Anda di halaman 1dari 12

Nama : Siti Rahma Yulia

Ruang : 04SIPD001
Matkul : Sosiologi Sastra

Bulan Pucat
Cerpen Mashdar Zainal (Media Indonesia, 02
Februari 2020)
Bulan Pucat ilustrasi Bayu Wicaksono/Media Indonesia

Bulan putih pucat di pagi hari selalu


mengingatkanku pada masa kecil yang
murung.

Dua puluh tahun silam, saat aku masih di kelas lima SD, kelas kami kedatangan seorang
murid baru bernama Bulan. Ketika itu, Bulan adalah nama yang aneh, dan sampai detik
ini, ingatan tentang Bulan adalah ingatan yang aneh, tidak sempurna, dan sedih. Aku
tidak tahu Bulan ini datang dari mana, tapi ia tinggal satu kampung denganku bersama
paman dan bibinya. Mereka menempati rumah si anu yang sudah puluhan tahun kosong.

Untuk pertama kalinya, kami melihat pintu serta jendela rumah–yang puluhan tahun
tertutup–itu terbuka lebar. Seperti pemandangan aneh melihat cahaya menghambur bebas
ke dalamnya. Seisi rumah dibersihkan. Perkakas-perkakas bobrok tak dipakai
dikeluarkan.

Rumah itu punya pekarangan yang luas. Di sana, tumbuh sepokok jambu monyet yang
besar dan rajin berbuah. Aku melihat Bulan untuk pertama kali saat ia memandikan
kambing di bawah pokok jambu monyet di muka rumah yang ia tempati itu. Ia begitu
sibuk sehingga tak memperhatikan atau tak memedulikan sekumpulan bocah laki-laki
yang ribut bermain gundu beberapa meter dari tempatnya berjibaku dengan seekor
kambing.

Bulan adalah gadis kecil dan kurus dengan potongan rambut bob dan poni hampir
menutupi alis.

Kakinya seperti kecil dan panjang sebelah sehingga ketika berjalan ia harus menyeretnya.
Bulan punya kulit yang pucat, membuat bekas-bekas luka di sekujur kaki dan tangannya
amat terlihat. Mungkin bekas cacar atau bekas luka karena ia terjatuh dan lain
sebagainya. Entahlah. Satu lagi, sering kali ia berbau seperti kambing. Hal yang membuat
anak-anak tak mau dekat-dekat dengannya.

Keadaan kelas begitu hening ketika suatu pagi Bu Tris–wali kelas kami–membawa gadis
itu ke depan pintu kelas. Bu Tris dan Bulan berdiri di muka pintu seperti dua pagar kurus
yang menghalangi sebagian cahaya masuk. Ketika Bu Tris mengenalkan nama gadis itu
ke penghuni kelas, bahwa namanya Bulan, Opik–salah satu siswa yang kami kebal
badung–segera menyeru, “Kelas kita kedatangan Bulan Sabit!” Dan tawa pun meledak.
Aku tak melihat ada sesuatu yang lucu di sana, tapi entah mengapa hampir semua anak
tertawa. Bu Tris memberi isyarat pada Opik dan semua anak untuk diam.

Pada jam istirahat, Opik menjelaskan bahwa bulan seharusnya bulat dan gemuk. Kalau
kurus, itu pasti bulan sabit. Opik merasa benar dengan hal itu. Semenjak itu, anak-anak
memanggil Bulan dengan sebutan Bulan Sabit.
Bulan bukanlah gadis yang banyak omong, dan ia kelihatan tak peduli dipanggil Bulan
Sabit. Ia seperti tak punya urusan dengan semua orang. Bulan begitu pendiam, wajahnya
memamerkan kemurungan. Di rumah, ia tak pernah tampak bermain atau bicara dengan
siapa pun. Yang ia lakukan hanya bersih-bersih, memandikan kambing, atau berdiri di
balik pohon jambu monyet dan mengintip anak-anak yang sedang bermain.

Di sekolah pun begitu, yang ia lakukan cuma mengambar di buku tulis. Menggambar
komik. Dari hari ke hari. Ketika kami bermain pada jam istirahat, kadang ia berjalan
pelan keluar kelas, lalu duduk di bangku beton di bawah pohon mangga, hanya duduk,
mengawasi semua anak yang sedang bermain, seolah-olah itu tugasnya. Dan di dalam
kelas, ketika guru-guru belum datang, anak-anak suka sekali membuat masalah
dengannya, terutama anak laki-laki.

