Diajukan untuk menyelesaikan tugas kelompok mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah II
Disusun Oleh:
Kelas : III-C
KELOMPOK 3
TAHUN 2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Tuhan Yang Maha Esa, akhirnya
kami dapat menyelesaikan makalah ini. Dengan itikad baik kami mencoba menyusun
makalah dalam rangka agar dapat lebih memahami mengenai asuhan keperawatan pada
pasien dengan gangguan kebutuhan aktifitas akibat patologis sistem musculoskeletal.
Akhirnya, harapan kami semoga makalah ini bermanfaat bagi mereka yang
mempelajari khususnya bagi mahasiswa.
Penyusun
Kelompok 3
i
DAFTAR ISI
A. Simpulan .........................................................................................................48
B. Saran ...............................................................................................................48
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mobilitas kemampuan untuk bergerak dengan bebas, mudah, berirama, dan terarah
dilingkungan adalah bagian yang sangat penting dalam kehidupan. Individu harus
bergerak untuk melindungi diri dari trauma dan untuk memenuhi kebutuhan dasar
mereka. Mobilitas amat penting bagi kemandirian; individu yang tidak mampu
bergerak secara total sama rentan dan bergantung pada orang lain. Aktivitas adalah
suau energy atau keadaan bergerak dimana manusia memerlukan untuk dapat
memenuhi kebutuhan hidup. Kebutuhan aktivitas dipengaruhi oleh sistem
musculoskeletal dalam tubuh.
Salah satu tanda kesehatan adanya kemampuan seseorang beraktivitas tidak terlepas
dari keadekuatan sistem musculoskeletal. Manusia mempunyai kebutuhan untuk
bergerak agar dapat memenuhi kebutuhan dasarnya dan melindungi diri dari
kecelakaan. Mekanika tubuh adalah cara menggunakan tubuh secraa efisien, yaitu
tidak banyak mengeluarkan tenaga, terrkoordinasi secara aman dalam menggerakan
serta mempertahankan keseimbangan dalam beraktivitas. Imobilitas atau imobilisasi
merupakan keadaan dimana seseorang tidak dapat bergerak secara bebas karena
kondisi yang mengganggu pergerakan misalnya mengalami trauma tulang, fraktur
pada ekstermitas dan sebagainya.
Aktivitas gerak tubuh manusia bergantung pada efektifnya interaksi antara sendi
yang normal dengan unit-unit neuromuskular yang menggerakanya. Elemen tersebut
juga berinteraksi untuk mendistribusikan stress mekanik ke jaringan sekitar sendi,
otot, tendon, ligamen, rawan sendi, dan tulang saling bekerja sama agar fungsi
tersebut dapat berlangsung dengan sempurna.
1
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Osteomielitis
a. Pengertian
Osteomielitis adalah infeksi tulang. Osteomielitis dapat terjadi akibat
perluasan pada jaringan lunak, kontaminasi langsung pada tulang (misalnya
pembedahan tulang, luka tembakan senjata), atau hematogenus (ditularkan
melalui darah), yang menyebar dari area infeksi yang lain. Staphylococcus
aureus menyebabkan lebih dari 50% infeksi tulang. Organisme patogenik
yang lain sering kali ditemukan adalah organisme gram positif yang
mencakup streptokokus dan enterokokus, dilanjutkan dengan bakteri gram
negatif yang mencakup spesies pseusdomonas (Brunner & Suddarth, 2013).
Pasien yang berisiko adalah pasien dengan gizi buruk, lansia dan pasien yang
obes, mereka yang mengalami gangguan sistem imun dan penyakit kronis
(misalnya diabetes), dan mereka yang mendapat terapi kortikosteroid jangka
panjang atau agens imunosupresif. Kondisi ini dapat dicegah dengan terapi
3
yang tepat dan penatalaksanaan infeksi pada jaringan fokal dan jaringan
lunak (Brunner & Suddarth, 2013).
b. Etiologi
Infeksi ini dapat disebabkan oleh penyebaran hematogen, dari fokus infeksi
ditempat lain (misal tonsil yang terinfeksi, gigi terinfeksi, infeksi saluran
nafas atas). Osteomielitis akibat penyebaran hematogen biasanya terjadi
ditempat trauma yang terdapat resistensi rendah. Infeksi dapat juga
berhubungan dengan infeksi jaringan lunak, misalnya ulkus dekubitus atau
ulkus vascular, atau kontaminasi langsung pada tulang (misal fraktur
terbuka, luka tembak, dan pembedahan tulang).
c. Klasifikasi
Osteomielitis dibagi menjadi dua macam, yaitu osteomielitis primer dan
osteomielitis sekunder. Osteomielitis primer, penyebarannya secara
hematogen dimana mikroorganisme berasal dari fokus ditempat lain dan
beredar melalui siklus darah. Osteomielitis sekunder (osteomielitis
perkontinuitatum), terjadi akibat penyebaran kuman dari sekitarnya akibat
dari bisul , luka fraktur, dan sebagainya.
4
d. Patofisiologi
Osteomielitis setelah pembedahan ortopedi dapat terjadi pada tiga bulan
pertama (akut fulminant-stadium 1) dan sering berhubungan dengan
penumpukan hematoma atau infeksi superfisial. Infeksi awitan lambat terjadi
antara 4-24 bulan setelah pembedahan (stadium 2) dan osteomielitis yang
terjadi dalam waktu lama terjadi 24 bulan atau lebih setelah pembedahan
(stadium 3).
Biasanya abses dapat keluar secara spontan, namun lebih sering harus
dilakukan insisi dan drainase oleh ahli bedah. Abses yang terbentuk dalam
dindingnya membentuk daerah jaringan mati, namun seperti pada rongga
abses pada umumnya, jaringan tulang mati tidak mudah mencair dan
mengalir keluar. Selain itu rongga juga tidak dapat mengempis dan sembuh ,
seperti yang terjadi pada jaringan lunak tetapi yang terjadi adalah
pertumbuhan tulang baru (involukrum) yang mengelilingi sequestrum. Jadi
meskipun tampak terjadi proses penyembuhan, namun sequestrum infeksius
kronis yang ada tetap rentan mengeluarkan abses kambuhan sepanjang hidup
klien, dan ini dinamakan osteomielitis tipe kronik.
e. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis tergantung pada etiologi dan lokasi tulang yang cedera,
dapat berkembang secara progresif atau cepat. Infeksi hematogen akut,
sering terjadi dengan manifestasi klinis septikemia yaitu menggigil, demam
tinggi, denyut nadi cepat, dan malaise umum, sedangkan gejala lokal yang
5
terjadi berupa rasa nyeri, nyeri tekan, bengkak, dan kesulitan menggerakkan
anggota tubuh yang sakit (Smeltzer, 2002).
f. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan darah
Sel darah putih meningkat sampai 30.000 gr/dl disertai peningkatan laju
endapan darah.
