Anda di halaman 1dari 12

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pengambilan Sampel

Determinasi dilakukan dengan tujuan untuk memastikan kebenaran

bahan tumbuhan yang digunakan dalam penelitian. Hasil identifikasi yang

dilakukan di Laboratorium Jurusan Pendidikan Biologi FKIP UHO Kendari,

menunjukan bahwa sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun

beluntas dengan spesies Pluchea indica L., hasil determinasi tanaman dapat

dilihat pada Lampiran 1.

Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah daun beluntas yang

diperoleh di Jl. Buburanda Andounohu, Kota Kendari, Sulawesi Tenggara.

Daun beluntas diambil saat pagi hari (pukul 10.00) dimana pada jam tersebut

proses fotosintesis telah selesai dilakukan, hal ini bertujuan untuk memperoleh

kandungan senyawa secara optimal pada daun. Daun (Folium), diambil daun

tua (bukan daun kuning) daun kelima dari pucuk. Daun dipetik satu persatu

secara manual (Mullyani dkk, 2013).

Tanaman beluntas yang telah diperoleh dipisahkan antara daun dan

bagian batang. Berat sampel basah daun beluntas yang diperoleh sebesar 1 kg.

Daun yang diperoleh dibersihkan dengan air mengalir untuk menghilangkan

tanah dan pengotor lainnya yang masih melekat pada daun beluntas. Setelah

itu, dilakukan pengeringan dengan menjemurnya di bawah sinar matahari dan

dilapisi dengan kain hitam pada bagian atas dari sampel. Pengeringan tidak

dilakukan pada sinar matahari langsung karena pengeringan langsung dapat

22
merusak senyawa-senyawa yang tidak tahan panas yang terkandung didalam

sampel. Pengeringan tersebut bertujuan untuk mendapatkan simplisia yang

tidak mudah rusak, sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lama.

Simplisia yang telah kering, kemudian dipisahkan dari benda-benda

asing atau pengotor-pengotor lain yang masih ada pada simplisia, kemudian

ditimbang dan diperoleh berat simplisia kering sebesar 750 gram. Simplisia

kering selanjutnya di haluskan menggunakan blender. Penghalusan bertujuan

untuk mengubah ukuran sampel menjadi lebih kecil dengan luas permukaan

yang lebih besar sehingga dapat memaksimalkan proses ekstraksi secara

maserasi (Harbone, 1996).Selanjutnya dihitung rendamen simplisia daun

beluntas dan diperoleh rendamen sebesar 13,3 % Lampiran 2.

Pada proses ekstraksi, serbuk simplisia yang digunakan sebanyak 500

gram kemudian diekstraksi dengan pelarut etanol 96% sebanyak 4 liter dengan

menggunakan metode maserasi. Metode maserasi ini dilakukan untuk

mencegah rusaknya senyawa yang dapat terjadi apabila dilakukan metode

ekstraksi dengan cara panas. Pemilihan etanol 96% sebagai pelarut karena

etanol merupakan salah satu pelarut yang aman dan diperbolehkan atau

disarankan oleh BPOM 2009, dan juga menurut Farmakope IV (1995) etanol

memiliki kemampuan menyari mulai dari senyawa non polar sampai senyawa

polar.

Proses maserasi berlangsung selama 3x24 jam, artinya setiap 1x24 jam

residu dan filtrat harus dipisahkan dan diganti dengan pelarut yang baru yang

bertujuan memaksimalkan proses ekstraksi senyawa kimia yang terkandung di

23
dalam sampel. Diharapkan dari waktu maserasi tersebut pelarut dapat menarik

sebanyak-banyaknya senyawa dari sampel (Harbone, 1996). Filtrat dipekatkan

menggunakan Rotary Vacuum Evaporator untuk memperoleh ekstrak. Ekstrak

yang diperoleh kemudian ditimbang dan diperoleh berat ekstrak kental sebesar

93,2 gram. Nilai rendemen ekstrak kental diperoleh sebesar 18,64%.

