Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

POST PARTUM SPONTAN DENGAN INDIKASI KPD


DI RUANG ANGGREK I RSUD RAA SOEWONDO PATI

DI SUSUN OLEH
Nama : Ririn Ayu SN
Npm : 82021040075

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KUDUS

TAHUN 2020/2021
A. DEFINISI
Post partum adalah suatu periode dalam minggu-minggu pertama setelah
kelahiran. Lamanya periode ini tidak pasti, sebagaian besar menganggapnya antara 4
sampai 6 minggu. Walaupun masa yang relative tidak komplek dibandingkan dengan
kehamilan, nifas ditandai oleh banyaknya perubahan fisiologis. Beberapa dari
perubahan tersebut mungkin hanya sedikit menggagu ibu, walaupun komplikasi serius
juga sering terjadi (Cunningham, F Garry, 2013). Sehingga untuk post partum spontan
adalah proses lahirnya pada letak belakang kepala yang dapat hidup dengan tenaga ibu
sendiri dan uri, tanpa alat serta tidak melukai ibu dan bayi yang umumnya berlangsung
kurang dari 24 jam melalui jalan lahir (Prawiroharjo, 2011)
Ketuban Pecah Dini (KPD) adalah pecahanya ketuban sebelum waktunya
melahirkan atau sebelum inpartu, pada pembukaan < 4 cm (fase laten). Hal ini dapat
terjadi pada akhir kehamilan maupun jauh sebelum waktunya melahirkan (Nugroho,
2011). Menurut Mitiyani tahun 2011 KPD ini yaitu pecahnya/rupturnya selaput amnion
sebelum dimulainya persalinan yang sebenarnya atau pecahnya selaput amnion sebelum
usia kehamilannya mencapai 37 minggu dengan atau tanpa kontraksi.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa ketuban pecah dini adalah pecah/rupturnya
selaput amnion sebelum dimulainya persalinan, dan sebelum usia kehamilan mencapai
37 minggu, dengan kontraksi atau tanpa kontraksi.

B. ETIOLOGI
Post partum spontan belum diketahui pasti penyebabnya namun beberapa teori
menghubungkan dengan faktor hormonal,struktur rahim,sirkulasi rahim,pengaruh
tekanan pada saraf dan nutrisi (Hafifah, 2011).
a) Teori penurunan hormone
1-2 minggu sebelum partus mulai, terjadi penurunan hormone progesterone dan
estrogen. Fungsi progesterone sebagai penenang otot–otot polos rahim dan akan
menyebabkan kekejangan pembuluh darah sehingga timbul his bila progesterone
turun.
b) Teori placenta menjadi tua
Turunnya kadar hormone estrogen dan progesterone menyebabkan kekejangan
pembuluh darah yang menimbulkan kontraksi rahim.
c) Teori distensi rahim
Rahim yang menjadi besar dan merenggang menyebabkan iskemik otot-otot rahim
sehingga mengganggu sirkulasi utero-plasenta.
d) Teori iritasi mekanik
Di belakang servik terlihat ganglion servikale(fleksus franterrhauss). Bila ganglion
ini digeser dan di tekan misalnya oleh kepala janin akan timbul kontraksi uterus.
e) Induksi partus
Dapat pula ditimbulkan dengan jalan gagang laminaria yang dimasukan dalam
kanalis servikalis dengan tujuan merangsang pleksus frankenhauser, amniotomi
pemecahan ketuban), oksitosin drip yaitu pemberian oksitosin menurut tetesan
perinfus.

Beberapa keadaan yang berhubungan dengan terjadinya KPD ini, di antaranya


adalah sebagai berikut (Mitayani, 2009).
a. Trauma meliputi amnionsintesis, pemeriksaan pelvis, dan hubungan seksual.
b. Peningkatan tekanan intrauterus, kehamilan kembar, atau polihidromnion.
c. Infeksi vagina, servik atau korioamnionitis streptokokus serta bakteri vagina.
d. Selaput amnion yang mempunyai struktur yang lemah atau selaput terlalu tipis.
e. Keadaan abnormal dari fetus seperti malpresentasi.
f. Kelainan pada serviks atau alat genetalia seperti ukuran serviks yang pendek
(<25cm).
g. Multipara dan peningkatan usia ibu.
h. Defisiensi nutrisi.

C. KLASIFIKASI
Menurut POGI tahun (2014), KPD diklasifikasikan menjadi 2 kelompok, yaitu,
KPD preterm dan KPD aterm.
a. KPD Preterm
Ketuban pecah dini preterm adalah pecah ketuban yang terbukti dengan vaginal pooling,
tes nitrazin dan, tes fern atau IGFBP-1 (+) pada usia <37 minggu sebelum onset
persalinan. KPD sangat preterm adalah pecah ketuban saat umur kehamilan ibu antara
24 sampai kurang dari 34 minggu, sedangkan KPD preterm saat umur kehamilan ibu
antara 34 minggu sampai kurang 37 minggu. Definisi preterm bervariasi pada berbagai
kepustakaan, namun yang paling diterima dan tersering digunakan adalah persalinan
kurang dari 37 minggu.
b. KPD pada Kehamilan Aterm
Ketuban pecah dini/ premature rupture of membranes (PROM) adalah pecahnya
ketuban sebelum waktunya yang terbukti dengan vaginal pooling, tes nitrazin dan tes
fern (+), IGFBP-1 (+) pada usia kehamilan ≥ 37 minggu.

D. PATOFISIOLOGI
Dalam masa post partum atau masa nifas, alat-alat genetalia interna maupun
eksterna akan berangsur-angsur pulih kembali seperti keadaan sebelum hamil.
Perubahan-perubahan alat genetal ini dalam keseluruhannya disebut “involusi”.
Disamping involusi terjadi perubahan-perubahan penting lain yakni memokonsentrasi
dan timbulnya laktasi yang terakhir ini karena pengaruh hormon laktogen dari kelenjar
hipofisis terhadap kelenjar-kelenjar mamae.
Otot-otot uterus berkontraksi segera post psrtum, pembuluh-pembuluh darah yang
ada antara nyaman otot-otot uretus akan terjepit. Proses ini akan menghentikan
pendarahan setelah plasenta lahir. Perubahan-perubahan yang terdapat pada serviks
ialah segera post partum bentuk serviks agak menganga seperti corong, bentuk ini
disebabkan oleh korpus uteri terbentuk semacam cincin. Peruabahan-perubahan yang
terdapat pada endometrium ialah timbulnya trombosis, degenerasi dan nekrosis ditempat
implantasi plasenta pada hari pertama endometrium yang kira-kira setebal 2-5 mm itu
mempunyai permukaan yang kasar akibat pelepasan desidua dan selaput janin
regenerasi endometrium terjadi dari sisa-sisa sel desidua basalis yang memakai waktu 2
sampai 3 minggu. Ligamen-ligamen dan diafragma pelvis serta fasia yang merenggang
sewaktu kehamilan dan pertu setelah janin lahir berangsur-angsur kembali seperti sedia
kala.

