Anda di halaman 1dari 18

SEJARAH KONSELING DI SEKOLAH

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Bimbingan dan Konseling di Sekolah

Dosen Pengampu : Feida Noorlaila Isti’adah, M. Pd

Oleh Kelompok 1 (BK-5A)

Muhammad C1986201075
Ramdani Alfain
Shinta Alvionita C1986201007
Sophia Rahma C1986201072
Kamila

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH TASIKMALAYA

2021

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Sejarah Konseling Sekolah” ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata
kuliah Bimbingan dan Konseling Sekolah. Selain itu, makalah ini juga bertujuan
untuk menambah wawasan tentang Sejarah Konseling Sekolah bagi para pembaca
dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Feida Noorlaila Isti’adah, M.Pd,
selaku dosen pengampu yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami
tekuni.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun kami nantikan demi perbaikan
makalah yang akan kami buat di masa yang akan datang, menginat tidak ada
sesuatu yang semourna tanpa adanya saran yang membangun.

Tasikmalaya, Oktober 2021

Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ruang Lingkup Pembahasan

Tujuan Penulisan

BAB II PEMBAHASAN

Sejarah Konseling Sekolah

BAB III PENUTUP

Simpulan

Saran

Daftar Pustaka

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah merupakan usaha membantu
peserta didik dalam pengembangan kehidupan pribadi, kehidupan sosial
kegiatan belajar, serta perencanaan dan pengembangan karir. Pelayanan
bimbingan dan konseling memfasilitasi pengembangan peserta didik secara
individual, kelompok, dan atau klasikal, sesuai dengan kebutuhan, potensi,
bakat, minat, perkembangan, kondisi, serta peluang-peluang yang dimiliki.
Pelayanan ini juga membantu mengatasi kelemahan dan hamba tan serta
masalah yang dihadapi peserta didik.
Dasar pemikiran penyelenggaraan bimbingan dan konseling di sekolah bukan
semata-mata terletak pada ada atau tidak adanya landasan hukum (perundang-
undangan) atau ketentuan dari atas, namun yang lebih penting adalah
menyangkut upaya memfasilitasi peserta didik yang selanjutnya disebut
konseli, agar mampu mengembangkan petensi dirinya atau mencapai tugas-
tugas perkembangannya (menyangkut aspek fisik, emosi, intelektual, sosial
dan moral spiritual).
Konseling sebagai seorang individu yang sedang berada dalam proses
berkembang atau menjadi (on becoming), yaitu berkembang ke arah
kematangan atau kemandirian. Untuk mencapai kematangan tersebut, konseli
memerlukan bimbingan karena mereka masih kurang memiliki pemahaman
atau wawasan tentang dirinya dan lingkungannya, juga pengalaman yang
menentukan arah kehidupannya. Di samping itu, terdapat suatu keniscayaan
bahwa proses perkembangan konseli tidak selalu berlangsung secara mulus,
atau bebas dari masalah. Dengan kata lain, proses perkembangan itu tidak
selalu berjalan dalam alur linier, lurus, atau searah dengan potensi, harapan,
dan nilai-nilai yang dianut.

Ruang Lingkup Pembahasan

Histori Konseling di Sekolah


.

Tujuan Penulisan

Untuk Mengetahui Histori Konseling di Sekolah

Untuk Mengetahui

Untuk Mengetahui

BAB II
PEMBAHASAN

A. Tinjauan Histori Konseling di Sekolah

Selama sejarahnya, sonseling sekolah memiliki empat penekana utama :


Bimbingan Kejuruan, Kesehatan Mental, Penyesuaian Pribadi, dan Bimbingan
Perkembangan (R.A Thompson, 2002).

