Anda di halaman 1dari 52

KONSEP DAN ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN

DENGAN GANGGUAN KEBUTUHAN AKTIFITAS


AKIBAT PATOLOGIS SISTEM MUSKULOSKELETAL

Diajukan untuk menyelesaikan tugas kelompok mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah II

Disusun Oleh:

Kelas : III-C

KELOMPOK 3

Ayu Astuti (34403014096)

Dwi Puspitasari (34403014099)

Grissly Isnaini (34403014104)

Melda Mayangrani (34403014111)

Novi Dwi Astuti (34403014113)

AKADEMI KEPERAWATAN JAYAKARTA

PROVINSI DKI JAKARTA

TAHUN 2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Tuhan Yang Maha Esa, akhirnya
kami dapat menyelesaikan makalah ini. Dengan itikad baik kami mencoba menyusun
makalah dalam rangka agar dapat lebih memahami mengenai asuhan keperawatan pada
pasien dengan gangguan kebutuhan aktifitas akibat patologis sistem musculoskeletal.

Pada kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang


telah membantu dan mendukung dalam penyusunan makalah ini.

Dalam penyusunan makalah ini kami menyadari kemungkinan masih adanya


kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, kepada semua pihak sangat terbuka untuk
menerima saran, masukan, dan kritikan untuk penyempurnaan makalah ini

Akhirnya, harapan kami semoga makalah ini bermanfaat bagi mereka yang
mempelajari khususnya bagi mahasiswa.

Jakarta, September 2016

Penyusun

Kelompok 3

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................i

DAFTAR ISI ................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................1

A. Latar Belakang ..................................................................................................1


B. Rumusan Masalah .............................................................................................2
C. Tujuan ...............................................................................................................2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................3

A. Gangguan sistem Muskuloskeletal ...................................................................3


1. Osteomielitis ...............................................................................................3
2. Osteoporosis ................................................................................................8
3. Fraktur .......................................................................................................14
4. Amputasi ...................................................................................................22
B. Kebutuhan Mobilitas dan Imobilitas ...............................................................27
1. Sistem Tubuh yang Berperan dalam Kebutuhan Aktivitas .......................27
2. Kebutuhan Mobilitas dan Imobilitas ........................................................29
C. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan
Gangguan Sistem Muskuloskeletal .................................................................34

BAB III PENUTUP ....................................................................................................48

A. Simpulan .........................................................................................................48
B. Saran ...............................................................................................................48

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................49

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mobilitas kemampuan untuk bergerak dengan bebas, mudah, berirama, dan terarah
dilingkungan adalah bagian yang sangat penting dalam kehidupan. Individu harus
bergerak untuk melindungi diri dari trauma dan untuk memenuhi kebutuhan dasar
mereka. Mobilitas amat penting bagi kemandirian; individu yang tidak mampu
bergerak secara total sama rentan dan bergantung pada orang lain. Aktivitas adalah
suau energy atau keadaan bergerak dimana manusia memerlukan untuk dapat
memenuhi kebutuhan hidup. Kebutuhan aktivitas dipengaruhi oleh sistem
musculoskeletal dalam tubuh.

Salah satu tanda kesehatan adanya kemampuan seseorang beraktivitas tidak terlepas
dari keadekuatan sistem musculoskeletal. Manusia mempunyai kebutuhan untuk
bergerak agar dapat memenuhi kebutuhan dasarnya dan melindungi diri dari
kecelakaan. Mekanika tubuh adalah cara menggunakan tubuh secraa efisien, yaitu
tidak banyak mengeluarkan tenaga, terrkoordinasi secara aman dalam menggerakan
serta mempertahankan keseimbangan dalam beraktivitas. Imobilitas atau imobilisasi
merupakan keadaan dimana seseorang tidak dapat bergerak secara bebas karena
kondisi yang mengganggu pergerakan misalnya mengalami trauma tulang, fraktur
pada ekstermitas dan sebagainya.

Aktivitas gerak tubuh manusia bergantung pada efektifnya interaksi antara sendi
yang normal dengan unit-unit neuromuskular yang menggerakanya. Elemen tersebut
juga berinteraksi untuk mendistribusikan stress mekanik ke jaringan sekitar sendi,
otot, tendon, ligamen, rawan sendi, dan tulang saling bekerja sama agar fungsi
tersebut dapat berlangsung dengan sempurna.

1
B. Rumusan Masalah

Bagaimana konsep dan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan


kebutuhan aktivitas akibat patologis sistem musculoskeletal ?

C. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah diatas makalah ini dibuat agar mahasiswa/i


mengetahui dan memahami konsep serta mampu menerapkan ke dalam asuhan
keperawatan pasien dengan gangguan kebutuhan aktivitas akibat patologis sitem
musculoskeletal.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Gangguan Sistem Muskuloskeletal

1. Osteomielitis

a. Pengertian
Osteomielitis adalah infeksi tulang. Osteomielitis dapat terjadi akibat
perluasan pada jaringan lunak, kontaminasi langsung pada tulang (misalnya
pembedahan tulang, luka tembakan senjata), atau hematogenus (ditularkan
melalui darah), yang menyebar dari area infeksi yang lain. Staphylococcus
aureus menyebabkan lebih dari 50% infeksi tulang. Organisme patogenik
yang lain sering kali ditemukan adalah organisme gram positif yang
mencakup streptokokus dan enterokokus, dilanjutkan dengan bakteri gram
negatif yang mencakup spesies pseusdomonas (Brunner & Suddarth, 2013).

Osteomilitis adalah infeksi tulang. Infeksi tulang lebih sulit disembuhkan


bila dibandingkan dengan infeksi jaringan lunak, karena terbatasnya asupan
darah, respons jaringan terhadap inflamasi, tingginya tekanan jaringan dan
pembentukan ivolukrum (Smeltzer, 2002). Osteomielitis adalah infeksi
jaringan tulang yang mencakup sumsum atau korteks tulang, dapat berupa
eksogenus (infeksi masuk dari luar tubuh) atau hematogenesis (infeksi yang
berasal dari dalam tubuh). Osteomielitis hematogen akut adalah penyakit
pada tulang yang sedang sembuh. Osteomielitis akut yang tidak diterapi
secara adekuat, akan berkembang menjadi osteomielitis kronik.
Osteomielitis kronik adalah akibat dari osteomielitis akut yang tidak
ditangani dengan baik (Lukman Nurna Ningsih, 2013).

Pasien yang berisiko adalah pasien dengan gizi buruk, lansia dan pasien yang
obes, mereka yang mengalami gangguan sistem imun dan penyakit kronis
(misalnya diabetes), dan mereka yang mendapat terapi kortikosteroid jangka
panjang atau agens imunosupresif. Kondisi ini dapat dicegah dengan terapi

3
yang tepat dan penatalaksanaan infeksi pada jaringan fokal dan jaringan
lunak (Brunner & Suddarth, 2013).

b. Etiologi
Infeksi ini dapat disebabkan oleh penyebaran hematogen, dari fokus infeksi
ditempat lain (misal tonsil yang terinfeksi, gigi terinfeksi, infeksi saluran
nafas atas). Osteomielitis akibat penyebaran hematogen biasanya terjadi
ditempat trauma yang terdapat resistensi rendah. Infeksi dapat juga
berhubungan dengan infeksi jaringan lunak, misalnya ulkus dekubitus atau
ulkus vascular, atau kontaminasi langsung pada tulang (misal fraktur
terbuka, luka tembak, dan pembedahan tulang).

Staphylococcus merupakan penyebab 70%-80% infeksi tulang. Organisme


lain meliputi Proteus, Pseudomonas, dan Escherichia coli pada anak-anak
infeksi tulang seringkali timbul sebagai komplikasi dari infeksi pada tempat-
tempat lain seperti infeksi faring (faringitis) telinga (otitis media) dan kulit
(impetigo). Bakterinya (Staphylococcus aureus, Streptococcus,
Haemophylus influenzae) berpindahan melalui aliran darah menuju metafisis
tulang didekat lempeng pertumbuhan dimana darah mengalir kedalam
sinusoid. Akibat perkembangbiakkan bakteri dan nekrosis jaringan, maka
tempat peradangan yang terbatas ini akan terasa nyeri dan nyeri tekan.

Mikroorganisme yang menginfeksi tulang akan membentuk koloni pada


tulang perivascular, menimbulkan edema, infiltrasi seluler, dan akumulasi
produk-produk inflamasi yang akan merusak trabekula tulang dan hilangnya
matriks dan mineral tulang.

c. Klasifikasi
Osteomielitis dibagi menjadi dua macam, yaitu osteomielitis primer dan
osteomielitis sekunder. Osteomielitis primer, penyebarannya secara
hematogen dimana mikroorganisme berasal dari fokus ditempat lain dan
beredar melalui siklus darah. Osteomielitis sekunder (osteomielitis
perkontinuitatum), terjadi akibat penyebaran kuman dari sekitarnya akibat
dari bisul , luka fraktur, dan sebagainya.

4
d. Patofisiologi
Osteomielitis setelah pembedahan ortopedi dapat terjadi pada tiga bulan
pertama (akut fulminant-stadium 1) dan sering berhubungan dengan
penumpukan hematoma atau infeksi superfisial. Infeksi awitan lambat terjadi
antara 4-24 bulan setelah pembedahan (stadium 2) dan osteomielitis yang
terjadi dalam waktu lama terjadi 24 bulan atau lebih setelah pembedahan
(stadium 3).

Respon awal dari infeksi adalah inflamasi, peningkatan vaskularisasi dan


edema. Dua atau tiga hari setelah pembedahan, dapat terjadi trombosis pada
pembuluh darah tersebut, yang mengakibatkan iskemia dengan nekrosis
tulang berhubungan dengan peningkatan tekanan jaringan dan medula.
Infeksi kemudian berkembang ke kavitas medularis dan ke bawah
periosteum dan dapat menyebar ke jaringan lunak atau sendi sekitar. Bila
proses infeksi dapat dikontrol lebih awal, pembentukan abses tulang dapat
dicegah.

Biasanya abses dapat keluar secara spontan, namun lebih sering harus
dilakukan insisi dan drainase oleh ahli bedah. Abses yang terbentuk dalam
dindingnya membentuk daerah jaringan mati, namun seperti pada rongga
abses pada umumnya, jaringan tulang mati tidak mudah mencair dan
mengalir keluar. Selain itu rongga juga tidak dapat mengempis dan sembuh ,
seperti yang terjadi pada jaringan lunak tetapi yang terjadi adalah
pertumbuhan tulang baru (involukrum) yang mengelilingi sequestrum. Jadi
meskipun tampak terjadi proses penyembuhan, namun sequestrum infeksius
kronis yang ada tetap rentan mengeluarkan abses kambuhan sepanjang hidup
klien, dan ini dinamakan osteomielitis tipe kronik.

e. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis tergantung pada etiologi dan lokasi tulang yang cedera,
dapat berkembang secara progresif atau cepat. Infeksi hematogen akut,
sering terjadi dengan manifestasi klinis septikemia yaitu menggigil, demam
tinggi, denyut nadi cepat, dan malaise umum, sedangkan gejala lokal yang

5
terjadi berupa rasa nyeri, nyeri tekan, bengkak, dan kesulitan menggerakkan
anggota tubuh yang sakit (Smeltzer, 2002).

