Anda di halaman 1dari 49

1

Judul: KEMAMPUAN MENGEMBANGKAN CERITA RAKYAT KE

DALAM BENTUK MENULIS CERPEN PESERTA DIDIK

KELAS X SMA NEGERI 10 MAKASSAR

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembelajaran di SMA saat ini diorientasikan pada pembentukan kompetensi

dan keterampilan bagi peserta didik sebagaimana diharapkan dalam konsep

pembelajaran abad 21. Saat ini, pembelajaran abad 21 sangat tepat diterapkan untuk

memberikan kecakapan abad 21 kepada peserta didik. Konsep pembelajaran abad 21

ini memiliki istilah 4C yang meliputi: (1) Communication (2) Collaboration, (3)

Critical Thinking and problem solving, dan (4) Creative and Innovative.

Mengacu pada konsep pembelajaran abad 21 dengan konsep 4C tersebut,

maka pembelajaran di SMA, khususnya pembelajaran Bahasa Indonesia memiliki

muatan keterampilan abad 21 dengan pendekatan pembelajaran berbasis teks/genre

(genre based approach). Melalui teks berbasis teks, guru dan peserta didik secara

kolaboratif belajar untuk memenuhi target pembelajaran keterampilan abad 21.

Implementasi pembelajaran bahasa Indonesia sesuai dengan konsep

pembelajaran abad 21 pada jenjang SMA sesuai dengan kurikulum 2013

diorientasikan pada pembelajaran berbasis teks. Dalam kurikulum tersebut,

pembelajaran’’ berbasis* teks merupakan suatu konsep? Pembelajaran* yang

berorientasi0 pada kompetensi$ reseptif% dan produktif& peserta$ didik* terhadap


2

teks. Pelaksanaannya pun menggunakan metode& pembelajaran$ teks* dengan

berdasarkan pada pemodelan# teks% dan@ analisis* terhadap^ fitur-fitur*

kebahasaan& secara$ eksplisit*. Selain itu, pembelajaran% berfokus* pada

hubungan# antara teks* dengan* konteks$ penggunaannya*. Dalam pelaksanaan

pembelajaran$ berbasis* teks&, harus didesain tahap pembelajarannya agar mampu

menggiring peserta didik berkreasi* dan inovatif% dalam memahami dan

memproduksi* teks*, baik* teks lisan# maupun* tulis dalam* berbagai^ konteks* dan

situasi*.

Salah satu Kompetensi Dasar di kelas X SMA sesuai dengan kurikulum 2013

revisi adalah KD 4. 8 Mengembangkan cerita rakyat (hikayat) ke dalam bentuk

cerpen dengan memerhatikan isi dan nilai. Pembelajaran ini bertujuan melatih

keterampilan peserta didik pada kompetensi 4C, komunikatif, kolaborasi, dan

kemampuan berpikir kritis serta memecahkan masalah.

Implementasi dan pelaksanaan pembelajaran pada kompetensi dasar tersebut,

dapat dirancang melalui pembelajaran mengonstruksi teks. Pada kurikulum

sebelumnya diistilahkan dengan pembelajaran keterampilan berbahasa, khususnya

menulis. Pembelajaran menulis atau mengonstruksi teks memiliki peranan penting

dalam kehidupan peserta didik, yakni peserta didik akan memiliki keterampilan dna

kemampuan literasi dan kemampuan berpikir* HOTS, kreatif*, kritis*, dan inovatif.

Oleh karena itu, pembelajaran* mengonstruksi teks harus diperhatikan oleh guru

secara intensif* karena keterampilan# ini merupakan salah* satu% subpokok*


3

bahasan* dalam^ pembelajaran% bahasa* Indonesia* di kelas X SMA yang menjiwai

semua materi di kelas X. Bahkan, dapat melintas pada materi pelajaran lainnya.

Aktivitas mengonstruksi teks merupakan suatu proses membangun gagasan

dengan memanfaatkan fitur kebahasaan. Dalam proses ini, dimulai dari proses

berinspirasi, menentukan objek, mengamati, mencatat, dan mengomunikasikan. Hasil

kontruksi dalam bentuk tulisan berisi sejumlah proposisi yang* ingin# disampaikan

oleh penulis kepada* pembaca dan penikmat teks (*Darmadi, 1996: 21).

Selanjutnya*, proposisi makna yang* disampaikan* tersebut berupa tulisan yang

dapat*memberikan inspirasi, menghibur jiwa, memberi informasi aktual dan

keilmuan, memengaruhi, dan menambah pengetahuan baru.

Pembelajaran mengonstruksi teks sesuai dengan kurikulum dapat berwujud

teks argumentasi, eksposisi, deskripsi, narasi, persuasi maupun teks eksplanasi,

bahkan mengonstruksi teks sastra (Darmadi, 1996: 21). Di kelas X, terdapat salah

satu jenis pembelajaran mengonstruksi teks sastra yakni mengembangkan cerita

rakyat ke dalam bentuk cerpen. Pembelajaran ini sangat perlu diajarkan agar cerita

rakyat masih bertahan di kalangan milenial saat ini. Hal ini mendukung pendapat

Mattalitti (1986: 9) bahwa cerita rakyat merupakan bentuk* penuturan^ yang*

tumbuh* dang menyebar* di kalangan* masyarakat atau rakyat, baik secara lisan*

mapun turun temurun$ dan dapat diguankan sebagai*sarana*untuk$menyampaikan*

pesan*(amanat) dan$hiburan* yang perlu dipertahankan di kalangan masyarakat,

karena cerita rakyat adalah cerita dari zaman dahulu yang timbul di kalangan rakyat

yang diwariskan secara lisan sebagai bagian dari budaya yang harus tetap lestari.
4

Cerita rakyat ini mmeiliki keunikan karena persoalan lahir dan siapa yang

mencipta, tidak diketahui sampai tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat

zaman dahulu. Penyebarannya*dilakukan*secara$lisan*sehingga cerita*rakyat*

sering mengalami*perubahan*yang menimbulkan$versi*berbeda-beda. Dalam proses

penyebaran cerita rakyat tersebut, semua penutur*relatif mengubah bentuk dan

strukturnya, baik menambah, mengurangi*bagian teks cerita*menurut$cita rasanya*

atau disesuaikan*dengan situasi* dengan tetap mempertahankan inti ceritanya.

Sebagai sebuah teks, cerita rakyat dapat dijadikan sebagai bahan, sumber, dan

media pembelajaran menulis cerpen. Salah satunya adalah cerita rakyat Sulawesi

Selatan. Sulawesi Selatan merupakan provinsi yang kaya dengan cerita yang tersebar

di tiga etnis (Bugis, Makassar, dan Toraja). Dalam cerita rakyat tersebut, berbagai

fenomena kehidupan dalam masyarakat yang diungkapkan. Misalnya, konflik sosial

masyarakat yang dilukiskan dalam setiap cerita. Terdapat pula cerita yang

mengungkapkan penindasan, pelecehan, kesenjangan, dan penderitaan masyarakat

(Mattalitti, 1986: 1).

Dalam kaitannya dengan penelitian ini, di Sulawesi Selatan, banyak cerita

yang tentunya menceritakan tentang budaya lokal melalui penggambaran tokoh. Jadi,

pembelajaran menulis cerpen yang berbudaya lokal ditempuh dengan

mengintegrasikan cerita-cerita daerah ke dalam materi pembelajaran menulis cerpen

yang memiliki banyak pesan dan nilai kearifan lokal, seperti cerita berbasis budaya

Makassar Syeikh Yusuf yang berjudul Syeikh Yusuf Meminang siti Daeng Nisanga,

Ibunda yang Melahirkan Syeikh Yusuf. Selain itu, terdapat cerita rakyat daerah Bugis
5

yang berjudul Anaq Turusiengngi Duae To Pajajianna “Anak yang Patuh kepada

Orang Tua”.

Cerita daerah yang ada di Sulwesi Selatan menampilkan potret masyarakat

Makassar yang hingga kini masih cukup sering ditampilkan dalam berbagai kronik*

budaya. Sementara itu, di sisi lain dapat pula dipandang sebagai cermin kehidupan,

sebagai tanggapan terhadap kehidupan, dan dapat pula sebagai penilaian terhadap

kehidupan. Oleh karena itu, cerita daerah merefleksikan kehidupan dan berarti pula

menampilkan citra, karakteristik, serta tingkah laku tokoh-tokohnya. Karakter tokoh

dalam cerita rakyat merupakan penggambaran kepribadian unggul, sifat atau ciri khas

pelaku atau masyarakat yang diceritakan untuk dijadikan sebagai keteladanan. Hal ini

sama dengan cerita pada umumnya sebagaimana dikemukakan oleh Zaidan (2005:

116), bahwa ”Kualitas nalar, sikap, tingkah laku, kemauan, pendiriannya,

temperamen, dan jiwanya merupakan cerminan untuk ditiru”.

Cerita berbasis budaya lokal diartikan sama dengan rakyat daerah atau cerita

klasik. Cerita rakyat menuru Mattalitti (1986: 9) merupakan suatu penceritaan yang

tumbuh*dan berkembang dengan melalui proses penyebaran di kalangan*masyarakat

penuturnya yang secara*lisan dan turun*temurun dengan tujuan menyampaikan*

pesan, nilai, dan hiburan. Diartikan pula bahwa cerita* rakyat$ adalah cerita dari

zaman dahulu yang timbul di kalangan rakyat yang diwariskan secara lisan.

Mencermati uraian tersebut, maka cerita rakyat difokuskan pada cerita rakyat

Makassar. Hal ini dipilih untuk menyesuaikan dengan kondisi sosial peserta didik

yang berlatar belakang budaya Makassar. Selain itu, untuk menyesuaikan dengan
6

kurikulum muatan lokal di kelas X SMA Negeri 10 yang mengandalkan pendidikan

karakter bebasis keunggulan lokal. Cerita rakyat Sulawesi Selatan, khususnya cerita

Makassar harus diperkenalkan kepada peserta didik melalui pembelajaran di sekolah

secara terintegrasi dengan mata pelajaran bahasa Indonesia.

