Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN PENDAHULUAN

GAGAL NAFAS

A. Definisi
Gagal nafas adalah terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap karbondioksida
dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju konsumsi oksigen dan pembentukan
karbondioksida dalam sel-sel tubuh. Sehingga menyebabkan tegangan oksigen kurang
dari 50 mmHg (Hipoksemia) dan peningkatan tekanan karbondioksida lebih besar dari
45mmHg (Hiperkapnia). (Smeltzer & Barr,2002)
Gagal nafas adalah pertukaran gas yang tidak adekuat sehingga terjadi
hipoksemia, hiperkapnea (peningkatan konsentrasi karbondioksida arteri), dan asidosis.
(Arif Muttaqin, 2008)
Gagal nafas terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap karbondioksida dalam
paru-paru tidak dapat memelihara laju komsumsi oksigen dan pembentukan karbon
dioksida dalam sel-sel tubuh. Sehingga menyebabkan tegangan oksigen kurang dari 50
mmHg (Hipoksemia) dan peningkatan tekanan karbondioksida lebih besar dari 45 mmHg
(hiperkapnia). (Brunner & Sudarth, 2001).

B. Etiologi
1. Penyebab sentral
 Kelainan neuromuskuler : GBS, tetanus, trauma cervical, muscle relaxans
 Kelainan jalan nafas : obstruksi jalan nafas, asma bronchiale
 Kelainan diparu : edema paru, atelektasis, ARDS.
 Kelainan tulang iga/thoraks : fraktur costae, pneumo thorax, haematothoraks
 Kelainan jantung : kegagalan jantung kiri
2. Penyebab perifer
 Trauma kepala : contusio cerebri
 Radang otak : encephalitis
 Gangguan vaskuler : perdarahan otak, infark otak
 Obat-obatan : narkotika, anestesi

C. Manifestasi Klinis
1. Gagal nafas total
 Aliran udara di mulut, hidung tidak dapat didengar / dirasakan.
 Pada gerakan nafas spontan terlihat retraksi supra klavikuladan sela iga serta tidak
ada perkembangan dada pada inspirasi.
 Adanya kesulitan inflasi paru dalam usaha memberikan ventilasi buatan
2. Gagal nafas parsial
 Terdengar suara nafas tambahan gargling, snoring, growing, dan whizing.
 Ada retraksi dada
3. Hiperkapnia yaitu penurunan kesadaran
4. Hipoksemia yaitu takikardia, gelisah, berkeringat atau sianosis (Po2 menurun)

D. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan analisa gas darah arteri (AGD)
2. Pemeriksaan darah lengkap, elektrolit serum, sitologi, urinalisis, bronkogram,
bronkoskopi.
3. Pemeriksaan rontgen dada

Untuk melihat keadaan patologik dan atau kemajuan proses penyakit yang tidak
diketahui:
4. Pemeriksaan sputum, fungsi paru, angiografi, pemindahan ventilasi – perfusi
5. Hemodinamik
6. EKG: mungkin memperlihatkan bukti-bukti adanya disritmia

