Anda di halaman 1dari 15

5 STATISTIK INFERENSIAL

Kompetensi

17) Memahami tujuan penggunaan statistik inferensial.


18) Merumuskan hipotesis nol dan hipotesis alternatifnya.
19) Menentukan taraf signifikansi dan derajad bebas.
20) Memahami distribusi normal dan ragam homogen.
21) Menguji normalitas data dan homogenitas ragam.

Statistik inferensial merupakan alat penelitian yang digunakan untuk menarik kesimpulan.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari statistik inferensial adalah apakah data atau kejadian-
kejadian yang diamati merupakan kejadian yang bersifat kebetulan ataukah kejadian yang
mengikuti pola tertentu. Kejadian yang kebetulan merupakan peristiwa yang acak (random),
yang tidak jelas faktor penyebabnya. Sebaliknya, kejadian yang berpola tertentu merupakan
peristiwa yang dapat diperkirakan karena kemungkinan faktor penyebabnya sudah diketahui.

Buah durian yang matang, misalnya, dapat jatuh pada siang maupun malam hari. Jika kita
membandingkan jumlah buah yang jatuh pada siang dengan malam hari, maka kita
mendapatkan bahwa pada malam hari lebih banyak buah yang jatuh daripada siang hari. Jika
pola perbedaan jumlah jatuhnya buah durian ini juga ditemukan pada hampir semua (90%)
pohon durian, maka dapat dinyatakan bahwa perbedaan jumlah buah durian jatuh tersebut
merupakan peristiwa yang mempunyai pola tertentu sehingga kita dapat memperkirakan
(memprediksi), dalam hal ini buah yang jatuh pada malam hari lebih banyak daripada siang
hari.

1. Hipotesis

Statistik inferensial bekerja dengan menggunakan hipotesis. Hipotesis merupakan dugaan


sementara berdasarkan teori atau temuan yang sudah ada. Hipotesis tersebut harus diuji dengan
data empiris. Di dalam penelitian ada dua macam hipotesis, hipotesis nol (null hypothesis) dan
hipotesis alternatif (alternatif hypothesis). Hipotesis nol menyatakan tidak ada perbedaan, tidak
ada korelasi, tidak ada hubungan, dan yang sejenisnya. Sebaliknya, hipotesis alternatif
menyatakan adanya perbedaan, adanya korelasi dan adanya hubungan.

59
Statistik inferensial bekerja hanya untuk menguji hipotesis nol. Menguji ada tidaknya
perbedaan lebih mudah daripada menguji ada tidaknya persamaan. Jika hipotesis nol ditolak,
maka berarti hipotesis alternatif diterima. Tujuan penelitian pada umumnya adalah untuk
menolak hipotesis nol. Jika kita gagal menolak hipotesis nol, bukan berarti penelitian tersebut
gagal, melainkan kita belum memiliki bukti untuk menolak hipotesis nol.

Tabel 5.1 Contoh-contoh hipotesis nol dan hipotesis alternatifnya.

Hipotesis nol Hipotesis alternatif


 Sampel berasal dari populasi yang  Sampel berbeda dari populasi yang
mempunyai rasio fenotip 9:3:1. mempunyai rasio fenotip 9:3:1.
 Ho: Rasio fenotip F2 = 9:3:1  Ha: Rasio fenotip F2 ≠ 9:3:1
 Jika perkawinan silang mempunyai
dua sifat beda dengan dominansi
penuh, maka rasio fenotip F2 = 9:3:1.
 Fenotip biji kacang pada F2 mengikuti  Fenotip biji kacang pada F2 mempunyai
rasio 1:2:1. rasio yang berbeda dari rasio 1:2:1.
 Ho: Rasio fenotip = 1:2:1  Ha: Rasio fenotip pada F2 ≠ 1:2:1
 Jika persilangan tersebut melibatkan
satu sifat beda, maka rasio fenotip F2
akan sama dengan 1:2:1.
 Tidak ada asosiasi antara kelimpahan  Ada asosiasi antara kelimpahan (frekuensi
(frekuensi kehadiran) populasi kehadiran) populasi barnakel Chtamalus
barnakel Chtamalus dan Balanus di dengan Balanus di lokasi penelitian.
lokasi penelitian.  Ho: fc ≠ fb
 Ho: fc = fb  Jika ada asosiasi antara kehadiran barnakel
 Jika tidak ada asosiasi antara barnakel Chtamalus dengan Balanus, maka
Chtamalus dengan Balanus, maka distribusi frekuensi kedua populasi tidak
distribusi frekuensi kelimpahan homogen di semua lokasi.
keduanya homogen di semua lokasi.