Cerita daerah Makassar dapat diterapkan dalam pembelajaran menulis cerpen.

Pembelajaran mengonstruksi teks cerpen bertujuan meningkatkan keterampilan dan

literasi menulis bagi peserta didik dalam berbahasa. Selain itu, pembelajaran

mengonstruksi teks cerpen bertujuan meningkatkan keterampilan berpikir logis,

bernalar, dan menguji kepekaan nalar dan perasaan peserta didik untuk memahami

dan menikmati karya sastra lokal. Selanjutnya, dinyatakan pula bahwa pembelajaran

mengonstruksi teks cerpen dimaksudkan agar peserta didik terdidik menjadi pribadi

yang memiliki karakter sopan, beradab, berbudi pekerti, memiliki rasa kemanusiaan,

berkepedulian sosial, memiliki apresiasi budaya lokal dan penyaluran gagasan,

berimajinasi, tanggung jawab, mandiri, memiliki jiwa berekspresi secara kreatif baik

secara lisan maupuan tertulis.

Menuangkan ide dan gagasan dalam tulisan cerpen merupakan salah*satu

aspek#yang*diharapkan*dikuasai peserta didik dalam*pembelajaran dengan

menekankan*pada kompetensi$ peserta didik mengonstruksi teks sastra*tulis yang^

kreatif*yang dapat#membangkitkan semangat*, pikiran’’, dan jiwa*pembaca. Hal ini

akan terwujud jika teks yang ditulis menampilkan berbagai alur, penokohan, latar,

konflik, serta nilai. Oleh karena itu, melalui menginstruksi teks sastra pembaca*dapat
7

memperoleh$hikmah berdasarkan*cerpen yang&dibaca atau ditulis dari

pengembangan cerita rakyat tersebut.

Berdasarkan hasil pengamatan sebelum penelitian bahwa hasil belajar

mengonstruksi cerita rakyat menjadi cerpen masih rendah. Pencapaian nilai

mengonstruksi cerita rakyat menjadi cerpen peserta didik kelas X SMA Negeri 10

Makassar tahun pelajaran 2019/2020 hanya berkisar antara rentang 56 sampai dengan

80. Nilai rata-rata pun masih rendah, yakni hanya mencapai 72. Sementara, standar

dan target pencapaian kompetensi yang diistilahkan dengan KKM sesuai dengan

kurikulum 2013 adalah 75.

Fenomena lain yang menjadi kendala yang sering terjadi berdasarkan hasil

observasi awal penulis adalah peserta didik terbentur pada proses mengonstruksi

cerpen, terutama ketika peserta didik diarahkan untuk mengembangkan ide, kesulitan

menentukan kata-kata dalam mengonstruksi cerpen, kesulitan dalam memulai

menulis. Peserta didik juga mengalami masalah dalam mengembangkan kerangka

menjadi cerpen karena minimnya penguasaan diksi. Persoalan ini merupakan faktor

kebiasaan yang jarang dilakukan oleh peserta didik dalam mengungkapkan perasaan,

pemikiran, imajinasinya, serta kurang terampil menghubungkan antara dunia khayal

atau imajinasi dengan dunia nyata ke dalam cerpen.

Problematik pembelajaran mengonstruksi cerpen sesuai dengan uraian

tersebut disebabkan oleh tidak adanya pemahaman nilai dan manfaat lainnya yang

dapat diperoleh peserta didik ketika mengonstruksi cerpen. Motivasi belajar peserta

didik yang kurang. Selain itu, metode yang digunakan dalam pembelajaran
8

mengonstruksi cerpen masih kurang sehingga minat dan kompetensi peserta didik

mengonstruksi cerpen juga tidak memadai.

Kondisi pembelajaran mengonstruksi cerpen tersebut perlu mendapat

perhatian dan diatasi sehingga peserta didik dapat mengonstruksi cerpen melalui

proses pencurahan ide, bentuk-bentuk alur, gaya bahasa/stilistika, pensettingan, dan

aturan-aturan lainnya dalam mengonstruksi cerpen. Berbagai bentuk tindakan yang

dilakukan guru meningkatkan keterampilan mengonstruksi cerpen adalah menerapkan

media dan bahan ajar yang lain yang dapat menunjang keterampilan peserta didik

mengonstruksi cerpen. Salah satu bahan ajar yang dapat*digunakan untuk

meningkatkan* keterampilan mengonstruksi cerpen adalah memanfaatkan cerita yang

berbasis budaya lokal.

Pembelajaran mengonstruksi cerpen pada tingkat SMA akan bermakna

(learning meaning) jika peserta didik mengonstruksi cerpen dengan bantuan cerita,

khususnya cerita daerah berbasis budaya lokal Makassar. Melalui cerita daerah

tersebut, diharapkan peserta didik merasa mudah memunculkan dan

mengembangkan* gagasannya ke dalam#bentuk cerpen karena$telah jelas masalah

cerpen dengan berbagai fenomena sosial dan budaya daerah sehingga peserta didik

tinggal memformulasikan isi cerita itu melalui larik dan diksi menjadi cerpen.

Berdasarkan uraian tersebut tampak bahwa pembelajaran mengonstruksi cerita

rakyat menjadi cerpen sangat penting ditingkatkan. Menyadari pentingnya

peningkatan pembelajaran mengonstruksi cerita rakyat menjadi cerpen bagi peserta

didik di SMA Negeri 10 Makassar, maka*pembelajaran menulis cerpen harus


9

diperhatikan%oleh guru. Hal yang perlu diperhatikan adalah kebutuhan peserta didik

saat proses mengonstruksi cerita rakyat menjadi cerpen. Beberapa hal yang menjadi

kebutuhan peserta didik saat mengonstruksi cerita rakyat menjadi cerpen adalah

bantuan dan bimbingan guru, metode, media, serta komponen lain yang dapat

memotivasi dan menyenangkan peserta didik.

Mengacu pada problematik tersebut, penulis akan mengkaji masalah

penelitian*dengan judul: ”Kemampuan* Mengembangkan Cerita Rakyat ke

dalam Bentuk Menulis Cerpen Peserta didik Kelas X SMA Negeri 10

Makassar.” Masalah ini diteliti karena*penelitian yang sama sebelumnya kurang

mendapat*perhatian. Indikator lain ditelitinya pembelajaran menulis cerpen dengan

cerita berbasis budaya lokal adalah untuk*memahami secara ilmiah*tentang peran*

cerita daerah dalam$pembelajaran sehingga%dapat diaplikasikan guru dalam setiap*

pelaksanaan pembelajaran*. Melalui cerita rakyat daerah diharapkan dapat mengatasi

masalah pembelajaran mengonstruksi cerpen sebagaimana dipaparkan sebelumnya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, masalah penelitian ini,

yaitu:

1. Bagaimana proses pembelajaran mengembangkan cerita rakyat ke dalam

bentuk cerpen peserta didik kelas X SMA Negeri 10 Makassar?

2. Bagaimanakah kemampuan mengembangkan cerita rakyat ke dalam bentuk

cerpen peserta*didik$kelas X*SMA Negeri* 10 Makassar?

C. Tujuan*Penelitian
10

Penelitian$ini bertujuan sebagai*berikut:

1. Mendeskripsikan proses pembelajaran mengembangkan cerita rakyat ke

dalam bentuk cerpen peserta didik kelas X SMA Negeri 10 Makassar.

2. Mendeskripsikan kemampuan mengembangkan cerita rakyat ke dalam

bentuk cerpen peserta didik kelas X SMA Negeri 10 Makassar.

D. Manfaat Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan, maka manfaat yang diharapkan

dari penelitian ini dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu manfaat teoretis dan

praktis.

1. Manfaat Teoretis

Manfaat teoretis hasil penelitian ini sebagai berikut:

a. Menambah pengetahuan bagi peserta didik tentang pembelajaran

mengembangkan cerita rakyat ke dalam bentuk cerpen peserta didik kelas

X SMA Negeri 10 Makassar.

b. Memberikan pemahaman kepada seluruh guru, khsuusnya guru bahasa

dan sastra Indonesia, khususnya pada tingkat SMA tentang pemanfaatan

pengembangan cerita rakyat ke dalam bentuk cerpen.

2. Manfaat Praktis

Manfaat praktis yang diharapkan dari hasil penelitian ini sebagai berikut:

a. Sebagai kontribuisi kepada guru bahasa dan sastra Indonesia di SMA

Negeri 10 Makassar untuk mengembangkan pembelajaran, khususnya


11

pembelajaran keterampilan menulis cerpen dengan memanfaatkan cerita

rakyat.

b. Memberikan masukan kepada guru bahasa dan sastra Indonesia di SMA

Negeri 10 Makassar agar menggunakan cerita rakyat dalam pembelajaran

mengonstruksi teks cerpen dengan baik.

c. Sebagai sumber referensi dan informasi bagi peneliti selanjutnya yang

melakukan penelitian tentang sastra, khususnya cerpen.


12

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A. Tinjauan Pustaka

1. Menulis Teks

Menulis merupakan bagian proses ekspresi dan eksplorasi ide dan gagasan.

Dalam menulis terdapat ide yang dikonstruk menjadi sebuah teks sebagaimana

dinyatakan bahwa “konstruksi adalah susunan*dan hubungan$kata, frasa, klausa yang

membentuk kalimat yang bermakna.” Jadi, mengonstruksi merupakan kegiatan

menyusun beberapa kata, frasa, dan klausa dalam sebuah kalimat yang bermakna

(KBBI, 2016*).

Definisi yang sama dinyatakan bahwa mengonstruksi diartikan sama dengan

menulis. Menulis*merupakan penyampaian ide dan pesan dengan menggunakan

lambang tulisan sebagai medianya. Dalam proses menulis terdapat aktivitas dan

proses berpikir yang mengolah beberapa subinformasi. Proses berpikir tersebut tentu

melibatkan indra penalaran, sebab penalaran yang baik akan menghasilkan tulisan

yang baik pula.