E. PATHWAY
F. MANIFESTASI KLINIS
1. Involusi uterus
Adalah proses kembalinya alat kandungan uterus dan jalan lahir setelah bayi
dilahirkan sehingga mencapai keadaan seperti sebelum hamil. Setelah plasenta
lahir, uterus merupakan alat yang keras, karena kontraksi ini menyebabkan rasa
nyeri/mules-mules yang disebut after pain post partum terjadi pada hari ke – 2-3
hari.
2. Kontraksi uterus
Intensistas kontraksi uterus meningkat setelah melahirkan berguna untuk
mengurangi volume cairan intra uteri. Setelah 1 – 2 jam post partum, kontraksi
menurun stabil berurutan, kontraksi uterus menjepit pembuluh darah pada uteri
sehingga perdarahan setelah plasenta lahir dapat berhenti.
3. After pain
Terjadi karena pengaruh kontraksi uterus, normal sampai hari ke -3. After pain
meningkat karena adanya sisa plasenta pada cavum uteri, dan gumpalan darah (stoll
cell) dalam cavum uteri .
4. Endometrium
Pelepasan plasenta dan selaput janin dari dinding rahim terjadi pada stratum
spunglosum, bagian atas setelah 2 – 3 hari tampak bahwa lapisan atas dari stratum
sponglosum yang tinggal menjadi nekrosis keluar dari lochia. Epitelisasi
endometrium siap dalam 10 hari, dan setelah 8 minggu endometrium tumbuh
kembali.
Epitelisasi tempat plasenta + 3 minggu tidak menimbulkan jaringan parut, tetapi
endometrium baru, tumbuh di bawah permukaan dari pinggir luka.
5. Ovarium
Selama hamil tidak terjadi pematangan sel telur. Masa nifa terjadi pematangan sel
telur, ovulasi tidak dibuahi terjadi mentruasi, ibu menyusui mentruasinya terlambat
karena pengaruh hormon prolaktin.
6. Lochia
Adalah cairan yang dikeluarkan dari uterus melalui vagina dalam masa nifas, sifat
lochia alkalis sehingga memudahkan kuman penyakit berkembang biak. Jumlah
lebih banyak dari pengeluaran darah dan lendir waktu menstruasi, berbau anyir,
tetapi tidak busuk.
Lochia dibagi dalam beberapa jenis :
a. Lochia rubra
Pada hari 1 – 2 berwarna merah, berisi lapisan decidua, sisa-sisa chorion, liguor
amni, rambut lanugo, verniks caseosa sel darah merah.
b.   Lochia sanguinolenta
Dikeluarkan hari ke 3 – 7 warna merah kecoklatan bercampur lendir, banyak serum
selaput lendir, leukosit, dan kuman penyakit yang mati.
c.   Lochia serosa
Dikeluarkan hari ke 7 – 10, setelah satu minggu berwarna agak kuning cair dan
tidak berdarah lagi.
d.  Lochia alba
Setelah 2 minggu, berwarna putih jernih, berisi selaput lendir, mengandung
leukosit, sel epitel, mukosa serviks dan kuman penyakit yang telah mati.
7. Serviks dan vagina
Beberapa hari setelah persalinan, osteum externum dapat dilalui oleh 2 jari dan
pinggirnya tidak rata (retak-retak). Pada akhir minggu pertama hanya dapat dilalui
oleh 1 jari saja. Vagina saat persalinan sangat diregang lambat laun mencapai
ukuran normal dan tonus otot kembali seperti biasa, pada minggu ke-3 post partum,
rugae mulai nampak kembali.
8. Perubahan pada dinding abdomen
Hari pertama post partum dinding perut melipat dan longgar karena diregang begitu
lama. Setelah 2 – 3 minggu dinding perut akan kembali kuat, terdapat striae
melipat, dastosis recti abdominalis (pelebaran otot rectus/perut) akibat janin yang
terlalu besar atau bayi kembar.
9. Perubahan Sistem kardiovaskuler
Volume darah tergantung pada jumlah kehilangan darah selama partus dan eksresi
cairan extra vasculer. Curah jantung/cardiac output kembali normal setelah partus
10. Perubahan sistem urinaria
Fungsi ginjal normal, dinding kandung kemih memperlihatkan oedema dan
hiperemi karena desakan pada waktu janin dilahirkan. Kadang-kadang oedema
trigonum, menimbulkan obstruksi dari uretra sehingga terjadi retensio urin.
Pengaruh laserasi/episiotomi yang menyebabkan refleks miksi menurun.
11. Perubahan sistem Gastro Intestina;
Terjadi gangguan rangsangan BAB atau konstipasi 2 – 3 hari post partum.
Penyebabnya karena penurunan tonus pencernaan, enema, kekakuan perineum
karena episiotomi, laserasi, haemorroid dan takut jahitan lepas
12. Perubahan pada mammae
Hari pertama bila mammae ditekan sudah mengeluarkan colustrum. Hari ketiga
produksi ASI sudah mulai dan jaringan mammae menjadi tegang, membengkak,
lebut, hangat dipermukaan kulit (vasokongesti vaskuler)
13. Laktasi
Pada waktu dua hari pertama nifas keadaan buah dada sama dengan kehamilan.
Buah dada belum mengandung susu melainkan colustrum yang dapat dikeluarkan
dengan memijat areola mammae.
Colustrum yaitu cairan kuning dengan berat jenis 1.030 – 1,035 reaksi alkalis dan
mengandung protein dan garam, juga euglobin yang mengandung antibodi.
bayi yang terbaik dan harus dianjurkan kalau tidak ada kontra indikasi
14. Temperatur
Temperatur pada post partum dapat mencapai 38 0C dan normal kembali dalam 24
jam. Kenaikan suhu ini disebabkan karena hilangnya cairan melalui vagina ataupun
keringat, dan infeksi yang disebabkan terkontaminasinya vagina.
15. Nadi
Umumnya denyut nadi pada masa nifas turun di bawah normal. Penurunan ini
akibat dari bertambahnya jumlah darah kembali pada sirkulasi seiring lepasnya
placenta. Bertambahnya volume darah menaikkan tekanan darah sebagai
mekanisme kompensasi dari jantung dan akan normal pada akhir minggu pertama.
16. Tekanan Darah
Keadaan tensi dengan sistole 140 dan diastole 90 mmHg baik saat kehamilan
ataupun post partum merupakan tanda-tanda suatu keadaan yang harus diperhatikan
secara serius.