2) Pemeriksaan titer antibodi-antistaphylococcus
Pemeriksaan kultur darah untuk menetukan bakteri (50% positif) dan
dikuti dengan uji sensitivitas
3) Pemeriksaan feses
Pemeriksaan kultur feses dilakukan apabila terdapat kecurigan infeksi
oleh bakteri Salmonella
4) Pemeriksaan biopsi tulang
5) Pemeriksaan ultrasound
Pemeriksaan ini untuk memperlihatkan adanya efusi pada sendi
6) Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan foto polos dalam 10 hari pertama biasanya tidak ditemukan
kelainan radiologic, setelah dua minggu akan terlihat berupa refraksi
tulang yang bersifat difuse.
g. Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan osteomielitis yaitu istirahat dan pemberian analgetik
untuk menghilangkan nyeri, pemberian cairan intravena dan kalau perlu
transfusi darah, istirahat lokal dengan pemasangan bidai atau traksi,
pemberian antibiotika secepatnya sesuai penyebab dan drainase bedah.
6
Tujuan terapi adalah untuk mengontrol dan menghentikan proses infeksi,
manajemen nyeri dan pencegahan komplikasi imobilitas. Tulang yang sakit
harus diimobilisasi untuk mengurangi ketidaknyamanan dan mencegah
terjadinya fraktur . Lakukan rendaman salin hangat selama 20 menit
beberapa kali per hari untuk meningkatkan aliran darah. Perawat harus terus
mendorong klien untuk melakukan ROM, latihan isotonik dan isometrik
untuk menjaga kekuatan otot dan fleksibilitas sendi. Juga perlu diajarkan
teknik relaksasi untuk mengurangi nyeri dan meningkatkan kenyamanan
klien.
Pemberian antibiotik sesuai dosis, waktu, dan order sangat penting untuk
mencapai kadar antibiotik dalam darah yang adekuat. Antibiotik parenteral
harus diberikan sesuai dosis yaitu selama enam minggu. Sebelum pemberian
antibiotik, sebaiknya dilakukan kultur darah dan kultur abses untuk
mengetahui organisme penyebab. Bila infeksi tampak terkontrol, antibiotik
dapat diberikan per oral dan diberikan selama tiga bulan. Untuk
meningkatkan absorbsi antibiotik oral jangan diminum bersama makanan.
h. Pencegahan
Beberapa tindakan dan upaya yang dapat mencegah terjadinya osteomielitis
antara lain sebagai berikut.
1) Penanganan infeksi lokal dapat menurunkan angka penyebaran
hematogen
2) Penanganan infeksi jaringan lunak dapat mengontrol erosi tulang
3) Pemeriksaan pasien secara teliti, perhatikan lingkungan pembedahan,
dan teknik pembedahan.
7
4) Penggunaan antibiotik profilaksis, untuk mencapai kadar jaringan yang
memadai saat pembedahan dan selama 24-48 jam setelah operasi
5) Teknik perawatan luka pascaoperasi aseptik.
2. Osteoporosis
a. Pengertian
Osteoporosis didefinisikan sebagai suatu penyakit dengan karakteristik
massa tulang yang berkurang dengan kerusakan mikroarsitektur jaringan
yang menyebabkan kerapuhan tulang dan resiko fraktur yang meningkat.
Osteoporosis yang lebih dikenal dengan keropos tulang menurut WHO
adalah penyakit skeletal sistemik karakteristik massa tulang yang rendah dan
perubahan mikroarsitektur dari jaringan tulang dengan akibat meningkatnya
fragilitas tulang dan meningkatknya keretanan terhadap patah tulang.
Osteoporosis adalah kelainan di mana terjadi peneurunan massa tulang total
(Lukman Nurna Ningsih, 2013).
Faktor risiko mencakup nutrisi yang tidak adekuat, vitamin D dan kalsium
yang tidak adekuat, dan pilihan gaya hidup (mis., merokok, asupan kafein,
dan konsumsi alkohol); genetik; dan kurang aktivitas fisik. Selain itu
kelainan kronis, endoskrinopati (lihat osteoporosis sekunder), penggunaan
kortikosteroid, penggantian hormon tiroid yang berlebihan, kemoterapi, loop
diuretik, dan terapi radiasi merupakan faktor medis.
8
b. Klasifikasi
Klasifikasi osteoporosis dibagi ke dalam dua kelompok yaitu osteoporosis
primer dan osteoporsis sekunder. Osteoporosis primer terdapat pada wanita
postmenopause (postmenopuase osteoporosis) dan pada laki-laki lanjut usia
(senile osteoporosis). Penyebab osteoporosis belum diketahui dengan pasti.
Sedangkan osteoporosis sekunder disebabkan oleh penyakit yang
berhubungan dengan cushing’ disease, hipertiroidisme, hiperparatiroidsme,
hipogonadisme, kelaiana hepar, gagal ginjal kronis, kurang gerak,kebiasaan
minum alkhol, pemakaian obat-obatan/ kortikosteroid, kelebihan kafein, dan
merokok.
1) Osteoporosis postmenopause (Tipe I)
Merupakan bentuk yang paling sering ditemukan pada waktu kulit putih
Asia. Bentuk osteoporosis ini disebabakan oleh percepatan resporosi
tulang yang berlebihan dan lama setelah penurunan sekresi hormon
estrogen pada masa menopause.
2) Osteoporosis involutional (Tipe II)
Terjadi pada usia diatas 75 tahun pada perempuan maupun laki-laki tipe
ini diakibatkan oleh ketidakseimbangan yang samar dan lama antara
kecepatan resorpsi tulang dengan kecepatan pembentukan tulang.
3) Osteoporosis idiopatik
Adalah tipe osteoporosis primer yang jarang terjadi pada wanita
premenopause dan pada laki-laki yang berusia dibawah 75 tahun. Tipe
ini tidak berkaitan dengan penyebab sekunder atau faktor risiko yang
mempermudah timbulnya penurunan densitas tulang.
4) Osteoporosis juvenil
Merupakan bentuk yang jarang terjadi dan bentuk osteoporosis yang
terjadi pada anak prepubertas.
5) Osteoporosis sekunder
Penurunan densitas tulang yang cukup berat untuk menyebabkan fraktur
atraumatik akibat faktor ekstrinsik seperti kelebihan kortikosteroid,
arteris reumatoid,kelaian hari/ginajl kronis, sindrom malabsorbsi,
9
mastositosis sistemaik,hiperparatiroidsme, hipertiroidisme, varian status
hipogonde, dan lain-lain
c. Etiologi
Osteoporosis postmenopouse terjadi karena kekurangan estrogen (hormon
utama pada wanita), yang membantu mengatur pengangkutan kalsium ke
dalam tulang pada wanita. Biasanya gejala timbul pada wanita yang berusia
dianatar 51-75 tahun, tetapi bisa mulai muncul lebih cepat ataupun lebih
lambat. Tidak semua wanita memiliki resiko yang sama untuk menderita
osteoporosis postmenopause, pada wanita kulit putih dan daerah timur lebih
mudah menderita penyakit ini daripada wanita kulit hitam.