 Tidak ada korelasi antara IPK alumni  Ada korelasi antara IPK alumni dengan
dengan besar gaji pada tahun pertama besar gaji pada tahun pertama bekerja.
bekerja.  Ho: ρ ≠ 0

60
 Ho: ρ = 0  Jika ada korelasi antara IPK alumni dengan
 Jika tidak ada korelasi antara IPK besar gaji tahun pertama, maka koefisien
alumni dengan besar gaji tahun korelasi tidak sama dengan nol.
pertama, maka koefisien korelasi
sama dengan nol.
 Nilai ujian formatif siswa yang diajar  Nilai ujian formatif siswa yang diajar
dengan media animasi tidak berbeda dengan media animasi berbeda dengan
dengan yang diajar dengan media yang diajar dengan media poster.
poster.  Ha: 𝑋 ≠ 𝑋
 Ho: 𝑋 = 𝑋  Jika siswa diajar dengan menggunakan
 Jika efektivitas media poster dan media animasi, maka nilai ujian
animasi tidak berbeda, maka nilai formatifnya berbeda dengan yang belajar
ujian formatif kelas yang belajar menggunakan media poster.
menggunakan media animasi sama
dengan yang menggunakan media
poster

 Rerata laju respirasi kepiting tidak  Rerata laju respirasi kepiting berbeda
berbeda di tiga perlakuan suhu air. (tidak sama) minimal di salah satu
 Ho: 𝑋 = 𝑋 = 𝑋 perlakuan suhu air.
 Jika suhu tidak berpengaruh pada laju  Ha: 𝑋 = 𝑋 ≠ 𝑋
respirasi kepiting, maka rerata laju  Jika suhu berpengaruh pada respirasi
respirasi kepiting relatif sama kepiting, maka rerata laju respirasinya akan
walaupun hidup pada kondisi suhu berbeda pada kondisi suhu yang berbeda.
yang berbeda.

Hipotesis yang tertulis di dalam Tabel 5.1 di atas merupakan hipotesis dua arah (two-tailed).
Hipotesis alternatif untuk uji perbedaan dapat juga bersifat satu arah (one tailed). Hipotesis
satu arah menyatakan hanya satu arah perbedaan, lebih besar atau lebih kecil. Hipotesis dua
arah menyatakan dua arah perbedaan, boleh lebih besar dan boleh juga lebih kecil. Hipotesis
satu arah tersebut mempunyai nilai harga kritis statistik yang berbeda dari hipotesis dua arah.

61
Contoh hipotesis satu arah sebagai berikut:

Ha: 𝑋 ≥ 78,56, atau Ha: 𝑋 ≤ 78,56

Ha: 𝑋 ≥ 𝑋 , atau Ha: 𝑋 ≤ 𝑋

2. Taraf Signifikansi

Taraf signifikansi adalah peluang melakukan kesalahan Tipe Pertama. Ada dua macam peluang
kesalahan di dalam membuat kesimpulan dengan uji statistik. Kesalahan menolak Ho yang
benar disebut dengan kesalahan Tipe Pertama, sedangkan kesalahan untuk menerima Ho yang
salah disebut dengan kesalahan Tipe Kedua. Besarnya kesalahan Tipe Pertama ditentukan
sebelum penggunaan statistik, sedangkan besarnya kesalahan Tipe Kedua dihitung setelah uji
statistik. Di dalam publikasi, kebanyakan peneliti hanya mengungkapkan tingkat kesalahan
Tipe Pertama.