17. Hormon
Hormon kehamilan mulai berkurang dalam urine hampir tidak ada dalam 24 hari,
setelah 1 minggu hormon kehamilan juga menurun sedangkan prolaktin meningkat
untuk proses laktasi

Khusus pada konsep teori KPD manifestasi klinis adalah sebagai berikut.
Kencang-kencang (nyeri ringan dibagian bawah)
1. Keluarnya cairan ketuban dari vagina
2. Dapat disertai demam bila sudah ada infeksi.
3. Tampak air ketuban mengalir / selaput ketuban tidak ada dan air ketuban sudah
kering
4. Berbau anyir
5. Warna cairan putih agak keruh seperti santan encer
(Fadlun,dkk., 2011)

G. KOMPLIKASI
Komplikasi paling sering terjadi pada KPD sebelum usia 37 minggu adalah
sindrom distress pernapasan,yang terjadi pada 10-40% bayi baru lahir.Risiko infeksi
meningkat pada kejadian KPD. Semua ibu hamil dengan KPD premature sebaiknya
dievaluasi untuk kemungkinan terjadinya korioamnionitis (radang pada korion
danamnion). Selain itu kejadian prolaps atau keluarnya tali pusar dapat terjadi pada
KPD. Risiko kecacatan dan kematian janin meningkat pada KPD Praterm.Hipoplasia
paru merupakan komplikasi fatal terjadi pada KPD praterm.Kejadiannya mencapai
hampir 100% apabila KPD prater mini terjadi pada usia kehamilan kurang dari 23
minggu.
a. Infeksi intrauterine
Infeksi tersebut dapat berupa endomyometritis, maupun korioamnionitis yang berujung
pada sepsis. Pada sebuah penelitian, didapatkan 6,8% ibu hamil dengan KPD
mengalami endomyometritis purpural, 1,2% mengalami sepsis, namun tidak ada yang
meninggal dunia. Diketahui bahwa yang mengalami sepsis pada penelitian ini
mendapatkan terapi antibiotik spektrum luas, dan sembuh tanpa sekuele. Sehingga
angka mortalitas belum diketahui secara pasti. 40,9% pasien yang melahirkan setelah
mengalami KPD harus dikuret untuk mengeluarkan sisa plasenta,, 4% perlu
mendapatkan transfusi darah karena kehilangan darah secara signifikan. Tidak ada
kasus terlapor mengenai kematian ibu ataupun morbiditas dalam waktu lama.

b. Tali pusat menumbung


c. Prematuritas
d. Distosia (Sujiyatini, 2009).

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut POGI (Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia) tahun 2016,
terdapat beberapa pemeriksaan tentang partus dengan KPD.
a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik (termasuk pemeriksaan spekulum)
KPD aterm didiagnosis secara klinis pada anamnesis pasien dan visualisasi adanya
cairan amnion pada pemeriksaan fisik. Dari anamnesis perlu diketahui waktu dan
kuantitas dari cairan yang keluar, usia gestasi dan taksiran persalinan, riwayat KPD
aterm sebelumnya, dan faktor risikonya. Pemeriksaan digital vagina yang terlalu sering
dan tanpa indikasi sebaiknya dihindari karena hal ini akan meningkatkan risiko infeksi
neonatus. Spekulum yang digunakan dilubrikasi terlebih dahulu dengan lubrikan yang
dilarutkan dengan cairan steril dan sebaiknya tidak menyentuh serviks. Pemeriksaan
spekulum steril digunakan untuk menilai adanya servisitis, prolaps tali pusat, atau
prolaps bagian terbawah janin (pada presentasi bukan kepala); menilai dilatasi dan
pendataran serviks, mendapatkan sampel dan mendiagnosis KPD aterm secara visual.
Dilatasi serviks dan ada atau tidaknya prolaps tali pusat harus diperhatikan dengan baik.
Jika terdapat kecurigaan adanya sepsis, ambil dua swab dari serviks (satu sediaan
dikeringkan untuk diwarnai dengan pewarnaan gram, bahan lainnya diletakkan di
medium transport untuk dikultur. Jika cairan amnion jelas terlihat mengalir dari serviks,
tidak diperlukan lagi pemeriksaan lainnya untuk mengkonfirmasi diagnosis. Jika
diagnosis tidak dapat dikonfirmasi, lakukan tes pH dari forniks posterior vagina (pH
cairan amnion biasanya ~ 7.1–7.3 sedangkan sekret vagina ~ 4.5–6 ) dan cari
arborization of fluid dari forniks posterior vagina. Jika tidak terlihat adanya aliran
cairan amnion, pasien tersebut dapat dipulangkan dari rumah sakit, kecuali jika terdapat
kecurigaan yang kuat ketuban pecah dini. Semua presentasi bukan kepala yang datang
dengan KPD aterm harus dilakukan pemeriksaan digital vagina untuk menyingkirkan
kemungkinaan adanya prolaps tali pusat.
b. Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan USG dapat berguna untuk melengkapi diagnosis untuk menilai indeks
cairan amnion. Jika didapatkan volume cairan amnion atau indeks cairan amnion yang
berkurang tanpa adanya abnormalitas ginjal janin dan tidak adanya pertumbuhan janin
terhambat (PJT) maka kecurigaan akan ketuban pecah sangatlah besar, walaupun
normalnya volume cairan ketuban tidak menyingkirkan diagnosis. Selain itu USG dapat
digunakan untuk menilai taksiran berat janin, usia gestasi dan presentasi janin, dan
kelainan kongenital janin.
c. Pemeriksaan laboratorium
1. Preparat saline basah untuk memeriksa adanya tricomona
2. Preparat basah potasium peroxide digunakan untuk memeriksa adanya jamur
candidia dan adanya gardnerela.
3. Urinalisis
4. Kultur gonorrhoe dan herpes servik
5. Kultur cerviks
6. Pemeriksaan darah lengkap,
7. Pemerilsaan virus herpes simplek tipe 1 dan 2
8. Westrern blood untuk pemeriksaan virus HIV
9. Chlamidia yaitu tes kultur atau tes untuk mendeteksi antigen