Osteomielitis yang terjadi akibat penyebaran infeksi disekitarnya atau


kontaminasi, tidak akan ada gejala septicemia. Daerah terinfeksi
membengkak, teraba hangat, rasa nyeri, dan nyeri tekan. Sementara
osteomielitis kronik akan ditandai dengan pus yang mengalir keluar, periode
nyeri berulang , inflamasi, dan pembengkakan.

f. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan darah
Sel darah putih meningkat sampai 30.000 gr/dl disertai peningkatan laju
endapan darah.
2) Pemeriksaan titer antibodi-antistaphylococcus
Pemeriksaan kultur darah untuk menetukan bakteri (50% positif) dan
dikuti dengan uji sensitivitas
3) Pemeriksaan feses
Pemeriksaan kultur feses dilakukan apabila terdapat kecurigan infeksi
oleh bakteri Salmonella
4) Pemeriksaan biopsi tulang
5) Pemeriksaan ultrasound
Pemeriksaan ini untuk memperlihatkan adanya efusi pada sendi
6) Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan foto polos dalam 10 hari pertama biasanya tidak ditemukan
kelainan radiologic, setelah dua minggu akan terlihat berupa refraksi
tulang yang bersifat difuse.

g. Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan osteomielitis yaitu istirahat dan pemberian analgetik
untuk menghilangkan nyeri, pemberian cairan intravena dan kalau perlu
transfusi darah, istirahat lokal dengan pemasangan bidai atau traksi,
pemberian antibiotika secepatnya sesuai penyebab dan drainase bedah.

6
Tujuan terapi adalah untuk mengontrol dan menghentikan proses infeksi,
manajemen nyeri dan pencegahan komplikasi imobilitas. Tulang yang sakit
harus diimobilisasi untuk mengurangi ketidaknyamanan dan mencegah
terjadinya fraktur . Lakukan rendaman salin hangat selama 20 menit
beberapa kali per hari untuk meningkatkan aliran darah. Perawat harus terus
mendorong klien untuk melakukan ROM, latihan isotonik dan isometrik
untuk menjaga kekuatan otot dan fleksibilitas sendi. Juga perlu diajarkan
teknik relaksasi untuk mengurangi nyeri dan meningkatkan kenyamanan
klien.

Pemberian antibiotik sesuai dosis, waktu, dan order sangat penting untuk
mencapai kadar antibiotik dalam darah yang adekuat. Antibiotik parenteral
harus diberikan sesuai dosis yaitu selama enam minggu. Sebelum pemberian
antibiotik, sebaiknya dilakukan kultur darah dan kultur abses untuk
mengetahui organisme penyebab. Bila infeksi tampak terkontrol, antibiotik
dapat diberikan per oral dan diberikan selama tiga bulan. Untuk
meningkatkan absorbsi antibiotik oral jangan diminum bersama makanan.

Squeztrektomi, dengan pengangkatan involukrum secukupnya dapat


dilakukan. Semua tulang dan kartilago yang terinfeksi dan mati diangkat
supaya dapat terjadi proses penyembuhan yang permanen. Luka ditutup rapat
atau dipasang tampon agar dapat diisi oleh jaringan granulasi atau dilakukan
grafting dikemudian hari. Dapat juga dipasang drainase untuk mengontrol
hematoma dan mengangkat debris. Irigasi larutan salin normal dapat
diberikan selama 7-8 hari.

h. Pencegahan
Beberapa tindakan dan upaya yang dapat mencegah terjadinya osteomielitis
antara lain sebagai berikut.
1) Penanganan infeksi lokal dapat menurunkan angka penyebaran
hematogen
2) Penanganan infeksi jaringan lunak dapat mengontrol erosi tulang
3) Pemeriksaan pasien secara teliti, perhatikan lingkungan pembedahan,
dan teknik pembedahan.

7
4) Penggunaan antibiotik profilaksis, untuk mencapai kadar jaringan yang
memadai saat pembedahan dan selama 24-48 jam setelah operasi
5) Teknik perawatan luka pascaoperasi aseptik.

2. Osteoporosis

a. Pengertian
Osteoporosis didefinisikan sebagai suatu penyakit dengan karakteristik
massa tulang yang berkurang dengan kerusakan mikroarsitektur jaringan
yang menyebabkan kerapuhan tulang dan resiko fraktur yang meningkat.
Osteoporosis yang lebih dikenal dengan keropos tulang menurut WHO
adalah penyakit skeletal sistemik karakteristik massa tulang yang rendah dan
perubahan mikroarsitektur dari jaringan tulang dengan akibat meningkatnya
fragilitas tulang dan meningkatknya keretanan terhadap patah tulang.
Osteoporosis adalah kelainan di mana terjadi peneurunan massa tulang total
(Lukman Nurna Ningsih, 2013).

Osteoporosis dicirikan dengan penurunan massa tulang, perburukan matriks


tulang, dan penurunan kekuatan arsitektur tulang. Kecepatan resorpsi tulang
lebih tinggi darpada kecepatan pembentukkan tulang. Tulang menjadi
semakin keropos, rapuh, dan rentang, dan tulang akan mudah patah/ fraktur.
Fraktur kompresi multiple vertebra menyebabkan deformitas skeletal
(kifosis). Kifosis ini menyebabkan pengurangan tinggi badan. Pasien yang
berisiko antara lain wanita pascamenopause dan bertubuh kecil.

Faktor risiko mencakup nutrisi yang tidak adekuat, vitamin D dan kalsium
yang tidak adekuat, dan pilihan gaya hidup (mis., merokok, asupan kafein,
dan konsumsi alkohol); genetik; dan kurang aktivitas fisik. Selain itu
kelainan kronis, endoskrinopati (lihat osteoporosis sekunder), penggunaan
kortikosteroid, penggantian hormon tiroid yang berlebihan, kemoterapi, loop
diuretik, dan terapi radiasi merupakan faktor medis.

8
b. Klasifikasi
Klasifikasi osteoporosis dibagi ke dalam dua kelompok yaitu osteoporosis
primer dan osteoporsis sekunder. Osteoporosis primer terdapat pada wanita
postmenopause (postmenopuase osteoporosis) dan pada laki-laki lanjut usia
(senile osteoporosis). Penyebab osteoporosis belum diketahui dengan pasti.
Sedangkan osteoporosis sekunder disebabkan oleh penyakit yang
berhubungan dengan cushing’ disease, hipertiroidisme, hiperparatiroidsme,
hipogonadisme, kelaiana hepar, gagal ginjal kronis, kurang gerak,kebiasaan
minum alkhol, pemakaian obat-obatan/ kortikosteroid, kelebihan kafein, dan
merokok.
1) Osteoporosis postmenopause (Tipe I)
Merupakan bentuk yang paling sering ditemukan pada waktu kulit putih
Asia. Bentuk osteoporosis ini disebabakan oleh percepatan resporosi
tulang yang berlebihan dan lama setelah penurunan sekresi hormon
estrogen pada masa menopause.
2) Osteoporosis involutional (Tipe II)
Terjadi pada usia diatas 75 tahun pada perempuan maupun laki-laki tipe
ini diakibatkan oleh ketidakseimbangan yang samar dan lama antara
kecepatan resorpsi tulang dengan kecepatan pembentukan tulang.
3) Osteoporosis idiopatik
Adalah tipe osteoporosis primer yang jarang terjadi pada wanita
premenopause dan pada laki-laki yang berusia dibawah 75 tahun. Tipe
ini tidak berkaitan dengan penyebab sekunder atau faktor risiko yang
mempermudah timbulnya penurunan densitas tulang.
4) Osteoporosis juvenil
Merupakan bentuk yang jarang terjadi dan bentuk osteoporosis yang
terjadi pada anak prepubertas.
5) Osteoporosis sekunder
Penurunan densitas tulang yang cukup berat untuk menyebabkan fraktur
atraumatik akibat faktor ekstrinsik seperti kelebihan kortikosteroid,
arteris reumatoid,kelaian hari/ginajl kronis, sindrom malabsorbsi,

9
mastositosis sistemaik,hiperparatiroidsme, hipertiroidisme, varian status
hipogonde, dan lain-lain

c. Etiologi
Osteoporosis postmenopouse terjadi karena kekurangan estrogen (hormon
utama pada wanita), yang membantu mengatur pengangkutan kalsium ke
dalam tulang pada wanita. Biasanya gejala timbul pada wanita yang berusia
dianatar 51-75 tahun, tetapi bisa mulai muncul lebih cepat ataupun lebih
lambat. Tidak semua wanita memiliki resiko yang sama untuk menderita
osteoporosis postmenopause, pada wanita kulit putih dan daerah timur lebih
mudah menderita penyakit ini daripada wanita kulit hitam.

Osteoporosis senilis kemungkinan merupakan akibat dari kekurangan


kalsium hancurnya tulang dan pembentukan tulang yang baru. Senilis yaitu
keadaan penurunan massa tulang yang hanya terjadi pada usia lanjut.
Penyakit ini biasanya terjadi pada usia diatas 70 tahun dua kali lebih sering
menyerang wanita. Wanita seringkal menderita osteoporosis senilis dan
postmenopause.

Kurang dari lima pasien penderita osteoporosis juga mengalami osteopososis


sekunder yang disebabkan oleh keadaan medis lainya atau oleh obat-obatan.
Penyakit ini bisa disebabkan oleh gagal ginjal kronis dan kelainan hormonal
(terutama tiroid, paratoid, dan adrenal) dan obat obatan (misalnya
kortikosteroid, barbiturat, anti kejang, dan hormon tiroid yang berlebihan).
Pemakaian alkohol yang berlebihan dan kebiasan merokok bisa
memperburuk kedaan ini.

Osteoporosis juvenil idopatik merupaka jenis osteoporosis yang


penyebabnya tidak diketahui. Hal ini terjadi pada anak-anak dan dewasa
muda yang memilki kadar dan fungsi hormon yang normal, kadar vitamin
yang normal dan tidak memilki penyebab yang jelas dari rapuhnya tulang.

10
d. Patofisiologi
Genetik, nutrisi, gaya hidup (misal merokok, konsumsi kafein, dan alkohol),
dan aktivitas memengaruhi puncak massa tulang. Pada pria massa tulang
lebih besar dan tidak mengalami perubahan hormonal mendadak. Sedangkan
pada perempuan, hilangnya estrogen pada saat menopouse dan pada
ooforektomi mengakibatkan percepatan resorpsi tulang dan berlangsung
terus selama tahun-tahun pascamenopause.

Diet kalsium dan vitamin D yang sesuai harus mencukupi untuk


mempertahankan remodelling tulang dan fungsi tubuh. Asupan kalsium dan
vitamin D yang tidak mencukupi selama bertahun-bertahun mengakibatkan
pengurangan massa tulang dan pertumbuhan osteoporosis. Asupan harian
kalsium yang dianjurkan (RDA: recommend daily allowance) meningkat
pada usia 11-24 tahun (adolesen dan deawas muda) hingga 1200 mg perhari,
untuk memaksimalkan pucak massa tulang. RDA untuk orang dewasa tetap
800 mg, tetapi pada peremupuan pascamenopause 1000-1500 mg per hari.
Sedangkan pada lansia dianjurkan mengonsumsi kalsium dalam jumlah tidak
terbatas, karena penyerapan kalsium kurang efesien dan cepat diekresikan
melalui ginjal (Smeltezer, 2002).

Demikian pula, bahan katabolik endogen (diproduksi oleh tubuh) dan


eksogen dapat. Pengunaan kortikosteroid yang lama, sindrom cushing,
hipertiroidisme, dan hiperparartiroidisme menyebabkan kehilangan tulang.
Obat- obatan seperti isoniazid, heparin, tetraslikin, antasida yang
mengandung aliuminium, furosemid, antikonvulsan, kortikosteroid, dan
suplemen tiroid memengaruhi penggunan tubuh dan metabolisme kalsium.

