibu jari. Jika perdarahan tidak berhenti, gunakan
klem non-crushing untuk menjepit hilus. Ini memungkinkan
penilaian terhadap tingkat kerusakan limpa. Jika tatalaksana
konservatif tidak berhasil, maka harus dilakukan splenektomi
formal.
Infeksi pasca splenektomi biasanya sering disebabkan oleh
bakteri tak berkapsul yaitu Streptococcus pneumoniae,
Haemophillus influenzae, dan Neisseria meningitides.
Patogen lainnya seperti Escherichia coli dan Pseudomonas
aeruginosa, Canocytophagia canimorsus, group B
streptococci, enterococcus spp, dan protozoa seperti
plasmodium.
Infeksi dari post splenektomi dapat dicegah dengan
memberikan pendekatan pada pasien dan imunisasi rutin,
pemberian antibiotic profilaksis, edukasi dan penanganan
infeksi yang segera.
1.8. Pathway

Thalasemia

Pembesaran limpa MK :

(hipersplenis,e) Kebutuhan nutrisi


berkurang

MK
Operasi
Cemas

Splenektomi

Post Op MK :

Resiko infeksi

Nyeri
II. Rencana Asuhan Klien dengan Meningitis
2.1. Pengkajian
2.1.1. Keluhan utama
2.1.2. Riwayat kesehatan sekarang
2.1.3. Riwayat kesehatan yang lalu
2.1.4. Riwayat kesehatan keluarga
2.1.5. Pemeriksaan fisik: data fokus
2.1.5.1. Data subyektif : Berupa keluhan (verbal) yang
didapat dari klien, keluarga klien atau tim kesehatan lain
yang terlibat pada perawatan klien.
2.1.5.2. Data objektif : data yang didapat dari hasil pemeriksaan:
tanda vital, GCS
2.1.6. Pemeriksaan penunjang

2.2. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul


Diagnosa 1: Nyeri akut (Wilkinson, 2011: 530)
2.2.1. Definisi
Pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan
akibat adanya kerusakan jaringan yang aktual atau potensial, yang
tiba-tiba atau perlahan dengan intensitas ringan sampai berat
dengan akhir yang dapat diantisipasi atau dapat diramalkan dan
durasinya kurang dari enam bulan.
2.2.2. Batasan karakteristik
2.2.2.1. Subjektif
Mengungkapkan secara verbal atau melaporkan nyeri
dengan isyarat
2.2.2.2. Objektif
Posisi untuk menghindari nyeri, perubahan tonus otot,
respons autonomik, perubahan selera makan, perilaku
distraksi, perilaku ekspresif, wajah topeng, perilaku
menjaga atau sikap melindungi, fokus menyempit, bukti
nyeri dapat diamati, berfokus pada diri sendiri dan
gangguan tidur.
2.2.3. Faktor yang berhubungan
Agen-agen penyebab cedera (misalnya biologis, kimia, fisik, dan
psikologis)

Diagnosa 2: Resiko infeksi


2.1.1. Definisi
Peningkatan resiko masuknya organisme patogen.
2.1.2. Batasan karakteristik
2.1.2.1. Subjektif
Mengungkapkan secara verbal atau melaporkan nyeri,
gatal dan bengkak dengan isyarat
2.1.2.2. Objektif
Luka tampak kemerahan, bengkak, dan terdapat tanda-
tanda peradangan

2.1.3. Faktor yang berhubungan


a. Prosedur Invasif
b. Ketidakcukupan pengetahuan untuk menghindari paparan
patogen
c. Trauma
d. Kerusakan jaringan dan peningkatan paparan lingkungan
e. Ruptur membran amnion
f. Agen farmasi (imunosupresan)
g. Malnutrisi
h. Peningkatan paparan lingkungan pathogen
i. Imunosupresi
j. Ketidakadekuatan imun buatan
k. Tidak adekuat pertahanan sekunder (penurunan Hb,
Leukopenia, penekanan respon inflamasi)
l. Tidak adekuat pertahanan tubuh primer (kulit tidak utuh,
trauma jaringan, penurunan kerja silia, cairan tubuh statis,
perubahan sekresi pH, perubahan peristaltik).
m. Penyakit kronik