Peluang kesalahan dalam pengambilan kesimpulan terhadap Ho, atau taraf signifikansi, secara
tidak langsung menjadi perkiraan ukuran tingkat kebenaran suatu kesimpulan dari sampel
terhadap populasi. Taraf signifikansi biasanya dinyatakan dengan P atau α. Semakin kecil nilai
α maka semakin tinggi tingkat kebenaran kesimpulan tersebut. Di dalam metode ilmiah,
kesalahan dalam membuat kesimpulan harus terukur. Analisis statistik akan memberikan
kesimpulan untuk menolak atau menerima hipotesis nol, dengan tingkat kesalahan yang
terukur. Peluang pengambilan kesimpulan yang salah tersebut diukur sebagai taraf signifikansi
atau α.

Tabel 5.2 Pengujian hipotesis dan pengambilan keputusan.

Keputusan statistik Situasi sebenarnya


Ho benar Ho salah
Terima Ho Kesimpulan benar Kesalahan Tipe Kedua
Kepercayaan = 1 - α P (Tipe II) = β

Tolak Ho Kesalahan Tipe Kesimpulan benar


Pertama Kekuatan (power) = 1
P (Tipe I) = α -β

62
Besarnya taraf kesalahan Tipe Pertama (α) adalah peluang peneliti untuk menolak hipotesis
nihil (Ho) yang benar. Secara konvensional, batas maksimal taraf kesalahan Tipe Pertama
adalah 0.05 atau 5%. Jika diketahui bahwa taraf kesalahan (α) lebih besar dari 0.05 maka kita
membuat kesimpulan bahwa Ho diterima. Dalam penelitian kedokteran, taraf kesalahan (α) 5%
masih dapat dianggap terlalu besar sehingga batas penolakan Ho dinaikkan menjadi 1%, karena
kesimpulannya mempunyai dampak atau resiko yang besar, misalnya dalam uji obat baru pada
manusia. Jika taraf kesalahan ditetapkan 5%, maka peluang kesalahan kita untuk menerima Ho
yang salah adalah 0.05.

Kesimpulan dari penggunaan suatu statistik inferensial adalah menolak atau menerima
hipotesis nol. Penerimaan atau penolakan Ho menunjukkan ada atau tidak adanya perbedaan
(atau korelasi atau asosiasi) yang signifikan di antara variabel yang diuji. Kata “signifikan”
berarti “bermakna”. Adanya perbedaan yang signifikan adalah terdeteksinya perbedaan yang
terjadi tidak secara kebetulan atau tidak random, melainkan perbedaan yang mengikuti pola
tertentu. Misalnya, peneliti menemukan perbedaan rata-rata jumlah daun antara kelompok pot
yang diberi pupuk dan kelompok pot yang tidak diberi pupuk. Jika perbedaan tersebut
disebabkan oleh pemberian pupuk, maka ada pola bahwa setiap pemberian pupuk akan
menyebabkan adanya perbedaan. Demikian juga kesimpulan tentang adanya korelasi atau
kesesuaian yang signifikan mempunyai arti bahwa adanya korelasi atau asosiasi tersebut
bukanlah karena faktor kebetulan, tetapi memang ada pada sebagian besar hubungan antara
kedua variabel yang diteliti.

3. Derajat bebas

Derajat bebas dapat didefinisikan sebagai jumlah observasi bebas (independent) yang terkait
dengan pendugaan ragam, atau lebih umum terkait dengan penghitungan jumlah kuadrat. Di
dalam statistik parametrik, derajat bebas merupakan bilangan pembagi. Nilai derajat bebas
suatu uji statistik tergantung pada jumlah atau besar sampel. Jumlah maksimal besar sampel
yang diperoleh dari suatu populasi adalah 𝑛 − 1. Pendugaan ragam menggunakan rumus 𝑆 =
∑(𝑦 − 𝑦)/(𝑛 − 1), derajat bebasnya adalah 𝑛 − 1.