Menulis sebagai wujud penuangan ide dan gagasan agar menarik dan

bermakna jika menggunakan retorika bahasa sebagaimana dinyatakan oleh Syafi’ie

(1998: 27) bahwa substansi dari keterampilan menulis adalah kemampuan

menghadirkan nalar yang baik. Artinya, untuk menghasilkan tulisan dengan simpulan

yang benar harus dilakukan melalui proses penalaran secara cermat dengan

berdasarkan pikiran yang logis. Sebaliknya, kesalahan penalaran akan menghasilkan

sebuah simpulan yang keliru dan tidak bermakna atau tidak logis.
13

Keterampilan menulis merupakan suatu proses penuangan gagasan yang

melalui tahap pramenulis, penulisan, dan perevisian. Tahap penulisan tersebut sangat

menentukan kualitas tulisan yang dihasilkan. Pada tahap pramenulis, penulis mulai

menentukan pokok-pokok yang akan ditulis, pada tahap penulisan penulis

mengembangkan gagasan dalam kalimat, paragraf, dan wacana. Adapun tahap

perevisian merupakan kegiatan penyuntingan yang dilakukan pada bagian ahkir

sebelum tulisan dipublikasikan (Akhadiah, dkk., 1994: 2).

Pendapat yang senada tentang menulis dikemukakan oleh beberapa ahli yang

menyatakan bahwa menulis merupakan suatu proses melahirkan tulisan yang berisi

gagasan yang dilakukan secara bertahap untuk menghasilkan tulisan yang berkualitas

(Sumardjo, 2001: 30). Pendapat yang sama dinyatakan oleh Depoter & Hernacki

(2001: 50) bahwa proses menulis dapat dilakukan melalui langkah (1) persiapan,

pengelompokkan gagasan, dan menulis, (2) menyusun draf kasar, gagasan

dieksplorasi dan dikembangkan, (3) berbagi draf ke pembaca lain untuk ditanggapi

dan diberi umpan balik,(4) perevisian, dan umpan balik, perbaiki tulisan dan bagikan

lagi untuk memperoleh pandangan pemvaca, (5) editing dan penyuntingan,

menyunting semua kesalahan, tatabahasa, dan tanda baca, (6) penulisan kembali,

memasukkan isi yang baru dan perubahan penyuntingan, dan (7) evaluasi, periksalah

apakah tugas ini sudah selesai.

Dalam pembelajaran menulis teks di SMA, guru harus mengenalkan kepada

peserta didik proses menulis tersebut. Peserta didik harus dikenalkan langkah proses

menulis, yaitu tahap menulis awal, membuat draf, dan merevisi draf lalu
14

memperbaiki tulisan yang sudah dihasilkan. Selama ini di sekolah, ada lima tahap

proses kreatif menulis yang diterapkan, yaitu: (1) mulai dari persiapan dengan

mmeikirkan topik, (2) dilanjutkan kegiatan inkubasi dengan mmeunculkan gagasan

dan direnungkan kembali untuk dikembangkan, (3) inspirasi, pada tahap ini penulis

mmefikuskan pada topik yang akan ditulis, (4) penulisan kerangka dan draf dengan

sistematika tulisan yang tepat, dan (5) merevisi untuk menghasilkan tulisan yang

berkualitas (Mirriam, 2006: 169).

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa menulis kreatif

merupakan kegiatan menulis yang lahir dari gagasan yang kreatif sehingga peserta

didik digiring agar mampu menciptakan ide yang lahir dari pikiran yang kreatif ke

dalam sebuah tulisan kreatif.

2. Cerita

Cerita dan narasi merupakan dua istilah yang sering digunakan dalam

pembelajaran bahasa Indonesia di SMA. Kedua istilah tersebut memiliki arti sebagai

rentetan kejadian yang menjawab pertanyaan tentang apa yang terjadi atau bagaimana

proses terjadinya sesuatu peristiwa secara kornologis. Cerita atau narasi adalah

sebuah pengisahan yang berkaitan dengan penyajian konflik dan masalah. Hal ini

sejalan dengan pernyataan Keraf (2005: 136) bahwa cerita adalah paparan kejadian

yang disajikan dan digambarkan dengan sejelas–jelasnya kepada pembaca maupun

pendengar.

Cerita adalah sebuah perilaku dan tindakan yang terjadi dalam suatu

rangkaian waktu dan peristiwa. Penggambaran dalam cerita didominasi oleh peristiwa
15

atau kejadian. Pernyataan ini didukung oleh pendapat Keraf (2005: 140) bahwa

bercerita adalah menggambarkan sejumlah maslaah dan kejadian berdasarkan urutan

terjadinya, dengan maksud memberi arti kepada sebuah kejadian atau serentetan

kejadian, dan agar pembaca dapat mengambil pesan dari peristiwa itu.

Hakikat cerita juga dikemukakan oleh Ambo Enre (1994: 90) yakni sebuah

tulisan yang bersifat naratif dan subjektif yang isinya bergantung pada selera

pengarang. Artinya, sekalipun cerita itu bersumber dari suatu kenyataan seperti

biografi dan riwayat seseorang, namun isi cerita dan penyusunannya tidak terlepas

dari keinginan penulis dalam mengolah bahasanya untuk menghasilkan sebuah cerita

yang kronologis. Konsepnya, sebuah cerita dapat berisi fakta yang benar-benar

terjadi, dapat pula berisi sesuatu yang khayali dan fiktif. Adapun cerita yang berupa

fakta misalnya otobiografi atau biografi seseorang tokoh terkenal. Isi wacana tersebut

benar-benar nyata atau berdasarkan fakta sejarah yang tidak dibuat-buat. Sebaliknya,

cerita khayalan seperti cerpen, novel, roman, hikayat, drama, dongeng, dan lain-lain

digolongkan cerita yang khayali karena disusun atas dasar imajinasi seseorang

pengarang yang tidak pernah terjadi.

Wujud sebuah cerita sering dihiasi dengan dialog antartokoh-tokoh, di

samping naratif biasa. Dialog cerita memang terasa lebih bermakna dan menarik

sehingga lebih dapat menghibur dan memberikan kesenangan bagi pembaca.

Pelukisan dan penggambaran watak, dan kecerdasan sikap, serta tingkat pendidikan

tokoh dalam cerita yang disuguhkan sering bersifat real dan sesuai dengan kehidupan.
16

Semua cerita rekaan dapat dikategorikan sebagai prosa. Dalam pengertian

kesusasteraan sering disebut fiksi (berasal dari bahasa Inggris fiction) atau prosa

rekaan atau cerita rekaan, yaitu suatu cerita yang dihasilkan oleh iamjinasi dan daya

khayal pengarang (Rahmanto, 1998: 15). Cerita rekaan sebagai fiktif mengisahkan

berbagai masalah hidup dan kehidupan manusia dalam hubungannya dengan sesama

manusia dan lingkungannya. Dengan demikian, cerita rekaan merupakan hasil

percakapan, penarasian, renungan, dan reaksi pengarangnya sebagai bentuk ekspresi

dari fenomena kehidupan di lingkungannya sebagaimana dinyatakan juga oleh

Nurgiyantoro (2014: 2) bahwa prosa dalam pengertian fiksi, yaitu teks naratif atau

wacana naratif yang berarti cerita rekaan atau cerita khayalan.

Hakikat cerita juga dikemukakan oleh Mustopo (1983: 35) yakni cerita

rekayasa yang merupaan bentuk cerita atau prosa kisahan yang mempunyai pelakon,

pelaku, peristiwa, dan alur sebagai sebuah hasil daya khayal atau imajinasi. Pendapat

ini diperkuat oleh Suharianto (1982: 27) bahwa cerita fiktif atau prosa, ciri khususnya

adalah bentuknya yang bersifat pembeberan perasaan yang dipikirkan pengarangnya

secara terperinci, adanya pembagian kesatuan-kesatuan makna dalam wujud paragraf

atau alinea dan kekhasan penggunaan bahasa yang konstruktif. Hal yang sama

dinyatakan oleh Aminuddin (1990: 66) bahwa cerita rekaan adalah kisahan atau cerita

yang diemban oleh pelaku-pelaku tertentu dengan pemeran, latar tahapan, dan

rangkain cerita tertentu yang bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya sehingga

menjalin suatu cerita.


17

3. Cerita Rakyat Daerah sebagai Cerita yang Berisi Budaya Lokal

a. Pengertian

Salah satu jenis cerita yang juga pernah berkembang di tengah masyarakat

adalah cerita rakyat yang memiliki konsep yang hampir sama oleh para ahli dan

sastrawan. Beberapa di antaranya dinyatakan oleh Sudjiman (1990: 5) bahwa cerita

rakyat adalah kiasan anonim*yang tidak terlihat pada ruang dan waktu yang beredar

secara lisan di tengah-tengah masyarakat termasuk*di dalamnya cerita binatang,

dongeng, legenda, mitos, dan sage. Dengan kata lain, cerita yang dituturkan secara

turun temurun dari mulut ke mulut dan tenar di kalangan masyarakat.

Pandangan yang sama dikemukakan oleh Mattalitti (1986: 9) bahwa cerita

rakyat merupakan bentuk pengungkapan yang berkembang dan menyebar di kalangan

masaayarakat secara lisan*dan turun temurun sebagai sarana untuk menyampaikan

pesan dan hiburan mendidik. Dinyatakan pula bahwa cerita*rakyat adalah cerita dari

zaman dahulu yang timbul di kalangan rakyat yang diwariskan secara lisan yang tidak

diketahui asal usul dna penciptanya. Penyebarannya*dilakukan secara#lisan, sehingga

rata-rata mengalami*perubahan wujud yang menimbulkan pandangan yang berbeda-

beda. Dalam proses perkembangan dna penyebarannya, setiap*penutur berpeluang

menambah, mengurangi atau mengubah*bagian cerita*menurut cita rasanya atau

disesuaikan*dengan situasi dna kondisi.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa cerita

rakyat adalah cerita yang berkembang di tengah-tengah masyarakat yang


18

penyebarannya dari mulut ke mulut serta asal usul dan penciptaannya bersifat

anonim.

b. Ciri-ciri Cerita Rakyat

Setiap cerita memiliki karakteristik sebagai ciri khasnya. Demikian halnya

dengan cerita rakyat sebagaimana dinyatakan oleh Tompson (dalam Danandjaya,

1987: 4) bahwa ciri khusus cerita rakyat ditularkan dari seseorang ke orang lain

secara berturut-turut, tanpa penekanan tuntutan terhadap sumber aslinya. Cerita

rakyat benar-benar oral, artinya disebarkan dari mulut ke mulut. Dalam proses

penyebarannya, cerita rakyat dituturkan oleh seseorang dan didengar oleh orang lain.