E. Penatalaksaan
Penatalaksanaan non spesifik adalah tindakan yang secara tidak langsung di tujukan
untuk memperbaiki pertukaran gas, yaitu:
1. Atasi Hipoksemia : terapi Oksigen
2. Atasi Hiperkarbia : perbaiki ventilasi
- Perbaiki jalan nafas
- Bantuan ventilasi : face mask, ambu bag
3. Terapi supportif lainnya:
a. Fisioterapi dada. Ditujukan untuk membersihkan jalan nafas dari sekret, sputum.
Tindakan ini selain untuk mnegatasi gagal nafas juga untuk tindakan pencegahan.
Pasien diajarkan bernafas dengan baik, bila perlu dengan bantuan tekanan pada
perut dengan telapak tangan pada saat inspirrasi. Pasien melaukan batuk yang
efektif. Dilakukan juga tepukan – tepukan pada dada, punggung, dilakukan
perkusi vibrasi dan drainage postural. Kadang – kadang diperlukan juga obat –
obatan seperti mukolitik dan bronkodilator.
b. Bronkodilator. (agonis beta-andergenik/simpatomimetik). Obat – obat ini lebih
efektif diberikan perentar atau peroral, karena untuk eferk bronkodilatasi yang
sama, efek samping secara inhalasi lebih sedikit sehingga dosis besar dapat
diberikan secara inhalasi. Terapi yang efektif mungkin membutuhkan jumlah
agonis beta-andergenik yang dua hingga empat kali lebih banyak dari pada yang
direkomendasikan.
c. Peningkatan dosis (kualitas lebih besar dari pada nebulasasi) dan peningkatan
rekuensi pemberian (hingga tiap jam/nebulasasi kontinu) sering kali dibutuhkan.
Pemilihan obat didasarkan pada potensi, eikasi, kemudahan pemberian, dan efek
samping. Diantara yang tersedia adalah albuterol, metaprotetenol, terbutalin. Eek
samping meliputi tremor, takikardia, palpitasi, aritmia dan hipokalemia. Efek
kardiak pada pasien dengan penyakit jantuk iskemik dapat menyebabkan nyeri
dada dan iskemia, walaupun jarang terjadi. Hipokalemia biasanya dieksaserbasi
oleh diuretik tiazid dan kemungkinan disebabkan oleh perpindahan kalium dari
kompartement ekstrasel ke intrasel sebagai respon terhadap stimulasi beta-
andergenik.
d. Antikolinergik/parasimpatolitik. Respon bronkodilator terhadap obat
antikolinergik tergantung pada derajat tonus parasimpatis intrinsik.obat – obat ini
kurang berperan pada asma, dimana obstruksi jalan nafas berkaitan dengan
inflamasi, dibandingkan dengan bronkitis kronis, dimana tonus parasimpatis
tampaknya lebih berperan. Obat ini direkomendasikan terutama untuk
bronkodilatasi pasien dengan bronkitis kronik. Pada gagal nafas, antikolinergik
harus selalu dikombinasikan dengan agonis beta andergenik. Ipratropium bromida
bersedia dalam bentuk MDI (metered dose inhaler) atau solusio untuk nebulasi.
Eek samping jarang terjadi seperti takikardia, palpitasi, dan retensi urin.
e. Teofilin. Teoilin kurang kuat sebagai bronodilator dibandingkan agonis beta
andergenik. Mekanisme kerja adalah melalui inhibisi kerja fosfodiesterase pada
AMP siklik (cAMP), translokasi kalsium, antagonis adenosin, stimulasi reseptor
beta andergenik, dan aktifitas anti inlamasi. Efek samping meliputi takikardia,
mual dan muntah. Komplikasi yang lebih parah adalah aritmia, hipokalemia,
perubahan status mental dan kejang.
f. Kortikosteroid. Mekanisme kortikosteroid dalam menurunkan inflamasi jalan
nafas tidak diketahui secara pasti, tetapi perubahan pada sifat dan jumlah sel
inflamasi telah didemonstrasikan setelah pemberian sistemik dan topikal.
Kortikosteroid aerosol kurang baik distribusinya pada gagal nafas akut, dan
hampir selalu digunakan preparat oral atau parentral. Efek samping kortikosteroid
parentral adalah hiperglikemia, hiperkalemia, retensi natrium dan air, miopati
steroid akut (terutama pada dosis besar), gangguan sistem imun, kelainan
psikiatrik, gastritis dan perdarahan gantrointestinal. Pengguanaan kortikosteroid
bersama – sama obat pelumpuh otot non depolarisasi telah dihubungkan dengan
kelemahan otot yang memanjang dan menimbulkan kesulitan weaning.
g. Ekspektoran dan Nukleonik. Cairan peroral atau parentral dapat memperbaiki
volume atau karakteristik sputum pada pasien yang kekurangan cairan. Obat
mukolitik dapat diberikan langsung pada sekret jalan nafas, terutama pada pasien
dengan ETT. Sedikit (3-5 ml) NaCl 0,9%, salin hipertonik, dan natrium
bikarbonat hipertonik juga dapat diteteskan sebelum penyedotan (suctioning) dan