2.2. Perencanaan
Diagnosa 1: Nyeri akut
2.2.1. Tujuan dan kriteria hasil (NOC)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama .......x24 jam,
diharapkan nyeri berkurang dengan kriteria :
2.2.1.1. Tingkat Kenyamanan :
Tingkat persepsi positif terhadap kemudahan fisik dan
psikologis
2.2.1.2. Pengendalian diri :
Tindakan individu untuk mengendalikan nyeri
2.2.1.3. Tingkat nyeri :
Keparahan nyeri yang dapat diamati atau dilaporkan
2.2.1.4. Memperlihatkan pengendalian nyeri yang dibuktikan
oleh indikator sebagai berikut (sebutkan 1-5: tidak
pernah, jarang, kadang-kadang, sering, atau selalu)
2.2.1.5. Menunjukkan tingkat nyeri , yang dibuktikan oleh
indikator sebagai berikut (sangat berat, berat, sedang,
ringan atau tidak ada): Ekspresi nyeri pada wajah,
gelisah atau ketegangan otot, durasi nyeri, merintih dan
menangis, gelisah.
2.2.2. Intervensi keperawatan dan rasional (NIC)
2.2.2.1. Manajemen Nyeri:
Meringankan atau mengurangi nyeri sampai pada tingkat
kenyamanan yang dapat diterima oleh klien
2.2.2.2. Pemberian Analgesik:
Menggunakan agens-agens farmakologi untuk
mengurangi atau menghilangkan nyeri
2.2.2.3. Manajemen Medikasi:
Memfasilitasi penggunaan obat resep atau obat bebas
secara aman dan efektif
2.2.2.4. Bantuan Analgesia:
Memudahkan pengendalian pemberian dan pengaturan
analgesik oleh klien
2.2.2.5. Manajemen Sedasi:
Memberikan sedatif, memantau respons klien, dan
memberikan dukungan fisiologis yang dibutuhkan
selama prosedur diagnostik atau terapeutik

Diagnosa 2: Resiko Infeksi


2.2.3. Tujuan dan kriteria hasil (NOC)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama .......x24 jam,
diharapkan tidak terjadi tanda-tanda infeksi dengan kriteria :
2.2.3.1. Meningkatkan penyembuhan luka dengan benar
2.2.3.2. Bebas dari tanda-tanda infeksi
2.2.4. Intervensi keperawatan dan rasional (NIC)
2.2.4.1. Awasi tanda-tanda vital
Dugaan adanya infeksi/terjadinya sepsis, abses,
peritonitis
2.2.4.2. Lakukan pencucian tangan yang baik dan perawatan
luka yang aseptic
Menurunkan risiko penurunan bakteri
2.2.4.3. Observasi keadaan luka dan insisi.
Memberikan deteksi dini terjadinya proses infeksi dan
pengawasan penyembuhan peritonitis yang tidak ada
sebelumnya
2.2.4.4. Kolaborasi dengan pemberian antibiotik sesuai
indikasi
Mungkin diberikan secara profilaktik atau menurunkan
jumlah organisme dan untuk menurunkan penyebaran
dan penyembuhan pada rongga abdomen

III. Daftar Pustaka


https://www.academia.edu/6559846/Laporan_Pendahuluan_dan_Askep_Splen
ectomy (diakses 16 April 2017).

Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2013). Aplikasi Asuhan Keperawatan


Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC Jilid 2. Edisi Revisi.
Jakarta: MediAction.

Sjamsuhidajat R, Wim de Jong (2007). Buku Ajar Ilmu Bedah. Penerbit Buku
Kedoktera EGC.

Wilkinson, J. M. (2011). Buku Saku Diagnosis Keperawatan: Diagnosis


NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC. Edisi Revisi. Jakarta:
EGC.
Banjarmasin, April 2017

Preseptor Akademik, Preseptor Klinik,

(...) (..)

Anda mungkin juga menyukai