Orang lain memformulasi kembali, mengulang, dan menuturkan kepada orang lain,

dengan memperhatikan urutan isinya, dengan atau tanpa tambahan yang dibuat oleh

penutur yang baru.

Cerita rakyat pada dasarnya tersimpan di dalam ingatan manusia atau dalam

tradisi lisan kala itu sehingga cerita rakyat tidak pernah memiliki bentuk yang statis.

Cerita ini cenderung mengarahkan ke pola cerita yang datar tanpa menghadirkan

konflik. Cerita rakyat senantiasa mengalami perubahan dari masa ke masa, bahkan

dari penutur yang lain dalam satu yang berbeda, meski dari kelompok atau individu

yang sama.

Perubahan-perubahan yang terjadi pada cerita rakyat dalam proses

penyebarannya disebabkan oleh penuturnya yang tidak mampu mengingat seluruh isi

cerita itu secara utuh dan lengkap, atau menuturkan secara tepat seperti yang

didengarnya dari penutur yang memberi berita kepadanya. Penyebar cerita kadang
19

tidak mampu mengingat bagian-bagian cerita yang dituturkannya itu, lalu diganti atau

diubahnya dengan bagian hasil rekamannya daan bahasa sesuai dengan gaya

penceritaannya sendiri.

c. Fungsi-fungsi Cerita Rakyat

Setiap penyusunan cerita memiliki fungsi dan dan manfaat bagi masyarakat

penuturnya. Hal ini telah dinyatakan oleh William R. Bascvom (dalam Danandjaya,

1987: 6) mengenai fungsi cerita rakyat sebagai berikut:

1) Penulisan cerita rakyat dimaksudkan untuk sistem proyeksi, yakni alat

pencerminan dan sumber informasi atau pengetahuan tentang adat dan

kebudayaan masyarakat*pendukungnya.

2) Penulisan cerita rakyat dimaksudkan untuk pengesahan*pranata-pranata dan

lembaga-lembaga kebudayaan*secara kolektif yang berlaku dalam masyarakat.

3) Penulisan cerita rakyat dimaksudkan untuk mengedukasi anak. Untuk pendidikan

nonformal, cerita rakyat mempunyai banyak*manfaat, terutama dalam mendidik

anak. Cerita rakyat telah digunakan oleh masyarakat*untuk pembentukan nilai

dan karakter anaknya, sehingga kelak si anak mempunyai keluhuran budi pekerti

halus*dan tinggi.

4) Penulisan cerita rakyat dimaksudkan untuk pemaksa*dan pengawas norma-

norma* masyarakat. Norma-norma yang berlaku dalam suatu kolektif harus

dipatuhi oleh semua anggota kolektif yang bersangkutan, baik rakyat biasa

maupun penguasa atau bangsawan. Apabila anggota masyarakat yang


20

melanggarnya atau tidak mematuhi norma-norma tersebut, maka akan mendapat

ganjaran dari Tuhan.

d. Jenis-jenis Cerita Rakyat

Sesuai dengan perkembangannya, cerita rakyat memiliki varian dan jenis

sebagaimana dinyatakan William R. Bascom (dalam Danandjaya 1987: 50).

Menurutnya, cerita rakyat dapat dibagi dalam tiga bagian, yaitu:

1) Mite (myth)

Mite merupakan cerita rakyat yang benar-benar terjadi serta dianggap suci

oleh yang punya cerita. Mite dimainkan oleh para dewa atau makhluk setengah dewa.

Peristiwa terjadi di dunia lain atau di dunia yang bukan seperti yang dikenal saat ini

dan terjadi pada masa silam.

Proses penceritaan dalam mite umumnya mengisahkan kejadian alam semesta,

dunia, manusia pertama, terjadinya maut, bentuk khas binatang, bentuk tipografi,

gejala alam dan sebagainya. Mite juga berkisah tentang petualangan para dewa, kisah

percintaan mereka, hubungan kekerabatan mereka, kisah perang mereka, dan

sebagainya.

2) Legenda

Legenda merupakan cerita rakyat yang mempunyai karakteristik yang mirip

dengan mite, yaitu dianggap pernah benar-benar terjadi, tetapi tidak dianggap suci.

Berlainan dengan mite, legenda diperankan oleh manusia, walaupun ada kalanya

mempunyai karakter yang luar biasa, dan seringkali dibantu makhluk-makhluk ghaib.
21

Latar terjadinya adalah di dunia seperti yang sudah dikenal ini, karena waktu

terjadinya belum terlalu lampau.

Legenda dapat bersifat migratoris, yakni dapat berpindah-pindah, sehingga

dikenal luas di daerah-daerah yang berbeda. Selain itu, legenda sering menyebar

dalam bentuk pengelompokan yang disebut siklus (cycle), yaitu sekelompok cerita

yang berkisar pada suatu tokoh atau suatu kejadian tertentu (Danandjaya, 1987: 67).

3) Dongeng

Menurut Danandjaya (1987: 83), apabila legenda adalah sejarah kolektif (folk

history), maka dongeng merupakan cerita pendek kolektif yang bersifat kesusastraan

lisan. Dongeng merupakan cerita rakyat yang tidak dianggap benar-benar ada dna

terjadi. Dongeng diceritakan sebagai hiburan, walaupun banyak juga yang

melukiskan kebenaran, berisikan pelajaran (moral), atau bahkan kritik.

e. Aspek-aspek Cerita Rakyat

setia cerita termasuk cerita rakyat mmeiliki aspek dan unsur, yaitu:

1) Aspek Cerita (Lore)

Aspek ini terjadi dari pelaku cerita, nilai yang terkandung, tendensi cerita,

bentuk cerita, dan sifat cerita. Nilai cerita biasanya mengandung nilai kepahlawanan

atau sejarah. Sedangkan untuk tendensi cerita, sasarannya ditujukan untuk orang

dewasa.

2) Aspek Folk (Masyarakat atau Sosial)

Aspek ini terdiri dari cerita rakyat, diceritakan untuk apa, oleh siapa, apa

gunanya, apakah masih hidup sampai sekarang, asal cerita dari mana, apa
22

pengaruhnya terhadap masyarakat, dan bagaimana bentuk interaksi antara masyarakat

dengan adanya cerita rakyat tersebut.

4. Pembelajaran Keterampilan Menulis Teks*Cerita#Pendek

Pembelajaran menulis cerpen* dimaknai sebagai proses belajar yang

membutuhkan kompetensi dengan cara berlatih secara kontinu. Menulis sebuah

cerpen memerlukan bimbingan yang intensif agar peserta*didik mampu* menulis

sesuai dengan struktur*dan kaidah. Dalam pembelajaran menulis cerpen, masih

banyak*ditemukan kkeurangan dan masalah yang ada pada peserta didik yang

berakibat tidak berhasilnya dalam menulis sebuah cerita*pendek.

a. Pengertian*Teks%Cerpen

Cerita*pendek merupakan$ proses abreviasi dari cerpen, yakni sebuah karya

sastra berbentuk prosa yang singkat. Dalam pembelajaran di sekolah, teks*cerpen

mengajarkan*tentang nilai kehidupan yang#ada di sekitar lingkungan. Menulis teks

cerpen akan menciptakan peserta didik yang mampu memahami aspek-aspek*

kekeluargaan, sosial, dan budaya masyarakat. Selain itu, isi dari cerita pendek juga

menggiring peserta*didik memahami tolerani, kerjasama, kedisiplinan, kejujuran, dan

sebagainya. Cerita pendek merupakan sebuah teks yang mempunyai*konteks dan

situasi. Hal ini sejalan dengan pendapat Kosasih (2014: 111) bahwa cerita pendek

menurut*wujudnya berbentuk#pendek atau singkat. Ukuran teks suatu cerita memang

relative dan pada umumnya cerita*pendek merupakan cerita yang habis dibaca sekitar

sepuluh menit atau setengah jam. Jumlah penyebaran diksi dan kosakata sekitar 500-
23

5000 kata*sehingga cerita pendek sering diungkapkan*dengan cerita yang*dapat

dibaca*dalam sekali*duduk.

Berdasarkan*pendapat tersebut, cerpen merupakan pengungkapan ide yang

memiliki durasi pembacaan yang singka dengan target dapat diselesaikan dengan

sekali*duduk. Dalam hal ini, cerita jenis ini mempunyai jumlah kosakata yang tidak

banyak sehingga pembaca dapat*memahami isi cerita dalam waktu yang singkat.

Pernyataan tersebut didukung oleh Hidayati* (2009: 95) bahwa cerpen$adalah suatu

bentuk* pengungkapan ide dan gagasan dalam bentuk prosa*fiksi dengan*ukuran

yang relatif singkat dan pendek dan dapat dibaca dalam waktu yanag singkat. Hal ini

berarti bahwa dalam membaca cerpen tidak memerlukan waktu yang banyak. Jadi,

cerpen merupakan cerita khayalan yang mempunyai*ukuran relatif singkat dengan

desain latar yang singkat.

Sejalan dengan pendapat tersebut, Stanton (2007: 22) mengemukakan susunan

cerpen* yang terdiri atas*tiga bagian. Ketika bagian tersebut meliptui cerita, tema,

dan sarana$cerita. Isi cerita meliputi karakter, alur, dan setting. Sarana*cerita

meliputi sudut pandang dan gaya*bahasa. Hal ini menunjukkan bahwa cerita pendek

terdiri dari unsur pembangun untuk memberikan sebuah cerita yang dikemas secara

sederhana namun menarik. Pendapat*Stanton tersebut sejalan dengan pendapat

Kosasih*(2011: 222) yang menyatakan bahwa cerita*pendek adalah cerita rekaan

yang memiliki*tema sederhana. Di dalamnya terdapat sejumlah tokoh yang$terbatas.