Derajat bebas digunakan untuk menentukan nilai atau harga kritis suatu statistik. Nilai kritis
suatu statistik dapat dilihat pada beragam tabel yang telah tersedia, misalnya Tabel Nilai Kritis
t, Tabel Nilai Kritis F, atau Tabel Nilai Kritis 𝜒 . Sebagian dari tabel-tabel tersebut

63
diperkenalkan di dalam lampiran. Pada Uji t dengan α = 0.05, misalnya, nilai kritis t adalah
2.131 pada db = 15 dan nilai kritisnya adalah 2.086 pada db = 20.

Dalam uji statistik koefisien korelasi (r) atau uji t, derajat bebas secara sederhana didefinisikan
sebagai db = n - 1. Jika data disajikan dalam bentuk tabel, misalnya pada uji Chi Kuadrat (𝜒 ),
derajat bebas didefinisikan sebagai db = k – 1, dimana k=jumlah kolom; atau db = r – 1, dimana
r=jumlah baris; atau db = (k – 1) (r – 1) jika tabelnya mempunyai dua variabel, baris dan kolom.

Pada uji F terdapat lebih dari dua derajat bebas, yaitu db pembilang dan pembagi. Db
pembilang merupakan pembagi dari SS perlakuan, sedangkan db pembagi adalah db dari SS
galat. Kedua derajat bebas tersebut menentukan ditolak atau diterimanya hipotesis nol. Derajat
bebas keduanya secara berurutan dihitung dengan rumus db = k – 1 dan db = n – 1; dimana k
= jumlah perlakuan, sedangkan n = jumlah sampel.

4. Nilai Kritis

Nilai atau harga kritis adalah batas wilayah penolakan dan penerimaan hipotesis nol. Nilai kritis
suatu statistik tersedia dalam bentuk tabel. Jika nilai statistik hasil penghitungan data (misalnya
Fhitung, thitung, 𝜒 hitung) lebih besar daripada nilai harga kritis di dalam tabel (misalnya Ftabel, ttabel,
𝜒 tabel), maka hipotesis nol ditolak. Sebaliknya, jika nilai statistik hasil penghitungan lebih kecil
daripada harga kritis dalam tabel, maka Ho diterima atau gagal ditolak. Istilah ‘gagal ditolak’
digunakan karena pada banyak penelitian kita ingin menolak Ho dan menrima Ha.

Distribusi sampel dari uji statistik dibagi menjadi dua wilayah, yaitu wilayah penolakan Ho
dan wilayah penerimaan Ho. Jika hasil perhitungan uji statistik jatuh di wilayah penolakan H o,
maka kesimpulannya bahwa Ho tersebut salah (Gambar 5.1). Nilai-nilai di dalam wilayah
penolakan Ho ini sangat kecil kemungkinannya muncul jika Ho benar. Nilai-nilai di wilayah
tersebut sangat mungkin muncul jika Ho salah, sehingga Ho harus ditolak.

Setiap uji statistik membutuhkan Tabel Nilai Kritis dari statistik tersebut. Uji Chi-kuadrat,
misalnya, membutuhkan Tabel Nilai Kritis Chi-kuadrat; Uji t membutuhkan Tabel Nilai Kritis
t; demikian juga Uji F memerlukan Tabel Nilai Kritis F. Tabel Nilai Kritis Chi-kuadrat bahkan
tidak hanya digunakan untuk menguji signifikansi hasil penghitungan Chi-kuadrat, tetapi juga
digunakan untuk menentukan hasil Uji G, Uji Kruskall-Wallis, Uji Kolmgorov-Smirnov, dan

64
sejenisnya. Banyak statistik non-parametrik yang menggunakan Tabel Chi-kuadrat sebagai
acuan pengujian hipotesisnya.

Gambar 5.1 Wilayah penerimaan dan penolakan hipotesis nol.