B. Skrining Fitokimia

Tanaman obat telah memberikan sumbangan terhadap dunia kesehatan

baik secara individu maupun kolektif. Tanaman obat mengandung bahan aktif

penting terutama dari senyawa metabolit sekunder dengan struktur yang unik

dan bervariasi. Senyawa bahan alam dalam tanaman telah menyumbang

sekitar 40% dari bahan obat. Beberapa golongan senyawa metabolit sekunder

yang bersifat bioaktif di antaranya alkaloid, tanin, flavonoid (Edioga,2005).

Beluntas mengandung bermacam senyawa aktif, pada daun terkandung

senyawa aktif, yaitu alkaloid, flavonoid, tannin, minyak atsiri. Beluntas

merupakan salah satu tanaman sebagai obat antifertilitas (Susetyarini, 2011).

Skrining fitokimia dilakukan untuk mengetahui golongan senyawa

yang terkandung dalam ekstrak daun beluntas. Skrining fitokimia dilakukan

dengan metode uji tabung/uji warna menggunakan pereaksi-pereaksi yang

sesuai untuk golongan senyawa yang diuji yaitu alkaloid, flavonoid, saponin,

dan tanin. Hasil skrining fitokimia ekstrak daun beluntas (Pluchea indica L.)

dapat dilihat pada Tabel 2.

24
Tabel 2. Hasil skrining fitokimia.

Skrining fitokimia Pereaksi Hasil Kesimpulan Gambar

1 gram ekstrak + 5
Alkaloid mL HCl 2N + 3 Warna Jingga Positif
tetes pereaksi
Dragendorff

1 gram ekstrak +
Flavonoid serbuk Mg 0,2 gr + Warna Jingga Positif
3 tetes HCl

1 gram ekstrak + 1
Tanin mL besi (III) Warna Hijau Positif
klorida 0,5 M kehitaman

Menurut Susetyarini (2013) alkaloid dalam tanaman beluntas dapat

mempengaruhi proses spermatogenesis dimana alkaloid ini akan menekan

sekresi hormon reproduksi, yaitu hormon testosteron sehingga proses

spermatogenesis terganggu.

Uji kandungan alkaloid menggunakan pereaksi warna Dragendorff

yang terdiri dari larutan Bismuth subnitrat dan kalium iodida. Nitrogen dari

alkaloid akan membentuk ikatan kovalen koordinat dengan K+ yang

merupakan ion logam sehingga membentuk kompleks kalium-alkaloid yang

mengendap (Susanty, 2014). Hasil uji alkaloid yang telah dilakukan

25
menghasilkan larutan dengan warna jingga. Hal ini menunjukkan ekstrak daun

beluntas positif mengandung golongan alkaloid.

Sebagai antifertilitas, flavonoid akan menghambat enzim aromatase,

yaitu enzim yang mengakatalis konversi androgen menjadi estrogen yang akan

meningkatkan hormon testosterone (Susetyarini, 2013).

Dalam skrining fitokimia flavonoid dapat diuji keberadaannya

menggunakan Mg dan HCl pekat. Logam Mg dan HCl pekat berfungsi

mereduksi inti benzopiron yang terdapat pada struktur flavonoid sehingga

terbentuk perubahan warna menjadi merah atau jingga (Setyowati dkk., 2014).

Pada pengujian ini menunjukkan terbentuknya warna jingga yang merupakan

ciri adanya flavonoid pada ekstrak daun beluntas.

Seperti yang sudah diketahui sebelumnya bahwa tanin ternyata dapat

menyebabkan sperma menggumpal. Hal ini didukung oleh pernyataan

Susetyarini (2013), tanin dari daun beluntas (Pluchea indica L.) segar dapat

mempengaruhi kualitas spermatozoa (motilitas (5%), mortalitas (71,5%), dan

abnormalitas (24,25%). Senyawa aktif tanin diduga berperanan dalam

menurunkan jumlah sel spermiogenesis (Herdiningrat, 2002).