1. Bimbingan Kejuruan

Revolusi Industri abad ke-19 mendorong migrasi besar-besaran dan migrasi ke


kota-kota besar di Amerika Serikat dan menghasilkan kekayaan bagi segelintir
orang dan kesulitan bagi banyak orang. Kondisi kerja yang eksploitatif, bersama
dengan kurangnya perumahan yang memadai dan dukungan sosial, memunculkan
gerakan progresif yang berusaha memperbaiki kondisi orang miskin. Pada
pergantian abad, gerakan paralel telah muncul dalam menanggapi sejumlah besar
anak-anak yang meninggalkan sekolah umum untuk mendapatkan upah rendah di
bawah kondisi yang sangat tidak menguntungkan (C.H Miller, 1954). Gerakan
Bimbingan Kejuruan memiliki dua tujuan :

a. Untuk memperbaiki situasi anak-anak yang putus sekolah


b. Untuk lebih mempersiapkan mreka di sekolah untuk tempat kerja

Bimbingan dalam Kurikulum pada dekade awal abad ke-20, fokus


konseling sekolah adalah pada bimbingan, yaitu membantu siswa membuat
pilihan pendidikan dan pekerjaan melalui penyebaran informasi (Aubrey, 1977).
Komponen ke dua dari bimbingan yang menjadi bagian dari kurikulum sekolah
umum adalah kepekaan siswa terhadap penyakit sosial dan berkontribusi pada
perkembangan moral mereka (Aubrey, 1977; Baker, 2000).

Jesse B. Davis, seorang kepala sekolah menengaj di Grand Rapids, Michigan,


dipuji karena memperkenalkan bimbingan secara sistematis ke sekolah-sekolah,
pada awal abad ke-20, David menyisihkan satu periode kelas bahasa inggris
seminggu “untuk membantu siswa sekolah menengah lebih memahami karakter
mereka sendiri, meniru model peran yang baik dan berkembang menjadi pekerja
yang bertanggung jawab secara sosial” (Baker, 2000, hal 3). Gysbers dan
Henderson (2003) menggambarkan kurikulum Davis :

 Grade 7 : Vocational ambition


 Grade 8 : The value of education
 Grade 9 : The elements of character that make for success
 Grade 10 : The world’s work: A call to service
 Grade 11 : Choosing a vocation
 Grade 12 : Preparing for one’s life work

Pada periode yang sama, Frank Parsons bekerja di Boston. Seperti Davis,
Parsons berfokus pada anak-anak yang berisiko, terutama mereka yang telah
meninggalkan sekolah dan tampak tersesat dalam pergolakan yang disebabkan
oleh Revolusi industri. Pada tahun 1908, Parsons mendirikan Biro Kejuruan,
lembaga bimbingan pertama di Amerika Serikat (Ginzberg, 1971). Parsons (1909)
percaya bahwa pertimbangan yang cermat. dari bakat, kemampuan, ambisi,
sumber daya, dan keterbatasan masing-masing individu, dan hubungannya dengan
kesuksesan di industri yang berbeda, adalah dasar dari bimbingan kejuruan itu
masih penting bagi banyak program bimbingan karir kontemporer. Melalui
Parsons, pengaruh, sekolah umum Boston meminta bantuan Biro Kejuruan dalam
- mengembangkan dan melaksanakan program bimbingan kejuruan (Gysbers &
Henderson, 2000), Sementara Parsons bekerja di Boston, E. W Weaver berperan
penting dalam mendirikan program kejuruan di sekolah-sekolah New York City.
Pada tahun 1910, sekitar 35 kota di Amerika Serikat memiliki beberapa bentuk
bimbingan kejuruan dan - pendidikan di sekolah mereka (Aubrey, 1977).

Henry Borrow (1964, dalam Ahmad & Rohani, 1991) dalam bukunya Man in
a World of Work, mengemukakan beberapa rangkaian peristiwa tertentu dari
sejarah secara kronologis, diantaranya;

a. Periode Formatif
Dalam kurun waktu ini, konseling mulai muncul ketika Jesse B Davis tahun
1989 mulai bertugas sebagai konselor pada Central High School di Datrioit,
Michigan. Selama 10 tahun bekerja di sekolah menengah atas itu, Davis telah
memberikan bantuan kepada para siswa yang menghadapi masalah pendidikan
dan pekerjaan. Willian R. Harper, menyebut konseling itu sebagai Scientific
Study of the Student (kajian ilimiah peserta didik0, dalam bentuk pengajaran
individual yang kemudian menelorkan tenaga spesialis di perguruan tinggi.
Ely Weaver pada tahun 1906, mempublikasikan “booklet” Choo-sing a Career
(pemilihan karir). Tahun 1908, Parsons mendirikan The Vactional Bareau di
Boston, dan tahun berikutnya 1909 Wiliiam Healy membuka Juvenile
Physicocpathic Institute di Chicago. Dinamika konseling kemudian maju pesat
di Amerika, hal ini ditandai dengan diadakannya konferensi bimbingan
nasional pertama pada tahun 1910 di Boston. Kemudian, pada tahun 1911,
Harvard University memberikan kuliah bimbingan vokasional di perguruan
tinggi ternama itu, dengan Meyer Bloom Field. (Amin, 2014, hlm. 10).