Contoh Latihan 5.1

Dalam suatu penelitian, peneliti ingin menguji kesesuaian fenotip F 2 bunga bakung dengan
warna merah : pink : putih dengan rasio 1:2:1. Dari 151 bunga yang diambil datanya diperoleh
Chi-kuadrat hitung = 3.245.

Derajad bebas dari Chi-kuadrat adalah k-1; k=jumlah kategori. Dalam penelitian tersebut ada
3 kategori (warna bunga), sehingga db = 3 – 1 = 2. Dengan db = 2 dan α = 0.05 diperoleh Chi-
kuadrat tabel 5.991 (lihat Tabel C). Chi-kuadrat hitung ternyata lebih rendah dibandingkan Chi-
kuadrat tabel, sehingga kita gagal menolak Ho.

Contoh Latihan 5.2

Pada contoh kasus yang lain, peneliti ingin menguji perbedaan rerata (𝑋) upah harian antara
dua kelompok, dengan Uji t. Jumlah sampel nA = 23 dan nB = 20. Dengan penghitungan yang
akan dijelaskan pada Bab 8 nanti, diperoleh t hitung = 1.931.

Uji t pada kasus di atas mempunyai satu db, yaitu 𝑛 + 𝑛 − 2, sehingga diperoleh db = 41.
Pada Tabel E (hal. 101), nilai kritis t pada taraf signifikansi 5% dalam uji dua arah adalah t (0.05,
2, 41) = 2.020. Hasil uji t menunjukkan bahwa 𝑡 <𝑡 , sehingga Ho gagal ditolak atau
rerata kedua kelompok tersebut tidak berbeda.

65
Contoh Latihan 5.3

Peneliti menggunakan Uji F untuk menguji homogenitas ragam dua set data berat umbi ubi
jalar. Jumlah sampel 𝑛 = 11 dan 𝑛 = 15. Kedua ragam tersebut adalah 𝑆 = 232.982 dan
𝑆 = 162.895. F hitung adalah rasio ragam terbesar dengan ragam terkecil, 𝐹 = 1.430.

Uji F mempunyai 2 derajat bebas (db). Di dalam rumus F tersebut 𝑆 sebagai pembilang
sedangkan 𝑆 sebagai penyebut. Derajat bebas (db) pembilang = 𝑛 − 1 = 11 − 1 = 10 ,
sedangkan db penyebut = 𝑛 − 1 = 15 − 1 = 14. Di dalam Tabel F (hal. 102) nilai kritis F
dengan taraf signikansi 5% (α=0.05) diperoleh F(0.05, 10,14) = 2.602. Uji homogenitas ragam
tersebut menunjukkan 𝐹 <𝐹 , sehingga Ho diterima atau kedua ragam adalah
homogen.

5. Distribusi Normal dan Homogenitas Ragam

Semua statistik inferensial yang termasuk dalam kelompok parametrik, Uji t dan Uji F,
dikembangkan berdasarkan tiga asumsi dasar:

a) Sampel diambil secara acak (random) dari populasi yang mempunyai distribusi normal;
b) Populasi-populasi yang diambil sampelnya mempunyai ragam yang homogen;
c) Pengaruh dari tingkatan faktor bersifat aditif atau linear

Dalam kenyataannya, pengaruh dari tingkatan faktor hampir selalu bersifat linier. Dalam
pengujian statistik parametrik kita harus selalu waspada dengan normalitas data dan
homogenitas ragam. Data yang terdistribusi normal umumnya juga menunjukkan homogenitas
ragam, sehingga salah satu atau kedua asumsi dasar tersebut harus dipenuhi oleh data yang
akan diuji. Pengujian distribusi normal atau homogenitas ragam perlu dilakukan sebelum kita
memutuskan statistik mana yang akan digunakan. Pelanggaran terhadap asumsi dasar ini,
dalam skala tertentu, dapat menyebabkan penarikan kesimpulan yang salah.