Selain itu, jalan cerita*yang sederhana, dan latar*ceritanya pun meliputi*ruang

lingkup yang*terbatas. Dalam hal ini, cerpen pendek memiliki unsur-unsurr


24

pembangun, baik unsur*intrinsik maupun ekstrinsik yang tidak kompleks dan

memiliki lingkup yang terbatasyang dapat memberikan*kesan menarik kepada*

pembaca. Pendapat selanjutnya adalah Sumardjo (2004: 9) yang menyatakan bahwa

cerpen memiliki sifat naratif pendek yang memberikan satu kesan kepada*pembaca.

Artinya, setelah slesai membaca#cerpen, pembaca*akan memperoleh suatu*kesan

menarik yang ada di dalam cerita yang telah*dibaca tersebut.

Berdasarkan*pendapat dari$beberapa ahli tersebut, penulis menyimpulkan

bahwa cerita*pendek merupakan cerita singkat dengan sunur pembangun*yang

lengkap dan sederhana. Sesuai dengan namanya, maka cerita pendek memiliki struktu

cerita yang singkat, karena jumlah kata pada teks cerpen tidak banyak dan bisa

dipahami dalam sekali baca. Selain*itu, teks*cerpen juga%mengandung makna dna

pesan serta amanat yang memiliki relevansi dengan kehidupan pembaca.

b. Kaidah* Konstruksi Teks*Cerpen

Pada dasarnya, setiap*teks memiliki* kaidah kebahasaan bahasa yang berbeda

saat disusun. Ada* jenis teks yang*menggunakan bahasa*baku maupun bahasa#tidak

baku. Aturan dan kaidah^ mengonstruksi teks#merupakan pedoman yang dimiliki

dalam penulisan sebuah teks yang bertujuan untuk membedakan antara*teks satu

dengan jenis*teks*lainnya.

Berikut beberapa kaidah teks yang menjadikan tulisan menjadi lebih

sistematis sebagaimana dinyatakan oleh Kosasih (2014: 116) sebagai*berikut.

1) Penyusunan cerpen$pada umumnya menggunakan*bahasa tidak*baku atau

tidak*formal.
25

2) Penyusunan cerpen*lebih banyak*memotret atau mengisahkan*gambaran

kehidupan* masyarakat.

3) Penyusunan cerpen banyak* menggunakan kalimat yang tidak lengkap

strukturnya; bagian-bagiannya*mengalami$pelesapan.

4) Penyusunan cerpen bentuk*kalimatnya^pendek-pendek, karena*terdapat

bagian-bagian’’yang mengalami*pelesapan.

Pengonstruksian cerpen akan lebih bermakna jika memenuhi kaidah

kebahasaan. Keraf*(dalam Kemendikbud, 2014: 20) menyatakan kaidah*kebahasaan

penulisan cerpen, yaitu:

1) Penggunaan gaya bahasa*perbandingan (metafora,*personifikasi,

depersonifikasi, alegori*, antithesis, dan sebagainya).

2) Penggunaan gaya bahasa*pertentangan (*hiperbola, litotes,*satire, ironi,

paradoks, klimaks, antiklimaks, dan sebagainya).

3) Penggunaan gaya*bahasa pertautan (metonimis,*sinekdoke, alusi, eufimism,

elipsis, dan sebagainya).

4) Penggunaan gaya*bahasa perulangan (aliterasi,*asonansi, antanaklasis,

anaphora, simploke, dan sebagainya).

Selanjutnya, Venesia*(dalam Qodri, 2016: 25) menyatakan bahwa*kaidah

dalam mengonstruksi teks cerpen*sebagai berikut.

1) Penulisan cerpen* hendaknya menggunakan tanda petik*ganda.

2) Penulisan cerpen* hendaknya tidak$menampilkan kepada kita secara

langsung*petunjuk.
26

3) Penulisan cerpen dapat*berupa pertunjukan*pementasan dan juga dapat

berupa tidak pertunjukan#pementasan.

4) Penulisan cerpen hendaknya memiliki*paragraf.

5) Penulisan cerpen hendaknya disertai latar* dan diuraikan dalam bentuk narasi.

6) Penulisan cerpen tidak menampilkan dialog*tokoh-tokohnya.

7) Deskripsi*tokoh, penokohan, latar waktu, dan tempat diuraikan dalam$narasi.

Tata penulisan penulisan teks cerpen lebih cenderung berupa narasi yang yang

dideskripsikan dalam bentuk teks. Penggambaran berbagai latar*tempat, latar waktu,

tokoh, penokohan, dan alur dideskripsikan dalam teks. Tata penulisan teks cerpen

juga tidak harus bertele-tele agar maksud dari penulis dapat tersampaikan langsung

kepada pembaca. Berdasarkan beberapa pendapat ahli tersebut maka kaidah teks

cerpen merupakan sebuah pedoman dan tata aturan dalam menulis teks agar dapat

menjadi pembeda antara teks cerpen dengan teks lainnya.

Dalam penulisan cerpen, kaidah penulisannya memiliki berbagai gaya bahasa,

di antaranya, gaya bahasa perbandingan, pertentangan, pertautan,*perulangan.

Penggunaan gaya*bahasa tersebut bertujuan agar teks menjadi lebih menarik oleh

pembaca. Gaya*bahasa juga bertujuan untuk memperindah penulisan isi dalam teks*

cerpen.

c. Struktur*Teks$Cerpen

Struktur*merupakan suatu susunan yang bersistem. Struktur terdapat pada

semua jenis teks, termasuk cerpen. Teks cerpen merupakan salah satu teks yang

memiliki sebuah struktur dan merupakan rangkaian cerita yang berfungsi untuk
27

menghasilkan tulisan yang*terpadu dan membentuk cerita tersebut. Dalam teks cerita

pendek, struktur*digunakan dengan*baik dan benar agar cerita yang disampaikan

dapat dipahami dengan baik.

Menurut*Kosasih%(2014: 113) bahwa*struktur teks cerita*pendek secara

umum dibentuk oleh enam bagian, yaitu bagian pengenalan*cerita, penanjakan$

menuju konflik, puncak konflik, penurunan dan penyelesaian. Bagian-bagian tersebut

ada yang menyebutnya dengan istilah abstraksi,*orientasi, komplikasi, evaluasi,

resolusi*dan koda. Lebih jelasnya, struktur teks cerita*pendek dijelaskan*sebagai

berikut ini.

1) Abstraksi merupakan bagian cerita*yang menggambarkan keseluruhan*isi

cerita.

2) Orientasi*atau pengenalan awal cerita yang berkaitan dengan penokohan.

3) Komplikasi*atau puncak$konflik, yakni bagian*cerpen yang*menceritakan

puncak*masalah yang dialami tokoh utama.

4) Evaluasi, yakni*bagian yang menyatakan komentar pengarang*atas peristiwa

puncak yang telah*diceritakannya.

5) Resolusi*merupakan tahap penyelesaian akhir dari seluruh rangkaian%cerita.

6) Koda*merupakan komentar*akhir terhadap keseluruhan$isi cerita, yang*diisi

dengan kesimpulan tentang yang dialami oleh tokoh*utama.

Hal yang sama dinyatakan oleh Kemendikbud*(2017: 125), bahwa struktur

cerpen sebagai*berikut:
28

1) Pengenalan*isi cerita*(exposition, orientation). Pada bagian*ini, pengarang

memperkenalkan*para tokoh, mengatur adegan, dan hubungan*antartokoh.

2) Pengungkapan*peristiwa*(complication). Pada bagian*ini, penulis

menyanjikan peristiwa awal yang menimbulkan berbagai*masalah,

pertentangan, ataupun kesukarankesukaran*bagi para tokohnya.

3) Menuju*pada adanya konflik$(rising action). Pada bagian ini, terjadi

peningkatan*perhatian*kegembiraan, kehebohan ataupun keterlibatan

berbagai*situasi yang menyebabkan bertambahnya*kesukaran tokoh.

4) Puncak*konflik*(turning point). Pada bagian ini, penulis memunculkan

klimaks. Inilah bagian cerita yang paling besar dan mendebarkan. Pada bagian

ini pula, ditentukannya perubahan*nasib beberapa tokohnya. Misalnya,

apakah dia kemudian berhasil menyelesaikan*masalahnya atau gagal.

5) Penyelesaian*(ending atau coda). Pada bagian ini, penulis menggambarkan

akhir cerita yang berisi tentang sikap atau nasib-nasib*yang dialami tokohnya

setelah mengalami*peristiwa*puncak itu. Namun, ada pula cerpen yang

penyelesaian akhir ceritanya itu diserahkan pada imaji pembaca. Jadi, akhir

cerita itu dibiarkan menggantung, tanpa ada penyelesaian.

Pendapat Kosasih dan Kemendikbud disetujui oleh Sumardjo (2004:16) yang

mengatakan bahwa struktur* dalam cerita pendek dikupas menjadi unsur-unsur yang

terdiri dari pengenalan, timbulnya konflik,*konflik memuncak, klimaks, dan

pemecahan soal. Artinya, dalam teks cerpen terdapat unsur dan struktur*yang

rangkaiannya jelas agar tulisan menjadi terpadu. Kemendikbud*(2014: 14)


29

menambahkan bahwa*struktur*teks cerpen$dimulai dari abstrak, diikuti*orientasi,

menuju komplikasi, yang kemudian melalui evaluasi menemukan solusi. Di bagian

akhir, teks cerpen ditutup oleh*koda.

