Dosen Pembimbing :
dr. Ave Olivia Rahman, M.Sc
oleh:
Meri Satriyawati
G1A116049
Herpes zoster yang sering disebut dengan istilah shingles adalah penyakit yang
disebabkan oleh varicella zoster virus (VZV), dengan manifestasi klinis berupa nyeri disertai
blister yang muncul mengikuti dermatom saraf dan sering terbatas pada area di satu sisi tubuh
dan membentuk garis. Infeksi awal herpes zoster adalah varicella atau cacar air yang biasanya
menyerang pada usia anak hingga remaja. Setelah varicella sembuh, virus ini akan dalam
keadaan dorman di ganglion saraf dan dapat teraktivasi menimbulkan herpes zoster apabila
imunitas menurun.1
2. Etiologi
Varicella zoster virus (VZV) adalah virus yang menyebabkan cacar air (chicken pox)
dan herpes zoster (shingles). VZV memiliki klasifikasi taksonomi sebagai berikut
Varicella zoster adalah virus yang hanya dapat hidup di manusia dan primata ;
(simian). Pertikel virus (virion) varicella zoster memiliki ukuran 120-300 nm. Virus ini
memiliki 69 daerah yang mengkodekan gen-gen tertentu sedangkan genom virus ini
berukuran 125 kb (kilobasa). Komposisi virion adalah berupa kapsid, selubung virus, dan
nukleokapsid yang berfungsi untuk melindungi inti berisi DNA double stranded genom.
Nukleokapsid memiliki bentuk ikosahedral, memiliki diameter 100-110 nm, dan terdiri dari
162 protein yang dikenal dengan istilah kapsomer. Virus ini akan mengalami inaktivasi pada
suhu 56-60 °C dan menjadi tidak berbahaya apabila bagian amplop virus ini rusak.
Penyebaran virus ini dapat terjadi melalui pernapasan dan melalui vesikel pada kulit pada
penderita.1
3. Patogenesis
Herpes zoster adalah penyakit yang disebabkan oleh virus varicella zoster (VZV).
Virus DNA ini adalah virus yang menyebabkan penyakit cacar air (chicken pox) yang
merupakan infeksi awal sebelum sesorang mengalami herpes zoster. Jadi herpes zoster hanya
dapat muncul pada seseorang yang telah mengalami cacar air sebelumnya. Setelah episode
cacar air telah sembuh, varicella zoster akan bersifat laten di dalam badan sel saraf tanpa
menimbulkan gejala. Beberapa lama setelah infeksi awal tersebut, virus bisa keluar dari
badan sel saraf menuju akson saraf dan menimbulkan infeksi di kulit pada daerah tertentu.
Virus dapat menyebar dari satu atau lebih ganglion mengikuti dermatom saraf (daerah
pada kulit yang disarafi oleh satu spinal nerve) yang menimbulkan tanda dan gejala pada kulit
berupa cluster atau gerombolan benjolan yang kecil yang kemudian menjadi blister.
Blisterblister tersebut akan terisi cairan limfa dan kemudian pecah lalu menjadi krusta dan
menghilang. Postherpatic neuralgia terkadang terjadi dikarenakan kerusakan pada saraf.
Sistem imun akan mengeliminasi sebagian besar virus sehingga seseorang dapat dikatakan
sembuh. Meskipun tanda dan gejala telah tidak ada, namun virus akan tetap bersifat laten
pada ganglion saraf (ganglion dorsal root maupun ganglion gasseri) pada dasar tengkorak.
Apabila sistem imun menurun pada penyakit tertentu, kondisi stres, maupun penggunaan obat
immunosuppresive, virus ini dapat keluar dari ganglion dan menimbulkan kekambuhan.1,2
4. Tatalaksana 3,4
Terapi antiviral untuk herpes zoster dapat mengurangi waktu pembentukan vesikel baru,
jumlah hari yang diperlukan untuk menjadi krusta, dan perasaan tidak nyaman atau nyeri
akut. Semakin awal antiviral diberikan, semakin efektif untuk mencegah postherpetic
neuralgia. Idealnya, terapi dimulai dalam jangka waktu 72 jam setelah onset, selama 7-10
hari.
