Abstrak
Cawat hanoman (Labisia pumila) salah satu tanaman yang digunakan secara
empirik sebagai afrodisiaka di Kalimantan Selatan. Penggunaan secara tradisional
dengan meminum air rebusan akar cawat hanoman. Penelitian bertujuan
mengetahui dosis dan persentasi fraksi n-butanol akar cawat hanoman yang
memberikan efek afrodisiaka mencit putih jantan. Penelitian dilakukan dengan cara
non hormonal berdasarkan parameter introduksi, klimbing, dan koitus. Mencit
dikelompokkan dalam 5 kelompok, kontrol negatif (KN), kontrol positif mestrolon
(KP), dosis 2 mg/kgBB (K1), dosis 5mg/kgBB (K2), dosis 10mg/kgBB (K3).
Mencit jantan diadaptasi 5 menit setelah pemberian fraksi n-butanol, selanjutnya
dikumpulkan dengan 3 ekor mencit betina estrus dalam satu kandang. Jumlah
introduksi, klimbing, koitus dihitung dan dianalisis pada tingkat kepercayaan 95%.
Hasil analisis diperoleh perbedaan bermakna antara perlakuan dan terhadap kontrol.
Aktivitas afrodisiaka pada mencit putih jantan dosis 5 mg/kgBB (K2) memberikan
efek paling baik yakni introduksi 80,15%, klimbing 99,35%, koitus 100%
terhadap kontrol negatif dan memberikan efek introduksi -6,34%, klimbing
69,03%, dan koitus 91,30% terhadap kontrol positif. Fraksi n-butanol mengandung
senyawa golongan alkaloid, saponin dan steroid.
Keterangan : - pada uji alkaloid dengan penambahan pereaksi Meyer terdapat endapan putih, pada
pereaksi Dragendorff terdapat endapan coklat.
- terdapat busa yang mampu bertahan selama 10 menit
- warna berubah menjadi biru kehijauan
Uji Aktivitas Afrodisiaka
Uji aktivitas afrodisiaka fraksi n-butanol akar cawat hanoman dilakukan
dengan menghitung jumlah introduksi, klimbing, dan koitus mencit putih jantan
terhadap mencit putih betina. Introduksi, klimbing, koitus memberikan gambaran
besar kecilnya hasrat seksual mencit putih jantan terhadap mencit putih betina
sehingga dapat menentukan adanya pengaruh aktivitas fraksi n-butanol cawat
hanoman yang diberikan.
Pengamatan tingkah laku mencit putih jantan terhadap mencit putih betina
estrus sampai diperoleh jumlah introduksi, klimbing, koitus yang dilakukan pada
malam hari. Pengamatan dilakukan selama 1 jam dari jam 18.00-19.00 WITA
dengan pertimbangan bahwa mencit akan aktif pada jam tersebut dan di atas jam
tersebut mencit akan beristirahat dan sudah tidak aktif lagi.
Tabel 2. Hasil pengamatan jumlah introduksi, climbing, dan koitus mencit putih
jantan
Kelompok Rata-rata
Introduksi Klimbing Koitus
KN 12,5 0,2 0
KP 67 9,6 0,4
K1 39,6 20,8 2,6
K2 63 31 4,6
K3 62 7,6 0
Berdasarkan tabel 2 hasil introduksi yang dilakukan mencit jantan paling
besar pada dosis K2 yaitu rata-rata 63 kali, pada K3 yaitu rata-rata 62 kali dan
introduksi paling kecil dosis K1 yaitu rata-rata 39 kali.
Keterangan:
100
Introduksi (x)
0
KN KP Kelompok
K1 K2 K3
Gambar 4. Histogram hasil introduksi mencit putih jantan terhadap mencit putih betina setelah
pemberian Fraksi n-butanol, kontrol positif dan kontrol negatif.
Klimbing biasanya berlanjut pada koitus dengan diawali dengan introduksi
terlebih dahulu, namun terkadang pada waktu tertentu mencit jantan dapat langsung
melakukan klimbing tanpa diawali dengan introduksi dan tanpa diakhiri koitus.
Berdasarkan tabel 2 jumlah klimbing mencit jantan paling banyak ditunjukkan
secara berurutan pada K2, K1, KP, K3 dan KN (Gambar 5).