Data yang terdistribusi normal jika digambarkan dalam grafik histogram akan tampak seperti
kurva yang mirip dengan bentuk bel. Sebaran data di sebelah kiri dan kanan dari rerata relatif
sama. Data yang tidak terdistribusi normal dapat mengikuti distribusi miring sebelah (skewed)
mirip huruf S atau S terbalik, atau terdistribusi secara binomial dengan dua puncak. Secara

66
sederhana data yang terdistribusi normal mempunyai titik nilai rerata (mean) dan median yang
hampir sama.

Ragam yang homogen berarti nilai ragam terbesar dengan terkecil tidak berbeda. Homogenitas
ragam diuji dengan membandingkan membandingkan kedua ragam tersebut, terbesar dibagi
terkecil. Jika jumlah sampel (n) kedua sampel 10, maka ragam yang homogen mempunyai
perbandingan atau rasio kedua ragam maksimal 3.179 (diperoleh dari tabel, F(0.05, 9,9) = 3.179).
Jika rasio ragam lebih besar dari nilai F tabel, maka ragam antar perlakuan tidak homogen.

Data yang bersifat aditif atau linear, akan menunjukkan garis lurus jika variabel X dan Y
diplotkan dalam sebuah grafik. Sekarang sudah banyak sekali perangkat lunak statistik yang
dengan mudah dapat menguji normalitas, homogenitas ragam, dan linearitas data. Kita dapat
diketahui sifat ketiga parameter tersebut dengan perangkat lunak yang tersedia, sehingga tidak
ada alasan untuk tidak menguji asumsi dasar statistik parametrik.

Uji Normalitas D’Agustino

Uji normalitas ini menggunakan statistik yang disebut D, yang merupakan cara yang sangat
kuat untuk mendeteksi penyimpangan dari distribusi normal. Cara ini termasuk rumit terutama
jika jumlah sampelnya besar (>30) karena membutuhkan perhitungan yang panjang, walaupun
sebenarnya perhitungannya sederhana.

Rumus yang digunakan untuk menghitung sebagai berikut:

𝑇
𝐷=
√𝑛 𝑆𝑆

𝑛+1
𝑇= 𝑖− 𝑋
2

Jumlah kuadrat (SS) dari data yang berbentuk frekuensi dihitung sebagai berikut:

(∑ 𝑓 𝑋 )
𝑆𝑆 = 𝑓𝑋 −
𝑛

Contoh Latihan 5.4

Seorang peneliti ingin membandingkan nilai praktikum Kimia di dua kelas, dengan jumlah
siswa 30 dan 40. Sebelum menguji perbedaan rerata antara kedua kelas dengan Uji t, peneliti

67
ingin mengetahui apakah data telah terdistribusi normal. Data nilai praktikum kedua kelas
tersebut digabung (70 siswa) untuk dilakukan uji normalitas distribusi data.

Ho: Data sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal


Ha: Data sampel tidak berasal dari populasi yang berdistribusi normal.

𝑋 𝑓 𝑓𝑋 𝑓𝑋 𝑖
65 2 130 8450 1,2
66 2 132 8712 3,4
67 3 201 13467 5,6,7
68 5 340 23120 8,9,10,11,12
69 4 276 19044 13,14,15,16
70 6 420 29400 17,18,19,20,21,22
71 5 355 25205 23,24,25,26,27
72 8 576 41472 28,29,30,31,32,33,34,35
73 7 511 37303 36,37,38,39,40,41,42
74 7 518 38332 43,44,45,46,47,48,49
75 9 675 50625 50,51,52,53,54,55,56,57,58
76 6 456 34656 59,60,61,62.63,64
77 4 308 23716 65,66,67,68
78 2 156 12168 69,70

n = 70
∑ 𝑓 𝑋 = 5054 ∑ 𝑓 𝑋 = 365 670

( )
𝑆𝑆 = 365670 − = 771.20

𝑛 + 1 70 + 1
= = 35.50
2 2

𝑇 = (1 − 35.5)65 + (2 − 35.5)65 + (3 − 35.5)66 + (4 − 35.5)66 + (5 − 35.5)67 + (6 −


35.5)67 + (7 − 35.5)67 + ⋯ + (68 − 35.5)77 + (69 − 35.5)78 + (70 − 35.5)78 =
4632.00

4632.00
𝐷= = 0.2848
√70 ∗ 771.20
68
Di dalam tabel nilai kritis D pada α=0.05 dan n=70, nilai D0.05,70 adalah 0.2726 dan 0.2864.
Nilai Dhitung berada di antara kedua nilai kritis Dtabel sehingga Ho diterima. Data yang diuji
mempunyai distribusi normal.

Cara membaca Tabel Nilai Kritis D sebagai berikut:


1) Lihat pada kolom taraf signifikansi yang digunakan (α = 0.05)
2) Lihat jumlah sampel (n), dalam hal ini 70
3) Lihat nilai kritis D pada α=0.05 dan n=70, ada dua nilai kritis yaitu 0.2726 dan 0.2864

Uji Homogenitas Ragam

Pengujian homogenitas ragam dilakukan dengan menggunakan ragam yang paling besar
perbedaannya, yaitu ragam terbesar (maksimal) dan ragam terkecil (minimal). Jika kedua
ragam yang paling jauh bedanya homogen, maka ragam-ragam yang lain juga akan homogen.
Cara yang paling mudah untuk menguji terpenuhinya asumsi dasar homogenitas ragam adalah
dengan melakukan Uji F. Nilai F merupakan rasio dari ragam terbesar dengan ragam terkecil.
𝑆²
𝐹=
𝑆 ²

Contoh Latihan 5.5

Dalam penelitian tentang kelimpahan populasi landak laut Echinometra mathaei di Pantai
Mandalika, peneliti ingin mengeksplorasi perbedaan landak laut di tiga transek. Kelimpahan
landak laut diukur berdasarkan jumlah individu landak laut di dalam kuadrat ukuran 1 m 2.
Sebelum melakukan Uji F (perbedaan >2 rerata) peneliti harus memastikan bahwa data yang
diperolehnya mempunyai ragam yang homogen. Ragam dari landak laut di ketiga transek
tersebut dan jumlah kuadrat (n) sebagai berikut.
Transek 1 n1=5 𝑆 ² = 3.543
Transek 2 n2=5 𝑆 ² = 2.254
Transek 3 n3=6 𝑆 ² = 6.443
Dalam penelitian ini kedua ragam yang digunakan dalam Uji F adalah yang kedua dan ketiga.

𝐻 ∶ 𝑆 ²=𝑆 ²

𝐻 ∶ 𝑆 ²≠𝑆 ²

6.443
𝐹= = 1 = 2.858
2.254
69
Di dalam Tabel F (halaman 102) pada α=0.05 dengan db1=5, db2=4 diperoleh nilai F(0.05, 5, 4) =
6.256. Nilai F hitung lebih kecil daripada nilai F tabel sehingga 𝐻 diterima. Ragam data
kelimpahan ketiga transek tersebut terbukti homogen.

Cara menggunakan Tabel Nilai Kritis F:


1) Tentukan db pembilang dan penyebut dalam rumus F: dbpembilang= 6 – 1 = 5 dan
dbpenyebut= 5 – 1 = 4
2) Pilih taraf signifikansi yang digunakan, α=0.05
3) Tentukan nilai kritis F pada db1=5, db2=4 dan α=0.05, yaitu 6.256

6. Transformasi Data

Pelanggaran asumsi dasar tentang normalitas data dan homogenitas ragam akan menghasilkan
kesimpulan yang keliru. Jika data yang tersedia tidak memenuhi asumsi dasar statistik
parametrik tersebut, maka dapat dilakukan transformasi data sampai asumsi dasar tersebut
terpenuhi. Jika upaya transformasi data tetap tidak dapat menghasilkan ragam yang homogen,
maka data tersebut dianalisis dengan metode statistik non-parametrik. Walaupun kekuatan
kesimpulan statistik non-parametrik tidak sebaik statistik parametrik, tetapi akan menghasilkan
kesimpulan yang lebih baik daripada penggunaan statistik parametrik yang melanggar asumsi.
Sebelum memilih statistik non-parametrik disarankan untuk melakukan transformasi data.