b. Periode Kemudian

Periode ini sebetulnya adalah prosesi perkembangan konseling ke tahapan


berikutnya setelah dimulainya fase awal (periode formatif). Pergerakan
konseling di periode ini ditandai dengan didirikannya Occupational
Information & Guidance Service di “US Office of Education” oleh Harry A.
Jagger tahun 1938. Selang satu tahun, Departemen Pendidikan AS ini
menerbitkan Dictionary of Occutional Titles.

Kemudian pada tahun 1942, John M. brewer mempublikasikan bukunya yang


berjudul History of Vocational Guidance, dan tahun 1946 pemerintah Amerika
mensahkan Undang-Undangan Penggunaan Dana Federal Untuk Bimbingan
Vokasional. Selanjutnya, pada tahun 1951 terbentuklah asosiasi (persatuan)
orang-orang yang peduli pada bimbingan dan konseling yang dinamakan
dengan American Personal and Guidance Association (APGA).

Ringkasnya, dinamika pertumbuhan bimbingan dan konseling melaju pesat


sejalan dengan irama waktu. Misalnya, periode 1960-1970-an perhatian akan
difokuskan pada kejelasan dan fungsi konseling, penggunaan pendekatan
kelompok, pemanfaatan computer dalam informasi karir dan penggunaan
teknik modifikasi perilaku, dsb. (Amin, 2014, hlm. 10).

Frank Parsons dikenal sebagai “Father of the Guidance Movement in


American Education”. Dialah yang mengemukakan istilah vocational
guidance, yang meliputi vocational choice, vocational voicement, dan
vocational training untuk memperoleh efisiensi dalam pekerjaan. Selain itu dia
mengusulkan agar vocational guidance dimasukkan kedalam kurikulum
sekolah. (Salahudin, 2010)

Menurut Parsons, pekerjaan sebagai konselor mestinya memiliki hal-hal


sebagai berikut :

a. Pengetahuan yang bisa diaplikasikan secara praktis mengenai prinsip dan


metode fundamental psikologi modern.
b. Pengalaman yang memampukannya bergaul dengan tepat dan membangun
perkenalan intim dengaan watak manusia di banyak fase perkembangan
berbeda, ia harus mengerti motif, minat dan ambisi dominan mereka, dan
peka mengenali sinntom-sintom yang mengindikasikan hadir tidaknya
elemen-elemen penting karakter mereka entah yang positif atau
menyimpang.
c. Kemampuan menghadapi anak-anak muda dengan cara-cara yang simpatik
bersemnagat, penuh rasa ingin tahu, mau menolong dengan tulus dan
kreatif melakukan terobosan.
d. Pengetahuan mengenai persyaratan dan kondisi sukses, kompensasi dan
prospeknya, untung ruginya, tantangan, hambatan dan peluangnya, dan
sebagainya di berbagai jalur dan jenjang kariernya. Informasi yang
berkaitan dengan arah studi dan cara mempersiapkan diri menghadapi
beragam tantangan dan mengembangkan efisiensinya.
e. Informasi yang berkaitan dengan arah studi dan cara mempersiapkan diri
menghadapi beragam tantangan dan mengembangkan efisiensinya.
f. Pengetahuan tentang metode ilmiah untuk menganalisis dan prinsipprinsip
penyelidikan dimana hukum dan penyebab bisa dikenali, fakta
diklasifikasi, dan kesimpulan yang tepat ditarik. Konselor harus bisa
mengenali fakta-fakta mana saja yang esensial, dan prinsip-prinsip mana
saja yang terlibat di setiap kasusnya, lalu mengelompokkan mereka
berdasarkan relasi-relasinya dan menarik kesimpulan yang sahih.
(Gibson & Mitchell, 2011:10-11)

Psikometri, Gerakan bimbingan kejuruan bukanlah produk dari teori


psikologi. Berawal dari perspektif sosiologis, sebuah respon terhadap masalah-
masalah sosial pada masa itu, khususnya eksploitasi terhadap anak-anak dan
persepsi kurangnya pengarahan anak-anak baik di dalam maupun di luar sekolah.
Tapi tak lama setelah Perang Dunia I, psikometri akan memberikan bimbingan
kejuruan landasan.

Aubrey (1977) mempertanyakan apakah gerakan bimbingan kejuruan akan


bertahan tanpa dukungan psikometri, disiplin pengujian, Tujuan mendasar dari
bimbingan kejuruan adalah untuk mencocokkan pekerja dan pekerjaan. Sebuah
kecocokan yang layak bergantung pada kedua pendidik dan kemampuan siswa
untuk mendefinisikan minat, kemampuan kekuatan, dan keterbatasan" (hal. 291).
Parsons telah mengembangkan struktur triadik untuk bimbingan kejuruan yang
menggabungkan diagnosis, Informasi, dan penempatan. Meskipun sebagian besar
pendidik memiliki akses ke informasi tentang pekerjaan, diagnosis dan
penempatan tampaknya lebih didasarkan pada intuisi daripada pengetahuan. Binet
dan Simon (1905), bekerja di Paris, telah mengembangkan skala untuk mengukur
kemampuan mental, dan pada tahun 1917 Angkatan Darat AS mengembangkan
tes Army Alpha dan Army Beta untuk mengklasifikasikan jutaan pemuda yang
memasuki dinas militer (Baker, 2000). Instrumen ini akan terbukti sangat berguna
bagi pendidik bimbingan kejuruan dalam mencari cara sistematis untuk menilal
komponen kunci dari pilihan kejuruan.

Pada 1920-an, pendidik kejuruan menggunakan tes psikologis sebagai dasar


untuk pengumpulan informasi, penilaian dan diagnosis, dan penempatan. Seperti
praktisi pengujian standar lainnya, mereka tergelincir ke dalam penggunaan tes
yang aku untuk memberi label, mengklasifikasikan mengkategorikan, dan
menyortir individu. Ini tampaknya bertentangan dengan tujuan awal bimbingan
kejuruan untuk mempromosikan martabat manusia dan penentuan nasib sendiri
(Aubrey, 1977). Sebaliknya, “bimbingan kejuruan menjadi berorientasi pada
masalah, berpusat pada pribadi psikologis yang dapat disesuaikan-bukan masalah
moral sosial, agama, etika, atau politik” (A.H. Johnson, 1973, hlm. 201).

2. Kesehatan Mental (1930-1942)


Selama tahun 1930-an, konseling sekolah mulai kurang focus pada bimbingan
kejuruan dan lebih pada kesehatan mental (Gysbers & Henderson, 2003).
Pendidik kejuruan, mencoba membuat penempatan kerja yang tepat, menemukan
serangkaian masalah pribadi diantara siswa mereka, termasuk permusuhan
terhadap otoritas, kesulitan keuangan, kehidupan rumah tangga yang bermasalah,
dan hubungan seksual yang tidak dipandang bulu (Rudy, 1965). Meskipun praktisi
bekerja dengan masalah di luar karir dan pekerjaan, mereka masih berfungsi
terutama sebagai guru, menyampaikan informasi kepada orang-orang muda
(Aubrey, 1977). Dalam bukunya “Bagaimana Menasehati Siswa (1939)”,
Williamson menggambarkan proses sebagai “berpusat pada konselor”: Konselor
ditugaskan untuk mendiagnosis masalah konseli, mencerahkan mereka tentang
tindakan terbaik, dan memotivasi mereka untuk mengejar apa yang diyakini
konselor adalah demi kepentingan terbaik konseli.
3. Penyesuaian Pribadi (1942-1970)
Pengaruh Carl Rogers pada tahun 1942, Carl Rogers menerbitkan konseling
dan psikoterapi: Konsseling Baru Dalam Praktek. Buku ini memulai gerakan
menjauh dari model kesehatan mental yang berpusat pada konselor ke model
penyesuaian pribadi yang bepusat pada klien. Waktunya tepat untuk perubahan.
Depresi telah berakhir. Pada akhir Perang Dunian II, orang Amerika sangat
menginginkan kebebasan dan otonomi pribadi yang lebih besar (Aubrey, 1977).
RUU GI, yang membuat pendidikan tersedia bagi veteran, membantu
menumbuhkan kebutuhan akan kebebasan dan otonomi. Focus konseling sekolah
bergeser dari mengidentifikasi masalah dan memecahkannya, ke penentuan nasib
sendiri dan aktualisasi diri. Dan tanggung jawab konselor bergeser dari
menemukan solusi dan meyakinkan konseli tentang kelayakannya, menjadi
menciptakan iklim di mana konseli bebas untuk mengeksplorasi alternative.
Pada tahun 1951, Rogers menerbitkan Client-Centered Therapy: It’s Current
Practice, Implications, and Theory, dimana ia menulis bahwa pengujian dan
diagnosis menghambat eksplorasi diri. Buku itu berperan penting dalam
mengubah focus konseling sekolah (Aubrey, 1977). Konselor tidak lagi
memberikan dan menafsirkan tes kejuruan; sebaliknya mereka belajar
mempraktekkan teknik terapi terbaru untuk membantu siswa tumbuh dan
berkembang.
Menariknya, karena pengaruh Rogers semakin dalam pada 1950-an, beberapa
kemajuan teori perkembangan sedang dibuat (lihat, isalnya, Erikson, 1950;
Havghurst, 1952; Imhelder & Piaget, 1958; dan Piaget, 1952). Terlepas dari status
konseling yang berpusat pada klien, teori perkembangan tahun 1950-an menabur
benih yang nantinya akan berkembang menjadi bimbingan perkembangan yang
komprehensif.
Undang-Undang Pendidikan Pertahanan Nasional tahun 1958 Dua
inisiatif federal mempengaruhi perkembangan konseling sekolah. Yang pertama
adalah Undang-Undang George-Barden tahun 1946, yang mengalokasikan dana
untuk layanan bimbingan dan konseling di sekolah-sekolah dan tempat-tempat
lain. Yang kedua adalah Undang-Undang Pendidikan Pertahanan Nasional
(NDEA) tahun 1958. NDEA mengalokasikan dana dalam bentuk hibah untuk
pengujian di seluruh negara bagian dan untuk pengembangan lembaga untuk
melatih konselor untuk sekolah menengah (Herr, 2001). Tindakan itu merupakan
tanggapan langsung terhadap peluncuran Sputnik I oleh bekas Uni Soviet. Sputnik
telah menciptakan ketakutan di masyarakat Amerika bahwa mereka tertinggal
jauh di belakang Soviet dalam sains dan teknologi. Tujuan dari NDEA adalah
untuk meningkatkan pengujian bakat siswa dan identifikasi potensi mereka, untuk
melatih konselor yang akan membantu siswa tetap di sekolah, dan untuk
menyediakan dana bag mereka yang secara finansial tidak mampu untuk kuliah
(Schmidt, 1999).
Kita tidak bisa melebih-lebihkan pengaruh NDEA pada sejarah konseling
sekolah. Undang-undang tersebut memberikan $15 juta setahun untuk sistem
sekolah lokal untuk pengembangan layanan konseling dan $7 juta untuk