Betina Keteranga
Rata-rata Jumlah
4 Betina KN:
n: Kontrol Negatif
Klimbing (x)
Koitus (x)
3 KN:
20 K1 : 2 mg/kg BB
Kontrol
9.6 2
7.6 K2 : 5 mg/kg BB
0 0.4
Negatif
1 0 K3 : 10
: mg/kg BB
0.2 KP
0 Kontrol
0 Positif
Kelompok KN KP K1 K2 K3
Kelompok K1 : 2
KN KP K1 K2 K3
mg/kg BB
K2 : 5
Gambar 5. Histogram hasil klimbing & koitus mencit putih jantan terhadap mencit mg/kg
putih BBbetina
K3 : 10
setelah pemberian fraksi n-butanol, kontrol positif dan kontrol negatif. mg/kg BB
Koitus terjadi jika mencit jantan berhasil menunggangi mencit betina dan
terjadi penetrasi ke dalam vagina mencit betina. Hal ini ditandai dengan tidak ada
perlawanan dari mencit betina dan bagian ekor mencit betina terangkat ke atas.
Koitus terjadi setelah introduksi dan klimbing, namun koitus juga dapat terjadi
tanpa introduksi dan tidak dapat terjadi tanpa adanya klimbing terlebih dahulu
(Gambar 5). Gambar 5 menunjukkan koitus yang terjadi pada KP lebih rendah
dibanding K1 dan K2. Hal ini bisa disebabkan karena faktor fase estrus mencit
betina dan faktor lingkungan yang tidak mendukung. Pengaruh Mesterolon sebagai
kontrol positif juga juga dapat dikaji terkait masalah koitus yang terjadi pada KP
lebih kecil dibanding dengan K1 dan K2. Mesterolon diabsorpsi dengan sangat
cepat pada pemberian oral. Mesterolon dalam tubuh mencapai tingkat maksimum
setelah ± 1,6 jam dan kadarnya akan semakin menurun setelah 12-13 jam
pemberian (Sweetman, 2009). Menurut Wilson (1992), Mesterolon yang terabsorpsi
oleh tubuh dapat dimetabolisme secara cepat, dan waktu eliminasi t1/2 dari plasma
sangat singkat (Ferner, 1994). Hal tersebut memiliki kemungkinan untuk turut
berperan dalam tidak maksimalnya Mesterolon sebagai kontrol positif karena dalam
penelitian ini rentang waktu pengamatan hanya selama 1 jam. Secara teori, waktu
tersebut kurang dari waktu saat Mesterolon mencapai tingkat maksimum di dalam
tubuh.
Faktor lain yang juga dapat menjelaskan parameter klimbing dan koitus
tidak didapatkan nilai yang cukup besar ialah faktor lingkungan. Kemungkinan
yang terjadi bias karena adanya gangguan yang menyebabkan mencit tidak bisa
sampai ke tahap klimbing maupun koitus. Gangguan tersebut bisa berupa suara-
suara yang mengganggu mencit, maupun adanya getaran-getaran akibat benda yang
digeser dan suara langkah kaki. Pengkondisian mencit pada saat uji dilakukan juga
sangat berpengaruh misalnya saja kurangnya waktu beradaptasi sebelum mencit
diberi perlakuan.
Persentase perbedaan introduksi, klimbing dan koitus terhadap KP
dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar potensi aktivitas afrodisiaka dari
perlakuan masing-masing dosis dengan KP sebagai pembanding.
Tabel 3. Hasil persentase efek introduksi, klimbing dan koitus mencit putih jantan
terhadap kontrol negative dan positif
Kontrol Kelompok Efek Introduksi (%) Efek Klimbing (%) Efek Koitus (%)
DAFTAR PUSTAKA
Arnida. 2003. Uji Afrodisiaka Kayu Sanrego (Lunasia amara Blanco) Terhadap
Mencit Putih Jantan. Tesis Fakultas Farmasi UGM, Yogyakarta (tidak
dipublikasikan).
BNF 54. 2007. British National Formulary 54. BMJ Publishing Group LTD,
London.
Depkes RI. 1995. Materia Medika Edisi III. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Jakarta.
Kristanti, A.N., Aminah, N.S., Tanjung, M dan Kurniadi, B. 2008. Buku Ajar
Fitokimia Laboratorium Kimia Organik. Fakultas MIPA Universitas
Airlangga.