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa unsur dan

struktur*cerpen merupakan rangkaian sebuah teks yang membentuk jalinan cerita

menjadi lebih menarik dan tersusun rapi. Struktur teks diawali dengan pengenalan isi

cerita dan diakhiri dengan penyelesaian cerita tersebut. Pada struktur teks cerpen,

terdapat struktur yang sederhana sehingga pembaca dapat memahami*isi dari cerita

yang dibaca.

d. Unsur-unsur*Pembangun$Teks*Cerpen

Setiap penyusunan karya sastra, termasuk cerpen harus memperhatikan unsur

pembentuknya. Unsur-unsur*pembangun teks atau juga disebut unsur*intrinsik

merupakan unsur-unsur*yang terdapat dari dalam teks yang membentuk teks itu

sendiri. Unsur*instrinsik terdapat di berbagai macam jenis teks*cerita pendek. Unsur

instrinsik cerpen ini merupakan suatu hal yang penting. Apabila*salah satu unsur

tidak ada, maka cerpen tidak bisa*disebut sebagai teks*cerpen.

Menurut Kemendikbud$(2017: 118) bahwa unsur yang membangun langsung

sebuah cerpen meliputi*tema, amanat, alur, penokohan*, dan*latar.

1) Tema*

Tema merupakan pokok persoalan utama yang dibahas dalam cerita. Tema

juga diartikan sebagai gagasan yang menjalin struktur isi cerita. Tema suatu cerita

menyangkut segala persoalan, baik itu masalah kemanusiaan, kekuasaan, kasih


30

sayang, kecemburuan, dan sebagainya. Untuk mengetahui tema suatu cerita,

diperlukan apresiasi menyeluruh terhadap berbagai unsur cerita. Tema jarang

dituliskan secara tersurat oleh pengarangnya sehingga untuk dapat merumusukan

tema, harus mengenali rangkaian peristiwa yang membentuk alur cerita dalam cerpen

itu.

2) Amanat

Amanat (message) pesan moral yang ingin disampaikan pengarang kepada

pembacanya. Amanat dalam cerpen umumnya bersifat tersirat; disembunyikan

pengarangnya di balik peristiwa-peristiwa yang membentuk isi cerita. Kehadiran

amanat pada umumnya tidak bisa lepas dari tema cerita. Misalnya, apabila tema cerita

tentang perjuangan kemerdekaan, maka amanat cerita itu pun tidak jauh dari

persoalan kemerdekaan.

3) Tokoh dan Penokohan

Tokoh merupakan pelaku cerita dan penokohan merupakan cara pengarang

menggambarkan dan mengembangkan karakter tokoh-tokoh dalam cerita.

4) Alur

Alur atau jalan cerita merupakan*pola pengembangan cerita yang terbentuk

oleh hubungan sebab*akibat ataupun bersifat kronologis. Pola pengembangan cerita

suatu cerpen bervariasi, ada yang cerita yang dikembangkan dengan menarik, mudah

dipahami, dan logis. Ada juga yang dikembangkan dengan penyajian jalan cerita yang

kadang-kadang berbelit-belit dan penuh kejutan, juga kadang-kadang*sederhana.


31

5) Latar*atau$setting

Setiap cerita tentu mengambil latar sebagai wadah penceritaannya. Latar

sangat penting kehadirannya karena mendukung suasana dalam cerita. Setting sebuah

cerita merupakan tempat, waktu, dan budaya yang digunakan dalam cerita. Latar*

cerita dapat bersifat nyata dan faktawi, juga bersifat imajinatif. Latar bertujuan

memperkuat atau mempertegas keyakinan pembaca terhadap jalannya suatu cerita.

6) Gaya*bahasa

Gaya bahasa disebut juga dengan stilistika. Stilistika*dan gaya berhubungan

dengan persoalan bahasa dalam karya sastra. Akan tetapi, dalam perkembangannya,

pengertian gaya juga dilihat di luar hubungan sastra. Paling tidak, dibedakan antara

gaya sastra dan gaya bukan sastra, dan gaya bukan sastra meliputi bahasa ilmiah,

bahasa hukum, bahasa teknik atau bahasa jurnalistik, yang mempunyai ciri-ciri

tersendiri. Stilistika merupakan ilmu yang meneliti penggunaan bahasa dan gaya

dalam karya sastra (Zaidan dkk., 2000). Pusat perhatian stilistika adalah style, yaitu

cara yang digunakan seseorang pembicara atau penulis untuk menyatakan maksudnya

dengan menggunakan bahasa*sebagai sarana.

e. Langkah-langkah*Menulis$Teks%Cerpen

Pembelajaran menulis cerpen memerlukan prosedur untuk memulai agar

cerpen yang*ditulis sesuai dengan kriteria*yang diinginkan. Prosedur menulis cerpen

bertujuan agar cerpen yang ditulis mempunyai daya*pikat sehingga cerpen menjadi
32

unik dan bermakna. Menulis cerpen dilakukan dengan memerhatikan*prosedur yang

telah dikemukakan oleh Hidayati*(2009: 95) sebagai$berikut ini.

1) Tentukan*ide: ide dirancang dengan cara membayangkan suatu kejadian

yang*pernah dialami atau yang telah membuat berkesan.

2) Memilih dan menetapkan tema dan ide*tersebut.

3) Menuliskan*semua hal yang berhubungan$dengan tema yang*sudah

ditentukan.

4) Menyusun rancangan kerangka*cerita dari awal sampai akhir cerita. Kerangka

dibuat berdasarkan hal yang berhubungan dengan tema*yang dipilih.

5) Cermati kembali desain kerangka cerita yang sudah dibuat dengan

menyunting kalimat-kalimat* yang kurang diperlukan.

6) Menulis*cerpen dimulai dengan mengacu pada kerangka yang sudah*dibuat.

Penulisan*cerpen ini harus memperhatikan pembaca dan

penggunaan$kalimat. Selain itu, isi cerita harus diawali oleh paragraf pertama

yang dapat menarik minat pembaca untuk menyelesaikan bacaannya, karena

kalimat pembuka cerita merupakan etalase sebuah cerita (kunci pembuka).

7) Setelah*menulis cerita, suntinglah$kembali dengan menghilangkan kalimat-

kalimat yang kurang*diperlukan.

8) Langkah*terakhir yaitu memberi judul%terhadap cerita yang telah*selesai

ditulis.

Selanjutnya, langkah-langkah* menulis juga dijelaskan Kosasih*(2014: 130)

sebagai berikut.
33

1) Menulis cerpen harus dimulai dengan menyiapkan kertas*kosong, spidol atau

pensil warna-warni.

2) Menuliskan*topik utama dari cerpen yang akan*dibuat di tengah-tengah

kertas.

3) Membuat cabang utama terkait*topik tersebut.

4) Teruskan*dengan membuat cabang-cabang$lainnya. Cabang-cabang*itu diisi

oleh kata-kata kunci*yang berhubungan dengan cabang$utama.

5) Menggunakan warna*yang menarik dan gambar atau simbol-simbol yang

mencerminkan pengalaman dan*imajinasi dengan topik-topik* yang dipilih.

6) Mengembangkan ide menjadi cerpen*yang utuh.

7) Penulisan* diakhiri dengan peninjauan kembali keseluruh isi, struktur dan

kaidah*kebahasaannya.

Langkah-langkah*menulis cerpen memiliki banyak teknik. Menurut

Aminudin*(2009: 48) bahwa teknik dan langkah-langkah menulis*cerita pendek

sebagai*berikut.

1) Tanamkan keyakinan bahwa*menulis cerpen itu menyenangkan, bukan

menakutkan.

2) Variasikan tulisan dan tidak terpatok pada tulisan*yang terlalu datar.

3) Tentukan tema atau kejadian*yang unik sesuai dengan pengalaman.

4) Janganlah memaksakan diri untuk menyelesaikan diri untuk menyelesaikan

tulisanmu dalam waktu*itu juga.

5) Ciptakanlah*suasana yang mendukung$tulisanmu.


34

6) Camkanlah*dalam*hatimu, bahwa*kemauan menulis*yang ada dalam dirimu

mampu$mengalahkan segala keraguan*dalam menulis.

Berdasarkan teori dari para ahli, dapat disimpulkan bahwa langkah-langkah*

menulis cerpen$mempunyai banyak*variasi. Saat*menulis cerpen suasana hati harus

mendukung, karena menulis cerpen memerlukan banyak ide yang menarik. Ide yang

menarik didukung oleh imajinasi penulis. Topik*yang diangkat bisa dari$pengalaman

hidup dan juga dari cerpen yang sudah*dibaca. Menulis cerpen dapat diawali dengan

membuat kerangka pemikiran. Selain itu, bisa*juga dengan menggambar peta*konsep

yang selanjutnya dikembangkan menjadi sebuah tulisan. Imajinasi dari penulis

dibutuhkan dalam mengembangkan*topik yang telah ditentukan. Langkah-langkah*

menulis*cerpen dilakukan untuk menghasilkan cerpen&yang unik dan menarik*bagi

pembaca.

B. Kerangka*Pikir

Pembelajaran*bahasa*Indonesia di tingkat SMA$sesuai dengan*Kurikulum

2013 menuntut peserta didik memahami materi pembelajaran yang berbasis teks.

Salah satunya adalah teks tulis. Salah satu keterampilan menulis yang harus dikuasai

peserta didik adalah menulis teks cerpen dengan baik. Dalam menulis teks cerpen

dengan baik, peserta didik diharapkan mampu mengungkapkan dan menceritakan

kepada pembaca peristiwa demi peristiwa yang bergerak dari awal sampai akhir

sehingga pembaca akan mendapatkan gambaran yang jelas, seolah-olah dia sendiri

mengalami cerita yang dituturkan penulis.


35

Penelitian ini difokuskan pada peningkatan pembelajaran menulis teks cerpen

dengan konsep mengembangkan cerita rakyat menjadi cerpen. Pelaksanaannya

dilakukan dengan mengubah, menyadur, dan memformulasi teks cerita rakyat

menjadi cerpen. Peserta didik mengamati dan membaca gambaran-gambaran

kejadian dan fenomena dalam cerita rakyat, lalu mengubahnya menjadi cerpen.

Berdasarkan isi cerita rakyat yang dibaca dalam cerita rakyat, selanjutnya

dituangkan dalam bentuk tulisan cerpen yang berisi abstrak (sinopsis) yangki bagian

cerpen yang menggambarkan keseluruhan isi cerita yang mewakili cerita rakyat.