10
d. Patofisiologi
Genetik, nutrisi, gaya hidup (misal merokok, konsumsi kafein, dan alkohol),
dan aktivitas memengaruhi puncak massa tulang. Pada pria massa tulang
lebih besar dan tidak mengalami perubahan hormonal mendadak. Sedangkan
pada perempuan, hilangnya estrogen pada saat menopouse dan pada
ooforektomi mengakibatkan percepatan resorpsi tulang dan berlangsung
terus selama tahun-tahun pascamenopause.
e. Manifestasi Klinis
Kapadatan tulang berkurang secara perlahan (terutama pada penderita
osteoporosis senilis), sehingga pada awalnya osteoporosis tidak
11
menimbulkan gejala pada beberapa penderita. Jika kepadatan tulang sangat
berkurang yang menyebabkan tulang menjadi kolaps atau hancur, maka akan
timbul nyeri tulang dan kelainan bentuk. Tulang-tulang yang terutama
terpengaruh pada osteoporosis adalah radius distal,korpus vertebra terutama
mengenai T8-L4, dan kollum femoris.
Tulang lainyan bisa patah, yang sering kali disebabkan oleh tekanan yang
ringan atau karena jatuh. Salah satu patah tulang yang paling serius adalah
patah tulang panggul. Selain itu, yang juga sering terjadi adalah patah tulang
lengan (radius) di daerah persambungannya dengan pergelangan tangan,
yang disebut fraktur Collens. Pada penderita osteoporosis, patah tulang
cenderung mengalami penyembuhan secara perlahan.
f. Pemeriksaan Diagnosis
Pada seseorang yang mengalami patah tulang, diagnosis ditegakkan
berdasarkan gejala, pemeriksaan fisik, dan rontgen tulang. Pemeriksaan lebih
lanjut mungkin diperlukan untuk menyingkirkan keadaan lainya yang
menyebabkan osteoporosis.
12
g. Pencegahan
Pencegahan osetoporsis meliputi; mempertahankan atau menigkatkan
kepadatan tulang dengan mengonsumi jumlah kalsium yang cukup,
melakukan olahraga dengan beban sesuai batas kemapuan, dan
mengonsumsi obat (untuk beberapa orang tertentu) mengkosumsi kalsium
dalam jumlah yang cukup sangat efektif, terutama sebelum tercapainya
kepadatan tulang maksimal (sekitar umur 30 tahun). Minum dua gelas susu
dan tambahan vitamin D setiap hari, bisa meningkatakan kepadatan tulang
pada wanita setengah baya yang sebelumnya tidak mendapatkan kalsium.
Sebaiknya semua wanita minum tablet kalsium setiap hari, dosis harian yang
dianjurkan adalah 1,5 gram kalsium.
h. Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan adalah untuk meningkatkan kepadatan tulang. Semua
wanita, terutama yang menderita osteoporosis, harus mengkonsumsi kalisum
dan vitamin D dalam jumlah yang mencukupi. Diet tinggi kalsium dan
vitamin D yang mencukupi dan seimbang sepanjang hidup. Diet ditingkatkan
pada awal usia pertengahan karena dapat melindungi tulang dari
demineralisasi skeletal. Tiga gelas susu krim atau makanan lain yang kaya
13
kalsium (misal keju, brokoli kukus, salmon kaleng). Untuk mencukupi
asupan kalsium perlu diresepkan preparat kalsium (kalsium karbonat).
3. Fraktur
a. Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya (Smeltzer, 2002). Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya
kontinuitas jaringan tulang dan/ atau tulang rawan yang umumnya
disebabkan oleh rudapaksa. Fraktur adalah patah tulang, biasanya
disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik.
b. Etiologi
Fraktur disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan punter
mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrem (Smeltzer, 2002) umumnya
14
fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang berlebihan
pada tulang. Fraktur cenderung terjadi pada laki-laki, biasanya fraktur terjadi
pada umur di bawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan olahraga,
pekerjaan, atau luka yang disebaban oleh kecelakaan kendaraan bermotor.
Sedangkan pada orang tua, perempuan lebih sering mengalami fraktur
daripada laki-laki yang berhubungan dengan meningkatnya insiden
osteoporosis yang terkait dengan perubahan hormone pada menopause.
c. Klasifikasi
Fraktur tertutup (fraktur simpel) adalah fraktur yang tidak menyebabkan
robeknya kulit atau kulit tidak ditembus oleh fragmen tulang. Sedangkan
fraktur dengan luka pada kullt atau membran mukosa sampai ke patahan
tulang. Konsep penting yang harus diperhatikan pada fraktur terbuka adalah
apakah terjadi kontaminasi oleh lingkungan pada tempat terjadinya fraktur
tersebut.
Fraktur komplit adalah patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya
mengalami pergeseran (bergeser dari posisi normal). Sebaliknya fraktur
tidak komplit terjadi ketika tulang yang patah hanya terjadi pada sebagan
dari garis tengah tulang.
Klasifikasi patah tulang ditinjau menurut sudut patah terdiri atas fraktur
transversal, fraktur oblik, dan fraktur spiral. Fraktur transversaladalah fraktur
yang garis patahnya tegak lurus terhadap sumbu panjang tulang.pada fraktur
semacam ini, segmen-segmen tulang yang patah direposisi atau direduksi
kembali ke tempatnya semula, maka segmen-segmen itu akan stabil, dan
biasanya mudah dikontrol dengan bidai gips. Fraktur oblik adalah fraktur
yang mengelilingi tulang. Fraktur memuntir biasanya terjadi di seputar
15
batang tulang. Timbul akibat torsi pada ekstremitas dan merupakan jenis
fraktur rendah energi yang hanya menimbulkan sedikit kerusakan jaringan
lunak serta cederung cepat sembuh dengan imolilisasi luar.
Fisura, disebabkan oleh beban lama atau trauma ringan yang terus menerus
yang disebut fraktur kelelahan,misalnya diafisis metatarsal. Fraktur impaksi
adalah fraktur di mana fragmen tulang terdorong ke fragmen tulang lainya.
Sedangkan fraktur kompersi adalah fraktur di mana antara dua tulang
mengalami kompersi pada tulang ketiga yang berada di anatarnya (terjadi
pada tulang belakang).
d. Patofisiologi
Fraktur terbuka atau tertutup akan mengenai serabut saraf yang dapat
menimbulkan ganggguan rasa nyaman nyeri. Selain itu dapat mengenai
tulang dan dapat terjadi revral vaskuler yang menimbulkan nyeri gerak
sehingga mobilitas fisik terganggau. Disamping itu fraktur terbuka dapat
mengenai jaringan lunak yang kemungkinan dapat terjadi infeksi dan
kerusakan jaringan lunak akan mengakibatkan kerusakan integritas kulit.
16
jaringan lunak yang kemungkinan dapat terjadi infeksi terkontaminasi
dengan udara luar.
Fraktur yang ditandai dengan tertariknya fragmen tulang oleh ligamen atau
tendon pada perlekatannya disebut fraktur avulsi. Fraktur patologis adalah
fraktur yang terjadi pada daerah tulang yang berpenyakit karena terjadinya
penurunan densitas tulang seperti kista tulang, penyakit Piaget, metastasis
tulang, tumor.
Pada umumnya pada pasien fraktur terbuka maupun tertutup akan dilakukan
immobilitas yang bertujuan untuk mempertahankan fragmen yang telah
dihubungkan tetap pada tempatnya sampai sembuh.
e. Manifestasi Klinis
17
Manisfestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas,
pemendekan ekstremitas, krepitus, pembengkakan local, dan perubahan
warna (Smeltzer, 2002). Gejala umum fraktur adalah rasa sakit,
pembengkakan, dan kelainan bentuk.
1) Nyeri terus-menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang di
imobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai
alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antarfragmen
tulang.
2) Setelah terjadi faktur, bagian-bagian yang tak dapat digunakan dan
cendeung bergerak secara tidak alamiah (gerakan luara biasa) bukannya
tetap rigid seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan
atau tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba)
ekstremitas yang bisa diketahui dengan membandingkan ektermitas
normal. Ektermitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi
normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melengketnya otot.
3) Fraktur pada tulang panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya
karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
Fragmen sering saing melingkupi satu sama lain sampai 2,5-5 cm (1-2
inchi).
4) Saat ektremitas diperiksa dengan tanagan, teraba adanya drik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu
dengan lainnya. Uji krepitus deapat mengakibatkan kerusakan jaringan
lunak yang lebih berat.
5) Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi akibat
trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasa baru
terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.
18
Skafoid 10 (sampai terlihat penyatuan pada
sinar-X)
Radius dan ulna 10-12
Humerus :
Suprakondiler 3
Batang 8-12
Proksimal (impaksi) 3
Proksimal (dengan pergeseran) 6-8
Klavikula 6-10
Vertebra 16
Pelvis 6
Femur:
Intrakapsuler 24
Intratrokhanterik 10-12
Batang 18
Suprakondiler 12-15
Tibia:
Proksimal 9-10
Batang 14-20
Malleolus 6
Kalkaneus 12-16
Metatarsal 6
Falang (jari kaki) 3
Sumber: Smeltzer S.C., dan B.G., 2002.
f. Pemeriksaan Diagnostik
1) Pemeriksaan rontgen: menentukan lokasi/luasnya fraktur/trauma, dan
jenis fraktur.
19
2) Scan tulang, tomogram, CT Scan/MRI: memperlihatkan tingkat
keparahan fraktur, jugaa dapat untuk mengidentifikasi kerusakan
jaringan lunak.
3) Arteriogram: dilakukan bila dicurigai adanya kerusakan vaskuler.
4) Hitung darah lengkap: Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau
menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada
multipel trauma). Peningkatan jumlah SDP adalah proses stres normal
setelah trauma.
5) Kreatinin: trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal
6) Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,
transfusi multipel atau cidera hati
g. Penatalaksanaan
1) Penatalaksanaan Kedaruratan
a) Segera setelah cedera, imobilisasi bagian tubuh sebelum pasien
dipindahkan.
b) Bebat fraktur, termasuk sendi yang berada di dekat fraktur, untuk
mencegah pergerakan fragmen fraktur.
c) Imobilisasi tulang panjang ektremitas bawah dapat dilakukan dengan
mengikat (membebat) kedua tungkai bersama-sama: ekstremitas yang
tidak terganggu berperan sebagai bebat untuk ekstremitas yang
cedera.
d) Pada cedera ekstremitas atas, lengan dapat dibebat ke dada, atau
lengan bawah yang cedera dapat digendong dengan mitela (kain
gendongan).
e) Kaji status neurovascular di sisi distal area cedera sebelum dan
setelah pembebatan untuk menentukan keadekuatan perfusi jaringan
perifer dan fungsi saraf.
f) Tutup luka fraktur terbuka dengan balutan steril untuk mencegah
kontaminasi jaringan yang lebih dalam.
20
2) Penatalaksanaan Keperawatan
a) Penatalaksanaan Fraktur Tertutup
(1) Informasikan pasien mengenai metode pengontrolan edema dan
nyeri yang tepat (mis., meninggikan ekstremitas setinggi jantung,
menggunakan analgesic sesuai resep).
(2) Ajarkan latihan untuk mempertahankan kesehatan otot yang tidak
terganggu dan memperkuat otot yang diperlukan untuk berpindah
tempat dan untuk menggunakan alat bantu (mis., tongkat, walker,
cruck).
(3) Ajarkan pasien tentang cara menggunakan alat bantu dengan
aman.
(4) Bantu pasien memodifikasi lingkungan rumah mereka sesuai
kebutuhan dan mencari bantuan personal jika diperukan.
(5) Berikan pendidikan kesehatan kepada pasien mengenai perawatan
diri, informasi medikasi, pemantauan kemungkinan komplikasi
dan perlunya supervis layanan kesehatan yang berkelanjutan.
21
Dengan demikian, penatalaksanaan fraktur terbuka yaitu:
4. Amputasi
a. Pengertian
22
b. Etiologi
Penyakit vascular perifer progresif (sering terjadi sebagai gejala sisa diabetes
mellitus), gangrene, trauma (cedera remuk, luka bakar), deformitas
kongential, atau tumor ganas, neoplasma malignan (misalnya, steosarkoma),
infeksi kronik (osteomyelitis), dan paralisis. Penyakit vascular perifer
merupakan penyebab tertinggi amputasi ekstremitas bawah (Smeltzer, 2002).
Secara umum menurut Doenges (2000) penyebab amputasi adalah
kecelakaan, penyakit, dan gangguan kongential.
c. Jenis Amputasi
1) Amputasi Terbuka
Dilakukan pada kondisi klien dengan infeksi yang mengembang atau
berat. Dimana pemotongan dilakukan pada tingkat yang sama.
Bentuknya benar-benar terbuka dan dipasang drainage agar luka bersih
dan luka dapat ditutup setelah tidak terinfeksi.
2) Amputasi Tertutup
Dilakukan dalam kondisi yang lebih mungkin. Pada jenis ini kulit tepi
ditarik atau dibuat skalf untuk menutupi luka, pada atas ujung tulang dan
dijahit pada daerah yang diamputasi.
23
mengatasi perasaan kehilangan yang permanen . reaksi klien susah diduga
dan dapat berupa reaksi marah, depresi, berduka disfungsional, isolasi sosial
dan bermusuhan.
24
disartikulasi dan atas lutut, disartikulasi lutut-panggul, dan hemipelviktomi
dan amputasi translumbar. Tipe amputasi ada dua yaitu, terbuka
(provisional) yang memerlukan teknik aseptik ketat dan revisi lanjut, serta
tertutup atau flap
f. Komplikasi
Perdarahan, infeksi, dan kerusakan kulit merupakan komplikasi amputasi.
