Anda di halaman 1dari 7

Latar Belakang Masalah Irian Barat

Pada awalnya, Irian Barat merupakan wilayah jajahan Belanda dan bagian dari
kesatuan dari pulau-pulau lain di Indonesia dalam Hindia Belanda. Namun, ketika
penyerahan kemerdekaan kepada RI, Irian Barat belum disertakan di dalamnya. Hal
ini menyebabkan kepemilikan wilayah itu menjadi permasalahan antara RI dan
Belanda, sehingga munculah upaya pembebasan Irian Barat dari tahu 1945-1963.
Dalam sidang BPUPKI ditegaskan bahwa wilayah Republik Indonesia mencakup
seluruh wilayah bekas Hindia Belanda,  yang terbentang dari Sabang sampai
Merauke. Oleh karena itu, ketika Indonesia merdeka maka Irian Barat sudah
seharusnya ikut merdeka.
Namun, Belanda tidak mau mengakui kemerdekaan Indonesia, tetapi justru
melakukan agresi ke NKRI, sehingga berkobarlah perang kemerdekaan (1945-1949).
Akibat perjuangan Indonesia dan dukungan forum internasional, Belanda akhirnya
mengakui kemerdekaan Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949.
Kendati Belanda telah mengakui, namun dalam penyerahan kedaulatan tersebut
Irian Barat belum disertakan dan baru akan dirundingkan satu tahun kemudian.
Pada kenyataannya masalah Irian Barat tidak mudah untuk diselesaikan, karena
Belanda tetap bersikeras mempertahankan wilayah itu. Oleh karena itu, tuntutan
yang dilancarkan pihak Indonesia terus mengalami jalan buntu.
Meskipun mendapati jalan buntu, namun pemerintah Indonesia tidak putus asa.
Sebagai solusi pertama, Indonesia menggunakan jalur diplomasi untuk
merundingkan penyerahan Irian Barat ke Indonesia.
Perjuangan Pembebasan Irian Barat di Bidang
Diplomasi
Setelah setahun, Irian masih tetap dikuasai oleh Belanda, dan usaha-usaha secara
bilateral telah mengalami kegagalan, maka Pemerintah Indonesia sejak tahun 1954
membawa permasalah Irian ke dalam sidang Majelis Umum PBB. Persoalan Irian
berulang kali dimasukkan ke dalam acara sidang Majelis Umum PBB, tetapi tidak
pernah berhasil memperoleh tanggapan positif.
Pada sidang Majelis Umum tahun 1957, Menteri Luar Negeri Indonesia, Roeslan
Abdulgani, menyatakan dalam pidatonya, ketika ikut dalam perdebatan bahwa
Indonesia akan menempuh jalan lain yang tidak akan sampai kepada perang untuk
menyelesaikan sengketa Irian dengan Belanda, jika sidang ke-12 PBB tidak berhasil
menyetujui resolusi Irian Barat.
Sayangnya, pidato dari menteri luar negeri tidak dapat merubah pendirian negara-
negara pendukung Belanda, sehingga resolusi yang disponsori 21 negara termasuk
Indonesia tidak dapat dimenangkan karena tidak mencapai 2/3 suara. Negara-
negara Barat masih kokoh mendukung posisi Belanda, malah sikap itu bertambah
kuat dengan adanya Perang Dingin antara Blok Timur dan Barat. Dengan demikian
pihak Belanda tetap tidak mau menyerahkan Irian Barat, bahkan mereka tidak
mempunyai keinginan untuk membicarakannya lagi.
Pembebasan Irian Barat merupakan sebuah tuntutan nasional yang didukung oleh
semua partai politik dan semua golongan. Tuntutan itu didasarkan atas pembukaan
UUD 45; “Untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah  darah Indonesia”. Sementara Irian
adalah bagian mutlak dari tumpah darah Indonesia. Itulah sebabnya, kabinet-
kabinet pada sistem parlementer tidak ada yang beranjak dari tuntutan nasional itu.
Setelah jalan damai yang ditempuh selama satu dasawarsa belum berhasil
membebaskan Irian Barat, maka Pemerintah Indonesia memutuskan untuk
menempuh jalan lain. Dalam rangka itu, pada tahun 1957 dilancarkan aksi-aksi
pembebasan Irian di seluruh tanah air, yang dimulai dengan pengambil-alihan
perusahaan Belanda di Indonesia oleh kaum buruh dan karyawan. Untuk mencegah
anarki dan menampung aspirasi rakyat banyak, maka Kepala Staf Angkatan Darat,
Jenderal Nasution memutuskan untuk mengambil alih semua perusahaan milik
Belanda dan menyerahkannya kepada pemerintah.
Ketegangan antara Indonesia dan Belada mencapai puncaknya pada tanggal 17
Agus 1960. Pada tahun itu Indonesia secara resmi memutus hubungan diplomatik
dengan Pemerintah Belanda.