Pengujian tanin dilakukan dengan penambahan FeCl3 diperkirakan

akan menimbulkan warna biru tua, biru kehitaman atau hijau kehitaman.

Perubahan warna terjadi karena penambahan FeCl3 bereaksi dengan salah satu

gugus hidroksil yang ada pada senyawa tanin (Susanty, 2014). Pada pengujian

ini menunjukkan perubahan warna menjadi hijau kehitaman sehingga ekstrak

daun beluntas positif mengandung tanin.

26
Senyawa antifertilitas dari tumbuhan obat bekerja dengan 2 cara, yaitu

melalui efek sitotoksik dan melalui efek hormonal yang menghambat laju

metabolisme sel spermiogenesis dengan cara mengganggu keseimbangan

sistem hormon. Diduga tanin pada daun beluntas bekerja sebagai senyawa

antifertilitas melalui efek hormonal. Tanin pada daun beluntas mempunyai

struktur kimia mirip steroid. Steroid merupakan struktur dasar dari hormon

testosteron. Mekanisme kerja senyawa aktif masuk melalui biosintesis steroid

terutama testosteron sehingga akan dihasilkan bahan yang strukturnya mirip

testosteron (Nurliani, dkk, dalam Susetyarini, 2011).

Akibatnya testosteron mempunyai efek umpan balik negatif pada

kelenjar hipofisis anterior, sebagai penguat pada umpan balik hipofisis

anterior terhadap hypothalamus. Umpan balik ini secara khusus diduga

menghambat sintesis dan sekresi LH dan akan menurunkan sekresi testosteron

sehingga dapat menghambat pembentukan sperma pada proses

spermatogenesis (Susetyarini, 2011).

Hal tersebut diatas juga dapat dibuktikan dalam beberapa hasil

penelitian bahwa penggunaan ekstrak daun beluntas (Pluchea indica L.) dapat

menghambat proses pembentukan jumlah sel spermatozoa.

Pada penelitian Susetyarini (2009), menunjukan kadar hormon

testosteron setelah pemberian perlakuan senyawa aktif daun beluntas yang

berupa tanin, alkaloid dan flavonoid bahwa kadar testosteron tertinggi pada

tikus putih jantan yang diberi flavonoid sebesar 501,48 ng/dl. Kadar

testosterone yang diberikan tannin sebesar 194,00 ng/dl. Kadar testosteron

27
terendah pada tikus putih jantan yang diberikan alkaloid sebesar 158,50 ng/dl.

Hormon testosteron akan mempengaruhi proses spermatogenesis yang terjadi

ditestis tepatnya ditubulus seminiferus.

Pada penelitian Amalina dkk (2010) menggunakan metode post test

only controlled group design, pemberian ekstrak beluntas dapat mempengaruhi

penurunan jumlah rata-rata sel spermatid testis kiri dan testis kanan yang ditandai

dengan adanya penurunan yang signifikan jumlah rata- rata sel spermatid testis

kiri dan testis kanan untuk masing-masing kelompok Tingkat penurunan jumlah

rata-rata sel spermatid testis kiri dan testis kanan semakin besar sebanding dengan

besarnya dosis ekstrak beluntas yang diberikan.

Menurut Susetyarini (2015) semakin tinggi jumlah dosis yang

diberikan maka jumlah sel spermasid yang dihasilkan semakin menurun.

Hewan percobaan dalam perlakuan tersebut juga tidak tampak mengalami efek

samping ataupun mati akibat pemberian ekstrak beluntas. Oleh karena itu

masih memungkinkan untuk peningkatan dosis supaya untuk menentukan

dosis optimum untuk menghambat spermatogenesis.