Perdarahan dapat terjadi akibat pemotongan pembuluh darah besar dan dapat
menjadi masif. Infeksi dapat terjadi pada semua pembedahan, dengan
perdarahan darah yang buruk dan adanya kontaminasi serta dapat terjadi
kerusakan kulit akibat penyembuhan luka yang buruk dan iritasi penggunaan
prostesis. Kompilkasi yang dapat terjadi pada amputasi adalah infeksi, nyeri
phantom,neuroma, dan fleksi kontraktur.
g. Pemeriksaan Diagnostik
1) Foto Rontgen: mengidentifikasi abnormalitas tulang.
2) CT Scan: mengidentifikasi lesi neoplastic, osteomielitis, pembentukan
hematoma.
3) Angiografi dan pemeriksaan aliran: mengevaluasi perubahan
sirkulalsi/perfusi jaringan dan membantu memperkirakan potensi
penyembuhan jaringan setelah amputasi.
4) Ultrasound Doppler, Flowmetri Dopler: dilakukan untuk mengkaji dan
mengukur aliran darah.
5) Tekanan O2 transkutaneus: memberi peta pada area perfusi paling besar
dan paling kecil dalam keterlibatan ekstremitas.
6) Termografi: mengukur perbedaan suhu pada tungkai iskemik di dua sisi,
dari jaringan kutaneus ke tengah tulang. Perbedaan yang rendah antara
dua pembacaan, makin besar untuk sembuh.
7) Pletismografi: mengukur TD segmental bawah terhadap ekstremitas
bawah mengevaluasi aliran darah arterial.
25
8) LED: peningkatan mengidentifikasi respons inflamasi.
9) Kultur luka: mengidentifikasi adanya infeksi dan organisme penyebab.
10) Biopsy: mengonfirmasi diagnosis massa benigna/maligna.
11) Hitung darah lengkap/ diferensial: peninggian dan pergeseran ke kiri
diduga proses infeksi.
h. Penatalaksanaan
Tujuan utama pembedahan adalah mencapai penyembuhan luka amputasi,
menghasilkan sisa tungkai (punting) yang tidak nyeri tekan dengan kulit
yang untuk penggunaan prosthesis. Lansia mungkin mengalami
keterlambatan penyembuhan, karena nutrisi yang buruk dan masalah
kesehatan lain. Percepatan penyembuhan dapat dilakukan dengan
penanganan yang lembut terhadap sisa tungkai, pengontrolan edema sisa
tungkai dengan balutan kompres lunak atau rigid, dan menggunakan teknik
asptik dalam perawatan luka untuk menghindari infeksi.
1) Balutan Rigid Tertutup
Digunakan untuk mendapatkan kompresi yang merata, menyangga
jaringan lunak dan mengontrol nyeri, serta mencegah kontraktur. Segera
setelah pembedahan balutan gips rigid dipasang dan dilengkapi tempat
memasang ekstensi prosthesis sementara (pylon) dan kaki buatan. Pasang
kaus kaki steril pada sisi steril, dan bantalan dipasang pada daerah peka
tekanan. Sisa tungkai (punting) kemudian dibalut dengan gips elastis
yang ketika mengeras akan memberikan tekanan yang merata. Gips
diganti sekitar 10-14 hari. Bila terjadi peningkatan suhu tubuh, nyeri
berat atau gips mulai longgar harus segera diganti.
2) Balutan Lunak
Balutan lunak dengan atau tanpa kompresi dpaat digunakan bila
diperlukan inspeksi berkala sisa tungkai (punting) sesuai kebutuhan.
Bidai imobilisasi dapat dibalutkan pada balutan. Hematoma punting
dikontrol dengan alat drainase luka untuk meminimalkan infeksi.
26
3) Amputasi Bertahap
Amputasi bertahap dilakukan bila ada gangren atau infeksi. Pertama-
tama dilakukan amputasi guillotine untuk mengangkat semua jaringan
nekrosis dan sepsis. Luka didebridemen dan dibiarkan mengering. Sepsis
ditangani dengan antibiotic. Dalam beberapa hari, bila infeksi telah
terkontrol dan klien teah stabil, dilakukan amputasi definitive dengan
penutupan kulit.
4) Prosthesis
Prosthesis sementara kadang diberikan pada hari pertama pascabedah,
sehingga latihan segera dapat dimulai. Keuntungan menggunakan
protesis sementara adalah membiasakan klien menggunakan protesis
sedini mungkin. Kadang protesis darurat baru diberikan setelah satu
minggu luka menyembuh tanpa penyulit. Pada amputasi karena penyakit
pembuluh darah, Pstesis sementara diberikan setelah cepat minggu.
a. Tulang
Tulang merupakan organ yang memiliki berbagai fungsi yaitu fungsi
mekanis untuk membentuk rangka dan tempat melekatnya berbagai otot,
fungsi sebagai tempat penyimpanan mineral khususnya kalsium dan fosfor
yang bisa dilepaskan setiap saat sesuai kebutuhan, fungsi tempat sumsum
tulang dalam membentuk sel darah, dan fungsi pelindung organ-organ
dalam.
27
Terdapat tiga jenis tulang yaitu tulang pipih seperti tulang kepala dan pelvis,
tulang kuboid seperti tulang vertebra dan tulang tarsalia, dan tulang panjang
seperti tulang femur dan tibia. Tulang panjang umumnya berbentuk lebar
pada kedua ujung dan menyempit di tengah. Bagian ujung tulang panjang
dilapisi oleh kartilago dan secara anatomis terdiri atas epifisis, metafisis, dan
diafisis. Epifisis dan metafisis terdapat pada kedua ujung tulang yang
terpisah dan lebih elastis pada masa anak-anak serta akan menyatu pada
masa dewasa.
c. Ligamen
Ligamen merupakan bagian yang menghubungkan tulang dengan tulang.
Ligamen pada lutut merupakan struktur penjaga stabilitas, oleh karena itu
jika terputus akan mengakibatkan ketidakstabilan.
d. Sistem Saraf
Sistem saraf terdiri atas sistem saraf pusat (otak dan medula spinalis) dan
sistem saraf tepi (percabangan dari sistem saraf pusat). Setiap saraf memiliki
bagian somatis dan otonom. Bagian somatis memiliki fungsi sensorik dan
motorik. Terjadinya kerusakan pada sistem saraf pusat seperti fraktur tulang
belakang dapat menyebabkan kelemahan secara umum, sedangkan
kerusakan saraf tepi dapat mengakibatkan terganggunya daerah yang
diinversi, dan kerusakan pada saraf radial akan mengakibatkan drop hand
atau gangguan sensorik di daerah radial tangan.