Presiden Soekarno dan Ellsworth Bunker

Kemudian, dalam sidang Majelis Umum PBB tahun 1961 kembali masalah Irian
diperdebatkan.Sekretaris Jenderal PBB, U Thant menganjurkan kepada salah
seorang diplomat Amerika Serikat, Ellsworth Bunker untuk mengajukan usulan
penyelesaian masalah Irian. Inti dari usulan Bunker secara singkat adalah “agar
pihak Belanda menyerahkan kedaulatan Irian Barat kepada Republik Indonesia.
Penyerahan itu dilakukan melalui PBB dalam waktu dua tahun.”
Pemerintah RI pada prinsipnya dapat menyetujui usulan tersebut dengan catatan
agar waktu penyerahan diperpendek. Namun pemerintah Belanda mempunyai
pendapat sebaliknya. Mereka mau melepaskan Irian dengan membentuk dulu
perwakilan di bawah PBB untuk kemudian membentuk Negara Papua.
Sikap Belanda disamput oleh Indonesia dengan membulatkan tekad untuk
mengadakan perjuangan bersahabat. Presiden Soekarono memformulasikannya
sebagai ”Politik konfrontasi dengan uluran tangan. Palu godam disertai dengan
ajakan bersahabat.”
Usaha Pembebasan Irian Barat di Bidang Militer
Dalam rangka persiapan militer untuk merebut irian melalui jalur konfrontasi,
Pemerintah Indonesia mencari bantuan senjata ke luar negeri. Pada awalnya senjata
diharapkan diperoleh dari negara-negara Blok Barat, khususnya Amerika, tetapi tidak
berhasil. Kemudian usaha pembelian senjata dialihkan ke Uni Soviet,
Pada Desember 1960, Jenderal Nasution bertolak ke Moskow untuk mengadakan
perjanjian pembelian senjata. Kemudian pada tahun 1961, Jenderal Nasution
mengunjungi beberapa negara : India, Pakistan, Australia, Jerman, Prancis, Inggris
dll untuk mendengar sikap negara-negara itu, jika terjadi perang antara Indonesia
dengan Belanda. Kesimpulan yang diperoleh Kasad bahwa negara-negara tersebut
tidak mempunyai keterikatan dengan Belanda dalam bidang bantuan militer,
meskipun negara-negara tersebut menekankan supaya perang dihindari dan bahkan
ada yang mendukung posisi Belanda.
Di pihak lain, Belanda mulai menyadari apabila Irian Barat tidak segera diserahkan
kepada Indonesia, maka lawannya akan berusaha membebaskan Irian dengan
kekuatan militer. Belanda tidak tinggal diam melihat persiapan-persiapan yang
dilakukan oleh Indonesia. Awalnya mereka mengajukan protes kepada PBB dengan
menuduh Indonesia melakukan agresi. Selanjutnya Belanda memperkuat
kedudukannya di Irian dengan mendatangkan bantuan dan mengirimkan kapal
perangnya ke perairan Irian di antaranya kapal induk Karel Doorman.
Pada tanggal 19 Desember 1961, pemerintah mengeluarkan Tri Komando Rakyat
(Trikora) yang berisi:
1. Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan Belanda
2. Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat, tanah air Indonesia
3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan
kesatuan tanah air dan bangsa.
Dengan diucapkannya Trikora maka dimulailah konfrontasi melawan Belanda. Pada
tanggal 2 Januari 1962, Presiden Soekarno mengeluarkan keputusan No. 1 tahun
1962 untuk membentuk Komando Mandala Pembebasan Irian Barat.
Awalnya Belanda meremehkan persiapan-persiapan Komando Mandala tersebut.
Mereka menganggap pasukan Indonesia tidak mungkin dapat masuk ke wilayah
Irian. Akan tetapi setelah operasi-operasi infiltrasi dari pihak Indonesia berhasil yang
di antaranya terbukti dengan jatuhnya Teminabuan ke tangan Indonesia, maka
Belanda akhirnya bersedia untuk duduk di meja perundingan. Tidak hanya Belanda,
dunia luar yang dulunya mendukung posisi Belanda di Forum PBB mulai mengerti
bahwa Indonesia tidak main-main.
Pemerintah Belanda juga banyak mendapat tekanan dari Amerika Serikat untuk
berunding. Desakan ini untuk mencegah terseretnya Unni Soviet dan Amerika
Serikat ke dalam suatu konfrontasi langsung di Pasifik, di mana masing-masing pihak
memberi bantuan kepada Indonesia dan Belanda. Sehingga, pada tanggal 15
Agustus 1962, ditandatangani suatu perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan
Pemerintah Belanda di New york.
Perjanjian New York dibuat berdasarkan prinsip-prinsip yang diusulkan oleh Delegasi
Amerika Serikat, Ellsworth Bunker, yang oleh Sekretaris Jenderal PBB diminta untuk
menjadi penengah. Persoalan terpenting dari perjanjian ini adalah mengenai
penyerahan pemerintahan di Irian Barat dari pihak Kerajaan Belanda kepada PBB.
Untuk kepentingan tersebut maka dibentuklah United Nation Temporary Excecutive
Authority (UNTEA) yang pada waktunya akan menyerahkan Irian Barat ke Indonesia
sebelum tanggal 1 Mei 1963.
Sementara Indonesia mendapat kewajiban untuk mengadakan Penentuan Pendapat
Rakyat di irian sebelum akhir 1969, dengan ketentuan bahwa: kedua belah pihak,
Indonesia dan Belanda, akan menerima hasil referendum itu.  Dedangkan pemulihan
hubungan diplomatik keduanya akan dilakukan npada tahun 1963 itu juga, dengan
pembukaan Kedutaan Besar Indonesia di Den Haag dan Kedutaan Besar Belanda di
Jakarta.
Kondisi Irian Barat sendiri sangat memprihatinkan selama berada di bawah Belanda.
Tidak ada warisan belanda yang bisa dipakai sebagai modal untuk membangun
daerah itu. Rakyat Irian sama sekali belum diajari untuk menghasilkanbarang-barang
yang mempunyai nilai jual, karena semua barang didatangkan dari luar negeri. Oleh
karena itu, pembangunan Irian menjadi salah satu tantangan negara yang masih
muda ini. Itukah sebabnya Presiden Soekarno mengatakan bahwa pembangunan
Irian termasuk ke dalam Trikora.
Operasi-Operasi Pembebasan Irian Barat
Pada tanggal 17 Agustus 1960, pemerintah Indonesia memutus hubungan
diplomatik dengan Belanda. Setelah Trikora diserukan Soekarno pada tanggal 18
Desember 1961 di Yogyakarta, selanjutnya diadakan rapat Dewan Pertahanan
Nasional dan Gabungan Kepala Staf serta Komando Tertinggi Pembebasan Irian
Barat yang memutuskan untuk membentuk:
1. Provinsi Irian Barat gaya baru dengan putra Irian sebagai gubernurnya.
2. Komando Mandala yang langsung memimpin kesatuan-kesatuan Abri dalam tugas
merebut Irian Barat.
Pembentukan Provinsi Irian Barat diputuskan melalui penetapan presinden No.
1/1962 dengan ibukota baru Jayapura (pada masa Belanda dinamai Hollandia).
Sesuai dengan Trikora kesiapan di semua bidang diperkuat. Sistem gabungan kepala
staf dan pimpinan angkatan bersenjata berdiri langsung di bawah Panglima
Tertinggi. Angkatan Udara RI pada tanggal 10 Januari 1962 meresmikan
pembentukan Komando Regional Udara I-IV.
Panglima Mandala Soeharto

Selaku Panglima Mandala ditunjuk Brigadir Jenderal Soeharto dan Komanda Mandala
berpusat di Makassar. Pada tanggal 13 Januari 1962, Brigjen Soeharto dilantik
menjadi panglima Mandala dan dinaikkan pangkatnya menjadi Mayor Jenderal. Di
samping sebagai Panglima Mandala, Soeharto juga merangkap sebagai Deputi Kasad
Wilayah Indonesia bagian Timur.
Pada bulan Januari di tahun yang sama, juga ditetapkan susunan Komando Tertinggi
Pembebasan Irian Barat sebagai berikut:
1. Panglima Besar Komando Tertingggi Pembebasan Irian Barat: Presiden Soekarno
2. Wakil Panglima Besar: Jenderal A. H. Nasution
3. Kepala Staf: Mayor Jenderal Ahmad Yani
Sementara susunan Komando Mandala:
1.Panglima Mandala: Mayor Jenderal Soeharto
2. Wakil Panglima I: Kolonel Laut Subono
3. Wakil Panglima II: Letkol Udara Leo Wattimena
4. Kepala Staf Umum,: Kolonel Ahmad Tahir
Pada tanggal 15 januari 1962, terjadi peristiwa tragis yakni pertempuran Laut Aru.
Dalam pertempuran yang tidak seimbang antara MTB ALRI melawan kapal perusak
dan fregat belanda, gugur Deputi Kasal, Komodor Yos Sudarso.
Di tengah situasi yang semakin memanas, Trikora diperjelas dengan instruksi
Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat No. 1 kepada Panglima
Mandala yang berisi:
1. Merencakan, mempersiapkan dengan menyelenggarakan operasi-operasi militer,
dengan tujuan untuk mengembalikan wilayah provinsi Irian Barat ke dalam
kekuasaan NKRI.
2. Mengembangkan situasi di wilayah Provinsi Irian Barat
3. Sesuai dengan taraf-taraf perjuangan di bidang diplomasi.
4. supaya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya di wilayah Provinsi Irian Barat dapat
secara de facto menjadi daerah-daerah bebas atau berada di bawah kekuasaan
NKRI.
Untuk melaksanakan instruksi itu, Panglima Mandala menyusun strategi yang dikenal
dengan sebutan Strategi Panglima Mandala. Untuk mencapai tujuan dari strategi itu,
maka penyelesaiin tugas dibagi ke beberapa fase.
Sampai akhir tahun 1962, operasi difokuskan pada infiltrasi dengan memasukkan 10
kompi ke sasaran-sasaran tertentu untuk menciptakan daerah bebas de facto yang
kokoh. Kesatuan-kesatuan ini juga harus mengembangkan penguasaan wilayah
dengan membawa serta rakyat Irian Barat.
Awal tahun 1963, operasi mulai masuk ke fase eksploitasi dengan mengadakan
serangan terbuka terhadap pusat militer lawan, dan menduduki pos-pos pertahanan
penting.
Selanjutnya pada awal 1964, operasi akan memasuki fase konsolidasi dengan
menempatkan kekuasaan RI secara mutlak di seluruh Irian Barat.
Klimaks Pembebasan Irian Barat
Hingga triwulan ketiga 1962,terdapat perkembangan baru di bidang diplomasi,
sehingga jadwal penyelesaian tugas Operasi Mandala harus dipercepat enam bulan.

Operasi Pembebasan Irian Barat

Infiltrasi melalui laut sebagian telah tercium oleh musuh dan mengalami rintangan
berat, mulai dari kapal-kapal Belanda sampai ombak yan gtinggi. Pada bulan April
1962, dilakukan infiltrasi dari udara. Dengan demikian sampai tanggal 15 Agustus
telah diinfiltrasikan 10 kompi.
Sementara itu, telah dipersiapkan pula operasi penentuan yang bernama Operasi
Jaya Wijaya dengan target pelaksanaan pada awal Agustus 1962. Tujuan dari
operasi ini adalah untuk merebut daerah Irian Barat. Operasi Jaya Wijaya dibagi atas
Operasi Jaya Wijaya I untuk merebut udara dan laut, Operasi Jaya Wijaya II
bertujuan merebut Biak, Operasi Jaya Wijaya III merebut Hollandia dari Laut, dan
Operasi Jaya Wijaya IV yang bertujuan merebut Hollandia dari udara.
Untuk melaksanakan operasi tersebut, Angkatan Laut Mandala di bawah Kolonel
Laut Sudomo membentuk Angkatan Tugas Amfibi 17, yang terdiri dari tujuh gugus
tugas, sedangkan Angkatan Udara membentuk enam kesatuan tempur baru.
Akan tetapi sebelum Operasi Jaya Wijaya ini dilaksanakan datanglah perintah dari
Presiden untuk menghentikan serangan pada tanggal 18 Agustus 1962.
Perintah presiden diikuti dengan surat perintah Panglima Mandala yang ditujukan
kepada seluruh pasukan dalam jajaran Mandala yang berada di daerah Irian. Isi
perintah panglima itu adalah: agar semua pasukan mentaati perintah penghentian
tembak-menembak dan mengadakan kontak dengan perwira-perwira peninjau PBB.
Surat perintah presiden tersebut dikeluarkan setelah menandatangani persetujuan
antara pemerintah RI dan Belanda mengenai Irian Barat di Markas Besar
Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 15 Agustus 1962. Berhasilnya Trikora
adalah berkat kerjasama bidang militer dan diplomasi. Diplomasi tanpa adanya
dukungan militer akan sia-sia, seperti yang telah dialami sebelum keluarnya Trikora.
Operasi terakhir yang dilaksanakan adalah operasi Wisnu Murti yakni operasi
menghadapi penyerahan Irian Barat kepada pemerintah Indonesia pada tanggal 1
Mei 1963. Dengan demikian, pada tanggal 1 Mei 1963 tugas Komando Mandala telah
selesai  dan komando tersebut secara resmi dibubarkan.

Anda mungkin juga menyukai