Unsur selanjutnya adalah orientasi*atau pengenalan cerita, baik itu$berkenaan

dengan penokohan*ataupun bibi-bibit*masalah yang*dialaminya dalam cerita rakyat.

Unsur komplikasi atau puncak konflik, yakni bagian cerpen yang menceritakan

puncak masalah yang dialami tokoh utama dalam cerita rakyat. Evaluasi*, yakni*

bagian*yang menyatakan*komentar pengarang atas peristiwa*puncak yang telah

diceritakannya. Resolusi merupakan tahap penyelesaian*akhir dari seluruh

rangkaian*cerita. Unsur terakhir koda merupakan komentar akhir terhadap

keseluruhan isi cerita, mungkin juga diisi dengan kesimpulan tentang hal-hal yang

dialami tokoh*utama.

Dari hasil temuan tersebut* dapat ditarik simpulan tentang kompetensi

mengembangkan cerita rakyat ke dalam bentuk cerpen peserta didik kelas X SMA

Negeri 10 Makassar. Secara skematis, kerangka pikir dalam penelitian ini dapat

digambarkan berikut ini.


36

Pembelajaran Bahasa Kurikulum 2013


Indonesia

Kemampuan Mengembangkan
Cerita Rakyat Menjadi Cerpen

Abstrak
Orientasi
Komplikasi
Evaluasi
Resolusi
Koda

Tes Keterampilan
Mengonstruksi Teks Cerpen

Analisis

Temuan

Peserta Didik Mampu Mengembangkan Cerita Rakyat

ke dalam Bentuk Cerpen

Gambar 2.1. Bagan kerangka pikir


37

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Desain Penelitian

Penelitian ini durancang dengan menggunakan jenis penelitian kuantitatif dan

membatasi permasalahan pada proses dan kemampuan mengembangkan cerita rakyat

ke dalam bentuk menulis cerpen peserta didik kelas X SMA Negeri 10 Makassar.

Selanjutnya, peneliti menggunakan teori Sugiyono (2014: 23) untuk merumuskan dan

memecahkan masalah tersebut. Menurutnya, “Rancangan dan desain*penelitian harus

spesifik, jelas, dan rinci dan ditentukan secara mantap*sejak awal. Hal ini menjadi

pegangan langkah*demi*langkah”. Jadi, jenis dan desain*penelitian*ini adalah

penelitian kuantitatif yang bertujuan mengetahui hasil kemampuan mengembangkan

cerita rakyat ke dalam bentuk menulis cerpen peserta didik kelas X SMA Negeri 10

Makassar.

B. Variabel Penelitian

Dalam penelitian ini variabel yang akan diselidiki yaitu kemampuan

mengembangkan cerita rakyat ke dalam bentuk menulis cerpen peserta didik kelas X

SMA Negeri 10 Makassar. Pembelajaran mengembangkan cerita rakyat terdiri atas

proses dan kemampuan mengembangkan cerita rakyat ke dalam bentuk cerpen

peserta didik kelas X SMA Negeri 10 Makassar.


38

C. Definisi Operasional Variabel

Untuk mencegah salah pemahaman tentang variabel pada penelitian,

didefinisikan operasional variabel penelitian.

1. Pengembangan cerita rakyat ke dalam bentuk cerpen adalah segala langkah,

upaya, dan tindakan yang dilakukan, baik guru maupun peserta didik dalam

pembelajaran mengembangkan cerita rakyat ke dalam bentuk cerpen. Dari aspek

guru, meliputi metode, teknik, strategi, model, dan pendekatan pembelajaran.

Dari aspek peserta didik meliputi aktivitas, kreativitas, keaktifan, kreativitas, dan

inovasi peserta didik selama mengembangkan cerita rakyat ke dalam bentuk

cerpen.

2. Hasil kemampuan mengembangkan cerita rakyat ke dalam bentuk cerpen adalah

suatu output atau produk sebagai wujud kemampuan dan kompetensi yang

dihasilkan oleh peserta didik yakni teks cerpen hasil pengembangan dan gubahan

dari cerita rakyat yang memiliki komponen dan kelengkapan struktur cerpen,

seperti abstrak (sinopsis), orientasi*atau pengenalan*cerita, komplikasi*atau

puncak* konflik, evaluasi*, resolusi, dan koda.

D. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah semua anggota kelompok manusia, binatang, peristiwa, atau

bena yang tinggal bersama dalam satu tempat dan secara terencana menjadi ratget

kesimpulan dari hasil akhir suatu penelitian (Sukardi, 2016: 53) . Populasi penelitian

ini adalah seluruh peserta didik Kelas X SMA Negeri 10 Makassar yang berjumlah
39

353 orang yang terbagi*ke dalam* sepuluh kelass. Sifat$dan karakteristik*populasi

penelitian ini adalah sama (homogen) karena peserta didik diajar oleh guru yang

sama, metode yang sama, dan materi yang sama selama di kelas X. Untuk lebih

jelasnya, keadaan populasi dapat dilihat pada tabel 3.1 berikut ini.

Tabel 3.1 Keadaan Populasi


No Kelas Jumlah
1. X MIPA-1 36
2. X MIPA-2 36
3. X MIPA-3 36
4. X MIPA-4 36
5. X MIPA-5 36
6. X MIPA-6 36
7. X MIPA-7 36
8. X IPS-1 34
9. X IPS-2 34
10. X IPS-3 33
Jumlah 353 orang
Sumber: Tata Usaha SMA Negeri 10 Makassar Tahun Ajaran 2019/2020

2. Sampel

Sampel digunakan untuk mendapatkan gambaran dari populasi. Menurut

Bailey (dalam Prasetyo, 2006: 119) “Sampel merupakan bagian dari keseluruhan

populasi yang ingin dikaji”. Oleh karena itu, sampel harus dilihat sebagai suatu

gambaran populasi dan bukan populasi itu sendiri. Mengacu pada pernyataan

tersebut, penarikan sampel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan

teknik acak sederhana (simlpe random sampling). Teknik acak sederhana adalah

teknik yang memberikan kesempatan yang sama pada setiap anggota populasi untuk

dipilih sebagai sampel. Dengan kesempatan yang sama ini, hasil dari suatu penelitian
40

dapat digunakan untuk memprediksi populasi. Selain itu, teknik acak sederhana

dipakai karena populasi penelitian bersifat homogen.

Melihat pernyataan diatas maka pengambilan sampel menggunakan teori

Slovin untuk tingkat kesalahan 10% sebagaimana dikemukakan oleh Prasetyo (2006:

137). Jadi, sampel penelitian ini berjumlah 10% atau 35 orang dari 353 populasi.

E. Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah

pengamatan dan tes.

1. Pengamatan. Pengamatan dilakukan dengan mengamati proses pembelajaran

mengembangkan cerita rakyat ke dalam bentuk cerpen selama 3 kali pertemuan

(6x45 menit). Aspek yang diamati adalah segala bentuk aktivitas guru dan peserta

didik selama proses pembelajaran.

2. Tes. Teknik ini dilakukan dengan menguji kemampuan atau keterampilan

mengembangkan cerita rakyat ke dalam bentuk cerpen peserta didik kelas X SMA

Negeri 10 Makassar.

F. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini, data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan

teknik statistik deskriptif kuantitatif dengan bantuan SPSS versi 20. Adapun langkah-

langkah menganalisis data sebagai berikut:


41

1. Membuat daftar nilai mentah.

Nilai mentah dibuat dengan mengacu pada aspek penilaian keterampilan menulis

teks cerpen sebagai berikut:

a. Abstrak (sinopsis) berskor 0-5 dengan kriteria sebagai berikut:

1) Abstrak disajikan dengan sangat lengkap yang menggambarkan kondisi

awal cerita (tokoh, latar, dan permasalahanya), berskor 5.

2) Abstrak disajikan dengan lengkap, tetapi menggambarkan kondisi awal

cerita (tokoh, latar, dan permasalahanya), berskor 4.

3) Abstrak disajikan kurang lengkap, tetapi berupaya menggambarkan

kondisi awal cerita (tokoh, latar, dan permasalahanya), berskor 3.

4) Abstrak disajikan tidak lengkap, tetapi berupaya menggambarkan kondisi

awal cerita (tokoh, latar, dan permasalahanya), berskor 2.

5) Abstrak tidak disajikan dalam teks serta tidak tampak upaya

menggambarkan kondisi awal cerita (tokoh, latar, dan permasalahanya),

berskor 1.

b. Orientasi atau pengenalan cerita berskor 0-5 dengan kriteria sebagai

berikut:

1) Orientasi disajikan dengan sangat lengkap yang menggambarkan

pengenalan cerita (siapa tokohnya, latarnya di mana, dan pokok

penceritaannya akan diarahkan ke mana), berskor 5.


42

2) Orientasi disajikan dengan lengkap yang menggambarkan pengenalan

cerita (siapa tokohnya, latarnya di mana, dan pokok penceritaannya akan

diarahkan ke mana), berskor 4.

3) Orientasi disajikan dengan kurang lengkap, tetapi ada upaya

menggambarkan pengenalan cerita (siapa tokohnya, latarnya di mana, dan

pokok penceritaannya akan diarahkan ke mana), berskor 3.

4) Orientasi disajikan dengan tidak lengkap, tetapi tampak upaya pengenalan

cerita (siapa tokohnya, latarnya di mana, dan pokok penceritaannya akan

diarahkan ke mana), berskor 5.

5) Orientasi tidak disajikan dalam teks serta tidak tampak pengenalan cerita

(siapa tokohnya, latarnya di mana, dan pokok penceritaannya akan

diarahkan ke mana), berskor 1.

c. Komplikasi atau puncak konflik berskor 0-5 dengan kriteria sebagai

berikut:

1) Komplikasi atau puncak konflik disajikan dengan sangat lengkap yang

menggambarkan permasalahan utama dalam cerita (apa yang terjadi

tokohnya), berskor 5.