Imbolitas juga memengaruhi terjadinya osteoporosis. Ketika diimbolisasi


dengan gips, paralis atau inaktivitas umum, tulang akan diresponi lebih cepat
dari pembentuknya sehingga terjadi osteoporosis.

e. Manifestasi Klinis
Kapadatan tulang berkurang secara perlahan (terutama pada penderita
osteoporosis senilis), sehingga pada awalnya osteoporosis tidak

11
menimbulkan gejala pada beberapa penderita. Jika kepadatan tulang sangat
berkurang yang menyebabkan tulang menjadi kolaps atau hancur, maka akan
timbul nyeri tulang dan kelainan bentuk. Tulang-tulang yang terutama
terpengaruh pada osteoporosis adalah radius distal,korpus vertebra terutama
mengenai T8-L4, dan kollum femoris.

Kolaps tulang belakang menyebabakan nyeri punggung menahun. Tulang


belakang yang rapuh bisa mengalami kolaps secara spontan atau karena
cedera ringan. Biasanya nyeri timbul secara tiba-tiba dan dirasakan di daerah
tertentu dari puggung, yang akan bertambah nyeri jika penderita berdiri atau
berjalan. Jika disentuh, daerah tersebut akan terasa tetapi biasanya rasa sakit
ini akan terbentuk kelengkungan yang abnormal terjadinya ketegangan otot
dan rasa sakit.

Tulang lainyan bisa patah, yang sering kali disebabkan oleh tekanan yang
ringan atau karena jatuh. Salah satu patah tulang yang paling serius adalah
patah tulang panggul. Selain itu, yang juga sering terjadi adalah patah tulang
lengan (radius) di daerah persambungannya dengan pergelangan tangan,
yang disebut fraktur Collens. Pada penderita osteoporosis, patah tulang
cenderung mengalami penyembuhan secara perlahan.

f. Pemeriksaan Diagnosis
Pada seseorang yang mengalami patah tulang, diagnosis ditegakkan
berdasarkan gejala, pemeriksaan fisik, dan rontgen tulang. Pemeriksaan lebih
lanjut mungkin diperlukan untuk menyingkirkan keadaan lainya yang
menyebabkan osteoporosis.

Untuk mendiagnosa osteoporosis sebelum terjadinya patah tulang dilakukan


pemeriksaan yang menilai kepadatan tulang. Pemeriksaan yang paling akurat
adalah dual- energy x-ray absorpitomery ( DXA). Pemeriksaan ini aman dan
tidak menimbulkan nyeri, bisa dilakukan dalam waktu 5-15 menit. DXA
sangat berguna untuk wanita yang memilki risiko tinggi menderita
osteoporsis, penderita yang diagnosisnya belum pasti, dan penderita yang
hasil pengobatnya harus dinilai dari sekarang.

12
g. Pencegahan
Pencegahan osetoporsis meliputi; mempertahankan atau menigkatkan
kepadatan tulang dengan mengonsumi jumlah kalsium yang cukup,
melakukan olahraga dengan beban sesuai batas kemapuan, dan
mengonsumsi obat (untuk beberapa orang tertentu) mengkosumsi kalsium
dalam jumlah yang cukup sangat efektif, terutama sebelum tercapainya
kepadatan tulang maksimal (sekitar umur 30 tahun). Minum dua gelas susu
dan tambahan vitamin D setiap hari, bisa meningkatakan kepadatan tulang
pada wanita setengah baya yang sebelumnya tidak mendapatkan kalsium.
Sebaiknya semua wanita minum tablet kalsium setiap hari, dosis harian yang
dianjurkan adalah 1,5 gram kalsium.

Olaharaga beban (misalnya berjalan dan menaiki tangga) akan menigkatakan


kepadatan tulang. Berenang tidak meningkatakan kepadatan tulang. Estrogen
membantu mempertahankan kepadatan tulang pada wanita dan sering
diminum bersamaan dengan progestron. Terapi sulih estrogen paling efektif
dimulai 4-6 tahun setelah menopuse, tetapi jika baru dimulai dari 6 tahun
setelah menopuase, masih bisa memperlambat kerapuhan tulang dan
mengurangi risiko patah tulang. Raloksifen merupakan obat menyerupai
estrogen yang baru, yang mungkin kurang efektif daripada estrogen dalam
mencegah kerapuhan tulang, tetapi tidak memliki efek terhadap payudara
atau rahim. Untuk mencegah osteoporosis, bisfosfonat (contohnya
alendronat), bisa digunakan sendiri atau bersamaan dengan terapi sulih
hormon.

h. Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan adalah untuk meningkatkan kepadatan tulang. Semua
wanita, terutama yang menderita osteoporosis, harus mengkonsumsi kalisum
dan vitamin D dalam jumlah yang mencukupi. Diet tinggi kalsium dan
vitamin D yang mencukupi dan seimbang sepanjang hidup. Diet ditingkatkan
pada awal usia pertengahan karena dapat melindungi tulang dari
demineralisasi skeletal. Tiga gelas susu krim atau makanan lain yang kaya

13
kalsium (misal keju, brokoli kukus, salmon kaleng). Untuk mencukupi
asupan kalsium perlu diresepkan preparat kalsium (kalsium karbonat).

Terapi penggantian hormon dengan estrogen dan progesteron perlu


diresepkan bagi perempuan menopause, untuk memperlambat kehilangan
tulang dan mencegah terjadinya patah tulang. Perempuan yang telah
menjalani pengangkatan ovarium atau telah mengalami menopause
premature dapat mengalami osteoporosis pada usia muda. Perlu juga
meresepkan obat-obat lain dalam upaya menanggulangi osteoporosis
termasuk kalsitonin, natrium flourida, bifosfonat, natrium etidronat, dan
alendronate.

Patah tulang karena osteoporosis harus diobati. Patah tulang panggul


biasanya diatasi dengan tindakan pembedahan. Patah tulang pergelangan
biasanya digips atau diperbaiki dengan pembedahan. Pada kolaps tulang
belakang disertai nyeri punggung yang hebat diberikan obat pereda nyeri,
dipasang supportive back brace dan dilakukan terapi fisik.

3. Fraktur

a. Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya (Smeltzer, 2002). Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya
kontinuitas jaringan tulang dan/ atau tulang rawan yang umumnya
disebabkan oleh rudapaksa. Fraktur adalah patah tulang, biasanya
disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik.

Berdasarkan batasan di atas dapat disimpulkan bahwa, fraktur adalah


terputusnya kontinuitas tulang, retak atau patahnya tulang yang utuh, yang
biasanya disebabkan oleh trauma/rudapaksa atau tenaga fisim yang
ditentukan jenis dan luasnya trauma (LukmanNurna Ningsih, 2013).

b. Etiologi
Fraktur disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan punter
mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrem (Smeltzer, 2002) umumnya

14
fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang berlebihan
pada tulang. Fraktur cenderung terjadi pada laki-laki, biasanya fraktur terjadi
pada umur di bawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan olahraga,
pekerjaan, atau luka yang disebaban oleh kecelakaan kendaraan bermotor.
Sedangkan pada orang tua, perempuan lebih sering mengalami fraktur
daripada laki-laki yang berhubungan dengan meningkatnya insiden
osteoporosis yang terkait dengan perubahan hormone pada menopause.

c. Klasifikasi
Fraktur tertutup (fraktur simpel) adalah fraktur yang tidak menyebabkan
robeknya kulit atau kulit tidak ditembus oleh fragmen tulang. Sedangkan
fraktur dengan luka pada kullt atau membran mukosa sampai ke patahan
tulang. Konsep penting yang harus diperhatikan pada fraktur terbuka adalah
apakah terjadi kontaminasi oleh lingkungan pada tempat terjadinya fraktur
tersebut.

Sehingga fraktur terbuka terbagi dalam beberapa gradasi. Gradasi fraktur


terbuka dibagi menjadi tiga, grade 1 dengan luka bersih kurang dari 1 cm
panjanya grade II luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang
eksrensif, dan grade III sangat terkontaminasi serta mengalami kerusakan
jaringan lunak ekstensif, merupakan yang paling berat ( Smelrzer, 2002).

Fraktur komplit adalah patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya
mengalami pergeseran (bergeser dari posisi normal). Sebaliknya fraktur
tidak komplit terjadi ketika tulang yang patah hanya terjadi pada sebagan
dari garis tengah tulang.

Klasifikasi patah tulang ditinjau menurut sudut patah terdiri atas fraktur
transversal, fraktur oblik, dan fraktur spiral. Fraktur transversaladalah fraktur
yang garis patahnya tegak lurus terhadap sumbu panjang tulang.pada fraktur
semacam ini, segmen-segmen tulang yang patah direposisi atau direduksi
kembali ke tempatnya semula, maka segmen-segmen itu akan stabil, dan
biasanya mudah dikontrol dengan bidai gips. Fraktur oblik adalah fraktur
yang mengelilingi tulang. Fraktur memuntir biasanya terjadi di seputar

15
batang tulang. Timbul akibat torsi pada ekstremitas dan merupakan jenis
fraktur rendah energi yang hanya menimbulkan sedikit kerusakan jaringan
lunak serta cederung cepat sembuh dengan imolilisasi luar.

Fisura, disebabkan oleh beban lama atau trauma ringan yang terus menerus
yang disebut fraktur kelelahan,misalnya diafisis metatarsal. Fraktur impaksi
adalah fraktur di mana fragmen tulang terdorong ke fragmen tulang lainya.
Sedangkan fraktur kompersi adalah fraktur di mana antara dua tulang
mengalami kompersi pada tulang ketiga yang berada di anatarnya (terjadi
pada tulang belakang).

d. Patofisiologi

Fraktur ganggguan pada tulang biasanya disebabkan oleh trauma gangguan


adanya gaya dalam tubuh, yaitu stress, gangguan fisik, gangguan metabolic,
patologik. Kemampuan otot mendukung tulang turun, baik yang terbuka
ataupun tertutup. Kerusakan pembuluh darah akan mengakibatkan
pendarahan, maka volume darah menurun. COP menurun maka terjadi
peubahan perfusi jaringan. Hematoma akan mengeksudasi plasma dan
poliferasi menjadi edema lokal maka penumpukan di dalam tubuh.

Fraktur terbuka atau tertutup akan mengenai serabut saraf yang dapat
menimbulkan ganggguan rasa nyaman nyeri. Selain itu dapat mengenai
tulang dan dapat terjadi revral vaskuler yang menimbulkan nyeri gerak
sehingga mobilitas fisik terganggau. Disamping itu fraktur terbuka dapat
mengenai jaringan lunak yang kemungkinan dapat terjadi infeksi dan
kerusakan jaringan lunak akan mengakibatkan kerusakan integritas kulit.

Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma gangguan


metabolik, patologik yang terjadi itu terbuka atau tertutup. Baik fraktur
terbuka atau tertutup akan mengenai serabut syaraf yang dapat menimbulkan
gangguan rasa nyaman nyeri. Selaian itu dapat mengenai tulang sehingga
akan terjadi neurovaskuler yang akan menimbulkan nyeri gerak sehingga
mobilitas fisik terganggu, disamping itu fraktur terbuka dapat mengenai

16
jaringan lunak yang kemungkinan dapat terjadi infeksi terkontaminasi
dengan udara luar.

Derajat Patah Tulang Terbuka

Derajat Luka Fraktur


I Laserasi < 2 cm Sederhana
Laserasi < 1 cm, dengan Dislokasi
luka bersih Fragmen minimal
II Laserasi > 2 cm, kontusi otot Dislokasi
di sekitarnya Fragmen jelas
III Luka lebar Komunitif
Rusak hebat atau hilangnya Segmental
jaringan di sekitarnya, Fragmen tulang ada yang
terkontaminasi hilang

Fraktur komunikatif adalah fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa


bagian serpihan-serpihan dimana terdapat lebih dari dua fragmen tulang.
Sementara fraktur segmental adalah dua fraktur berdekatan pada satu tulang
yang menyebabkan terpisahnya segmen sentral dari suplai darahnhya. Untuk
fraktur yang tidak sempurna, dimana salah satu sisi tulang patah sedang sisi
lainnya membengkok dan sering terjadi pada anak-anak, dinamakan fraktur
greenstick.