Data yang tidak terdistribusi normal, atau ragamnya tidak homogen, atau faktornya tidak linier
dapat ditransformasi menjadi data yang terdistribusi normal dengan ragam yang homogen dan
pengaruh yang linier. Ada dua macam transformasi data yang sering digunakan, yaitu
transformasi logaritmik dan akar kuadrat.

Transformasi logaritmik biasanya digunakan untuk mengubah pengaruh faktor yang tidak
linier menjadi linier, atau yang tidak bersifat aditif (misalnya bersifat multiplikatif) menjadi
bersifat aditif. Transformasi logaritmik dapat dilakukan dengan rumus berikut:

𝑋 = log 𝑋, atau

𝑋 = log (𝑋 + 1), jika di dalam data banyak nilai 0 atau jumlah data sedikit.

Transformasi akar kuadrat umumnya digunakan untuk meningkatkan homogenitas ragam.


Data semacam ini banyak dijumpai pada data Biologi terutama jika sampelnya diambil dari

70
populasi yang mengikuti distribusi Poisson. Transformasi akar kuadrat dilakukan dengan
rumus berikut:

𝑋′ = 𝑋 + , atau

𝑋′ = 𝑋 + , jika jumlah data sedikit atau data banyak mengandung angka 0; atau

𝑋 = √𝑋 + √𝑋 + 1, jika nilai X ≤ 2.

Transformasi data yang lain juga dapat digunakan untuk memenuhi asumsi dasar statistik
parametrik, misalnya:

𝑋′ = ;

𝑋 = ;

𝑋′ = 𝑋 .

Contoh Latihan 5.6

Berikut ini adalah data jumlah kelompok fungsional karang pada terumbu karang di Raja
Ampat (RAM) dan di BIAK (BIA). Data tersebut memiliki ragam yang tidak homogen, karena
rasio ragam kedua kelompok (2.11) lebih besar daripada nilai kritis pada Tabel t (𝑡 . , =
2.08). Setelah dilakukan transformasi data 𝑋 = √𝑋, ragam kedua sampel homogen, rasio
ragam turun menjadi 2.00 yang nilainya menjadi lebih kecil dari nilai kritis Tabel F.

71
Data Awal Data Transformasi
Akar Kuadrat
RAM BIA RAM’ BIA’
4 5 2.00 2.24
6 3 2.45 1.73
5 2 2.24 1.41
7 4 2.65 2.00
7 4 2.00 2.00
4 4 2.00 2.00
4 5 2.00 2.24
7 5 2.65 2.24
2 3 1.41 1.73
8 3 2.83 1.73
6 3 2.45 1.73
5 4 2.24 2.00
4 6 2.00 2.45
5 4 2.24 2.00
6 5 2.45 2.24
2 3 1.41 1.73
2 4 1.41 2.00
3 7 1.73 2.65
3 4 1.73 2.00
2 4 1.41 2.00
5 2 2.24 1.41
N 21 21 n 21 21
ƩX 97.00 84.00 ƩX 43.53 41.53
ƩX2 517.00 366.00 ƩX2 94.00 84.00
Jumlah kuadrat (SS) 68.95 30.00 Jumlah kuadrat (SS) 3.75 1.88
Ragam (S2) 3.45 1.50 Ragam (S2) 0.19 0.09
F hitung (Rasio S2) 2.298 F hitung (Rasio S2) 1.993
F tabel (F0.05, 20,20) 2.124* F table (F0.05, 20,20) 2.124
Homogenitas ragam heterogen Homogenitas ragam homogen

72
*Nilai kritis F dengan db1=20 dan db2=20 tidak ada di dalam buku ini. Nilai kritisnya dapat
dicari di buku teks yang lain. Dengan menggunakan perangkat lunak MS Excell, kita dengan
mudah dapat melihat nilai kritis F dengan rumur =FINV(0.05,20,20).

73

Anda mungkin juga menyukai