28
e. Sendi
Sendi merupakan tempat dua atau lebih ujung tulang bertemu. Sendi
membuat segmentasi dari kerangka tubuh dan memungkinkan gerakan
antarsegmen dan berbagai derajat pertumbuhan tulang. Terdapat beberapa
jenis sendi, misalnya sendi sinovial yang merupakan sendi kedua ujung
tulang berhadapan dilapisi oleh kartilago artikuler, ruang sendinya tertutup
kapsul sendi dan berisi cairan sinovial. Selain itu, terdapat pula sendi bahu,
sendi panggul, lutut dan jenis sendi lain seperti sindesmosis, sinkondrosis
dan simfisis.
a. Pengertian Mobilitas
Mobilitas atau mobilisasi merupakan kemampuan individu untuk bergerak
secara bebas, mudah dan teratur dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan
aktivitas guna mempertahankan kesehatannya.
b. Jenis Mobilitas
1) Mobilitas penuh, merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak
secara penuh dan bebas sehingga dapat melakukan interaksi sosial dan
menjalankan peran sehari-hari. Mobilitas penuh ini merupakan fungsi
saraf motorik volunteer dan sensorik untuk dapat mengontrol seluruh
area tubuh seseorang.
2) Mobilitas sebagian, merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak
dengan batasan jelas dan tidak mam.pu bergerak secara bebas karena
dipengaruhi oleh gangguan saraf motorik dan sesnsorik pada area
tubuhnya. Hal ini dapat dijumpai pada kasus cedera atau patah tulang
dengan pemasangan traksi. Pada pasien paraplegi dapat mengalami
mobilitas sebagian pada ekstremitas bawah karena kehilangan kontrol
motorik dan sensorik. Mobilitas sebagian ini dibagi menjadi dua jenis,
yaitu:
29
disebabkan oleh trauma reversibel pada system musculoskeletal,
contohnya adalah adanya dislokasi sendi dan tulang.
30
d. Pengertian Imobilitas
Imobilitas atau imobilisasi merupakan keadaan dimana seseorang tidak dapat
bergerak bebas karena kondisi yang menggangu pergerakan (aktivitas),
misalnya mengalami trauma tulang belakang, cedera otak beratdisertai
fraktur pada ekstremitas, dan sebagainya.
e. Jenis Imobilitas
1) Imobilitas fisik, merupakan pembatasan untuk bergerak secara fisik
dengan tujuan mencegah terjadinya gangguan komplikasi pergerakan,
seperti pada pasien dengan hemiplegia yang tidak mampu
mempertahankan tekanan di daerah paralisis sehingga tidak dapat
mengubah posisi tubuhnya untuk mengurangi tekanan.
2) Imobilitas intelektual, merupakan keadaan ketika seseorang mengalami
keterbatasan daya pikir, seperti pada pasien yang mengalami kerusakan
otak akibat suatu penyakit.
3) Imobilitas emosional, merupakan keadaan ketika seseorang mengalami
pembatasan secara emosional karena adanya perubahan secara tiba-tiba
dalam menyesuaikan diri. Sebagai contoh, keadaan stress berat dapat
disebabkan karena bedah amputasi ketika seseorang mengalami
kehilangan bagian anggota tubuh atau kehilangan sesuatu yang paling
dicintai.
4) Imobilisasi sosial, keadaan individu yang mengalami hambatan dalam
melakukan interaksi sosial karena keadaan penyakitnya sehingga
mempengaruhi perannya dalam kehidupan sosial.
31
pada otot. Sebagai contoh, otot betis seseorang yang telah dirawat lebih
dari enam minggu ukurannya akan lebih kecil selain menunjukkan tanda
lemah atau lesu.
2) Gangguan skeletal. Adanya imobilitas juga dapat menyebabkan
gangguan skeletal, misalnya akan mudah terjadinya kontraktur sendi dan
osteoporosis. Kontraktur merupakan kondisi yang abnormal dengan
kriteria adanya fleksi dan fiksasi yang disebabkan atropi dan
memendeknya otot. Terjadinya kontraktur dapat menyebabkan sendi
dalam kedudukn yang tidak berfungsi. Osteoporosis terjadi karena
reabsobsi tulang semakin besar, sehingga yang menyebabkan jumlah
kalsium ke dalam darah menurun dan jumlah kalsium yang dikeluarkan
melalui urine semakin besar.
Tingkat
Kategori
Aktivitas/Mobilitas
0 Mampu merawat sendiri secara penuh
1 Memerlukan penggunaan alat
2 Memerlukan bantuan atau pengawasan orang lain
3 Memerlukan bantuan, pengawasan orang lain, dan
peralatan
4 Sangat tergantung dan tidak dapat melakukan atau
32
berpartisipasi dalam perawatan
33
dengan topangan
3 50 Gerakan yang normal melawan gravitasi
4 75 Gerakan penuh yang normal melawan
gravitasi dan melawan tahanan minimal
5 100 Kekuatan normal, gerakan penuh yang
normal melawan gravitasi dan tahanan
penuh
1. Pengkajian
Tujuan pengkajian adalah mengidentifikasi masalah klien (actual dan potensial)
dan masalah perawatan kesehatan. Setelah itu, perawat membuat rencana
pertemuan untuk mengidentifikasi kebutuhan agar dapat memberi tindakan
perawatan sesuai dengan kebutuhan klien.
a. Anamnesis
Wawancara atau anamnesis dalam pengkajian keparawatan pada system
musculoskeletal merupakan hal utama yang dilaksanakan perawat. Perawat
perlu melaksanakan dan memperhatikan beberapa hal agar proses anamnesis
dapat optimal dilaksanakan yang meliputi :
1) Ketenangan. Perawat melaksanakan anamnesis dengan bersikap tenang
agar dapat mengorganisasi pikiran dan informasi lengkap tentang apa
yang akan disampaikan atau ditanyakan pada klien
34
2) Mendengar denga aktif. Perawat memperlihatkan minat dan perhatian,
menunjukan sikap ingin mendengar tanpa melakukan penilaian perawat
memusatkan wawancara pada masalah kesehatan atau system tubuh.
Perawat mengulang apa yang telah didengar dari komunikasi klien, ini
merupakan validasi agar perawat membuktikan benar-benar
mendengarkannya.
3) Klarifikasi. Perawat meminta klien mengulang informasi dalam bentuk
cara lain yang membantu perawat mengerti maksud klien dengan baik.
4) Memfokuskan. Perawat membantu menghilangkan kesamaran
komunikasi dengan mengajukan pertanyaan evaluasi dan meminta klien
untuk melengkapi data.
5) Konfrontasi, suatu pendekatan konstruktif yang menginformasikan klien
tentang apa yang dipikirkan atau disasarkan perawat terkait dengan
prilaku klien selam interaksi
6) Memberi umpan balik. Perawat memberi klien informasi mengenai apa
yang telah diobservasi atau disimpulkan. Umpan balik yang efektif.