Fraktur yang ditandai dengan tertariknya fragmen tulang oleh ligamen atau
tendon pada perlekatannya disebut fraktur avulsi. Fraktur patologis adalah
fraktur yang terjadi pada daerah tulang yang berpenyakit karena terjadinya
penurunan densitas tulang seperti kista tulang, penyakit Piaget, metastasis
tulang, tumor.

Pada umumnya pada pasien fraktur terbuka maupun tertutup akan dilakukan
immobilitas yang bertujuan untuk mempertahankan fragmen yang telah
dihubungkan tetap pada tempatnya sampai sembuh.

e. Manifestasi Klinis

17
Manisfestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas,
pemendekan ekstremitas, krepitus, pembengkakan local, dan perubahan
warna (Smeltzer, 2002). Gejala umum fraktur adalah rasa sakit,
pembengkakan, dan kelainan bentuk.
1) Nyeri terus-menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang di
imobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai
alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antarfragmen
tulang.
2) Setelah terjadi faktur, bagian-bagian yang tak dapat digunakan dan
cendeung bergerak secara tidak alamiah (gerakan luara biasa) bukannya
tetap rigid seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan
atau tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba)
ekstremitas yang bisa diketahui dengan membandingkan ektermitas
normal. Ektermitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi
normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melengketnya otot.
3) Fraktur pada tulang panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya
karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
Fragmen sering saing melingkupi satu sama lain sampai 2,5-5 cm (1-2
inchi).
4) Saat ektremitas diperiksa dengan tanagan, teraba adanya drik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu
dengan lainnya. Uji krepitus deapat mengakibatkan kerusakan jaringan
lunak yang lebih berat.
5) Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi akibat
trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasa baru
terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.

Table 1.1 Perkiraan Waktu Imobilisasi yang Dibutuhkan untuk Penyatuan

Fraktur Lamanya (minggu)


Falang (jari) 3-5
Metacarpal 6
Karpal 6

18
Skafoid 10 (sampai terlihat penyatuan pada
sinar-X)
Radius dan ulna 10-12

Humerus :
Suprakondiler 3
Batang 8-12
Proksimal (impaksi) 3
Proksimal (dengan pergeseran) 6-8
Klavikula 6-10
Vertebra 16
Pelvis 6

Femur:
Intrakapsuler 24
Intratrokhanterik 10-12
Batang 18
Suprakondiler 12-15

Tibia:
Proksimal 9-10
Batang 14-20
Malleolus 6
Kalkaneus 12-16
Metatarsal 6
Falang (jari kaki) 3
Sumber: Smeltzer S.C., dan B.G., 2002.

f. Pemeriksaan Diagnostik
1) Pemeriksaan rontgen: menentukan lokasi/luasnya fraktur/trauma, dan
jenis fraktur.

19
2) Scan tulang, tomogram, CT Scan/MRI: memperlihatkan tingkat
keparahan fraktur, jugaa dapat untuk mengidentifikasi kerusakan
jaringan lunak.
3) Arteriogram: dilakukan bila dicurigai adanya kerusakan vaskuler.
4) Hitung darah lengkap: Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau
menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada
multipel trauma). Peningkatan jumlah SDP adalah proses stres normal
setelah trauma.
5) Kreatinin: trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal
6) Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,
transfusi multipel atau cidera hati

g. Penatalaksanaan
1) Penatalaksanaan Kedaruratan
a) Segera setelah cedera, imobilisasi bagian tubuh sebelum pasien
dipindahkan.
b) Bebat fraktur, termasuk sendi yang berada di dekat fraktur, untuk
mencegah pergerakan fragmen fraktur.
c) Imobilisasi tulang panjang ektremitas bawah dapat dilakukan dengan
mengikat (membebat) kedua tungkai bersama-sama: ekstremitas yang
tidak terganggu berperan sebagai bebat untuk ekstremitas yang
cedera.
d) Pada cedera ekstremitas atas, lengan dapat dibebat ke dada, atau
lengan bawah yang cedera dapat digendong dengan mitela (kain
gendongan).
e) Kaji status neurovascular di sisi distal area cedera sebelum dan
setelah pembebatan untuk menentukan keadekuatan perfusi jaringan
perifer dan fungsi saraf.
f) Tutup luka fraktur terbuka dengan balutan steril untuk mencegah
kontaminasi jaringan yang lebih dalam.

20
2) Penatalaksanaan Keperawatan
a) Penatalaksanaan Fraktur Tertutup
(1) Informasikan pasien mengenai metode pengontrolan edema dan
nyeri yang tepat (mis., meninggikan ekstremitas setinggi jantung,
menggunakan analgesic sesuai resep).
(2) Ajarkan latihan untuk mempertahankan kesehatan otot yang tidak
terganggu dan memperkuat otot yang diperlukan untuk berpindah
tempat dan untuk menggunakan alat bantu (mis., tongkat, walker,
cruck).
(3) Ajarkan pasien tentang cara menggunakan alat bantu dengan
aman.
(4) Bantu pasien memodifikasi lingkungan rumah mereka sesuai
kebutuhan dan mencari bantuan personal jika diperukan.
(5) Berikan pendidikan kesehatan kepada pasien mengenai perawatan
diri, informasi medikasi, pemantauan kemungkinan komplikasi
dan perlunya supervis layanan kesehatan yang berkelanjutan.

b) Penatalaksanaan Fraktur Terbuka


Patah tulang terbuka memerlukan pertolongan segera. Penundaan
waktu dalam memberikan pertolongan akan mengakibatkan
komplikasi infeksi karena adanya pemaparan dari lingkungan luar.
Waktu yang optimal untuk melaksanakan tindakan sebelum 6-7 jam
sejak kecelakaan, disebut golden period.
Secara klinis patah tulang terbuka dibagi menjadi tiga derajat

Derajat I Tingkat luka tembus kecil sujung jarum, luka ini di


dapat dari tusukan fragmen-fragmen tulangt dari dalam.
Derajat II Luka lebih besar disertai denga kerusakan kulit
subkutis. Kadang-kadang ditemukan adanya benda-
benda asing di sekitar luka.
Derajat III Luka lebih besar dibandingkan dengan luka pada
derajat II. Kerusakan lebih hebat karena sampai
mengenai tendon dan otot-otot saraf tepi.

21
Dengan demikian, penatalaksanaan fraktur terbuka yaitu:

(1) Sasaran penatalaksanaan adalah untuk mencegah infeksi luka,


jaringan lunak, dan tulang serta untuk meningkatkan pemulihan
tulang dan jaringan lunak. Pada kasus fraktur terbuka, terdapat
risiko osteomielitis, tetanus, dan gas gangren.
(2) Berikan antibiotic IV dengan segera saat pasien tiba di rumah
sakit bersama dengan tetanus toksoid jika diperlukan.
(3) Lakukan irigasi luka dan debridemen.
(4) Tinggikan ekstremitas untuk meminimalkan edema.
(5) Kaji status neurovascular dengan sering.
(6) Ukur suhu tubuh pasien dalam interval teratur, dan pantau tanda-
tanda infeksi.

4. Amputasi

a. Pengertian

Amputasi berasal dari kata “amputare” yang kurang lebih diartikan


“pacung”. Amputasi dapat diartikan sebagai tindakan memisahkan bagian
tubuh sebagian atau seluruh bagian ekstremitas. Tindakan ini merupakan
tindakan yang dlakukan dalam kondisi pilihan terakhir manakala masalah
organ yang terjadi pada ekstremitas sudah tidak mungkin dapat diperbaiki
dengan menggunakan teknik lain.

Amputasi adalah pengangkatan/ pemotongan sebagian anggota tubuh/


anggota gerak yang disebabkan oleh adanya trauma, gangguan peredaran
darah, osteomielitis, dan kanker. Amputasi adalah pengangkatan melalui
bedah/ traumatic pada tungkai (Doenges, 2000).

Dalam melihat pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa amputasi adalah


pengangkatan/ pemotongan/ pembuangan sebagian anggota tubuh/ anggota
gerak yang disebabkan oleh adanya trauma, gangguan peredaran darah,
osteomyelitis, dan kanker melalui proses pembedahan (Lukman Nurna
Ningsih, 2013).

22
b. Etiologi
Penyakit vascular perifer progresif (sering terjadi sebagai gejala sisa diabetes
mellitus), gangrene, trauma (cedera remuk, luka bakar), deformitas
kongential, atau tumor ganas, neoplasma malignan (misalnya, steosarkoma),
infeksi kronik (osteomyelitis), dan paralisis. Penyakit vascular perifer
merupakan penyebab tertinggi amputasi ekstremitas bawah (Smeltzer, 2002).
Secara umum menurut Doenges (2000) penyebab amputasi adalah
kecelakaan, penyakit, dan gangguan kongential.

Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan penyebab amputasi adalah


penyakit vascular perifer, infeksi, trauma, deformitas, tumor ganas, dan
paralisis (Lukman Nurna Ningsih, 2013).

c. Jenis Amputasi
1) Amputasi Terbuka
Dilakukan pada kondisi klien dengan infeksi yang mengembang atau
berat. Dimana pemotongan dilakukan pada tingkat yang sama.
Bentuknya benar-benar terbuka dan dipasang drainage agar luka bersih
dan luka dapat ditutup setelah tidak terinfeksi.
2) Amputasi Tertutup
Dilakukan dalam kondisi yang lebih mungkin. Pada jenis ini kulit tepi
ditarik atau dibuat skalf untuk menutupi luka, pada atas ujung tulang dan
dijahit pada daerah yang diamputasi.

d. Faktor yang Memengaruhi


Klien yang memerlukan amputasi biasanya usia muda dan lansia. Amputasi
yang terjadi pada usia muda biasanya akibat trauma ektremitas berat,
sedangkan pada lansia biasanya karena penyakit vaskular perifer. Usia muda
dapat melalui proses penyembuhan dengan cepat, dan segera berpartisipasi
dalam program rehabilitasi. Namun, klien memerlukan banyak dukungan
psikologis untuk menerima perubahan mendadak terkait citra diri klien dan
menerima stres akibat hospitalisasi, rehabilitasi jangka panjang, dan
penyesuaian gaya hidup yang berubah. Klien juga memerlukan waktu untuk

23
mengatasi perasaan kehilangan yang permanen . reaksi klien susah diduga
dan dapat berupa reaksi marah, depresi, berduka disfungsional, isolasi sosial
dan bermusuhan.

Pada lansia dengan penyakit vaskular perifer sering diiringi dengan


masalah kesehatan lain, seperti diabetes melitus dan arteriosklerosis.
Amputasi yang sudah lama dapat menghilangkan klien dari nyeri, disabilitas,
dan ketergantungan . berbeda dengan orang muda, lansia sudah siap
mengatasi perasaannya dan siap menerima amputasi. Rehabilitasi psikologik
dan fisiologik dimulai sebelum amputasi dilaksanakan. Namun, kemajuan
rehabilitasi mungkin terhambat akibat kelainan kardiovaskular, respirasi atau
neurologik yang diderita oleh lansia.

e. Tingkat/ Batasan Amputasi


Batas amputasi ditentukan oleh luas dan jenis penyakit. Batas amputasi pada
cedera ditentukan oleh peredaran darah yang adekuat. Batas amputasi pada
tumor maligna ditentukan oleh daerah bebas tumor dan bebas risiko
kekambuhan lokal. Sedangkan pada penyakit pembuluh darah ditentukan
oleh vaskularisasi sisa ekstremitas dan daya sembuh luka sisa tungkai
(puntung).