bila berhasil akan keluar sekret yang lebih banyak.
F. Pathway
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
 Anamnesis
Keluhan utama yang sering muncul adalah gejala sesak nafas atau peningkatan
frekuensi nafas. Secara umum perlu dikaji tentang gambaran secara menyeluruh
apakah klien tampak takut, mengalami sianosis, dan apakah tampak mengalami
kesukaran bernafas. Perlu diperhatikan juga apakah klien berubah menjadi sensitif
dan cepat marah (iritability), tanpak binggung (confusion), atau mengantuk
(somnolen). Yang tak kalah penting ialah kemampuan orientasi klien terhadap
tempat dan waktu. Hal ini perlu diperhatikan karena gangguan funngsi paru akut dan
berat sering direfeksikan dalam bentuk perubahan status mental. Selain itu, gangguan
keadaan sering pula dihubungkan dengan hipoksemia, hiperkapnea, dan asidemia
karena gas beracun. Selain itu kaji riwayat penyakit masa lalu, riwayat penyakit
keluarga, lingkungan serta habits/ kebiasaan.
 Pemeriksaan Fisik
1. Airway
a. Peningkatan sekresi pernafasan.
b. Bunyi nafas krekles ronki dan mengi.
2. Breating
a. Distress pernafasan : pernafasan cupping hidung, takipneu/bradipneu retraksi.
b. Menggunakan otot aksesori pernafasan.
c. Kesulitan bernafas : lapar udara, diaphoresis, sianosis.
3. Circulation
a. Penurunan curah jantung : gelisah, letargi, takikardi.
b. Sakit kepala.
c. Gangguan tingkat kesadaran : ansietas, gelisah, kacau mental, mengantuk.
d. Papiledema.
e. Penurunan haluan urine.
 Keadaan umum
Kaji tentang kesadara klien, kecemasan, kegelisahan, kelemahan suara bicara.
Denyut nadi, frekuensi nafas yang meingkat, penggunaan otot-otot bantu pernafasan,
sianosis.
1. B1 (Breathing)
Inspeksi
Kesulitan bernafas tampak dalam perubahan irama dan frekuensi pernafasan.
Keadaan normal frekuensi pernafasan 16-20x/menit dengan amplitude yang cukup
besar. Jika seseorang bernafas lambat dan dangkal, itu menunjukan adanya
depresi pusat pernafasan. Penyakit akut paru sering menunjukan frekuensi
pernafasan > 20x/menit atau karena penyakit sistemik seperti sepsis, perdarahan,
syok, dan gangguan metabolic seperti diabetes militus.
Palpasi
Perawat harus memerhatikan pelebaran ICS dan penurunan taktil fremitus yang
menjadi penyebab utama gagal nafas.
Perkusi
Perkusi yang dilakukan dengan saksama dan cermat dapat ditemukan daerah
redup- sampai daerah dengan daerah nafas melemah yang disebabkkan oleh
peneballan pleura, efusi pleura yang cukup banyak, dan hipersonor, bila
ditemukan pneumothoraks atau emfisema paru.
Auskultasi
Auskultasi untuk menilai apakah ada bunyi nafas tambahan seperti wheezing dan
ronki serta untuk menentukan dengan tepat lokasi yang didapat dari kelainan yang
ada.
2. B2 (Blood)
Monitor dampak gagal nafas pada status kardovaskuler meliputi keadaan
hemodinamik seperti nadi, tekanan darah dan CRT.
3. B3 (Brain)
Pengkajian perubahan status mental penting dilakukan perawat karena merupakan
gejala sekunder yang terjadi akibat gangguan pertukaran gas. Diperlukanan
pemeriksaan GCS unruk menentukan tiingkat kesadaran.
4. B4 (Bladder)
Pengukuran volume output urin perlu dilakukan karena berkaitan dengan intake
cairan. Oleh karena itu, perlu memonitor adanya oliguria, karena hal tersebut
merupaka tanda awal dari syok.
5. B5 (Bowel)
Pengkajian terhadap status nutrisi klien meliputi jumlah, frekuensi dan kesulitan-
kesulitan dalam memenuhi kebutuhanya. Pada klien sesak nafas potensial terjadi
kekurangan pemenuhan nutrisi, hal ini karena terjadi dipnea saat makan, laju
metabolism, serta kecemasan yang dialami klien.
6. B6 (Bone)
Dikaji adanya edema ekstermitas, tremor, tanda-tanda infeksi pada ekstermitas,
turgon kulit, kelembaban, pengelupasan atau bersik pada dermis/ integument.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan gangguan aliran udara ke
alveoli atau kebagian utama paru
2. Ketidak efektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan produksi
secret/mucus, keterbatasan gerakan dada, nyeri, kelemahan dan kelelahan.
3. Ketidak efektifan pola nafas berhubungan dengan kelelahan, penurunan ekspansi
paru, pengesetan ventilator yang tidak tepat.
4. Pemenuhan kebutuhan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
intake yang tidak adekuat.