Pernah suatu ketika, Opik mengendap-endap di belakang Bulan yang sedang


menggambar. Lalu, tiba-tiba Opik merebut buku tulis Bulan dan memamerkan gambar-
gambar Bulan ke anak-anak satu kelas. Bulan tidak berteriak, ia hanya menunjukkan
muka kesal sambil terus mengejar Opik dengan terpincang-pincang, meminta bukunya
kembali. Di lain waktu, sehabis jam istirahat, pernah ketika Bulan hendak duduk di
kursinya, Sahdan menarik kursi itu sehingga Bulan terjengkang. Membuat semua anak
terbahak-bahak. Kata Sahdan, “Sebaiknya kau mandi dulu supaya tidak bau kambing!
Kasihan nasib kursi itu kau duduki terus-terusan sampai ikut bau kambing!”

Bulan tidak mengatakan apa-apa, tidak pula menangis, ia hanya berdiri kesakitan lalu
kembali duduk seolah tidak terjadi apa-apa. Mungkin Bulan sudah sangat terbiasa dengan
ejekan soal kambing. Ia tak pernah ambil pusing kalaupun anak-anak mengambil jarak
dengannya sambil menutup hidung.

Di waktu yang lain, Sari pernah menjambak rambut Bulan sebab Opik menunjukkan
sebuah gambar aneh di buku Bulan kepada Sari. Di buku itu ada dua gambar anak laki-
laki dan perempuan sedang ciuman, dengan keterangan Yudi cinta Sari. Yudi adalah anak
lelaki paling pendiam di kelas, giginya agak tonggos, ia juga sering dirundung oleh anak-
anak lain, tapi kadang Yudi masih melawan. Melihat gambar yang ada sangkut paut
dengan dirinya itu, Sari mendatangi Bulan dan menjambak rambutnya, “Bulan sabit
bengkok! Apa maksudnya ini?” hardik Sari sebelum akhirnya menyobek halaman buku
Bulan. Bulan cuma menggeleng untuk mengelak bahwa itu bukan perbuatannya. Namun,
Sari sudah kadung menjambak dan menyobek halaman buku Bulan. Sementara itu, di
bangku belakang, Opik dan Sahdan serta beberapa bocah lain tertawa-tawa sambil
berbisik dan menutup mulut. Aku yakin itu perbuatan mereka sebab gambar Bulan tak
pernah seburuk itu. Itu jelas gambar Opik, dan tulisan di situ adalah tulisan Sahdan. Aku
hafal bentuk  huruf yang mencong-mencong itu.

Aku ingin sekali membela Bulan atau melaporkan kejadian-kejadian buruk itu pada guru,
tapi aku tak pernah melakukannya. Aku tahu siapa diriku: seorang pengecut. Sekali saja
aku membela Bulan, jelas akan muncul gambar baru, dan desas-desus baru bahwa aku
menyukai Bulan, aku cinta Bulan. Aku tidak mau itu terjadi.

Belakangan, saat aku menyinggung soal Bulan, ibu menceritakan bahwa Bulan adalah
anak yang malang. Ia tak seberuntung siapa pun. Konon, ibunya pergi ke luar negeri dan
ayahnya ada di perantauan yang jauh. Maka itu ia ikut bibi dan pamannya yang seorang
belantik kambing. Beberapa hari sekali, kami kerap melihat bibi dan paman Bulan
berjalan menuju pasar kecamatan dengan menyeret kambing-kambing, kadang
menaikannya ke keranjang di atas motor, atau kalau kambingnya ada beberapa ekor
mereka akan menaikkannya ke mobil pikap. Pada sore hari atau saat libur, Bulan harus
berkeliling ke ladang-ladang orang untuk meramban tumbuhan-tumbuhan liar buat pakan
kambing. Meski aku tak pernah melihat Bulan membersihkan kotoran kambing, aku
yakin dia juga melakukan itu sebab tak jarang tubuhnya berbau seperti kotoran kambing.
Pekat sekali. Terutama saat di rumah pada sore hari.
Aku tak pernah benar-benar membayangkan bagaimana nasib malang Bulan ini akan
berakhir kalau kejadian mengerikan itu tidak terjadi. Suatu siang, di hari Sabtu jelang
pulang sekolah, Opik membuat ulah lagi. Ia menyembunyikan tas Bulan, setelah
mengisinya dengan rumput. Sebelum doa pulang, Bulan mencari tasnya ke sana kemari
dengan langkah tertatih-tatih, dan tas itu akhirnya ia temukan di atas lemari sebelah
bangku guru. Dengan susah payah Bulan mengambil sapu, menyeret kursi, lalu
mengambil dan mendekap tasnya yang berisi rumput. Opik berseru sambil terkekeh-
kekeh, “Itu makan siangmu! Makan saja! Gratis!”

Saat itu, kami melihat wajah pucat Bulan seperti terbakar. Menyala-nyala. Dengan
langkah tertatih-tatih Bulan mendatangi Opik, lalu menusuk muka Opik dengan pensil.
Anak-anak perempuan menjerit tak karuan, beberapa berlarian memanggil guru. Opik
meraung, menutup mukanya yang sudah berdarah-darah, sedangkan Bulan berjalan
keluar kelas dengan langkah sedikit gemetar. Berguncang-guncang.

Esok harinya, Bulan ataupun Opik sama-sama tidak masuk sekolah.

Untuk melunasi rasa penasaranku akan keberadaan Bulan, sepulang sekolah aku berpura-
pura jalan lewat depan rumah Bulan, sambil sesekali melirik rumah yang tampak sepi itu.
Kabar mengerikan itu muncul pada sore hari, menjelang petang. Bibi dan paman Bulan
mengatakan bahwa pagi itu Bulan tidak mau pergi ke sekolah karena sakit, tapi malah
pergi ke ladang buat cari pakan kambing. Sampai sore jelang petang, Bulan tidak balik.
Ketika bibi dan pamannya mencari-cari, mereka menemukan sandal, sabit, serta karung
wadah rumput yang tadi pagi dibawa Bulan teronggok di tepi sumur tak berpagar di
tengah-tengah ladang orang.

Malam hari, entah pukul berapa, tubuh Bulan ditemukan di dasar sumur, konon tubuhnya
terjepit bebatuan. Esok paginya adalah pagi yang gaduh di kampung kami. Ladang
dengan sumur tanpa pagar itu dipenuhi polisi. Dari sela-sela punggung orang dewasa, aku
melihat kegaduhan itu dengan dada sesak. Takkan ada lagi Bulan Sabit di kelas kami.
Namun, di langit pagi, aku melihat bulan yang lain, bulan putih pucat yang mengambang
dan tampak penuh bekas luka. Bulan yang murung. Bulan yang sedih. (M-2) 

Malang, 2019

Mashdar Zainal, lahir di Madiun, 5 Juni 1984. Ia suka membaca dan menulis puisi serta
prosa. Tulisannya tepercik di berbagai media. Buku terbarunya, Sawitri dan Tujuh Pohon
Kelahiran, 2018. Kini bermukim di Malang.

A. PEMBAHASAN
Cerpen “Bulan Pucat” menggambarkan tentang malang nya nasib seorang gadis kecil yang
mempunyai masa kecil yang murung, tokoh utamanya yaitu bernama Bulan. Namanya asing kala
itu jadi membuat banyak orang terheran-heran dengan namanya. Berikut kutipan cerpen nya:

“Dua puluh tahun silam, saat aku masih di kelas lima SD, kelas kami kedatangan
seorang murid baru bernama Bulan. Ketika itu, Bulan adalah nama yang aneh, dan
sampai detik ini, ingatan tentang Bulan adalah ingatan yang aneh, tidak sempurna,
dan sedih. Aku tidak tahu Bulan ini datang dari mana, tapi ia tinggal satu kampung
denganku bersama paman dan bibinya. Mereka menempati rumah si anu yang sudah
puluhan tahun kosong.”

Dari kutipan di atas menggambarkan bahwa pada saat kelas 5 SD mereka kedatangan murid baru
di sekolah yang bernama Bulan. Kala itu nama Bulan masih aneh di telinga orang-orang pada
waktu itu, sehingga orang-orang beranggapan bahwa nama Bulan itu aneh dan asing di telinga
mereka. Bulan berbeda dengan kebanyakan anak-anak yang seumuran dengan nya, dia lebih
sering menyendiri, merenung, bahkan waktu yang biasa dihabiskan oleh anak-anakm seusianya
dia habiskan dengan memandikan kambing di halaman rumahnya, berikut kutipan cerpen nya:

“Aku melihat Bulan untuk pertama kali saat ia memandikan kambing di bawah pokok
jambu monyet di muka rumah yang ia tempati itu. Ia begitu sibuk sehingga tak
memperhatikan atau tak memedulikan sekumpulan bocah laki-laki yang ribut bermain
gundu beberapa meter dari tempatnya berjibaku dengan seekor kambing.”

Dari kutipan diatas menggambarkan bahwa, Bulan lebih senang menghabiskan waktu nya
dengan dirinya sendiri, dia tidak suka keramaian. Karena fisiknya yang kurang sempurna dia
enggan untuk bermain selayaknya anak-anak seusia nya. Berikut kutipan ceroen nya:

“Bulan adalah gadis kecil dan kurus dengan potongan rambut bob dan poni hampir
menutupi alis. Kakinya seperti kecil dan panjang sebelah sehingga ketika berjalan ia
harus menyeretnya. Bulan punya kulit yang pucat, membuat bekas-bekas luka di sekujur kaki
dan tangannya amat terlihat. Mungkin bekas cacar atau bekas luka karena ia
terjatuh dan lain sebagainya. Entahlah. Satu lagi, sering kali ia berbau seperti kambing.
Hal yang membuat anak-anak tak mau dekat-dekat dengannya.”

Dari kutipan diatas menggambarkan bahwa Bulan mempunyai fisik yang kurang sempurna
dengan badan yang kurus, kaki nya kecil dan panjang sebelah dan terdapat banyak bekas-bekas
luka di sekujur tubuhnya yang amat terlihat karena dia mempunyai warna kulit yang pucat.
Karena terlalu sering membantu bibi dan pamannya memandikan kambing kerap dia kerap kali
berbau seperti kambing yang membuat anak-anak seusianya enggan untuk berdekat-dekat
dengan nya. Sehingga dari semua kekurangan dia, maka sering kali Bulan mendapatkan ejekan
dari teman sekelasnya. Berikut kutipan cerpen nya:

“Keadaan kelas begitu hening ketika suatu pagi Bu Tris–wali kelas kami–membawa
gadis itu ke depan pintu kelas. Bu Tris dan Bulan berdiri di muka pintu seperti dua pagar kurus
yang menghalangi sebagian cahaya masuk. Ketika Bu Tris mengenalkan nama gadis itu
ke penghuni kelas, bahwa namanya Bulan, Opik–salah satu siswa yang kami kebal badung–
segera menyeru, “Kelas kita kedatangan Bulan Sabit!” Dan tawa pun meledak. Aku tak
melihat ada sesuatu yang lucu di sana, tapi entah mengapa hampir semua anak tertawa.
Bu Tris memberi isyarat pada Opik dan semua anak untuk diam.

Pada jam istirahat, Opik menjelaskan bahwa bulan seharusnya bulat dan gemuk. Kalau
kurus, itu pasti bulan sabit. Opik merasa benar dengan hal itu. Semenjak itu, anak-anak
memanggil Bulan dengan sebutan Bulan Sabit.”
Dari kutipan diatas menggambarkan bahwa Bulan yang baru pertama kali datang ke sekolah baru
nya langsung mendapatkan ejekan dari teman sekelasnya yang bernama Opik teman sekelas
Bulan yang terkenal nakalnya. Bulan tidak menanggapi apa-apa, dia hanya diam seolah semua
nya tidak terjadi apa-apa. Berikut kutipan cerpen nya:

“Bulan bukanlah gadis yang banyak omong, dan ia kelihatan tak peduli dipanggil Bulan
Sabit. Ia seperti tak punya urusan dengan semua orang. Bulan begitu pendiam, wajahnya
memamerkan kemurungan. Di rumah, ia tak pernah tampak bermain atau bicara dengan
siapa pun. Yang ia lakukan hanya bersih-bersih, memandikan kambing, atau berdiri di
balik pohon jambu monyet dan mengintip anak-anak yang sedang bermain.”