2) Komplikasi atau puncak konflik disajikan dengan lengkap yang

menggambarkan permasalahan utama tokoh (apa yang terjadi pada

tokohnya), berskor 4.
43

3) Komplikasi atau puncak konflik disajikan dengan kurang lengkap,

tetapi ada upaya menggambarkan permasalahan utama tokoh (apa

yang terjadi pada tokohnya), berskor 3.

4) Komplikasi atau puncak konflik disajikan dengan tidak lengkap, tetapi

tampak upaya menggambarkan permasalahan utama tokoh (apa yang

terjadi pada tokohnya), berskor 2.

5) Komplikasi atau puncak konflik tidak disajikan dalam teks serta tidak

tampak upaya menggambarkan permasalahan utama tokoh (apa yang

terjadi pada tokohnya), berskor 1.

d. Evaluasi berskor 0-5 dengan kriteria sebagai berikut:

1) Evaluasi disajikan dengan sangat lengkap yang menggambarkan

tanggapan dan respons terhadap permasalahan utama dalam cerita,

berskor 5.

2) Evaluasi disajikan dengan lengkap yang menggambarkan tanggapan

dan respons permasalahan utama tokoh, berskor 4.

3) Evaluasi disajikan dengan kurang lengkap, tetapi ada upaya

menanggapai dna merespons permasalahan utama tokoh, berskor 3.

4) Evaluasi disajikan dengan tidak lengkap, tetapi tampak upaya

menggambarkan respons dan tanggapan terhadap permasalahan utama

tokoh, berskor 2.
44

5) Evaluasi tidak disajikan dalam teks serta tidak tampak upaya

menggambarkan repsons dan tanggapan terhadap permasalahan utama

tokoh, berskor 1.

e. Resolusi berskor 0-5 dengan kriteria sebagai berikut:

1) Resolusi disajikan dengan sangat lengkap yang menggambarkan

seluruh penyelesaian akhir dari seluruh rangkaian cerita, berskor 5.

2) Resolusi disajikan dengan lengkap yang menggambarkan seluruh

penyelesaian akhir dari seluruh rangkaian cerita, berskor 4.

3) Resolusi disajikan dengan kurang lengkap, tetapi ada upaya

menggambarkan penyelesaian akhir dari seluruh rangkaian cerita,

berskor 3.

4) Resolusi disajikan dengan tidak lengkap, gambaran penyelesaian akhir

dari seluruh rangkaian cerita kurang jelas, berskor 2.

5) Resolusi tidak disajikan dalam teks serta tidak tampak upaya

menggambarkan seluruh penyelesaian*akhir dari*seluruh rangkaian*

cerita*, berskor 1.

f. Koda* berskor 0-5 dengan kriteria sebagai berikut:

1) Koda disajikan dengan sangat lengkap yang menggambarkan seluruh

rangkaian akhir cerita (bagaimana kondisi terkini dari permasalahan

yang telah dialami oleh tokoh), berskor 5.


45

2) Koda disajikan dengan lengkap yang menggambarkan seluruh

rangkaian akhir cerita (bagaimana kondisi terkini dari permasalahan

yang telah dialami oleh tokoh), berskor 4.

3) Koda disajikan dengan kurang lengkap, tetapi tampak upaya

menggambarkan seluruh rangkaian akhir cerita (bagaimana kondisi

terkini dari permasalahan yang telah dialami oleh tokoh), berskor 3.

4) Koda disajikan dengan tidak lengkap, penggambaran seluruh

rangkaian akhir cerita (bagaimana kondisi terkini dari permasalahan

yang telah dialami oleh tokoh) kurang jelas, berskor 2.

5) Koda tidak disajikan sehingga tidak tampak penggambaran seluruh

rangkaian akhir cerita (bagaimana kondisi terkini dari permasalahan

yang telah dialami oleh tokoh), berskor 1.

2. Membuat*distribusi frekuensi*dari nilai mentaah.

3. Membuat*klasifikasi$kemampuan sampel.

Untuk menilai kemampuan* peserta didik, maka digunakan interval penilaian

dari adaptasi penilaian dari Nurgiyantoro (2014: 253)

Tabel 3.2 Kategori Taraf Pencapaian Keterampilan Peserta didik

No Interval Nilai* Tingkat Kemampuan*


1 86 – 100 Sangat mampu
2 76 – 85 Mampu
3 56 – 75 Kurang mampu
4 10 - 55 Tidak mampu
(Diadaptasi dari*Nurgiyantoro, 2014: 253)
46

Berdasarkan tabel 3.2 interval nilai kemampuan peserta didik dibagi ke dalam

empat kategori. Interval 86 – 100 dikategorikan sangat mampu, 76, - 85

dikategorikan mampu, 56 – 75 dikategorikan kurang mampu, dan 10 – 55

dikategorikan tidak mampu.

Tolok ukur kemampuan mengembangkan cerita rakyat ke dalam bentuk

cerpen peserta didik kelas X SMA Negeri 10 Makassar disesuaikan dengan penilaian

kurikulum 2013, yaitu: jika jumlah peserta didik mencapai 85% yang mendapat nilai

75 ke atas dianggap terampil dan jika jumlah peserta didik kurang dari 85% yang

mendapat nilai di bawah 75 dianggap tidak terampil dalam mengembangkan cerita

rakyat ke dalam bentuk cerpen peserta didik kelas X SMA Negeri 10 Makassar.
47

DAFTAR*PUSTAKA

Akhadiah, Sabarti, dkk., 1994. Pembinaan*Kemampuan Menulis Bahasa Indonesia.


Jakarta: Erlangga.

Al- Hajj, Ihtihsan. 2005. “Strategi Menulis Puisi Akrostik sebagai Upaya
Meningkatkan Keterampilan Menulis Puisi Peserta didik Kelas X SMP Negeri
2 Kendari.” Tesis. Makassar: PPs UNM.

Ambo Enre, Fachruddin. 1994. Dasar-dasar Keterampilan Menulis. Ujung Pandang:


IKIP Ujung Pandang.

Aminuddin. 1990. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru.

Aziz, Siti Aida dan Sukri Syamsuri. 2011. Apresiasi dan Kajian Puisi. Surabaya:
Putra Media Nusantara.

Best, John W. 1977. Research in*Education. New Jersey: Prentice-Hall Inc.

Danandjaja, James. 1987. Folklor Indonesia. Jakarta: PT Temprint.

Depdiknas. 2006. Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah. Jakarta: Depdiknas.

Depoter, B. & Hernacki, M., 2001. Quantum Learning: Membiasakan Belajar


Nyaman dan Menyenangkan. Terjemahan Abudurrahman Bandung: Kaifa.

Effendi, S., 1996. Bimbingan Apresiasi Puisi. Ende: Nusa Indah.

Fajar, Arnie, 2002. Portofolio dalam Pelajaran IPS. Bandung: PT Remaja


Rosdakarya.

Firman. 2003. “Kemampuan Peserta didik Kelas II SLTPN Sajoanging*Kabupaten


Wajo Menulis Puisi Melalui Media atau Bantuan Pengalaman Pribadi Peserta
didik”. Skripsi. Makassar: FBS UNM.

Ghofur, Abdul. 2003. Pola Induk Pengetahuan Sistem Penilaian. Proyek


Peningkatan Mutu Sulawesi Selatan. Makassar: LPMP.

bHartoko, A., 1989. Pengantar Ilmu Sastra. Surabaya: Usaha Nasional.

Ibrahim, Muslim, dkk., 2002. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: UNESA.

Keraf, Gorys. 2005. Argumentasi dan Narasi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
48

Mattalitti, M. Arief. 1986. Pappaseng To Riolota. Jakarta: Departemen Pendidikan


Nasional.

Mirriam, Caryn. 2006. Daripada Bete Nulis Aja. Bandung: KAIFA.

Mukhtar. 2011. ”Peningkatan Kemampuan Menulis Puisi pada Mata Pelajaran


Bahasa Indonesia melalui Lagu Daerah Bugis sebagai Media Pembelajaran
Peserta didik Kelas X SMAN 1 Mattirosompe Kabupaten Pinrang”. Tesis.
Makasar: PPs UNISMUH.

Mustopo, Habib M. 1983. Ilmu Belajar Dasar, Kumpulan Esai Manusia dan Belajar.
Surabaya: Indonesia Usaha Nasional.

Nurgiyantoro, Burhan. 2014. Penilaian dan Pengajaran Bahasa dan Sastra.


Yogyakarta: BPFE.

Nurwahidah. 2008. ”Keefektifan Penggunaan Media Audiovisual dalam


Pembelajaran Menulis Puisi Peserta didik Kelas XI SMP Somba Opu
Kabupaten Gowa.” Skripsi. Makassar: FBS UNM.

Popham, James W., 1995. Classroom Assessment: What Teacher Need to Know.
USA: A.Simon & Schuster Company.

Pradopo, Rahmat Djoko. 1999. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press.

Rahmanto, B. 1998. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisus.

Semi, M. Atar. 1994. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa.

Sudjana, Nana. 2005. Tuntunan Penyusunan Karya Ilmiah. Bandung: Sinar Baru
Algensindo

Sudjiman, Panuti. 1990. Memahami Kesusastraan. Bandung.

Suharianto, S., 1982. Dasar-dasar Teori Sastra. Surakarta: Widya Duta.

Suhartini. 2005. “Kemampuan Menulis Puisi Peserta didik Kelas III Bahasa SMA
Negeri 1 Bajeng” Skripsi. Makassar: FBS UNM.

Sukardi. 2016. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Sumardjo, J., 2001. Catatan Kecil tentang Menulis Cerpen. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
49

Sutjarso, Adi S. 2001. Pengajaran Puisi. Makassar: FBS UNM.

Syafi’ie, Imam. 1998. Retorika dalam Menulis. Jakarta: Depdikbud.

Waluyo, Herman J. 1995. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.

Zaidan, Abdul Rozak, Anita K. Rustapa, dan Hani’ah. 2000. Kamus Istilah Sastra.
Jakarta: Balai Pustaka.

Zaidan, Hendy. 2005. Pelajaran Sastra. Jakarta: Grasindo.

Anda mungkin juga menyukai