I. PENATALAKSANAAN MEDIS
Prinsip utama penatalaksanaan KPD adalah untuk mencegah mortalitas dan
morbiditas perinatal pada ibu dan bayi yang dapat meningkat karena infeksi atau akibat
kelahiran preterm pada kehamilan dibawah 37 minggu. Prinsipnya penatalaksanaan ini
diawali dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan beberapa pemeriksaan penunjang
yang mencurigai tanda-tanda KPD. Setelah mendapatkan diagnosis pasti, dokter
kemudian melakukan penatalaksanaan berdasarkan usia gestasi. Hal ini berkaitan
dengan proses kematangan organ janin, dan bagaimana morbiditas dan mortalitas
apabila dilakukan persalinan maupun tokolisis.
Terdapat dua manajemen dalam penatalaksanaan KPD, yaitu manajemen aktif dan
ekspektatif. Manajemen ekspektatif adalah penanganan dengan pendekatan tanpa
intervensi, sementara manajemen aktif melibatkan klinisi untuk lebih aktif
mengintervensi persalinan. Berikut ini adalah tatalaksana yang dilakukan pada KPD
berdasarkan masing-masing kelompok usia kehamilan.

a. Ketuban Pecah Dini usia kehamilan <24 minggu


Pada usia kehamilan kurang dari 24 minggu dengan KPD preterm didapatkan bahwa
morbiditas minor neonatus seperti hiperbilirubinemia dan takipnea transien lebih besar
apabila ibu melahirkan pada usia tersebut dibanding pada kelompok usia lahir 36
minggu. Morbiditas mayor seperti sindroma distress pernapasan dan perdarahan
intraventrikular tidak secara signifikan berbeda (level of evidence III). Pada saat ini,
penelitian menunjukkan bahwa mempertahankan kehamilan adalah pilihan yang lebih
baik. (Lieman JM 2005)

Ketuban Pecah Dini usia kehamilan 24 - 34 minggu. Pada usia kehamilan antara 30-34
minggu, persalinan lebih baik daripada mempertahankan kehamilan dalam menurunkan
insiden korioamnionitis secara signifikan (p<0.05, level of evidence Ib). Tetapi tidak ada
perbedaan signifikan berdasarkan morbiditas neonatus. Pada saat ini, penelitian
menunjukkan bahwa persalinan lebih baik dibanding mempertahankan kehamilan.

b. Ketuban Pecah Dini usia kehamilan 34-38 minggu


Pada usia kehamilan lebih dari 34 minggu, mempertahankan kehamilan akan
meningkatkan resiko korioamnionitis dan sepsis (level of evidence Ib). Tidak ada
perbedaan signifikan terhadap kejadian respiratory distress syndrome. Pada saat ini,
penelitian menunjukkan bahwa mempertahankan kehamilan lebih buruk dibanding
melakukan persalinan.

KPD memanjang

Antibiotik profilaksis disarankan pada kejadian KPD preterm. Dibuktikan dengan


22 uji meliputi lebih dari 6000 wanita yang mengalami KPD preterm, yang telah
dilakukan meta-analisis (level of evidence Ia). Terdapat penurunan signifikan dari
korioamnionitis (RR 0,57;95% CI 0,37-0,86), jumlah bayi yang lahir dalam 48 jam
setelah KPD` (RR 0,71; 95% 0,58-0,87), jumlah bayi yang lahir dalam 7 hari setelah
KPD (RR 0,80; 95% ci 0,71-0,90), infeksi neonatal (rr 0,68;95% ci 0,53 0,87), dan
jumlah bayi dengan USG otak yang abnormal setelah keluar dari RS (rr 0,82; 95% ci
0,68-0,98). Sehingga dapat disimpulkan bahwa administrasi antibiotik mengurangi
morbiditas maternal dan neonatal dengan menunda kelahiran yang akan memberi cukup
waktu untuk profilaksis dengan kortikosteroid prenatal. Pemberian co-amoxiclav pada
prenatal dapat menyebabkan neonatal necrotizing enterocolitis sehingga antibiotik ini
tidak disarankan. Pemberian eritromisin atau penisilin adalah pilihan terbaik.14
Pemberian antibiotik dapat dipertimbangkan digunakan bila KPD memanjang (> 24
jam).

Tabel 1. Antibiotik yang digunakan pada KPD >24 jam

MEDIKAMENTOSA D R Frekuensi

Benzilpenisilin 1,2 gram IV Setiap 4 jam


Klindamisin (jika 600 mg IV Setiap 8 jam
sensitif penisilin)

Jika pasien datang dengan KPD >24 jam, pasien sebaiknya tetap dalam perawatan
sampai berada dalam fase aktif. Penggunaan antibiotik IV sesuai dengan tabel di atas.

Manajemen Aktif

Pada kehamilan >= 37 minggu, lebih dipilih induksi awal. Meskipun demikian,
jika pasien memilih manajemen ekspektatif harus dihargai. Lamanya waktu manajemen
ekspektatif perlu didiskusikan dengan pasien dan keputusan dibuat berdasarkan keadaan
per individu. Induksi persalinan dengan prostaglandin pervaginam berhubungan dengan
peningkatan risiko korioamnionitis dan infeksi neonatal bila dibandingkan dengan
induksi oksitosin. Sehingga, oksitosin lebih dipilih dibandingkan dengan prostaglandin
pervaginam untuk induksi persalinan pada kasus KPD.

Kemajuan pada pelayanan maternal dan manajemen PPROM pada batas yang
viable dapat mempengaruhi angka survival; meskipun demikian untuk PPROM <24
minggu usia gestasi morbiditas fetal dan neonatal masih tinggi. Konseling kepada
pasien untuk mengevaluasi pilihan terminasi (induksi persalinan) atau manajemen
ekspektatif sebaiknya juga menjelaskan diskusi mengenai keluaran maternal dan fetal
dan jika usia gestasi 22-24 minggu juga menambahkan diskusi dengan neonatologis.
Beberapa studi yang berhubungan dengan keluaran/ outcomes, diperumit dengan
keterbatasan sampel atau faktor lainnya. Beberapa hal yang direkomendasikan:

- Konseling pada pasien dengan usia gestasi 22-25 minggu menggunakan


Neonatal Research Extremely Preterm Birth Outcome Data.
- Jika dipertimbangkan untuk induksi persalinan sebelum janin viable, tatalaksana
merujuk kepada Intermountain’s Pregnancy Termination Procedure.
Pemberian kortikosteroid antenatal pada wanita dengan KPD preterm telah
dibuktikan manfaatnya dari 15 RCT yang meliputi 1400 wanita dengan KPD dan telah
disertakan dalam suatu metaanalisis. Kortikosteroid antenatal dapat menurunkan risiko
respiratory distress syndrome (RR 0,56; 95% CI 0,46-0,70), perdarahan
intraventrikkular (RR 0,47; 95% CI 0,31-0,70) dan enterokolitis nekrotikan (RR 0,21;
95% CI 0,05-0,82), dan mungkin dapat menurunkan kematian neonatus (RR0,68; 95%
ci 0,43-1,07).

Tokolisis pada kejadian KPD preterm tidak direkomendasikan. Tiga uji teracak
235 pasien dengan KPD preterm melaporkan bahwa proporsi wanita yang tidak
melahirkan 10 hari setelah ketuban pecah dini tidak lebih besar secara signifikan pada
kelompok yang menerima tokolisis (levels of evidence Ib).
Tabel 2. Medikamentosa yang digunakan pada KPD
Magnesium MAGNESIUM SULFAT IV:
Untuk efek neuroproteksi pada PPROM Bolus 6 gram selama 40 menit
< 31 minggu bila persalinan dilanjutkan infus
diperkirakan dalam waktu 24 2 gram/ jam untuk dosis pemeliharaan
jam sampai
persalinan atau sampai 12 jam terapi
Kortikosteroid BETAMETHASONE:
untuk menurunkan risiko sindrom 12 mg IM setiap 24 jam dikali 2 dosis
distress pernapasan Jika Betamethasone tidak tersedia,
gunakan
deksamethason 6 mg IM setiap 12 jam
Antibiotik AMPICILLIN
Untuk memperlama masa laten 2 gram IV setiap 6 jam dan
ERYTHROMYCIN
250 mg IV setiap 6 jam selama 48 jam,
dikali 4
dosis diikuti dengan
AMOXICILLIN
250 mg PO setiap 8 jam selama 5 hari
dan
ERYTHROMYCIN
333 mg PO setiap 8 jam selama 5 hari,
jika
alergi ringan dengan penisilin, dapat
digunakan:
CEFAZOLIN
1 gram IV setiap 8 jam selama 48 jam
dan
ERYTHROMYCIN
250 mg IV setiap 6 jam selama 48 jam
diikuti
dengan :
CEPHALEXIN
500 mg PO setiap 6 jam selama 5 hari
dan
ERYTHROMYCIN
333 mg PO setiap 8 jam selama hari
Jika alergi berat penisilin, dapat
diberikan
VANCOMYCIN 1 gram IV setiap 12
jam
selama 48 jam dan
ERYTHROMYCIN
250 mg IV setiap 6 jam selama 48 jam
diikuti
dengan
CLINDAMYCIN
300 mg PO setiap 8 jam selama 5 hari

Penatalaksanaan Post Partum


1. Early Ambulation
Ibu post partum diharapkan sedini mungkin melakukan early ambulation, dimana
ibu 8 jam pertama istirahat tidur terlentang, setelah 8 jam diperbolehkan miring ke
kiri atau ke kanan untuk mencegah trombosis dan boleh bangun dari tempat tidur
setelah 24 jam sampai 48 jam post partum.
2. Perawatan Payudara
Perhatikan kebersihan mammae, putting bila ada luka segera obati, dan pada ibu
yang belum mampu mengeluarkan ASI dilakukan perawatan payudara post partum.
3. Pemberian Nutrisi
Nutrisi ibu diberikan harus memenuhi gizi seimbang porsinya lebih banyak
daripada waktu hamil, disamping untuk mempercepat pulihnya kesehatan setelah
kelahiran juga untuk meningkatkan produksi ASI.
4. Aktivitas Seksual
Pasangan dianjurkan untuk menunggu sampai terdapat pengeluaran lochea akhir
minggu ke 4. Perhatikan posisi, sebaiknya wanita pada posisi atas untuk
menghindari adanya penetrasi yang telalu dalam.

J. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
a) Identitas ibu
b) Riwayat penyakit
a. Riwayat kesehatan sekarang ;ibu dating dengan pecahnya ketuban sebelum usia
kehamilan mencapai 37 minggu dengan atau tanpa komplikasi
b. Riwayat kesehatan dahulu
1. Adanya trauma sebelumnya akibat efek pemeriksaan amnion
2. Sintesi ,pemeriksaan pelvis dan hubungan seksual
3. Infeksi vagiana /serviks oleh kuman sterptokokus
4. Selaput amnion yang lemah/tipis
5. Posisi fetus tidak normal
6. Kelainan pada otot serviks atau genital seperti panjang serviks yang pendek
7. Multiparitas dan peningkatan usia ibu serta defisiensi nutrisi.
c) Pemeriksaan Fisik
1) Monitor Keadaan Umum Ibu
- Jam I : tiap 15 menit, jam II tiap 30 menit
- 24 jam I : tiap 4 jam
- Setelah 24 jam : tiap 8 jam
2) Monitor Tanda-tanda Vital
3) Payudara : Produksi kolustrum 48 jam pertama.
4) Uterus : Konsistensi dan tonus, posisi tinggi dan ukuran.
5) Kandung Kemih dan Output Urine : Pola berkemih, jumlah distensi, dan nyeri.
6) Bowel : Pergerakan usus, hemoroid dan bising usus.
7) Lochea : Tipe, jumlah, bau dan adanya gumpalan.
8) Perineum : Episiotomi, laserasi dan hemoroid, memar, hematoma, edema,
discharge dan approximation. Kemerahan menandakan infeksi.
9) Ekstremitas : Tanda Homan, periksa redness, tenderness, warna.

d) Perubahan Psikologis
1) Peran Ibu meliputi:Kondisi Ibu, kondisi bayi, faktor sosial-ekonomi, faktor
keluarga, usia ibu, konflik peran.
2) Baby Blues:Mulai terjadinya, adakah anxietas, marah, respon depresi dan
psikosis.
3) Perubahan Psikologis
- Perubahan peran, sebagai orang tua.
- Attachment yang mempengaruhi dari faktor ibu, ayah dan bayi.
- Baby Blues merupakan gangguan perasaan yang menetap, biasanya pada hari
III dimungkinkan karena turunnya hormon estrogen dan pergeseran yang
mempengaruhi emosi ibu.

K. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Resiko syok hipovolemik berhubungan dengan perdarahan sekunder terhadap
atonia uteri.
2. Gangguan rasa nyaman, nyeri akut berhubungan dengan trauma perineum, proses

kelahiran, payudara bengkak, dan involusi uterus

3. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan trauma jaringan, penurunan Hb,
prosedur invasive, pecah ketuban, malnutrisi

L. RENCANA KEPERAWATAN
Dx Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Resiko Resiko syok Tujuan : Syok hipovolemi - Monitor vital sign
hipovolemik b.d. tidak terjadi. - Kaji adanya tanda-tanda
perdarahan sekunder Kriteria hasil: syok hipovelomik
terhadap atonia uteri. - Tekanan darah siastole - Monitor pengeluaran
110-120 mmHg, diastole pervaginam.
80-85 mmHg. - Lakukan massage segera
- Nadi 60-80 kali mungkin pada fundus
permenit. uteri.
- Akral hangat, tidak - Susukan bayi sesegera
keluar keringat dingin mungkin.
- Perdarahan post partum
kurang dari 100 cc
Gangguan rasa nyaman, Tujuan :  infeksi pada ibu - Kaji lochea kontraksi
tidak terjadi ditandai uterus, dan kondisi
nyeri akut berhubungan
dengan ibu dapat jahitan episiotomy
dengan trauma perineum,
mendemonstrasikan teknik - Sarankan pada ibu agar
proses kelahiran, payudara untuk menurunkan resiko mengganti pembalut tiap
infeksi, dan tidak terdapat 4 jam
bengkak, dan involusi
tanda-tanda infeksi - Pantau tanda-tanda vital
uterus
- Lakukan rendam bokong
- Sarankan ibu
membersihkan perineal
dari depan ke belakang.
Resiko tinggi terhadap Tujuan : Setelah - Berikan individu
infeksi berhubungan dilakukan tindakan kesempatan untuk
dengan trauma jaringan, keperawatan diharapkan beristirahat.
penurunan Hb, prosedur nyeri berkurang atau - Ajarkan tindakan non
invasive, pecah ketuban, hilang, dengan kriteria infasif, seperti relaksasi.
malnutrisi hasil pasien tidak - Kaji skala nyeri.
mengeluh nyeri, ekspresi - Ajarkan metode distraksi
wajah tenang, skala nyeri selama muncul nyeri
dalam batas normal (2-3). akut.
Batasan karakteristik : - Beri posisi yang nyaman
Ansietas, menangis, pada pasien.
gangguan pola tidur, - Kolaborasi pemberian
takut, iritabilitas, analgetik.
merintih, gelisah,
berkeluh kesah,
merasakan dingin, gatal,
panas, perasaan tidak
nyaman, rasa lapar,
kurang puas dengan
keadaan dan kurang
senang dengan situasi
DAFTAR PUSTAKA

Angelini DJ, Afontaine D. Obstetric triage and emergency care protocols. Academic
Emergency Medicine. Volume 20, Issue 4, page E10, April 2013. New York, NY:
Springer Publishing Co., 2013; 336 Vogel I, Grønbaek H, Thorsen P, Flyvbjerg A.
Insulin-like growth factor binding protein 117 IGFBP-1) in vaginal fluid in
pregnancy. In Vivo. 2004 Jan-Feb;18(1):37-41.
Fadlun, dkk.2011. Asuhan Kebidanan Patologis . Jakarta: Salemba Medika
Hacker, Moore (2009), Esensial Obstetri dan Ginekologi Edisi 2, Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta.
Medina TM, Hill DA. Preterm Premature Rupture of Membranes: Diagnosis and
Management. Am Fam Physician. 2006 Feb 15;73(4):659-664.
Mitayani.2011, Asuhan Keperawatn Maternitas, Jakarta : Salemba Medika
Royal Hospital for Women. Obstetric clinical guidelines group: preterm premature
rupture of membranes assessment and management guideline. 2009 Oktober.
Diunduh dari seslhd.health.nsw.gov.au pada 16 April 2019.
Torbé AI, Kowalski K. Maternal serum and vaginal fluid C-reactive protein levels do
not17 predict early-onset neonatal infection in preterm premature rupture of
membranes. J Perinatol. 2010 Oct;30(10):655-9. doi: 10.1038/jp.2010.22. Epub
2010 Mar 4.
Women and Newborn Health Service. King Edward Memorial Hospital. Clinical
Guidelines Obstetrics and Midwifery Guidelines. September 2002.
www.kemh.health.wa.gov.au/development/manuals/O&G_guidelines/sectionb/2/5
172.pdf.

Anda mungkin juga menyukai