universitas untuk pengembangan lembaga pelatihan konselor sekolah. Menurut F.
W. Miller (1968), dari tahun 1958 hingga 1963, jumlah konselor penuh waktu
meningkat 126 persen, dari 12.000 menjadi 27.180; dan lebih dari 400 lembaga
konseling mendanai dan melatih lebih dari 13.000 konselor.
Kurikulum di lembaga pelatihan mencerminkan pergeseran dari bimbingan
sebagai pendidikan ke bimbingan sebagai konseling. Bimbingan datang untuk
dilihat sebagai tambahan untuk mengajar, dan peran konselor sebagai fungsi dari
kebutuhan siswa di sekolah tertentu. "Seiring meningkatnya jumlah konselor
masuk sekolah, kurang penekanan diberikan pada program bimbingan dan lebih
pada peran dan fungsi konselor sekolah. Bahkan, untuk banyak individu, apa yang
konselor sekolah lakukan menjadi program bimbingan (Gysbers & Henderson,
2000, hal, 19). Program-program yang dapat dilaksanakan di banyak sekolah yang
berbeda memberi jalan bagi berbagai pendekatan - dan peran konselor sekolah.
Selama waktu ini, Komisi Bimbingan di Sekolah-Sekolah Amerika mengusulkan
agar istilah bimbingan ditinggalkan dan bahwa layanan yang diberikan oleh
konselor sekolah dimasukkan ke dalam kategori layanan personalia murid yang
luas, bersama dengan pekerjaan yang dilakukan oleh psikolog - sekolah, ahli
sosial sekolah, pekerja, dan kehadiran dan petugas kesehatan (Wrenn, 1962).
4. Bimbingan Perkembangan (1970)
Pada tahun 1962, C Gilbert Wrenn menerbitkan bukunya yang sekarang
klasik, The Counselor in a Changing World. Pada akhir dekade, pekerjaan itu
telah memunculkan pengembangan - bimbingan mental.
Mengakui pentingnya teori perkembangan yang muncul, Wrenn mendesak
bahwa "penekanan utama dalam konseling siswa ditempatkan pada kebutuhan.
pengembangan dan poin keputusan dalam kehidupan rentang total siswa daripada
pada kebutuhan perbaikan dan titik krisis dalam kehidupan. beberapa siswa".
B. Sejarah Lahirnya Bimbingan dan Konseling di Indonesia
Sejarah lahirnya bimbingan dan konseling di Indonesia diawali dari
dimasukannya bimbingan dan konseling (bimbingan dan penyuluhan) di
lingkungan sekolah. Pemikiran ini diawali sejak tahun 1960. Hal ini
merupakan salah satu hasil konferensi fakultas keguruan dan ilmu pendidikan
(FKIP yang kemudian menjadi IKIP) di Malang tanggal 20-24 agustus 1960.
Setelah dirintis dalam dekade 60-an, bimbingan dicoba penataannya dalam
dekade 70-an. (Nurihsan, 2011). Pada perkembangan berikutnya, yakni pada
tahun 1964, IKIP Bandung dan IKIP Malang mendirikan jurusan Bimbingan
dan penyuluhan. Pada tahun 1971, berdiri proyek perintis sekolah
pembangunan (PPSP) pada delapan IKIP, yaitu IKIP Padang, IKIP Jakarta,
IKIP Bndung, IKIP Yogyakarta, IKIP Semarang, IKIP Surabaya, IKIP
Malang, dan IKIP Menado. Melalui proyek ini bimbingan dan penyuluhan
dikembangkan, juga berhasil disusun “Pola Dasar Rencana dan
Pengembangan Bimbingan dan Penyuluhan” pada PPSP. Lahirnya kurikulum
1975 untuk Sekolah Menengah Atas (SMA) di dalamnya memuat Pedoman
Bimbingan dan Penyuluhan. Tahun 1978 diselenggarakan program PGSLP
dan PGSLA Bimbingan dan penyuluhan di IKIP (setingkat D2 dan D3) untuk
mengisi jabatan Guru Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah yang sampai saat
itu belum ada jatah pengengkatan guru BP dari tamatan S1 jurusan Bimbingan
dan Penyuluhan. Pengangkatan Guru Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah
mulai diadakan sejak adanya PGSLP dan PGSLA Bimbingan dan Penyuluhan.
Keberadan Bimbingan dan Penyuluhan secara legal formal diakui tahun 1989
dengan lahirnya SK Menpan No 026/Menp an/1989 tentang Angka Kredit
bagi Jabatan Guru dalam lingkungan Departemen pendidikandan Kebudayaan.
Di dalam Kepmen tersebut ditetapkan secara resmi adanya kegiatan pelayanan
bimbingan dan penyuluhan di sekolah. Akan tetapi pelaksanaan di sekolah
masih belum jelas seperti pemikiran awal untuk mendukung misi sekolah dan
membantu peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan mereka.
Sampai tahun 1993 pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah
tidak jelas, parahnya lagi pengguna terutama orang tua murid berpandangan
kurang bersahabat dengan BP. Muncul anggapan bahwa anak yang ke BP
identic dengan anak yang bermaslah, kalau orang tua murid di undang ke
sekolah untuk ke guru BP dibenak orang tua berpkir bahwa anaknya di
sekolah mesti bermasalah atau ada masalah. Hingga lahirnya SK Menpen no.
83/1993 tenang Jabatan Fungsional Guru dan Angka kreditnya yang
didalamnya termuat aturan tentang Bimbingan dan Konseling di sekolah.
Ketentuan pokok dalam SK Menpen itu dijabarkan lebih lanjut melalui SK
Mendikbud No 025/1995 sebagai petunjuk pelaksanaan Jabatan Fungsional
Guru dan Angka Kreditnya. Di Dalam SK Mendikbud ini istilah Bimbingan
dan Penyuluhan diganti dengan Bimbingan dan Konseling di sekolah dan
dilaksanakan oleh Guru Pembimbing. Disinilah pola pelaksanaan Bimbingan
dan Konseling di sekolah mulai jelas. Pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan
di sekolah diselenggarakan dengan pola yang tidak jelas, ketidak jelasan pola
yang harus diterapkan disebabkan diantaranya oleh hal-hal sebagai berikut :
1) Belum Adanya Hukum
Sejak Konferensi di Malang tahun 1960 sampai dengan munculnya
Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan di IKIP Bandung dan IKIP Malang
tahun 1964, fokus pemikiran adalah mendesain pendidikan untuk
mencetak tenaga-tenaga BP di sekolah. Tahun 1975 Konvensi Nasional
Bimbingan I di Malang berhasil menelurkan keputusan penting
diantaranya terbentuknya Organisasi bimbingan dengan nama Ikatan
Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI). Melalui IPBI inilah kelak yang akan
berjuang untuk memperolah Payung hukum pelaksanaan Bimbingan dan
Penyuluhan di sekolah menjadi jelas arah kegiatannya.
2) Semangat Luar Biasa Untuk Melaksanakan
BK di sekolah lahirnya SK Menpan No. 026/Menpan/1989 tentang Angka
Kredit bagi Jabatan Guru dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Merupakan angin segar pelaksanaan Bimbingan dan
Penyuluhan di sekolah. Semangat yang luar biasa untuk melaksanakan ini
karena di sana dikatakan “Tugas guru adalah mengajar dan/atau
membimbing.” Penafsiran pelaksanaan ini di sekolah dan didukung tenaga
atau guru pembimbing yang berasal dari lulusan Jurusan Bimbingan dan
Penyuluhan atau Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan (sejak
tahun 1984/1985) masih kurang, menjadikan pelaksanaan Bimbingan dan
Penyuluhan di sekolah tidak jelas. Lebih-lebih lagi dilaksanakan oleh
guru-guru yang ditugasi sekolah berasal dari guru yang senior atau mau
pensiun, guru yang kekurangan jam mata pelajaran untuk memenuhi
tuntutan angka kreditnya. Pengakuan legal dengan SK Menpan tersebut
menjadi jauh arahnya terutama untuk pelaksanaan Bimbingan dan
Penyuluhan di sekolah.
3) Belum Ada Aturan Jelas
Apa, mengapa, untuk apa, bagaimana, kepada siapa, oleh siapa, kapan dan
di mana pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan dilaksanakan juga belum
jelas. Oleh siapa bimbingan dan penyuluhan dilaksanakan, di sekolah
banyak terjadi diberikan kepada guru-guru senior, guru-guru yang mau
pensiun, guru mata pelajaran yang kurang jam mengajarnya untuk
memenuhi tuntutan angka kreditnya. Guru-guru ini jelas sebagian besar
tidak menguasai dan memang tidak dipersiapkan untuk menjadi Guru
Pembimbing. Kesan yang tertangkap di masyarakat terutama orang tua
murid Bimbingan Penyuluhan tugasnya menyelesaikan anak yang
bermasalah.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA

Sciarra, Daniel. (2004). School Counseling: Foundation and Contemporary


Issues. USA: Thomson

Amin, S. (2014). Pengantar Bimbingan dan Konseling. Banda Aceh: Yayasan

PeNA.

Kamaluddin, H (2011). Bimbingan dan Konseling Sekolah. Jurnal Pendidikan


dan Kebudayaan, Vol. 17, Nomor 4.

Gibson, R. L., & Mitchell, M. H. (2011). Bimbingan dan Konseling. Yogyakarta:

PUSTAKA PELAJAR.

Anda mungkin juga menyukai