C. Formulasi Sirup Ekstrak Daun Beluntas (Pluchea indica L.)

Formula sediaan sirup dibuat dengan menggunakan zat aktif utama

yaitu ekstrak etanol daun beluntas dengan tiga variasi konsentrasi yaitu 1%,

2% dan 3%. Tiap dosis dibuat masing-masing 100 mL. Salah satu faktor yang

terpenting dari keberhasilan pembuatan produk sirup adalah penggabungan

bahan-bahan tambahan sehingga akan menghasilkan cairan yang homogen, pH

yang sesuai syarat mutu sediaan sirup, dan tidak menyebabkan terjadinya

masalah saat penggunaan. Oleh karena itu, diperlukan bahan-bahan tambahan

28
yang sesuai agar menghasilkan produk sirup yang baik. Bahan tambahan yang

digunakan pada formulasi ini yaitu natrium benzoat, sorbitol, pengaroma

(oleum citrus), sirup simpleks serta aquades. Susunan formula sediaan sirup

ekstrak daun beluntas dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Formula sediaan sirup ekstrak daun beluntas (Pluchea indica L.)
Bahan Konsentrasi

F1 (%) F2 (%) F3 (%)


Ekstrak etanol
daun Beluntas 1 2 3
Natrium benzoat 0,02 0,02 0,02
Sorbitol 20 20 20
Sirup Simpleks 20 20 20
Oleum citri qs qs qs
Aquades Ad 100 mL Ad 100 mL Ad 100 mL

Pembuatan sediaan sirup dimulai dengan melarutkan bahan natrium

benzoat dalam aquades. Menurut Wijaya (2013), Kelarutan natrium benzoate

dalam air yang tinggi menjadikan natrium benzoat lebih sering digunakan

dibandingkan asam benzoat. Konsentrasi yang digunakan dalam formulasi

adalah sebesar 0,02%. Natrium benzoate digunakan sebagai antimikroba

dalam kosmetik, makanan dan obat-obatan dengan konsentrasi 0,02 – 0,5 %

pada kosmetik. Natrium benzoate memiliki kelarutan yang lebih besar

dibandingkan asam benzoat. Larutan dari natrium benzoat dapat diberikan

secara oral, intravena, atau untuk menentukan fungsi hati. Natrium benzoat

memiliki sifat bakteriostatik dan antijamur (Rowe, 2009). Ekstrak dilarutkan

dalam sirup simpleks sambil dipanaskan di atas hot plate. Tujuan pemanasan

ini adalah untuk mempercepat proses pelarutan ekstrak. Bahan selanjutnya

yang ditambahkan adalah sorbitol dan pengaroma (oleum citrus).

29
Penambahan sorbitol adalah sebagai perasa. Dibandingkan dengan

sukrosa, penyerapan sorbitol oleh tubuh lebih lambat (Suseno dkk, 2008).

Sorbitol secara luas digunakan sebagai eksipien dalam formulasi farmasi.

Dalam sediaan sirup efektif untuk mencegah kristalisasi disekitar tutup botol

(Rowe, 2009). Serta oleum citrus yang berfungsi sebagai pengaroma dalam

sediaan.

D. Uji Karakteristik Sediaan

1. Uji Organoleptik

Pemeriksaan organoleptik yang disebutkan juga sebagai uji indera

merupakan cara pengujian dengan menggunakan indera manusia sebagai

alat utama untuk pengukuran daya penerimaan terhadap produk. Pengujian

organoleptik terhadap sediaan sirup yang dihasilkan dilakukan dengan cara

mengamati langsung dari segi penampilan, warna, dan aroma dari sediaan

yang diamati secara visual. Hasil uji organoleptik dapat dilihat pada Tabel

4.

Tabel 4. Hasil pemeriksaan organoleptik sediaan sirup ekstrak etanol


daun beluntas (Pluchea indica L.)
Hasil
Konsntrasi
Warna Rasa Aroma
(%)
1 Hijau Jeruk Manis Khas Jeruk
2 Hijau Jeruk Manis Khas Jeruk
3 Hijau Jeruk Manis Khas Jeruk
Tanpa Ekstrak Bening Manis Khas Jeruk

Sediaan sirup harus memenuhi syarat mutu. Berdasarkan Soehatmo

dkk (2014), syarat mutu sediaan sirup untuk segi keadaannya yaitu aroma,

rasa dan warna dari sediaan yang khas.

30
Dari hasil uji organoleptik yang tertera pada Tabel 3. Menunjukan

bahwa sediaan yang dihasilkan sesuai syarat mutu sediaan sirup yang telah

ditetapkan yaitu ketiga sediaan memiliki aroma yang khas yaitu aroma

khas jeruk, warna hijau dan rasa jeruk manis. Aroma khas jeruk dan rasa

jeruk manis berasal dari bahan pengaroma Oleum citrus. Meskipun bahan

ini tidak dapat mengurangi fungsi sediaan sirup namun keberadaannya

dapat meningkatkan daya tarik dan tingkat kesukaan konsumen karena

dapat menutupi aroma khas dan rasa pahit dari ekstrak yang digunakan.

Warna hijau yang dihasilkan merupakan warna dasar dari ekstrak daun

beluntas.

2. Uji Homogenitas

Pada uji homogenitas semua sirup yang diuji tidak memiliki

gumpalan dan endapan dalam larutan, hal ini karena tidak terdapat

perbedaan sifat antara bahan dan zat aktif yang digunakan (Lachman,

1994). Hasil uji homogenitas dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Hasil uji homogenitas sediaan sirup ekstrak etanol daun


beluntas (Pluchea indica L.)
Konsentrasi (%) Hasil
1 Homogen (tidak mengendap)
2 Homogen (tidak mengendap)
3 Homogen (tidak mengandap)
Tanpa Ekstrak Homogen (tidak mengendap)

Hasil pengamatan menunjukkan formula sediaan memiliki susunan

yang homogen dan memenuhi kriteria yang diinginkan yaitu tidak adanya

gumpalan dan endapan. Sediaan sirup yang homogen mengindikasikan

31
bahwa bahan-bahan tambahan dan ekstrak daun beluntas tercampur

dengan baik.

3. Uji pH
Pengujian pH merupakan salah satu parameter yang penting karena

nilai pH yang stabil dari larutan menunjukkan bahwa proses distribusi dari

bahan dasar dalam sediaan merata. Nilai pH yang dianjurkan untuk sirup

adalah berkisar antara 4 – 7 (Lachman, 1994). Hasil uji pH dapat dilihat

pada Tabel 6.

Tabel 6. Hasil uji pH sediaan sirup ekstrak etanol daun beluntas


(Pluchea indica L.)
Konsentrasi (%) Hasil
1 5,30
2 5,38
3 4,94
Tanpa Ekstrak 7,34

Hasil pengujian pH menunjukan bahwa nilai pH dari sediaan sirup

yaitu pada konsentasi 1% pH sediaan adalah 5,30, konsentrasi 2% adalah

5,38, konsentrasi 3% adalah 4,94, dan pembuatan sediaam tanpa

penambahan ekstrak adalah 7,34. Nilai pH terrendah terdapat pada

sediaan sirup dengan konsentrasi sebesar 3%. Penurunan pH sediaan

disebabkan karena pH ekstrak yang cenderung asam, sehingga

menyebabkan pH sediaan yang menurun. Semakin tinggi konsentrasi

ekstrak yang terkandung dalam sediaan maka akan berpengaruh pada pH

sediaan. Walaupun terjadi penurunan pH pada sediaan sirup yang dibuat,

tetapi penurunan pH tidak signifikan yang berarti pH sirup relatif stabil.

Dari ketiga sediaan sirup yang diperoleh masih masuk dalam rentang batas

32
pH menurut (Lachman, 1994), sehingga masih aman untuk digunakan

pada sediaan oral. Pada pengujian pH semua sirup yang dihasilkan masih

memenuhi parameter nilai pH yang dipersyaratkan.

33

Anda mungkin juga menyukai