7) Pemberian informasi. Perawat memberi informasi kepada klien. Ketika
memberi informasi, perawat menghindari informasi yang salah dan
komunikasi yang tidak teraupetik
8) Menyimpulkan. Perawat menyiumpulkan ide-ide utama dari setiap
wawancara atau diskusi. Hal ini memvalidasi data dari klien dan
menandakan akhir bagian pertama wawancara sebelum berlanjut
kebagian berikutnya.
b. Keluhan utama
1) Nyeri. Nyeri merupakan gejala yang sering ditemukan pada masalah
system musculoskeletal dan perlu diketahui tentang sifat-sifat nyeri yang
dapat dikaji dengan menggunakan PQRST
a) Proving incident : apakah ada peristiwa yang menjadi factor
penyebab nyeri, apakah nyeri berkurang apabila beristiraha, apakah
nyeri bertambah berat bila beraktivitas (aggravation), pada aktivitas
mana nyeri bertambah (apakah pada saat batuk, bersin, berdiri, dan
35
berjalab). Pada umumnya nyeri akan bertambah berat apabila ada
gerakan setempat dan berkurang apabila istirahat.
b) Quality of pain : seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, tajam, atau
menusuk
c) Region, radiation, relief, dimana lokasi nyeri harus ditunjukan
dengan tepat oleh klien, apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar, atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi. Tekanan pada
syaraf atau radiks saraf akan memberi gejala nyeri yang disebut
radiating pain, nyeri lain yang disebut nyeri kiriman atau referred
pain adalah nyeri pada suatu tempat yang sebenarnya akibat kelainan
dari tempat lain.
d) Severity (scale) of pain : seberapa hebat rasa nyeri yang dirasakan
klien, dapat berdasarkan skala nyeri/gradasi dan klien menerangkan
seberapa hebat rasa sakit memengaruhi kemampuan fungsinya.
e) Time : berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah
buruk pada malam hari atau siang hari.
36
3) Pembengkakan/benjolan. Keluhan adanya pembengkakan ekstremitas
merupakan suatu tanda adanya bekas trauma yang terjadi pada klien.
Pembengkakan dapat terjadi pada jaringan lunak, sendi, atau tulang. Hal
yang perlu ditanyakan adalah lokasi spesifik pembengkakan, sudah
berapa lama proses terjadinya trauma, sudah meminta pertolongan siapa
saja untuk mengatasi keluhan, dan apakah terjadi secara perlahan
misalnya pada hematoma progresif. Pembengkakan juga dapat
disebebkan oleh infeksi, tumor jinak atau ganas.
37
bertambah berat atau malah makin berkurang dari permulaan keluahan
muncul sampai pada saat wawancara; apakah ada keluhan lain yang
dirasakan seperti nyeri atau edema; apakah ada perubahan warna kulit
bagian distal dari daerah yang terkena seperti pucat atau sianotik.
c. Riwayat kesehatan
Pengkajian selanjutnya adalah mengenai riwayat kesehatan klien. Dalam
wawancara awal, perawat berusaha memperoleh gambaran umum status
kesehatan klien. Dalam wawancara awal, perawat berusaha memperoleh
gambaran umum status kesehatan klien. Perawat memperoleh data subjektif
dari klien mengenai awitan masalahnya dan apa penanganan yang sudah
dilakukan. Persepsi dan harapan klien sehubungan dengan masalah
kesehatan dapat memengaruhi perbaikan kesehatan.
1) Identitas klien, meliputi nama, usia (pengkajian usia klien gangguan
musculoskeletal penting karena berhubungan dengan status anaastesi dan
pemeriksaan diagnostic tambahan, jenis kelamin, pendidikan, alamay,
pekerjaan, asuransi kesehatan, agama, bahasa yang dipakai, status
perkawinan, suku bangsa, tanggal dan jam masuk rumah sakit (MRS),
nomer registrasi, diagnose medis, dan golongan darah.
38
klien yang dirawat dirumah sakit, penting untuk ditanyakan apakah
keluhan utama masih sama sepertipada saat masuk rumah saklit, perawat
perlu mengetahui apakah klien pernah mengalami trauma yang
menimbulkan gangguan musculoskeletal, baik berupa kelainan maupun
komplikasi lain yang dialami saat ini. Pengkajian lainnya yang juga
penting adalah pengkajian status kesehatan secara umum saat ini.
39
6) Kemampuan koping. Pengkajian mekanisme koping digunakan klien
juga penting dinilai untuk mengetahui respon emosi klien terhadap
penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien, serta respon atau
pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari
d. Pengkajian Fisik
Skelet tubuh dikaji mengenai adanya deformitas dan kesejajaran.
Pertumbuhan tulang yang tidak abnormal akibat tumor tulang dapat
dijumpai. Pemendekan dekstremitas, amputasi, dan bagian tubuh yang tidak
dalam kesejajaran anatoms harus discatat, angulasi abnormal pada tulang
panjang atau gerakaan pada titik selain sendi biasnya menunjukan adanya
fraktur tulang. Bisa teraba krepitus (suara berderik) pada titik gerakan
abnormal. Gerakan fragmen tulang harus diminimalkan untuk mencegah
cedera lebih lanjut (Smeltzer, 2002).
1) Mengkaji tulang belakang
Kurvatura normal tulang belakang biasanya konveks pada bagian dada
dan konkaf sepanjang leher dan pinggang. Deformitas tulang belakang
yang sering terjadi meliputi skoliosis, kifosis, dan lordosis. Skoliosis
ditandai deviasi kurvatura lateral tulang belakang. Skoliosis bisa
kongenital, idiopatik(tanpa diketahui penyebabnya) atau akibat
kerusakan otot paraspinal. Kifosis ditandai dengan kenaikan kurvatura
tulang belakang bagian dada. Kifosis sering dijumpai pada manula
dengan osteoporosis dan pada klien gangguan neuromuskular.
40
Menggutip pendapat smeltzer (2002), perendian dievaluasikan dengan
memeriksa rentang gerak, deformitas, stabilitas, dan adanya benjolan.
Retang gerak dievaluasi secara aktif maupun pasif. Pengukuran yang
tepat terhadap rentang gerak dapat dilakukan dengan goniometer (suatu
busur derajat yang dirancang khusus untuk mengevaluasi gerakan sendi).
Bila suatu sendi diekstensi maksimal, namun masih tetap ada sisa tleksi,
maka luas gerakan dikatakan terbatas. Rentang gerak yang terbatas bisa
disebabkan karena adanya deformitas skeletal,patologi sendi atau
kontraktur otot dan tendon di sekitarnya. Pada lansia, ketrbatasan
gerakan yang berhubungan dengan patologi sendi degeneratif dapat
menurunkan kemampuan mereka melakukan aktivitas hidup sehari-hari.