Tempat amputasi ditentukan berdasarkan dua faktor, yaitu peredaran darah


pada bagian itu dan kegunaan fungsional, misalnya sesuai kebutuhan
prostesis. Amputasi dilakukan pada titik paling distal yang masih dapat
mencapai penyembuhan.

Batas/tingkat amputasi ektremitas bawah yang lazim dipakai, yang disebut


batas amputasi. Sedang untuk ektremitas atau tidak dipakai batas amputasi
tertentu, tetapi dianjurkan sedistal mungkin. Amputasi ektremitas atas
dilakukan pada atas siku (AS) dan bawah siku (BS). Sedangkan amputasi
ektremitas bawah dilakukan pada atas lutut, disartikulasi lutut, bawah lutut
dan syme.

Lima tingkatan amputasi yang sering digunakan pada ektremitas bawah


menurut Doenges (2000) adalah telapak dan pergelangan kaki, bawah lutut,

24
disartikulasi dan atas lutut, disartikulasi lutut-panggul, dan hemipelviktomi
dan amputasi translumbar. Tipe amputasi ada dua yaitu, terbuka
(provisional) yang memerlukan teknik aseptik ketat dan revisi lanjut, serta
tertutup atau flap

f. Komplikasi
Perdarahan, infeksi, dan kerusakan kulit merupakan komplikasi amputasi.
Perdarahan dapat terjadi akibat pemotongan pembuluh darah besar dan dapat
menjadi masif. Infeksi dapat terjadi pada semua pembedahan, dengan
perdarahan darah yang buruk dan adanya kontaminasi serta dapat terjadi
kerusakan kulit akibat penyembuhan luka yang buruk dan iritasi penggunaan
prostesis. Kompilkasi yang dapat terjadi pada amputasi adalah infeksi, nyeri
phantom,neuroma, dan fleksi kontraktur.

Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa komplikasi yang


dapat terjadi pada amputasi adalah perdarahan, infeksi, nyeri phantom,
neuroma, kerusakan kulit dan fleksi kontraktur.

g. Pemeriksaan Diagnostik
1) Foto Rontgen: mengidentifikasi abnormalitas tulang.
2) CT Scan: mengidentifikasi lesi neoplastic, osteomielitis, pembentukan
hematoma.
3) Angiografi dan pemeriksaan aliran: mengevaluasi perubahan
sirkulalsi/perfusi jaringan dan membantu memperkirakan potensi
penyembuhan jaringan setelah amputasi.
4) Ultrasound Doppler, Flowmetri Dopler: dilakukan untuk mengkaji dan
mengukur aliran darah.
5) Tekanan O2 transkutaneus: memberi peta pada area perfusi paling besar
dan paling kecil dalam keterlibatan ekstremitas.
6) Termografi: mengukur perbedaan suhu pada tungkai iskemik di dua sisi,
dari jaringan kutaneus ke tengah tulang. Perbedaan yang rendah antara
dua pembacaan, makin besar untuk sembuh.
7) Pletismografi: mengukur TD segmental bawah terhadap ekstremitas
bawah mengevaluasi aliran darah arterial.

25
8) LED: peningkatan mengidentifikasi respons inflamasi.
9) Kultur luka: mengidentifikasi adanya infeksi dan organisme penyebab.
10) Biopsy: mengonfirmasi diagnosis massa benigna/maligna.
11) Hitung darah lengkap/ diferensial: peninggian dan pergeseran ke kiri
diduga proses infeksi.

h. Penatalaksanaan
Tujuan utama pembedahan adalah mencapai penyembuhan luka amputasi,
menghasilkan sisa tungkai (punting) yang tidak nyeri tekan dengan kulit
yang untuk penggunaan prosthesis. Lansia mungkin mengalami
keterlambatan penyembuhan, karena nutrisi yang buruk dan masalah
kesehatan lain. Percepatan penyembuhan dapat dilakukan dengan
penanganan yang lembut terhadap sisa tungkai, pengontrolan edema sisa
tungkai dengan balutan kompres lunak atau rigid, dan menggunakan teknik
asptik dalam perawatan luka untuk menghindari infeksi.
1) Balutan Rigid Tertutup
Digunakan untuk mendapatkan kompresi yang merata, menyangga
jaringan lunak dan mengontrol nyeri, serta mencegah kontraktur. Segera
setelah pembedahan balutan gips rigid dipasang dan dilengkapi tempat
memasang ekstensi prosthesis sementara (pylon) dan kaki buatan. Pasang
kaus kaki steril pada sisi steril, dan bantalan dipasang pada daerah peka
tekanan. Sisa tungkai (punting) kemudian dibalut dengan gips elastis
yang ketika mengeras akan memberikan tekanan yang merata. Gips
diganti sekitar 10-14 hari. Bila terjadi peningkatan suhu tubuh, nyeri
berat atau gips mulai longgar harus segera diganti.
2) Balutan Lunak
Balutan lunak dengan atau tanpa kompresi dpaat digunakan bila
diperlukan inspeksi berkala sisa tungkai (punting) sesuai kebutuhan.
Bidai imobilisasi dapat dibalutkan pada balutan. Hematoma punting
dikontrol dengan alat drainase luka untuk meminimalkan infeksi.

26
3) Amputasi Bertahap
Amputasi bertahap dilakukan bila ada gangren atau infeksi. Pertama-
tama dilakukan amputasi guillotine untuk mengangkat semua jaringan
nekrosis dan sepsis. Luka didebridemen dan dibiarkan mengering. Sepsis
ditangani dengan antibiotic. Dalam beberapa hari, bila infeksi telah
terkontrol dan klien teah stabil, dilakukan amputasi definitive dengan
penutupan kulit.
4) Prosthesis
Prosthesis sementara kadang diberikan pada hari pertama pascabedah,
sehingga latihan segera dapat dimulai. Keuntungan menggunakan
protesis sementara adalah membiasakan klien menggunakan protesis
sedini mungkin. Kadang protesis darurat baru diberikan setelah satu
minggu luka menyembuh tanpa penyulit. Pada amputasi karena penyakit
pembuluh darah, Pstesis sementara diberikan setelah cepat minggu.

Protesis bertujuan untuk mengganti bagian ekstremitas yang hilang.


Artinya defek system musculoskeletal harus diatasi, termasuk defek faal.
Pada ekstremitas bawah, tujuan prosthesis ini sebagian besar dapat
dicapai. Sebaliknya untuk ekstremitas atas, tujuan itu sulit dicapai,
bahkan dengan tangan mioelektrik canggih yang bekerja atas sinyal
mioelektik dari otot biseps dan triseps.

B. Kebutuhan Mobilitas dan Imobilitas

1. Sistem Tubuh yang Berperan dalam Kebutuhan Aktivitas

a. Tulang
Tulang merupakan organ yang memiliki berbagai fungsi yaitu fungsi
mekanis untuk membentuk rangka dan tempat melekatnya berbagai otot,
fungsi sebagai tempat penyimpanan mineral khususnya kalsium dan fosfor
yang bisa dilepaskan setiap saat sesuai kebutuhan, fungsi tempat sumsum
tulang dalam membentuk sel darah, dan fungsi pelindung organ-organ
dalam.

27
Terdapat tiga jenis tulang yaitu tulang pipih seperti tulang kepala dan pelvis,
tulang kuboid seperti tulang vertebra dan tulang tarsalia, dan tulang panjang
seperti tulang femur dan tibia. Tulang panjang umumnya berbentuk lebar
pada kedua ujung dan menyempit di tengah. Bagian ujung tulang panjang
dilapisi oleh kartilago dan secara anatomis terdiri atas epifisis, metafisis, dan
diafisis. Epifisis dan metafisis terdapat pada kedua ujung tulang yang
terpisah dan lebih elastis pada masa anak-anak serta akan menyatu pada
masa dewasa.

b. Otot dan Tendon


Otot memiliki kemampuan berkontraksi yang memungkinkan tubuh
bergerak sesuai dengan keinginan. Otot memiliki origo dan insersesi tulang,
serta dihubungkan dengan tulang melalui tendon, suatu jaringan ikat yang
melekat dengan sangat kuat pada tempt insersinya di tulang. Terputusnya
tendon akan mengakibatkan kontraksi otot tidak dapat menggerakkan organ
di tempat insersi tendon yang bersangkutan, sehingga diperlukan
penyambungan atau jahitan agar dapat berfungsi kembali.

c. Ligamen
Ligamen merupakan bagian yang menghubungkan tulang dengan tulang.
Ligamen pada lutut merupakan struktur penjaga stabilitas, oleh karena itu
jika terputus akan mengakibatkan ketidakstabilan.

d. Sistem Saraf
Sistem saraf terdiri atas sistem saraf pusat (otak dan medula spinalis) dan
sistem saraf tepi (percabangan dari sistem saraf pusat). Setiap saraf memiliki
bagian somatis dan otonom. Bagian somatis memiliki fungsi sensorik dan
motorik. Terjadinya kerusakan pada sistem saraf pusat seperti fraktur tulang
belakang dapat menyebabkan kelemahan secara umum, sedangkan
kerusakan saraf tepi dapat mengakibatkan terganggunya daerah yang
diinversi, dan kerusakan pada saraf radial akan mengakibatkan drop hand
atau gangguan sensorik di daerah radial tangan.

28
e. Sendi
Sendi merupakan tempat dua atau lebih ujung tulang bertemu. Sendi
membuat segmentasi dari kerangka tubuh dan memungkinkan gerakan
antarsegmen dan berbagai derajat pertumbuhan tulang. Terdapat beberapa
jenis sendi, misalnya sendi sinovial yang merupakan sendi kedua ujung
tulang berhadapan dilapisi oleh kartilago artikuler, ruang sendinya tertutup
kapsul sendi dan berisi cairan sinovial. Selain itu, terdapat pula sendi bahu,
sendi panggul, lutut dan jenis sendi lain seperti sindesmosis, sinkondrosis
dan simfisis.