Dari kutipan diatas menggambarkan bahwa Bulan sudah terbiasa dengan semua ejekan itu dan
dia tidak mau ambil pusing soal ejekan teman-teman sekelasnya, dia memilih untuk diam dan
sesekali menggambar di buku tulisnya, berikut kutipan cerpen nya:

“Di sekolah pun begitu, yang ia lakukan cuma mengambar di buku tulis. Menggambar
komik. Dari hari ke hari. Ketika kami bermain pada jam istirahat, kadang ia berjalan
pelan keluar kelas, lalu duduk di bangku beton di bawah pohon mangga, hanya duduk,
mengawasi semua anak yang sedang bermain, seolah-olah itu tugasnya. Dan di dalam
kelas, ketika guru-guru belum datang, anak-anak suka sekali membuat masalah
dengannya, terutama anak laki-laki.”

Dari kutipan diatas menggambarkan bahwa Bulan lebih sering menghabiskan jam istirahat di
sekolah dengan duduk menyendiri dan menggambar di buku tulis nya. Dan dia hanya melihat
teman-teman nya bermain seolah-olah tugas nya hanya duduk mengawasi sambil menggambar di
buku tulisnya. Pernah suatu ketika saat jam istirahat sudah habis, saat Bulan hendak duduk di
kursi kelas ada seorang teman nya yang jail dengan menggeser kursi tempat Bulan duduk, pada
akhirnya Bulan terjatuh tetapi dia sama sekali tidak menangis bahkan marah sekalipun, dia hanya
menampakan raut wajah yang kesal. Berikut kutipan cerpen nya:

“Pernah suatu ketika, Opik mengendap-endap di belakang Bulan yang sedang


menggambar. Lalu, tiba-tiba Opik merebut buku tulis Bulan dan memamerkan gambar-
gambar Bulan ke anak-anak satu kelas. Bulan tidak berteriak, ia hanya menunjukkan
muka kesal sambil terus mengejar Opik dengan terpincang-pincang, meminta bukunya kembali.
Di lain waktu, sehabis jam istirahat, pernah ketika Bulan hendak duduk di kursinya,
Sahdan menarik kursi itu sehingga Bulan terjengkang. Membuat semua anak terbahak-
bahak. Kata Sahdan, “Sebaiknya kau mandi dulu supaya tidak bau kambing! Kasihan nasib
kursi itu kau duduki terus-terusan sampai ikut bau kambing! .” Bulan tidak mengatakan
apa-apa, tidak pula menangis, ia hanya berdiri kesakitan lalu kembali duduk seolah tidak
terjadi apa-apa. Mungkin Bulan sudah sangat terbiasa dengan ejekan soal kambing. Ia tak pernah
ambil pusing kalaupun anak-anak mengambil jarak dengannya sambil menutup hidung.”

Dari kutipan diatas menggambarkan bahwa Bulan memendam semua rasa amarah nya yang
memuncak, ingin rasanya dia membalas semua yang teman-teman sekelas nya lakukan tapi dia
tidak bisa melakukan apa-apa, dia hanya bisa terdiam tanpa sepatah kata pun yang keluar dari
mulutnya. Semua perlakuan teman nya sudah diluar batas sewajarnya, untuk anak-anak seusia
Bulan sudah mendapatkan ejekan bahkan bullyan seperti itu. Bulan yang terus-terusan
mendapatkan perlakuan seperti itu oleh teman nya hanya bisa diam dan diam. Berikut kutipan
cerpen nya:

“Di waktu yang lain, Sari pernah menjambak rambut Bulan sebab Opik menunjukkan
sebuah gambar aneh di buku Bulan kepada Sari. Di buku itu ada dua gambar anak laki-
laki dan perempuan sedang ciuman, dengan keterangan Yudi cinta Sari. Yudi adalah anak
lelaki paling pendiam di kelas, giginya agak tonggos, ia juga sering dirundung oleh anak-anak
lain, tapi kadang Yudi masih melawan. Melihat gambar yang ada sangkut paut dengan
dirinya itu, Sari mendatangi Bulan dan menjambak rambutnya, “Bulan sabit bengkok!
Apa maksudnya ini?” hardik Sari sebelum akhirnya menyobek halaman buku Bulan. Bulan
cuma menggeleng untuk mengelak bahwa itu bukan perbuatannya. Namun, Sari sudah
kadung menjambak dan menyobek halaman buku Bulan. Sementara itu, di bangku
belakang, Opik dan Sahdan serta beberapa bocah lain tertawa-tawa sambil berbisik dan
menutup mulut. Aku yakin itu perbuatan mereka sebab gambar Bulan tak pernah seburuk
itu. Itu jelas gambar Opik, dan tulisan di situ adalah tulisan Sahdan. Aku hafal
bentuk huruf yang mencong-mencong itu.”

Dari kutipan diatas menggambarkan bahwa Bulan yang malang, masa kecilnya sudah hancur
oleh semua perlakuan orang-orang disekitarnya. Seharusnya ini adalah masa-masa dimana
seorang anak kecil yang bermain riang dengan teman sebaya nya, semuanya harus hancur dengan
orang-orang yang bahkan dia pun tidak begitu kenal karena Bulan adalah siswa baru di sekolah
itu. Pernah suatu hari Ibu ku bercerita tentang Bulan. Dia tinggal dengan bibi dan paman nya
yang seorang belantik sehingga mengharuskan dia membantu bibi dan paman nya mencari pakan
kambing atau bahkan memandikan kambingnya. Berikut kutipan cerpen nya:

“Belakangan, saat aku menyinggung soal Bulan, ibu menceritakan bahwa Bulan adalah
anak yang malang. Ia tak seberuntung siapa pun. Konon, ibunya pergi ke luar negeri dan
ayahnya ada di perantauan yang jauh. Maka itu ia ikut bibi dan pamannya yang
seorang belantik kambing. Beberapa hari sekali, kami kerap melihat bibi dan paman Bulan
berjalan menuju pasar kecamatan dengan menyeret kambing-kambing, kadang
menaikannya ke keranjang di atas motor, atau kalau kambingnya ada beberapa ekor mereka
akan menaikkannya ke mobil pikap. Pada sore hari atau saat libur, Bulan harus berkeliling ke
ladang-ladang orang untuk meramban tumbuhan-tumbuhan liar buat pakan kambing.
Meski aku tak pernah melihat Bulan membersihkan kotoran kambing, aku yakin dia juga
melakukan itu sebab tak jarang tubuhnya berbau seperti kotoran kambing. Pekat sekali.
Terutama saat di rumah pada sore hari.”

Dari kutipan diatas menggambarkan bahwa Bulan sebenarnya adalah sesosok anak kecil yang
butuh kasih saying kedua orang tua nya. Seharusnya di usia nya yang masih kecil pasti sangat
membutuhkan peran orangtua dan tentunya kasih sayang. Bibi dan pamannya selalu sibuk untuk
memenuhi kebutuhan Bulan dengan menjual kambing ke pasar. Sehingga tidak ada tempat bagi
Bulan untuk berbagi cerita keluh kesahnya. Sampai pada akhirnya Bulan berani untuk
mengeluarkan rasa amarahnya yang selama ini dia pendam dengan menusukkan pensil ke wajah
teman sekelasnya. Berikut kutipan cerpen nya:

“Suatu siang, di hari Sabtu jelang pulang sekolah, Opik membuat ulah lagi. Ia
menyembunyikan tas Bulan, setelah mengisinya dengan rumput. Sebelum doa pulang,
Bulan mencari tasnya ke sana kemari dengan langkah tertatih-tatih, dan tas itu akhirnya ia
temukan di atas lemari sebelah bangku guru. Dengan susah payah Bulan mengambil
sapu, menyeret kursi, lalu mengambil dan mendekap tasnya yang berisi rumput. Opik berseru
sambil terkekeh-kekeh, “Itu makan siangmu! Makan saja! Gratis!”
Saat itu, kami melihat wajah pucat Bulan seperti terbakar. Menyala-nyala. Dengan
langkah tertatih-tatih Bulan mendatangi Opik, lalu menusuk muka Opik dengan pensil.
Anak-anak perempuan menjerit tak karuan, beberapa berlarian memanggil guru. Opik
meraung, menutup mukanya yang sudah berdarah-darah, sedangkan Bulan berjalan keluar
kelas dengan langkah sedikit gemetar. Berguncang-guncang.”