41
4) Mengkaji cara berjalan
Minta klien untuk berjalan sampai beberapa jauh, perhatian cara berjalan
mengenai kehalusandan iramanya. Setiap adanya gerakan yang tidak
teratur dan ireguler (biasanya pada lansia) dianggap tidak normal. Bila
klien berjalan pincang, biasanya disebabkan adanya nyeri akibat
menyangga beban tubuh yang terlalu berat. Berbagai kondisi neurologis
juga dapat menyebabkan cara berjalan abnormal, misalnya cara berjalan
spastik hemiparesis(stroke), cara berjalan selangkah-selangkah (penyakit
lower motor neuron), cara berjalan bergetar (penyakit parkinson).
6) Nyeri
Nyeri adalah suatu sensori yang tidak menyenangkan dari suatu
emosional diserta kerusakan jaringan secara aktua maupun potensial atau
kerusakan jaringan secara menyeluruh. Nyeri adalah suatu mekanisme
protektif bagi tuuh, nyeri timbul bilamna jaringan rusak dan
menyebabkan indiviidu tersebut bereaksi untuk menghilangkan rasa
nyeri tersebut. MenurutGanong nyeri dinamakan penggiring psikis bagi
refleks pelindung yang menetukan rangsang nyeri, umunya menibulkan
gerakan mengelak dan menghindar yang kuat, di antaranya perasaan
karena mengandung unsur emosional yang khas. Tipe nyeri terbagi
menjadi lima, yaitu nyeri berdasarkan durasi, nyeri berdasarkan
intensitas, nyeri berdasarkan transmisi, nyeri berdasarkan sumber atau
asal nyeri, dan penyebab nyeri.
Pengkajian nyeri
42
P – titik nyeri berasal dari
Pada bagian mana nyeri mulai terasa? (tunjukkan dengan jari telunjuk)
Kapan rasa nyeri mulai terasa?
Apa yang anda kerjakan saat anda terasa nyeri mulai terasa?
Apakah rasa nyeri menyebar?
A – faktor-faktor yang mempengaruhi
Apakah yang dapat membuat rasa nyeri menjadi berkurang?
Apakah membuat nyeri menjadi terasa nyeri?
Apakah rasa nyeri yang serupa pernah terjadi sebelumnya? Bila iya, apa
yang terjadi?
Apakah anda minum obat-obatan penghilang rasa nyeri?
Apakah anda merasa cemas saat merasa nyeri?
I – isensitas
Bagaimana dengan skala rasa nyeri yang anda rasakan, dengan
menggunakan skala 1-5, dengan 1 untuk rasa nyeri tidak nyaman ringan
dan 5 untuk rasa nyeri untuk tidak dapat di toleransi
N – sifat dari rasa nyeri
Gambaran rasa nyeri : tidak nyaman, disetres, rasa terbakar, tegang,
patah, dan kram
2. Diagnosa Keperawatan
3. Intervensi Keperawatan
43
a. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka
neuromuscular
Tujuan: Klien memperlihatkan peningkatan mobilitas fisik
1) Kriteria Hasil:
a) Berpartisipasi dalam kegiatan sehari-hari
b) Mempertahankan fungsi penuh ekstermitas yang sehat
2) Intervensi
a) Mandiri
(1) Kaji derajat imobilitas yang dihasilkan oleh cedera/ pengobatan
dan perhatikan persepsi klien terhadap imobilisasi
(2) Dorong partisipasi pada aktivitas/ reaksi. Pertahankan rangsang
lingkungan.
(3) Instruksikan klien untuk latihan rentang gerak aktif/ pasif pada
eksterimitas yang sehat/sakit
(4) Dorongan pengunaan latihan isometric mulai dengan tungkai
yang sakit
(5) Bantu dalam mobilisasi dengan kursi roda, kruk, tongkat,
sesegera mungkin. Instruksikan keamanan dalam alat mobilitas.
(6) Pantau TD dalam aktivitas. Perhatikan adanya keluhan pusing
(7) Ubah posisi secara periodic serta dorong untuk latihan batuk dan
napas dalam
b) Kolaborasi
(1) Konsul dengan ahli terapi fisik, okupasi, rehabilitasi
44
c) Memperlihatkan penggunaan alat imobilisasi dan alat bantu dengan
aman.
2) Intervensi:
a) Tentukan kemampuan klien dalam kegiatan
b) Bantu aktivitas sehari-hari pasien sesuai kebutuhan
c) Anjurkan partisipasi pasien dalam kehidupan sehari-hari sesuai
toleransi
d) Berikan aktivitas motoric untuk meredakan ketegangan
e) Ajarkan dan anjurkan penggunaan alat imobilisasi dan alat bantu
dengan aman.
45
j) Bantu klien melanjutkan latihan otot preoperasi sesuai kemampuan,
missal berdiri pada telapak, berdiri pada ibu jari
2) Kolaborasi
a) Rujuk ke tim rehabilitasi, missal ahli terapi fisik/ fisioterapi
b) Berikan tempat tidur busa
46
b) Klien dapat berlatih pergerakan klien untuk melakukan aktifitas
sehari hari
2) Intervensi
a) Bantu pasien untuk mendapatkan transportasi kegiatan yang sesuai
b) Bantu pasien untuk focus pada kemampuan bukan pada deficit
c) Berikan motivasi pasien untuk berpartisipasi dalam kegiatan
d) Bantu pasien untuk mempertahankan aktifitas kehidupan sehari-hari,
nutrisi dan keamanan individu.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
47
Salah satu masalah gangguan kesehatan pada gangguan muskuloskeletal, seperti
osteomielitis, osteoporosis, fraktur, dan amputasi. Osteomielitis adalah infeksi
tulang. Osteoporosis adalah berkurangnya massa tulang atau pengeroposan tulang.
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik.
Amputasi adalah pengangkatan/ pemotongan sebagian anggota tubuh/ anggota
gerak. Mobilitas atau mobilisasi merupakan kemampuan individu untuk bergerak
secara bebas, mudah dan teratur dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan aktivitas
guna mempertahankan kesehatannya.
Kemampuan seseorang untuk melakukan suatu aktivitas seperti berdiri, berjalan dan
bekerja merupakan salah satu dari tanda kesehatan individu tersebut dimana
kemampuan aktivitas seseorang tidak terlepas dari keadekuatan sistem persarafan
dan muskuloskeletal. Gangguan kebutuhan aktivitas adalah suatu keadaan dimana
individu yang mengalami atau beresiko mengalami keterbatasan gerakan fisik. Pada
klien dengan gangguan kebutuhan aktivitas diberikan intervensi dengan tujuan klien
memperlihatkan peningkatan mobilitas fisik dan dapat melakukan mobilisasi sesuai
toleransi.
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
48
Smeltzer, Suzanne C. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
Bare, B. G & S. C. Smeltzer. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Ed. 8.
Vol. 3. Jakarta: EGC.
Kozier, Barbara. (2010). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses &
Praktik. Ed.7. Jakarta: EGC
Brunner. (2013). Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Ed. 12. Jakarta:
EGC.
Ningsih, Lukman Nurna. (2013). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan
Sistem Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba Medika.
49