Antiviral yang digunakan untuk pengobatan virus herpes umunya merupakan antimetabolit
yang mengalami bioaktivasi melalui enzim kinase sel hospes atau virus untuk membentuk
senyawa dapat menghambat DNA polimerase virus , antiviral yang disarankan antara lain:
a. ASIKLOVIR
Farmakodinamik:
asiklovir merupakan analog 2’-deoksiguanosin. Asiklovir adalah suatu prodrug yang baru
memiliki efek antivirus setelah dimetabolisme menjadi asiklovir trifosfat. Langkah yang
penting dari proses ini adalah pembentukan asiklovir monofosfat yang dikatalisis oleh timidin
kinase pada sel hospes yang terinfeksi oleh virus herpes atau varicella zoster. Kemudian
enzim seluler menambahkan gugus fosfat untuk membentuk asiklovir difosfat dan asiklovir
trifosfat. Asiklovir trifosfat menghambat sintesis DNA virus dengan cara berkompetisi
dnegan 2’-deoksiguanosin trifosfat sebagai substrat DNA polimerase virus. Jika asiklovir
yang masuk ke tahap replikasi DNA virus, sintesis berhenti. Inkorporasi asiklovir monofosfat
ke DNA virus bersifat ireversibel karena enzim eksonuklease tidak dapat memperbaikinya.
Pada proses ini, DNA polimerase virus menjadi inaktif.
b. VALASIKLOVIR
Farmakodinamik:
Farmakokinetik:
Biovailabilitas oralnya 3 hingga 5 kali asiklovir (54%) dan waktu paruh eliminasi nya 2-3
jam. Waktu paruh intraselnya, 1-2 jam. Kurang dari 1% dari dosis valasiklovir ditemukan di
urin selebihnya dieliminasi sebagai asiklovir.
c. GANSIKLOVIR
Farmakodinamik:
Farmakokinetik:
Waktu paruh eliminasi gansiklovir sedikitnya 12 jam, sedangkan asiklovir hanya 1-2 jam.
Perbedaan ini lah yang menjelaskan mengapa gansiklovir lebih superior dari pada asiklovir
Untuk induksi diberikan IV 10 mg/kg per hari (2 x 5 mg/kg, setiap 12 jam) selama 14-21
hari, dilanjutkan dengan pemberian maintenance per oral 3000mg per hari (3 kali sehari 4
kapsul @ 250mg)
d. FAMSIKLOVIR
Farmakodinamik:
per oral 750 mg per hari (250 mg tablet setiap 8 jam, tiga kali sehari) dan 1500 mg per hari
(500 mg setiap 8 jam)
e. FOSKARNET
Farmakodinamik:
Foskarnet merupakan analog organik dari pirofosfat anorganik. Obat ini membentuk
kompleks dengan DNA polimerase virus pada tempat ikatan pirofosfat, mencegah pecahnya
pirofosfat dari nukleosida trifosfat dan akan menghambat proses pemanjangan primer-
template
Obat ini tersedia dalam bentuk larutan untuk pemberian IV dengan kadar 24 mg/ml dalam
botol berisis 250 dan 500 ml. Infeksi VZV diberikan dosis 120 mg/kg per hari (3x40 mg/kg,
setiap 8 jam)
1. Ferri, Simon. 2013. “Etiopathology of Herpes Zoster ”. 22-23. Clinical Advisor. AM Fam
Physician
2. Price Sylvia A.Wilson Lorraine M.1995.Patof isiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit, Edisi 4, Buku 2, EGC, Jakarta.
4. Katzung, B.G. 2001. Farmakologi Dasar dan Klinik : Reseptor- reseptor Obat dan
Farmakodinamik. Penerbit Buku Kedokteran EGC