Dari kutipan diatas menggambarkan bahwa amarah Bulan sudah tidak dapat dia tahan lagi, pada
akhirnya Bulan menancapkan pensil ke wajan Opik teman sekelas Bulan yang sudah
menyembunyikan tas Bulan dan mengisinya dengan rumput untuk pakan kambingnya. Hal itu
membuat Bulan gemetar dengan semua yang telah dia lakukan. Sehingga dia tidak berani untuk
datang ke sekolah dan beralasan bahwa dia sakit. Berikut kutipan cerpen nya:

“Esok harinya, Bulan ataupun Opik sama-sama tidak masuk sekolah.

Untuk melunasi rasa penasaranku akan keberadaan Bulan, sepulang sekolah aku berpura-
pura jalan lewat depan rumah Bulan, sambil sesekali melirik rumah yang tampak sepi itu.
Kabar mengerikan itu muncul pada sore hari, menjelang petang. Bibi dan paman Bulan
mengatakan bahwa pagi itu Bulan tidak mau pergi ke sekolah karena sakit, tapi malah
pergi ke ladang buat cari pakan kambing. Sampai sore jelang petang, Bulan tidak balik. Ketika
bibi dan pamannya mencari-cari, mereka menemukan sandal, sabit, serta karung wadah
rumput yang tadi pagi dibawa Bulan teronggok di tepi sumur tak berpagar di tengah-
tengah ladang orang.”

Dari kutipan diatas menggambarkan bahwa Bulan sebenarnya tidak sakit tetapi dia pergi ke
lading untuk mencari rumput sebagai pakan kambingnya. Karena Bulan tak kunjung pulang, bibi
dan paman nya menyusul Bulan ke lading tetapi mereka tidak menemukan Bulan, yang mereka
temukan hanya barang-barang yang Bulan bawa untuk mencari pakan rumput. Sampai akhirnya
Bulan di temukan di dasar sumur yang tidak berpagar dengan keadaan terhampit bebatuan dan
dipenuhi oleh garis polisi. Berikut kutipan cerpen nya:

“Malam hari, entah pukul berapa, tubuh Bulan ditemukan di dasar sumur, konon
tubuhnya terjepit bebatuan. Esok paginya adalah pagi yang gaduh di kampung kami.
Ladang dengan sumur tanpa pagar itu dipenuhi polisi. Dari sela-sela punggung orang
dewasa, aku melihat kegaduhan itu dengan dada sesak. Takkan ada lagi Bulan Sabit di kelas
kami. Namun, di langit pagi, aku melihat bulan yang lain, bulan putih pucat yang
mengambang dan tampak penuh bekas luka. Bulan yang murung. Bulan yang sedih.”

Dari semua analisis cerpen, dapat disimpukan bahwa anak kecil seusia Bulan butuh sekali peran
pendamping orangtua sebagai tempat mereka berbagi cerita saat mereka tidak ingin
menceritakan kepada siapapun. Dan juga mereka sangat membutuhkan kasih sayang orangtua
agar mereka selalu merasa aman dan nyaman ketika berada di lingkungan yang baru. Dari cerpen
ini, kisah Bulan memang sangat menyedihkan bahwa ada seorang anak kecil yang mati-matian
bertahan dengan semua rasa sakit yang dia alami dan memendamnya sendiri karena Bulan tidak
mempunyai orangtua tempat untuk berbagi cerita. Walaupun dia tinggal dengan bibi dan paman
nya, mereka hanya cukup berperan sebagai peran mengganti dimana mereka nya cukup
membantu Bulan dalam perekonomian tetapi mereka tidak menyalurkan rasa kasih sayang atau
sekedar menanyai hal apa saja yang sudah Bulan lewati hari ini. Saya cukup tersentuh dengan
cerita Bulan, dimana dia bertahan seorang diri dengan semua perlakukan orang-orang di
sekitarnya sampai pada akhirnya dia merasa lelah dengan semua nya dan mengakhiri cerita
hidupnya.

Anda mungkin juga menyukai