2. Kebutuhan Mobilitas dan Imobilitas

a. Pengertian Mobilitas
Mobilitas atau mobilisasi merupakan kemampuan individu untuk bergerak
secara bebas, mudah dan teratur dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan
aktivitas guna mempertahankan kesehatannya.

b. Jenis Mobilitas
1) Mobilitas penuh, merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak
secara penuh dan bebas sehingga dapat melakukan interaksi sosial dan
menjalankan peran sehari-hari. Mobilitas penuh ini merupakan fungsi
saraf motorik volunteer dan sensorik untuk dapat mengontrol seluruh
area tubuh seseorang.
2) Mobilitas sebagian, merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak
dengan batasan jelas dan tidak mam.pu bergerak secara bebas karena
dipengaruhi oleh gangguan saraf motorik dan sesnsorik pada area
tubuhnya. Hal ini dapat dijumpai pada kasus cedera atau patah tulang
dengan pemasangan traksi. Pada pasien paraplegi dapat mengalami
mobilitas sebagian pada ekstremitas bawah karena kehilangan kontrol
motorik dan sensorik. Mobilitas sebagian ini dibagi menjadi dua jenis,
yaitu:

a) Mobilitas sebagian temporer, merupakan kemampuan individu untuk


bergerak dengan batasan yang sifatnya sementara. Hal tersebut dapat

29
disebabkan oleh trauma reversibel pada system musculoskeletal,
contohnya adalah adanya dislokasi sendi dan tulang.

b) Mobilitas permanen, merupakan kemampuan individu untuk


bergerak dengan batasan yang sifatnya menetap. Hal tersebut
disebabkan oleh rusaknya system saraf yang reversibel, contohnya
terjadinya hemiplegia karena stroke, paraplegi karena cedera tulang
belakang, poliomilitis karena terganggunya system saraf motorik dan
sensorik.

c. Faktor yang Memengaruhi Mobilitas


Mobilitas seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya:
1) Gaya hidup. Perubahan gaya hidup dapat mempengaruhi kemampuan
mobilitas seseorang karena gaya hidup berdampak pada perilaku
kebiasaan sehari-hari.
2) Proses penyakit/ cedera. Proses penyakit dapat mempengaruhi
kemampuan mobilitas karena dapat mempengaruhi fungsi system tubuh.
Sebagai contoh, orang yang menderita fraktur femur akan mengalami
keterbatasan pergerakan dalam ekstermitas bagian bawah.
3) Kebudayaan. Kemampuan melakukan mobilitas dapat juga dipengaruhi
kebudayaan. Sebagai contoh, orang yang memiliki budaya sering
berjalan jauh memiliki kemampuan mobilitas yang kuat, sebaliknya ada
orang yang mengalami gangguan mobilitas (sakit) karena budaya dan
adat dilarang beraktivitas.
4) Tingkat energi. Energi dibutuhkan untuk melakukan mobilitas. Agar
seseorang dapat melakukan mobilitas dengan baik, dibutuhkan energi
yang cukup.
5) Usia dan status perkembangan. Terdapat perbedaan kemampuan
mobilitas pada tingkat usia yang berbeda. Hal ini dikarenakan
kemampuan atau kematangan fungsi alat gerak sejalan dengan
perkembangan usia.

30
d. Pengertian Imobilitas
Imobilitas atau imobilisasi merupakan keadaan dimana seseorang tidak dapat
bergerak bebas karena kondisi yang menggangu pergerakan (aktivitas),
misalnya mengalami trauma tulang belakang, cedera otak beratdisertai
fraktur pada ekstremitas, dan sebagainya.

e. Jenis Imobilitas
1) Imobilitas fisik, merupakan pembatasan untuk bergerak secara fisik
dengan tujuan mencegah terjadinya gangguan komplikasi pergerakan,
seperti pada pasien dengan hemiplegia yang tidak mampu
mempertahankan tekanan di daerah paralisis sehingga tidak dapat
mengubah posisi tubuhnya untuk mengurangi tekanan.
2) Imobilitas intelektual, merupakan keadaan ketika seseorang mengalami
keterbatasan daya pikir, seperti pada pasien yang mengalami kerusakan
otak akibat suatu penyakit.
3) Imobilitas emosional, merupakan keadaan ketika seseorang mengalami
pembatasan secara emosional karena adanya perubahan secara tiba-tiba
dalam menyesuaikan diri. Sebagai contoh, keadaan stress berat dapat
disebabkan karena bedah amputasi ketika seseorang mengalami
kehilangan bagian anggota tubuh atau kehilangan sesuatu yang paling
dicintai.
4) Imobilisasi sosial, keadaan individu yang mengalami hambatan dalam
melakukan interaksi sosial karena keadaan penyakitnya sehingga
mempengaruhi perannya dalam kehidupan sosial.

f. Perubahan Sistem Tubuh Akibat Imobilitas


Dampak dari imobilitas dalam tubuh dapat mempengaruhi system tubuh,
seperti perubahan pada system musculoskeletal.
1) Gangguan Muskular. Menurunnya massa otot sebagai dampak imobilitas
dapat menyebabkan turunnya kekuatan otot secara langsung.
Menurunnya fungsi kapasitas otot ditandai dengan menurunnya
stabilitas. Kondisi berkurangnya massa otot dapat menyebabkan atropi

31
pada otot. Sebagai contoh, otot betis seseorang yang telah dirawat lebih
dari enam minggu ukurannya akan lebih kecil selain menunjukkan tanda
lemah atau lesu.
2) Gangguan skeletal. Adanya imobilitas juga dapat menyebabkan
gangguan skeletal, misalnya akan mudah terjadinya kontraktur sendi dan
osteoporosis. Kontraktur merupakan kondisi yang abnormal dengan
kriteria adanya fleksi dan fiksasi yang disebabkan atropi dan
memendeknya otot. Terjadinya kontraktur dapat menyebabkan sendi
dalam kedudukn yang tidak berfungsi. Osteoporosis terjadi karena
reabsobsi tulang semakin besar, sehingga yang menyebabkan jumlah
kalsium ke dalam darah menurun dan jumlah kalsium yang dikeluarkan
melalui urine semakin besar.

g. Manfaat Latihan pada Sistem Muskuloskeletal


Ukuran, bentuk, tonus, dan kekuatan otot (termasuk otot jantung)
dipertahankan dengan latihan ringan dan ditingkatkan dengan latihan berat.
Dengan latihan berat, hipertrofi (pembesaran) otot dan efisiensi kontraksi
otot mengalami peningkatan.

Latihan meningkatkan fleksibelitas sendi dan rentang pergerakan. Densitas


tulang dipertahankan melalui latihan menahan beban. Tekanan pada saat
menahan mempertahankan keseimbangan antara osteoblas (sel yang
membentul tulang) dan osteoklas (sel penyerap dan penghancur tulang).

3. Tingkat Kemampuan Aktivitas

a. Kategori tingkat kemampuan aktivitas

Tingkat
Kategori
Aktivitas/Mobilitas
0 Mampu merawat sendiri secara penuh
1 Memerlukan penggunaan alat
2 Memerlukan bantuan atau pengawasan orang lain
3 Memerlukan bantuan, pengawasan orang lain, dan
peralatan
4 Sangat tergantung dan tidak dapat melakukan atau

32
berpartisipasi dalam perawatan

b. Rentang gerak (range of motion-ROM)


Derajat Rentang
Gerak Sendi
Normal
Bahu Adduksi: gerakan lengan ke lateral dari 180
posisi sampiong ke atas kepala, telapak
tangan menghadap ke posisi yang
paling jauh.
Siku Fleksi: angkat lengan bawah ke arah 150
depan dan ke arah atas menuju bahu.
Pergelanga Fleksi: tekuk jari-jari tangan ke arah 80-90
n tangan bagian dalam lengan bawah.
Ekstensi: luruskan pergelangan tangan 80-90
dari posisi fleksi
Hiperekstensi: tekuk jari-jari tangan ke 70-90
arah belakang sejauh mungkin
Abduksi: tekuk pergelangan tangan ke 0-20
sisi ibu jari ketika telapak tangan
menghadap ke atas.
Adduksi: tekuk pergelangan tangan ke 30-50
arah kelingking telapak tangan
menghadap ke atas.
Tangan dan Fleksi: buat kepalan tangan 90
Ekstensi: luruskan jari 90
jari
Hiperekstensi: tekuk jari-jari tangan ke 30
belakang sejauh mungkin
Abduksi: kembangkan jari tangan 20
Adduksi: rapatkan jari-jari tangan dari 20
posisi abduksi
c. Derajat kekuatan otot
Persentase Kekuatan
Skala Karakteristik
Normal (%)
0 0 Paralisis sempurna
1 10 Tidak ada gerakan, kontraksi otot dapat
di palpasi atau dilihat
2 25 Gerakan otot penuh melawan gravitasi

33
dengan topangan
3 50 Gerakan yang normal melawan gravitasi
4 75 Gerakan penuh yang normal melawan
gravitasi dan melawan tahanan minimal
5 100 Kekuatan normal, gerakan penuh yang
normal melawan gravitasi dan tahanan
penuh

C. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Muskuloskeletal

1. Pengkajian
Tujuan pengkajian adalah mengidentifikasi masalah klien (actual dan potensial)
dan masalah perawatan kesehatan. Setelah itu, perawat membuat rencana
pertemuan untuk mengidentifikasi kebutuhan agar dapat memberi tindakan
perawatan sesuai dengan kebutuhan klien.

Pengkajian keperawatan pada system musculoskeletal adalah salah satu


komponen proses keperawatan. Melalui pengkajian perawat menggali masalah
klien, komponen pengkajian keperawatan kompeherensif yang dilaksanakan
perawat secara umum meliputi anamnesis pada klien dan keluarga, pemeriksaan
kesehatan, meninjau catatan/status klien untuk melihat pemeriksaan diagnostic.
Perawat juga berkonsultasi dengan anggota tim kesehatan lain dan meninjau
literature yang terkait dengan keadaan klien.

a. Anamnesis
Wawancara atau anamnesis dalam pengkajian keparawatan pada system
musculoskeletal merupakan hal utama yang dilaksanakan perawat. Perawat
perlu melaksanakan dan memperhatikan beberapa hal agar proses anamnesis
dapat optimal dilaksanakan yang meliputi :
1) Ketenangan. Perawat melaksanakan anamnesis dengan bersikap tenang
agar dapat mengorganisasi pikiran dan informasi lengkap tentang apa
yang akan disampaikan atau ditanyakan pada klien

34
2) Mendengar denga aktif. Perawat memperlihatkan minat dan perhatian,
menunjukan sikap ingin mendengar tanpa melakukan penilaian perawat
memusatkan wawancara pada masalah kesehatan atau system tubuh.
Perawat mengulang apa yang telah didengar dari komunikasi klien, ini
merupakan validasi agar perawat membuktikan benar-benar
mendengarkannya.
3) Klarifikasi. Perawat meminta klien mengulang informasi dalam bentuk
cara lain yang membantu perawat mengerti maksud klien dengan baik.
4) Memfokuskan. Perawat membantu menghilangkan kesamaran
komunikasi dengan mengajukan pertanyaan evaluasi dan meminta klien
untuk melengkapi data.
5) Konfrontasi, suatu pendekatan konstruktif yang menginformasikan klien
tentang apa yang dipikirkan atau disasarkan perawat terkait dengan
prilaku klien selam interaksi
6) Memberi umpan balik. Perawat memberi klien informasi mengenai apa
yang telah diobservasi atau disimpulkan. Umpan balik yang efektif.
7) Pemberian informasi. Perawat memberi informasi kepada klien. Ketika
memberi informasi, perawat menghindari informasi yang salah dan
komunikasi yang tidak teraupetik
8) Menyimpulkan. Perawat menyiumpulkan ide-ide utama dari setiap
wawancara atau diskusi. Hal ini memvalidasi data dari klien dan
menandakan akhir bagian pertama wawancara sebelum berlanjut
kebagian berikutnya.

b. Keluhan utama
1) Nyeri. Nyeri merupakan gejala yang sering ditemukan pada masalah
system musculoskeletal dan perlu diketahui tentang sifat-sifat nyeri yang
dapat dikaji dengan menggunakan PQRST
a) Proving incident : apakah ada peristiwa yang menjadi factor
penyebab nyeri, apakah nyeri berkurang apabila beristiraha, apakah
nyeri bertambah berat bila beraktivitas (aggravation), pada aktivitas
mana nyeri bertambah (apakah pada saat batuk, bersin, berdiri, dan

35
berjalab). Pada umumnya nyeri akan bertambah berat apabila ada
gerakan setempat dan berkurang apabila istirahat.
b) Quality of pain : seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, tajam, atau
menusuk
c) Region, radiation, relief, dimana lokasi nyeri harus ditunjukan
dengan tepat oleh klien, apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar, atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi. Tekanan pada
syaraf atau radiks saraf akan memberi gejala nyeri yang disebut
radiating pain, nyeri lain yang disebut nyeri kiriman atau referred
pain adalah nyeri pada suatu tempat yang sebenarnya akibat kelainan
dari tempat lain.
d) Severity (scale) of pain : seberapa hebat rasa nyeri yang dirasakan
klien, dapat berdasarkan skala nyeri/gradasi dan klien menerangkan
seberapa hebat rasa sakit memengaruhi kemampuan fungsinya.
e) Time : berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah
buruk pada malam hari atau siang hari.

2) Kekakuan/ketidakstabilan sendi. Kekakuan atau ketidakstabilan sendi


merupakan suatu keluhan yang dirasakan klien mengganggu aktivitas
sehari-hari dan menyebabkan klien meminta pertolongan layanan
kesehatan, perawat perlu menanyakan berapa lama keluhan dirasakan
serta sejauh mana keluhan menyebabkan gangguan pada aktivitas klien.

Kelainan ini bersifat umum (mis., pada artritis rheumatoid, spondylitis


ankilosan) atau bersifat local pada sendi-sendi tertentu. Locking
merupakan suatu kekakuan sendi yang terjadi secara tiba-tiba akibat blok
mekanis pada sendi tulang rawan atau meniscus. Perlu diketahui apakah
kelainan yang ada menyebabkan ketidakstabilan sendi dan ditelusuri pula
penyebabnya apakah karena kelemahan otot atau kelemahan/robekan
pada ligament dan selaput sendi.

36
3) Pembengkakan/benjolan. Keluhan adanya pembengkakan ekstremitas
merupakan suatu tanda adanya bekas trauma yang terjadi pada klien.
Pembengkakan dapat terjadi pada jaringan lunak, sendi, atau tulang. Hal
yang perlu ditanyakan adalah lokasi spesifik pembengkakan, sudah
berapa lama proses terjadinya trauma, sudah meminta pertolongan siapa
saja untuk mengatasi keluhan, dan apakah terjadi secara perlahan
misalnya pada hematoma progresif. Pembengkakan juga dapat
disebebkan oleh infeksi, tumor jinak atau ganas.

4) Kelemahan otot. Keluhan adanya kelemahan otot biasanya dapat bersifat


umum (misalnya pada penyakit distrofi muscular) atau bersifat local
karena gangguan neurologis pada otot. Pengkajian perawat tentang
kelemahan otot :
a) Waktu dan sifat kelemahan otot, apakah keluhan terjadi secara
bertahap atau tiba-tiba tanpa adanya sebab
b) Lokasi bagian tubuh yang mengalami kelemahan otot, apakah
keluhan kelemahan otot mengenai seluruh badan atau hanya
ekstremitas bawah, apakah keluhan dirasaakn sebagian atau bilateral.
c) Apakah disertai dengan kelainan sensorik, misalnya parestesia,
hipoestesia, atau hiperestesia
d) Adanya riwayat kelemahan otot akibat pengobatan sebelumnya.

5) Gangguan sensibilitas. Keluhan adanya gangguan sensibilitas muncul


apabila terjadi kerusakan saraf pada upper/lower motor neuron, baik
bersifat local maupun menyeluruh. Gangguan sensibilitas dapat pula
terjadi bila ada trauma atau penekanan pada saraf. Gangguan sensorik
sering berhubungan dengan masalah musculoskeletal. Pembengkakan
jaringan lunak atau trauma langsung terhadap struktur tersebut dapat
mengganggu fungsinya, kehilangan fungsi dapat terjadi akibat ganggaun
struktur saraf dan perdarahan darah yang terletak sepanjang system
musculoskeletal. Hal yang perlu ditanyakan adalah apakah klien
mengalami perasaan yang tidak normal atau kebas; apakah gangguan ini

37
bertambah berat atau malah makin berkurang dari permulaan keluahan
muncul sampai pada saat wawancara; apakah ada keluhan lain yang
dirasakan seperti nyeri atau edema; apakah ada perubahan warna kulit
bagian distal dari daerah yang terkena seperti pucat atau sianotik.

6) Gangguan atau hilangnya fungsi. Keluhan gangguan dan hilangnya


fungsi organ musculoskeletal merupakan gejala yang sering menjadi
keluhan utama. Gangguan atau hilangnya fungsi baik pada sendi maupun
anggota gerak mungkin disebabkan oleh nyeri, kekakuan sendi, atau
kelemahan otot. Anamnesis yang dilakukan perawat untuk menggali
keluhan utama klien adalah berapa lama keluhan muncul, lokasi atau
organ yang mengalami gangguan atau kehilangan fungsi, dan apakah ada
keluhan lain yang menyertai.

c. Riwayat kesehatan
Pengkajian selanjutnya adalah mengenai riwayat kesehatan klien. Dalam
wawancara awal, perawat berusaha memperoleh gambaran umum status
kesehatan klien. Dalam wawancara awal, perawat berusaha memperoleh
gambaran umum status kesehatan klien. Perawat memperoleh data subjektif
dari klien mengenai awitan masalahnya dan apa penanganan yang sudah
dilakukan. Persepsi dan harapan klien sehubungan dengan masalah
kesehatan dapat memengaruhi perbaikan kesehatan.
1) Identitas klien, meliputi nama, usia (pengkajian usia klien gangguan
musculoskeletal penting karena berhubungan dengan status anaastesi dan
pemeriksaan diagnostic tambahan, jenis kelamin, pendidikan, alamay,
pekerjaan, asuransi kesehatan, agama, bahasa yang dipakai, status
perkawinan, suku bangsa, tanggal dan jam masuk rumah sakit (MRS),
nomer registrasi, diagnose medis, dan golongan darah.

2) Riwayat penyakit sekarang. Riwayat penyakit sekarang mencangkup


masalah klien mulai awitan keluhan utama dampai pengkajian. Keluhan
utama nyeri dapat dikaji dengan menggunakan metode PQRST. Pada

38
klien yang dirawat dirumah sakit, penting untuk ditanyakan apakah
keluhan utama masih sama sepertipada saat masuk rumah saklit, perawat
perlu mengetahui apakah klien pernah mengalami trauma yang
menimbulkan gangguan musculoskeletal, baik berupa kelainan maupun
komplikasi lain yang dialami saat ini. Pengkajian lainnya yang juga
penting adalah pengkajian status kesehatan secara umum saat ini.

3) Riwayat penyakit dahulu. Perlu ditanyakan penyakit-penyakit yang


dialami sebelumnya yang kemudian mempunyai hubungan dengan
masalah klien sekarang. Riwayat operasi klien perlu ditanyakan karena
kemungkinan ada hubungannya dengan keluhan sekarang seperti operasi
karsinoma prostat, karsinoma mammae yang dapat bermetastasis ke
tulang dengan segala komplikasinya. Hal lain yang perlu ditanyakan
adalah penggunaan obat-obatan sebelumnya oleh klien karana dapat
menimbulkan komplikasi.

4) Riwayat penyakit keluarga. Penelusuran riwayat keluarga sangat penting


karena beberapa penyakit musculoskeletal berkaitan dengan kelainan
genetic dan dapat diturunkan. Perlu ditanyakan apakah pada generasi
terdahulu ada yang mengalami keluhan sama dengan keluhan saat ini.

5) Pengkajian psikososial. Pengkajian psikososial klien meliputi beberapa


dimensi yang memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang
jelas mengenai status emosi, kognitif, dan prilaku klien. Perawat
melakukan pemeriksaan awal klien tentang kapasitas fisik dan intelektual
saat ini, yang menentukan tingkat perlunya pengkajian
psikososialspiritual yang seksama. Suatu pemeriksaan mental meliputi
penampilan, prilaku, afek, suasana hati, lafal, isi dan kecepatan berpikir,
persepsi, dan kognitif. Pengkajian status emosi dan mental yang terkait
dengan fisik termasuk pengkajian fungsi serebral (tingkat kesadaran,
perilaku dan penampilan, bahasa, dan fungsi intelektual, termasuk
ingatan, pengetahuan, kemapuan berpikir abstark, asosiasi, dan
penilaian).

39
6) Kemampuan koping. Pengkajian mekanisme koping digunakan klien
juga penting dinilai untuk mengetahui respon emosi klien terhadap
penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien, serta respon atau
pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari

d. Pengkajian Fisik
Skelet tubuh dikaji mengenai adanya deformitas dan kesejajaran.
Pertumbuhan tulang yang tidak abnormal akibat tumor tulang dapat
dijumpai. Pemendekan dekstremitas, amputasi, dan bagian tubuh yang tidak
dalam kesejajaran anatoms harus discatat, angulasi abnormal pada tulang
panjang atau gerakaan pada titik selain sendi biasnya menunjukan adanya
fraktur tulang. Bisa teraba krepitus (suara berderik) pada titik gerakan
abnormal. Gerakan fragmen tulang harus diminimalkan untuk mencegah
cedera lebih lanjut (Smeltzer, 2002).
1) Mengkaji tulang belakang
Kurvatura normal tulang belakang biasanya konveks pada bagian dada
dan konkaf sepanjang leher dan pinggang. Deformitas tulang belakang
yang sering terjadi meliputi skoliosis, kifosis, dan lordosis. Skoliosis
ditandai deviasi kurvatura lateral tulang belakang. Skoliosis bisa
kongenital, idiopatik(tanpa diketahui penyebabnya) atau akibat
kerusakan otot paraspinal. Kifosis ditandai dengan kenaikan kurvatura
tulang belakang bagian dada. Kifosis sering dijumpai pada manula
dengan osteoporosis dan pada klien gangguan neuromuskular.

Sedangkan lordosis (membebek) ditandai kurvatura tulang belakang


bagian pinggang yang berlebihan. Lordosis biasa dijumpai saat
kehamilan karena ibu menyesuaikan posturnya akibat perubahan pusat
gaya beratnya. Pada lansia akan kehilangan tinggi badan akibat
hilangnya tulang rawan tulang belakang.

2) Mengkaji sistem persendiaan

40
Menggutip pendapat smeltzer (2002), perendian dievaluasikan dengan
memeriksa rentang gerak, deformitas, stabilitas, dan adanya benjolan.
Retang gerak dievaluasi secara aktif maupun pasif. Pengukuran yang
tepat terhadap rentang gerak dapat dilakukan dengan goniometer (suatu
busur derajat yang dirancang khusus untuk mengevaluasi gerakan sendi).
Bila suatu sendi diekstensi maksimal, namun masih tetap ada sisa tleksi,
maka luas gerakan dikatakan terbatas. Rentang gerak yang terbatas bisa
disebabkan karena adanya deformitas skeletal,patologi sendi atau
kontraktur otot dan tendon di sekitarnya. Pada lansia, ketrbatasan
gerakan yang berhubungan dengan patologi sendi degeneratif dapat
menurunkan kemampuan mereka melakukan aktivitas hidup sehari-hari.

Pada reumatoid artritis, gout, dan osteoartritis menimbulkan benjolan


yang khas, benjolan di bawah kulit pada reumatoid artritis lunak, terdapat
didalam dan sepanjang tendon yang memberikan fungsi ekstensi pada
sendi. Benjolan osteoartritis keras dan tidak nyeri dan merupakan
pertumbuhan tulang baru akibat destruksi permukaan kartilago pada
tulang dalam kapsul sendi, biasanya ditemukan pada lansia.

3) Mengkaji sistem otot


Sistem otot dikaji dengan memperhatikan kemampuan seseorang dalam
mengubah posisi, kekuatan otot dan koordinasi, serta ukuran masing-
masingotot. Kelemahan sekelompok otot menunjukkan berbagai macam
indikasi kondisi, seperti polineuropati, gangguan elektrolit (khususnya
kalsium dan kalium), miastenia gravis, poliomielitis, dan disropi.
Ekstremitas yang sehat digunakan sebagai standar acuan. Pengukuran
dilakukan pada lingkar terbesar ekstremitas. Perlu diingat bahwa
pengukuran harus dilakukan pada otot yang sama, lokasi ekstremitas
yang sama, dan dalam keadaan istirahat. Untuk memudahkan pengkajian
berseri, titik pengukuran dapat dilakukan dengan membuat tanda titik di
kulit. Perbedaab ukuran yang lebih besar dari satu cm dianggap
bermakna.

41
4) Mengkaji cara berjalan
Minta klien untuk berjalan sampai beberapa jauh, perhatian cara berjalan
mengenai kehalusandan iramanya. Setiap adanya gerakan yang tidak
teratur dan ireguler (biasanya pada lansia) dianggap tidak normal. Bila
klien berjalan pincang, biasanya disebabkan adanya nyeri akibat
menyangga beban tubuh yang terlalu berat. Berbagai kondisi neurologis
juga dapat menyebabkan cara berjalan abnormal, misalnya cara berjalan
spastik hemiparesis(stroke), cara berjalan selangkah-selangkah (penyakit
lower motor neuron), cara berjalan bergetar (penyakit parkinson).

5) Mengkaji kulit dan sirkulasi perifer


Pengkajian tambahan penting yang dapat dilakukan perawat adalah
mengkaji kulit dan sirkulasi perifer. Palpasi kulit digunakan untuk
melihat adanya suhu yang lebih panas atau lebih dingin dari lainnya dan
adanya edema. Sirkulasi perifer dievaluasi dengan mengkaji denyut nadi
perifer, warna, suhu, dan waktu pengisian kapiler. Hal tersebut
memengaruhi penatalaksanaan tindakan keperawatan.

6) Nyeri
Nyeri adalah suatu sensori yang tidak menyenangkan dari suatu
emosional diserta kerusakan jaringan secara aktua maupun potensial atau
kerusakan jaringan secara menyeluruh. Nyeri adalah suatu mekanisme
protektif bagi tuuh, nyeri timbul bilamna jaringan rusak dan
menyebabkan indiviidu tersebut bereaksi untuk menghilangkan rasa
nyeri tersebut. MenurutGanong nyeri dinamakan penggiring psikis bagi
refleks pelindung yang menetukan rangsang nyeri, umunya menibulkan
gerakan mengelak dan menghindar yang kuat, di antaranya perasaan
karena mengandung unsur emosional yang khas. Tipe nyeri terbagi
menjadi lima, yaitu nyeri berdasarkan durasi, nyeri berdasarkan
intensitas, nyeri berdasarkan transmisi, nyeri berdasarkan sumber atau
asal nyeri, dan penyebab nyeri.
Pengkajian nyeri

42
P – titik nyeri berasal dari
Pada bagian mana nyeri mulai terasa? (tunjukkan dengan jari telunjuk)
Kapan rasa nyeri mulai terasa?
Apa yang anda kerjakan saat anda terasa nyeri mulai terasa?
Apakah rasa nyeri menyebar?
A – faktor-faktor yang mempengaruhi
Apakah yang dapat membuat rasa nyeri menjadi berkurang?
Apakah membuat nyeri menjadi terasa nyeri?
Apakah rasa nyeri yang serupa pernah terjadi sebelumnya? Bila iya, apa
yang terjadi?
Apakah anda minum obat-obatan penghilang rasa nyeri?
Apakah anda merasa cemas saat merasa nyeri?
I – isensitas
Bagaimana dengan skala rasa nyeri yang anda rasakan, dengan
menggunakan skala 1-5, dengan 1 untuk rasa nyeri tidak nyaman ringan
dan 5 untuk rasa nyeri untuk tidak dapat di toleransi
N – sifat dari rasa nyeri
Gambaran rasa nyeri : tidak nyaman, disetres, rasa terbakar, tegang,
patah, dan kram

2. Diagnosa Keperawatan

a. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka


neuromuscular
b. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri, alat mobilisasi, dan
keterbatasan berat badan
c. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kehilangan ekstermitas
d. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas struktur
tulang
e. Hambatan berjalan berhubungan dengan gangguan musculoskeletal
(osteomyelitis, osteoporosis, fraktur, dan amputasi).

3. Intervensi Keperawatan

43
a. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka
neuromuscular
Tujuan: Klien memperlihatkan peningkatan mobilitas fisik
1) Kriteria Hasil:
a) Berpartisipasi dalam kegiatan sehari-hari
b) Mempertahankan fungsi penuh ekstermitas yang sehat
2) Intervensi
a) Mandiri
(1) Kaji derajat imobilitas yang dihasilkan oleh cedera/ pengobatan
dan perhatikan persepsi klien terhadap imobilisasi
(2) Dorong partisipasi pada aktivitas/ reaksi. Pertahankan rangsang
lingkungan.
(3) Instruksikan klien untuk latihan rentang gerak aktif/ pasif pada
eksterimitas yang sehat/sakit
(4) Dorongan pengunaan latihan isometric mulai dengan tungkai
yang sakit
(5) Bantu dalam mobilisasi dengan kursi roda, kruk, tongkat,
sesegera mungkin. Instruksikan keamanan dalam alat mobilitas.
(6) Pantau TD dalam aktivitas. Perhatikan adanya keluhan pusing
(7) Ubah posisi secara periodic serta dorong untuk latihan batuk dan
napas dalam
b) Kolaborasi
(1) Konsul dengan ahli terapi fisik, okupasi, rehabilitasi

b. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri, alat mobilisasi, dan


keterbatasan berat badan
Tujuan: Klien memperlihatkan peningkatan mobilitas fisik
1) Keriteria Hasil:
a) Berpartisipasi dalam aktivitas perawatan diri
b) Mempertahankan fungsi penuh ekstermitas yang sehat

44
c) Memperlihatkan penggunaan alat imobilisasi dan alat bantu dengan
aman.
2) Intervensi:
a) Tentukan kemampuan klien dalam kegiatan
b) Bantu aktivitas sehari-hari pasien sesuai kebutuhan
c) Anjurkan partisipasi pasien dalam kehidupan sehari-hari sesuai
toleransi
d) Berikan aktivitas motoric untuk meredakan ketegangan
e) Ajarkan dan anjurkan penggunaan alat imobilisasi dan alat bantu
dengan aman.

c. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kehilangan ekstermitas


Tujuan: Klien mampu melakukan mobilisasi sesuai toleransi
Intervensi:
1) Mandiri
a) Berikan perawatan punting secara teratur, missal inspeksi area,
bersihkan dan keringkan, dan tutup kembali punting dengan balutan
elastis
b) Segera tinggikan gips, bila gips berubah posisi
c) Bantu latihan rentang gerak, khususnya area yang yang sakit dan
mulai sedini mungkin pascaoperasi
d) Dorong latihan aktif/ isometric untuk paha atas dan lengan
e) Berikan gulungan pada paha sesuai indikasi
f) Anjurkan klien untuk berbaring posisi terungkap sesuai tleransi
sedikitnya dua kali sehari dengan bantal di bawah abdomen dan
punting ekstermitas
g) Waspadai tekanan bantal di bawah ekstermitas terhadap punting
untuk menggantung secara dependen di samping tempat tidur atau
kursi
h) Tunjukkan/ bantu ambulasi dan penggunaan alat mobilitas,
contohnya kruk atau walker
i) Bantu dengan ambulasi

45
j) Bantu klien melanjutkan latihan otot preoperasi sesuai kemampuan,
missal berdiri pada telapak, berdiri pada ibu jari
2) Kolaborasi
a) Rujuk ke tim rehabilitasi, missal ahli terapi fisik/ fisioterapi
b) Berikan tempat tidur busa

d. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas struktur


tulang
Tujuan: kemampuan tulang untuk menyokong tubuh dan memfasilitasi
pergerakan
1) Kriteria Hasil:
a) Melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari secara mandiri dengan
alat bantu.
b) Meminta bantuan untuk aktivitas mobilitas jika perlu
c) Memperlihatkan penggunaan alat bantu secara benar dengan
pengawasan
2) Intervensi
a) Tentukan kemampuan pasien dalam kegiatan
b) Tentukan komitmen pasien untuk meningkatkan frekuensi berbagai
aktivitas
c) Bantu pasien dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari
d) Berikan aktivitas motoric untuk meredakan ketegangan
e) Ajarkan keluarga untuk berpartisipasi dalam pemenuhan kegiatan
pasien

e. Hambatan berjalan berhubungan dengan gangguan musculoskeletal


(osteomyelitis, osteoporosis, fraktur, dan amputasi).
Tujuan: Agar klien dapat berjalan perlahan dengan langkah-langkah yang
benar dan dapat menopang tubuh dengan baik
1) Kriteria hasil:
a) Klien dapat melakukan aktifitas sehari hari dengan atau tanpa
bantuan alat atau keluarga

46
b) Klien dapat berlatih pergerakan klien untuk melakukan aktifitas
sehari hari
2) Intervensi
a) Bantu pasien untuk mendapatkan transportasi kegiatan yang sesuai
b) Bantu pasien untuk focus pada kemampuan bukan pada deficit
c) Berikan motivasi pasien untuk berpartisipasi dalam kegiatan
d) Bantu pasien untuk mempertahankan aktifitas kehidupan sehari-hari,
nutrisi dan keamanan individu.

BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

47
Salah satu masalah gangguan kesehatan pada gangguan muskuloskeletal, seperti
osteomielitis, osteoporosis, fraktur, dan amputasi. Osteomielitis adalah infeksi
tulang. Osteoporosis adalah berkurangnya massa tulang atau pengeroposan tulang.
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik.
Amputasi adalah pengangkatan/ pemotongan sebagian anggota tubuh/ anggota
gerak. Mobilitas atau mobilisasi merupakan kemampuan individu untuk bergerak
secara bebas, mudah dan teratur dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan aktivitas
guna mempertahankan kesehatannya.

Kemampuan seseorang untuk melakukan suatu aktivitas seperti berdiri, berjalan dan
bekerja merupakan salah satu dari tanda kesehatan individu tersebut dimana
kemampuan aktivitas seseorang tidak terlepas dari keadekuatan sistem persarafan
dan muskuloskeletal. Gangguan kebutuhan aktivitas adalah suatu keadaan dimana
individu yang mengalami atau beresiko mengalami keterbatasan gerakan fisik. Pada
klien dengan gangguan kebutuhan aktivitas diberikan intervensi dengan tujuan klien
memperlihatkan peningkatan mobilitas fisik dan dapat melakukan mobilisasi sesuai
toleransi.

B. Saran

Dalam menerapkan asuhan keperawatan serta memenuhi kebutuhan pada klien


dengan gangguan kebutuhan aktivitas akibat patologis sistem musculoskeletal
diperlukan pengkajian, konsep dan teori oleh seorang perawat. Perawat perlu
mengetahui dan memahami hubungan antara skebutuhan aktivitas dan sistem
musculoskeletal sehingga dapat memenuhi kebutuhan klien dengan gangguan
tersebut. Informasi atau pendidikan kesehatan berguna untuk klien dan keluarga
dengan gangguan kebtutuhan aktiviras. Selain itu pengobatan terbaik adalah
pencegahan atau pengobatan dini terhadap penyebabnya.

DAFTAR PUSTAKA

Doengoes, Marilyn. E. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC.

48
Smeltzer, Suzanne C. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

Bare, B. G & S. C. Smeltzer. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Ed. 8.
Vol. 3. Jakarta: EGC.

Muttaqin, Arif. (2008). Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Muskuloskeletal:


Buku Ajar. Jakarta: EGC.

Kozier, Barbara. (2010). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses &
Praktik. Ed.7. Jakarta: EGC

Brunner. (2013). Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Ed. 12. Jakarta:
EGC.

Ningsih, Lukman Nurna. (2013). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan
Sistem Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba Medika.

49

Anda mungkin juga menyukai