C. Intervensi Keperawatan
No. Diagnosa Keperawatan Tujuan/KH Intervensi Rasional
1. Gangguan pertukaran gas Setelah diberikan 1. Pantau status 1. untuk
yang berhubungan asuhan keperawatan pernapasan tiap mengetahui
dengan gangguan aliran dalam waktu 1x24 4 jam, hasil perkembanga
udara ke alveoli atau jam pertukaran gas GDA, intake, n status
kebagian utama paru membaik. dan output. kesehatan
Kriteria Hasil : Untuk klien
1. Frekuensi napas mengidentifikasi
18-20/menit indikasi ke arah
2. Frekuensi nadi kemajuan.
75-100/menit 2. Tempatkan klien
3. Warna kulit pada posisi 2. Posisi
normal, tidak semifowler. semifowler
ada dipnea, dan Posisi tegak berfungsi
gas darah arteri memungkinkan untuk
(GDA) dalam ekspansi paru membuka
batas normal. lebih baik. jalan nafas
4. Hasil analisa gas sehingga
darah normal : dapat
PH (7,35 – 7,45) 3. Berikan terapi menurunkan
PO2 (80 – 100 intravena sesuai sesak yang
mmHg) anjuran. Untuk dirasakan
PCO2 ( 35 – 45 memungkinkan 3. Untuk
mmHg) rehidrasi yang membantu
cepat dan dapat mengobati
mengkaji klien
keadaan
vaskuler untuk
pemberian obat-
obat darurat.
4. Berikan oksigen 4. Oksigen
melalui kanula diberikan
nasal 4 L/menit untuk
selanjutnya membantu
sesuaikan mencukupi
dengan hasil kadar oksigen
PaO2. dalam darah
klien yang
tidak bisa
diperoleh dari
nafas biasa.
Pemberian
oksigen
mengurangi
beban otot-
otot
pernapasan.
5. Kolaborasi 5. Untuk
dengan tim membantu
medis dalam mengobati
memberikan klien
pengobatan yang
telah tepat serta
amati bila ada
tanda-tanda
toksisitas.
Pengobatan
untuk
mengembalikan
kondisi bronkus
seperti kondisi
sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA

Barid,Bassarah dkk. (2011). Diagnosis Keperawatan: Definisi dan klasifikasi. Jakarta: EGC
Corwin, Elisabet J. (2009). Buku Saku Patofisiogi, Edisi 3. Jakarta: EGC.
Doenges, Marilynn E. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC.
Nanda, NIC NOC. (2016). Asuhan Keperawatan Praktis. Jogjakarta: Mediaction
Wilkinson,Judith M. (2009). Diagnosa keperawatan Nanda Nic Noc. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai