Anda di halaman 1dari 413

FUNGSI BANYAK VARIABEL

DAN PENERAPANNYA

2013
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan hanya untuk Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan hidayahnya, sehingga atas izin Allah, Alhamdulillah buku yang cukup sederhana ini
dapat diterbitkan. Buku Kalkulus Lanjut atau Matematika Teknik Lanjut ini pada dasarnya
merupakan lanjutan dari Buku Kalkulus Fungsa Satu Variabel yang telah diterbitkan
terdahulu. Pada awalnya buku ini merupakan bahan-bahan dari diktat kuliah untuk Mata
Kuliah Matematika yang penulis susun dan digunakan secara terbatas oleh mahasiswa
jurusan Teknik Mesin dan Teknik Elektro Fakultas Teknik Univeristas Muhammadiyah
Jakarta, dan Sekolah Tinggi Teknik PLN (STT-PLN). Pertama kali bahan ini dipublikasikan
sebagai bahan ajaran sekitar awal tahun 1997. Setelah mengalami berbagai revisi setelah
mendapatkan masukan dari mahasiswa, asisten dan beberapa dosen rekan sejawat, akhirnya
terbentuk suatu buku yang sederhana dan cukup lengkap.

Buku ini lebih ditujukan untuk membantu mahasiswa pada tahun kedua yang mengambil
mata kuliah Matematika Teknik atau Kalkulus Lanjut khususnya yang mempelajari masalah
analisis fungsi dengan banyak variabel dan penerapannya. Oleh karenanya buku ini disusun
dalam rangka menjawab masalah tersebut. Buku ini disusun terdiri atas enam bab, yang
meliputi Fungsi n variabel, Turunan Parsial dan Aplikasinya, Integral Lipat Dua dan Lipat
Tiga, Kalkulus Medan Vektor, Deret Tak Hingga, Fungsi Gamma dan Fungsi Beta. Sasaran
buku ini ditujukan untuk mahasiswa pada tahun kedua di fakultas teknik, sains dan atau
teknologi lainnya yang sedang mengambil mata kuliah Kalkulus Lanjut atau Matematika
Teknik. Oleh karena itu, sebagaimana buku-buku yang pernah penulis susun, pembahasan
pada buku ini lebih menekankan pada penggunaan teori, definisi dan teorema, sehingga
teorema-teorema yang ada tidak dibuktikan kebenarannya. Hal ini sejalan dengan tujuan
diterbitkannya buku ini untuk membantu mahasiswa memahami masalah analisis turunan
parsial dan penerapannya, integral berulang lipat dua dan lipat tiga, analisis kalkulus medan
vektor, deret tak hingga, dan terakhir dibahas fungsi gamma dan fungsi beta. Harapan dengan
digunakannya buku ini sebagai salah satu referensi adalah agar mata kuliah Matematika
Teknik atau Kalkulus Lanjut tidak dijadikan sebagai mata kuliah yang “ditakuti” mahasiswa.
Letak keunggulan dari buku ini adalah bahwa buku ini lebih menekankan pada bagaimana
menyelesaikan masalah, namun demikian tidak meninggalkan kaidah-kaidah secara teori.
Oleh karenanya pendekatan yang digunakan pada pembahasan buku ini adalah pada setiap
awal sub bab diupayakan adanya pengantar teori, dan selanjutnya diteruskan dengan teori
yang terdiri atas definisi dan teorema, selanjutnya diteruskan dengan contoh-contoh soal.
Sehingga teorema-terorema dalam buku ini sengaja tidak dibuktikan, dan bagi pembaca yang
mengharapkan adanya bukti dari teorema dan atau rumus disarankan untuk membaca lebih
lanjut pada buku referensi yang ditunjuk. Pendekatan ini dicoba ditempuh, agar supaya
mahasiswa dan atau pembaca pada umumnya tidak terjebak pada masalah pembuktian
teorema, tetapi lebih menekankan pada penggunaan teorema.

Pada setiap pembahasan contoh soal, diupayakan tahapan dan langkah-langkah yang
digunakan dapat diikuti dengan mudah oleh mahasiswa. Sehingga mahasiswa dan atau
pembaca pada umumnya lebih mudah memahami analisis fungsi n variabel, turunan parsial
dan penerapannya, integral lipat dua dan lipat tiga, analisis kalkulus medan vektor, deret tak
hingga, dan terakhir dibahas fungsi Gamma dan fungsi Beta. Sasaran buku ini ditujukan
untuk mahasiswa pada tahun kedua di fakultas teknik, sains dan atau teknologi lainnya yang
sedang mengambil mata kuliah Kalkulus Lanjut atau Matematika Teknik. Selanjutnya pada
akhir sub bab diberikan soal-soal latihan, dengan harapan soal-soal tersebut dapat menambah
pendalaman materi. Oleh karenanya soal-soal yang disajikan dapat dikerjakan oleh
mahasiswa, dengan tingkat kesulitan yang sepadan dengan mahasiswa baru tahun kedua.

Materi buku ini dapat diajarkan dalam satu semester dengan bobot 4 (empat) sks, atau dengan
bobot 3 (tiga) sks. Pada Bab I Pendahuluan dibahas tentang ruang dimensi tiga, vektor dalam
ruang, garis dan bidang, permukaan benda pejal dalam ruang, dan terakhir dibahas koordinat
silinder dan koordinat bola. Pada Bab II dibahas tentang fungsi n variabel, turunan parsial,
diferensial total, maksimum minimum dan metode langrange. Bab III dibahas tenatng
pengertian intengral lipat dua, transformasi integral lipat dua, integral lipat tiga, integral lipat
tiga dalam koordinat silinder dan koordinat bola, penerapan integral lipat dua dan lipat tiga.
Bab IV dibahas analisis Kalkulus Medan Vektor yang meliputi medan vektor dan medan
skalar, medan vektor konservatif, integral garis, kebebasan lintasan integral garis, teorema
Grenn, integral permukaan dan fluks medan vektor, teorema divergensi Gauss dan teorema
stokes. Pada Bab V Deret Tak Hingga dibahas deret tak hingga, deret berganti tanda, deret
pangkat, operasi deret pangkat, deret taylor dan uji konvergensi deret tak hingga. Pada bah
terakhir dibahas khusus tentang fungsi gamma dan fungsi beta serat penerapannya.

Pada akhirnya penulis berterima kasih kepada istri tercinta Lidya Suryani Widyawati, SH,
M.Hum, anak tercinta Abimanyu Putera Yudha atas dorongan dan kasih sayangnya dan
waktu yang diluangkan. Tak lupa penulis ucapkan teriama kasih kepada asisten mata kuliah
Kalkulus dan Matematika Teknik Hendri ST, MT, dan rekan-rekan sejawat yang telah
memberi masukan dan bantuan sehingga buku ini dapat diselesaikan. Penulis juga berterima
kasih pada pihak penerbit Graha Ilmu dengan segala resiko yang akan ditanggung telah
bersedia menerbitkan buku ini.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Ruang Dimensi Tiga 1
Soal-soal Latihan 1.1 7
1.2. Vektor Dalam Ruang Dimensi Dua dan Tiga 9
Soal-soal Latihan 1.2 24
1.3. Permukaan Benda Dalam Ruamh Dimensi Tiga 26
Soal-soal Latihan 1.3 37
1.4. Koordinat Silinder dan Koordinat Bola 38
Soal-soal Latihan 1.4 43

BAB II TURUNAN PARSIAL


2.1. Fungsi n Variabel 44
Soal-soal Latihan 2.1 49
2.2. Turunan Parsial 50
Soal-soal Latihan 2.2 60
2.3. Aturan Rantai 62
Soal-soal Latihan 2.3 69
2.4. Diferensial Total dan Hampiran 72
Soal-soal Latihan 2.4 82
2.5. Gradien dan Turunan Berarah 84
Soal-soal Latihan 2.5 89
2.6. Bidang Singgung dan Normal Bidang Permukaan 91
Soal-soal Latihan 2.6 96
2.7. Maksimum dan Minimum 98
Soal-soal Latihan 2.7 106
2.8. Metode Langrange 108
Soal-soal Latihan 2.8 115

BAB III INTEGRAL LIPAT DUA DAN TIGA


3.1. Integral Lipat Dua Atas Daerah Empat Persegi Panjang 117
Soal-soal Latihan 3.1 124
3.2. Integral Lipat Dua Atas Daerah Umum R 126
Soal-soal Latihan 3.2 137
3.3. Transformasi Koordinat Integral Lipat Dua, Koordinat Kutub 139
Soal-soal Latihan 3.3 145
3.4. Penerapan Integral Lipat Dua 147
Soal-soal Latihan 3.4 153
3.5. Integral Lipat Tiga 156
Soal-soal Latihan 3.5 168
3.6. Koordinat Silinder dan Koordinat Bola 171
Soal-soal Latihan 3.6 185

BAB IV KALKULUS MEDAN VEKTOR


4.1. Medan Skalar dan Madan Vektor 188
Soal-soal Latihan 4.1 198
4.2. Medan Vektor Konservatif 200
Soal-soal Latihan 4.2 208
4.3. Integral Garis 211
Soal-soal Latihan 4.3 220
4.4. Kebebasan Lintasan Integral Garis 223
Soal-soal Latihan 4.4 230
4.5. Teorema Grenn 232
Soal-soal Latihan 4.5 245
4.6. Integral Permukaan dan Fluks Medan Vektor 248
Soal-soal Latihan 4.6 267
4.7. Teorema Divergensi Gauss dan Teorema Stokes 270
Soal-soal Latihan 4.7 293

BAB V DERET TAK HINGGA


5.1. Barisan Tak Hingga 301
Soal-soal Latihan 5.1 309
5.2. Deret Tak Hingga 311
Soal-soal Latihan 5.2 320
5.3. Uji Konvergensi Deret Suku-suku Positif 321
Soal-soal Latihan 5.3 332
5.4. Deret Berganti Tanda, dan Konvergensi Mutlak 333
Soal-soal Latihan 5.4 342
5.5. Deret Pangkat 344
Soal-soal Latihan 5.5 352
5.6. Diferensial dan Integrasi Deret Pangkat 353
Soal-soal Latihan 5.6 362
5.7. Deret Taylor dan MacLaurin 364
Soal-soal Latihan 5.7 374

BAB VI FUNGSI GAMMA DAN FUNGSI BETA


6.1. Fungsi Gamma 376
Soal-soal Latihan 6.1 382
6.2. Fungsi Beta 394
Soal-soal Latihan 6.2 405
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. RUANG DIMENSI TIGA

3
Ruang dimensi tiga adalah himpunan semua bilangan tripel real, dan dinyatakan dengan R .
Setiap titik dalam ruang dimensi tiga dinyatakan dengan tiga pasangan bilangan berurut. Untuk
menyatakan ruang dimensi tiga, biasanya digunakan sistem koordinat kartesius. Untuk itu,
ambillah tiga buah garis koordinat yang saling tegak lurus, dan saling berpotongan. Ketiga garis
koordinat tersebut selanjutnya masing-masing disebut dengan sumbu x, sumbu y, dan sumbu z.
Ketiga sumbu-sumbu koordinat tersebut berpotong pada titik O(0,0,0), yang selanjutnya disebut
dengan titik sumbu koordinat. Setiap titik dalam ruang dimensi tiga dalam sistem koordinat
kartesius dinyatakan dengan (x,y,z), seperti terlihat pada gambar 1.1.1.

P(x,y,z)

O
O y

Gambar 1.1.1.

Ketiga sumbu koordinat dalam ruang dimensi tiga, selanjutnya menentukan bidang-bidang xy, xz,
dan yz, dimana membagi ruang menjadi delapan bagian yang disebut dengan oktan, seperti
terlihat pada gambar 1.1.2.. Pembagian oktan dalam sistem koordinat kartesius tergantung pada
nilai sumbu koordinat, lihat tabel berikut ini :

Oktan x y z Oktan x y z
I (+) (+) (+) V (+) (+) (-)
II (-) (+) (+) VI (-) (+) (-)
III (-) (-) (+) VII (-) (-) (-)
IV (+) (-) (+) VIII (+) (-) (-)

1
z

oktan ketiga oktan kedua

oktan keempat
oktan pertama
O y

Gambar 1.1.2.

Misalkan P(x,y,z) adalah sebuah titik dalam ruang dimensi tiga, maka titik P(x,y,z) disebut
dengan koordinat yang mengukur jarak dari titik tersebut terhadap ketiga bidang. Koordinat x
menyatakan jarak P terhadap bidang yz, koordinat y menyatakan jarak P terhadap bidang xz, dan
koordinat z menyatakan jarak P terhadap bidang xy. Sebagai ilustrasi, misalkan diberikan sebuah
titik P(3,4,4), lihat gambar 1.1.3.

P(3,4,4)

OO 4 y

x
Gambar 1.1.3.

Dari gambar 1.3., titik P berjarak 3 satuan jarak terhadap bidang yz, berjarak 4 satuan jarak
terhadap bidang xz, dan berjarak 4 satuan jarak terhadap bidang xy.

2
Jarak Dua Titik

Misalkan diberikan dua buah titik P(x0,y0,z0) dan Q(x1,y1,z1) dalam ruang dimensi tiga. Lihat
gambar 1.1.4. Andaikan pula bahwa d(P,Q) menyatakan jarak antara titik P dan titik Q.

z1

Q
z0
P
O y0 4 y1 y

x0
x1

x
Gambar 1.1.4.

Menurut rumus pythagoras, jarak d(P,Q) diberikan oleh :


d(P,Q) = PQ = ( x1 − x 0 ) 2 + ( y1 − y 0 ) 2 + ( z1 − z 0 ) 2

Contoh 1.1.
Misalkan diberikan tiga buah titik dalam ruang dimensi tiga, P(1,3,3), Q(5,1,7), dan R(11,9,9).
Hitunglah jarak d(P,Q), d(P,R), dan d(Q,R)
Penyelesaian :
Dengan mengunakan rumus jarak diatas, diperoleh :
d(P,Q) = (5 − 1) 2 + (1 − 3) 2 + (7 − 3) 2 = 16 + 4 + 16 = 36 = 6

d(P,R) = (11 − 1) 2 + (10 − 3) 2 + (9 − 3) 2 = 100 + 49 + 36 = 185

d(Q,R) = (11 − 5) 2 + (10 − 1) 2 + (9 − 7) 2 = 36 + 81 + 4 = 121 = 11

Grafik Persamaan Dalam Ruang Dimensi Tiga

Grafik suatu persamaan didalam ruang dimensi tiga adalah himpunan semua titik-titik (x,y,z)
yang koordinatnya berupa bialangan yang memenuhi persamaan tersebut. Grafik persamaan di
dalam ruang dimensi tiga disebut dengan permukaan. Grafik di dalam ruang dimensi tiga yang
yang cukup mudah dibuat sektsanya adalah grafik persamaan derajad satu, dan grafik persamaan
derajad dua. Grafik persamaan derajad satu yang paling sederhana adalah bidang, sedangkan
untuk grafik persamaan derajad dua adalah bola.

3
3
Bidang di R

Grafik bidang dalam ruang dimensi tiga adalah grafik dari suatu persamaan linier yang
berbentuk,
Ax +By + Cz = D,
dimana, A + B + C ≠ 0. Bilamana A ≠ 0, B ≠ 0, dan C ≠ 0, bidang yang diberikan akan
2 2 2

memotong ketiga sumbu koordinat. Sedangkan untuk membuat sketsa grafiknya, langkah
pertama dicari titik-titik potong bidang dengan ketiga sumbu koordinat. Langkah berikutnya
adalah membuat gambar berkas-berkas garis perpotongan bidang dengan bidang xy, xz, dan yz.

Contoh 1.2.
Gambarkanah sektsa grafik suatu bidang dengan persamaan,2x + 4y + 3z = 12.
Penyelesaian :
Langkah pertama. Untuk membuat sketsa bidang diatas, langkah pertama carilah titik-titik
perpotongan bidang dengan ketiga sumbu koordinat. Untuk menentukan titik potong dengan
sumbu x, tetapkanlah y = 0, dan z = 0, sehingga dihasilkan 2x = 12, atau x = 6. Jadi titik potong
bidang dengan sumbu x adalah (6,0,0). Dengan cara sama dihasilkan titik potong dengan sumbu
y dan sumbu z masing-masing adalah (0,3,0), dan (0,0,4).

Langkah Kedua. Menggambarkan berkas-berkas garis perpotongan bidang dengan bidang xy, xz,
dan yz. Berkas garis pada bidang xy, diperoleh dengan cara menetapkan z = 0. Untuk z = 0,
dihasilkan 2x + 4y = 12. Dengan cara yang sama berkas garis pada bidang xz dengan y = 0,
adalah 2x + 3z = 12, sedangkan berkas garis pada bidang yz dengan x = 0, adalah 4y + 3z = 12.

Langkah Ketiga, Sketsa Permukaan. Dengan menggunakan hasil-hasil dari langkah pertama dan
kedua, sketsa permukaan bidang 2x + 4y + 3z = 12, diperlihatkan pada gambar berikut ini.
z

(0,0,4)

4y + 3z = 12
2x + 3z = 12
2x + 4y + 3z = 12

(0,3,0)
0 y

2x + 4y = 12
(6,0,0)

x
Gambar 1.1.5.

Contoh 1.3.
Buatlah sketsa grafik permukaan bidang, 4y + 3z = 12

4
Penyelesaian :
Karena persamaan bidang tidak memuat variabel x, maka sketsa bidang ini tidak memotong
sumbu x, sehingga grafiknya sejajar dengan sumbu x. Selanjutnya dengan cara yang sama seperti
sebelumnya, bidangnya memotong sumbu y di titik (0,3,0), dan sumbu z di titik (0,0,4). Dengan
membuat sektsa berkas garis yang sejajar dengan garis 4y + 3z = 12 pada bidang yz, sketsa
bidang adalah sebagai berikut.
z
(0,0,4)

4y + 3z = 12

(0,3,0)
y

x
Gambar 1.1.6.

Contoh 1.4.
Buatlah sketsa grafik permukaan bidang, 2x + 3z = 12
Penyelesaian :
Karena persamaan bidang tidak memuat variabel y, maka sketsa bidang ini tidak memotong
sumbu y, sehingga grafiknya sejajar dengan sumbu y. Selanjutnya dengan cara yang sama seperti
sebelumnya bidangnya memotong sumbu x dan sumbu z masing-masing di titik (6,0,0) dan di
titik (0,0,4). Sedangkan sketsa permukaan bidang di oktan pertama dibuat dengan cara membuat
berkas-berkas garis yang sejajar dengan garis 4y + 3z = 12 pada bidang yz, sketsa bidang adalah
sebagai berikut.
z

(0,0,4)

2x + 3z = 12

(6,0,0)

x
Gambar 1.1.7.

5
Bola

Bola adalah himpunan titik-titik yang berjarak sama terhadap suatu titik tetap. Titik tetap ini
selanjutnya disebut dengan titik pusat bola, dan ukuran jarak yang sama disebut dengan jari-jari
bola. Persamaan umum bola dengan pusat (a,b,c) dengan jari-jari r diberikan oleh,
2 2 2 2
(x – a) + (y – b) + (z – c) = r
Bilamana suku-suku pada persamaan bola diatas dijabarkan, dan dikelompokkan akan dihasilkan
persamaan derajad dua yang berbentuk,
2 2 2
x + y + z + Ax + By + Cz + D = 0.
2 2 2 2
dimana, A = –2a, B = –2b, C = –2a, dan D = a + b + c – r
Dari persamaan umum diatas, pusat bolanya diberikan oleh,
1 1 1
a = − A, b = − B, c = − C,
2 2 2
dan jari-jarinya diberikan oleh :
1
r= A 2 + B 2 + C 2 − 4D
2
Sebagai ilustrasi, suatu bola dengan pusat (0,0,0) dan jari-jarinya adalah r = a, grafiknya adalah
sebagai berikut.
z

(0,0,a)
2 2 2 2
x +y +z =a

0 (0,a,0)
O y

Gambar 1.8.

Contoh 1.5.
Carilah pusat dan jari-jari bola dengan persaman,
2 2 2
x + y + z – 8x – 12y + 10z + 52 = 0.
Penyelesaian :
Cara Pertama. Dari persamaan umum bola diperoleh :
A = –8, B = –12, C = 10, dan D = 52
Dengan menggunakan rumus diatas, pusat dan jari-jari bola diberikan oleh :
1 1 1
a = − (–8) = 4, b = − (–12), c = − (10),
2 2 2

6
dan jari-jarinya adalah,
1
r= (−8) 2 + (−12) 2 + (10) 2 − 4(52) = 5
2
Cara Kedua, Tulislah persamaan umum bola diats menjadi,
2 2 2
(x – 8x + ... ) + (y – 12y + ... ) + (z + 10z + ... ) = –52
2 2 2
(x – 8x + 16) + (y – 12y + 36) + (z + 10z + 25) = –52 + 16 + 36 + 25
2 2 2
(x – 4) + (y – 6) + (z + 5) = 25
Dari persamaan terakhir ini, maka pusat bolanya (4,6,–5) dan jari-jarinya adalah r = 5.

Contoh 1.6.
Carilah persamaan bola dengan titik-titik ujung dari salah satu diameternya adalah A(9,8,4) dan
B(1,0,8).
Penyelesaian :
Pusat bola adalah titik tengah segmen garis dari salah satu diameter bola. Misalkan P(x0,y0,z0)
adalah titik tengah segmen garis tersebut, maka pusat bolanya adalah :
9 +1 8+0 4+8
x0 = = 5, y0 = = 4, dan z0 = =6
2 2 2
Jadi titik pusat bolanya adalah (5,4,6). Sehingga jari-jari bolanya adalah :
r = (9 − 5) 2 + (8 − 4) 2 + (4 − 6) 2 = 36 = 6
Dengan demikian persamaan bolanya diberikan oleh :
2 2 2
(x – 5) + (y – 4) + (z – 6) = 36

Soal-soal Latihan 1.1.

Dalam soal-soal nomor 1 s/d 10 berikut ini, buatlah sketsa grafik dalam ruang dimensi tiga dari
persamaan bidang yang diberikan :

1. 2x + 6y + 4z = 12 2. 3x – 4y + 3z = 12
3. x + 3y – 2z = 6 4. –2x + 2y + z = 6
5. x + 3y = 12 6. 2x + z = 6
7. y + 2z = 8 8. 2x + 3y = 12
9. 3y + 2z = 12 10. 3x – 4y = 12

Dalam soal-soal nomor 11 s/d 16 berikut ini, tulislah persamaan bolanya bilamana diberikan
pusat dan jari-jarinya :

11. P(3,2,1) dan r = 4 12. P(2,1,–3) dan r = 5


13. P(–1,2,3) dan r = 6 14. P(3,–1 ,–4) dan r = 2
15. P(–2,1,5) dan r = 5 16. P(–2,–3,–5) dan r = 4

Dalam soal nomor 17 s/d 21, dengan proses pelengkap kuadrat tentukanlah pusat dan jari-jari
dari persamaan bola berikut ini,

7
2 2 2
17. x + y + z – 12x + 6y – 8z + 4 = 0
2 2 2
18. x + y + z + 6x – 8y – 10z + 25 = 0
2 2 2
19. x + y + z – 8x – 4y + 22z + 77 = 0
2 2 2
20. 4x + 4y + 4z + 8x – 8y – 16z – 12 = 0
2 2 2
21. 4x + 4y + 4z – 16x + 24y – 32z – 28 = 0

Dalam soal nomor 22 s/d 24, carilah persamaan bola yang mempunyai ruas garis atau diameter
yang dihubungkan oleh dua buah titik berikut ini :

22. A(2,4,8) dan B(6,10,16)


23. A(–1,3,–4) dan B(10,5,8)
24. A(5,–3 ,2) dan B(7,–5,4)

25. Carilah dua persamaan bola yang bersinggungan, dimana pusat-pusatnya adalah (–3,2,1) dan
(5,6,–3) dengan jari-jarinya sama.

8
1.2. VEKTOR DALAM RUANG DIMENSI DUA DAN TIGA
Vektor adalah segmen garis yang berarah. Titik awal disebut dengan pangkal vektor, dan titik
akhirnya disebut dengan ujung vektor, sedangkan panjangnya disebut dengan panjang vektor.
Lihat gambar 1.2.1. Notasi vektor biasanya digunakan huruf kecil seperti u, v, w, z

Gambar 1.2.1.

Titik awal vektor disebut pangkal vektor dan titik akhir vektor disebut dengan ujung vektor.
Dalam ruang dimensi dua, suatu vektor mempunyai dua komponen, dan ditulis dengan :

u = <u1, u2> = u1i + u2 j

dimana i = <1,0> dan j = <0,1> adalah vektor-vektor satuan baku yang searah dengan sumbu-
sumbu koordinat x dan y. Seperti terlihat pada gambar 1.2.2. berikut ini

j = <0,1>

x
i = <1.0>
Gambar 1.2.2

Sedangkan sebuah vektor u dalam ruang dimensi tiga mempunyai tiga buah komponen, dan
ditulis dengan :
u = <u1, u2, u3> = u1i + u2 j + u3k

dimana i = <1, 0, 0>, j = <0, 1, 0>, dan k = <0, 0, 1> adalah vektor-vektor satuan baku yang
searah dengan sumbu-sumbu koordinat x, y dan z. Lihat gambar 1.2.3.

u3 k
u

u2 j
y
u1i
x
Gambar 1.2.3.

9
Selanjutnya bilamana u menyatakan vektor yang menghubungkan dua buah titik P(x0, y0, z0) dan
Q(x1, y1, z1), maka komponen-komponen vektornya diberikan oleh :

u = <x1 – x0, y1 – y0, z1 – z0>


= (x1 – x0)i + (y1 – y0)j + (z1 – x0)k

Selanjutnya dimana P(x,y,z) adalah sembarang titik dalam ruang dimensi tiga, vektor posisi r
diberikan oleh,
r = OP = <x, y, z> = xi + yj + z k

Sebagai ilustrasi, misalkan P(4,3,2) suatu titik dalam ruang dimensi tiga, maka vektor posisinya
diberikan oleh,

r0 = 4i + 3j + 2k

Panjang Vektor

Andaikan u = <u1, u2, u3>, sembarang vektor dalam ruang dimensi tiga, panjang vektor u, ditulis
dengan | u | didefinisikan oleh,

|u|= u12 + u 22 + u 32

Selanjutnya, misalkan u adalah suatu vektor yang menghubungkan dua buah titik P(x0, y0, z0)
dan Q(x1, y1, z1), maka jarak vektornya diberikan oleh :

|u|= ( x1 − x 0 ) 2 + ( y1 − y 0 ) 2 + ( z1 − z 0 ) 2

Rumus diatas berlaku juga untuk vektor u dalam ruang dimensi dua. Misalkan u = <u1, u2>,
sembarang vektor dalam ruang dimensi dua, yang menghubungkan dua buah titik P(x0, y0) dan
Q(x1, y1), maka jarak vektornya diberikan oleh :

|u|= u12 + u 22 = ( x1 − x 0 ) 2 + ( y1 − y 0 ) 2

Contoh 1.2.1.
Misalkan diberikan P(2,1,4), Q(4,5,3), dan R(6,3,7). Tentukanlah komponen dan panjang vektor-
vektor u, v, dan w, bilamana u = PQ , v = QR , dan w = PR .
Pnyelesaian :
u = <4 – 2, 5 – 1, 3 – 4> = <2, 4, –1> = 2i + 4j – k
v = <6 – 4, 3 – 5, 7 – 3> = <2, –2 , 3> = 2i – 2j + 3k
w = <6 – 2, 3 – 1, 7 – 4> = <4, 2, 3> = 4i + 2j + 3k

10
Sedangkan panjang vektornya diberikan oleh :
|u|= (2) 2 + (4) 2 + (−1) 2 = 21

|v|= (2) 2 + (−2) 2 + (3) 2 = 24

|w|= (4) 2 + (2) 2 + (3) 2 = 29

Operasi Aljabar Vektor

Andaikan, u = <u1, u2, u3> dan v = <v1, v2, v3>, adalah vektor-vektor tak nol. Bilamana k adalah
konstanta tak nol, maka berlaku :

1). Perkalian dengan skalar, didefinisikan :


k u = k<u1, u2, u3> = <ku1, ku2, ku3>

2). Perjumlahan dua vektor didefinisikan,


u + v = <u1, u2, u3> + <v1, v2, v3>
= <u1 + v1, u2 + v2, u3 + u3>
Operasi diatas berlaku pula untuk vektor dalam ruang dimensi dua.

Contoh 1.2.2.
Misalkan diberikan u = <4,5, –2,> = 4i + 5j – 2k , dan v = <3,–5,7> = 3i – 5j + 7k . Hitunglah
(a). 3u + 4v (b). 4u – 3v, (c). 4v – 3u
Penyelesaian :
(a). 3u + 4v = 3(4i + 5j – 2k ) + 4(3i – 5j + 7k)
= (12i + 15j – 6k) + (12i – 20j + 28k) = 24 i – 5j + 22k .
(b). 4u – 3v = 4(4i + 5j – 2k ) – 3(3i – 5j + 7k)
= (16i + 20j – 8k) + (–9i + 15j – 21k) = 7i + 35j – 29k
(c). 4v – 2u = 4(3i – 5j + 7k ) – 2(4i + 5j – 2k )
= (12i – 20j + 28k) + (–8i – 10j + 4k) = 4i – 30j + 32k .

Hasil Kali Titik

Andaikan, u = <u1, u2, u3> = u1 i+ u2 j + u3 k, dan v = <v1, v2, v3> = v1i + v2 j + v3 k adalah
vektor-vektor tak nol. Hasil kali titik u dan v dinyatakan (u • v)didefinisikan oleh :

u • v = u1v1 + u2v2 + u3v3,

Bilamana θ merupakan sudut antara u dan v, hasil kali titik u dan v didefinisikan pula oleh,

u • v = | u | | v | cosθ

11
Selanjutnya dengan menggunakan rumus diatas, besarnya sudut θ diberikan oleh,
u•v
cos θ =
| u || v |
dimana berlaku :
0 < θ < π/2, bilamana u • v > 0,
θ = π/2, bilamana u • v = 0,
π/2 < θ < π, bilamana u • v < 0

Dari definisi diatas terlihat bahwa jika u dan v adalah vektor-vektor tak nol, hasil kali titik dua
vektor ortogonal adalah 0. Demikian pula, dengan menggunakan definisi diatas, untuk vektor
satuan baku i, j, dan k berlaku :

i•i = 1, j•j = 1, k • k = 1,
i•j = j • i = 0, i• k = k •i = 0, j•k = k•j = 0,

Contoh 1.2.2.
Carilah sudut PQR, jika P(7,1,3), Q(5,3,2), dan R(6,5,4).
Penyelesaian :
Perhatikanlah sketsa berikut ini.
R Ambil, u = QP , dan v = QR . Dari
sketsa disamping, terlihat bahwa sudut
u terlihat bahwa sudut PQR adalah sudut
θ antara u dan v.
Q v P

Gambar 1.2.3.

Selanjutnya, mengingat :
u = QP = <7 – 5, 1 – 3, 3 – 2> = <2, –2, 1>
v = QR = <8 – 5, 5 – 3, 8 – 2> = <3, 2, 6>
dengan demikian dihasilkan :
u•v (2)(3) + (−2)(2) + (1)(6)
cosθ = =
| u || v | (2) 2 + (−2) 2 + (1) 2 (3) 2 + (2) 2 + (6) 2
6−4+6 8
= = = 0,38095
9 49 21
dan, θ = 67,61
o

Contoh 1.2.3.
Nyatakanlah, u = <9,6,3> sebagai jumlahan suatu vektor m yang sejajar dengan v = <2,–1,2>
dan suatu vektor n yang tegak lurus v.

12
Penyelesaian :
Perhatikanlah sketsa pada gambar berikut ini.

Dari sketsa disamping, vektor yang dicari adalah


n u vektor m dan n, dimana u = m + n

θ v
m

Gambar 1.2.4.

Langkah pertama, mengitung m. Andaikan θ sudut antara u dan v, dan m sejajar dengan v, dan
m proyeksi u pada v. Dengan demikian,
v v
m=|m| = | u| cos θ
|v| |v|
u•v v
= |u|
| u || v | | v |
(u • v)v
=
| u |2
Sehingga dengan rumus proyeksi diatas dihasilkan,

(9)(2) + (6)(−1) + (3)(2)


m = <2,–1,2>
(2) 2 + (−1) 2 + (2) 2
18
= <2,–1,2>
9
= <4,–2,4>
Jadi suatu vektor m yang sejajar dengan v adalah <4,–2,4>

Langkah kedua, mengitung n.


Dari sketsa pada gambar 1.2.4, terlihat bahwa u = m + n, dengan demikian :
n =u–m
= <9, 6, 3> – <4, –2, 4>
= <5, 8, –1>
Jadi vektor n yang tegak lurus v adalah <5, 8, –1>

Sudut dan Kosinus Arah

Misalkan diberikan vektor tak nol u dalam ruang dimensi tiga. Sudut-sudut antara vektor tak nol
u, dengan vektor-vektor satuan baku i, j, dan k disebut dengan sudut-sudut arah vektor u. Sudut-
sudut ini ditunjukkan oleh α, β, dan γ. Lihat gambar.

13
z

u = u1i + u2 j + u3 k,

γ
u
0 β y
α

x
Gambar 1.2.5.

Misalkan u = u1i + u2 j + u3 k,, menurut hasil kali titik besarnya sudut-sudutnya diberikan oleh,
u•i u
cos α = = 1
| u || i | | u |
u• j u
cos β = = 2
| u || j | | u |
u•k u
cos γ = = 3
| u || k | |u|
Rumus diatas dikenal dengan rumus sudut dan cosinus arah vektor dalam ruang dimensi tiga.
2 2 2
Dengan menggunakan hasil diatas, maka diperoleh pula hubungan, cos α + cos β + cos γ = 1

Contoh 1.2.4.
Carilah besarnya sudut-sudut arah vektor dari,
u = 8i – 6 j + 10 k,
Penyelesaian :
Karena, |u| = 64 + 36 + 100 = 200 = 10 2 , dan u1 = 8, u2 = –6, u3 = 10, maka dengan
rumus diatas diperoleh :
8 2 2 o
cos α = = dan α = 55,55
10 2 5
−6 3 2 o
cos β = =– dan β = 115,10
10 2 10
10 2 o
cos γ = = dan γ = 45
10 2 2

Contoh 1.2.5.
o o
Sebuah vektor u, panjangnya 6 satuan yang mempunyai α = 60 dan β = 135 , carilah u.
Penyelesaian :
Langkah pertama, menentukan γ.
2 2 2
Dengan menggunakan kesamaan, cos α + cos β + cos γ = 1, maka dihasilkan :

14
2 2 2 2 o 2 o
cos γ = 1 – cos α – cos β = 1 – cos 60 – cos 135
2
⎛1⎞
2 ⎛ 2⎞ 1 1 1
= 1 – ⎜ ⎟ – ⎜⎜ ⎟ = 1–
⎟ – =
⎝2⎠ ⎝ 2 ⎠ 4 2 4
o o
Jadi, cos γ = ± 0,5 dan γ = 60 atau γ = 120 .
o
Langkah kedua menentukan u. Karena vektor u, panjangnya 6 satuan, dan diketahui α = 60 , dan
o o
β = 135 , serta untuk γ = 60 , maka udiberikan oleh :
o o o
u = 6<cos α, cos β, cos γ> = 6<cos 60 , cos 135 , cos 60 >
1 2 1
= 6< , – , > = <3, –3 2 , 3>
2 2 2
o o o
Demikian pula untuk α = 60 , β = 135 , dan γ = 120 dihasilkan vektor :
o o o
u = 6<cos α, cos β, cos γ> = 6<cos 60 , cos 135 , cos 120 >
1 2 1
= 6< , – ,– > = <3, –3 2 , –3>
2 2 2
o o
Jadi vektor yang panjangnya 6 satuan yang mempunyai α = 60 dan β = 135 , adalah vektor :
u = <3, –3 2 , 3> atau u = <3, –3 2 , –3>

Hasil Kali Silang Dua Vektor

Hasil kali silang vektor u = <u1, u2, u3> dan v = <v1, v2, v3> dinyatakan (u × v) didefinisikan
oleh :

i j k
u × v = u1 u 2 u3
v1 v2 v3
u2 u3 u u3 u u2
= i– 1 j+ 1 k
v2 v3 v1 v3 v1 v 2
= (u2 v3 – u3 v3)i – (u1 v3 – u3 v1)j + (u1 v2 – u2 v1)k

Dari definisi diatas, jelas terlihat bahwa hasil kali silang vektor adalah vektor, sedangkan hasil
kali titik adalah sklar. Selanjutnya dengan menerapkan rumus diatas, untuk vektor-vektor satuan
baku i, j dan k dihasilkan :

i×i=0 j×j=0 k×k = 0


i×j=k j × k= i k×i =j
i × k = –j j × i = -k k × j = -i

15
Tafsiran Geometri (u × v)

Secara geometri, tafsiran dari (u × v) sangat bermafaat dalam praktek. Untuk itu perhatikanlah
sketsa berikut ini.

(u × v)

u v
Gambar 1.2.6.

Misalkan u dan v adalah vektor-vektor tak nol dalam ruang dimensi tiga, dan θ adalah sudut
antara u dan v. Dari sketsa diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa :
1). u • (u × v) = 0, artinya adalah (u × v) tegak lurus terhadap vektor u;
2). v • (u × v) = 0, artinya adalah (u × v) tegak lurus terhadap vektor v; dan
3). | u × v| = | u| |v| sin θ

Contoh 1.2.6.
Misalkan u = <1, 3, –2>, dan v = <–2, 1, 3>. Hitunglah : (u × v) ; (v × u); u • (u × v), dan v •
(u × v).
Penyelesaian :
i j k
3 −2 1 −2 1 3
u × v = 1 3 −2 = i– j+ k
2 3 −2 3 −2 1
−2 1 3
= 11i + j + 7 k = <11, 1, 7>

i j k
1 3 −2 3 −2 1
v × u = −2 1 3 = i– j+ k
3 −2 1 −2 1 3
1 3 −2
= –11i – j – 7 k = – <11, 1, 7>
Jadi,

u • (u × v) = <1, 3, –2> • <11, 1, 7> = 11 + 3 – 14 = 0

v • (u × v) = <–2, 1, 3> • <–11, –1 , –7> = 22 – 1 – 21 = 0

16
Contoh 1.2.7.
Hitunglah luas segitiga dengan titik-titik sudut P(2, 3, 1), Q(4, 2, 3) dan R(6, 7, 8)
Penyelesaian :
Perhatikanlah sketsa pada gambar berikut ini.

R
Dari sketsa disamping, ambil u = PQ , v = PR
v t dengan θ sudut antara u dan v. Ambil pula t
sebagai tinggi segitiga, dimana :
θ
t = | v | sin θ
P u Q
Gambar 1.2.7.

Mengingat luas segitiga adalah,


1 1 1
A(R) = | u | t = | u || v | sin θ = | u × v|
2 2 2
Selanjutnya, karena :
u = PQ = <4 – 2, 2 – 3, 3 – 1> = <2, –1, 2>
v = PR = <6 – 2, 7 – 3, 8 – 1> = <4, 4, 7>

i j k
u × v = 2 −1 2
4 4 7
−1 2 2 2 2 −1
= i– j+ k
4 7 4 7 4 4
= –15i – 6j + 12 k
Maka,
| u × v| = (−15) 2 + (−6) 2 + (12) 2
= 225 + 36 + 144 = 445

Jadi luas segitiganya adalah:


1 1
A(R) = | u × v| = 445
2 2

Bidang Dalam Ruang Ruang

Dalam awal pembahasan secara tidak langsung telah dibicarakan masalah bidang dalam dimensi
tiga. Cara yang paling mudah untuk menjelaskan masalah bidang adalah dengan pendekatan
vektoris. Salah satu manfaat dari hasil kali titik dan hasil kali silang vektor adalah untuk
menentukan persamaan bidang dalam ruang dimensi tiga. Untuk itu perhatikanlah sketsa pada
gambar 1.2.8. berikut ini.

17
n Andaikanlah, n = <A, B, C>
adalah vektor tak nol yang tegak
lurus bidang, dan disebut dengan
Q
vektor normal bidang.
P Andaikan pula P(x0, y0, z0) adalah
Gambar 1.2.8 suatu titik tetap dalam bidang.

Himpunan semua titik-titik Q(x,y,z) yang memenuhi, PQ • n = 0 adalah suatu bidang yang
melalui titik tetap P, dan tegak lurus normal bidang n. Karena,
n = <A, B, C>,
dan
PQ = <x – x0, y – y0, z – z0>,
maka bidang PQ • n = 0 dapat dituliskan menjadi :

<x – x0, y – y0, z – z0> • <A, B, C> = 0


atau,
A(x – x0) + B(y – y0) + C(z – z0) = 0

Persamaan bidang ini seringkali dituliskan dalam bentuk persamaan linier, yaitu :

Ax + By + Cz = D
dimana D = Ax0 + By0 + Cz0.

Contoh 1.2.8.
Carilah persamaan bidang yang melalui titik (2,–4,3) dan tegak lurus dengan vektor n= <4,2,5>.
Selanjutnya carilah jarak tegak lurus dari titik (5,3,5) ke bidang tersebut.
Penyelesaian :
Menentukan persamaan bidang. Dari masalah diatas diketahui, P(x0, y0, z0) = (2,–4,3) dan n =
<A, B, C> = <5,3,5>. Dengan menerapkan rumus diatas, diperoleh persamaan bidangnya yaitu :

4(x – 2) + 2(y + 4) + 5(z – 3) = 0,


atau,
4x + 2y + 5z = 15

Jarak tegak lurus dari titik terhadap bidang. Misalkan L menyatakan jarak tegak lurus dari suatu
titik (x1, y1, z1) terhadap bidang, Ax + By + Cz = D , maka jarak L dihitung dengan menggunakan
rumus,
| Ax1 + By1 + Cz1 − D |
L=
A2 + B 2 + C 2

Maka jarak L dari titik (5,3,5) terhadap bidang, 4x + 2y + 5z = 15 diberikan oleh,

18
| (4)(5) + (2)(3) + (5)(5) − 15 | 36
L = =
(4) 2 + (2) 2 + (5) 2 3 5

12 5
=
5

Contoh 1.2.9.
Carilah persamaan bidang yang melalui titik-titik P(5,2,3), Q(7,5,4) dan R(4,4,5). Selanjutnya
carilah sudut antara bidang terseut dengan bidang 2x + 4y – 3z = 20.
Penyelesaian.
Menentukan persamaan bidang. Dengan pendekatan vektor, persamaan bidang ditentukan oleh
sebuah titik tetap dan sebuah vektor normal. Oleh karena itu perhatikanlah sketsa tersebut
dibawah ini.
n
Dari sketsa seperti tergambar ambil
sebagai P(5,2,3) titik tetap.
Sedangkan untuk menentukan
P normal bidangnya, dari sketsa
terlihat pula bahwa n tegak lurus
Q
Gambar 1.2.9. R PQ dan n tegak lurus PR .

Sehingga dengan menggunakan hasil kali silang vektor normal bidangnya diberikan oleh
n = PQ × PR
Mengingat,
PQ = <7 – 5, 5 – 2, 4 – 3> = <2, 3, 1>
PR = <4 – 5, 4 – 2, 5 – 3> = <–1, 2, 2>
maka normal bidangnya diberikan oleh :
i j k
n = 2 3 1
−1 2 2
3 1 2 1 2 3
= i– j+ k
2 2 −1 2 −1 2
= 4i – 5j + 7k

Dengan mengambil sebagai titik tetap adalah (5,2,3) dengan noemal bidang n = 4i – 5j + 7k, jadi
persamaan bidangnya diberikan oleh,

4(x – 5) – 5(y – 2) + 7(z – 3) = 0


atau,
4x – 5y + 7z = 31

19
Sudat Antara Bidang

Untuk memudahkan menentukan sudut antara dua bidang, perhatikanlah sketsa pada gambar
1.2.10. berikut ini.

n Andaikan n adalah normal bidang


Bidang 1
pertama, dan m adalah normal
bidang kedua, maka sudut antara
m dua bidang ditentukan oleh sudut
Bidang 2
antara dua vektor normal bidangnya.
Gambar 1.2.10.

Sedangkan sudut antara dua buah vektor diberikan oleh definisi dari pengertian hasil kali titik.
Oleh karena itu untuk bidang pertama ambil bidang dengan persamaaan, 4x – 5y + 7z = 31
sehingga diperoleh n = <4, –5, 7> dan untuk bidang kedua ambil bidang 2x + 4y – 3z = 20
diperoleh m = <2, 4,–3>. Dengan demikian,

n•m
cos θ =
| n || m |
< 4,−5,7 > • < 2.,4,−3 >
=
16 + 25 + 49 4 + 16 + 9
− 33
=
3 10 29
= – 0,6459
sehingga diperoleh, θ = 130,24 . Dengan demikian sudut antara dua bidang yang berpotongan
o

diberikan adalah θ = 130,24 .


o

Garis Dalam Ruang Dimensi Tiga

Kurva dalam ruang dimensi tiga adalah suatu persamaan yang ditentukan oleh tiga persamaan
parameter, yaitu :

x = x(t), y = y(t), dan z = z(t).

dalam notasi vektor, kurva dalam ruang dimensi tiga diberikan oleh persamaan,

r (t ) = x(t)i + y(t)j + z(t)k

Bentuk kurva dalam ruang dimensi tiga yang paling sederhana adalah garis lurus. Sebuah Garis
lurus dalam ruang dimensi tiga ditentukan oleh sebuah titik tetap (x0,y0,z0), dan sebuah vektor
taknol v = <a,b,c> sebagai vektor arah garis. Lihat gambar 1.2.11.

20
Dari gambar 1.2.11. misalkan l yang melalui sebuah titik tetap P(x0,y0,z0) dengan vektor arahnya
v = <a,b,c>, maka persamaan garis l adalah himpunan semua titik-titik Q(x,y,z) sedemikian rupa
sehingga,

PQ = tv
Lihat gambar
z

Q(x,y,z)

P(x0,y0,z0) v= <a,b,c>

Gambar 1.2.11.

Karena,
PQ = <x – x0,y – y0,z – z0>,
dan,
v = <a,b,c>
maka persamaan garis l dalam bentuk vektor diberikan oleh :

<x,y,z> = <x0,y0, z0> + t<a,b,c>

Dari bentuk vektor diatas, dengan kesamaan vektor persamaan garis dapat dinyatakan dalam
bentuk parameter yaitu :

x = x0 + at ; y = y0 + bt ; z = z0 + ct

Bilamana komponen vektor v = <a,b,c> adalah tak nol artinya a ≠ 0, b ≠ 0, dan c ≠ 0, maka
persamaan garis l dapat pula dinyatakan dalam bentuk persamaan simetris, yaitu :

x − x0 y − y0 z − z0
= =
a b c

Contoh 1.2.10.
Carilah persamaan garis yang melalui titik P(2,–1, 3) dan Q(4,3,6).
Penyelesaian :
Untuk menentukan persamaan garis diatas yang harus dicari adalah sebuah titik tetap dan vektor
arah garis. Oleh karena itu perhatikanah sketsa pada gambar 1.2.12 berikut ini.

21
z
Menentukan titik tetap
Q(4,3,6) Dari sketsa disamping, ambil sebagai
titik tetap adalah P(2,–1,3), dengan
P(2,–1,3) demikian x0 = 2, y0 = –1, z0 = 3.

O Menentukan vektor arah


y Dari sketsa, ambil sebagai vektor
arah garis adalah vektor yang
x searah dengan vektor PQ .

Gambar 1.2.12

Dengan demikian, v = PQ = <4 – 2,3 – (–1),6 – 3> = <2,4,3>. Berdasarkan hasil ini, maka
persamaan garis yang melalui titik P(2,–1, 3) dan Q(4,3,6) diberikan oleh :

x = 2 + 2t ; y = –1 + 4t ; z =3 + 3t ;
atau,
x−2 y +1 z − 3
= =
2 4 3

Contoh 1.2.11.
Carilah persamaan garis simetri perpotongan bidang, 2x + 4y + z = 16, dan x + 3y + 2z = 17.
Penyelesaian.
Andaikan P dan Q adalah dua buah titik pada garis l yang merupakan perpotongan kedua bidang.
Ambilah P dan Q adalah titik tembus garis l pada bidang yz dan xz. Lihat gambar 1.2.13.

z Dari sketsa, untuk tititik P


ambilah P sebagai titik pada bidang
P(x1,y1,z1) yz, atau x = 0. Sehingga untuk x = 0
l diperoleh,
Q(x0,y0,z0) 4x + z = 16
3y + 2z = 17
y Dengan menyelesaikan secara
simultan dihasilkan y = 3, dan z = 4
x Sehingga titik P diberikan oleh,
P(0,3,4).
Gambar 1.2.13

Selanjutnya untuk titik Q, ambilah Q sebagai sembarang titik pada bidang xz atau y = 0. Untuk y
= 0, diperoleh :
2x + z = 16
x + 2z = 17

22
Dengan menyelesaikan secara simultan kedua persamaan dihasilkan x = 5, dan z = 6. Sehingga
titik Q diberikan oleh (5,0,6). Berdasarkan hasil diatas, ambilah sebagai titik tetap garis l adalah
(0,3,4), dan vektor arah garisnya adalah :
v = PQ = <5 – 0,0 – 3,6 – 4> = <5,–3,2>.
Dengan demikian persamaan garis simetris yang merupakan perpotongan kedua bidang adalah,
x y−3 z−4
= =
5 −3 2

Contoh 1.2.12.
Suatu garis l terletak pada bidang 3x – 2y + 4z = 16, melalui (2,1,3) dan tegak lurus dengan garis,
x−2 y+3 z −3
= =
5 −2 3
Carilah persamaan garis l.

Penyelesaian :
Karena garis l melalui titik P(2,1,3), maka untuk menentukan persamaan garisnya, yang harus
dicari adalah vektor arah garis l. Untuk itu perhatikanlah sketsa berikut ini.

n Dari sketsa, andaikan v vektor arah


l garis l, dan m vektor arah garis g,
v dan n normal bidang. Karena garis
l terletak pada bidang maka, v tegak
m lurus dengan n. Demikian pula garis
l tegak lurus garis g, maka berlaku
g pula v tegak lurus dengan m.

Gambar 1.2.114

Maka menurut hasil kali silang vektor, dihasilkan, v = n × m. Mengingat n = <3,–2,4> dan m =
<5,–2,3> maka vektor arah garisnya diberikan oleh :
i j k
v = n × m = 3 −2 4
5 −2 3
−2 4 3 4 3 −2
= i– j+ k
−2 3 5 3 5 −2
= 2i + 11j + 4k = <2,11,4>

Jadi persamaan garis l yang melalui (2,1,3) dengan vektor arah <2,11,4> diberikan oleh,

x−2 y −1 z − 4
= =
2 11 4

23
Contoh 1.2.13.
Carilah persamaan suatu bidang yang melalui titik P(3,2,5) dan memuat garis, x = 4 + 2t, y = 6 –
3t, z = 2 + 4t.
Penyelesaian :
Karena bidang yang ditanyakan melalui titik P(3,2,5), sehingga untuk menentukan persamaan
bidangnya, yang harus dicari adalah vektor normal bidang. Perhatikanlah sketsa berikut ini.

n Dari sketsa, andaikan n vektor


l normal bidang, dan v adalah vektor
v arah garis l , dimana garis l terletak
Q pada bidang maka, n tegak lurus v.
P Misalkan pula Q sembarang titik
pada garis l, maka berlaku pula
Gambar 1.2.15 QP tegak lurus dengan n.

Maka menurut hasil kali silang vektor, dihasilkan, n = v× QP . Dari garis l diperoleh vektor
arahnya adalah v = <2,–3,4>. Sedangkan untuk menentukan QP , ambil Q titik pada garis l
dengan t = 0, sehingga diperoleh Q(4,6,2). Dengan demikian vektor QP diberikan oleh,
QP = <3 – 4,2 – 6,5 – 2> = <–1,–4,3>.
Karena, v = <2,–3,4> dan QP = <–1,–4,3>, maka normal bidangnya diberikan oleh :
i j k
−3 4 2 4 2 −3
n = v × QP = 2 − 3 4 = i– j+ k
−4 3 −1 3 −1 − 4
−1 − 4 3
= 7i – 10j – 11k = <7,–10,–11>

Dengan demikian persamaan bidang yang ditanyakan yakni persamaan bidang yang melalui titik
P(3,2,5) dan memuat garis, x = 4 + 2t, y = 6 – 3t, z = 2 + 4t, diberikan oleh,

7(x – 3) – 10(y – 2) – 11(z – 5) = 0


atau,
7x – 10y – 11z + 56 = 0

Soal-soal Latihan 1.2.

Diberikan, u = <4, 2, – 4>, v = <7, 2, 1> dan w = <2, – 6, 3>. Dengan menggunakan vektor
tersebut hitunglah :
1. a. u • (v + w) ; b. u • (v × w) ; c. (u × v) × (u × w)
2. a. u × (v + w) ; b. v • (u × w) ; c. (u × v) × (v × w)
3. a. v × (u + w) ; b. w • (u × v) ; c. (u × w) × (v × w)
4. a. w × (u + v) ; b. (u× v) • (u×w) ; c. (u(v • w)) × (v × w)
5. a. u × (w – v) ; b. (u × v) • (v × w) ; c. (v(v • w)) × (u × w)

24
Diberikan P(1,3, 5), Q(4, 2, 2) dan R(6, 7, 8) dan ambil u = PQ , v = PR , dan w = QR .
selanjutnya, hitunglah :
6. a. u × (v + w) ; b. v • (u × w) ; c. (u × v) × (v × w)
7. a. v × (u – w) ; b. w • (u × v) ; c. (u × w) × (v × w)
8. a. w × (u + v) ; b. (u × v) • (u ×w) ; c. (u(v • w)) × (v × w)
9. a. u × (w – v) ; b. (u × v) • (v × w) ; c. (v(v • w)) × (u × w)
10. a. v × (w – u) ; b. (u × w) • (v × w) ; c. (v(u • w)) × (v × w)

11. Diberikan suatu segitiga dengan titik-titik sudut P(4, 3, 1), Q(4, 2, 3) dan R(6, 8, 5).
Hitunglah besarnya sudut-sudut dalam segitiga, dan luas segitiga tersebut.
12. Hitunglah luas jajaran genjang dengan titik-titik sudut (0, 1, 2) ; (2, 2, 2), (–1, 3,3) ; (6, 3, 5)
13. Carilah sudut-sudut arah dari vektor berikut ini u = <2, – 4, 6>
14. Carilah sudut-sudut arah dari vektor berikut ini u = <3, 2, – 1>
o o
15. Jika α = 60 , dan β = 150 , adalah sudut-sudut arah vektor u,carilah dua nilai vektor tersebut.
o o
16. Jika α = 45 , dan β = 120 , adalah sudut-sudut arah vektor u,carilah dua nilai vektor tersebut.
17. Bilamana u = <3, – 1, √5>, dan v= <2, 4, –√5>, nyatakanlah u sebagai jumlahan vektor m
yang sejajar v dan suatu vektor nyang tegak lurus dengan v.
18. Bilamana u = <1, – 3, – 2>, dan v = <2, 5, –2>, nyatakanlah u sebagai jumlahan vektor m
yang sejajar v dan suatu vektor n yang tegak lurus dengan v.
19. Carilah vektor u dan v, sedemikian rupa sehingga u tegak lurus v dan masing-masing tegak
lurus dengan w = <–4, 2, 5>
20. Carilah vektor u dan v, sedemikian rupa sehingga u tegak lurus v dan masing-masing tegak
lurus dengan w = <2, –4 , 3>
21. Dengan menggunakan vektor, carilah besarnya sudut antara bidang 2x + y – 2z = 10, dan
bidang 6x – 2y + 3z = 4
22. Carilah persamaan bidang yang melalui tiga buah titik (2,4,2) ; (3,6,1) dan (4,1,7)
23. Carilah persamaan bidang yang memuat titik (2,4,3) dan (5,3,6) dan tegak lurus dengan
bidang 2x + y + 4z = 12
24. Carilah persamaan bidang yang melalui (4,6,5), tegak lurus dengan bidang x + 2y – 2z = 10,
dan 2x – 3y + 3z = 8
25. Carilah jarak antara bidang 2x + 2y – z = 10 ke titik (3,2,5)
26. Carilah persamaan bidang yang memuat garis, x = 3 + 4t, y = 2 + 3t, z = 1 + 2t dan tegak
lurus dengan bidang 2x – y + 3z = 10.
27. Carilah persamaan bidang yang memuat garis, x = 2 + 3t, y = 3 – 2t, z = 1 + 4t dan sejajar
dengan garis, x = 3 + 5t, y = 3 + 3t, z = 2 – t.
28. Carilah persamaan garis yang merupakan perpotongan bidang, x – 3y + 2z = 10, dan bidang
3x + 2y – 3z = 10.
29. Carilah persamaan garis yang melalui titik (3,2,6) dan sejajar dengan garis yang merupakan
perpotongan bidang, 2x + 3y – z = 9, dan x + 2y – 3z = 10.
30. Carilah persamaan bidang yang memuat kedua garis sejajar, x = 3 – 5t, y = –3 + 2t, z = –4 + t
dan x = 2 + 5t, y = 1 – 2t , z = – 2 – t.
31. Carilah titik potong kedua garis berikut ini, dan tentukan pula persamaan bidangnya.
x = 2t, y = 2 + 3t, z = 1 + t dan x = t, y = 2 – t , z = 1 + t.
32. Carilah jarak antara kedua garis yang bersilangan berikut ini, yaitu :
x = 3 + 2t, y = 2 – 2t, z = 4 + 3t dan x = 2 – t, y = 1 + 3t , z = 3 – 2t.

25
1.3. PERMUKAAN BENDA DALAM RUANG DIMENSI TIGA
Permukaan benda adalah merupakan grafik suatu persamaan tiga variabel dalam ruang
dimensi tiga. Grafik yang paling sederhana adalah suatu bidang yang persamaannya diberikan
oleh persamaan linier,

Ax + By + Cz = D.

Grafik permukaan bidang dalam ruang dimensi tiga termasuk dalam persamaan derajad satu.
Sebuah benda pejal berikutnya yang sederhana dalam ruang dimensi tiga adalah suatu benda
dimana permukaannya dibatasi oleh beberapa permukaan bidang datar. Biasanya untuk
membuat sketsa benda pejal digunakan sistem koordinat kartesius.

Contoh 1.3.1.
Buatlah sketsa benda pejal yang dibatasi oleh permukaan bidang, 2x + 2y + z = 12, y = x, z =
0, dan x = 0.
Penyelessaian :
Langkah pertama, dibuat suatu sketsa permukaan bidang 2x + 2y + z = 12 pada oktan
pertama. Selanjutnya pada bidang z = 0, buatlah pula berkas garis y = x. Lihat sketsa pada
gambar 1.3.1.
z z
12
2x + 2y + z = 12
2x + 2y + z = 12

y=x

6 y 0 6 y

6
y=x y=x
x x

Gambar 1.3.1. Gambar 1.3.2.

Langkah berikutnya, buatlah perpotongan antara y = x dan 2x + 2y + z = 12. Berkas


perpotongan ini dibuat dengan menghubungkan titik potong dari garis y = x, dan 2x + 2y =
12, pada z = 0, dengan titik potong bidang 2x + 2y + z = 12. dengan sumbu z. Dengan
memperhatikan batas-batas dari bidang-bidang tersebut benda pejal yang ditanyakan
diperlihatkan pada gambar 1.3.2.

Contoh 1.3.2.
Buatlah sketsa grafik permukaan benda pejal di oktan pertama yang dibatasi oleh permukaan
bidang-bidang : y + z = 4, x + y = 2, y = x, z = 0, dan x = 0.
Penyelesaian :
Seperti pada contoh sebelumnya pada bidang yz (x = 0), buatlah sketsa grafik berkas garis y +
z = 4, dan pada bidang xy (z = 0), buatlah pula berkas-berkas garis x + y = 2, dan y = x.
Karena bidang x + y = 2, dan y = x, tidak memuat variabel y ,maka grafik kedua permukaa
tidak memotong sumbu z . Demikian pula untuk bidang, y + z = 4, grafiknya tidak memtong
sumbu x. Lihatlah sketsa pada gambar 1.3.3., berikut ini.

26
z z

4 y+z=4
y+z=4

y=x

0 4 y 0 2 y

y=x
2 x+y=2

y=x
x x
Gambar 1.3.3. Gambar 1.3.4.

Langkah berikutnya, hubungkanlah berkas-berkas garis yang merupakan perpotongan


bidang-bidangnya. Dengan memperhatikan batasan-batasan yang diberikan, benda pejal yang
ditanyakan diperlihatkan pada gambar 1.3.4.

Persamaan Kuadratik.
Selain grafik permukaan bidang, pada bagian sebelumnya telah dibahas pula mengenai grafik
dari bola, dimana persamaannya diberikan oleh,
2 2 2 2
(x – a) + (y – b) + (z – c) = r .

Persamaan bola diatas merupakan sala satu bentuk dari persamaan kuadratik. Persamaan
kuadratik derajad dua, pada umumnya diberikan oleh persamaan,
2 2 2
Ax + By + Cz + Dxy + Exz + Fyz + Gx + Hy + Iz + J = 0

yang disebut juga dengan persamaan kuadratik.

Pada dasarnya tidak semua persamaan kuadratik dapat dibuat sketsa grafiknya dalam ruang
dimensi tiga. Bentuk yang paling sederhana dari persaman kudratik antara lain adalah bola,
silnder, elipsoida, paraboloida, dan kerucut. Dari persamaan kuadratik ini dapat
dikembangkan untuk membuat sketsa suatu benda pejal yang dibatasi oleh beberapa
persamaan kuadratik atau gabungan dari persamaan linier dan persamaan kuadratik. Berikut
ini adalah beberapa contoh-contoh kasus persamaan kuadatik yang banyak aplikasinya, dan
cukup mudah untuk membuat sketsa grafiknya.

S i l i n d e r.
Silinder adalah suatu permukaan yang dihasilkan oleh suatu garis yang bergerak sepanjang
lengkungan bidang yang diketahui sedemikian sehingga garis itu selalu sejajar dengan suatu

27
garis tetap yang tidak terletak pada lengkungan tersebut. Garis yang bergerak sepanjang
lengkungan tersebut disebut dengan pembangkit silinder, dan lengkungan bidang tersebut
disebut dengan garis arah silinder, dan garis tetapnya disebut dengan sumbu putar. Jika
lengkungan bidang diputar mengelilingi garis tetap sebagai sumbu putar, maka
permukaannya yang dihasilkan adalah benda putar.

Bentuk silinder yang paling sederhana dan banyak penggunaannya adalah silinder lingkaran
tegak, dimana sumbu putarnya sejajar dengan sumbu z daan lengkungannya berbentuk
lingkaran. Persamaan silinder lingakaran tegak tersebut adalah,
2 2 2
(x – a) + (y – b) = r .

Sebagai ilustrasi dari silinder lingkaran tegak diatas, misalnya adalah silinder dengan garis
arahnya lingkaran dalam bidang xy, yaitu :
2 2 2
x +y =a

Bilamana garis pembangkitnya adalah sumbu z, sketsa grafik silinder lingkaran tegak tersebut
diberikan pada gambar 1.3.5., berikut.

2 2 2
x x +y =a
Gambar 1.3.5.

Sebagai ilustrasi berikutnya, adalah silinder paraboloida (paraboloida) seperti ditunjukkan


2
pada gambar 1.3.6. yakni paraboloida y = x .

0 y

2
x y=x

Gambar 1.3.6.
2
Garis arah paraboloida adalah parabola y = x . dalam bidang xy, dan garis lukisnnya sejajar
dengan sumbu z.

28
Selanjutnya, seperti pada contoh sebelumnya suatu benda pejal benda mungkin dibatasi leh
beberapa permukaan bidang. Berikut ini adalah beberapa contoh benda pejal yang memuat
beberapa permukaan silinder atau paraboloida.

Contoh 1.3.3.
2 2
Buatlah sketsa benda pejal, sisi-sisinya dibatasi oleh silinder lingkaran tegak, x + y = 2y,
dan dibawah permukaan bidang, y + z = 4, dan diatas bidang xy.
Penyelesaian :
2 2
Pada bidang xy, buatlah sketsa lingkaran x + y = 2y, dan selanjutnya buatlah sketsa silinder
lingkaran tegak dengan garis lukisnya searah sumbu z. Selanjutnya pada bidang yz buatlah
sketsa garis y + z = 4, dan pada sistem koordinat yang sama buatlah sketsa permukaan bidang
x + y = 4. Lihat gambar 1.3.7.

z z

Berkas perpotongan
silinder dan bidang

y+z=4 y+z=4

2 y 2 y

2 2 2 2
x + y = 2y x + y = 2y
x x

Gambar 1.3.7. Gambar 1.3.8.

Langkah berikutnya buatlah berkas kurva perpotongan bidang dan silinder. Perpotongan
antara bidang dan silinder lingkaran tegak menghasilkan elips seperti terlihat pada Gambar
1.3.8. Dengan memperhatikan batasan-batasan permukaannya, benda pejal yang ditanyakan
diperlihatkan pada gambar 1.3.8.

Contoh 1.3.4.
Buatlah sketsa benda pejal di oktan pertama, dimana sisi-sisinya dibatasi oleh permukaan
2 2
silinder paraboloida, x = y , dan y = 2 – y , permukaan bidang y + z = 4, dibatasi pula oleh
bidang xy (z = 0) dan yz (x = 0).
Penyelesaian :
2 2
Pada bidang xy, buatlah sketsa parabola, x = y dan y = 2 – x , dan selanjutnya buatlah sketsa
silinder paraboloida dimana garis lukisnya sejajar dengan grafik parabola yang searah sumbu
z. Selanjutnya pada bidang yz buatlah sketsa berkas garis, y + z = 4, dan pada sistem
koordinat yang sama buatlah pula sketsa permukaan bidang x + y = 4. Lihat gambar 1.3.9.

29
z z

Berkas perpotongan
silinder dan bidang

y+z=4 y+z=4

2 y 2 y
0 0
2 2 2
y= x y=x x=2–y
2
x=2–y
x x
Gambar 1.3.9. Gambar 1.3.10
2 2
Pada bidang z = 2, buatlah sketsa parabola y = x dan x = 2 – y . Langkah berikutnya buatlah
sketsa berkas-berkas perpotongan bidang dan paraboloida. Dengan menghubungkan kurva-
kurva tersebut, sketsa benda yang dimaksud diperlihatkan pada gambar 1.3.10.

E l i p s o i d a.
Elipsoida merupakan salah satu bentuk dari persamaan kuadratik. Persamaan dari elipsoida
diberikan oleh,
x2 y2 z2
+ + =1
a2 b2 c2
dimana a , b dan c adalah konstanta positif. Sketsa grafik dari elipsoida diatas diprlihatkan
pada gambar 1.3.11. berikut ini.

x2 y2 z2
+ + =1
a2 b2 c2

b y
a

x –c

Gambar 1.3.11.

Bilamana ketiga konstanta a, b, dan c bernilai sama yaitu a, elipsoida diatas adalah bola
dimana persamaannya diberikan oleh :
x2 y2 z2 2 2 2 2
+ + = 1 atau x + y + z = a
2 2 2
a a a

30
Dalam ruang dimensi tiga, permukaannya adalah merupakan bola dengan pusat (0,0,0)
denganjari-jari a .

Selanjutnya bilamana z = 0, dari elipsoida akan diperoleh penampang elipsoida pada bidang
xy, yaitu elips, dimana persamaannya diberikan oleh,
x2 y2
+ =1
a2 b2
Dalam ruang dimensi tiga, permukaannya adalah merupakan silinder elipsoida yang sejajar
dengan sumbu z. Bilamana kedua konstanta a, dan b bernilai sama yaitu a, penampang elips
diatas menjadi lingkaran lingkaran pada bidang xy dengan pusat (0,0) dan jari-jari a, dimana
persamaannya diberikan oleh :
x2 y2 2 2 2
+ = 1 atau x + y = a
a2 a2
2 2 2
Dalam ruang dimensi tiga, permukaan dari x + y = a adalah merupakan silinder lingkaran
tegak yang sejajar dengan sumbu z.
Demikian pula bilamana y = 0, dari elipsoida akan diperoleh penampang elipsoida pada
bidang xz, yaitu elips, dimana persamaannya diberikan oleh,
x2 z2
+ =1
a2 c2
Dalam ruang dimensi tiga, permukaannya adalah merupakan silinder elipsoida yang sejajar
dengan sumbu y. Bilamana kedua konstanta a, dan c bernilai sama yaitu c, penampang elips
diatas menjadi lingkaran lingkaran pada bidang xz dengan pusat (0,0) dan jari-jari c, dimana
persamaannya diberikan oleh :
x2 z2 2 2 2
+ = 1 atau x + z = c
2 2
c c
2 2 2
Dalam ruang dimensi tiga, permukaan dari x + z = c adalah merupakan silinder lingkaran
tegak yang sejajar dengan sumbu y.

Demikian pula bilamana x = 0, dari elipsoida akan diperoleh penampang elipsoida pada
bidang yz, yaitu elips, dimana persamaannya diberikan oleh,
y2 z2
+ =1
b2 c2
Dalam ruang dimensi tiga, permukaannya adalah merupakan silinder elipsoida yang sejajar
dengan sumbu x. Bilamana kedua konstanta, b dan c bernilai sama yaitu b, penampang elips
diatas menjadi lingkaran lingkaran pada bidang yz dengan pusat (0,0) dan jari-jari b, dimana
persamaannya diberikan oleh :
y2 z2 2 2 2
+ = 1 atau y + z = b
b2 b2
2 2 2
Dalam ruang dimensi tiga, permukaan dari, y + z = b adalah merupakan silinder lingkaran
tegak yang sejajar dengan sumbu x.

Contoh 1.3.5.
Buatlah sketsa grafik persamaan kuadratik,
2 2 2
x + 4y + 9z = 36
Bilamana z = 0, buatlah pula sketsa grafiknya dalam ruang dimenasi tiga.

31
Penyelesaian :
2 2 2
Dari persamaan kuadratik, x + 4y + 9z = 36, bagilah kedua rus dengan 36 sehingga
diperoleh,
x2 y2 z2
+ + =1
36 9 4
Persamaan terakhir ini adalah persamaan umum elipsoida, maka diperoleh a = 6, b = 3 dan c
= 2. Untuk membuat sketsanya, buatlah penampang elipsoida pada bidang xy, xz, dan yz.
Titik-titik potong elipsoida dengan sumbu-sumbu koordinat adalah (6,0,0), (–6,0,0), (0,3,0),
(0,–3,0), (0,0,2) dan (0,0,–2). Sketsa elipsoida tersebut diperlihatkan pada gambar 1.3.12.

x2 z2 x2 y2 z2
+ =1 + + =1
36 4 36 9 4
(0,3,0)
y
(6,0,0)
y2 z2 x2 y2
+ =1 + =1
9 4 36 9

x (0,0,–2)

Gambar 1.3.12.
x2 y2
Selanjutnya bilamana z = 0, diperoleh suatu persamaan, + = 1, dimana sketsa
36 9
grafiknya adalah silinder elipsoida yang searah sumbu z dengan garis lukisnya elips pada
bidang xy. Sedangkan sketsa grafiknya adalah sebagai berikut.
z

x2 y2
+ =1
36 9

3
y

x 6
Gambar 1.3.13.

Peraboloida Eliptik

Persamaan paraboloida eliptik dengan sumbu z sebagai sumbu paraboloida diberikan oleh,
x2 y2 z
+ =
2 2 c
a b
dimana a dan b positif dan c ≠ 0. Bilamana c > 0 parabola eliptik terbuka keatas, dan bila c <
0 parabola eliptik terbuka kebawah. Sketsa parabola eliptik terlihat pada gambar 1.3.14 dan
1.3.15.

32
z z
2 2
x y k
+ =
a2 b2 c

y 0 y
0

x x
Gambar 1.3.14 Gambar 1.3.15.

Bilamana a = b, penampang parabola pada z = k adalah suatu lingkaran. Selanjutnya dengan


mensubstitusikan z = k pada persamaan paraboloida eliptik dihasilkan,
x2 y2
k
+ =
2 2
c
a b
Bilamana k = 0, persamaan diatas menjadi,
x2 y2 2 2 2 2
+ = 0, atau b x + a y = 0
2 2
a b
dimana persamaan ini menyatakan titik asal. Bilamana k > 0, persamaan tersebut menyatakan
suatu elips pada bidang z = k. Lihat gambar 1.3.14.

Selanjutnya, bilamana disubstitusikan x = k, pada persamaan paraboloida eliptik diperoleh :


k2 y2 z
+ =
2 2 c
a b
Bilamana k = 0, dari persamaan ini diperoleh,
y2 z
= ,
2 c
b
dimana persamaan ini menyatakan penampang parabola pada bidang x = 0. Sedangkan
bilamana k > 0 persamaan diatas menyatakan suatu parabola pada bidang x = k. Lihat gambar
1.3.16
z

y2 z
=
2 c
b

y
0
x
Gambar 1.3.16.

33
Demikian pula, bilamana y = k disubstitusikan pada persamaan parabola eliptik dihasilkan,
x2 k2z
+ =
2 c 2
a b
Bilamana k = 0, dari persamaan ini diperoleh,
x2 z
= ,
2 c
a
diamana persamaan ini menyatakan penampang parabola pada bidang y = 0. Sedangkan
bilamana k > 0 persamaan diatas menyatakan suatu parabola pada bidang y = k.

Contoh 1.3.6.
2 2
Buatlah sketsa benda pejal yang dibatasi oleh permukaan paraboloida, z = x + y , silinder
2 2 2 2
lingkaran tegak, x + y = 4, dan x = z = x + y 0 (bidang xy).
Penyelesaian :
2 2
Pada sistem koordinat yang sama buatlah sketsa paraboloida, z = x + y , dan silinder
2 2 2 2
lingkaran tegak, x + y = 4, sedangkan pada bidang xy buatlah sketsa lingkaran, x + y = 4.
Lihat sketsa pada gambar 1.3.17.
z
2 2
x +y =4
z =4

2 2
z=x +y
0 y
2 2
x +y =4
x

Gambar 1.3.17.
2 2 2 2
Perpotongan antara paraboloida, z = x + y , dan silinder lingkaran tegak, x + y = 4 adalah
2 2
sebuah lingkaran, x + y pada bidang z = 4. Sketsa benda yang ditanyakan diperlihatkan pada
gambar 1.3.17.

Kerucut Eliptik
Kerucut eliptik dengan sumbu z sebagai sumbu kerucut persamaannya diberikan oleh :
x2 y2 z2
+ =
a2 b2 c2
dimana a, b, dan c positip. Bilamana a = b, dari persamaan kerucut eliptik diperoleh kerucut
lingkaran, dan persamaannya diberikan oleh :

34
x2 y2 z2
+ =
a2 a2 c2
atau,
2 2 2 2
x +y =d z
a2
dimana d = . Sketsa kerucut, khususnya yang terletak diatas bidang xy diperlihatkan pada
c2
gambar 1.3.18.
z

z =k
x2 y2 z2
+ =
a2 b2 c2

0 y

x
Gambar 1.3.18.

Perpotongan kecurut dengan bidang z = 0 adalah titik asal. Sedangkan perpotongan kerucut
dengan bidang z = k adalah suatu elips pada bidang z = k, dimana persamaannya diberikan
oleh :
x2 y2 k2
+ =
a2 b2 c2
Bilamana kerucut dipotong oleh bidang x = 0, atau y = 0 masing-masing akan menghasilkan
berkas garis x = k, dan y = k. Sedangkan bilamana kerucut dipotong oleh bidang x = k, atau y
= k masing-masing akan menghasilkan suatu hiperbola, persamaannya masing-masing adalah
k2 y2 z2
+ =
a2 b2 c2
atau,
x2 k2 z2
+ =
a2 b2 c2

Contoh 1.3.7.
2 2 2
Buatlah sketsa grafik persamaan kuadratik, 4x + 9y = 36z . Jelaskan pula perpotangan
grafik dengan bidang x = 0, y = 0, z = 1, x = 3, dan y = 2.
Penyelesaian :
Dengan memagi kedua ruas pada persamaan diatas dengan 36, dihasilkan persamaan :
x2 y2 2
+ = z
9 4
Persamaan diatas adalah suatu kerucut dengan sumbunya adalah sumbu z, adapun sketsa
grafik yang terletak diatas bidang xy diperlihatkan pada gambar 1.3.19.

35
z

2 2
4x + 9y = 36, dan z = 1
x2 y2 2
+ = z
9 4

0 y

x
Gambar 1.3.19.

Perpotongan permukaan kerucut dengan bidang x = 0 adalah garis, y = ±2z, dan perpotongan
dengan bidang y = 0 adalah garis y = ±3z. Sedangkan penampang permukaan pada bidang z =
k dengan k ≠ 0, adalah elips dengan persamaan :
x2 y2 2
+ =k
9 4
Sedangkan penampang permukaan pada bidang x = k dan y = k dengan k ≠ 0, masing-masing
adalah hiperbola dengan persamaan :
k2 y2 2 x2 k2 2
+ = z dan + =z
9 4 9 4

Contoh 1.3.8.
2 2 2
Buatlah sketsa benda pejal yang dibatasi oleh permukaan bola, x + y + z = 8, dan diatas
2 2 2
kerucut : x + y = z yang terletak diatas bidang xy.
Penyelesaian :
2 2 2 2 2 2
Pada sumbu koordinat yang sama buatlah sketsa bola, x + y + z = 8 dan kerucut x + y = z
seperti terlihat pada gambar 1.3.20.
z

2 2 2
x +y +z =8

2 2 2
x+ y = z
0 y
x
Gambar 1.3.20.
2 2 2 2 2 2
Sedangkan perpotongan antara bola, x + y + z = 8 dan kerucut x + y = z adalah suatu
2 2 2
lingkaran, x + y = 4 pada bidang z = 2, seperti yang terlihat pada gambar 1.3.20.

36
Soal-soal Latihan 1.3.
Dalam soal-soal latihan berikut ini, buatlah sketsa benda pejal yang dibatasi oleh :
1. Bidang-bidang, x = z, y = z, x = 2, y = 0, dan z = 0.
2. Bidang-bidang, y = z, x + y = 4, y = x, z = 0, x = 0.
3. Bidang-bidang, 2x + y + z = 6, y = x, y = 0, dan z = 0.
4. Bidang-bidang, z = 2 + y, x + 2y = 6, y = x, y = 0, dan z = 0.
5. Bidang-bidang, z = 3 + z, 2x + y = 6, x = y, y = 0, dan z = 0.
6. Dibawah permukaan bidang, x + z = 4, dan dibatasi oleh permukaan silinder paraboloida,
2
y = x , bidang-bidang x = 2, z = 0, dan y = 0.
2
7. Dibawah permukaan paraboloida, 4z = y , dibatasi oleh bidang-bidang, x = y, y = 4, x = 0,
dan z = 0.
2
8. Dibawah permukaan paraboloida, 4z = 16 – y , dibatasi oleh bidang-bidang, x + y = 4, y
= x, x = 0, dan z = 0.
2 2
9. Dibawah permukaan paraboloida, 2z = 4 – x , dibatasi oleh paraboloida y = x , dan
bidang-bidang, y = x, y = 0, z = 0.
2 2
10. Dibawah permukaan bidang, x + y = 4, dan dibatasi oleh silinder lingkaran tegak, x + y
= 4x, dan diatas bidang xy.
2 2 2 2 2
11. Dibawah permukaan bola, x + y + z = 16, didalam silinder lingkaran tegak, x + y = 9,
dan diatas bidang xy.
2 2 2 2 2
12. Dibawah permukaan bola, x + y + z = 4z, dan diatas paraboloida, z = x + y .
2 2 2 2 2
13. Dibawah permukaan bola, x + y + z = 4, dan diatas paraboloida, z = x + y .
2 2 2 2 2
14. Dibawah permukaan bola, x + y + z = 16, dan di dalam silinder lingkaran tegak, x + y
= 4y, dan diatas bidang xy.
2 2 2 2 2
15. Dibawah kerucut, x + y = z , di dalam siliner lingkaran tegak, x + y = 4x, dan diatas
bidang xy.

37
1.4. KOORDINAT SILINDER DAN KOORDINAT BOLA

Dalam ruang dimensi tiga, selain sistem koordinat kartesius untuk mempresentasikan titik
P(x,y,z), sering pula digunakan sistem koordinat kartesius atau sistem koordinat bola. Kedua
sistem koordinat ini memegang peranan penting dalam penghitungan integral lipat.

1.4.1. Sistem Koordinat Silinder

Sistem koordinat silinder ini biasanya digunakan bilamana suatu benda pejal simetris
terhadap suatu garis tertentu. Suatu titik P pada ruang dimensi tiga, dalam koordinat silinder
dipresentasikan dengan pasangan bilangan (r,,z) dimana r dan , adalah koordinat kutub
yang merupakan proyeksi P pada bidang kutub, dan z adalah jarak tetap.

Hubungan antara P(x,y,z) dalam sistem koordinat kartesius dengan P(r,,z) dalam sistem
koordinat silinder pada ruang dimensi tiga diberikan oleh transformasi :
2 2 2
x = r cos  x +y =r
y = r sin  tan  = y/x, dengan x  0
z=z
Hubungan kedua sistem koordinat tersebut digambarkan pada gambar 1.4.1. berikut ini.

P(x,y,z) P(r,,z)

y

x
Gambar 1.4.1.

Sebagai ilustrasi penggunaan sistem koordinat silinder perhatikanlah contoh-contoh soal


berikut ini.

Contoh 1.4.1.
Carilah persamaan dalam koordinat silinder dari persamaan kuadratik berikut ini,dan buatlah
2 2
pula sketsa grafiknya, dari silinder lingkaran tegak, x + y = 4y, 0  z  4.
Penyelesaian :
2 2
Sketsa silinder lingkaran tegak, x + y = 4y, 0  z  4 pada sistem koordinat kartesius
diberikan oleh gambar 1.4.2 berikut ini.

38
z Dari sketsa gambar 1.4.2, pada bidang
xy perpotongan silinder lingkaran
2 2
tegak, x + y = 4y dan z = 0 adalah
adalah suatu lingkaran dengan pusat
(0,2,0), dan jari-jari = 2. Dari sketsa
terlihat pula bahwa silinder simetris
terhadap sumbu z. Oleh karena itu,
silinder lingkaran tegak,
2 2 2 2
x + y = 4y x + y = 4y, 0  z  4
y
x dalam sistem koordiant silinder
diberikan oleh
Gambar 1.4.2.
2 2
x + y = 4y
2
r = 4r sin 
r = 4 sin 
Dari persamaan, r = 4 sin , variabel z tidak tergantung pada variabel r dan . Sedangkan
variabel r tergantung pada , besarnya sudut  terletak pada 0    . Dengan demikian
dalam sistem silinder, silinder lingkaran tegak :
2 2
x + y = 4y, 0  z  4

dapat pula dituliskan menjadi :

0  z  4, 0  r  4 sin , dan 0    .

Contoh 1.4.2.
2 2
Buatlah sketsa benda pejal yang dibtasi oleh paraboloida, z = x + y dan z = 4. Nyatakanlah
batasan benda pejal tersebut dalam koordinat silinder.
Penyelesaian :
2 2
Dalam koordinat kartesius sketsa benda pejal yang dibatasi oleh z = x + y dan bidang z = 4
diperlihatkan pada gambar 1.4.3. berikut ini.
z Dari sketsa pada gambar 1.4.3.,
2 2
perpotongan paraboloida, z = x + y
z=4 dan bidang z = 4 adalah lingkaran
2 2
x + y = 4 pada bidang z = 4.
Dari sketsa terlihat pula bahwa
2 2 2 2
z=x +y paraboloida, z = x + y simetris
terhadap sumbu z. Oleh karena itu
dalam sistem koordinat silinder
y paraaboloida dinyatakan oleh :
x
2 2 2
Gambar 1.4.3 z = x + y atau z = r
2
Dari persamaan, z = r , variabel z tergantung pada r dan z = 4, sehingga batasan untuk z
2 2
adalah : r  z  4. Untuk menentukan batasan dari r dan , dapat diperoleh dari lingkaran, x

39
2 2 2 2 2 2
+ y = 4, atau 0  x + y  4. Karena x + y = r , dengan demikian batasan untuk r dan 
adalah 0  r  2, dan 0    2. Jadi batasan benda pejal dalam koordinat silinder adalah :
2
r  z  4 ; 0  r  2 ; 0    2.

Contoh 1.4.3.
Carilah persamaannya dalam koordinat kartesius dari permukaan yang persamaannya
2 2
diberikan dalam koordinat silinder berikut ini z = r cos 2, dan r = 4 cos .
Penyelesaian :
2 2 2 2
Karena, cos 2 = cos  – sin , tulislah persamaan z = r cos 2, menjadi :
2 2 2 2 2 2 2 2
z = r (cos  – sin ) = r cos  – r sin .
Mengingat, r cos  = x dan r sin  = y, maka dengan mensubsitusikan persamaan ini pada
persamaan diatas dihasilkan :
2 2 2 2 2 2
z = x – y atau x + z = y
2 2 2
Dalam persamaan kuadratik, x + z = y dalam koordinat kartesius grafiknya dalah kerucut
lingkaran tegak dengan sumbu x sebagai sumbu kerucut.

Sedangkan untuk menyatakan r = 4 cos  dalam koordinat kartesius, kalikanlah kedua rus
dengan r sehingga dihasilkan :
2
r = 4 r cos 
2 2 2 2
Mengingat, r = x + y dan r cos  = x, maka dari persamaan r = 4 r cos  diperoleh :
2 2 2 2
x + y = 4x, atau, (x – 2) + y = 4
Persamaan kuadratik ini sketsanya dalam koordinat kartesius adalah silinder lingkaran tegak
dengan pusat pada bidang xy adalah (2,0,0) dan jari-jarinya adalah 2.

Contoh 1.4.4.
Sebuah benda pejal diatas bidang xy dibatasi oleh, r = 4 sin , dan z = r. Nyatakanlah kedua
persamaan dalam koordinat kartesius, dan buatlah pula sketsa bendanya.
Penyelesaian :
Untuk persamaan, r = 4 sin , kalikanlah kedua rus dengan r sehingga diperoleh :
2
r = 4 r sin ,
2 2 2
Karena r = x + y dan r sin  = y, maka persamaan diatas dapat ditulis menjadi :
2 2 2 2
x + y = 4y, atau, x + (y – 2) = 4
2 2
Dalam koordinat kartesius, x + (y – 2) = 4 adalah silinder lingkaran tegak simetris terhadap
sumbu z. Pada bidang xy sketsanya adalah lingkaran pusat (0,2,0) dan jari-jarinya adalah 2.
z Sedangkan untuk persamaan z = r,
dalam koordinat kartesius kuadratkan
kedua ruas sehingga diperoleh :
2 2 2 2 2
z = r , atau x + y = z
Persamaan kuadratik ini dalam
koordinat kartesius menyatakan
kecurut, dimana sumbu kerucutnya
2 2 2
x +y =z sejajar dengan sumbu z. Sketsa benda
2 2
x + y = 4y pejal dari kedua permukaan tersebut
diperlihatkan pada Gambar 1.4.4
x
Gambar 1.4.4.

40
Sistem Koordinat Bola
Sistem koordinat bola banyak manfaatnya guna mempresentasikan atau menyederhanakan
persamaan suatu permukaan atau benda pejal bilamana grafiknya simetris terhadap suatu titik
tetap. Suatu titik P(x,y,z) pada koordinat kartesius dalam ruang dimensi tiga, dalam koordinat
bola dipresentasikan dengan pasangan bilangan (r,,). Benda-benda pejal yang
dipresentasikan dengan koordinat bola, misalnya adalah bola dan kerucut lingkaran tegak.

Misalkan P(x,y,z) adalah sembarang titik pada koordinat kartesius. Hubungan antara (x,y,z)
pada koordinat kartesius dengan (r,,) pada koordinat bola diberikan oleh transformasi :

x = r sin  cos 
2 2 2 2
x +y +z =r
y = r sin  sin  tan  = y/x, x  0
z = r cos  0    2, 0    

Dalam bentuk grafik hubungan kedua sistem koordinat tersebut digambarkan sebagai berikut
:
z

 P(x,y,z) ; (r,,)

r y

x
Gambar 1.4.5.

Sistem koordinay ini sering digunakan bilamana benda pejalnya berbentuk bola atau kerucut.
Untuk lebih jelasnya perhatikanlah contoh-contoh soal berikut ini.

Contoh 1.4.5.
Nyatakanlah grafik persamaan berikut ini dalam bentuk koordinta bola,
2 2
a. Paraboloida, z = x + y
2 2 2 2
b. Kerucut, x + y = k z
Penyelesaian :
2 2
Paraboloida. z = x + y
Dengan mensubsitusikan, x = r sin  cos , y = r sin  sin , dan z = r cos , pada
2 2
paraboloida, z = x + y dihasilkan :
2 2
x +y =z
r sin  cos  + r sin  sin  = r cos ,
2 2 2 2 2 2
2 2 2 2
r sin  (cos  + sin ) = r cos ,
2 2
r sin  = r cos ,
r = csc  cot ,
2 2 2 2
Sedangkan untuk kerucut, x + y = k z dengan substitusi yang sama dihasilkan :

41
r sin  cos  + r sin  sin  = k r cos ,
2 2 2 2 2 2 2 2 2
2 2 2 2 2 2 2
r sin  (cos  + sin ) = k r cos ,
2 2 2 2 2
r sin  = k r cos ,
2 2
tan  = k
 = , dengan  = arc tan k.
Sebagai ilustrasi bilamana, k = 1, maka dihasilkan  = /4, k = 3 maka dihasilkan  = /3.

Contoh 1.4.6.
Ubahlah persamaan berikut ini dalam koordinat kartesius dari : r sin  = 2, r = 2 tan , dan
r = 6 sin  cos  + 8 cos .
Penyelesaian:
Untuk, r sin  = 2, jika kedua ruas dikuadratkan dihasilkan :
2 2
r sin  = 4
2 2
r (1 – cos ) = 4
2 2 2
r – r cos  = 4
2 2 2 2 2 2 2
Dengan mengganti, r = x + y + z dan r cos  = z dihasilkan :
2 2 2 2
(x + y + z ) – z = 4
2 2
x +y =4

Persamaan ini pada koordinat kartesius dikenal sebagai persamaan silinder lingkaran tegak.
Dengan demikian grafik dari r sin  = 2, dalam koordinat kartesius adalah silinder lingkaran
tegak dengan pusat (0,0,0), jari-jari adalah 2, dan sumbu z sebagai sumbu silinder.

Sedangkan untuk r = 2 tan , tulislah persamaan ini menjadi :


sin 
r=2 , atau. r cos  = 2 sin 
cos 
Selanjutnya kalikanlah kedua ruas dengan r sin , sehingga dihasilkan :
2
r sin  cos  = 2 r sin  sin 
Karena, r = x 2  y 2  z 2 , r sin  cos  = x, dan r sin  sin  = y, maka diperoleh :
x x 2  y 2  z 2 = 2y

Sedangkan untuk, r = 6 sin  cos  + 8 cos  kalikanlah kedua ruas dengan r, sehingga
dihasilkan :
2
r = 6 r sin  cos  + 8 r cos .
2 2 2 2
Sekali lagi dengan mengganti, r = x + y + z , r sin  cos  = x, dan r cos  = z, maka
diperoleh :
2 2 2 2 2 2
x + y + z = 6x + 8z atau (x – 3) + y + (z – 4) = 25

Persamaan ini pada koordinat kartesius dikenal sebagai persamaan bola. Dengan demikian
grafik dari, r = 6 sin  cos  + 8 cos , dalam koordinat kartesius adalah bola dengan pusat
(3,0,4) dan jarijarinya adalah 5.

42
Contoh 1.4.7.
2 2 2 2 2 2
Sebuah benda pejal terletak diatas kerucut, x + y = z dan didalam bola, x + y + z = 4z.
Buatlah sketsa benda tersebut, dan nyatakanlah persamaannya dalam koodinat bola.
Penyelesaian :
z Dalam koordinat kartesius sketsa benda
2 2 2
x + y + z = 4z, r = 4 cos  pejal diatas kerucut dan didalam bola
diperlihatkan pada gambar 1.4.6. Bola
berpusat di (0,0,2) dengan jari-jarinya
adalah 2. Perpotongan bola dan kerucut
2 2 2
x +y =z  = /4 terjadi pada bidang z = 2.

y
x
Gambar 1.4.6

Dari sketsa pada gambar 1.4.6. terlihat bahwa benda pejal simetris terhadap titik pusat. Oleh
karena itu dalam koordinat bola kedua permukaan tersebut dinyatakan oleh :
2 2 2
Untuk bola, x + y + z = 4z. dituliskan menjadi :
2
r = 4 r cos 
r = 4 cos .
2 2 2
Untuk kerucut, z = x + y dituliskan menjadi :
2 2 2 2
r cos  = r sin 
2
tan  = 1
tan  = 1
 = /4

Soal-soal Latihan 1.4.


Untuk soal-soal 1 s/d 5, ubahlah persamaan-persamaan berikut ini dalam koordinat silinder.
2 2 2 2 2 2
1. x + y + 4z = 36 4. x + y = 4z
2 2 2 2 2
2. x + y = 4z 5. x + y + z = 4z.
2 2 2
3. x – y = 2z
Untuk soal-soal 6 s/d 10, ubahlah persamaan-persamaan berikut ini dalam koordinat bola.
2 2 2 2 2 2
6. x + y + z – 4y + 6z = 0 9. x + y = 3z
2 2 2 2
7. x + y = 2z. 10.x + y = 4y.
2 2 2
8. x + y + z – 6x = 0
Untuk soal-soal 11 s/d 15, carilah persamaan kartesius dari persamaan koordinat silinder, dan
sebutkan nama persamaannya.
2 2 3
11.r = 4 cos  14. z sin  = r
2 3
12. r cos 2 = z 15. r = 3 + 2 cos 
2
13. r cos 2 = z
Untuk soal-soal 16 s/d 20, carilah persamaan kartesius dari persamaan koordinat bola, dan
sebutkan nama persamaannya.
16. r sin  = 1 19. r = 2 cos 
17. r = sec  20.  = /3
18.  = /6

43
BAB II
TURUNAN PARSIAL

2.1. FUNGSI n VARIABEL


Definisi fungsi n variabel
Fungsi n variabel adalah aturan yang memadankan (menghubungkan) bilangan pasangan
berurut (x1, x2, ... , xn) dalam himpunan D dengan tepat satu blangan real w. Himpunan semua
bilangan (x1, x2, ... , xn) disebut dengan daerah asal (domain) f, dan himpunan semua bilangan
real w disebut dengan daerah hasil. Dari definisi tersebut, suatu fungsi n variabel
persamaannya diberikan oleh:

w = f(x1, x2, ... , xn)

Dari persamaan ini, variabel-variabel (x1, x2, ... , xn) disebut dengan variabel bebas, dan w
disebut dengan variabel tak bebas. Kejadian khusus, bilamana n = 2, diperoleh fungsi dengan
2
dua variabel bebas, dan daerah asalnya adalah himpunan titik-titik dalam bidang R .
Persamaan fungsi dua variabel diberikan oleh :

z = f(x,y)

dimana x dan y disebut dengan variabel bebas, dan z disebut dengan variabel tak bebas.
Sedangkan untuk n = 3, diperoleh fungsi tiga variabel persamaan fungsinya diberikan oleh :

w = f(x,y,z)

dimana x, y dan z disebut dengan variabel bebas, dan w disebut dengan variabel tak bebas.
Sebagai ilustrasi berikut ini contoh-contoh soal fungsi dua dan tiga variabel.

Contoh 2.1.1
Misalkan f fungsi dua variabel dari x dan y dimana persamaannya diberikan oleh:
f(x,y) = 5 + 4 x − x 2 − y 2
Tentukanah daerah asalah dan daerah fungsi f.
Penyelesaian :
Daerah asal. Mengingat persamaan fungsi f(x,y) = 5 + 4 x − x 2 − y 2 adalah persamaan
irrasional dibawah tanda akar, maka fungsi terdefinisi bilamana :
2 2
5 + 4x – x – y ≥ 0 y
2 2
9 – (x – 2) – y ≥ 0
2 2
(x – 2) + y ≤ 9
Dengan demikian daerah asal f adalah
2 2
himpunan : {(x,y) : (x – 2) + y ≤ 9}. x
Himpunan ini adalah titik-titik pada
bidang xy didalam lingkaran
2 2
(x – 2) + y ≤ 9. Lihat gambar 2.1.1. Gambar 2.1.1.

44
Daerah Hasil. Ambil z = f(x,y) maka diperoleh,

z= 5 + 4x − x 2 − y 2 = 9 − ( x − 2) 2 − y 2

2 2 2 2
Dari persamaan diatas, bila (x – 2) + y = 9 dihasilkan z = 0, dan bila (x – 2) + y = 0
diperoleh z = 3 yang merupakan nilai maksimum. Dengan demikian daerah hasilnya adalah
bilangan real [0.3].

Contoh 2.1.2.
Andaikan f adalah fungsi dua variabel dari x dan y yang didefinisikan oleh,
x 2 + 4 y 2 − 16
f(x,y) =
x
Tentukanlah daerah asal f, dan buatlah sketsa daerah asal f.
Penyelesaian :
Daerah asal. Dari definisi fungsi f terlihat 2 y
bahwa persamaan fungsinya adalah fungsi
rasional, dengan pembilang berbentuk akar 2
persamaan. Dengan demikian fungsi f ada
nilainya, jika daerah asal f adalah x ≠ 0, dan 4 x
2 2
x + 4y – 16 ≥ 0. Dengan demikian daerah
asal f adalah himpunan titik-titik :
2 2 2 2
{(x,y} : x + 4y ≥ 16 dan x ≠ 0} x + 4y = 16
Sedangkan sketsa daerah asalnya diberikan Gambar 2.1.2.
oleh gambar 2.1.2.

Contoh 2.1.3.
3 2 2 2
Bilamana f adalah fungsi yang didefinisikan oleh : f(x,y,z) = x + 4yz – x y
Hitunglah f(2,1,3) ; f(h,1,3) ; f(2,k,3) dan f(2,1,s)
Penyelesaian :
Dengan menggunakan persamaan fungsinya diperoleh :
3 2 2 2
f(2,1,3) = (2) + 4(1)(3) – (2) (1) = 40
3 2 2 2 3 2
f(h,1,3) = (h) + 4(1)(3) – (h) (1) = h – h + 36
3 2 2 2 2
f(2,k,3) = (2) + 4(k)(3) – (2) (k) = 8 + 36k – 4k
3 2 2 2
f(2,1,s) = (2) + 4(1)(s) – (2) (1) = 4 + 4s

Grafik Fungsi, f(x,y)


Secara geometri grafik fungsi yang relatif mudah dibuat adalah grafik fungsi dua variabel
dari x dan y. Grafik fungsi ini dibuat dengan menggunakan sistem koordinat dalam ruang.
Grafik fungsi dua variabel yang dimaksudkan disini adalah grafik fungsi, z = f(x,y). Grafik
fungsi ini biasanya menunjukkan suatu permukaan dimana daerah asal fungsi f adalah setiap
titik (x,y) pada bidang xy, dan daerah nilainya ditunjukkan oleh sumbu z. Dengan demikian
grafik fungsi f ditunjukkan oleh permukaan dengan persamaannya ditentukan oleh persamaan
tiga variabel x, y dan z, yang memanuhi persamaan, z = f(x,y).

45
Contoh 2.1.4.
Buatlah sketsa grafik fungsi,
f(x,y) = 12 – 4x – 3y
Penyelesaian : z
Andaikan, z = f(x,y), sehingga persamaan
fungsinya dapat ditulis menjadi :
z = 12 – 4x – 3y atau 4x + 3y + z = 12
Persamaan diatas dikenal dengan persamaan
bidang dalam ruang dimensi tiga. Dengan y
demikian grafik fungsi, f(x,y) = 12 – 4x – 3y
adalah permukaan bidang. Adapun sketsa x 4x + 3y + z = 12
grafiknya seperti terlihat pada gambar berikut ini. Gambar 2.1.3.

Contoh 2.1.5.
Buatlah sketsa grafik fungsi dari,
2 2
f(x,y) = x + (y – 2)
Penyelesaian :
Andaikan, z = f(x,y), sehingga persamaan fungsinya dapat ditulis menjadi :
2 2
z = x + (y – 2)
Persamaan diatas dikenal dengan persamaan z
paraboloida, sehingga grafik fungsinya adalah
merupakan permukaan paraboloida dalam
ruang dimensi tiga. Karena persamaan fungsi
2 2
f(x,y) merupakan polinomial derajad dua, z = x + (y – 2)
maka daerah asal fungsinya adalah himpunan y
semua titik dalam bidang xy, dan daerah 2
nilainya adalah z ≥ 0. Sketsa grafik fungsinya x
diberikan pada gambar 2.1.4. berikut ini. Gambar 2.1.4.

Contoh 2.1.6.
Buatlah sketsa grafik fungsi dari,
f(x,y) = 36 − x 2 − y 2
Penyelesaian :
Andaikan, z = f(x,y), sehingga persamaan fungsinya dapat ditulis menjadi :
z= 36 − x 2 − y 2
atau,
2 2 2
x + y + z = 36.

Karena fungsi f persamaan alakah persamaan dibawah tanda akar, maka daerah asal
fungsinya adalah himpunan titik-titk :
2 2
{(x,y): x + y ≤ 36},
dimana pada bidang xy persamaan ini adalah lingkaran dengan pusat (0,0) dan jari-jari 5. Dari
definisi fungsi f persamaannya dibawah tanda akar, maka nilai z selalu positif, sehingga
daerah nilai z adalah interval tertutup [0,6]. Selanjutnya untuk membuat sketsa grafiknya
kuadratkan kedua ruas pada persamaan,
z= 36 − x 2 − y 2 ,

46
sehingga dihasilkan :
2 2 2
x + y + z = 36 z
Persamaan terakhir ini adalah
persamaan bola, dengan pusat
2 2 2
(0,0,0) dan jari-jarinya 5. x + y + z = 36
Dengan demikian grafiknya 0 y
merupakan setengah bola diatas 4
bidang xy sebagaimana tergambar x
pada gambar 2.1.5. Gambar 2.1.5.

Peta Kontur
Sebagaimana telah disebutkan bahwa tidak semua fungsi f(x,y) dapat dibuat sketsa grafiknya.
Salah satu kendalanya adalah bahwa tidak semua fungsi tersebut dapat dibuat sketsa
grafiknya dalam ruang dimensi tiga, mengingat grafik fungsi dua variabel dapat dibuat
sketsnya apabila persamaan fungsinya melibatkan persaman yang sederhana, misalnya adalah
bola, kerucut, silinder lingkaran tegak, elipsoida, paraboloida maupun bidang. Pendekatan
lain yang cukup sederhana untuk memvisualisasikan fungsi dua variabel, namun banyak
manfaatnya adalah menyatakan grafik fungsi dalam ruang dimensi tiga dengan peta
topografik pada ruang dimensi dua. Peta-peta topografik demikian dikenal dengan peta
kontur.

Misalkan diberikan suatu fungsi dimana permukaannya diberikan oleh persamaan, z = f(x,y).
Bilamana permukaan z = f(x,y) dipotong oleh bidang z = k, dan kurva perpotongannya
diproyeksikan pada bidang xy, sihingga diperoleh himpunan kuva-kurva f(x,y) = k. Kurva-
kurva proyeksi dengan persamaan f(x,y) = k dinamakan kurva ketinggian (kontur) f(x,y) di z
= k. Sedangkan himpunan kurva-kurva kontur dinamakan dengan peta kontur. Untuk lebih
jelasnya perhatikanlah contoh-contoh berikut ini.

Contoh 2.1.7.
Misalkan diberikan fungsi dengan persamaan,
2 2
f(x,y) = x + 4y .
Gambarkanlah sketsa grafik fungsi f dan peta kontur f di z = 4, z = 16, dan z = 36.
Penyelesian.
Ambil, z = f(x,y), sehingga persamaan z
fungsinya dapat ditulis menjadi :
2 2
z = x + 4y
2 2
Persamaan diatas dikenal dengan z = x + 4y
persamaan paraboloida. Grafik
fungsinya diperlihatkan pada
gambar 2.1.6.
y
x
Gambar 2.1.6..

Sedangkan untuk membuat peta konturnya, buatlah kurva-kurva ketinggian yang berpadanan
2 2 2 2 2 2
dengan z = 4, dan x + 4y = 4, z = 16, dan x + 4y = 16, z = 36, dan x + 4y = 36. Dengan
2 2
membuat sketsa kurva-kurva, x + 4y = k, pada bidang xy diperlihatkan pada gambar 2.1.7.

47
y
2 2
x + 4y = 4,
2 2
x + 4y = 16, x
2 2
x + 4y = 36.

Gambar 2.1.7.

Contoh 2.1.8.
Bilamana, v(x,y) menyatakan suatu tegagan di setiap titik (x,y) pada bidang, kurva-kurva
ketinggian tegangan v(x,y) disebut dengan kurva ekuipotensial. Bila tegangan pada bidang
diberikan oleh,
4
v(x,y) =
x2 + y2
Buatlah peta kontur kurva-kurva ekuipotensial yang berpadanan dengan v = ½, 1, 2, dan 4
Penyelesaian :
Ambil, v = v(x,y) dan untuk v ≠ 0, tegangan pada bidang ditulis menjadi :
4
v=
x2 + y2
atau,
2 2 16
x +y =
v2
Persamaan terakhir ini adalah merupakan lingkaran dengan pusat (0,0) dan jari-jarinya (4/v).
2 2 2
Dengan mensubsitusikan v = ½, 1, 2, dan 4 pada persamaan lingkaran x + y = (4/v) , maka
diperoleh peta kontur dan kurva-kurva ekuipotensial yang diperlihatkan pada gambar 2.1.8.

2 2
x + y = 1, z = 4
2 2
x + y = 4, z = 2

2 2
x + y = 16, z = 1
2 2
x + y = 64, z = ½

Gambar 2.1.8.

Gambar 2.1.8

48
Soal-soal Latihan 2.1.
Dalam soal-soal berikut ini, tentukanlah daerah asal fungsi f, dan buatlah sketsa daerah
asalnya pada bidang xy.
1 16 − x 2 − y 2
1. f(x,y) = 6. f(x,y) =
x2 + y2 −1 y
1
2. f(x,y) = 4x − x 2 − y 2 7. f(x,y) =
16 − 4 x 2 − y 2

3. f(x,y) = 36 − 4 x 2 − 9 y 2 8. f(x,y) = 8y − x2 − y2
x+ y
4. f(x,y) = x 2 + 4 y 2 − 36 9. f(x,y) =
xy
16 x − x 2 − y 2 x− y
5. f(x,y) = 10. f(x,y) =
x x+ y

Dalam soal-soal berikut ini, buatlah sketsa grafiknya dalam ruang dimensi tiga.
11. f(x,y) = 4 – x – 2y 16. f(x,y) = x2 + y2
12. f(x,y) = 8 – 2x – y 17. f(x,y) = 16 − 4 x 2 − y 2
2 2
13. f(x,y) = 16 – 4x – y 18. f(x,y) = 16 − x 2 − 4 y 2
2 2
14. f(x,y) = 36 – 9x – 4y 19. f(x,y) = 8x − x 2 − y 2
2 2
15. f(x,y) = 36 – 4x – 9y 20. f(x,y) = 6x + 8 y − x 2 − y 2

Dalam soal-soal berikut ini, buatlah peta konturnya.


2
21. f(x,y) = y – x 26. f(x,y) = xy
2 2 2
22. f(x,y) = x – y 27. f(x,y) = x y
2 2
23. f(x,y) = x + y 28. f(x,y) = x2 − y2
2 2
24. f(x,y) = x – y 29. f(x,y) = 16 − x 2 − y 2
1/2 1/2
25. f(x,y) = x y 30. f(x,y) = x2 + y2

49
2.2. TURUNAN PARSIAL

Definisi Turunan Parsial :


Andaikan bahwa f adalah suatu fungsi dua variabel dari x dan y. Turunan parsial f terhadap x
adalahsuatu fungsi yang dinyatakan dengan fx(x,y) yang nilainya disetiap titik (x,y) diberikan
oleh :
f ( x + Δx, y ) − f ( x, y )
fx(x,y) = lim
Δx →0 Δx

apabila limitnya ada. Dengan cara yang sama, turunan parsial f terhadap y adalah fungsi yang
dinyatakan dengan dengan fy(x,y) yang nilainya disetiap titik (x,y) diberikan oleh :

f ( x, y + Δy ) − f ( x, y )
fy(x,y) = lim
Δy →0 Δy
apabila imitnya ada.

Notasi Turunan Parsial


Andaikan z = f(x,y) adalah fungsi dua variabel dari x dan y. Notasi-notasi yang dapat
digunakan untuk menyatakan turunan parsial antara lain adalah :

∂f ∂z
fx(x,y) = = = Dx(x,y)
∂x ∂x
∂f ∂z
fy(x,y) = = = Dy(x,y)
∂y ∂y

Contoh 2.2.1.
Dengan menggunakan definisi, hitunglah fx(x,y) dan fx(x,y) bilamana diberikan,
2 2
f(x,y) = 2x y – 3xy ,
Penyelesaian :
Dengan menggunakan definisi diatas diperoleh :
f ( x + Δx, y ) − f ( x, y )
fx(x,y) = lim
Δx →0 Δx
[2( x + Δx) 2 y − 3( x + Δx) y 2 ] − [2 x 2 y − 3 xy 2 ]
= lim
Δx →0 Δx
4 xΔxy + 2(Δx) 2 y − 3Δxy 2
= lim
Δx →0 Δx
Δx(4 xy + 2Δxy − 3 y 2 )
= lim
Δx →0 Δx
2
= lim (4xy + 2Δxy – 3y )
Δx →0
2
= 4xy – 3y

50
dan,
f ( x , y + Δy ) − f ( x , y )
fy(x,y) = lim
Δy →0 Δy
[2 x 2 ( y + Δy ) − 3 x( y + Δy ) 2 ] − [2 x 2 y − 3 xy 2 ]
= lim
Δy →0 Δy
2 x 2 Δy − 6 xyΔy − 3 x(Δy ) 2
= lim
Δy →0 Δy
Δy (2 x 2 − 6 xy − 3 xΔy )
= lim
Δy →0 Δy
2
= lim (2x – 6xy – 3xΔy)
Δy →0
2
= 2x – 6xy
Jadi,
2 2
fx(x,y) = 4xy – 3y , dan fy(x,y) = 2x – 6xy

Dari contoh diatas terlihat untuk menghitung fx(x,y) dapat menggunakan aturan baku turunan
biasa dengan asumsi y konstan. Demikian pula untuk fy(x,y) dapat menggunakan aturan baku
turunan biasa dengan asumsi x konstan. Dengan pendekatan seperti itu, untuk fungsi :
2 2
f(x,y) = 2x y – 3xy ,
pada contoh soal diatas dihasilkan :
∂ 2 2 ∂ 2 2 ∂ 2
fx(x,y) = (2x y – 3xy ) = 2y (x ) – 3y (x) = 2y(2x) – 3y (1)
∂x ∂x ∂x
2
= 4xy – 3y
∂ 2 2 2 ∂ ∂ 2 2
fy(x,y) = (2x y – 3xy ) = 2x (y) – 3x (y ) = 2x (1) – 3x(2y)
∂y ∂y ∂y
2
= 2x – 6xy

Contoh 2.2.2.
∂z ∂z 3 2 2
Hitunglah dan jika z = x y (4 – 2x + y )
∂x ∂y
Penyelesaian :
∂z
Untuk menghitung dengan menganggap y konstan dan mendeferensialkan terhadap x dan
∂x
menerapkan rumus hasil kali turunan biasa dihasilkan,
∂z 3 2 ∂ 2 2 ∂ 3 2
=x y (4 – 2x + y ) + (4 – 2x + y ) (x y )
∂x ∂x ∂x
3 2 2 2 2
= x y (–2) + (4 – 2x + y )(3x y )
2 2 2
= x y (12 – 8x + 3y )
Dengan menganggap x konstan, turunan parsial terhadap y diberikan oleh :
∂z 3 2 ∂ 2 2 ∂ 3 2
=x y (4 – 2x + y ) + (4 – 2x + y ) (x y )
∂y ∂y ∂y
3 2 2 3 3 2
= x y (2y) + (4 – 2x + y )(2x y) = x y(8 – 4x + 4y )

51
Contoh 2.2.3.
∂z ∂z 2 3 3 2
Hitunglah dan jika z = (x – y )sin(x y )
∂x ∂y
Penyelesaian :
Dengan menganggap y konstan, dan mendeferensialkan terhadap x serta menerapkan rumus
hasil kali dan aturan rantai turunan biasa dihasilkan,
∂z 2 3 ∂ 3 2 3 2 ∂ 2 3
= (x – y ) [sin(x y )] + sin(x y ) (x – y )
∂x ∂x ∂x
2 3 3 2 ∂ 3 2 3 2
= (x – y ) cos(x y ) (x y ) + sin(x y ) (2x)
∂x
2 3 3 2 2 2 3 2
= (x – y ) cos(x y ) (3x y ) + 2x sin(x y )
2 2 2 3 3 2 3 2
= 3x y (x – y ) cos(x y ) + 2x sin(x y )

Dengan menganggap x konstan, dan dengan cara yang sama seperti diatas turunan parsial
terhadap y diberikan oleh :
∂z 2 3 ∂ 3 2 3 2 ∂ 2 3
= (x – y ) [sin(x y )] + sin(x y ) (x – y )
∂y ∂y ∂y
2 3 3 2 ∂ 3 2 3 2 2
= (x – y ) cos(x y ) (x y ) + sin(x y ) (–3y )
∂y
2 3 3 2 3 2 3 2
= (x – y ) cos(x y ) (2x y) – 3y sin(x y )
3 2 3 3 2 2 3 2
= 2x y (x – y ) cos(x y ) – 3y sin(x y )

Contoh 2.2.4.
∂z ∂z
Diberikan, z = sin(x/y) + ln(y/x). Buktikanlah bahwa, x +y =0
∂x ∂y
Penyelesaian :
∂z ∂z
Langkah pertama, menghitung dan .
∂x ∂y
Dengan menganggap y konstan, dengan mendeferensialkan z terhadap x dihasilkan :
∂z ∂ ⎛ x⎞ 1 ∂ ⎛ y⎞
= cos(x/y) ⎜⎜ ⎟⎟ + ⎜ ⎟
∂x ∂x ⎝ y ⎠ ( y / x) ∂x ⎝ x ⎠
1 ⎛ x⎞ x ⎛ y ⎞ 1 ⎛ x⎞ 1
= cos ⎜⎜ ⎟⎟ + ⎜⎜ − ⎟⎟ = cos ⎜⎜ ⎟⎟ –
y ⎝ y⎠ y ⎝ x2 ⎠ y ⎝ y⎠ x
Demikian pula, dengan menganggap x konstan turunan parsial z terhadap y diberikan oleh:
∂z ∂ ⎛ x⎞ 1 ∂ ⎛ y⎞
= cos(x/y) ⎜⎜ ⎟⎟ + ⎜ ⎟
∂y ∂y ⎝ y ⎠ ( y / x) ∂y ⎝ x ⎠
x ⎛ x⎞ x 1 x ⎛ x⎞ 1
=– cos ⎜⎜ ⎟⎟ + =– cos ⎜⎜ ⎟⎟ +
y2 ⎝ y⎠ y x y2 ⎝ y⎠ y

∂z ∂z
Langkah kedua, membuktikan kesamaan x +y =0
∂x ∂y
Dengan menggunakan hasil dari langkah pertama dihasilkan :

52
∂z ∂z ⎡1 ⎛ x⎞ 1⎤ ⎡ x ⎛ x ⎞ 1⎤
x +y =x ⎢ cos⎜⎜ ⎟⎟ − ⎥ +y ⎢− 2 cos⎜⎜ ⎟⎟ + ⎥
∂x ∂y ⎣y ⎝ y⎠ x⎦ ⎢⎣ y ⎝ y ⎠ y ⎥⎦
x ⎛ x⎞ x ⎛ x⎞
=( cos ⎜⎜ ⎟⎟ – 1) + ( – cos ⎜⎜ ⎟⎟ + 1) = 0
y ⎝ y⎠ y ⎝ y⎠

Tafsiran Turunan Parsial


Andaikan, z = f(x,y) adalah suatu permukaan fungsi dua variabel dari x dan y. Bilamana y
diambil konstan, misal y = y0, maka dihasilkan persamaan z = f(x,y0) yang merupakan berkas
permukaan pada bidang y = y0. Berkas permukaan tersebut dinyatakan dengan dua persamaan
yaitu :
z = f(x,y), dan y = y0 z
Berkas lengkungan permukaan
tersebut merupakan perpotongan
permukaan z = f(x,y), dan bidang P0
y = y0. Lihat gambar 2.2.1. Jadi,
turunan parsial f terhadap x, fx(x,y) y0 y
di (x0, y0) dapat ditafsirkan sebagai
gradian garis singgung kurva yang x
diberikan oleh z = f(x,y), dan y = y0 Gambar 2.2.1.
di titik (x0, y0),f(x0, y0)) dengan z0 = f(x0, y0).
z
Dengan pendekatan yang sama,
turunan parsial f terhadap y, fy(x,y)
ditafsirkan merupakan gradien garis
singgung kurva pada permukaan, P0
z = f(x,y), dan x = x0 di titik y
P0(x0,y0, z0) pada bidang x = x0. Hal x0
ini ditunjukkan oleh sketsa grafik pada
gambar 2.2.2. x
Gambar 2.2.2.

Karena setiap turunan merupakan ukuran dari suatu laju perubahan, maka turunan parsaial
dapat pula diartikan sebagai laju perubahan. Sehingga, fx(x,y) dapat diartikan sebagai laju
perubahan dari f(x,y) terhadap x bilamana y konstan. Demikian pula sebaliknya untuk fy(x,y).

Contoh 2.2.5.
Hitunglah gradien garis singgung kurva perpotongan permukaan elipsoida,
f(x,y) = 38 − x 2 − 2 y 2
dengan bidang y = 3, dititik (4,3,2)
Penyelesaian :
Dengan menurunkan secara parsial f(x,y) = 38 − x 2 − 2 y 2 terhadap x dihasilkan :

53
−x
fx(x,y) =
38 − x 2 − 2 y 2
dan nilainya di titik (4,3) adalah f(4,3) = 2, dan
−4
fx(x,y) = =–2
38 − (4) 2 − 2(3) 2

Jadi gradien kurva pada y = 3, dan f(x,y) = 38 − x 2 − 2 y 2 dititik (4,3,2) adalah –2.

Contoh 2.2.6.
Menurut hukum gas ideal, hubungan antara tekanan (P), volume (V) dan suhu (T) diberikan
oleh,
PV = kT
dimana k adalah konstanta perbandingan. Misalkan suatu gas ideal mempunyai volume 80
3
cm , suhu adalah 90O dengan k = 6. Hitunglah laju perubahan P per satuan perubahan suhu,
bilamana volume tetap, dan dengan hasil tersebut hitunglah perkiraan perubahan tekanan bila
suhu naik menjadi 92O.
Penyelesaian :
Dari rumus gas ideal, bila tekanan dinyatakan sebagai fungsi dari suhu dan volume adalah :
kT
P=
V
Pada kondisi, V = 80, T = 90, dan k = 6, maka diperoleh :
(6) (90)
P= = 6,75
80
Bilamana V tetap, laju perubahan tekanan terhadap suhu T diberikan oleh :
∂P k 6
= =
∂T V V
Untuk T = 90, dan V = 80, dihasilkan :
∂P 6
= = 0,075
∂T 80
Jadi laju perubahan tekanan terhadap suhu bila volume tetap adalah 0,075
2
newton/cm .derajad.
Selanjutnya dari hasil diatas diperoleh pula :
6
ΔP ≈ ΔT
V
Bila V = 80, dan ΔT = 2, maka diperoleh :

ΔP ≈ (0,075) (2) = 0,15


2
Jadi perkiraan kenaikan tekanan bilamana suhu naik 2O adalah 0,015 newton/cm .

54
Turunan Parsial Fungsi n Variabel

Andaikan diberikan fungsi n variabel dari x1, x2, x3, ..., xn dengan persamaan :
w = f(x1, x2, x3, ..., xn)
Bilamana turunan-turunan parsialnya ada, turunan-turunan parsialnya diberikan oleh,
∂w ∂w ∂w ∂w
= fx1, = fx2, = fx3, ... = fxn,
∂x1 ∂x 2 ∂x3 ∂x n

Khusus untuk fungsi tiga variabel dari x, y, z persamaan fungsinya diberikan oleh :

w = f(x,y,z)

Sedangkan turunan-turunan parsialnya diberikan oleh :

∂w ∂w ∂w
= fx(x,y,z), = fy(x,y,z), = fz(x,y,z)
∂x ∂y ∂z
Untuk menghitung fungsi turunan parsialnya dapat digunakan metode yang telah dibahas
pada turunan fungsi dua variabel. Sebagai contoh, turunan parsial terhadap x yakni fx(x,y,z),
dapat diperoleh dengan memandang fungsi f(x,y,z) sebagai turunan biasa dari f terhadap x,
dengan asumsi y dan z sebagai konstanta. Sedangkan fy(x,y,z) dan fz(x,y,z) dapat diperoleh
dengan cara yang sama.

Contoh 2.2.7.
2 3 3 4 2 3
Diberikan f(x,y,z) = 2x y + 3x z – 4y z . Hitunglah, fx(x,y,z), fy(x,y,z) dan fz(x,y,z) dititik
(2,3,1)
Penyelesaian :
Dengan memandang f fungsi dari x, dan y dan z konstan, turunan parsial f terhadap x
diberikan oleh :
3 2 4 3 2 4
fx(x,y,z) = 2(2x) y + 3(3x ) z – 0 = 4x y + 9x z

dan di titik (2,3,1) nilainya adalah :


3 2 4
fx(2,3,1) = 4(2)(3) + 9(2) (1) = 252

Demikian pula, dengan memandang f fungsi dari y, dan x dan z konstan, turunan parsial f
terhadap y diberikan oleh :
2 2 3 2 2 3
fy(x,y,z) = 2x (3y ) +0 – 4(2y) z = 6x y – 8y z
dan di titik (2,3,1) nilainya adalah :
2 2 3
fy(2,3,1) = 6(2) (3) – 8(3)(1) = 192

Demikian pula, dengan memandang f fungsi dari z, dan x dan y konstan, turunan parsial f
terhadap z diberikan oleh :
3 3 2 2 3 3 2 2
fy(x,y,z) = 0 +3x (4z ) – 4y (3z ) = 12x z – 12y z
dan di titik (2,3,1) nilainya adalah :
3 3 2 2
fz(2,3,1) = 12(2) (1) – 12(3) (1) = –12

55
Contoh 2.2.8.
2 3 2 3 ∂w ∂w ∂w
Diberikan, w = xy z (x – y) . Hitunglah , ,
∂x ∂y ∂z
Penyelesaian :
Dengan memandang w fungsi dari x, dan y dan z konstan, dengan menggunakan aturan rantai
dan aturan hasil kali pada turunan biasa, turunan parsial w terhadap x diberikan oleh :
∂w 2 3 ∂ 2 3 2 3 ∂ 2 3
= (x – y) . (xy z ) + xy z . (x – y)
∂x ∂x ∂x
2 3 2 3 2 3 2 2
= (x – y) .(xy z ) + xy z .3(x – y) .(2x)
2 3 2 2 2
= y z (x – y) {(x – y) + 3x(2x)}
2 3 2 2 2
= y z (x – y) (5x – y)

Dengan memandang w fungsi dari y, dan x dan z konstan, turunan parsial w terhadap y
diberikan oleh :
∂w 2 3 ∂ 2 3 2 3 ∂ 2 3
= (x – y) . (xy z ) + xy z . (x – y)
∂y ∂y ∂y
2 3 3 2 3 2 2
= (x – y) .(2xyz ) + xy z .3(x – y) .(–1)
3 2 2 2
= xyz (x – y) {2(x – y) – 3y)}
3 2 2 2
= xyz (x – y) (2x – 5y)

Dengan memandang w fungsi dari z, dan x dan y konstan, turunan parsial w terhadap z
diberikan oleh :
∂w 2 3 ∂ 2 3 2 3 ∂ 2 3
= (x – y) . (xy z ) + xy z . (x – y)
∂z ∂z ∂z
2 3 2 2 2 3 2 2
= (x – y) .(3xy z ) + xy z .3(x – y) .(0)
2 2 2 3
= 3xy z (x – y)

Contoh 2.2.9.
xz ∂w ∂w ∂w
Diberikan, w = e sin(xy) hitunglah , ,
∂x ∂y ∂z
Penyelesaian :
Dengan memandang w fungsi dari x, dan y dan z konstan, dengan menggunakan aturan hasil
kali dan aturan rantai pada turunan biasa, turunan parsial w terhadap x diberikan oleh :
∂w xz ∂ ∂ xz
=e (sin(xy)) + sin(xy). (e )
∂x ∂x ∂x
xz xz
= e cos(xy)(y) + sin(xy)e (z)
xz
= {y cos(xy) + z sin(xy)}e
∂w xz ∂ ∂ xz
=e (sin(xy)) + sin(xy). (e )
∂y ∂y ∂y
xz
= e cos(xy)(x) + sin(xy)(0)
xz
= x cos(xy)e
∂w xz ∂ ∂ xz
=e (sin(xy)) + sin(xy). (e )
∂z ∂z ∂z
xz xz xz
= e (0) + sin(xy)e (z) = x sin(xy)e

56
Contoh 2.2.10.
3 2 2
Diberikan, f(x,y,z) = x + yx + yz . Buktikanlah bahwa xfx + y fy + zfz = 3f(x,y,z)
Penyelesaian.
Langkah pertama menghitung, fx, fy, dan fz. Dengan menurunkan secara parsial f(x,y,z)
terhadap x, y, dan z dihasilkan :
2 2 2
fx = 3x + 2xy ; fy = x + z ; fz = 2xy
Langkah kedua membuktikan kesamaan. Dengan menggunakan hasil diatas, maka diperoleh :
2 2 2
xfx + y fy + zfz = x(3x + 2xy) + y(x + z ) + z(2xy)
3 2 2 3 2 2
= 3x + 3yx + 3yz = 3(x + yx + yz ) = 3f(x,y,z)

Jadi terbuktilah kesamaan, xfx + y fy + zfz = 3f(x,y,z)

Turunan Parsial Orde Tinggi

Pada umumnya turunan parsial fungsi dua variabel dari x dan y yakni fx(x,y) dan fy(x,y) masih
memuat variabel x dan y. Fungsi turunan parsial fx(x,y) dan fy(x,y) biasanya disebut dengan
turunan parsial orde satu. Bilamana fx(x,y) dan fy(x,y) masih dapat diturunkan terhadap x dan
y, hasilnya disebut dengan turunan parsial orde dua, dan diberikan oleh :
∂ ⎛ ∂z ⎞ ∂ 2 z
fxx(x,y) = ⎜ ⎟= : turunan parsial pertama terhadap x kedua terhadap x
∂x ⎝ ∂x ⎠ ∂x 2
∂ ⎛ ∂z ⎞ ∂ 2 z
fxy(x,y) = ⎜ ⎟= : turunan parsial pertama terhadap x kedua terhadap y
∂y ⎝ ∂x ⎠ ∂y∂x
∂ ⎛ ∂z ⎞ ∂ 2 z
fyx(x,y) = ⎜⎜ ⎟⎟ = : turunan parsial pertama terhadap y kedua terhadap x
∂x ⎝ ∂y ⎠ ∂x∂y
⎛ ∂z ⎞ ∂ 2 z

fyy(x,y) = ⎜⎜ ⎟⎟ = : turunan parsial pertama terhadap y kedua terhadap y
⎝ ∂y ⎠ ∂y 2
∂y
Dari notasi turunan parsial orde kedua yakni : fxx(x,y), fxy(x,y), fyx(x,y) dan fyy(x,y), terlihat
bahwa proses penentuan turunan parsial kedua ini dilakukan dengan cara mendeferensialkan
satu per satu berturut-turut. Proses berulang demikian ini dapat digunakan untuk menghitung
turunan parsial orde tinggi baik untuk fungsi dua variabel maupun fungsi n variabel. Untuk
lebih jelasnya perhatikanlah contoh-contoh soal berikut ini.

Contoh 2.2.11.
3 4 4 2 2 3
Diberikan, f(x,y) = x y – x y – x + y . Hitunglah fxx(x,y), fxy(x,y), fyx(x,y) dan fyy(x,y).
Penyelesaian :
Dengan menurunkan secara parsial f terhadap x dan y dua kali dihasilkan :
2 4 3 2 3 3 4 2
fx(x,y) = 3x y – 4x y – 2x fy(x,y) = 4x y – 2x y + 3y
4 2 2 3 2 4
fxx(x,y) = 6xy – 12x y – 2 fyy(x,y) = 12x y – 2x + 6y
2 3 3 2 3 3
fxy(x,y) = 12x y – 8x y fyx(x,y) = 12x y – 8x y

Contoh 2.2.12.
xy
Diberikan, f(x,y) = ye + x cos(xy). Hitunglah fxx(x,y), fxy(x,y), fyx(x,y) dan fyy(x,y).
Penyelesaian :

57
Dengan menurunkan secara parsial f terhadap x dan y dua kali dihasilkan :
2 xy
fx(x,y) = y e + cos(xy) – xysin(xy)
3 xy 3 xy 2
fxx(x,y) = y e – ysin(xy) – [ ysin(xy) + xycos(xy) (y)] = y e – 2ysin(xy) – xy cos(xy)
xy 2 xy
fxy(x,y) = (2ye + xy e ) – x sin(xy) – [xsin(xy) + xycos(xy) (x)]
xy 2 xy 2
= 2ye + xy e – 2x sin(xy) – x ycos(xy)
xy xy 2
fy(x,y) = e + xye – x sin(xy)
xy xy 2 xy 3 xy 2 xy 3
fyy(x,y) = xe + (xe + x ye ) – x cos(xy) = 2xe + x ye – x cos(xy)
xy xy 2 xy 2
fyx(x,y) = ye + (ye + xy e ) – [2xsin(xy) + x ycos(xy)]
xy 2 xy 2
= 2ye + xy e – 2x sin(xy) – x ycos(xy)

Dari kedua contoh 2.2.11. dan 2.2.12. diatas, terlihat bahwa fxy(x,y) = fyx(x,y)

Contoh 2.2.13.
2 4 3 3 2 3 4
Diberikan, f(x,y) = x y z – x y + y z . Hitunglah fxyz, fxzy, fyxz, fyzx, fzxy dan fzyx.
Penyelesaian :
Menghitung fxyz, dan fxzy. fyxz, dan fyzx fyxz, dan fyzx
4 3 2 2 2 3 3 3 2 4 2 4 2 3 3
fx = 2xy z – 3x y fy = 4x y z – 2x y + 3y z fz = 3x y z + 4y z
3 3 2 3 3 2 4 2
fxy = 8xy z – 6x y; fyx = 8xy z – 6x y fzx = 6xy z
3 2 3 2 3 2
fxyz = 24xy z fyxz = 24xy z fzxy = 24xy z
4 2 2 3 2 2 3 2 3 2 2 2
fxz = 6xy z ; fyz = 12x y z + 12y z fzy = 12x y z + 12y z
3 2 3 2 3 2
fxzy = 24xy z fyzx = 24xy z fzyx = 24xy z

Contoh 2.2.14.
yz
Diberikan, f(x,y) = xe Hitunglah fxyz, fxzy, fyxz, fyzx, fzxy dan fzyx.
Penyelesaian :
Menghitung fxyz, dan fxzy. fyxz, dan fyzx fyxz, dan fyzx
yz yz yz
fx = e fy = xze fz = xye
yz yz yz
fxy = ze ; fyx = ze fzx = ye
yz yz yz
fxyz = (1 + yz)e fyxz = (1 + yz)e fzxy = (1 + yz)e
yz yz yz
fxz = ye fyz = (x + xyz)e fzy = (x + xyz)e
yz yz yz
fxzy = (1 + yz)e fyzx = (1 + yz)e fzyx = (1 + yz)e
Dari kedua contoh 2.2.13. dan 2.2.14. diatas, terlihat bahwa :
fxyz = fxzy = fyzx = fyxz = fzyx = fzxy

Contoh 2.2.15
Sebuah persamaan diferensial parsial orde dua diberikan oleh,
∂2z ∂2z
+ =0
∂x 2 ∂y 2
dikenal dengan persamaan Laplace orde dua di R2. Buktikanlah bahwa, z = ln(x2 + y2)
memenuhi persamaan tersebut.
Penyelesaian
Dengan menurunkan secara parsial z terhadap x dan y dua kali dihasilkan,
∂z 2x
=
∂x x + y2
2

58
∂2z 2( x 2 + y 2 ) − 2 x(2 x) 2 y 2 − 2x 2
= =
∂x 2 (x 2 + y 2 ) 2 (x2 + y 2 )2
dan,
∂z 2y
=
∂y x + y2
2

∂2z 2( x 2 + y 2 ) − 2 y (2 y ) 2x 2 − 2 y 2
= =
∂y 2 (x 2 + y 2 ) 2 (x2 + y 2 )2
∂2z ∂2z
Dengan mensubsitusikan, dan ke persamaan Laplace dihasilkan :
∂x 2 ∂y 2
∂2z ∂2z 2 y 2 − 2x 2 2x 2 − 2 y 2
+ = =0 +
∂x 2 ∂y 2 (x 2 + y 2 )2 (x 2 + y 2 )2
Jadi terbukti bahwa, z = ln(x2 + y2) memenuhi persamaan Laplace di R2.

Contoh 2.2.16
Sebuah persamaan diferensial parsial orde dua diberikan oleh,
∂ 2u ∂ 2u ∂ 2u
+ + =0
∂x 2 ∂y 2 ∂z 2
dikenal dengan persamaan Laplace orde dua di R3. Buktikanlah bahwa, u = e 3 x + 4 y sin 5 z
memenuhi persamaan Laplace tersebut.
Penyelesaian
Dengan menurunkan secara parsial u terhadap x, y dan z dua kali dihasilkan,
∂u
= 3 e 3 x + 4 y sin 5 z
∂x
∂ 2u
= 9 e 3 x + 4 y sin 5 z
2
∂x
∂u
= 4 e 3 x + 4 y sin 5 z
∂y
∂ 2u
= 16 e 3 x + 4 y sin 5 z
2
∂y
∂u
= 5 e 3 x + 4 y cos 5 z
∂z
2
∂ u
= – 25 e 3 x + 4 y sin 5 z
2
∂z
∂ 2u ∂ 2u ∂ 2u
Dengan mensubsitusikan, , dan ke persamaan Laplace dihasilkan :
∂x 2 ∂y 2 ∂z 2
∂ 2u ∂ 2u ∂ 2u
+ + = 6 e 3 x + 4 y sin 5 z + 16 e 3 x + 4 y sin 5 z – 25 e 3 x + 4 y sin 5 z = 0
2 2 2
∂x ∂y ∂z
Jadi terbukti bahwa, u = e 3 x + 4 y sin 5 z memenuhi persamaan Laplace di R3.

59
Soal-soal Latihan Bab 2.2
Dalam soal-soal latihan nomor 1 sampai 20 hitunglah turunan parsial terhadap vasiabel
bebasnya, untuk fungsi-fungsi berikut ini.

1. f(x,y) = xy ln(x2 + y2) 2. f(x,y) = xy sin(x2 + y2) 3. f(x,y) = xy(x3 – y3)


4. f(x,y) = xy e( x + y )
2 2
5. f(x,y) = (x2 – y2)cos(xy) 6. f(x,y) = x2y(x2 – y4)
7. f(x,y) = (x2 + y2) e xy 8. f(x,y) = sin(x2 + y2) e xy 9. f(x,y) = (x2 + y2)arc tan(x/y)
10. f(x,y) = x 2 − y 2 arcsin( y / x) 11. f(x,y,z) = xy2(x – y2 + z3)
12. f(x,y,z) = xy3 + y2z3 – x2z2 13. f(x,y,z) = cos(xy) e yz – sin(yz) e xy
15. f(x,y,z) = xyz e ( x + y + z )
2 2 2
14. f(x,y,z) = xyz ln(x2 + y2 + z2)
16. f(x,y,z) = xy cos(x – z) + yz sin(y – z) 17. f(x,y,z) = (x2 + y2 + z2) e xyz
18. f(x,y,z) = xz2 e xy + y2z e yz 19. f(x,y,z) = (x2 + y2) e yz + (y2 – z2) e xz
20. f(x,y,z) = xy cos(yz) + yz sin(xz)

Dalam soal-soal latihan nomor 21 sampai 30, selidikilah kebenaran dari fxy = fyx.

21. f(x,y) = x3y2 – x4y3 22. f(x,y) = x3y2(4 – x2 + y3)


x
23. f(x,y) = e xy 24. 1. f(x,y) = xy ln(x2 + y2)
y
25. f(x,y) = (x2 + y2) arc tan(x/y) 26. f(x,y) = e − x / y + ln( x / y )
x
27. f(x,y) = arctan( y / x) + 28. f(x,y) = e x cos y + ln( y / x)
x + y2
2

29. f(x,y) = e −2 y sin x + ln( x / y ) 30. f(x,y) = (x2 + y2)ln(x2 + y2)

Dalam soal nomor 31 sampai 40 berikut, selidikilah kebenaran dari :


(a). fxy = fyx ;
(b). fxz = fzx ;
(c). fyz = fzy
(d). fxyz = fyzx = fzxy

31. f(x,y,z) = xy2z3(x – y2 + z3) 32. f(x,y,z) = x2y3 + y2z4 – x3z3


z xz
33. f(x,y,z) = e 34. f(x,y,z) = xy2 e yz
y
35. f(x,y,z) = xy cos(yz) – yz sin(yz) 36. f(x,y,z) = sin(yz) e xy
37. f(x,y,z) = xy cos(x – z) + yz sin(x – z) 38. f(x,y,z) = xyz ln(x2 + y2 + z2)
y y − xy
39. f(x,y,z) = cos( xz ) 40. f(x,y,z) = e
x z
∂2z ∂2z
41. Bilamana, z = e x sin y + e y cos x , buktikanlah bahwa + =0
∂x 2 ∂y 2

60
x ∂2z ∂2z
42. Bilamana, z = arctan( y / x) + , buktikanlah bahwa + =0
x2 + y2 ∂x 2 ∂y 2
∂2z ∂2z
43. Bilamana, z = x3y – yx3, buktikanlah bahwa + =0
∂x 2 ∂y 2
∂2z ∂2z
44. Bilamana, z = ln(4x2 + 4y2), buktikanlah bahwa + =0
∂x 2 ∂y 2
∂ 2u ∂ 2u ∂ 2u
45. Bilamana, u = x 2 + y 2 + z 2 , buktikanlah bahwa + + =0
∂x 2 ∂y 2 ∂z 2
∂ 2u ∂ 2u ∂ 2u
46.Bilamana, u = ln(x2 + y2 + z2), buktikanlah bahwa + + =0
∂x 2 ∂y 2 ∂z 2

61
2.3. ATURAN RANTAI

Penggunaan aturan rantai untuk menghitung turunan parsial, secara tidak langsung telah
∂z ∂z
digunakan, antara lain untuk menghitung dan , yakni :
∂x ∂y
∂z ∂z du ∂z ∂z du
= dan =
∂x ∂u dx ∂y ∂u dy
Sebagai ilustrasi,
∂ ∂
sin(xy2) = cos(xy2) (xy2) = y2cos(xy2)
∂x ∂x
∂ ∂
sin(xy2) = cos(xy2) (xy2) = 2xy cos(xy2)
∂y ∂y

Dalam proses penghitungan turunan parsial, aturan rantai banyak memegang peranan yang
sangat penting. Berikut ini adalah berbagai macam aturan rantai yang sering digunakan untuk
menghitung turunan parsial, khususnya turunan parsial dua atau tiga variabel. Aturan rantai
yang akan dibahas disini dapat dikembangkan untuk fungsi n variabel yang mana tergantung
pada tingkat kepentingannya.

Aturan Rantai Pertama

∂z ∂z
Andaikan z = f(x,y) mempunyai turunan parsial, dan ada. Bila x = x(t), dan y = y(t)
∂x ∂y
yang dapat terdeferensiabel di t, maka z = F(t) dapat dideferensialkan di t, yang diberikan
oleh :
dz ∂z dx ∂z dy
= +
dt ∂x dt ∂y dt

Contoh 2.3.1
dz
Andaikan, z = 4xy + x2 – y2 dengan x = t cos t, dan y = t sin t. Hitunglah , dan nyatakan
dt
hasilnya dalam variabel t
Penyelesaian
Mengingat,
∂z ∂z
= 4y + 2x = 4x – 2y
∂x ∂y
dx dy
= cos t – t sin t = sin t + t cos t
dt dt
Dengan rumus aturan rantai diperoleh,
dz ∂z dx ∂z dy
= +
dt ∂x dt ∂y dt
= (4y + 2x)(cos t – t sin t)+( 4x – 2y)(sin t + t cos t)
= (4t sin t + 2t cos t)(cos t – t sin t)+( 4t cos t – 2t sin t)(sin t + t cos t)
= (4t sin t cos t – 4t2 sin2 t + 2t cos2 t – 2t2 sin t cos t) + (4t sin t cos t

62
+ 4t2 cos2 t – 2t sin2 t – 2t2 sin t cos t)
= (8t – 4t2) sin t cos t – (2t + 4t2) sin2 t + (2t + 4t2) cos2 t
= (8t – 4t2) sin t cos t + (2t + 4t2)(cos2 t – sin2 t)
= (4t – 2t2) sin 2t + (2t + 4t2)cos 2t

Contoh 2.3.2
du
Andaikan u = x2 y + y2 z – z2 x, dengan x = t, y = t2, dan z = t3. Hitunglah , dan nyatakan
dt
hasilnya sebagai fungsi dari variabel t.
Penyelesaian
Mengingat,
∂u ∂u ∂u
= 2xy – z2 = x2 + 2yz = y2 – 2xz
∂x ∂y ∂z
dx dy dz
=1 = 2t = 3t2
dt dt dt
Dengan menerapkan aturan rantai dihasilkan,
du ∂u dx ∂u dy ∂u dz
= + +
dt ∂x dt ∂y dt ∂z dt
= [2(t)(t ) – (t ) ](1) + [(t)2 + 2(t2)(t3)](2t) + [(t2)2 – 2(t)(t3)](3t2)
2 3 2

= (2t3 – t6) + (2t3 + 4t6) + (3t6 – 6t6)


= 4t3

Contoh 2.3.3.
Penerapan Aturan Rantai Pertama. Dengan hukum ideal, hitunglah laju perubahan suhu
suatu gas pada saat volume gas 150 cm3, dan tekanan gas 9 Newton/cm3, apabila diketahui
laju perubahan volume gas adalah 2 cm3/menit, laju perubahan tekanan gas turun 0,1
Newton/cm3 per menit pada k = 5.

Penyelesaian
Andaikan t menit adalah waktu setelah volume gas berubah, T derajad suhu benda pada saat t
menit, dan P tekanan gas dalam Newton/cm3, tekanan pada saat t menit. Dengan k = 5,
menurut rumus gas ideal dihasilkan,
PV
PV = 5T, atau T =
5
Dengan menggunakan rumus aturan rantai, laju perubahan suhu pada saat t menit diberikan
oleh,
dT ∂T dP ∂T dV
= +
dt ∂P dt ∂V dt
V dP P dV
= +
5 dt 5 dt

Diketahui pada P = 9, dan V = 150, dP/dt = –0,1, dan dV/dt = 2. Dengan mensubsitusikan
nilai-nilai tersebut diatas diperoleh,
dT 150 9
= (–0,1) + (2) = –3,0 + 3,6 = 0,6
dt 5 5
Jadi pada kondisi tersebut, suhu gas naik dengan laju 0,6 derajad per menit.

63
Aturan Rantai Kedua

∂z ∂z
Andaikan, z = f(x,y) mempunyai turunan-turunan parsial, dan . Misalkan pula bahwa x
∂x ∂y
= x(r,t) dan y = y(r,t) juga mempunyai turunan-turunan parsial pertama di (r,t). Maka, z =
F(r,t) mempunyai turunan-turunan parsial di (r,t) yang diberikan oleh :

∂z ∂z ∂x ∂z ∂y
= +
∂r ∂x ∂r ∂y ∂r
∂z ∂z ∂x ∂z ∂y
= + .
∂t ∂x ∂t ∂y ∂t

Rumus aturan rantai kedua diatas, dapat dikembangkan lebih lanjut untuk fungsi n variabel
dimana masing-masing variabel bebasnya juga merupakan fungsi m variabel.

Contoh 2.3.4
∂z ∂z
Andaikan, z = x2 + 4xy – y2, dengan x = r cos t dan y = r sin t. Hitunglah dan pada r =
∂r ∂t
4, dan t = π/4
Penyelesaian
Mengingat,
∂z ∂z
= 2x + 4y = 4x – 2y
∂x ∂y
∂x ∂y
= cos t = sin t
∂r ∂r
∂x ∂y
= –r sin t = r cos t
∂t ∂t

Dengan menerapkan aturan rantai kedua, dihasilkan :


∂z ∂z ∂x ∂z ∂y
= +
∂r ∂x ∂r ∂y ∂r
= (2x + 4y)(cos t) + (4x – 2y)(sin t)
= [2(r cos t) + 4(r sin t)](cos t) + [4(r cos t) – 2(r sin t)](sin t)
= (2r cos2 t + 4r sin t cos t ) + (4 r sin t cos t – 2r sin2 t)
= 8r sin t cos t + 2r(cos2 t – sin2 t)
= 4r sin 2t + 2r cos 2t

∂z ∂z ∂x ∂z ∂y
= +
∂t ∂x ∂t ∂y ∂t
= (2x + 4y)( –r sin t) + (4x – 2y)(r cos t)
= [2(r cos t) + 4(r sin t)]( –r sin t) + [4(r cos t) – 2(r sin t)](r cos t)
= (–2r2 sin t – 4r2 sin2 t) + (4r2 cos2 t – 2r2 sin t cos t)
= 4r2 (cos2 t – sin2 t) – 4r2 sin t cos t
= 4r2 cos 2t – 2r2 sin 2t

64
Dengan demikian, untuk r = 4, dan t = π/4, dihasilkan :
∂z
= 4(4) sin 2(π/4) + 2(4) cos 2(π/4) = 16
∂r
∂z
= 4(4)2 cos 2(π/4) – 2(4)2 sin 2(π/4) = –32
∂t

Contoh 2.3.5
Bila, z = f(u,v), dengan u = ax – ay, dan v = by – bx. Buktikanlah bahwa z = f(u,v) memenuhi
persamaan diferensial parsial
∂z ∂z
+ =0
∂x ∂y
Penyelesaian
Dengan menerapkan aturan rantai kedua diperoleh,
∂z ∂z ∂u ∂z ∂v ∂z ∂z
= + = (a) + (–b)
∂x ∂u ∂x ∂v ∂x ∂u ∂v
∂z ∂z ∂u ∂z ∂v ∂z ∂u ∂z
= + = (–a) + (b )
∂y ∂u ∂y ∂v ∂y ∂u ∂x ∂v
Jadi,
∂z ∂z ∂z ∂z ∂z ∂u ∂z
+ = (a) + (–b) + (–a) + (b)
∂x ∂y ∂u ∂v ∂u ∂x ∂v
∂z ∂z
= (a – a) + (–b + b) =0
∂u ∂v
Terbuktilah bahwa z = f(u,v) memenuhi persamaan diferensial parsial yang diberikan.

Contoh 2.3.6
∂u ∂u
Bila, u = xy2 + yz2, dengan x = r cos t dan y = r sin t, dan z = r2. Hitunglah dan pada r
∂r ∂t
= 2, dan t = π/4
Penyelesaian
Dengan menerapkan aturan rantai kedua dihasilkan,
∂u ∂u ∂x ∂u ∂y ∂u ∂z
= + +
∂r ∂x ∂r ∂y ∂r ∂z ∂r
= y2 cos t + (2xy + z2) sin t + (2yz) 2r
= (r sin t)2 cos t + [2(r cos t)(r sin t) + (r2)2] sin t + [2(r sin t)(r2)]2r
= r2 sin2 t cos t + 2 r2 sin2 t cos t + r4sin t + 4 r4 sin t
= 3r2 sin2 t cos t + 5 r4 sin t

Dengan demikian, untuk r = 2, dan t = π/4, dihasilkan :


∂u
= 3(2)2 sin2(π/4) cos (π/4) + 5(2)4 sin(π/4)
∂r
2
⎛1 ⎞ 1 1
= 12 ⎜ 2⎟ 2 + 80 2 = 43 2
⎝2 ⎠ 2 2

Sekali lagi dengan menerapkan aturan rantai dihasilkan,

65
∂u ∂u ∂x ∂u ∂y ∂u ∂z
= + +
∂t ∂x ∂t ∂y ∂t ∂z ∂t
= y (–r sin t)+ (2xy + z2) (r cos t) + (2yz) (0)
2

= (r sin t)2 (–r sin t) + [2(r cos t)(r sin t) + (r2)2] (r cos t)
= – r3 sin3 t + 2 r3 cos2 t sin t + r5 cos t
Dengan demikian, untuk r = 2, dan t = π/4, dihasilkan :
∂u
= –(2)3 sin3(π/4) + 2(2)3 cos2(π/4) sin(π/4) + (2)5 cos(π/4)
∂t
3 2
⎛1 ⎞ ⎛1 ⎞ 1 1
= –8 ⎜ 2 ⎟ + 16 ⎜ 2⎟ 2 + 32 2
⎝2 ⎠ ⎝2 ⎠ 2 2
= 18 2

Contoh 2.3.7
Bila, u = x2y – y2z, dengan x = r cos θ sin φ, y = r sin θ sin φ t, dan z = r cos φ. Hitunglah
∂u ∂u ∂u
, , dan pada r = 2, danθ = π/4 dan φ = π/4.
∂r ∂θ ∂ φ
Penyelesaian
Dengan menerapkan aturan rantai kedua dihasilkan,

∂u ∂u ∂x ∂u ∂y ∂u ∂z
= + +
∂r ∂x ∂r ∂y ∂r ∂z ∂r
= (2xy) cos θ sin φ + (x2 – 2yz) sin θ sin φ + (–y2) cos φ
= 2( r cos θ sin φ)( r sin θ sin φ) cos θ sin φ +
{( r cos θ sin φ)2 – 2(r sin θ sin φ)(r cosφ)}sin θ sin φ – (r sin θ sin φ)2 cos φ
= 2r2 sinθ cos2θ sin3φ + (r2 sin θ cos2θ sin3φ – 2r2 sin2θ sin2φ cos φ) –
r2 sin2θ sin2φ cos φ
= 3r2 sinθ cos2θ sin3φ – 3r2 sin2θ sin2φ cos φ

Dengan demikian, untuk r = 2, θ = π/4 dan φ = π/4, dihasilkan :

∂u
= 3(2)2 sin(π/4) cos2(π/4) sin3(π/4) – 3(2)2 sin2(π/4) sin2(π/4) cos(π/4)
∂r
2 3 2 2
2 ⎛ 2⎞ ⎛ 2⎞ ⎛ 2⎞ ⎛ 2⎞ 2 3
= 12 ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ – 12 ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ = (1 – 2)
2 ⎜ 2 ⎟ ⎜ 2 ⎟ ⎜ 2 ⎟ ⎜ 2 ⎟ 2 2
⎝ ⎠ ⎝ ⎠ ⎝ ⎠ ⎝ ⎠

Sekali lagi dengan menerapkan aturan rantai dihasilkan,

∂u ∂u ∂x ∂u ∂y ∂u ∂z
= + +
∂θ ∂x ∂θ ∂y ∂θ ∂z ∂θ
= (2xy) (–r sin θ sin φ ) + (x2 – 2yz)(r cos θ sin φ ) + (–y2)(0)
= 2( r cos θ sin φ)( r sin θ sin φ)(–r sinθ sinφ) +
{( r cos θ sin φ)2 – 2(r sin θ sin φ)(r cosφ)}(r cos θ sin φ )
= –2r3 sin2θ cosθ sin3φ + r3 cos3θ sin3φ – 2r3 sinθ cos θ sin2φ cos φ

66
Dengan demikian, untuk r = 2, θ = π/4 dan φ = π/4, dihasilkan :
∂u
= – 2(2)3 sin2(π/4) cos(π/4) sin3(π/4) + (2)3 cos3(π/4) sin3(π/4) –
∂θ
2(2)3 sin(π/4) cos(π/4) sin2(π/4) cos (π/4)
2 3 3 3 2
⎛ 2⎞ 2 ⎛ 2⎞ ⎛ 2⎞ ⎛ 2⎞ 2 2 ⎛ 2⎞ 2
= –16 ⎜⎜ ⎟

⎜ ⎟ ⎜ ⎟
⎜ 2 ⎟ + 8⎜ 2 ⎟
⎜ ⎟
⎜ 2 ⎟ – 16 2
⎜ ⎟
⎜ 2 ⎟
⎝ 2 ⎠ 2 ⎝ ⎠ ⎝ ⎠ ⎝ ⎠ 2 ⎝ ⎠ 2
2
= –1 –
2

Sekali lagi dengan menerapkan aturan rantai dihasilkan,


∂u ∂u ∂x ∂u ∂y ∂u ∂z
= + +
∂φ ∂x ∂φ ∂y ∂φ ∂z ∂φ
= (2xy) (r cos θ cos φ ) + (x2 – 2yz)(r sin θ cos φ ) + (–y2)(–r sin φ)
= 2( r cos θ sin φ)( r sin θ sin φ)(r cosθ cosφ) +
{( r cos θ sin φ)2 – 2(r sin θ sin φ)(r cosφ)}(r sin θ cos φ ) + (r sinθ sin φ)2 r sin φ
= 2r3 sinθ cos2θ sin2φ cosφ + (r3 sin θ cos2θ sin2φ cosφ – 2r3 sin2θ sinφ cos2φ) +
+ r3 sin2θ sin3 φ
= 3r3 sinθ cos2θ sin2φ cosφ – 2r3 sin2θ sinφ cos2φ) + r3 sin2θ sin3 φ

Dengan demikian, untuk r = 2, θ = π/4 dan φ = π/4, dihasilkan :


∂u
= 3(2)3 sin(π/4) cos2(π/4) sin2(π/4) cos (π/4) – 2(2)3 sin2(π/4) sin(π/4) cos2(π/4)
∂φ
+ (2)3 sin2(π/4) sin3(π/4)
2 2 2 2 3 3
2 ⎛ 2⎞ ⎛ 2⎞ 2 ⎛ 2⎞ 2 ⎛ 2⎞ ⎛ 2⎞ ⎛ 2⎞
= 24 ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ – 16 ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ + 8⎜ ⎟ ⎜ ⎟
2 ⎜ 2 ⎟ ⎜ 2 ⎟ 2 ⎜ 2 ⎟ 2 ⎜ 2 ⎟ ⎜ 2 ⎟ ⎜ 2 ⎟
⎝ ⎠ ⎝ ⎠ ⎝ ⎠ ⎝ ⎠ ⎝ ⎠ ⎝ ⎠
2
= 4–
2

Penurunan Secara Implisit


Penurunan secara implisit secara tidak langsung telah dibahas dalam Kalkulus. Salah satu
manfaat dari aturan rantai adalah untuk menentukan turunan fungsi yang didefinisikan secara
implisit. Misalkan y fungsi dari x yang didefinisikan didefinisikan secara implisit, dan
diberikan oleh persamaan, F(x,y) = 0. Karena y fungsi dari, maka dengan aturan rantai
dihasilkan,
∂F dx ∂F dy
+ =0
∂x dx ∂y dx
Karena, dx/dx = 1, maka dihasilkan rumus :
dy ∂F / ∂x
=–
dx ∂F / ∂y
Dengan cara yang sama, misalkan x fungsi dari y yang didefinisikan secara implisit, dan
diberikan oleh persamaan F(x,y) = 0, maka dihasilkan rumus :
dx ∂F / ∂y
=–
dy ∂F / ∂x

67
Contoh 2.3.8
Bila y fungsi dari x yang didefinisikan oleh, 3xy2 + 3y3 = x3, hitunglah dy/dx.
Penyelesaian
Andaikan, F(x,y) = 3xy2 + 2y3 – x3, dengan menurunkan F secara parsial terhadap x dan y
dihasilkan :
∂F
= 3y2 – 3x2 = 3(y2 – x2) = 3(y + x)(y – x)
∂x
∂F
= 6xy + 6y2 = 6y(x + y)
∂y
Jadi,
dy ∂F / ∂x 3( y + x)( y − x) x− y
=– =– =
dx ∂F / ∂y 6 y( x + y) 2y

Contoh 2.3.9
Bila x fungsi dari y yang didefinisikan oleh, arc tan(x/y) = ln(x2 + y2), hitunglah dx/dy.
Penyelesaian
Andaikan, F(x,y) = arc tan(x/y) – ln(x2 + y2), dengan menurunkan F secara parsial terhadap x
dan y dihasilkan :
∂F 1 1 2x y 2x y − 2x
= – = – =
∂x 2
1 + ( x / y) y 2
x +y 2 2
x +y 2 2
x +y 2
x2 + y2
∂F 1 −x 2y x 2y x + 2y
= – =– – =–
∂y 1 + ( x / y) 2 y 2 x2 + y2 x2 + y2 x2 + y2 x2 + y2
Jadi,
dx ∂F / ∂y − ( x + 2 y) x 2 + y 2 x + 2y
=– =– =
dy ∂F / ∂x 2
x +y 2 y − 2x y − 2x
Dari rumus penurunan secara implisit diatas, dapat dikembangkan untuk menentukan
turunan-turunan parsial fungsi n variabel. Misalkan z adalah fungsi dari x dan y yang
didefinisikan secara implisit, diberikan oleh persamaan F(x,y,z) = 0. Dengan menurunkan
secara parsial F terhadap x dengan asumsi y konstan, dengan aturan rantai dihasilkan :

∂F dx ∂F ∂y ∂F ∂z
+ + =0
∂x dx ∂y ∂x ∂z ∂x
∂y dx
Karena y konstan, maka = 0, dan mengingat = 1, sehingga dihasilkan rumus,
∂x dx
∂z ∂F / ∂x
=–
∂x ∂F / ∂z
Dengan cara yang sama, dan jika diasumsikan y konstan dengan menurunkan secara parsial F
terhadap y dengan asumsi x konstan, dengan aturan rantai dihasilkan :
∂F ∂x ∂F dy ∂F ∂z
+ + =0
∂x ∂y ∂y dy ∂z ∂y
∂x dy
Karena x konstan, maka = 0, dan mengingat = 1, sehingga dihasilkan rumus,
∂y dy
∂z ∂F / ∂y
=–
∂y ∂F / ∂z

68
Contoh 2.3.10
∂z ∂z
Tentukanlah, dan dari, x2y + y3z = 2xz4
∂x ∂y
Penyelesain
Andaikan, F(x,y,z) = x2y + y3z – 2xz4. Dengan menurunkan secara parsial F terhadap x, y dan
z dihasilkan :
∂F ∂F ∂F
= 2xy – 2z4 = x2 + 3y2z = y3 – 8xz3
∂x ∂y ∂z
Jadi,
∂z ∂F / ∂x 2 xy − 2 z 4 2 z 4 − 2 xy
= – =– =
∂x ∂F / ∂z y 3 − 8 xz 3 y 3 − 8 xz 3
∂z ∂F / ∂y x2 + 3y 2 z x2 + 3y 2 z
= – =– =
∂y ∂F / ∂z y 3 − 8 xz 3 8 xz 3 − y 3

Contoh 2.3.11
∂z ∂z
Tentukanlah, dan dari, x e yz = y cos(xz)
∂x ∂y
Penyelesain
Andaikan, F(x,y,z) = x e yz – y cos(xz). Dengan menurunkan secara parsial F terhadap x, y dan
z dihasilkan :
∂F
= e yz + yz sin(xz)
∂x
∂F
= xz e yz – cos(xz)
∂y
∂F
= xy e yz + xy sin(xz)
∂z
Selanjutnya, dengan menerapkan rumus diatas dihasilkan,
∂z ∂F / ∂x e yz + yz sin( xz ) e yz + yz sin( xz )
= – =– =–
∂x ∂F / ∂z xye yz + xy sin( xz ) xy [sin( xz ) + e yz ]
∂z ∂F / ∂y xze yz − cos( xz ) cos( xz ) − xze yz
= – =– =
∂y ∂F / ∂z xye yz + xy sin( xz ) xy [e yz + xy sin( xz )]

Soal-soal Latihan Bab 2.3.


Untuk soal-soal latihan nomor 1 sampai 10 berikut ini, hitunglah du/dt dan hasilnya nyatakan
dalam variabel t.

1. u = x3 – y ln x; x = 1/t, y = t2
2. u = arc tan(y/x), x = t, y = 1 – t
3. u = e ( x + y ) ; x = t cos t, y = t sin t
2 2

4. u = ln(x2 + y2); x = t sin t, y = t cos t


5. u = ln(x2 + y2 + z2); x = sin t, y = cos t, z = t
6. u = x 2 + y 2 + z 2 ; x = t cos t, y = t2, z = t sin t

69
x+z
7. u = ; x = ln t, y = ln(1/t), z = t
y−z
8. u = xy + yz – xz; x = t cos t, y = t2, z = t sin t
9. u = xy2 + yz2 – x2z; x = t cos t, y = t sin t, z = t2
10. u = xy + yz – xz; x = e t , y = te t , z = te −t

Untuk soal-soal latihan nomor 11 sampai 20 berikut ini, hitunglah :


∂u ∂u
dan
∂r ∂t
dan hasilnya nyatakan dalam variabel r dan t.

11. u = x2 + y2 – 6xy; x = e r cos t , y = e r sin t t sin r


12. u = arc tan(y/x), x = r + t, y = r – t
13. u = arc sin(x/y); x = r cos t , y = r sin t
14. u = e ( x + y ) ; x = r sin t, y = r cos t
2 2

15. u = ln(x2 + y2); x = e − r cos t , y = e − r sin t


16. u = e − ( x + y + z ) ; x = r sin t, y = r cos t, z = t
2 2 2

17. u = ln(x2 + y2 + z2); x = e − r cos t , y = e − r sin t , z = e − r


18. u = x 2 + y 2 + z 2 ; x = r cos t, y = r, z = r sin t
⎛x− y⎞
19. u = ln⎜⎜ ⎟⎟ ; x = re t , y = e rt
⎝ x + y ⎠
r
20. u = xy2z ; x = re t , y = , z = re −t
t

Untuk soal-soal latihan nomor 21 sampai 30 berikut ini, dengan penurunan secara implisit
∂z ∂z
hitunglah dan dari :
∂x ∂y
21. 3x2 + y2 – z2 – 4xy + 6yz = 0 22. xy2 + yz2 – x2z + 4xyz = 0
23. x2y – y2z + z2 – 4xyz = 0 24. yz = (x2 + y2) sin(xz)
25. arc tan(yx/z) = ln(x2y2 + z2) 26. e xy + e yz = e xz
27. y cos(x – z) = x sin(y – z) 28. e x sin( yz ) = e y cos( xz )
29. xyz = ln(x2 + y2 + z2) 30. z e xy + y e xz = x e yz

31. Andaikan, z = f(x,y), x = r cos t, y = r sin t. Buktikanlah bahwa


2 2 2 2
⎛ ∂z ⎞ ⎛ ∂z ⎞ ⎛ ∂z ⎞ 1 ⎛ ∂z ⎞
⎜ ⎟ + ⎜⎜ ⎟⎟ = ⎜ ⎟ + 2 ⎜ ⎟
⎝ ∂x ⎠ ⎝ ∂y ⎠ ⎝ ∂r ⎠ r ⎝ ∂t ⎠
32. Misalkan f fungsi dari u, dengan u = x2 + y2. Buktikanlah bahwa, jika z = xy + f(u)
∂z ∂z
y –x = y2 – x2
∂x ∂y
33. Bilamana z(x,t) = A cos(kat) sin(kx), dengan A dan k adalah konstanta. Buktikanlah
bahwa fungsi tersebut memenuhi fungsi tersebut, buktikanlah bahwa :

70
∂2z ∂2z
= a2
∂t 2 ∂x 2
34. Bilamana, z = f(u) dengan u = bx2 – ay2 , buktikanlah bahwa,
⎛ ∂z ⎞ ⎛ ∂z ⎞
ay⎜ ⎟ + bx⎜⎜ ⎟⎟ = 0
⎝ ∂x ⎠ ⎝ ∂y ⎠
35. Bilamana, z = f(x,y) dengan x = r cos t, y = r sin t. Buktikanlah bahwa,
∂z ∂z ∂z sin t
= cos t –
∂x ∂r ∂t r
∂z ∂z ∂z cos t
= sin t +
∂y ∂r ∂t r

Dalam soal-soal latihan nomor 36 sampai 40 berikut ini, hitunglah


∂2z ∂2z ∂2z ∂2z
, , , dan
∂r 2 ∂t 2 ∂t∂r ∂r∂t
untuk fungsi-fungsi berikut ini.
36. Bilamana, z(x,y) = 9x2 + 16y2, dengan x = r cos t, y = r sin t
37. Bilamana, z(x,y) = 9xy – 4y2, dengan x = re t , y = te − r
38. Bilamana, z(x,y) = 4x2 – 3y2, dengan x = r sin t, y = r cos t
39. Bilamana, z(x,y) = arc tan(x/y), dengan x = r cos t, y = r sin t
40. Bilamana, z(x,y) = ln(x2 + y2), dengan x = re t , y = te − r .

71
2.4. Diferensial Total dan Hampiran
Masalah hampiran secara tidak langsung telah diperkenalkan pada saat membicarakan
penafsiran turunan parsial. Lihat contoh soal masalah turunan parsial, khususnya contoh
penggunaan rumus gas ideal PV = kT. Demikian pula, bilamana y = f(x) adalah fungsi satu
variabel dari x yang terdiferensialkan, menurut definisi

Δy f ( x + Δx ) − f ( x )
f′(x) = lim = lim
Δx → 0 Δx Δx → 0 Δx

dan bilamana Δx dan Δy masing-masing merupakan pertambahan dai variabel x dan y, dan
jika pertambahan dari variabel bebas x cukup kecil, maka pertambahan dari variabel tak
bebas y yaitu Δy dapat dihampiri oleh,

Δy = f′(x) Δx

Pendekatan diatas akan digunakan menentukan hampiran, khususnya untuk fungsi dua atau
tiga variabel.

Misalkan, z = f(x,y) adalah fungsi yang terdeferensiabel di (x,y), dengan pendekatan (Δy =
f′(x) Δx) tersebut dirumuskan untuk menghapiri pertambahan dari variabel tak bebas z, yakni
Δz. Misalkan f suatau fungsi dua variabel dari x dan y, pertambahan f disembarang titik (x0,y0)
dinyatakan dengan Δf(x0,y0) didefenisikan oleh,

Δf(x0,y0) = f(x0 + Δx, y0 + Δy) – f(x0,y0)

Sejalan dengan konsep yang dikembangkan untuk fungsi satu variabel, untuk menghitung
pertambahan dari Δf(x,y) dititik (x0,y0) digunakan pendekatan diferensial total.

Diferensial Total dan Hampiran


Andaikan, z = f(x,y) adalah fungsi yang terdeferensiabel di (x,y), dan andaikan pula dx dan dy
adalah variabel yang menyatakan pertambahan dari variabel bebas x dan y. Diferensial total
dari variabel tak bebas z ditulis dz didefinisikan oleh,

dz = f x ( x, y ) dx + f y ( x, y ) dy

Dari definisi tersebut diatas, jika dx = Δx, dan dy = Δy, yang masing-masing menyatakan
pertambahan dari variabel bebas x dan y, maka dz merupakan hampiran yang cukup baik bagi
Δz. Dengan demikian hampiran dari pertambahan dari f yakni Δf di titik (x0,y0) diberikan
oleh,

Δf(x0,y0) = f x ( x0 , y 0 ) Δx + f y ( x0 , y 0 ) Δy

Untuk lebih jelasnya perhatikanlah contoh-contoh soal berikut ini.

72
Contoh 2.4.1
Jika, z = f(x,y) dengan f(x,y) = x3 + xy3 – x2y2. Hitunglah Δz dan dz, bilamana (x,y) berubah
dari (a). (2,1) ke titik (2,01, 0,99), dan (b) (2,1) ke titik (2,001, 0,999)
Penyelesaian :
Menghitung dz
Dengan menurunkan f(x,y) = x3 + xy3 – x2y2, secara parsial terhadap x dan y dihasilkan,
f x ( x, y ) = 3x2 + y3 – 2xy2 f y ( x, y ) = 3xy2 – 2x2y
Dengan demikian diferensial total dz, diberikan oleh :
dz = f x ( x, y ) dx + f y ( x, y ) dy
= (3x2 + y3 – 2xy2)dx + (3xy2 – 2x2y)dy
Selanjutnya untuk x = 2, y = 1, dx = Δx = 0,01 dan dy = Δy = –0,01 dihasilkan
dz = [3(2)2 + (1)3 – 2(2)(1)2](0,01) + [3(2)(1)2 – 2(2)2(1)](–0,01)
= (9)(0,01) + (–2)(–0,01) = 0,09 + 0,02 = 0,11

Selanjutnya untuk x = 2, y = 1, dx = Δx = 0,001 dan dy = Δy = –0,001 dihasilkan


dz = [3(2)2 + (1)3 – 2(2)(1)2](0,001) + [3(2)(1)2 – 2(2)2(1)](–0,001)
= (9)(0,001) + (–2)(–0,001) = 0,009 + 0,002 = 0,011

Menghitung Δz
Menurut definisi, pertambahan variabel tak bebas z, diberikan oleh
Δf(x0,y0) = f(x0 + Δx, y0 + Δy) – f(x0,y0)
Sehingga, jika (x0,y0) berubah dari (2,1) ke titik (2,01, 0,99) dihasilkan :
f(2,1) = (2)3 + (2)(1)3 – (2)2 (1)2 = 8 + 2 – 4 = 6
f(2,01, 0,99) = (2,01)3 + (2,01)(0,99)3 – (2,01)2(0,99)2 = 6,1112
Dengan demikian,
Δz = 6,1112 – 6 = 0,1112
Sehingga, jika (x0,y0) berubah dari (2,1) ke titik (2,001, 0,999) dihasilkan :
f(2,1) = (2)3 + (2)(1)3 – (2)2 (1)2 = 8 + 2 – 4 = 6
f(2,01, 0,99) = (2,001)3 + (2,001)(0,999)3 – (2,001)2(0,999)2 = 6,01101

Dengan demikian,
Δz = 6,01101 – 6 = 0,01101
Perhatikanlah bahwa jika pertambahannya cukup kecil, dz merupakan hampiran yang cukup
baik bagi Δz, artinya nilai dz cukup dekat dengan Δz.

Contoh 2.4.2
Jika buah tahanan R1 dan R2 dihubungkan secara paralel, maka tahanan penganti R diberikan
oleh,
1 1 1
= +
R R1 R2
Pada saat pengukuran, diketahui R1 = 25 ohm, dan R2 = 100 ohm. Bilamana alat pengukur
yang digunakan mempunyai kesalahan 0,02, hitunglah R dan berapa perkiraan kesalahan
penghitungan R.
Penyelesaian
Dari rumus tahanan penganti,
1 1 1 R + R2
= + = 1
R R1 R2 R1 R2
diperoleh bersanya tahanan pengganti, yaitu :

73
R1R2
R=
R1 + R2
Sehingga diperoleh R fungsi dari R1 dan R2. Dengan demikian diperoleh diferensial totalnya
yaitu,
∂R ∂R
dR = dR1 + dR2
∂R1 ∂R2
( R + R2 ) R2 − R1 R2 ( R + R2 ) R1 − R1 R2
= 1 dR1 + 1 dR2
2
( R1 + R2 ) ( R1 + R2 ) 2
R 22 R 12
= dR1 + dR2
( R1 + R2 ) 2 ( R1 + R2 ) 2

Untuk R1 = 25 ohm, R2 = 100 ohm, ΔR1 = 0,02 dan ΔR2 = 0,02 diperoleh :
(25)(100) 2500
R= = = 20
25 + 100 125
dan,
(100) 2 (25) 2
dR = (0,02) + (0,02) = 0,0136
(25 + 100) 2 (25 + 100) 2

Jadi besanya tahanan pengganti adalah 20 ohm, dengan kesalahan penggukurannya adalah
0,0136 ohm

Diferensial Total Fungsi n Variabel


Dari definisi diferensial total fungsi dua variabel dapat dikembangkan untuk menghitung
diferensial total fungsi tiga varaiabel atau lebih.

Andaikan, w = f(x,y,z) dengan fungsi yang dapat didiferensialkan f(x,y,z), dan andaikan pula
dx, dy, dan dz adalah variabel yang menyatakan pertambahan dari variabel bebas x, y, dan z.
Diferensial total dari variabel tak bebas w ditulis dw didefinisikan oleh,

dw = f x ( x, y, z ) dx + f y ( x, y, z ) dy + f z ( x, y, z ) dz

Dari definisi tersebut diatas, bilamana pertambahan dari x, y, dan z cukup kecil dimana
masing-masing diberikan oleh, dx = Δx, dy = Δy , dan dz = Δz, maka hampiran dari variabel
tak bebas w yakni Δw dapat didekati oleh dz, yang diberikan oleh :

Δw = f x ( x, y, z ) Δx + f y ( x, y, z ) Δy + f z ( x, y, z ) Δz

Contoh 2.4.3
Bilamana, w = ln(x2 + y2 + z2), hitunglah dw.
Penyelesaian
Dengan menurunkan secara parsial w terhadap variabel bebasnya dihasilkan,
∂w 2x ∂w 2y ∂w 2z
= = =
∂x 2
x +y +z 2 2 ∂y 2 2
x +y +z 2 ∂z x + y2 + z2
2

74
Menurut definisi, diferensial totalnya diberikan oleh :
∂w ∂w ∂w
dw = dx + dy + dz
∂x ∂y ∂y
2x 2y 2z
= dx + dy + dz
2 2 2 2 2 2
x +y +z x +y +z x + y2 + z2
2

x dx + y dy + z dz
=2
x2 + y2 + z2

Contoh 2.4.4
Andaikan, w = x3y + y3z – xz3, hitunglah dw dan Δw bilamana (x,y,z) bertambah dari (2,3,1)
ke (2,01, 3,02, 0,99).
Penyelesaian
Andaikan, w = f(x,y,z). Dengan menurunkan secara parsial w terhadap variabel bebasnya
dihasilkan,
∂w ∂w ∂w
= 3x2y – z3 = x3 + 3y2z = y3 – 3xz2
∂x ∂y ∂z
Menurut definisi, diferensial totalnya diberikan oleh :
∂w ∂w ∂w
dw = dx + dy + dz
∂x ∂y ∂y
= (3x2y – z3) dx + (x3 + 3y2z)dy +(y3 – 3xz2)dz

Sehingga untuk x = 2, y = 3, z = 1, dx = Δx = 0,01, dy = Δy = 0,02, dan dz = Δz = –0,01


dihasilkan,
dw = [3(2)2 (3) – (1)3] (0,01) + [(2)3 + 3(3)2(1)](0,02) +[(3)3 – 3(2)(1)2](–0,01)
= (35)(0,01) + (35)(0,02) + (21)(–0,01) = 0,84

Selanjutnya dengan menggunakan definisi fungsi, untuk x = 2, y = 3, z = 1 dihasilkan,


f(2,3,1) = (2)3(3) + (3)3(1) – (2)(1)3 = 49
Demikian pula untuk x = 2,01; y = 3,02; z = 0,99 dihasilkan,
f(2,01, 3,02, 0,99) = (2,01)3(3,02) + (3,02)3(0,99) – (2)(0,99)3 = 49,84209
Jadi,
Δw = f(2,01, 3,02, 1,99) – f(2,3,1) = 49,84209 – 49 = 0,84209
Perhatikanlah bahwa dz merupakan hampiran yang cukup baik bagi Δz, artinya nilai dz cukup
dekat dengan Δz.

Contoh 2.4.5
Sebuah kotak empat ersegi panjang mempunyai ukuran 10 cm, 15 cm dan 20 cm, dengan alat
ukur yang digunakan mempunyai tingkat ketelitian sampai dengan 0,01 cm. Tentukan
hampiran untuk galat terbesar untuk volume kotak.
Penyelesaian
Andaikan V cm3 menyatakan volume kotak dengan ukuran x cm, y cm, dan z cm, maka
volume kotak diberikan oleh,
V(x,y,z) = xyz
Dari V(x,y,z) = xyz, diperoleh Vx(x,y,z) = yz, Vy(x,y,z) = xz, dan Vz(x,y,z) = xy. Dengan
demikian diferensial totalnya diberikan oleh,

dV(x,y,z) = yz dx + xz dy + xy dz

75
Selanjutnya, dengan mensubsitusikan, x = 10, x = 10, y = 15, z = 20, dx = |Δx| = 0,01, dy =
|Δy| = 0,01, dan dz = |Δz| = 0,01 dihasilkan
V = (10)(15)(20) = 3000
dV = (15)(20) (0,01) + (10)(20)(0,01) + (10)(15)(0,01) = 6,5

Dengan membagi dV dengan V diperoleh,


ΔV dV 6,5
= × 100 % = × 100 % = 0,216 %
V V 3000
Jadi kesalahan relatif penghitungan volume kotak adalah 0,216 %

Persamaan Diferensial Eksak


Dari konsep diferensial total, dikembangkan untuk menentukan apakah diferensial total
tersebut eksak atau tidak, bilamana diferensial totalnya eksak bagaimanakah caranya
menentukan fungsi pembangkitnya. Dari definisi diferensial total, jika f(x,y) = c, mempunyai
turunan-turunan parsial diferensial totalnya diberikan oleh,

df = f x ( x, y ) dx + f y ( x, y ) dy
Bilamana f x ( x, y ) dan f y ( x, y ) masih merupakan fungsi dari x dan y, ambil
f x ( x, y ) = M(x,y), dan f y ( x, y ) = N(x,y)
sehingga dihasilkan persamaan diferensial total,
M(x,y) dx + N(x,y)dy = 0

Sebagai ilustrasi, andaikan f(x,y) = x2y3 – x3 + y2. Karena f x ( x, y ) = 2xy3 – 3x2, dan f y ( x, y )
= 3x2y2 + 2y, maka persamaan diferensial adalah :

(2xy3 – 3x2)dx + (3x2y2 + 2y)dy = 0

Bilamana f x ( x, y ) = 2xy3 – 3x2, diturunkan secara parsial terhadap y dihasilkan :


f xy ( x, y ) = 6xy2 ,
dan f y ( x, y ) = 3x2y2 + 2y, diturunkan secara parsial terhadap x, dihasilkan :
f yx ( x, y ) = 6xy2
Dari ilustrasi diatas terlihat bahwa, bilamana f x ( x, y ) dan f y ( x, y ) fungsi dari x dan y yang
kontinu, maka dihasilkan,
f xy ( x, y ) = f yx ( x, y )
Kesamaan terakhir ini merupakan persyaratan diferensial total eksak untuk fungsi dua
variabel, yang selengkapnya dinyatakan pada teorema berikut ini.

Persamaan diferensial total,


M(x,y)dx + N(x,y)dy = 0
dikatakan sebagai persamaan diferensial total eksak jika hanya jika

M y ( x, y ) = N x ( x, y ) , atau f xy ( x, y ) = f yx ( x, y )

76
Contoh 2.4.6
Dari contoh 2.4.1, telah diperoleh bahwa jika f(x,y) = x3 + xy3 – x2y2, diferensial totalnya
diberikan oleh
dz = (3x2 + y3 – 2xy2)dx + (3xy2 – 2x2y)dy
Selidikilah apakah dz eksak
Penyelesaian
Ambil, M(x,y) = 3x2 + y3 – 2xy2, dan N(x,y) = 3xy2 – 2x2y. Dengan menurunkan secara parsial
M(x,y) terhadap y, dan N(x,y) terhadap x dihasilkan :
M y ( x, y ) = 3y2 – 4xy dan N x ( x, y ) = 3y2 – 4xy
Karena M y ( x, y ) = N x ( x, y ) = 3y2 – 4xy, maka persamaan diferensial total adalah eksak.

Contoh 2.4.7
Andaikan diberikan persamaan diferensial,
(3xy3 + x3y – 3xy2)dx + (x2y3 – x2y)dy = 0
Selidikilah apakah persamaan diferensial diatas eksak.
Penyelesaian
Ambil, M(x,y) = 3xy3 + x3y – 3xy2, dan N(x,y) = x2y3 – x2y. Dengan menurunkan secara
parsial M(x,y) terhadap y, dan N(x,y) terhadap x dihasilkan :
M y ( x, y ) = 9xy2 + x3 – 6xy dan N x ( x, y ) = 2xy3 – 2xy
Karena M y ( x, y ) ≠ N x ( x, y ) , maka persamaan diferensial yang diberikan tidak eksak.

Permasalahan kedua yang timbul bilamana diberikan persamaan diferensial eksak adalah
menentukan fungsi pembangkitnya. Andaikan diberikan persamaan diferensial eksak,

M(x,y)dx + N(x,y)dy = 0

Penyelesaian umumnya yang fungsi pembangkit persamaan diferensial eksaknya adalah


fungsi dua variabel f(x,y) = c, dimana fungsi tersebut diberikan oleh,
f(x,y) = ∫ M ( x, y ) dx + g(y)
dimana g(y) fungsi dari y yang diperoleh dari :
f y ( x, y ) = N(x,y)
Dengan mendeferensialkan persamaan f(x,y) = ∫ M ( x, y) dx + g(y) secara parsial terhadap y
dihasilkan,

∂y ∫
M ( x, y ) dx + g′(y) = N(x,y)

Jadi fungsi g(y) pada penyelesaian umum persamaan diferensial eksak adalah,
⎛ ∂ ⎞
g(y) = ∫ ⎜⎜ N ( x, y ) − ∫ M ( x, y ) dx ⎟⎟ dy + c
⎝ ∂y ⎠
Pendekatan lain, untuk mementukan fungsi pembangkit dari persamaan diferensial eksak
adalah dengan mengintegrasikan terhadap y, dimana hasilnya diberikan oleh,
f(x,y) = ∫ N ( x, y ) dy + h(x)
dengan h(x) diberikan oleh
⎛ ∂ ⎞
h(x) = ∫ ⎜ M ( x, y ) − ∫ N ( x, y ) dy ⎟ dx + c
⎝ ∂x ⎠

77
Contoh 2.4.8
Carilah penyelesaian umum persamaan diferensial berikut ini, jika eksak
(3x2 + 4x3y – 3xy2)dx + (x4 + y3 – 3x2y)dy = 0
Penyelesaian
Dari persamaan diferensial diatas diperoleh,
M(x,y) = 3x2 + 4x3y – 3xy2 N(x,y) = x4 + y3 – 3x2y
3
M y ( x, y ) = 4x – 6xy N x ( x, y ) = 4x3 – 6xy
Karena, M y ( x, y ) = N x ( x, y ) = 4x3 – 6xy , maka persamaan diferensial yang diberikan
adalah eksak. Sehingga penyelesaiannya diberikan oleh,
f(x,y) = ∫ M ( x, y ) dx + g(y)

∫ (3x
2
= + 4 x 3 y − 3xy 2 ) dx + g(y)
3
= x 3 + x 4 y − x 2 y 2 + g(y)
2
dimana g(y) fungsi dari y yang diperoleh dari :
f y ( x, y ) = N(x,y)
∂ ⎛ 3 3 2 2⎞
⎜ x + x y − x y ⎟ + g′(y) = x + y – 3x y
4 4 3 2
∂y ⎝ 2 ⎠
x4 – 3x2y + g′(y) = x4 + y3 – 3x2y
g′(y) = y3
1
g(y) = ∫ y 3 dy = y 4 + c
4
Jadi penyelesaian persamaan diferensial yang diberikan adalah,
3 1
f(x,y) = x 3 + x 4 y − x 2 y 2 + y 4 + c
2 4

Contoh 2.4.9
Carilah penyelesaian persamaan diferensial,
(2x + y e xy )dx + (x e xy + y2)dy = 0
jika eksak
Penyelesaian
Dari persamaan diferensial diatas diperoleh,
M(x,y) = 2x + y e xy N(x,y) = x e xy + y2
M y ( x, y ) = e xy + y e xy (x) N x ( x, y ) = e xy + x e xy (y)
= (1 + xy e xy ) = (1 + xy e xy )
Karena, M y ( x, y ) = N x ( x, y ) = 1 + xy e xy , maka persamaan diferensial yang diberikan
adalah eksak. Sehingga penyelesaiannya diberikan oleh,
f(x,y) = ∫ ( xe xy + y 2 ) dy + h(x)
1 3
= e xy + y + h(x)
3
dengan h(x) diberikan oleh,
f x ( x, y ) = M(x,y)

78
∂ ⎛ xy 1 3 ⎞
⎜ e + y ⎟ + h′(x) = 2x + y e
xy
∂x ⎝ 3 ⎠
y e xy + h′(x) = 2x + y e xy
h′(x) = 2x
h(x) = ∫ 2 x dx = x2 + c
Jadi penyelesaian persamaan diferensial yang diberikan adalah,
1
f(x,y) = e xy + y 3 + x2 + c
3

Konsep diferensial total yang dikembangkan menjadi persamaan diferensial eksak untuk
fungsi dua variabel dapat diperluas untuk fungsi tiga variabel. Jika f(x,y,z) = c mempunyai
turunan-turunan parsial, menurut definisi diferensial totalnya diberikan oleh,

df = f x ( x, y, z ) dx + f y ( x, y, z ) dy + f z ( x, y, z ) dz

Jika f x ( x, y, z ) , f y ( x, y, z ) , dan f z ( x, y, z ) masih merupakan fungsi dari x, y, dan z ambil


M(x,y,z) = f x ( x, y, z ) ,
N(x,y,z) = f y ( x, y, z ) ,
R(x,y,z) = f z ( x, y, z )

Sehingga dihasilkan persamaan diferensial,


M(x,y,z) dx + N(x,y,z)dy + R(x,y,z)dz = 0

Sebagai ilustrasi, misalkan f(x,y,z) = x2y3 + x3z2 – y2z4, dan mengingat


f x ( x, y, z ) = M(x,y,z) = 2xy3 + 3x2z2,
f y ( x, y, z ) = N(x,y,z) = 3x2y2 – 2yz4,
f z ( x, y, z ) = R(x,y,z) = 2x3z – 4y2z3,

maka persamaan diferensialnya diberikan oleh,


(2xy3 + 3x2z2)dx + (3x2y2 – 2yz4)dy + (2x3z – 4y2z3)dz = 0

Selanjutnya, jika f x ( x, y, z ) = M(x,y,z) = 2xy3 + 3x2z2, diturunkan secara parsial terhadap y


dan z dihasilkan,
f xy ( x, y, z ) = M y ( x, y, z ) = 6xy2,
dan
f xz ( x, y, z ) = M z ( x, y, z ) = 6x2z

Selanjutnya, jika f y ( x, y, z ) = N(x,y,z) = 3x2y2 – 2yz4, diturunkan secara parsial terhadap x


dan z dihasilkan,
f yx ( x, y , z ) = N x ( x, y, z ) = 6xy2,
dan
f yz ( x, y , z ) = N z ( x, y, z ) = –8yz3

79
Demikian pula, untuk f z ( x, y, z ) = R(x,y,z) = 2x3z – 4y2z3, jika diturunkan secara parsial
terhadap x dan y dihasilkan,
f zx ( x, y, z ) = R x ( x, y, z ) = 6x2z,
dan
f zy ( x, y , z ) = R y ( x, y, z ) = –8yz3
Dari ilustrasi diatas terlihat bahwa, bilamana f x ( x, y, z ) , f y ( x, y, z ) , dan f z ( x, y, z ) masih
merupakan fungsi dari x, y, dan z yang kontinu, maka dihasilkan :

f xy ( x, y , z ) = f yx ( x, y , z ) , atau M y ( x, y, z ) = N x ( x, y, z )
f xz ( x, y, z ) = f zx ( x, y, z ) , atau M z ( x, y , z ) = R x ( x, y, z )
f yz ( x, y , z ) = f zy ( x, y , z ) , atau N z ( x, y, z ) = R y ( x, y, z )

Ketiga kesamaan terakhir ini merupakan persyaratan diferensial total eksak untuk fungsi tiga
variabel, yang selengkapnya dinyatakan pada teorema berikut ini.

Persamaan diferensial total,


M(x,y,z) dx + N(x,y,z)dy + R(x,y,z)dz = 0
dikatakan sebagai persamaan diferensial total eksak jika hanya jika
M y ( x, y , z ) = N x ( x, y , z ) ,
M z ( x , y , z ) = R x ( x, y , z ) ,
N z ( x, y , z ) = R y ( x , y , z )

Contoh 2.4.10
Dari contoh 2.4.4, telah diperoleh jika w = x3y + y3z – xz3, maka
dw = (3x2y – z3) dx + (x3 + 3y2z)dy + (y3 – 3xz2)dz
Selidikilah apakah diferensial total diatas eksak
Penyelesaian
Ambil, M(x,y,z) = 3x2y – z3, dan N(x,y,z) = x3 + 3y2z, dan M(x,y,z) = y3 – 3xz2. Dengan
menurunkan secara parsial terhadap x, y, dan z dihasilkan :
M y ( x, y, z ) = 3x2 , M z ( x, y, z ) = – 3z2
N x ( x, y, z ) = 3x2 N z ( x, y, z ) = 3y2
R x ( x, y, z ) = –3z2 R y ( x, y, z ) = 3y2
Dari hasil diatas terlihat bahwa,
M y ( x, y, z ) = N x ( x, y, z ) = 3x2
M z ( x, y, z ) = R x ( x, y, z ) = –3z2
N z ( x, y, z ) = R y ( x, y , z ) = 3y2
Dari hasil diatas maka dapat disimpulkan bahwa persamaan diferensial yang diberikan adalah
eksak.

Seperti pada permasalahan fungsi dua variabel, masalah yang timbul bilamana diberikan
persamaan diferensial eksak adalah menentukan fungsi pembangkitnya. Andaikan diberikan
persamaan diferensial eksak,

M(x,y,z) dx + N(x,y,z)dy + R(x,y,z)dz = 0

80
Penyelesaian umumnya yang merupakan fungsi pembangkit persamaan diferensial eksaknya
adalah fungsi tiga variabel f(x,y,z) = c, dimana fungsi tersebut diberikan oleh,
f(x,y,z) = ∫ M ( x, y, z ) dx + g(y,z)
dimana g(y,z) fungsi dari y dan z diperoleh dari,
f y ( x, y, z ) = N(x,y,z).
Dengan mendeferensialkan persamaan, f(x,y,z) = ∫ M ( x, y, z ) dx + g(y,z) secara parsial
terhadap y dihasilkan,

∂y ∫
M ( x, y, z ) dx + g y ( y, z ) = N(x,y,z)

Jadi fungsi g(y,z) pada penyelesaian umum persamaan diferensial eksak adalah,
⎛ ∂ ⎞
g(y,z) = ∫ ⎜⎜ N ( x, y, z ) − ∫ M ( x, y, z ) dx ⎟⎟ dy + h(z)
⎝ ∂y ⎠
Dengan demikian penyelesaian umumnya dapat ditulis menjadi,
⎛ ∂ ⎞
f(x,y,z) = ∫ M ( x, y, z ) dx + ∫ ⎜⎜ N ( x, y, z ) − ∫ M ( x, y, z ) dx ⎟⎟ dy + h(z)
⎝ ∂y ⎠
Sedangan h(z) diperoleh dari,
f z ( x, y, z ) = R(x,y,z)

Dengan cara yang sama urutan integrasi parsial untuk menentukan fungsi pembangkit f(x,y,z)
dapat dikerjakan dengan urutan yang berbeda, misalnya pertama integrasi terhadap y, langkah
kedua integrasi terhadap z dan terakhir adalah integrasi terhadap x. Bilamana persamaan
diferensialnya adalah eksak fungsi pembangkitnya tidak tergantung pada urutan integrasi.
Untuk lebih jelasnya perhatikanlah contoh-contoh soal berikut ini.

Contoh 2.4.11
Tentukan penyelesaian persamaan diferensial berikut ini, jika eksak.
( cos x e yz − y 2 z )dx + (z sin x e yz – 2xyz + y)dy + (y sin x e yz – xy2z + z2)dz = 0
Penyelesaian
Ambil, M(x,y,z) = cos x e yz − y 2 z , N(x,y,z) = z sin x e yz – 2xyz + y, dan R(x,y,z) = y sin x
e yz – xy2 + z2. Dengan menurunkan secara parsial terhadap x, y, dan z dihasilkan :
M y ( x, y , z ) = z cos x e yz − 2 yz , M z ( x, y, z ) = y cos x e yz − y 2

N x ( x, y, z ) = z cos x e yz – 2yz N z ( x, y, z ) = sin x e yz + yz sin x e yz – 2xy


R x ( x, y, z ) = y cos x e yz – y2 R y ( x, y, z ) = sin x e yz + yz sin x e yz – 2xy
Dari hasil diatas terlihat bahwa,
M y ( x, y, z ) = N x ( x, y, z ) = z cos x e yz − 2 yz
M z ( x, y, z ) = R x ( x, y, z ) = y cos x e yz − y 2
N z ( x, y, z ) = R y ( x, y , z ) = sin x e yz + yz sin x e yz – 2xy
Dari hasil diatas maka dapat disimpulkan bahwa persamaan diferensial yang diberikan adalah
eksak. Sedangkan fungsi pembangkitnya adalah,
∫ M ( x, y, z ) dx + g(y,z) = ∫ (cos x e
yz
f(x,y,z) = − y 2 z ) dx + g(y,z)

81
= sin x e yz – 2xy2z + g(y,z)
dimana g(y,z) fungsi dari y dan z diperoleh dari, f y ( x, y, z ) = N(x,y,z) atau

[ sin x e yz – 2xy2z] + g y ( y, z ) = z sin x e yz – 2xyz + y
∂y
z sin x e yz – 2xyz + g y ( y, z ) = z sin x e yz – 2xyz + y
g y ( y, z ) = y
1 2
g(y,z) = ∫ y dy = 2
y + h(z)
Dengan demikian penyelesaian umumnya dapat ditulis menjadi,
1
f(x,y,z) = sin x e yz – 2xy2z + y 2 + h(z)
2
dimana h(z) diperoleh dari, f z ( x, y, z ) = R(x,y,z) yaitu :
∂ ⎛ 1 2⎞
⎜ sin x e − 2 xy z + y ⎟ + h′(z) = y sin x e – xy + z
yz 2 yz 2 2
∂z ⎝ 2 ⎠
y sin x e yz – xy2 + h′(z) = y sin x e yz – xy2 + z2
h′(z) = z2
1
h(z) = ∫ z 2 dz = z 3 + c
3
Jadi penyelesaian umum persamaan diferensial yang diberikan adalah,
1 1
f(x,y,z) = sin x e yz – 2xy2z + y 2 + z 3 + c
2 3

Soal-soal Latihan Bab 2.4


Untuk soal-soal latihan nomor 1 sampai 20 berikut ini, tentukanlah diferensial totalnya, dan,
selidikilah apakah diferensial totalnya eksak atau tidak :

1. u = 4x2y(3 – x – y3) 2. u = x cos(xy) – y sin(xy)


− xy
3. u = (x – y) e 4. u = sin(xy) e − xy
5. u = e − xy sin(x – y) 6. u = xy ln(x2 + y2)
xy
7. u = 8. u = (x2 + y2)arc tan(x/y)
x2 − y2
9. u = xy e xy 10. u = cos(xy) e xy
11. u = (z + y) e y ( x − z ) 12. u = (x – z) e x ( z − y )
13. u = xz2(y – z2) 14. u = xz arc tan(y/z)
y2 x2 z 2
15. u = + + 16. u = (x + y) e z ( x − y )
z y x
17. u = ln(x3 + y3 + z3) 18. u = sin(yz) e xy
y x z
19. u = xyz(x2 + y2 – z2) 20. u = + +
2 2
z y x2

82
Untuk soal-soal latihan nomor 21 sampai 40 berikut ini, selidikilah apakah diferensial total
yang diberikan eksak atau tidak. Jika eksak tentukanlah solusinya

21. (x + y3 + y e xy )dx + (3xy2 + x e xy – 4y)dy = 0


22. (2 + 6x2y2 – xy2)dx + (4x3y – x2y + 2y)dy = 0
23. [x3 + y cos(xy)]dx + [y2 + xcos(xy)]dy = 0
24. (2x sin y + x2)dx + (x2 cos y + 3y)dy = 0
25. (cos 2x + tan y)dx + (x sec2 y – tan y)dy = 0
26. xy ( e x + 2)dx + [x2 + (x – 1) e x + y]dy = 0
27. (2x + y cos(x + y)} dx + (y – x sin(x + y)]dy = 0
28. (x + x e x sin y)dx + [(x – 1) e x cos y + y2]dy = 0
x+ y
29. dx + (arc tan x + 2y)dy = 0
1+ x2
x(1 + 2 y ) ⎛ y ⎞⎟
30. dx + ⎜ ln(1 + x 2 ) + dy = 0
1+ x2 ⎜ + 2⎟
⎝ 1 y ⎠
31.(2y e x + 2x e z )dx + (2 e x + 2y e z )dy + (x2 + y2 + 2z) e z dz = 0
32. (x2 – y2)dx + (yz2 – 2xy)dy + (y2z + 2z) dz = 0
33.(2x siny + 3x2z2) dx + (x2 cos y + z3)dy + (2x3z + 3yz2 – 4z)dz = 0
34.(z2 e x + 2x e y )dx + (x2 e y – z2)dy + 2z( e x – y + e z )dz = 0
35.(8xz2 + 2xy3)dx + (3x2y2 + 4yz)dy + (8x2z + 2y2 + 3z2)dz = 0
⎛ e x ⎞⎟ ⎛ ey ⎞
36. e x (e z − ln y ) dx + ⎜ e y ln z − dy + ⎜ e x + z + + z ⎟ dz = 0
⎜ y ⎟⎠ ⎜ z ⎟
⎝ ⎝ ⎠
37. ( e x + e y sin z )dx + e y ( x sin z + 1) dy + ( xe y + 1) cos z dz = 0
2x z − x2 x2 + y
38. dx + dy – dz = 0
y+z ( y + z) 2 ( y + z) 2
39. x(1 + z tan y)dx + (x2z + 1)sec2y dy + (x2 tan y + z)dz = 0
40. (e z + y ) cos x dx + (z sin y + cos x)dy + [ e z (1 + sin x) − cos y ]dz = 0

83
2.5. Gradien dan Turunan Berarah

Dari definisi turunan parsial, f x ( x, y ) dan f y ( x, y ) masing-masing dapat ditafsirkan sebagai


laju perubahan atau kemiringan garis singgung kurva yang sejajar dengan sumbu x atau
sumbu y. Untuk mengukur arah perubahan fungsi pada semabarang arah diberikan konsep
turunan berarah, yang sangat erat kaitannya dengan masalah gradien.

Gradien
Andaikan f(x,y) adalah fungsi dua variabel dari x dan y, dan mempunyai turunan-turunan
parsial f x ( x, y ) dan f y ( x, y ) . Gradien f yang dinyatakan dengan f(x,y) = grad f (dibaca
“del f ”) didefinisikan oleh,

f(x,y) = f x ( x, y ) i + f y ( x, y ) j

dimana i = <1,0> dan j = <0,1> masing-masing menyatakan vektor satuan yang searah sumbu
x dan sumbu y.

Sedangkan fungsi tiga variabel, andaikan f(x,y,z) adalah fungsi tiga variabel dari x, y, dan z
mempunyai turunan-turunan parsial f x ( x, y, z ) , f y ( x, y , z ) , dan f z ( x, y, z ) . Gradien f
dinyatakan dengan f(x,y,z) = grad f (dibaca “del f ”) didefinisikan oleh,

f(x,y,z) = f x ( x, y, z ) i + f y ( x, y , z ) j + f z ( x, y, z ) k

dimana i = <1,0,0>, j = <0,1,0> dan k = <0,0,1> masing-masing menyatakan vektor satuan


yang searah sumbu x, sumbu y dan sumbu z.

Dengan notasi operator diferensial, “del” yaitu


  
= i+ j+ k
x y z
gradien f ditulis menjadi,
f(x,y,z) =   f(x,y,z)
  
=( i+ j+ k) f(x,y,z)
x y z
f f f
= i+ j+ k
x y z

Contoh 2.5.1
Jika f(x,y) = x2y – xy3, hitunglah gradien f di titik (3,2)
Penyelesaian
Dari, f(x,y) = x2y – xy3, diperoleh :
f x ( x, y ) = 2xy – y3 f y ( x, y ) = x2 – 3xy2
Menurut definisi gradien f di sembarang titik diberikan oleh,

84
f(x,y) = (2xy – y3)i + (x2 – 3xy2) j
Sehingga gradien f di titik (3,2) diberikan oleh
f(3,2) = [2(3)(2) – (2)3]i + [(3)2 – 3(3)(2)2] j
= 4i – 27 j

Contoh 2.5.2
Jika, f(x,y,z) = x3y + y2z – xz3, hitunglah gradien f di titik (2,3,1)
Penyelesaian
Dari, f(x,y,z) = x3y + y2z – xz3, diperoleh :
f x ( x, y, z ) = 3x2y – z3,
f y ( x, y , z ) = x3 + 2yz
f z ( x, y, z ) = y2 – 3xz2
Menurut definisi gradien f di sembarang titik diberikan oleh,
f(x,y,z) = (3x2y – z3)i + (x3 + 2yz) j + (y2 – 3xz2)k
Sehingga gradien f di titik (2,3,1) diberikan oleh
f(2,3,1) = [3(2)2(3) – (1)3]i + [(2)3 + 2(3)(1)] j + [(3)2 – 3(2)(1)2]k
= 35 i + 14 j + 3k

Turunan Berarah
Andaikan f(x,y) adalah fungsi dua variabel dari x dan y, dan mempunyai turunan-turunan
parsial f x ( x, y ) dan f y ( x, y ) . Andaikan pula P(x,y) titik di R2, dan u = u1i + u2 j adalah
sebuah vektor satuan. Maka turunan berarah f di titik P(x,y) dalam arah vektor u ditulis Du
f(x,y) didefinisikan oleh,

Du f(x,y) = u  f(x,y)
= (u1i + u2 j)  ( f x ( x, y ) i + f y ( x, y ) j)
= (u1 f x ( x, y ) + u2 f y ( x, y )

Turunan berarah fungsi dua variabel ini memberikan nilai laju perubahan dari fungsi f
terhadap jarak dalam bidang (ruang dimensi dua) dalam arah vektor normal satuan u .
Demikian pula, turunan berarah dari fungsi tiga variabel memberikan nilai laju perubahan
dari f terhadap jarak dalam ruang dimensi tiga dalam arah vektor satuan u . Turunan berarah
untuk fungsi tiga variabel diberikan pada rumusan berikut ini.

Andaikan f(x,y,z) adalah fungsi tiga variabel dari x, y, dan z mempunyai turunan-turunan
parsial f x ( x, y, z ) , f y ( x, y , z ) , dan f z ( x, y, z ) . Andaikan pula P(x,y,z) sebuah titik di R3,
dan u = u1i + u2 j + u3 k adalah sebuah vektor satuan. Maka turunan berarah f di titik P(x,y,z)
dalam arah vektor u ditulis Du f(x,y,z) didefinisikan oleh,

Du f(x,y,z) = u  f(x,y,z)
= (u1i + u2 j + u3 k)  ( f x ( x, y, z ) i + f y ( x, y , z ) j + f z ( x, y, z ) k )
= u1 f x ( x, y, z ) + u2 f y ( x, y , z ) + u3 f z ( x, y, z )

85
Contoh 2.5.3
Jika f(x,y) = xy2 – x3y, hitung turunan berarah f di titik (1,2) pada arah vektor, a = 3i – 4j
Penyelesaian
Dari f(x,y) = 2xy2 – x3y, dihasilkan
f x ( x, y ) = 2y2 – 3x2y
f y ( x, y ) = 4xy – x3
Menurut definisi gradien f di sembarang titik diberikan oleh,
f(x,y) = (2y2 – 3x2y)i + (4xy – x3)j
Sehingga gradien f di titik (1,2) diberikan oleh
f(1,2) = [2(2)2 – 3(1)2(2)]i + [4(1)(2) – (1)3] j = 2i + 7j

Sedangkan dari vektor, a = 3i – 4j dihasilkan vektor normal satuan u, yaitu


a 3i  4 j 3 4
u= = = i j
|a| (3) 2  (4) 2 5 5
3 4
Jadi turunan berarah f(x,y) = 2xy2 – x3y di (1,2) pada arah vektor normal satuan, u = i j
5 5
adalah
3 4 3 4 22
Du f(1,2) = ( i  j )  (2i + 7j) = (2) – (7) = –
5 5 5 5 5

Contoh 2.5.4
Jika, f(x,y,z) = x2 e yz + y2 e xz , hitunglah turunan berarah f di titik (2,1,0) dalam arah vektor a
= 2i – j + 2k
Penyelesaian
Dari, f(x,y,z) = x2 e yz + y2 e xz , diperoleh :
f x ( x, y, z ) = 2x e yz + y2z e xz
f y ( x, y , z ) = x2z e yz + 2y e xz
f z ( x, y, z ) = x2y e yz + xy2 e xz

Menurut definisi gradien f di sembarang titik diberikan oleh,


f(x,y,z) = (2x e yz + y2z e xz )i + (x2z e yz + 2y e xz )j + (x2y e yz + xy2 e xz )k

Sehingga gradien f di titik (2,1,0) diberikan oleh


f(2,3,1) = (4 + 0)i + (0 + 2)j + (4 + 2)k = 4i + 2j + 6k

Sedangkan dari vektor a = 2i – j + 2k dihasilkan vektor normal satuan u, yaitu


a 2i  j  2k 2 1 2
u= = = i– j+ k
|a| (2) 2  (1) 2  (2) 2 3 3 3

Jadi turunan berarah fungsi f(x,y,x) = x2 e yz + y2 e xz di titik (2,1,0) pada arah vektor normal
2 1 2
satuan, u = i – j + k adalah
3 3 3
2 1 2 2 1 2
Du f(2,1,0) = ( i – j + k)  (4i + 2j + 6k) = (4) – (2) + (6) = 6
3 3 3 3 3 3

86
Laju Perubahan Maksimum
Menurut definisinya, turunan berarah diberikan oleh persamaan,

Du f = u  f

Dari rumus diatas, terlihat bahwa turunan berarah merupakan hasil kali titik dari dua buah
vektor u dan vektor f. Selanjutnya, misalkan  adalah sudut antara dua vektor u dan f,
menurut definisi hasil kali titik dihasilkan,

u  f = | u| |f| cos 

Dengan demikian turunan berarah dapat ditulis menjadi,

Du f = | u| |f| cos 

Dari hasil terakhir ini, turunan berarah, Du f mencapai mencapai nilai maksimum bilamana
cos  = 1, atau  = 0, dan hal ini terjadi bilamana vektor u dan f searah. Dengan demikian
turunan berarah, Du f mencapai nilai minimum bilamana cos  = 0, atau  = /2, dan hal ini
terjadi bilamana vektor u dan f saling tegak lurus. Sedangkan nilai maksimum dan atau
nimimumnya diberikan oleh |f |.

Contoh 2.5.5
Jika f(x,y) = x3y – xy3, hitunglah nilai maksimum dari turunan Du f dititik (2,1), dan tentukan
pula arah vektornya.
Penyelesaian
Dari f(x,y) = x3y – xy3, dengan turunan parsial dihasilkan,
f x ( x, y ) = 3x2y – y3
f y ( x, y ) = x3 – 3xy2
Menurut definisi gradien f di sembarang titik diberikan oleh,
f(x,y) = (3x2y – y3)i + (x3 – 3xy2)j
Sehingga gradien f di titik (2,1) diberikan oleh
f(1,2) = [3(2)2(1) – (1)3]i + [(2)3 – 3(2)(1)2] j = 11i – 2j
dan, panjang vektornya adalah
|f(1,2)| = (11) 2  (2) 2 = 125 = 5 5
Jadi nilai maksimum dari Du f dititik (2,1), adalah 5 5 pada arah vektor 11i – 2j

Contoh 2.5.6
Suhu T(x,y,z) derajad di setiap titik permukaan bola pada ruang dimensi tiga diberikan oleh,
98
T(x,y,z) =
x2  y2  z2
dimana (x,y,z) koordinat pada permukaan bola. Carilah laju perubahan suhu di (3,–2,6) dalam
arah vektor, a = i + 2j – 2k, dan carilah pula arah dan besarnya laju perubahan suhu
maksimum di titik (3,–2,6)

87
Penyelesaian
Dengan menurunkan secara parsial T(x,y,z) terhadap variabel bebasnya dihasilkan,
 98 x
T x (x,y,z) = ,
( x 2  y 2  z 2 )3 / 2
 98 y
T y (x,y,z) = ,
( x 2  y 2  z 2 )3 / 2
 98 z
Tz (x,y,z) =
( x 2  y 2  z 2 )3 / 2
Menurut definisi gradien T(x,y,z) di sembarang titik diberikan oleh,
 98 x  98 y  98 z
T(x,y,z) = i+ j + k
2 2 2 3/ 2 2 2 2 3/ 2
(x  y  z ) (x  y  z ) ( x  y 2  z 2 )3 / 2
2

 98
= (xi + yj + zk)
( x  y 2  z 2 )3 / 2
2

Sehingga gradien T di titik (3,–2,6) diberikan oleh


 98 6 4 12
T(3,–2,6) = (3i – 2j + 6k) = – i + j – k
2 2 2 3/ 2 7 7 7
[(3)  (2)  (6) ]

Sedangkan dari vektor arah, a = i + 2j – 2k, dihasilkan vektor normal satuan u, yaitu
a i  2 j  2k 1 2 2
u= = = i+ j – k
|a| (1) 2  (2) 2  (2) 2 3 3 3
1 2 2
Jadi laju perubahan suhu di titik (3,–2,6) pada arah vektor normal satuan, u = i+ j – k
3 3 3
adalah
6 4 12 1 2 2
Du T(3,–2,6) = (– i + j – k)  ( i + j – k)
7 7 7 3 3 3
6 1 4 2 12 2 26
= (– )( ) + ( )( ) + (– )(– ) =
7 3 7 3 7 3 21
26
Jadi pada titik (3,–2,6) suhu bertambah dengan laju satuan tiap satuan perubahan jarak
21
dalam arah vektor satuan u.

Selanjutnya, dari gradien T di titik (3,–2,6) diberikan oleh


6 4 12
T(3,–2,6) = – i + j – k
7 7 7
Dengan demikian arah vektor yang memberikan Du T(3,–2,6) maksimum adalah vektor yang
6 4 12
searah dengan T(3,–2,6) = – i + j – k, dan laju perubahan suhu maksimum
7 7 7
diberikan oleh,
Du T(3,–2,6) = |T(3,–2,6)| = (6 / 7) 2  (4 / 7) 2  (12 / 7) 2
36 16 144 286
=   =
49 49 49 7

88
Soal-soal Latihan Bab 2.5.
Dalam soal-soal latihan nomor 1 sampai 16 berikut ini, hitunglah gradien dari fungsi yang
diberikan.

1. f(x,y) = 2x2y – x3 + y3 2. f(x,y) = xy ln(x2 – y2)


xy 2 2
3. f(x,y) = 4. f(x,y) = xye  ( x  y )
x2  y2
2 2
5. f(x,y) = cos(x – y) e  ( x  y ) 6. f(x,y) = xy sin(x2 – y2)
x y x y
7. f(x,y) = 8. f(x,y,z) =
x  y2
2 xz
1 2
9. f(x,y,z) = 10. f(x,y,z) = xe  y tan z
25  ( x 2  y 2  z 2 )
11. f(x,y,z) = z2 sec(x2 + y2) 12. f(x,y,z) = sin(x2 + y2 + z2)
13. f(x,y,z) = ln x 2  y 2  z 2 14. f(x,y,z) = tan x 2  y 2  z 2
xyz
15. f(x,y,z) = ln
x2  y2  z2

Dalam soal-soal latihan nomor 16 sampai 25 berikut ini, hitunglah turunan berarah dari
fungsi f di titik P dalam arah vektor a.

xy
16. f(x,y) = di titik P(1,1) dalam arah a = 3i + 4j
x  y2
2

17. f(x,y) = (x2 – y2) ln(x + y) di titik P(3,1) pada arah vektor a = 2i+ 2j
18. f(x,y) = ye  xy  2 x  y 2 di titik P(0,2) pada arah vektor a = 3 i + j
x y
19. f(x,y) = di titik P(2,1) pada arah vektor a = – 3 i + 2 j
x2  y2
2 2
20. f(x,y) = e  ( x  y ) di titik P(1,1) pada arah vektor a = 2 i – 2 j
21. f(x,y,z) = x3y + y2z2 – xz3 di titik P(1,2,1) pada arah vektor a = 2 i – j + k
22. f(x,y,z) = ze  xy  ye xz di titik P(0,2,1) pada arah vektor a = 3i+ 2 j – 2k
23. f(x,y,z) = ye  yz  xe xz di titik P(2,1,0) pada arah vektor a = i + 2j –k
3 3
24. f(x,y,z) = xy sin z – x y cos z di titik P(1,2,0) pada arah vektor a = 3 i – 2 j + 2k
1
25. f(x,y,z) = di titik P(3,3, 3 ) pada arah vektor a = i + 2 j – k
25  ( x 2  y 2  z 2 )

26. Kepadatan pada setiap titik dari pelat berbentuk lingkaran pada bidang xy diberikan oleh,
50
f(x,y) = . Carilah laju perubahan kepadatannya di titik (4,3) dalam arah a
2 2
50  ( x  y )
= 2i+ 2 j . Carilah pula arah dan besar laju perubahan terbesar di titik tersebut.

89
27. Suhu pelat berbentuk empat persegi panjang di bidang xy adalah f(x,y) = 4x2 + 6xy jarak
diukur dalam meter. Carilah laju perubahan suhu di titik (2,1) dalam arah a = i + 3 j .
Carilah pula arah dan besar laju perubahan terbesar di titik tersebut.
28. Potensial listriik di setiap titik pada bidang xy adalah v(x,y) = e 4 x cos 2 y . Carilah laju
perubahan potensial di titik (1,/6) dalam arah a = cos /6 i + sin /6 j . Carilah pula arah
dan besar laju perubahan terbesar di titik tersebut.
29. Suhu pada sebuah bola yang berpusat di titik (0,0) diberikan oleh,
2 2 2
T(x,y,z) = 100 e  ( x  y  z ) .
Buktikanlah bahwa laju perubahan paling panas terjadi di titik pusat, dan butikan pula
bahwa arah penurunan suhu terbesar terjadi bilamana vektor arahnya mengarah menjauhi
titik pusat.
30. Suhu T(x,y,z) derajad pada setiap titik dalam sebuah bola ruang diberikan oleh,
100
T(x,y,z) = .
100  ( x 2  y 2  z 2 )
Carilah laju perubahan suhu di titik (5,–5,5) dalam arah vektor a = 2i + 2j – 3 k.
Carilah pula laju perubahan suhu terbesar di titik tersebut.

90
2.6. Bidang Singgung dan Normal Bidang Permukaan

Andaikan F(x,y,z) = k adalah persamaan suatu permukaan S pada ruang dimensi tiga, dan
misalkan bahwa P(x0,y0,z0) sebuah titik pada permukaan S. Selanjutnya misalkan C adalah
kurva pada permukaan S yang melalui titik P(x0,y0,z0), dan persamaannya diberikan oleh
persamaan parameter,

x = x(t), y = y(t), dan z = z(t)

Dalam bentuk vektor persamaan kurva C diberikan oleh,

r(t) = x(t)i + y(t)j + z(t)k

Lihat Gambar 2.6.1, berikut ini

z ∇F

P(x0,y0,z0) C

x
Gambar 2.6.1

Karena kurva C terletak pada permukaan S, dengan mensubsitusikan persamaan parameter


pada fungsi F dihasilkan fungsi satu variabel dari variabel t yaitu,

F(x(t),y(t),z(t)) = k

Dengan menggunakan aturan rantai, dihasilkan :


dF dx dy dz
= Fx + Fy + Fz =0
dt dt dt dt

Demikian pula dari, r(t) = x(t)i + y(t)j + z(t)k dihasilkan,

dr dx dy dz
= i+ j+ k
dt dt dt dt
dF
Mengingat, ∇F = Fx i + F y j + Fz k , maka dapat ditulis menjadi,
dt
dF dx dy dz
= ( Fx i + F y j + Fz k) • ( i + j+ k)
dt dt dt dt
dr
= ∇F • =0
dt

91
Dari persamaan terakhir ini dapat disimpulkan bahwa gradien F di sembarang titik pada
permukaan S tegak lurus dengan garis singgung kurva di titik tersebut. Hal ini diperlihatkan
pada Gambar 2.6.1. Definisi secara formalnya disebut dengan vektor normal, sebagai berikut.

Vektor Normal
Sebuah vektor yang tegak lurus pada vektor singgung sari setiap kurva C pada permukaan S
dan melalui titik P0 pada S disebut dengan vektor normal pada S di P0, yaitu :

∇F(x0,y0,z0) = Fx (x0,y0,z0)i + F y (x0,y0,z0) j + Fz (x0,y0,z0)k

Bidang Singgung
Andaikan F(x,y,z) = k adalah persamaan suatu permukaan S pada ruang dimensi tiga, yang
memuat titik P(x0,y0,z0) dan misalkan F dapat dideferensialkan di P(x0,y0,z0). Bilamana
gradien F di P(x0,y0,z0) yakni ∇F(x0,y0,z0) ≠ 0, maka bidang yang melalui P(x0,y0,z0) yang
tegak lurus ∇F(x0,y0,z0) disebut dengan bidang singgung permukaan S di P(x0,y0,z0).
Persamaan bidang singgung dari permukaan S di P(x0,y0,z0) dengan gradien ∇F(x0,y0,z0)
diberikan oleh,

Fx (x0,y0,z0)(x – x0) + F y (x0,y0,z0)(y – y0) + Fz (x0,y0,z0)(z – z0) = 0

Dalam bentuk vektor persamaan bidang singgung dari permukaan S di P(x0,y0,z0) dengan
gradien ∇F(x0,y0,z0) diberikan oleh,

∇F(x0,y0,z0) •[(x – x0)i + (y – y0)j + (z – z0)k = 0

Dalam hal khusus, untuk permukaan S yang persamaannya diberikan oleh, z = f(x,y)
persamaan bidang singgung di titik (x0,y0,f(x0,y0)) diberikan oleh,

(z – z0) = f x (x0,y0)(x – x0) + f y (x0,y0)(y – y0)

Contoh 2.6.1
Carilah persamaan bidang singgung di permukaan elipsoida,
x2 + 4y2 + 3z2 – 2x – 8y = 56
pada titik (3,2,4)
Penyelesaian
Ambil, F(x,y,z) = x2 + 4y2 + 3z2 – 2x – 8y – 56. Dari fungsi F diperoleh,
Fx (x,y,z) = 2x – 2,
F y (x,y,z) = 8y – 8,

Fz (x,y,z) = 6z
Menurut definisi gradien F di sembarang titik diberikan oleh,

∇F(x,y,z) = (2x – 2)i + (8y – 8) j + 6zk

92
Dengan demikian gradien F di titik (3,2,4) diberikan oleh,

∇F(3,2,4) = [2(3) – 2]i + [8(2) – 8] j + 6(4)k = 4i + 8j + 24k

Jadi persamaan bidang singgung permukaan di (3,2,4) diberikan oleh,

4(x – 3) + 8(y – 2) + 24(z – 4) = 0 atau, x + 2y + 3z = 31

Contoh 2.6.2
Tentukanlah titik pada permukaan, z = 2x2 + 3y2 – 6x – 4y dimana bidang singgungnya pada
titik tersebut sejajar dengan bidang, 6x + 8y – z = 0
Penyelesaian
Andaikan, (x0,y0,z0) adalah titik pada permukaan S dimana bidang singgungnya sejajar
dengan bidang 6x + 8y – z = 0. Dari permukaan S, ambil

F(x,y,z) = 2x2 + 3y2 – 6x – 4y – z,

dengan menurunkan secara parsial dihasilkan,


Fx (x,y,z) = 4x – 6,
F y (x,y,z) = 6y – 6,
Fz (x,y,z) = –1

Menurut definisi gradien F di sembarang titik (x0,y0,z0) diberikan oleh,

∇F(x0,y0,z0) = (4x0 – 6)i + (6y0 – 4)j – k

Karena bidang singgung permukaan S sejajar dengan bidang 8x + 6y – z = 0, maka dihasilkan


persamaan,
4x0 – 6 = 6 atau 4x0 = 12 atau x0 = 3.
6y0 – 4 = 8 atau 6y0 = 12 atau y0 = 2.

Untuk x0 = 3, dan y0 = 2, maka z0 = 4. Jadi titik pada permukaan S yang bidang singgungnya
sejajar dengan bidang 6x + 8y – z = 0 adalah (3,2,4), dan bidang singungnya adalah :

6(x – 3) + 8(y – 2) – (z – 4) = 0, atau 6x + 8y – z = 32.

Contoh 2.6.3
Carilah persamaan bidang singgung pada permukaan, 4x2 + xy + 3z2 = y2 + 2xz. yang sejajar
dengan bidang, 11x + 8y + 2z = 88
Penyelesaian
Dari persamaan permukaan S ambil, F(x,y,z) = 4x2 – y2 + 3z2 + xy – 2xz. Dengan menurunkan
secara parsial fungsi F terhadap variabel bebasnya dihasilkan,
Fx (x,y,z) = 8x + y – 2z
F y (x,y,z) = x – 2y
Fz (x,y,z) = –2x + 6z
Menurut definisi gradien F di sembarang titik diberikan oleh,

∇F(x,y,z) = (8x + y – 2z)i + (x – 2y)j + (–2x + 6z)k

93
Karena bidang singgung pada permukaan S di sembarang titik (x,y,z) sejajar dengan bidang,
11x + 8y + 2z = 88, maka ∇F(x,y,z) sama dengan normal bidang. Akibatnya diperoleh,

8x + y – 2z = 11
x – 2y = 8
–2x +6z = 2

Dengan menyelesaikan secara simulkan ketiga persamaan diatas dihasilkan, x0 = 2, y0 = –3


dan z0 = 1. Jadi persamaan bidang singgung permukaan S di titik (2,–3,1) dengan normal
bidang ∇F(2,–3,1) = 11i + 8j + 2k adalah,

11(x – 2) + 8(y + 3) + 2(z – 1) = 0, atau 11x + 8y + 2z = 0

Contoh 2.6.4
Diberikan dua buah permukaan, 3x2 + y2 – z2 = xz – y, dan x2 – 2y2 + z2 = xy + 3z, dimana
kedua kurva berpotongan di titik (2,1,3). Carilah persamaan garis simetri yang merupakan
perpotongan kedau bidang singgung di titik (2,1,3).
Penyelesaian
Andaikan l menyatakan persamaan garis simetri yang melalui titik (2,1,3) dengan vektor arah
garis, u = u1i + u2 j + u3k, maka persamaan garis l adalah

x − 2 y −1 z − 3
= =
u1 u2 u3

Karena garis l merupakan perpotongan dua bidang singgung permukaan di (2,1,3), maka
vektor arah garis l tegak lurus dengan kedua vektor normal bidang singgung di titik (2,1,3).
Akibatnya,
u = ∇F(2,1,3) × ∇G(2,1,3)

Oleh karena itu, dari kedua buah persamaan permukaan, ambil


F(x,y,z) = 3x2 + y2 – z2 – xz + y,
dan
G(x,y,z) = x2 – 2y2 + z2 – xy – 3z.
Dengan menurunkan secara parsial masing-masing fungsi terhadap variabel bebasnya
dihasilkan,
Fx (x,y,z) = 6x – z G x (x,y,z) = 2x – y
F y (x,y,z) = 2y + 1 G y (x,y,z) = –x – 4y
Fz (x,y,z) = –x – 2z G z (x,y,z) = 2z – 3

Dengan demikian gradien F di sembarang titik adalah,


∇F(x,y,z) = (6x – z)i + (2y + 1)j – (x + 2z)k
dan gradien F di titik (2,1,3) adalah,
∇F(2,1,3) = [6(2) – 3)i + [2(1) + 1)j – [2 + 2(3)]k
= 9i + 3j – 8k

Sedangkan gradien G di sembarang titik adalah,


∇G(x,y,z) = (2x – y)i – (x + 4y)j + (2z – 3)k
dan gradien G di titik (2,1,3) adalah

94
∇G(2,1,3) = [2(2) – 1)i – [2 + 4(1)]j + [2(3) – 3]k
= 3i – 6j + 3k
Sehingga vektor arah garis l adalah,
i j k
u = ∇F(2,1,3) × ∇G(2,1,3) = 9 3 − 8
3 −6 3
= –39i – 51j – 63k
dan persamaan garis simetrinya dengan vektor arah, u = –39i – 51j – 63k adalah,
x − 2 y −1 z − 3
= =
− 39 − 51 − 63
atau,
x − 2 y −1 z − 3
= =
13 17 21

Garis Normal
Salah satu manfaat lain dari gradien fungsi, disamping untuk menghitung vektor nomal
bidang singgung, manfaat lain dari ∇F di suatu titik (x0,y0,z0) adalah dapat digunakan untuk
menghitung garis normal permukaan. Garis normal permukaan pada permukaan S di
P(x0,y0,z0) adalah suatu garis yang melalui P(x0,y0,z0) dengan vektor arah garis adalah vektor
normal ∇F(x0,y0,z0). Dalam bentuk persamaan garis simetri, persamaan garis normal di
P(x0,y0,z0) dengan vektor arah,

∇F(x0,y0,z0) = Fx (x0,y0,z0)i + F y (x0,y0,z0) j + Fz (x0,y0,z0)k


diberikan oleh,
x − x0 y − y0 z − z0
= =
Fx ( x0 , y 0 , z 0 ) F y ( x0 , y 0 , z 0 ) Fz ( x0 , y 0 , z 0 )

Sedangkan dalam bentuk persamaan parameter, persamaan garis normal di P(x0,y0,z0) dengan
vektor arah ∇F(x0,y0,z0) diberikan oleh,
x = x0 + t Fx (x0,y0,z0),
y = y0 + t F y (x0,y0,z0)
z = z0 +t Fz (x0,y0,z0)
dimana t adalah parameter.

Sebagai ilustrasi, dari contoh 2.6.4, telah diperoleh bahwa untuk permukaan S, dengan
persamaan 3x2 + y2 – z2 = xz – y, gradiennya di titik (2,1,3) adalah
∇F(2,1,3) = 9i + 3j – 8k
Dengan demikian persamaan garis normal permukaan, 3x2 + y2 – z2 = xz – y, dititik (2,1,3)
adalah,
x−2 y −1 z −3
= = ,
9 3 −8
atau, x = 2 + 9t, y = 1 + 3t, z = 3 – 8t

95
Contoh 2.6.5
Carilah persamaan simetri garis normal permukaan, x2z + xy2 – yz2 = 19, dititik (2,3,1)
Penyelesaian
Ambil, F(x,y,z) = x2z + xy2 – yz2 – 19, dan dengan menurukan secara parsial dihasilkan,
Fx (x,y,z) = 2xz + y2
F y (x,y,z) = 2xy – z2
Fz (x,y,z) = x2 – 2yz
dan gradien F di sembarang titik adalah,
∇F(x,y,z) = (2xz + y2)i + (2xy – z2)j + (x2 – 2yz)k
dan di titik (2,3,1) adalah
∇F(2,3,1) = [2(2)(1) + (3)2]i + [2(2)(3) – (1)2]j + [(2)2 – 2(3)(1)]k
= 13i + 11j – 2k

Jadi persamaan simetri garis normal permukaan di titik (2,3,1) dengan vektor arah garis,
∇F(2,3,1) = 13i + 11j – 2k adalah,
x−2 y−3 z −1
= =
13 11 −2

Soal-soal Latihan Sub Bab 2.6.


Dalm soal-soal latohan nomor 1 sampai 10 berikut ini, carilah persamaan bidang singgung
dan garis normal permukaan di titik yang ditunjuk

1. 4x2 + y2 + 3z2 = 3y + 7xz, di titik (2,3,2)


2. x2y + xz2 = y2z + 3x + 4z, di titik (3,1,2)
3. x2/3 + 2y2/3 + z2/3 = 2x – 2y, di titik (8,1,27)
4. 2x1/2 + 3y1/2 + z1/2 = 3z + 3, di titik (4,9,4)
5. z = 4e 2 x (2 cos 2 y − sin 2 y ) , di titik (0,π/8,2√2)
6. y = 4e −2 x sin 3 z di titik (0,2,π/4)
7. x3 – 3xy + y2z = x + z, di titik (2,1,3)
8. 2z e xy = 2 e 2 x + y2, di titik (0,2,3)
9. z2 = x2y – y2x + 5z, di titik (2,3,2)
10. y2 = x3z – yz3 – y, di titik (2,2,1)

11. Tentukan titik pada permukaan, x2 = 3y2 + 4z2, di mana bidang singgungnya sejajar
dengan bidang, 8x – 12y – 8z = 3. Hitunglah pula persamaan bidang singgung dan garis
normalnya di titik tersebut.
12. Tentukanlah titik pada permukaan elipsoida, 2x2 + y2 + 3z2 – 3x – 4y = 5z, dimana bidang
singgungnya sejajar dengan bidang, 5x + 2y + 7z = 3. Hitunglah pula persamaan bidang
singgung dan garis normalnya di titik tersebut.
13. Tentukanlah titik pada permukaan elipsoida, 4x2 + y2 + 2z2 – 3z = 15, dimana bidang
singgungnya sejajar dengan bidang, 8x + 6y + 5z = 10. Hitunglah pula persamaan bidang
singgung dan garis normalnya di titik tersebut.
14. Tentukanlah titik pada permukaan, y2 = z2x + 3y, dimana bidang singgungnya sejajar
dengan bidang, 9x – 9y + 12z = 14. Hitunglah pula persamaan bidang singgung dan garis
normalnya di titik tersebut.

96
15. Tentukanlah titik pada permukaan, z2 = xy2 – 2xy, dimana bidang singgungnya tegak lurus
dengan garis, x = 1 – 3t, y = 9t, z = 4 – 6t. Hitunglah pula persamaan bidang singgung dan
garis normalnya di titik tersebut.
16. Tentukanlah titik pada permukaan, x2 + 2y2 + 3z2 = 12, dimana bidang singgungnya tegak
lurus dengan garis, x = 1 + 2t, y = 3 + 8t, z = 2 – 6t. Hitunglah pula persamaan bidang
singgung dan garis normalnya di titik tersebut.
17. Tentukanlah titik pada permukaan, 2x2 + y2 + z2 – 4x – 3y – 7z = 0, dimana garis normal
permukaan pada titik tersebut tegak lurus bidang, 8x + 5y + 3z = 40. Hitunglah pula
persamaan bidang singgung dan garis normalnya di titik tersebut.
18. Tentukanlah titik pada permukaan, x2 + 3y2 + z2 – 4x – 5y – 4z = 0, dimana garis normal
permukaan pada titik tersebut sejajar garis, x = 2 + 2t, y = 1 + t, z = 4 + 6t. Hitunglah pula
persamaan bidang singgung dan garis normalnya di titik tersebut.
19. Carilah persamaan garis simetri dari garis singgung yang merupakan perpotongan dua
bidang singgung permukaan, 3x2 + y2 + 2z2 = 31, dan x2 – 3y2 + z2 = 10, di titik (2,1,3)
20. Carilah persamaan bidang yang memuat dua buah persamaan garis normal permukaan, x2
+ y2 – 2z2 = 11, dan 3x2 – 2y2 + z2 = 20, di titik (3,2,1)

97
2.7. Maksimum dan Minimum

Salah satu manfaat yang penting dari turunan parsial adalah analisis tentang nilai maksimum
dan atau minimum (ekstrim) suatu fungsi dua variabel. Masalah nilai ekstrim ini banyak
aplikasinya dalam penerapannya, misalnya masalah optimasi fungsi produksi dalam bidang
ekonomi maupun aplikasi lainnya. Oleh karena itu, pada bagian ini pembahasan masalah
maksimum dan atau minimum suatu fungsi, diawali dengan menganalisis pengertian nilai
ekstrim fungsi dua variabel.

Pengertian Nilai Ekstrim Fungsi


Andaikan f adalah fungsi dua variabel yang memuat titik (x0,y0) pada daerah asal f.
i). f(x0,y0) dikatakan sebagai nilai maksimum relatif (mutlak) dari f(x,y) pada daerah asal f,
jika f(x0,y0) ≥ f(x,y) untuk semua titik (x,y) pada daerah asal f
ii). f(x0,y0) dikatakan sebagai nilai minimum relatif (mutlak) dari f(x,y) pada daerah asal f,
jika f(x0,y0) ≤ f(x,y) untuk semua titik (x,y) pada daerah asal f
iii). f(x0,y0) dikatakan sebagai nilai ektrim relatif (mutlak) dari f(x,y) pada daerah asal f, jika
f(x0,y0) adalah nilai maksimum atau nilai minimum f(x,y)

Untuk lebih mudah memahami pengertian ekstrim fungsi dua variabel tersebut, misalkan
diberikan fungsi f(x,y) yang didefinisikan oleh persamaan,

f(x,y) = 100 − x 2 − y 2
Daerah asal fungsi f adalah {(x,y) : 0 ≤ x2 + y2 ≤ 100}. Bilamana diambil, z = f(x,y)
persamaan fungsi dapat ditulis menjadi,
z = 100 − x 2 − y 2
Dengan mengkuadratkan kedua ruas dihasilkan, persamaan,
z2 = 100 – x2 – y2, atau, x2 + y2 + z2 = 100

Grafik persamaan diatas adalah bola dengan pusat (0,0,0) dan jari-jarinya adalah 10. Dengan
demikian grafik fungsinya adalah setengah bola, seprti terlihat pada Gambar 2.7.1. Dari
sketsa, terlihat bahwa nilai maksimum f adalah 10 dimana terletak pada titik x = 0, dan y = 0.
Jadi f(0,0) = 10 merupakan nilai maksimum mutlak dari f. Karena daerah asal fungsi f adaah
{(x,y) : 0 ≤ x2 + y2 ≤ 100}, maka nilai minimum f adalah 0, dimana terletak pada setiap titik
yang memenuhi persamaan lingkaran, x2 + y2 = 100.

z z

z = 100 − x 2 − y 2 z = x2 + y2

y y

x x
Gambar 2.7.1 Gambar 2.7.2

98
Sedangkan untuk memberikan ilustrasi nilai minimum fungsi dua variabel, andaikan f adalah
fungsi dua variabel yang didefinisikan oleh,

f(x,y) = x2 + y2

Bilamana diambil, z = f(x,y) persamaan fungsi dapat ditulis menjadi,

z = x2 + y2

yang merupakan persamaan paraboloida. Dengan demikian grafik fungsinya adalah


parabolida yang terlihat pada Gambar 2.7.2. Daerah asalah fungsi adalah himpunan semua
titik pada R2. Dari sketsa terlihat bahwa untuk x = 0, y = 0 nilai f(0,0) = 0. Sebaliknya, karena
daerah asal fungsi adalah himpunan semua titik pada R2, maka fungsi f tidak mempunyai nilai
maksimum. Jadi dapat disimpulkan bahwa f(0,0) ≤ f(x,y) untuk semua titik (x,y) pada daerah
asal f, sehingga f(0,0) = 0 adalah nilai minimum mutlak f.

Dari kedua ilustrasi tersebut diatas, masalah yang timbul untuk menentukan nilai ekstrim
fungsi adalah menentukan titik di daerah asal fungsi, sedemikian sehingga f mencapai nilai
maksimum atau minimum. Titik-titik demikian itu disebut dengan titik kritis.

Titik Kritis
Andaikan f(x,y) fungsi yang didefinisikan pada daerah asal yang memuat titik (x0,y0). Jika
f(x0,y0) adalah nilai ekstrim f, maka (x0,y0) harus merupakan titik kritis, yakni salah satu titik
dari :
i). Titik batas daerah asal fungsi
ii). Titik stasioner f
iii). Titik singular f , berikut ini.

Dari definisi diatas, menyatakan bahwa syarat perlu agar supaya fungsi dua variabel
mempunyai nilai ekstrim adalah adanya titik kritis. Titik kritis yang dibahas dalam hal ini
adalah titik stasioner. Ada kemungkinan bahwa fungsi tidak mempunyai titik stasioner, akan
tetapi mempunyai nilai ekstrim. Pengertian titik stasioner didefinisikan dengan menggunakan
turunan parsial pertama.

Titik Stasioner – Uji Turunan Pertama


Titik (x0,y0) dikatakan sebagai titik stasioner pada daerah asal fungsi f bilamana,

f x (x0,y0) = 0, dan f y (x0,y0) = 0

Definisi diatas, menyatakan bahwa syarat perlu adanya nilai ekstrim fungsi dua variabel
adalah fungsi f mempunyai turunan parsial pertama, dan adanya titik yang memenuhi turunan
pertama sedemikian sehingga nilainya nol. Untuk lebih jelasnya keterkaitan nilai ekstrim dan
titik kritis perhatikanlah contoh berikut ini.

99
Contoh 2.7.1
Carilah nilai maksimum atau minimum dari, f(x,y) = 6x + 8y – x2 – 2y2, jika ada
Penyelesaian
Langkah awal menentukan titik kritis. Dengan menurunkan secara parsial f(x,y) terhadap
variabel bebasnya dihasilkan,
f x (x,y) = 6 – 2x, dan f y (x,y) = 8 – 4y
Dengan menetapkan,
f x (x,y) = 0, dihasilkan 6 – 2x = 0, atau x = 3
f y (x,y) = 0, dihasilkan 8 – 4y = 0, atau y = 2
Dengan demikian titik kritis f adalah x = 3 dan y = 2 atau (3,2)

Langkah kedua, penyelidikan nilai ekstrim. Ambil, z = f(x,y), sehingga dihasilkan


z = 6x + 8y – x2 – 2y2
Grafik persamaan diatas adalah paraboloida dengan sumbu utama yakni sumbu tegak sejajar
dengan sumbu z. Sketsa paraboloida diberikan pada Gambar 2.7.3, berikut ini.

Perpotongan paraboloida dengan, z


z = 0 adalah elipps,
x2 + 2y2 – 6x – 8y = 0
dengan pusat ellips (3,2). Dari sketsa
pada Gambar 2.7.3, terlihat bahwa
puncaknya adalah (3,2,17). Dengan y
demikian nilai ekstrim f adalah
f(3,2) = 17 yang merupakan nilai
maksimum mutlak x

Gambar 2.7.3

Contoh 2.7.2
Carilah nilai ekstrim dari, f(x,y) = x2 – y2 – 6x + 8y, jika ada
Penyelesaian
Langkah awal menentukan titik kritis. Dengan menurunkan secara parsial f(x,y) terhadap
variabel bebasnya dihasilkan,
f x (x,y) = 2x – 6, dan f y (x,y) = 8 – 2y
Dengan menetapkan,
f x (x,y) = 0, dihasilkan 2x – 6 = 0, atau x = 3
f y (x,y) = 0, dihasilkan 8 – 2y = 0, atau y = 4
Dengan demikian titik kritis f adalah x = 3 dan y = 4 atau (3,4)

Langkah kedua, penyelidikan nilai ekstrim.


Ambil, z = f(x,y), sehingga dihasilkan

z = x2 – y2 – 6x + 8y

Grafik persamaan, z = x2 – y2 – 6x + 8y, diberikan pada Gambar 2.7.4. Dari sketsa pada
Gambar 2.7.4, terlihat bahwa di titik (3,4) diperoleh f(3,4) = 7 tidak memberikan nilai
maksimum atau nilai minimum fungsi.

100
f(3,4)

Gambar 2.7.4

Dari sketsa pada gambar diatas di sekitar titik stasioner (3,4) diperoleh,
f(3,5) = (3)2 – (5)2 – 6(3) + 8(5) = 6
f(4,4) = (4)2 – (4)2 – 6(4) + 8(4) = 8

Dari kedua penyelidikan dua buah titik di sekitar titik stasioner dihasilkan kenyataan bahwa,
f(3,5) < f(3,4) < f(4,4). Jadi dapat disimpulkan bahwa f(4,3) = 7 bukan merupakan nilai
ekstrim f. Titik demikian ini disebut dengan titik pelana.

Dari kedua contoh diatas, bahwa untuk menentukan nilai ekstrim fungsi, disamping
dipersyaratkan adanya titik kritis, diperlukan penyelidikan lanjutan untuk mengetahui apakah
titik kritis tersebut memberikan nilai ekstrim. Penyelidikan pada titik kritis demikian disebut
pengujian syarat kecukupan nilai ekstrim. Uji syarat cukup yang digunakan adalah uji
turunan kedua, khususnya bilamana titik kritisnya adalah titik stasioner.

Uji Turunan Kedua


Andaikan f adalah fungsi dua variabel dari x dan y sedemikian sehingga f dan turunan-turunan
parsial orde kedua kontinu. Andaikan pula bahwa f x (x0,y0) = 0, dan f y (x0,y0) = 0
i). f(x0,y0) dikatakan sebagai nilai maksimum f, jika :
f xx (x0,y0) f yy (x0,y0) – [ f xy (x0,y0)]2 > 0, dan f xx (x0,y0) < 0 (atau f yy (x0,y0) < 0)
ii). f(x0,y0) dikatakan sebagai nilai minimum f, jika :
f xx (x0,y0) f yy (x0,y0) – [ f xy (x0,y0)]2 > 0, dan f xx (x0,y0) > 0 (atau f yy (x0,y0) > 0)
iii). f xx (x0,y0) f yy (x0,y0) – [ f xy (x0,y0)]2 < 0, uji gagal dan f(x0,y0) dikatakan bukan nilai
ekstriim dan (x0,y0) disebut dengan titik pelana.

Dari kedua teorema diatas, untuk menentukan nilai ekstrim fungsi dua variabel, langkah-
langkah yang harus dilakukan adalah,
1). Tentukanlah turunan-turunan parsial pertama dan kedua dari f, yakni f x (x,y), f y (x,y),
f xx (x,y), f yy (x,y) dan f xy (x,y) atau f yx (x,y)
2). Tentukanlah titik kritis (stasioner) fungsi yakni dengan menetapkan, f x (x0,y0) = 0, dan
f y (x0,y0) = 0
3). Bentuklah persamaan pembantu,
D(x,y) = f xx (x,y) f yy (x,y) – [ f xy (x,y)]2,
dan selanjutnya selidikilah jenis nilai ekstrim pada titik kritis dengan menggunakan uji
turunan kedua.
Berdasarkan tiga langkah diatas, berikut ini adalah beberapa contoh-contoh penggunannya

101
Contoh 2.7.3
Tentukanlah jenis dan nilai ekstrim (jika ada) fungsi yang didefinisikan oleh,
1
f(x,y) = y 4 + x3 – 2y3 – 6x2 + 4y2 + 9x
4
Penyelesaian
Langkah pertama, menentukan turunan parsial. Dari fungsi f(x,y) dihasilkan,
f x (x,y) = 3x2 – 12x + 9 f y (x,y) = y3 – 6y2 + 8y
f xx (x,y) = 6x – 12 f yy (x,y) = 3y2 – 12y + 8
f xy (x,y) = 0 f yx (x,y) = 0

Langkah kedua, mementukan titik kritis. Dengan menetapkan turunan parsial pertama sama
dengan nol yakni,
f x (x,y) = 0, dihasilkan 3x2 – 12x + 9 = 0
3(x – 1)(x – 3) = 0
x = 1 atau x = 3
f y (x,y) = 0, dihasilkan y3 – 6y2 + 8y = 0
y(y – 2)(y – 4) = 0,
y = 0, y = 2, y = 4
Dengan titik kritis fungsinya adalah (1,0), (1,2), (1,4), (3,0), (3,2) dan (3,4)

Langkah ketiga, penyelidikan nilai ekstrim. Untuk memudahkan menerapkan uji turunan
kedua, bentuk persamaan pembantu
D(x,y) = f xx (x,y) f yy (x,y) – [ f xy (x,y)]2
= (6x – 12)(3y2 – 12y + 8)
Selanjutnya perhatikanlah tabel berikut ini,

(x0,y0) f xx (x,y) f yy (x,y) f xy (x,y) D(x,y) Kesimpulan


(1,0) –6 8 0 –48 f(1,0) = 4 bukan ekstrim dan
(1,0) titik pelana
(1,2) –6 –4 0 24 f(1,2) = 8 adalah ekstrim
maksimum relatif
(1,4) –6 8 0 –48 f(1,4) = 4 bukan ekstrim dan
(1,4) titik pelana
(3,0) 6 8 0 48 f(3,0) = 0 adalah ekstrim dan
minimum relatif
(3,2) 6 –4 0 –24 f(3,2) = 4 bukan ekstrim dan
(3,2) titik pelana
(3,4) 6 8 0 48 f(3,4) = 0 adalah ekstrim
minimum relatif

Dari hasil diatas, dapat disimpulkan bahwa :


1). f(1,2) = 8 adalah ekstrim maksimum relatif
2). f(3,0) = 0 dan f(3,4) = 0 adalah ekstrim minimum relatif

102
Contoh 2.7.4
Tentukanlah jenis dan nilai ekstrim (jika ada) fungsi didefinisikan oleh,
1
f(x,y) = x 3 + 3xy2 – 2x2y + 8y2 – 48y
3
Penyelesaian
Langkah pertama, menentukan turunan parsial. Dari fungsi f(x,y) dihasilkan,
f x (x,y) = x2 – 4xy + 3y2 f y (x,y) = 6xy – 2x2 + 16y – 48
f xx (x,y) = 2x – 4y f yy (x,y) = 6x + 16
f xy (x,y) = –4x + 6y f yx (x,y) = 6y – 4x

Langkah kedua, mementukan titik kritis. Dengan menetapkan turunan parsial pertama sama
dengan nol diperoleh,
f x (x,y) = 0, atau x2 – 4xy + 3y2 = (x – y)(x – 3y) = 0
x = y, atau x = 3y
2
f y (x,y) = 0, atau, 6xy – 2x + 16y – 48 = 0
Untuk x = y, dan f y (x,y) = 0, diperoleh :
6(y)y – 2(y)2 + 16y – 48 = 0
4y2 + 16y – 48 = 0
4(y2 + 4y – 12) = 0
4(y + 6)(y – 2) = 0
y = –6, y = 2
Sehingga untuk, y = –6, diperoleh x = –6, dan x = 2, jika y = 2. Sedangkan untuk x = 3y, dan
f y (x,y) = 0, diperoleh :
6(3y)y – 2(3y)2 + 16y – 48 = 0
16y – 48 = 0
16(y – 3) = 0
y=3
Sehingga untuk, y = 3, diperoleh x = 9. Jadi titik kritis (stasioner) fungsinya adalah titik-titik
(–6,–6), (2,2), dan (9,3).

Langkah ketiga, penyelidikan nilai ekstrim. Untuk memudahkan menerapkan uji turunan
kedua, bentuk persamaan pembantu
D(x,y) = f xx (x,y) f yy (x,y) – [ f xy (x,y)]2
= (2x – 4y)(6x + 16) – (6y – 4x)2
Selanjutnya perhatikanlah tabel berikut ini,

103
(x0,y0) f xx (x,y) f yy (x,y) f xy (x,y) D(x,y) Kesimpulan
(–6,–6) 12 –20 –12 –384 f(–6,–6) bukan nilai
ekstrim dan (–6,–6)
adalah titik pelana
(2,2) –4 28 4 –128 f(2,2) bukan nilai
ekstrim, dan (2,2)
adalah titik pelana
(9,3) 6 70 –18 96 f(9,3) = –72 adalah
nilai ekstrim
minimum

Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa, f(9,3) = –72 adalah nilai ekstrim minimum fungsi
f, sedangkan nilai ekstrim maksimumnya tidak ada.
Contoh 2.7.5
Hitunglah jarak minimum dari titik (6,7,0) dengan permukaan, z2 = x2y + 3y.
Penyelesaian
Langkah pertama perumusan model.
Andaikan, P(x,y,z) sembarang titik pada permukaan, z2 = x2y + 3y. Andaikan pula, d(x,y,z)
adalah kuadrat jarak dari titik (6,7,0) ke titik P, maka persamaan kuadrat jarak tersebut
diberikan oleh persamaan,
D2(x,y,z) = (x – 6)2 + (y – 7)2 + z2
Karena, P terletak pada permukaan, oleh karena itu subsitusikanlah, z2 = x2y + 3y pada
persamaan kuadrat jarak, sehingga dihasilkan,
D2(x,y) = (x – 6)2 + (y – 7)2 + x2y + 3y.
Selanjutnya ambil, D2(x,y) = f(x,y) = (x – 6)2 + (y – 7)2 + x2y + 3y. Dengan demikian jarak
minimum dari titik (6,7,0) ke permukaan z2 = x2y + 3y merupakan nilai ekstrim minimum
dari,
f(x,y) = (x – 6)2 + (y – 7)2 + x2y + 3y.

Langkah kedua menentukan titik kritis.


Dengan mendeferensialkan secara parsial fungsi f dua kali terhadap x dan y dihasilkan,
f x (x,y) = 2(x – 6) + 2xy f y (x,y) = 2(y – 7) + x2 + 3
f xx (x,y) = 2 + 2y f yy (x,y) = 2
f xy (x,y) = 2x f yx (x,y) = 2x
Dengan menetapkan turunan parsial pertama sama dengan nol diperoleh,
f x (x,y) = 0, atau, 2(x – 6) + 2xy = 0
f y (x,y) = 0, atau, 2(y – 7) + x2 + 3 = 0,
atau
1
y= (11 − x 2 )
2
1
Dengan mensubsitusikan, y = (11 − x 2 ) pada f x (x,y) = 0, diperoleh,
2
1
2(x – 6) + 2x{ (11 − x 2 ) } = 0,
2
3
x – 13x + 12 = 0
(x + 4)(x – 1)(x – 3) = 0

104
x = –4, x = 1, x = 3
1
Sehingga dari persamaan y = (11 − x 2 ) , untuk x = –4, diperoleh y = –5/2, x = 1, diperoleh y
2
= 5, dan x = 3, diperoleh y = 1. Dengan demikian titik-titik kritis fungsinya adalah (– 4, –
5/2), (1,5) dan (3,1).

Langkah ketiga menentukan nilai dan uji ekstrim.


Untuk menyelidiki jenis dan nilai ekstrim fungsi pada titik kritisnya, dengan menggunakan
uji turunan kedua, bentuk persamaan pembantu,
D(x,y) = f xx (x,y) f yy (x,y) – [ f xy (x,y)]2
= (2 + 2y)(2) – (2x)2

Selanjutnya perhatikanlah tabel berikut ini,

(x0,y0) f xx (x,y) f yy (x,y) f xy (x,y) D(x,y) Kesimpulan


(–4,–5/2) –3 2 –8 –70 f(–4,–5/2) bukan merupakan
nilai ekstrim dan (–4,–5/2)
adalah titik pelana
(1,5) 12 2 2 20 f(1,5) = 49 adalah nilai ekstrim
minimum
(3,1) 4 2 6 –20 f(3,1) bukan merupakan nilai
ekstrim, dan (3,1) adalah titik
pelana

Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa, f(3,1) = 49 adalah nilai ekstrim minimum fungsi f.

Langkah keempat menentukan jarak minimum.


Karena kuadrat jarak minimum dari titik (6,7,0) ke permukaan, z2 = x2y + 3y adalah 49, jadi
dapat disimpulkan jarak minimum dari titik (6,7,0) ke permukaan z2 = x2y + 3y adalah 7.

Contoh 2.7.6
Sebuah kotak kayu tanpa tutup mempunyai volume 256 m3. Tentukanlah ukuran kotak agar
supaya luas permukaannya minimum.
Penyelesaian
Langkah pertama, penyusunan model. Andaikan V menyatakan volume kotak, x panjang alas
kotak, y lebar kotak, dan z adalah tinggi kotak. Lihat Gambar 2.7.5, sehingga volume,

V = xyz
x Karena volume kotak adalah 256, maka
diperoleh pula hubungan,
xyz = 256
z atau,
256
y z=
xy

Gambar 2.7.5

105
Selanjutnya, andaikan S adalah luas permukaan kotak, maka diperoleh persamaan,
S = xy + 2xz + 2yz
Dengan mensubsitusikan, z ke dalam persamaan luas permukaan S dihasilkan,
256 256 512 512
S = xy + 2x + 2y = xy + +
xy xy y x
Dengan demikian luas permukaan kotak minimum merupakan nilai ekstrim minimum dari
fungsi S(x,y).

Langkah kedua menentukan titik kritis.


Dengan mendeferensialkan secara parsial fungsi S dua kali terhadap x dan y dihasilkan,
512 512
S x (x,y) = y – S y (x,y) = x –
2
x y2
1024 1024
S xx (x,y) = S yy (x,y) =
3
x y3
S xy (x,y) = 1 S yx (x,y) = 1
Dengan menetapkan turunan parsial pertama sama dengan nol, dan x ≠ 0, y ≠ 0, diperoleh,
512 512
S x (x,y) = 0, atau, y – = 0, atau x2y – 512 = 0, atau, y =
x2 x2
512 512
S y (x,y) = 0, atau, x – = 0, atau xy2 – 512 = 0, atau, x =
y2 y2
512
Dengan mensubsitusikan, y = ke dalam S y (x,y) = 0, dihasilkan persamaan, x3 = 512,
2
x
yang menghasilkan, x = 8, dan y = 8. Jadi titik kritisnya adalah (8,8)

Langkah ketiga menentukan nilai dan uji ekstrim.


Untuk menyelidiki jenis dan nilai ekstrim fungsi pada titik kritisnya, dengan menggunakan
uji turunan kedua. Karena,
1024
S xx (8,8) = =2
(8) 3
1024 1024
D(8,8) = S xx (8,8) S yy (8,8) – [ S xy (8,8)]2 = –1=3
(8) 3 (8) 3
512
maka S(8,8) = 192 adalah nilai minimum relatif. Karena, z = , sehingga untuk x = 8, y =
xy
8, maka z = 8. Jadi ukuran kotak yang memberikan luas permukaan minimum adalah panjang
8, lebar 8 dan tinggi 8.

Soal-soal Latihan Bab 2.7.

Dalam soal-soal latihan nomor 1 sampai 19 berikut ini, tentukanlah nilai ekstrim fungsinya
jika ada.
1. f(x,y) = x3 + 2y3 + 3x2 – 24x – 24y
2. f(x,y) = x3 – y3 + 6x2 – 12x – 9y

106
1 4
3. f(x,y) = y + 2x3 – 2y2 – 24x
4
1
4. f(x,y) = y 4 – x3 – 2y3 + 6x2 + 4y2 – 9x
4
5. f(x,y) = 2x3 + 2y3 – 3xy2 – 12x
6. f(x,y) = x2y3(12 – x – y)
7. f(x,y) = x3y2(36 – 2x – 3y)
8. f(x,y) = 2x3 – 6xy + y2
9. f(x,y) = 4xy2 – 2x2y – 16x
10. f(x,y) = xye − y (k − x)
1 2
11. f(x,y) = x 3 + y 3 − xy 2 + 4 y 2 − 32 y
3 3
12. f(x,y) = xy2(28 – x2 – y)
13. f(x,y) = x2y(12 – x2 – y)
14. f(x,y) = 2x3 + 2y3 – 3x2y – 12y
15. f(x,y) = xy3(12 – x – y)2
1 1
16. f(x,y) = x3 – y3 – 2x2 + 3y2 + 3x – 5y
3 3
1 3
17. f(x,y) = x + y3 – xy2 + 5y – 75y
3
1
18. f(x,y) = y3 + 3y2x – 2xy2 + 8x2 – 48x
3
19. f(x,y) = x3 + y3 – 4xy + 4x

20. Carilah tiga bilangan positip yang jumlahnya 48, dan hasil kalinya sebesar mungkin.
21. Carilah jarak minimum dari titik pusat terhadap bidang, 2x – 2y + z = 12.
22. Tentukanlah ukuran kotak persegi panjang tertutup dengan volume 256, sedemikian
sehingga luas permukaannya minimum.
23. Carilah nilai maksimum dan atau mininum dari, f(x,y,z) = xy3z2, pada permukaan bidang x
+ y + z = 12
24. Carilah titik pada bidang, 4x + 2y – z = 15, yang paling dekat dengan titik (1,2, 3) dan
carilah pula jarak minimumnya.
25. Carilah titik pada permukaan, y2 – xz = 16 yang terdekat dengan titik pusat, dan carilah
pula jarak minimumnya.
26. Misalkan, T(x,y,z) = xy2z adalah suhu pada permukaan bola dengan pusat (0,0,0) dan jari-
jarinya 4. Carilah titik pada permukaan bola sedemikian sehingga suhunya terbesar atau
terkecil. Hitunglah pula suhunya pada titik tersebut.
27. Carilah titik pada lengkungan perpotongan antara elipsoida, 16x2 + z2 = 16 dengan
bidang, x – 16y – z = 0 yang terdekat dengan titik pusat, dan carilah pula jarak
minimumnya.
28. Carilah nilai maksimum dan atau minimum, f(x,y,z) = y3 + xz2, pada permukaan bola, x2 +
y2 + z2 = 25
29. Carilah nilai maksimum dan atau minimum, f(x,y,z) = 3y2 + 2y2 + z2 pada permukaan
bidang, x + y + z = 12
30. Carilah nilai maksimum dan atau minimum, f(x,y,z) = x2 + y2 + z2, pada permukaan
elipsoida, 16x2 + 25y2 + z2 = 400

107
108
2.8. Metode Langrange

Pada bagian 2.7 telah dibahas beberapa contoh masalah menghitung nilai ekstrim dari fungsi
dua variabel, yaitu menentukan nilai ekstrim dari,
1
f(x,y) = x 3 + 3 xy 2 − 2 x 2 + 8 y 2 − 48 y
3
Demikian pula, telah dibahas menghitung nilai ekstrim fungsi, dari,
D = (x – 6)2 + (y – 7)2 + z2
dengan syarat bahwa x, y, dan z harus memenuhi persamaan, z2 = xy2 + 3y.

Dua masalah nilai ektrim diatas, ada dua perbedaan pokok. Masalah pertama nilai ekstrim
yang dicari adalah nilai ekstrim tanpa kendala, pada masalah kedua berkaitan dengan ekstrim
bersyarat. Untuk ekstrim tanpa syarat ini disebut dengan ekstrim bebas, sedangkan untuk
menghitung nilai ekstrim dengan batasan-batasan tertentu dikategorikan dalam ekstrim
terbatas. Salah satu metode yang digunakan untuk menyelesaikan masalah ekstrim terbatas
adalah dengan cara substitusi. Dengan metode ini, salah satu variabel bebas, misalnya
variabel z, dari persamaan terkendala disubsitusikan pada fungsi tujuan yang akan dicari nilai
ekstrimnya. Dengan metode ini, maka akan dihasilkan suatu fungsi dengan dua variabel
bebas. Sebagai hasilnya, masalah ekstrim terkendala diselesaikan melalui ekstrim bebas
fungsi dua variabel. Namun demikian, metode ini tidak selalu membawa hasil, bilamana
batasan-batasannya tidak hanya melibatkan satu persamaan kendala.

Disamping itu, masalah-masalah ekstrim terbatas sering timbul dalam masalah-masalah


nyata, dimana batasan-batasannya tidak hanya satu fungsi. Hal ini mengakibatkan tidak
mudah untuk menyederhanakan masalah, sedemikian sehingga diperoleh satu fungsi saja
dengan dua variabel bebas. Disamping itu, masalah yang sering timbul dengan metode
subsitusi adalah tidak mudah untuk mementukan titik kritisnya. Salah metode untuk
mengatasi masalah ekstrim terkendala adalah metode Lagrange. Metode ini dikembangkan
didasarkan pada kenyataan bahwa ekstrim terbatas, nilai ekstrimnya selalu terletak pada titik
kritis. Metode Lagrange ini menyediakan suatu metode aljabar yang cukup baik untuk
menentukan titik kritis, sehingga masalah ekstrim terkendala dengan metode ini dapat diatasi.

Prosedur Metode Lagrange


Andaikan akan dicari nilai ekstrim relatif fungsi, f(x,y,z) dengan kendala, g(x,y,z) = 0.
Langkah pertama, metode Lagrange adalah membentuk fungsi baru dengan memasukkan
variabel baru, λ, yang disebut dengan faktor pengali Lagrange. Fungsi baru tersebut adalah,

F(x,y,z,λ) = f(x,y,z) + λg(x,y,z)

Langkah kedua, metode Lagrange adalah menentukan titik ktiris dari fungsi F. Titik kritis
diperoleh dengan cara menyelesaikan secara simulkan dari,
Fx (x,y,z,λ) = 0,
F y (x,y,z,λ) = 0,
Fz (x,y,z,λ) = 0,
Fλ (x,y,z,λ) = g(x,y,z) = 0

108
Langkah ketiga, menentukan nilai ekstrim terkendala. Bilamana (x0,y0,z0,λ0) adalah titik kritis
dari F(x,y,z,λ), maka (x0,y0,z0) adalah juga merupakan titik kritis dari f(x,y,z,λ) dengan
kendala g(x,y,z). Jadi nilai ektrim f(x,y,z) dengan kendala g(x,y,z) adalah f(x0,y0,z0).

Keabsahan dari metode pengali Lagrange ini dapat dibuktikan dengan pendekatan analisa
vektor, atau metode Kunc Tucker untuk fungsi n variabel. Namun dalam pembahasan ini
buktinya tidak dibahas. Metode Lagrange ini dapat dikembangan untuk menghitung nilai
ekstrim terkendala fungsi n variabel dengan m fungsi-fungsi kendala. Untuk lebih jelasnya
perhatikanlah contoh-contoh soal berikut ini.

Contoh 2.8.1
Carilah nilai ekstrim terbatas dari, f(x,y) = x2y3 dengan kendala, 5x + 6y = 50
Penyelesaian
Langkah pertama membentuk fungsi Lagrange. Dari fungsi kendala, ambil g(x,y) = 50 – 5x –
6y, dan bentuk fungsi pembantu Lagrange, yaitu :

F(x,y,λ) = f(x,y) + λg(x,y) = x2y3 + λ(50 – 5x – 6y)

Langkah kedua, menentukan titik kritis. Dengan menurunkan secara parsial fungsi F(x,y,λ)
dihasilkan,
Fx (x,y,λ) = 2xy3 – 5λ,
F y (x,y,λ) = 3x2y2 – 6λ,
Fλ (x,y,λ) = 50 – 5x – 6y
Dengan menetapkan turunan parsial pertaman sama dengan nol, diperoleh
2 xy 3
Fx (x,y,λ) = 0, atau, 2xy3 – 5λ = 0, atau λ =
5
3x 2 y 2
F y (x,y,λ) = 0, atau, 3x2y2 – 6λ = 0, atau, λ =
6
Fλ (x,y,λ) = 0, atau, 50 – 5x – 6y = 0, atau 5x + 6y = 50
Dengan menyatakan nilai λ, dihasilkan,
2 xy 3 3x 2 y 2
= ,
5 6
5
Dari persamaan diatas, dihasilkan 15x = 12y, atau, y = x . Dengan mensubsitusikan nilai y =
4
5
x pada Fλ = 0, dihasilkan
4
5 50 (4)(50)
5x + 6( x ) = 50, atau, x = 50, atau x = =4
4 4 (50)
5 3(4) 2 (5) 2
Untuk x = 4, diperoleh, y = (4) = 5, dan λ = = 200. Jadi titik kritis F(x,y,λ)
4 6
adalah (4,5,200).
Menentukan nilai ekstrim f. Karena titik kitis F(x,y,λ) adalah (4,5,200), maka titik kritis
fungsi f(x,y) adalah (4,5). Jadi nilai ekstrim, f(x,y) = x2y3 adalah f(4,5) = (4)2(5)3 = 2.000

109
Contoh 2.8.2
Carilah nilai minimum relatif dari,
f(x,y,z) = 2x2 + y2 + 3z2
pada bidang, x + 3y + 2z = 65
Penyelesaian
Langkah pertama membentuk fungsi Lagrange. Dari persamaan kendala, ambil
g(x,y,z) = 65 – x – 3y – 2z
dan bentuk fungsi pembantu Lagrange,
F(x,y,z,λ) = f(x,y,z) + λg(x,y,z) = 2x2 + y2 + 3z2 + λ(65 – x – 3y – 2z)
dimana λ adalah faktor pengali Lagrange.

Menentukan titik krtitis. Dengan menurunkan secara parsial fungsi F(x,y,z,λ) dihasilkan,
Fx (x,y, z,λ) = 4x – λ,
F y (x,y,z,λ) = 2y – 3λ,
Fz (x,y,z,λ) = 6z – 2λ
Fλ (x,y, z,λ) = 65 – x – 3y – 2z
Dengan menetapkan, Fx , F y , Fz , dan Fλ sama dengan nol dihasilkan,
1
Fx (x,y, z,λ) = 0, 4x – λ = 0, atau x = λ
4
3
F y (x,y,z,λ) = 0, 2y – 3λ = 0, atau y = λ
2
1
Fz (x,y,z,λ) = 0, 6z – 2λ = 0, atau z = λ
3
Fλ (x,y, z,λ) = 0, 65 – x – 3y – 2z = 0, atau x + 3y + 2z = 65
1 3 1
Dengan mensubsitusikan, x = λ, y = λ, dan z = λ, pada Fλ (x,y, z,λ) = 0, diperoleh,
4 2 3
1 3 1
λ + 3( λ) + 2( λ) = 65
4 2 3
65
λ = 65
12
λ = 12
1 3 1
Sehingga untuk, λ = 12, didapatkan, x = (12) = 3, y = (12) = 18, dan z = (12) = 4. Jadi
4 2 3
titik kritis F adalah (3,18,4,12)

Menentukan nilai ekstrim. Karena titik kitis F(x,y,z,λ) adalah (3,8,4,12), maka titik kritis
fungsi f(x,y,z) adalah (3,18,4,12). Jadi nilai ekstrim, f(x,y,z) = 2x2 + y2 + 3z2 dengan kendala, x
+ 3y + 2z = 65 adalah,
f(3,18,4) = 2(3)2 + (18)3 + 3(4)2 = 390

Contoh 2.8.3
Tentukanlah nilai maksimum dan atau minimum dari,
f(x,y,z) = 4x + 5y + 4z
pada elips yang merupakan perpotongan silinder lingkaran tegak, (x – 2)2 + (y – 4)2 = 100,
dan bidang, 2x + 3y = 4z.

110
Penyelesaian
Menentukan fungsi Lagrange. Dari persamaan fungsi kendala, ambil,
g(x,y,z) = 100 – (x – 2)2 – (y – 4)2,
h(x,y,z) = 4z – 2x – 3y
Selanjutnya bentuk fungsi pembantu Lagrange,
F(x,y,z,λ,β) = f(x,y,z) + λg(x,y,z) + βh(x,y,z)
= 4x + 5y + 4z + λ(100 – (x – 2)2 – (y – 4)2) + β(4z – 2x – 3y)
dimana λ, dan β adalah faktor pengali Lagrange.
Menentukan titik kritis. Dengan menurunkan secara parsial fungsi F(x,y,z,λ,β) dihasilkan,
Fx (x,y, z,λ,β) = 4 – 2λ(x – 2) – 2β,
F y (x,y,z,λ,β) = 5 – 2λ(y – 4) – 3β ,
Fz (x,y,z,λ,β) = 4 + 4β
Fλ (x,y, z,λ,β) = 100 – (x – 2)2 – (y – 4)2
Fβ (x,y, z,λ,β) = 4z – 2x – 3y
Dengan menetapkan, Fx , F y , Fz , Fλ , dan Fβ sama dengan nol dihasilkan,
4 − 2β
Fx (x,y, z,λ,β) = 0, atau, 4 – 2λ(x – 2) – 2β = 0, didapatkan, x – 2 =

5 − 3β
F y (x,y,z,λ,β) = 0, atau, 5 – 2λ(y – 4) – 3β = 0, didapatkan, y – 4 =

Fz (x,y,z,λ,β) = 0, atau, 4 + 4β = 0, didapatkan, β = –1,
Fλ (x,y, z,λ,β) = 0, atau, 100 – (x – 2)2 – (y – 4)2 = 0, atau (x – 2)2 + (y – 4)2 = 100
Fβ (x,y, z,λ,β) = 0, atau, 4z – 2x – 3y = 0, atau 4z = 2x + 3y
Dengan mensubsitusikan, β = –1, pada Fx = 0, dan F y = 0, dihasilkan,
4 − 2(−1) 3
x–2 = =
2λ λ
5 − 3(−1) 4
y–4= =
2λ λ
3 4
Selanjutnya subsitusikanlah, x – 2 = , dan, y – 4 = pada Fλ = 0, maka dihasilkan,
λ λ
3 4
( )2 + ( )2 = 100
λ λ
9 16
+ = 100
λ2 λ2
25
= 100
λ2
1 1 1
Karena, λ ≠ 0, maka dihasilkan, λ2 = , atau, λ = ± . Sehingga untuk, λ = , dihasilkan
4 2 2
3
x–2 = , diperoleh, x = 8
(1 / 2)
4
y–4= , diperoleh, y = 12
(1 / 2)

111
1
z= [2(8) + 3(12)] = 13
4
1
Sedangkan untuk, λ = – , dihasilkan
2
3
x–2 = , diperoleh, x = –4
(−1 / 2)
4
y–4= , diperoleh, y = –4
(−1 / 2)
1
z = [2(–4) + 3(–4)] = –5
4
1 1
Jadi titik kritis F adalah (8,12,13, ,–1) dan (–4,–4,–5,– ,–1).
2 2

1
Menentukan nilai ekstrim. Karena titik kitis fungsi F(x,y,z,λ,β) adalah (8,12,13, ,–1) dan (–
2
1
4,–4,–5,– ,–1), maka titik kritis fungsi f(x,y,z) adalah (8,12,13) dan (–4,–4,–5). Jadi nilai
2
ekstrim, f(x,y,z) = 4x + 5y + 4z, dengan kendala, (x – 2)2 + (y – 4)2 = 100, dan, 2x + 3y = 4z
adalah,
(1). f(8,12,13) = 4(8) + 5(12) + 4(13) = 144, yang merupakan nilai maksimum f , dan
(2). f(–4,–4,–5) = 4(–4) + 5(–4) + 4(–5) = – 56, yang merupakan nilai minimum

Contoh 2.8.4
Carilah nilai ekstrim dari,
f(x,y,z) = xy2z2,
dengan kendala, x + 2y + 2z = 30, dan x – 3y – 3z = 5.
Penyelesaian
Menentukan fungsi Lagrange. Dari persamaan fungsi kendala, ambil,
g(x,y,z) = 30 – x – 2y – 2z,
h(x,y,z) = 10 – x + 3y + 3z
Selanjutnya bentuk fungsi pembantu Lagrange,
F(x,y,z,λ,β) = f(x,y,z) + λg(x,y,z) + βh(x,y,z)
= xy2z3 + λ(30 – x – 2y – 2z) + β(10 – x + 3y + 3z)
dimana λ, dan β adalah faktor pengali Lagrange.

Menentukan titik kritis. Dengan menurunkan secara parsial fungsi F(x,y,z,λ,β) dihasilkan,
Fx (x,y, z,λ,β) = y2z2 – λ – β,
F y (x,y,z,λ,β) = 2xyz2 – 2λ + 3β ,
Fz (x,y,z,λ,β) = 2xy2z – 2λ + 3β ,
Fλ (x,y, z,λ,β) = 30 – x – 2y – 2z
Fβ (x,y, z,λ,β) = 10 – x + 3y + 3z
Dengan menetapkan, Fx , F y , Fz , Fλ , dan Fβ sama dengan nol dihasilkan,
Fx (x,y, z,λ,β) = 0, atau, y2z2 – λ – β = 0, didapatkan, y2z2 = λ + β
F y (x,y,z,λ,β) = 0, atau, 2xyz2 – 2λ + 3β = 0, didapatkan, 2xyz2 = 2λ – 3β

112
Fz (x,y,z,λ,β) = 0, atau, 2xy2z – 2λ + 3β = 0, didapatkan, 2xy2z = 2λ – 3β
Fλ (x,y, z,λ,β) = 0, atau, 30 – x – 2y – 2z = 0, atau, x + 2y + 2z = 30
Fβ (x,y, z,λ,β) = 0, atau, 10 – x + 3y + 3z = 0, atau x – 3y – 3z = 10

Dari persamaan, F y = Fz = 0, diperoleh,


2xyz2 = 2xy2z
2xyz – 2xy2z = 0
2

2xyz(z – y) = 0
Karena, x, y, dan z tidak sama dengan nol, diperoleh z = y. Selanjutnya substitusikan, z = y,
pada Fλ = 0, dan Fβ = 0, maka diperoleh,

x + 2y + 2(y) = 30, atau, x + 4y = 30


x – 3y – 3(y) = 10, atau, x – 6y = 10

Selanjutnya dengan cara menyelesaikan secara simultan kedua persamaan diatas, diperoleh x
= 22, dan y = 2. Sehingga untuk x = 22, dan y = 2, dihasilkan z = 2. Sedangkan nilai λ, dan β
diperoleh dengan cara mensubsitusikan nilai x = 22, y = 2, dan z = 2 pada Fx = 0, dan F y = 0,
yaitu λ + β = 16 dan 2λ – 3β = 352. Dengan menyelesaikan secara simultan kedua
persamaan dihasilkan, λ = 60, β = –44. Jadi titik kritis fungsi F adalah (22,2,2,60,–44).

Menentukan nilai ekstrim. Karena titik kitis fungsi F(x,y,z,λ,β) adalah (22,2,2,60,–44), maka
titik kritis fungsi f(x,y,z) adalah (22,2,2). Jadi nilai ekstrim, f(x,y,z) = xy2z2, dengan kendala, x
+ 2y + 2z = 30, dan x – 3y – 3z = 5, adalah,

f(22,2,2) = 22(2)2(2)2 = 352

Contoh 2.8.5
Carilah jarak minimum dari titik pusat terhadap garis yang merupakan perpotongan bidang, x
+ 2y – z = 10, dan 2x – y + 2z = 30
Penyelesaian
Perumusan Model. Andaikan d2 adalah kuadrat jarak dari titik pusat terhadap garis
perpotongan dua bidang. Maka kuadrat jarak diberikan oleh,
d 2 = x2 + y2 + z2
Selanjutnya, ambil, d 2 = f(x,y,z) = x2 + y2 + z2. Dengan demikian masalah tersebut berkaitan
dengan menentukan nilai ekstrim terkendala dari,
f(x,y,z) = x2 + y2 + z2
dengan kendala, x + 2y – z = 10, dan 2x – y + 2z = 30

Membentuk fungsi Lagrange. Dari fungsi kendala, ambil,


g(x,y,z) = 10 – x – 2y + z,
h(x,y,z) = 30 – 2x + y – 2z
Selanjutnya bentuk fungsi pembantu Lagrange,
F(x,y,z,λ,β) = f(x,y,z) + λg(x,y,z) + βh(x,y,z)
= x2 + y2 + z2 + λ(10 – x – 2y + z) + β(30 – 2x + y – 2z)
dimana λ, dan β adalah faktor pengali Lagrange.

113
Menentukan titik kritis. Dengan menurunkan secara parsial fungsi F(x,y,z,λ,β) dihasilkan,
Fx (x,y, z,λ,β) = 2x – λ – 2β,
F y (x,y,z,λ,β) = 2y – 2λ + β ,
Fz (x,y,z,λ,β) = 2z + λ – 2β ,
Fλ (x,y, z,λ,β) = 10 – x – 2y + z
Fβ (x,y, z,λ,β) = 30 – 2x + y – 2z
Dengan menetapkan, Fx , F y , Fz , Fλ , dan Fβ sama dengan nol dihasilkan,
1
Fx (x,y, z,λ,β) = 0, atau, 2x – λ – 2β = 0, didapatkan, x = (λ + 2β)
2
1
F y (x,y,z,λ,β) = 0, atau, 2y – 2λ + β = 0, didapatkan, y = (2λ – β)
2
1
Fz (x,y,z,λ,β) = 0, atau, 2z + λ – 2β = 0, didapatkan, z = (–λ + 2β)
2
Fλ (x,y, z,λ,β) = 0, atau, 10 – x – 2y + z = 0, atau, x – 2y – z = 10
Fβ (x,y, z,λ,β) = 0, atau, 30 – 2x + y – 2z = 0, atau, 2x – y + 2z = 30
1 1 1
Dengan mensubsitusikan, x = (λ + 2β), y = (2λ – β), dan z = (–λ + 2β) pada Fλ = 0,
2 2 2
dan Fβ = 0, dihasilkan,
1 1
(λ + 2β) + (2λ – β) – (–λ + 2β) = 10, atau, 6λ – 2β = 20
2 2
1
(λ + 2β) – (2λ – β) + (–λ + 2β) = 30, atau, – 2λ + 9β = 60
2
Dari kedua hasil diatas, diperoleh sistem persamaan linier, yaitu :
⎡ 6 − 2⎤ ⎡ λ ⎤ ⎡20⎤
⎢− 2 9 ⎥ ⎢ β ⎥ = ⎢60⎥
⎣ ⎦⎣ ⎦ ⎣ ⎦
Dengan menyelesaikan secara simultan kedua persamaan diperoleh, λ = 6, dan β = 8.
Selanjutnya untuk, λ = 6, dan β = 8, dihasilkan,
1
x = (6 + 2(8)) = 11,
2
1
y = (2(6) – 8) = 2,
2
1
z = (–(6) + 2(8)) = 5. Jadi titik kritis F adalah (11,2,5,6,8)
2

Menentukan nilai ekstrim dan jarak d. . Karena titik kitis fungsi F(x,y,z,λ,β) adalah
(11,2,5,6,8), maka titik kritis fungsi f(x,y,z) adalah (11,2,5). Jadi nilai ekstrim terkendala,
f(x,y,z) = x2 + y2 + z2, dengan kendala, x + 2y – z = 10, dan 2x – y + 2z = 30, adalah,

f(11,2,5) = (11)2 + (2)2 + (5)2 = 150


Karena kuadrat jarak d 2 = f(x,y,z), jadi jarak minimum dari titik pusat ke garis perpotongan
dua bidang adalah, d = 150 = 5 6

114
Soal-soal Latihan Bab 2.8
Dalam soal-soal latihan berikut ini, dengan metode Lagrange hitunglah nilai ekstrim
bersyaratnya.

1. f(x,y) = 2x + 4y, dengan kendala, x2 + 2y2 = 22


2. f(x,y) = 2x2 + 4y2, dengan kendala, xy = 64
3. f(x,y) = x2y, dengan kendala, x2 + 8y2 = 96
4. f(x,y) = 4x2 – 4xy + y2, dengan kendala, x2 + 2y2 = 24
5. f(x,y) = 4x2 – 2y2, dengan kendala, 2x2 + 4y2 = 60
6. f(x,y,z) = xyz, dengan kendala, x2 + 4y2 + 9z2 = 36
7. f(x,y,z) = y3 + x2z, dengan kendala, x2 + y2 + z2 = 36
8. f(x,y,z) = 4x + 3y – 2z, dengan kendala, 2x2 – 3y + z2 = 0
9. f(x,y,z) = x2 + y2 + z2, dengan kendala, xyz = 64
10. f(x,y,z) = xyz, dengan kendala, x2 + 4y2 + 9z2 = 108
11. f(x,y,z) = x2 + y2 + z2, dengan kendala, x2y = z2 + 9
12. f(x,y,z) = xyz, dengan kendala, 3xy + 2xz + yz = 144
13. f(x,y,z) = x2 + y2 + z2, dengan kendala, x2 + 4z2 = 36
14. f(x,y,z) = x2 + y2 + z2, dengan kendala, x2 + 4y2 + 9z2 = 36
15. f(x,y,z) = x2 + 2y2 + 3z2, dengan kendala, x + y + z = 15
16. f(x,y,z) = x2 + y2 + (z – 2)2, dengan kendala, x + 2y + 2z = 20, dan x – y – z = 2
17. f(x,y,z) = xyz, dengan kendala, x + 2y + 2z = 20, dan x – y – z = 2
18. f(x,y,z) = xz + yz, dengan kendala, x2 + z2 = 80, dan yz = 60
19. f(x,y,z) = xz + yz, dengan kendala, x2 + y2 = 18, dan yz = 12
20. f(x,y,z) = x3 + y3 + z3, dengan kendala, x + y + z = 8, dan x – y – z = 4
21. f(x,y,z) = 4x + y + 3z, dengan kendala, (x – 3)2 + (z + 4)2 = 4, dan 3x + 4y = y
22. f(x,y,z) = x2 + y2 + z2, dengan kendala, x + 2y + 3z = 32, dan x – y – z = 6
23. f(x,y,z) = xy2z, dengan kendala, x + 2y + 2z = 32, dan x – y – z = 12
2
24. f(x,y,z) = xyz , dengan kendala, 2x + y + 2z = 32, dan x – y – z = 12
2
25. f(x,y,z) = x yz, dengan kendala, x + y + 2z = 32, dan x – y – z = 12

26. Dengan metode Lagrange, carilah volume kotak terbesar yang dapat dibuat di dalam
elipsoida, 9x2 + 4y2 + 36z2 = 144, jika sisi-sisnya sejajar dengan sumbu koordinat.
27. Sebuah kotak kayu tanpa tutup mempunyai luas permukaan 216 m3. Tentukan ukuran
kotak agar volumenya maksimum
28. Carilah jarak terpanjang dan terpendek dari pusat ke kurva perpotongan x2 = 4yz, dan x2
+ 2y2 + 3z2 = 60,
29. Carilah jarak terpanjang dan terpendek dari pusat ke kurva perpotongan y2 = 8xz, dan x2
+ 2y2 + z2 = 60,
30. Sebuah kotak kayu dengan tutup mempunyai luas permukaan 512 m3. Tentukan ukuran
kotak agar volumenya maksimum

115
BAB III
INTEGRAL LIPAT DUA DAN TIGA

3.1. Integral Lipat Dua Atas Daerah Empat Persegi Panjang


b
Jika f fungsi yang didefinisikan pada interval [a,b], integral tentu, ∫ a f ( x) dx didefinisikan
sebagai limit jumlahan luas Reimann, yaitu :
n
∑ f ( x i )Δxi
b
∫a f ( x) dx = lim
| P |→ 0 i =1
jika limitnya ada. Dengan teorema Dasar Kalkulus, integral tentu dihitung dengan rumus,
b
∫ a f ( x) dx = F(b) – F(a)
jika f kontinu pada [a,b], dan F merupakan anti turunan f. Khususnya, jika f(x) ≥ 0 pada
b
interval [a,b], integral tentu, ∫ a f ( x) dx dapat juga diterjemahkan sebagai luas daerah
dibawah kurva y = f(x), antara a dan b, dan diatas sumbu x. Dengan pendekatan pemikiran ini,
metode mendefinisikan integral tentu satu variabel, dapat digunakan untuk mendefinisikan
dan menghitung integral lipat dua dari fungsi dua variabel.

Andaikan f fungsi dua variabel yang terdefinisikan pada daerah empat persegi panjang R pada
bidang xy dengan sisi-sisinya sejajar dengan sumbu koordinat. Ambil daerah R adalah, R =
{(x,y) : a ≤ x ≤ b ; c ≤ y ≤ d}seperti terlihat pada Gambar 3.1.1

y
Δx i
d
R
Δy i (xi , yi )
c
x
a b
Gambar 3.1.1

Pada daerah R, bentuklah partisi P, yakni dengan membagi daerah R menjadi n buah empat
persegi panjang, Ri dengan luas, ΔAi = Δxi Δyi . Pada daerah Ri, ambil sembarang titik
( x i , y i ) , dan bentuk jumlahan Reimann,
n
∑ f ( x i , y i )ΔAi
i =1
Selanjutnya, andaikan f adalah fungsi dua variabel dari x dan y yang terdefinisikan pada
daerah tertutup R yang seperti tergambar pada Gambar 3.1.1. Jika,
n
lim ∑ f ( x i , y i )ΔAi
| P |→ 0 i =1

117
limitnya ada, maka fungsi f dikatkan terinegralkan pada R, dan ditulis ∫∫ f ( x, y) dA . Lebih
R
lanjut, ∫∫ f ( x, y) dA disebut dengan integral lipat dua f pada R, yang diberikan oleh,
R
n
∫∫ f ( x, y ) dA = lim ∑ f ( x i , y i )ΔAi
| P |→ 0 i =1
R

Dari definisi diatas, bilamana f(x,y) = 1, maka ∫∫ dA menyatakan luas daerah R. Demikian
R
pula, bilamana f(x,y) > 0, maka ∫∫ f ( x, y) dA menyatakan volume benda pejal dibawah
R
permukaan, z = f(x,y) dan diatas persegi panjang R, Gambar 3.1.2.

z
z = f(x,y)

y
0

x
Gambar 3.1.2

Sifat-sifat Integral Lipat Dua

Integral lipat dua mewarisi semua sifaf-sifat integral biasa. Sifat-sifat integral lipat dua
tersebut adalah :
1. Integral lipat dua adalah linier, yaitu :
a. ∫∫ kf ( x, y ) dA = k ∫∫ f ( x, y ) dA
R R
b. ∫∫ [ f ( x, y) + g ( x, y)] dA = ∫∫ f ( x, y) dA + ∫∫ g ( x, y) dA
R R R
2. Integral lipat dua adalah aditif pada persegi panjang yang saling melengkapi hanya pada
suatu garis, yakni :
∫∫ f ( x, y) dA = ∫∫ f ( x, y) dA + ∫∫ f ( x, y) dA
R R1 R2
jika R = R1 + R2
3. Berlakunya sifat perbandingan, yakni jika f(x,y) ≥ g(x,y) untuk semua (x,y) pada daerah R
maka,
∫∫ f ( x, y) dA ≥ ∫∫ g ( x, y) dA
R R

118
Penghitungan Integral Lipat Dua
Untuk memudahkan penghitungan integal lipat dua, diasumsikan bahwa f adalah fungsi dua
variabel yang kontinu pada daerah empat persegi panjang tertutup R, dengan demikian f
terintegralkan pada R. Berikut ini adalah contoh-contoh penghitungan integral lipat dua
dengan menggunakan definisi.

Contoh 3.1.1
∫∫ (16 + 2 x − 3 y
2
Hitunglah, ) dA , dengan menggunakan definisi, dimana R adalah empat
R
persegi panjang yang dibatasi oleh, R = {(x,y) : 0 ≤ x ≤ 3; 1 ≤ y ≤ 3}, dengan partisinya ΔAi
1
= 1, dan ΔAi =
4
Penyelesaian
Kasus pertama, ΔAi = 1. Untuk ΔAi = 1, dihasilkan 6 enam buah partisi berbentuk bujur
sangkar, dan ambil titik ( x i , y i ) dalam ΔAi adalah titik pusat bujur sangkar, lihat gambar .
y
(xi , yi )
3
• • •
2
• • •
1

0
1 2 3 x
Gambar 3.1.3

Menurut definisi integral tentu yang harus dihitung adalah,


n 6
∫∫ (16 + 2 x − 3 y ) dA =
2
∑ f ( x i , y i )ΔAi = ∑ f ( x i , y i )(1)
R i =1 i =1
⎛1 3⎞ ⎛3 3⎞ ⎛5 5⎞
= f⎜ , ⎟ + f⎜ , ⎟ +…+ f⎜ , ⎟
⎝2 2⎠ ⎝2 2⎠ ⎝2 2⎠
41 49 57 7 1 9 150
= + + + (– ) + + =
4 4 4 4 4 4 4
= 37,5
1 1 1 1
Kasus Kedua, ΔAi = . Untuk ΔAi = , ambil Δxi = , dan Δyi = , maka dihasilkan 24
4 4 2 2
1 3
partisi. Ambil titik ( x i , y i ) dalam ΔAi adalah titik pusat bujur sangkar dengan x i = , ,
4 4
11 5 7 9 11 1
…, , dan y i = , , , dan . Dengan ΔAi = , Menurut definisi integral tentu yang
4 4 4 4 4 4
harus dihitung adalah,

119
n 24
⎛1⎞
∫∫ (16 + 2 x − 3 y ) dA =
2
∑ f ( x i , y i )ΔAi = ∑ f ( x i , y i )⎜⎝ 4 ⎟⎠
R i =1 i =1
⎡ ⎛1 5⎞ ⎛3 5⎞ ⎛ 11 11 ⎞⎤ ⎛ 1 ⎞
= ⎢ f ⎜ , ⎟ + f ⎜ , ⎟ + … + f ⎜ , ⎟⎥ ⎜ ⎟
⎣ ⎝4 4⎠ ⎝4 4⎠ ⎝ 4 4 ⎠⎦ ⎝ 4 ⎠
⎛ 189 205 19 ⎞ ⎛ 1 ⎞ 2358 ⎛ 1 ⎞
=⎜ + +…– ⎟⎜ ⎟ = ⎜ ⎟
⎝ 16 16 16 ⎠ ⎝ 4 ⎠ 16 ⎝ 4 ⎠
= 36,84375

Dengan pendekatan diatas, terlihat bahwa ΔAi semakin kecil, nilai integral lipat duanya akan
mendekati nilai eksaknya. Dengan menggunakan pendekatan Teorema Dasar Kalkulus pada
∫∫ (16 + 2 x − 3 y
2
integral lipat dua, nilai eksaknya ) dA adalah 36.
R

∫∫ (16 + 2 x − 3 y
2
Dari contoh diatas, terlihat bahwa untuk menghitung, ) dA , dengan
R
menggunakan pendekatan jumlah Reimann, selain tidak praktis juga belum tentu memberikan
nilai yang eksak. Guna menghitung integral integral lipat dua, ∫∫ f ( x, y ) dA dengan eksak,
R
berikut ini adalah metode pembahasannya secara intuitif, yang mana diasumsikan bahwa
f(x,y) ≥ 0.

Misalkan R adalah daerah berbentuk empat persegi panjang yang dibatasi oleh,
R = {(x,y) : a ≤ x ≤ b ; c ≤ y ≤ d}
seperti terlihat pada Gambar 3.1.1. Andaikan, f(x,y) ≥ 0 untuk semua (x,y) di R. Bilamana
f(x,y) ≥ 0, integral lipat dua f pada R dapat ditafsirkan sebagai volume benda pejal V di bawah
permukaan, z = f(x,y) dan diatas daerah R, yaitu :
V = ∫∫ f ( x, y ) dA
R
Secara intuisi dengan menggunakan pendekatan (iris, hampiri, dan integralkan), irislah benda
pejal V menjadi kepingan-kepingan yang sejajar bidang xz. Luas muka kepingan tergantung
pada variabel y, sehingga dapat ditulis dengan A(y). Lihat Gambar 3.1.4.

z
z = f(x,y)

y A(y)
0
R
Δy Δy
x
Gambar 3.1.4

120
Volume kepingan, ΔV secara hampiran diberikan, ΔV = A(y)Δy dengan c ≤ y ≤ d. Jadi,
d
V= ∫c A( y ) dy
Karena, A(y) adalah luas bidang datar, untuk y tetap maka dengan integral biasa diperoleh,
b
A(y) = ∫ a f ( x, y) dx
Dengan mensubsitusikan A(y) pada volume V maka diperoleh,
V = ∫ ⎡⎢ ∫ f ( x, y ) dx ⎤⎥ dy
d b
c ⎣ a ⎦
Jadi untuk menghitung integral lipat dua atas daerah R yang berbentuk empat persegi panjang
dapat digunakan rumus,
d⎡ b ⎤
∫∫ f ( x, y) dA = ∫ c ⎢⎣∫ a f ( x, y ) dx⎥⎦ dy
R
Dengan meninjau irisan pada bidang lain yang sejajar dengan bidang yz, maka akan diperoleh
rumus lain untuk menghitung integral lipat dua, yaitu
b⎡ d ⎤
∫∫ f ( x, y) dA = ∫ a ⎢⎣∫ c f ( x, y ) dy ⎥⎦ dx
R
Proses penghitungan integral lipat dua, dengan pendekatan integral fungsi satu variabel
demikian ini disebut dengan integral berulang. Pendekatan integral berulang demikian ini
berlaku pula bilamana fungsi f adalah negatif.

Contoh 3.1.2
∫∫ (16 + 2 x − 3 y
2
Hitunglah ) dA , dengan, R = {(x,y) : 0 ≤ x ≤ 3; 1 ≤ y ≤ 3}.
R
Penyelesaian
Cara pertama, dengan pendekatan ∫∫ f ( x, y) dx dy , maka diperoleh :
R
3⎡ 3
∫∫ (16 + 2 x − 3 y
2
) dA = ∫ 1 ⎢⎣∫ 0 (16 + 2 x − 3 y
2
) dx ⎤⎥ dy
R

= ∫1
3
[16 x + x 2
− 3 xy 2 ] 3

0
dy =
3
∫ 1 (57 − 9 y
2
) dy

[
= 57 y − 3 y 3 ] 3
1
= 57(3 – 1) – 3(27 – 1) = 36

Cara kedua, dengan pendekatan ∫∫ f ( x, y ) dy dx , maka diperoleh :


R
3⎡ 3
∫∫ (16 + 2 x − 3 y
2
) dA = ∫ 0 ⎢⎣∫ 1 (16 + 2 x − 3 y
2
) dy ⎤⎥ dx
R

= ∫0
3
[16 y + 2xy − y ] 3
3

1
dx
3
= ∫ 0 [(48 + 6 x − 27) − (16 + 2 x − 1)] dx
= ∫0
3
(6 + 4 x) dx = 6 x + 2 x 2[ ] 3
0
= 18 + 18 = 36

121
Contoh 3.1.3
∫∫ (4 xy
2
Dengan integral berulang, hitunglah − x 3 − 2 y 2 ) dA , dengan R daerah berbentuk
R
empat persegi panjang, R = {(x,y) : 0 ≤ x ≤ 2; 1 ≤ y ≤ 3}.
Penyelesaian
Dari contoh diatas terlihat bahwa baik pendekatan pertama dan kedua untuk daerah berbentuk
empat persegi panjang menghasilkan integral tentu yang sama. Oleh karena itu, untuk
menghitung integral diatas akan digunakan salah satu pendekatan saja. Dengan menggunakan
pendekatan ∫∫ f ( x, y ) dy dx diperoleh,
R
2⎡ 3
∫∫ (4 xy
2
− x 3 − 2 y 2 ) dA = ∫ 0 ⎢⎣∫ 1 (4 xy
2
− x 3 − 2 y 2 ) dy ⎤⎥ dx
R

3
2 ⎡4 2 3⎤
∫ 0 ⎢⎣ 3 xy − x y − 3 y ⎥⎦ 1 dx
3 2
=

2 ⎡4 2 ⎤
= ∫ ⎢ x(27 − 1) − x 2 (3 − 1) − (27 − 1)⎥ dx
0 ⎣3 3 ⎦
2
2⎛ 104 52 ⎞ ⎡ 52 2 52 ⎤
= ∫ ⎜ 2
x − 2 x − ⎟ dx = ⎢ x 2 − x 3 − x
0⎝ 3 3⎠ ⎣3 3 3 ⎥⎦ 0
52 2 52 104 − 16
= (4) – (8) – (2) =
3 3 3 3
88
=
3
Contoh 3.1.4
Hitunglag volume benda yang terletak dibawah permukaan bidang, 3x + 2y + z = 12, dan
dibatasi oleh bidang-bidang, x = 2, y = 3, dan ketiga bidang-bidang koordinat.
Penyelesaian
Ambil, z = f(x,y). Sketsa grafik persamaan dan benda pejal diperlihatkan pada Gambar 3.1.5,
berikut ini.
z y
12
z = 12 – 3x – 2y 3
R

dA = dy dx

3 6 y x
2 R 0 2

3x + 2y = 12

x 4
Gambar 3.1.5

Misalkan V adalah volume benda pejal dibawah permukan, z = f(x,y) = 12 – 3x – 2y, maka
dengan integral berulang volume benda pejal V diberikan oleh,

122
V= ∫∫ (12 − 3x − 2 y) dA
R
dimana R adalah empat persegi panjang yang dibatasi, R = {(x,y) : 0 ≤ x ≤ 2; 0 ≤ y ≤ 3}. Lihat
Gambar 3.1.5. Dengan pendekatan, ∫∫ f ( x, y ) dy dx volume benda V diberikan oleh,
R
2⎡ 3 ⎤
V= ∫∫ (12 − 3x − 2 y) dA = ∫ 0 ⎢⎣∫ 0 (12 − 3x − 2 y ) dy ⎥⎦ dx
R
3
2⎡ 2 2⎤
∫ 0 ⎢⎣12 y − 3xy − 2 y ⎥⎦ 0 dx = ∫ 0 [12(3) − 3x(3) − 9] dx
2
=

2
2 ⎡ 9 ⎤
= ∫ (27 − 9 x) dx = ⎢27 x − x 2 ⎥ = 27(2) – 9(2) = 36
0 ⎣ 2 ⎦0
Jadi volume benda penjal V adalah 36 satuan kubik.

Contoh 3.1.5
Hitunglah volume benda pejal dibawah permukaaan, 4z = 16 – 2x2 – y2 , dan dibatasi oleh
bidang-bidang x = 2, y = 3, dan bidang-bidang koordinat.
Penyelesaian,
Ambil, z = f(x,y). Sketsa grafik persamaan permukaan,
1 1
f(x,y) = 4 − x 2 − y 2
2 4
diperlihatkan pada Gambar 3.1.6 berikut ini.

z y
1 1
4 z = 4 − x2 − y2
2 4
4
R
dA = dx dy

4 y
2 R
x
0 2
x
Gambar 3.1.6

Andaikan V menyatakan volume benda, maka dengan pendekatan integral berulang,


∫∫ f ( x, y) dx dy dihasilkan,
R
⎛ 1 2 1 2⎞ 4 ⎡ 2⎛ 1 1 ⎞ ⎤
V= ∫∫ ⎜⎝ 4 − 2 x − y ⎟ dA = ∫ ⎢ ∫ ⎜ 4 − x 2 − y 2 ⎟ dx ⎥ dy
4 ⎠ 0 ⎣ 0⎝ 2 4 ⎠ ⎦
R
2
4⎡ 1 3 1 2⎤ 4⎡ 8 2 2⎤
= ∫ 0 ⎢⎣4 x − 6 x y − 4 xy ⎥⎦ 0 dy = ∫ 0 ⎢⎣8 − 6 y − 4 y ⎥⎦ dy

123
4
⎡ 2 1 ⎤ ⎡ 2 1 ⎤
= ⎢8 y − y 2 − y 3 ⎥ = ⎢8(4) − (4) 2 − (4) 3 ⎥
⎣ 3 6 ⎦0 ⎣ 3 6 ⎦
32 32 32
= 32 – – =
3 3 3
32
Jadi volume benda penjal V adalah satuan kubik.
3

Soal-soal Latihan 3.1


Dalam soal-soal latihan nomor 1 sampai 10 berikut ini, hitunglah integral lipat dengan
pendekatan integral berulang.

2 3 2 3
1. ∫ ∫ ( x 2 y + xy 3 ) dx dy 2. ∫ 0 ∫1 ( x 2 y + xy 3 ) dy dx
0 1
2 3 2 3
∫ −1 ∫ 0 ( x ∫ −1 ∫ 0 ( x
3
3. y − xy 2 ) dy dx 4. 3
y − xy 2 ) dx dy
π 3 2 1
∫ −π / 2 ∫ 1 x 2 sin y dx dy ∫ 0 ∫ 0 xy e
xy
5. 6. dy dx
2 1 3 e
7. ∫1 ∫ 0 y ln(1 + x) dx dy 8. ∫1 ∫1 xy ln y dy dx
2 2 2 3
9. ∫ −1 ∫ 1 ( x + 1) 2 y ( y 2 − 1) 2 dy dx 10. ∫ −1 ∫ 1 ( x − 1) 2 ( y + 1) 3 dx dy

Dalam soal-soal latihan nomor 11 sampai 20 berikut ini, hitunglah integral lipat berikut ini
dengan dua cara. (dA = dydx, dan dA = dx dy)
∫∫ xy
3
11. dA , dengan R = (x,y) : 0 ≤ x ≤ 2; –1 ≤ y ≤ 2}.
R

∫∫ ( x
2
12. + y 3 ) dA , dengan R = {(x,y) : –1 ≤ x ≤ 2; 1 ≤ y ≤ 2}.
R

∫∫ x
2
13. y 9 + y 2 dA , dengan R = {(x,y) : 0 ≤ x ≤ 1; 0 ≤ y ≤ 4}.
R
xy 2
14. ∫∫ 3
dA , dengan R = {(x,y) : 1 ≤ x ≤ 2; 0 ≤ y ≤ 2}.
R 1+ y
15. ∫∫ xy 1 + y dA , dengan R = {(x,y) : 0 ≤ x ≤ 2; 1 ≤ y ≤ 3}.
R

∫∫ ( x + 1)
2
16. y − 1 dA , dengan R = {(x,y) : –1 ≤ x ≤ 1; 2 ≤ y ≤ 5}.
R

∫∫ ( x − 1)
2
17. ( y + 1)1 / 3 dA , dengan R = {(x,y) : 1 ≤ x ≤ 2; – 2 ≤ y ≤ 7}.
R

∫∫ ( x + 1)
2/3
18. ( y − 1) 3 / 2 dA , dengan R = {(x,y) : –1 ≤ x ≤ 7; 2 ≤ y ≤ 5}.
R

∫∫ ( x
2
19. y + x 3 − y 3 ) dA , dengan R = {(x,y) : 1 ≤ x ≤ 2; –1 ≤ y ≤ 2}.
R

124
∫∫ ( x
3
20. + y 3 − xy 2 ) dA , dengan R = {(x,y) : 1 ≤ x ≤ 2; 1 ≤ y ≤ 2}.
R

Untuk soal-soal latihan nomor 21 sampai 30 berikut ini, hitunglah volume benda pejal yang
diberikan, dan buatlah pula sketsa bendanya.

21. Suatu benda pejal di bawah permukaan, z = 16 – x2 – 2y, dan dibatasi oleh bidang-bidang
: x = 0, x = 2, y = 1, y = 6, dan z = 0.
22. Suatu benda pejal di bawah permukaan, z = 16 – 4x2 – y2, dan dibatasi oleh bidang-bidang
: x = 0, x = 1, y = 1, y = 3, dan z = 0.
23. Suatu benda pejal di bawah permukaan, z = 12 – 4x – 3y2, dan dibatasi oleh bidang-
bidang : x = 0, x = 2, y = 1, y = 6, dan z = 0.
24. Suatu benda pejal di bawah permukaan, z = 12 – 2x – 3y, dan dibatasi oleh bidang-bidang
: x = 1, x = 3, y = 0, y = 2, dan z = 0.
25. Suatu benda pejal dibawah permukaan, z = 16 – 4x – 2y, dan dibatasi oleh bidang-bidang :
x = 0, x = 2, y = 1, y = 6, dan z = 0.
26. Suatu benda pejal dibawah permukaan, z = 2 + 3x + 2y, dan dibatasi oleh bidang-bidang :
x = 0, x = 2, y = 1, y = 2, dan z = 0.
27. Suatu benda pejal dibawah permukaan, z = 20 – x2 – (y – 1)2, dan dibatasi oleh bidang-
bidang : x = 1, x = 2, y = 1, y = 3, dan z = 0.
28. Suatu benda pejal dibawah permukaan, z = 16 – 4(x – 1)2 – 2y2, dan dibatasi oleh bidang-
bidang : x = 1, x = 3, y = 1, y = 2, dan z = 0.
29. Suatu benda pejal dibawah permukaan, z = 20 – 3(x + 1)2 – (y – 2)2, dan dibatasi oleh
bidang-bidang : x = 0, x = 2, y = 1, y = 3, dan z = 0.
30. Suatu benda pejal dibawah permukaan, z = 16 – 4(x – 1)2 – 2(y + 1)2, dan dibatasi oleh
bidang-bidang : x = 0, x = 2, y = 0, y = 1, dan z = 0.

125
3.2. Integral Lipat Dua, Atas Daerah Umum R

Pendekatan penghitungan integral berulang atas daerah berbentuk empat persegi panjang
yang telah dikembangkan pada bab sebelumnya dapat digunakan untuk menghitung integral
lipat dua atas daerah umum, R. Dengan pendekatan integral berulang, penghitungan integral
lipat dua atas daerah umum R khususnya daerah R berbentuk cukup sederhana, dapat
dilakukan dengan dua cara pendekatan yang berbeda, yaitu pendekatan atas himpunan y
sederhana, dan pendekatan atas himpunan x sederhana.

3.2.1.Penghitungan Integral Lipat Dua, Pendekatan y Sederhana


Suatu himpunan R dikatakan berbentuk y sederhana, bilamana terdapat fungsi-fungsi kontinu
g dan h, sedemikian rupa sehingga :

R = {(x,y) : g(x) ≤ y ≤ h(x), a ≤ x ≤ b}

yang ditunjukkan oleh Gambar 3.2.1, berikut ini.


y z
z = f(x,y)
d y2 = h(x)

R y1 = g(x) y
c a

x b R
0 a b x
Gambar 3.2.1 Gambar 3.2.2

Selanjutnya, andaikan f(x,y) fungsi yang terdefinisikan pada daerah R yang berbentuk y
sederhana lihat Gambar 3.2.1. Dari gambar terlihat bahwa daerah umum R dibatasi oleh
daerah S yang berbentuk empat persegi panjang. Dengan pendekatan volume benda pejal di
bawah permukaan, z = f(x,y), dan diatas daerah S yang berbentuk empat persegi panjang,

V= ∫∫ f ( x, y) dA
R
Dengan mengambil lajur berbentuk empat persegi panjang seperti terlihat pada Gambar 3.2.1,
volume kepingan, ΔV secara hampiran diberikan oleh, ΔV = A( xi )Δx, yang terlihat pada
Gambar 3.2.2. Dengan demikian,
b
V= ∫a A( x) dx
Karena, A(x) adalah luas bidang datar untuk xi tetap dan perpotongan antara permukaan
dengan xi tetap adalah kurva, maka luas daerah tersebut diberikan oleh,
h( x )
A(x) = ∫ g ( x) f ( x, y ) dy

125
Dengan mensubsitusikan A(x) pada volume V maka didapatkan hasil,

b ⎡ h( x )
V= ∫ a ⎢⎣∫ g ( x) f ( x, y ) dy ⎤⎥ dx

Jadi dengan pendekatan integral berulang untuk menghitung integral lipat dua dengan daerah
R berbentuk y sederhana digunakan rumus,

b ⎡ h( x )
∫∫ f ( x, y) dA = ∫ a ⎢⎣∫ g ( x) f ( x, y ) dy ⎤⎥ dx
R

Dalam penghitungan integral berulang diatas, untuk menghitung integral sebelah dalam
variabel x diasumsikan konstan, dan f(x,y) dianggap hanya merupakan fungsi dari y. Dengan
demikian yang diintegralkan terlebih dahulu adalah variabel y.

Contoh 3.2.1
1 x
Hitunglah, ∫0∫ x (6 xy − 2 y 3 ) dy dx
Penyelesaian
x
1 x 1⎡ x ⎤ 1⎡ 2 1 4⎤
∫0∫ x (6 xy − 2 y 3 ) dy dx = ∫ 0 ⎢⎣∫ x (6 xy − 2 y ) dy ⎥⎦ dx = ∫ 0 ⎢⎣3xy − 2 y ⎥⎦ x dx
3

1 ⎡⎛ 1 ⎞ ⎛ 1 ⎞⎤
= ∫ ⎢⎜ 3 x( x ) 2 − ( x ) 4 ⎟ − ⎜ 3 x( x) 2 − ( x) 4 ⎟⎥ dx
0 ⎣⎝ 2 ⎠ ⎝ 2 ⎠⎦
1
1⎛ 5 2 1 4⎞ ⎡5 3 1 ⎤
= ∫ ⎜ x
0⎝ 2
− 3x 3 +
x ⎟ dx = ⎢ x 3 − x 4 + x 5 ⎥
2 ⎠ ⎣ 6 4 10 ⎦0
⎡5 3 1 ⎤
= ⎢ (1) 3 − (1) 4 + (1) 5 ⎥
⎣6 4 10 ⎦
5 3 1 9
= – + =
6 4 10 60

Contoh 3.2.2
∫∫ 2 xy
2
Hitunglah, dA , bilamana R adalah daerah dikuadran pertama yang dibatasi oleh
R
kurva, x2 + y = 2, x = y3 dan sumbu y.
Penyelesaian, y
Perhatikanlah sketsa daerah R yang dA = dy dx
terlihat pada Gambar 3.2.3. Dari R y = x1 / 3
sketsa terlihat bahwa daerah R (1,1)
berbentuk y sederhana, dimana y = 2 – x2
daerah R diberikan oleh,

R = {(x,y) : x1 / 3 ≤ y ≤ 2 – x2, 0 ≤ x ≤ 1}. x


Gambar 3.2.3

126
Oleh karena itu dengan pendekatan y sederhana diperoleh,
2− x2
1 2− x 2 1⎡ 2 3⎤
∫∫ 2 xy ∫ 0 ∫ x1 / 3 ∫ 0 ⎢⎣ 3 xy
2 2
dA = 2 xy dy dx = ⎥ 1/ 3 dx
R
⎦x
1⎡ 2 2 ⎤ 1⎡2 2 ⎤
∫ 0 ⎢⎣ 3 x(2 − x x( x1 / 3 ) 3 ⎥ dx = ∫ ⎢ x(2 − x 2 ) 3 − x 2 ⎥ dx
2 3
= ) −
3 ⎦ 0 ⎣3 3 ⎦
1
⎡ 1 2 ⎤ ⎡ 1 2 ⎤ ⎡ 1 ⎤
= ⎢− (2 − x 2 ) 4 − x 3 ⎥ = ⎢− (1) 4 − (1) 3 ⎥ – ⎢− (2) 4 ⎥
⎣ 12 9 ⎦ 0 ⎣ 12 9 ⎦ ⎣ 12 ⎦
15 2 37
= – =
12 9 36

Contoh 3.2.3
Dengan integral lipat dua, hitunglah volume benda pejal V, dibawah permukaan, z = 4 – y,
dan dibatasi oleh bidang-bidang, x + y = 2, x = y2, z = 0, dan x = 0.
Penyelesaian
Perhatikanlah sketsa benda pejal Gambar 3.2.4, dari sketsa ambil, z = f(x,y) = 4 – y. Andaikan
V menyatakan volume benda, dengan integral lipat dua volume V diberikan oleh,
V = ∫∫ (4 − y ) dA
R
dimana R adalah daerah pada bidang xy. Selanjutnya perhatikanlah sketsa daerah R pada
gambar 3.2.5.
z y

y=2–x
z=4–y R (1,1) y = x1 / 2

R y x
x+y=2 0

x x = y2

Gambar 3.2.4. Gambar 3.2.5

Dari sketsa daerah R pada Gambar 3.2.5, terlihat bahwa daerah R berbentuk y sederhana
dimana, R = {(x,y) : x1 / 2 ≤ y ≤ 2 – x, 0 ≤ x ≤ 1}. Dengan demikian volume benda pejal V
diberikan oleh,
1 2− x
V= ∫∫ (4 − y) dA = ∫ 0 ∫ x1/ 2 (4 − y) dy dx
R
2− x
1⎡ 1 2⎤
= ∫ 0 ⎢⎣4 y − 2 y ⎥⎦ x1/ 2 dx
1⎡ 1 1 ⎤
= ∫ ⎢4(2 − x) − (2 − x) 2 − 4 x1 / 2 + x ⎥ dx
0⎣ 2 2 ⎦

127
1
⎡ 1 8 1 ⎤
= ⎢− 2(2 − x) 2 + (2 − x) 3 − x 3 / 2 + x 2 ⎥
⎣ 6 3 4 ⎦0
⎡ 1 8 1 ⎤ ⎡ 1 ⎤
= ⎢− 2(1) 2 + (1) 3 − (1) 3 / 2 + (1) 2 ⎥ – ⎢− 2(2) 2 + (2) 3 ⎥
⎣ 6 3 4 ⎦ ⎣ 6 ⎦
7 8 1 37
=6– – + =
6 3 4 12
37
Jadi volume benda pejal tersebut adalah satuan kubik
12

Contoh 3.2.4
Hitunglah volume benda pejal yang terletak di oktan pertama yang dibatasi oleh, dibawah
permukaan paraboloida, z = x2 + y2, di dalam silinder, x2 + y2 = 4, dan ketiga bidang koordinat
Penyelesaian.
Perhatikanlah sketsa benda pejal V pada Gambar 3.2.6
z y

8 2
y = 4 − x2
2 2
z=x +y R x2 + y2 = 4

y 0 2 x

R
2 x2 + y2 = 4 Gambar 3.2.7
x
Gambar 3.2.6

Perhatikanlah sketsa benda pejal Gambar 3.2.6, dari sketsa ambil, z = f(x,y) = x2 + y2.
Andaikan V menyatakan volume benda, dengan integral lipat dua volume V adalah,
∫∫ ( x
2
V= + y 2 ) dA
R
dimana R adalah lingkaran x2 + y2 = 4 pada kuadran pertama, Gambar 3.2.7. Dalam bentuk
fungsi-fungsi kontinu daerah R diberikan oleh, R = {(x,y) : 0 ≤ y ≤ 4 − x 2 , 0 ≤ x ≤ 2}.
Dengan demikian,
∫∫ ( x
2
V = + y 2 ) dA
R
2 4− x 2
=∫ ∫ ( x 2 + y 2 ) dy dx
0 0
4− x 2
2⎡ 2 1 ⎤
= ∫ ⎢
0 ⎣
x y + y3 ⎥
3 ⎦ 0
dx

2⎡ 2 1 ⎤
= ∫ 0 ⎢⎣ x 4 − x 2 + (4 − x 2 ) 3 / 2 ⎥ dx
3 ⎦

128
Selanjutnya untuk menghitung integral tentu diatas, subsitusikanlah x = 2 sin t , maka
dihasilkan :
(1). dx = 2 cos t dt
(2). 4 − x2 = 4 − (2 sin t ) 2 = 2 cos t
π
(3). Perubahan batas integral, t = 0, untuk x = 0, dan t = untuk x = 2.
2
Dengan substitusi diatas maka diperoleh,
2⎡ 1 ⎤
V = ∫ ⎢ x 2 4 − x 2 + (4 − x 2 ) 3 / 2 ⎥ dx
0 ⎣ 3 ⎦
π/ 2 ⎡ 1 ⎤
= ∫ ⎢ (2 sin t ) 2 (2 cos t ) + (2 cos t ) 3 ⎥ (2 cos t dt )
0 ⎣ 3 ⎦
π/ 2 ⎡ 16 ⎤
= ∫ 16 sin 2 t cos 2 t + cos 4 t ⎥ dt
0 ⎢⎣ 3 ⎦
π/ 2 ⎡ 16 ⎤
= ∫ ⎢16(1 − cos 2 t ) cos 2 t + cos 4 t ⎥ dt
0 ⎣ 3 ⎦
π/ 2 ⎡ 32 ⎤
= ∫ 16 cos 2 t − cos 4 t ⎥ dt
0 ⎢⎣ 3 ⎦
π /2 π /2
⎡1 1 ⎤ 32 ⎡ 1 3 3 ⎤
= 16 ⎢ cos t sin t + t ⎥ – ⎢ cos 3 t sin t + cos t sin t + t ⎥
⎣2 2 ⎦0 3 ⎣4 8 8 ⎦0
⎛ π ⎞ 32 ⎛ 3π ⎞
= 16 ⎜ ⎟ – ⎜ ⎟ = 2π
⎝4⎠ 3 ⎝ 16 ⎠
Jadi volume benda pejal tersebut adalah 2π satuan kubik

3.2.2. Penghitungan Integral Lipat Dua, Pendekatan x Sederhana

Selain pendekatan y sederhana, pendekatan lain yang dapat digunakan untuk menghitung
integral lipat dua atas daerah umum R adalah pendekatan x sederhana, berikut ini. Suatu
himpunan R dikatakan berbentuk x sederhana, bilamana terdapat fungsi-fungsi kontinu p dan
q, sedemikian rupa sehingga :

R = {(x,y) : p(y) ≤ x ≤ g(y), c ≤ y ≤ d}

Daerah berbentuk x sederhana ditunjukkan oleh Gambar 3.2.8, berikut ini.


y
x1 = p(y) x2 = q(y)
d

c
x

Gambar 3.2.8

129
Andaikan, f(x,y) fungsi dua variabel yang terdefinisikan pada daerah R yang berbentuk x
sederhana. Bilamana f(x,y) terintegralkan pada daerah R tersebut, maka dengan pendekatan
yang sama seperti pendekatan y sederhana, integral lipat dua f(x,y) atas daerah R yang
dibatasi, R = {(x,y) : p(y) ≤ x ≤ g(y), c ≤ y ≤ d}diberikan oleh,

d ⎡ g ( y)
∫∫ f ( x, y) dA = ∫ c ⎢⎣∫ p( y ) f ( x, y ) dx ⎤⎥ dy

R
Pada rumus diatas, untuk menghitung integral pada bagian dalam, variabel y diasumsikan
konstan, sehingga fungsi f(x,y) dapat dianggap hanya merupakan fungsi dari x. Dengan
demikian dalam rumus diatas, variabel bebas yang terlebih dahulu diintegralkan adalah
variabel x.

Contoh 3.2.5
2 y2
Hitunglah, ∫1 ∫ y (3 xy − 2 y 2 ) dx dy
Penyelesaian
y2
2 y2 2 ⎡3 2 ⎤
∫1 ∫ y ∫ x y − 2 xy 2 ⎥
2
(3 xy − 2 y ) dx dy = dy
1 ⎢⎣ 2 ⎦ y
2 ⎡3 3 ⎤
∫ 1 ⎢⎣ 2 ( y
2 2
= ) y − 2( y 2 ) y 2 − ( y ) 2 y + 2( y ) y 2 ⎥ dy
2 ⎦
2 ⎡3 1 ⎤
= ∫ ⎢ y 5 − 2 y 4 + y 3 ⎥ dy
1 ⎣2 2 ⎦
2
⎡1 2 1 ⎤
= ⎢ y6− y5 + y 4 ⎥
⎣4 5 8 ⎦1
⎡ 64 64 16 ⎤ ⎡1 2 1⎤
= ⎢ − + ⎥ – ⎢ − + ⎥
⎣4 5 8⎦ ⎣ 4 5 8⎦
63 62 15 209
= – + =
4 5 8 40

Contoh 3.2.6
∫∫ 2 xy
2
Hitunglah, dA , bilamana R adalah daerah dikuadran pertama yang dibatasi oleh
R
kurva, x2 + y = 2, x = y3 dan sumbu x.
Penyelesaian, y
Perhatikanlah sketsa daerah R yang
terlihat pada Gambar 3.2.9. Dari (1,1) x = y3
sketsa terlihat bahwa daerah R R
berbentuk x sederhana, dimana x= 2− y
daerah R diberikan oleh, x

R = {(x,y) : y3 ≤ x ≤ 2 − y , 0 ≤ y ≤ 1}.
Gambar 3.2.9

130
Oleh karena itu dengan pendekatan x sederhana diperoleh,
1 2− y
∫∫ 2 xy ∫ 0 ∫ y3
2
dA = 2 xy 2 dx dy
R

∫ 0 [x ]
1 2 2 2− y
= y 3
dy
y

∫ 0 [( ]
1
= 2 − y ) 2 y 2 − ( y 3 ) 2 y 2 dy
1
∫ 0 [(2 − y) y
2
= − y 8 ] dy
1
∫ 0 (2 y
2
= − y 3 − y 8 ] dy
1
⎡2 1 1 ⎤
= ⎢ y3 − y4 − y9 ⎥
⎣3 4 9 ⎦0
2 1 1 11
= – – =
3 4 9 36

Contoh 3.2.7
Dengan integral lipat dua, hitunglah volume benda pejal V yang terletak dibawah permukaan,
z = 16 – x2, dan dibatasi oleh bidang-bidang, y = x, x + y = 4, y = 0 dan z = 0.
Penyelesaian,
Perhatikanlah sketsa benda pejal V pada Gambar 3.2.10, berikut ini.
z y

z = 16 – x2 x=y

(2,2)
y x=4–y
R R
0 x
4
x
Gambar 3.2.10 Gambar 3.2.11

Dari gambar 3.2.10, andaikan z = f(x,y) = 16 – x2. Volume benda pejal V dibawah permukaan,
z = 16 – x2, dan diatas daerah R diberikan oleh,

∫∫ (16 − x
2
V= ) dA
R
dimana R adalah daerah pada kuadran pertama yang diberikan oleh Gambar 3.2.11. Dari
gambar terlihat bahwa daerah R berbentuk x sederhana, dan kedua kurva berpotongan di titik
(2,2). Dalam bentuk x sederhana daerah R diberikan oleh,
R = {(x,y) : y ≤ x ≤ 4 – y, 0 ≤ y ≤ 2}.

Dengan demikian volume benda pejal V diberikan oleh,


2 4− y
∫∫ (16 − x ∫0∫ y
2
V= ) dA = (16 − x 2 ) dx dy
R

131
4− y
2⎡ 1 3⎤
= ∫ 0 ⎢⎣16 x − 3 x ⎥⎦ y dy
2⎡ 1 1 ⎤
= ∫ ⎢16(4 − y ) − (4 − y ) 3 − 16 y + y 3 ⎥ dy
0 ⎣ 3 3 ⎦
2
⎡ 1 1 ⎤
= ⎢− 8(4 − y ) 2 + (4 − y ) 4 − 8 y 2 + y 4 ⎥
⎣ 2 12 ⎦ 0
⎛ 16 16 ⎞ ⎛ 256 ⎞
= ⎜ − 32 + − 32 + ⎟ – ⎜ − 128 + ⎟
⎝ 12 12 ⎠ ⎝ 12 ⎠
136
=
3
136
Jadi volume benda pejal yang ditanyakan adalah satuan kubik
3

Contoh 3.2.7
∫∫ x
2
Hitunglah, y dA , bilamana R daerah pada kuadran pertama di bidang xy yang dibatasi
R
oleh, y = x3, dan x = y2.
Penyelesaian
Perhatikanlah sketsa grafik daerah R berikut ini. y y = x3
Dari sketsa pada Gambar 3.2.12, terlihat x = y2
bahwa daerah R dapat dinyatakan sebagai (1,1)
daerah yang berbentuk x sederhana, dan R
y sederhana. Maka itu untuk menghitung,
∫∫ x
2
integral lipat y dA , dapat dihitung x
R
dengan dua pendekatan, yakni pendekatan 0
y sederhana, dan pendekatan x sederhana. Gambar 3.2.12
Pendekatan y sederhana.
Dengan pendekatan y sederhana, daerah R pada Gambar 3.2.12, diberikan oleh :
R = {(x,y) : x3 ≤ y ≤ x1/2, 0 ≤ x ≤ 1}.
Dengan demikian,
1 x1 / 2
∫∫ x 2 y dA = ∫ 0 ∫ x3 x 2 y dy dx
R
x1 / 2
1 ⎡1 2 2 ⎤
= ∫ 0 ⎢⎣ 2
x y ⎥
⎦ x3
dx

1 ⎡1 2 ⎤ 1 1
∫ 0 ⎢⎣ 2 x ) − ( x 3 ) 2 ⎥ dx = ∫ ( x 3 − x 8 ) dx
1/ 2 2
= {( x
⎦ 2 0
1
⎡1 4 1 9 ⎤
1 1 ⎛1 1⎞
= ⎢⎣ 4 x − 9 x ⎥⎦ = 2 ⎜⎝ 4 − 9 ⎟⎠
2 0
1 ⎛ 5 ⎞ 5
= ⎜ ⎟ =
2 ⎝ 36 ⎠ 72

132
Pendekatan x sederhana.
Dengan pendekatan x sederhana, daerah R pada Gambar 3.2.12, diberikan oleh :
R = {(x,y) : y2 ≤ x ≤ y1/3, 0 ≤ y ≤ 1}.
Dengan demikian,
y1 / 3
1 y1 / 3 2 1 ⎡1 3 ⎤
∫∫ x y dA = ∫ ∫ ∫ 0 ⎢⎣ 3 x y ⎥⎦ y 2 dy
2
x y dx dy =
0 y2
R
1 ⎡1 ⎤ 1 1
= ∫ ⎢ {( y1 / 3 ) 3 − ( y 2 ) 3 } y ⎥ dy = ∫ ( y 2 − y 7 ) dy
0 ⎣3 ⎦ 3 0
1
1 ⎡1 4 1 8 ⎤ 1 ⎛1 1⎞
= ⎢ y − y ⎥ = ⎜ − ⎟
3 ⎣3 8 ⎦0 3 ⎝3 8⎠
1⎛ 5 ⎞ 5
= ⎜ ⎟=
3 ⎝ 24 ⎠ 72

Contoh 3.2.8
Hitunglah volume benda pejal di oktan pertama terletak dibawah permukaan, z = x + 3y, dan
dibatasi oleh silinder elipsoida, x2 + 9y2 = 36 dan ketiga bidang koordinat.
Penyelesaian
Perhatikanlah sketsa benda pejal dan daerah R pada Gambar 3.2.13 berikut ini.
z

x2 + 9y2 = 36
2 R
y
R x
0 6
x2 + 9y2 = 36
x 6
Gambar 3.2.13 Gambar 3.2.14

Andaikan V adalah volume benda pejal dibawah permukaan, z = x + 3y, dan diatas daerah R,
maka volume bendanya diberikan oleh,
V = ∫∫ ( x + 3 y ) dA
R
dimana R adalah daerah pada kuadran pertama yang dibatasi oleh elips seperti terlihat pada
Gambar 3.2.14. Dari gambar terlihat bahwa daerah R dapat dipandang berbentuk y sederhana
dan x sederhana.

Pendekatan y sederhana
Dengan pendekatan y sederhana, daerah R pada Gambar 3.2.14, diberikan oleh :
1
R = {(x,y) : 0 ≤ y ≤ 36 − x 2 , 0 ≤ x ≤ 6}.
3

133
Dengan demikian volume bendanya diberikan oleh,
6 (1 / 3) 36 − x 2
V= ∫∫ ( x + 3 y ) dA = ∫0∫0 ( x + 3 y ) dy dx
R
(1 / 3) 36 − x 2
6⎡3 ⎤
= ∫ ⎢ xy + y 2 ⎥ dx
0 ⎣ 2 ⎦0
6 ⎡1 1 ⎤
= ∫ ⎢ x 36 − x 2 + (36 − x 2 )⎥ dx
0 ⎣3 6 ⎦
6
⎡ 1 1 ⎤
= ⎢− (36 − x 2 ) 3 / 2 + 6 x − x 3 ⎥
⎣ 9 18 ⎦ 0
⎛ 216 ⎞ ⎛ 216 ⎞ 216
= ⎜ 0 + 36 − ⎟ – ⎜− ⎟ = 36 + = 48
⎝ 18 ⎠ ⎝ 9 ⎠ 18

Pendekatan x sederhana
Dengan pendekatan x sederhana, daerah R pada Gambar 3.2.14, diberikan oleh :
R = {(x,y) : 0 ≤ x ≤ 36 − 9 y 2 = 3 4 − y 2 , 0 ≤ y ≤ 2}.
Dengan demikian volume bendanya diberikan oleh,
2 3 4− y 2
V= ∫∫ ( x + 3 y ) dA = ∫0∫0 ( x + 3 y ) dx dy
R
3 4− y 2
2 ⎡1 2 ⎤ 2 ⎡9 ⎤
∫ ∫ 0 ⎢⎣ 2 (4 − y
2
= x + 3 xy ⎥ dy = ) + 9 y 4 − y 2 ⎥ dy
0 ⎢⎣ 2 ⎦0 ⎦
2
⎡ 3 ⎤ ⎛ 24 ⎞
= ⎢18 y − y 3 − 3(4 − y 2 ) 3 / 2 ⎥ = ⎜ 36 − ⎟ – (–24) = 48
⎣ 2 ⎦0 ⎝ 2 ⎠
Jadi volume benda pejal yang ditanyakan adalah 48 satuan kubik

Contoh 3.2.9
Hitunglah volume benda pejal, dibawah permukaan paraboloida, z = x2 + y2, di dalam silinder
lingkaran tegak, x2 + y2 = 4, dan ketiga bidang koordinat (oktan pertama).
Penyelesaian
Perhatikanlah sketsa benda pejal V, dan daerah umum R pada gambar berikut ini.
z
8
y
z = x2 + y2
y= 4 − x2

2 y

2 x2 + y2 = 4 x
x 0 2

Gambar 3.2.15 Gambar 3.2.16

134
Andaikan V adalah volume benda pejal di bawah permukaan, z = x2 + y2, (lihat Gambar
3.2.15) maka,
V = ∫∫ ( x 2 + y 2 ) dA
R
dimana R adalah seperempat lingkaran, x2 + y2 = 4, Gambar 3.2.16. Dari Gambar 3.2.16,
terlihat bahwa daerah R dapat dipandang berbentuk y sederhana, yang diberikan oleh :
R = {(x,y) : 0 ≤ y ≤ 4 − x 2 , 0 ≤ x ≤ 2}.
Dengan demikian,
2 4− x2
V = ∫∫ ( x 2 + y 2 ) dA = ∫0∫0 ( x 2 + y 2 ) dy dx
R

4− x2
2⎡ 2 1 3⎤

= 0 ⎢x y + y ⎥
⎣ 3 ⎦0
dx

2⎡ 1 ⎤
= ∫ ⎢ x 2 4 − x 2 + (4 − x 2 ) 3 / 2 ⎥ dx
0 ⎣ 3 ⎦

Selanjutnya untuk menghitung integral tentu suku terakhir, substitusikanlah x = 2 sin t, maka
dihasilkan :
(1). dx = 2 cos t dt
(2). 4 − x 2 = 4 − 4 sin 2 t = 2 cos t
(3). (4 − x 2 ) 3 / 2 = (4 − 4 sin 2 t ) 3 / 2 = 8 cos3 t
(4). Perubahan batas integrasi, t = 0, bila x = 0, dan t = π/2, bila x = 2.

Dengan subsitusi diatas, maka dihasilkan :


2⎡ 1 ⎤
V = ∫ ⎢ x 2 4 − x 2 + (4 − x 2 ) 3 / 2 ⎥ dx
0 ⎣ 3 ⎦
π /2⎡ 1 3 ⎤
= ∫ 2
⎢⎣(4 sin t )(2 cos t ) + 3 (8 cos t )⎥⎦ (2 cos t dt )
0
π /2⎡ 16 ⎤
= ∫ ⎢ 16 sin 2 t cos 2 t + cos 4 t ⎥ dt
0 ⎣ 3 ⎦
π /2⎡ 1 ⎤ π /2⎡ 2 ⎤
= 16 ∫ ⎢ (1 − cos 2 t ) cos 2 t + cos 4 t ⎥ dt = 16 ∫ ⎢ cos 2 t − cos 4 t ⎥ dt
0 ⎣ 3 ⎦ 0 ⎣ 3 ⎦
π /2
⎡1 1 2⎛1 3 3 ⎞⎤
= 16 ⎢ cos t sin t + t – ⎜ cos 3 t sin t + cos t sin t + t ⎟⎥
⎣2 2 3⎝4 8 8 ⎠⎦ 0
π /2
⎡1 1 1 ⎤ ⎛ 1 ⎞⎛ π ⎞
= 16 ⎢ t + cos t sin t − cos 3 t sin t ⎥ = 16 ⎜ ⎟⎜ ⎟
⎣4 4 6 ⎦0 ⎝ 4 ⎠⎝ 2 ⎠
= 2π
Jadi volume benda pejal yang ditanyakan adalah 2π satuan kubik

135
Soal-soal Latihan Bab 3.2
Dalam soal-soal latihan nomor 1 sampai 15 selesaikanlah integral lipat dua berikut ini.
2 1 2 x2
1. ∫1 ∫ x xy 2 dy dx 2. ∫1 ∫1 x 2 y 2 dy dx
1 x2 2 x2
3. ∫0∫ x ( xy + x 2 ) dy dx 4. ∫ 1 ∫ 3− x x 2 y dy dx

2 4− y 2 2 3y − y 2
5. ∫0∫ y ( x + y ) dx dy 6. ∫0∫ y ( xy − y 2 ) dx dy

1 1− y 2 2 x2
7. ∫0∫ y
( x 2 + xy ) dx dy 8. ∫1 ∫ x
x 2 y dy dx

2 x2 2 x2
9. ∫ 1 ∫ x1/ 3 xy 2 dy dx 10. ∫ 1 ∫ x1/ 3 xy 2 dy dx
π / 3 2 sin y π / 3 2 cos y
11. ∫π / 6 ∫ 0 x cos y dx dy 12. ∫π / 4 ∫ 2 x sin y dx dy
π / 3 sin x π / 4 cos x
13. ∫ π / 4 ∫ cos x y 2 sin x dy dx 14. ∫ π / 6 ∫ sin x y cos x dy dx

2 4− x2
15. ∫ ∫ y 2 x dy dx
0 x

Dalam soal-soal latihan nomor 16 sampai 23 berikut ini, hitunglah integral lipat dua yang
diberikan, atas daerah umum R yang terletak pada kuadran pertama.

∫∫ ( x
2
16. + y 2 ) dA , daerah R dibatasi oleh, y = x, x = 2, dan sumbu x.
R

∫∫ x
2
17. dA , daerah R dibatasi oleh, y = 2x, x + y = 6, dan sumbu x.
R

∫∫ ( x
2
18. + xy ) dA , daerah R dibatasi oleh, y = x, dan y = 3x – x2.
R

∫∫ ( x
2
19. + y 2 ) dA , daerah R dibatasi oleh, y = x3, dan x = y3.
R

∫∫ x
2
20. 4 − y 2 dA , daerah R dibatasi oleh lingkaran, x2 + y2 = 4, sumbu x, dan sumbu y
R

21. ∫∫ y 4 − x 2 dA , daerah R dibatasi oleh lingkaran, x2 + y2 = 4, sumbu x, dan sumbu y


R
y2
22. ∫∫ dA , daerah R dibatasi oleh lingkaran, x2 + y2 = 4, sumbu x, dan sumbu y
R 4 − x2
x3
23. ∫∫ 2
dA , daerah R dibatasi oleh lingkaran, x2 + y2 = 4, sumbu x, dan sumbu y
R 4− y

136
Dalam soal-soal latihan nomor 24 sampai 30 buatlah sketsa daerah R, yang diberikan dan
dengan integral lipat dua hitunglah pula luas daerahnya.

24. Daerah R dibatasi oleh parabola, y2 = 4x, dan lingkaran x2 + y2 = 5,


25. Daerah R dibatasi oleh parabola, y = x2 – 9, dan y = 9 – x2,
26. Daerah R dibatasi oleh parabola, 6y = x2, dan lingkaran x2 + y2 = 16,
27. Daerah R dibatasi oleh parabola, y2 = 4x, dan x2 = 4y,
28. Daerah R dibatasi oleh parabola, y = x2, dan y = 4x – x2,
29. Daerah R dibatasi oleh lingkaran, x2 + y2 = 4, garis y = x, dan sumbu x
30. Daerah R dibatasi oleh lingkaran, x2 + y2 = 4, garis y = x, dan sumbu y

Dalam soal-soal latihan nomor 31 sampai 40 berikut ini, buatlah sketsa benda pejal yang
diberikan, dan dengan integral lipat dua hitunglah volume benda pejalnya.

31. Benda pejal di oktan pertama dibatasi oleh silinder paraboloida, x + z2 = 4, bidang-bidang
y = x, z = 0, dan y = 0.
32. Benda pejal di oktan pertama dibatasi oleh paraboloida, z = 16 – x2 – 4y2, bidang-bidang,
z = 0, y = 0, dan x = 0
33. Benda pejal di oktan pertama dibatasi oleh silinder paraboloida, x2 = 4y, bidang-bidang,
4y + 9z = 36, z = 0, dan x = 0
34. Benda pejal di oktan pertama dibatasi oleh silinder paraboloida, y + z2 = 4, bidang-bidang,
y = x, z = 0, dan x = 0.
35. Benda pejal di oktan pertama dibatasi oleh bidang-bidang, x + 8y = 4z, x + 2y = 4, z = 0, y
= 0, dan x = 0.
36. Benda pejal di oktan pertama dibatasi oleh bidang-bidang, 2x + 2y + z = 4, y = x, z = 0,
dan x = 0.
37. Benda pejal di oktan pertama dibatasi oleh silinder paraboloida, y = x2, bidang-bidang, 2x
+ y + z = 3, z = 0, dan x = 0.
38. Benda pejal di oktan pertama dibatasi oleh silinder paraboloida, y = x3, bidang-bidang, x +
y + z = 2, z = 0, dan y = 0.
39. Benda pejal di oktan pertama dibatasi oleh silinder paraboloida, x = y2, bidang-bidang, x +
y + z = 6, z = 0, dan y = 0.
40. Benda pejal di oktan pertama dibatasi oleh silinder paraboloida, x = y3, bidang-bidang, x +
y + z = 2, z = 0, dan x = 0.

137
3.3. Transformasi Koordinat Integral Lipat Dua,
Koordinat Kutub
Dalam proses penghitungan integral lipat dua, akan sering dijumpai daerah R mempunyai
bentuk tertentu, misalnya lingkaran atau lengkungan kurva tertentu. Lihat Gambar 3.3.1, atau
Gambar 3.3.2. berikut ini. Masalah ini muncul contoh terakhir pada Bab 3.2.

y y
y = 4x2 y = x2

x = y2 2
x2 + y2 = 4
R R
1
x = 4y2 x + y2 = 1
2

x x

Gambar 3.3.1 Gambar 3.3.2

Akibatnya dalam proses penghitungannya akan dijumpai beberapa kesulitan bilamana tetap
menggunakan sistem koordinat kartesius. Kesulitan-kesulitan tersebut misalnya adalah
menentukan batasan-batasan integrasi, atau mungkin menentukan anti turunan fungsinya.
Untuk mengatasi hal tersebut, biasanya dalam proses untuk menghitung integral lipat dua atas
daerah tentu atas daerah yang mempunyai lengkungan teratur yang sederhana digunakan
teknik tertentu dengan melakukan transformasi koordinat.

Andaikan (u,v) titik koordinat lengkung pada bidang uv. Misalkan hubungan antara titik
koordinat (x,y) di daerah R pada bidang xy, dan titik koordinat (u,v) di daerah R’ pada bidang
uv, diberikan oleh persamaan transformasi, x = x(u,v), dan y = y(u,v). Misalkan pula P adalah
sembarang titik dengan (x,y) atau (u,v) dengan x = x(u,v), dan y = y(u,v) yang seperti terlihat
pada Gambar 3.3.3, berikut ini.
y v
u1 u2
R v2
P v konstan
R’
r u konstan v1

x u
Gambar 3.3.3 Gambar 3.3.4

Dari sketsa pada Gambar 3.3.3, vektor r dari O ke P diberikan oleh,

r = xi + yj = x(u,v)i + y(u,v)j

Misalkan, ΔRk adalah daerah pada bidang xy, maka ΔA luas daerah R dapat dihampiri oleh,
∂r ∂r
ΔA = × ΔuΔv
∂u ∂v

138
∂r ∂r
dimana, dan masing-masing menyatakan vektor singgung di (u,v). Mengingat,
∂u ∂v

i j k ∂x ∂x
∂r ∂r ∂x ∂x ∂ ( x, y )
× = 0 = ∂u ∂v k = k = J(u,v)k
∂u ∂v ∂u ∂v ∂ y ∂y ∂ (u , v)
∂y ∂y ∂u ∂v
0
∂u ∂v
dimana, J(u,v) disebut dengan Jacobian (x,y) terhadap (u,v). Sehingga,
∂x ∂x
∂r ∂r ∂ ( x, y )
ΔA = × ΔuΔv = ∂u ∂v ΔuΔv = ΔuΔv
∂u ∂v ∂y ∂ y ∂ (u , v)
∂u ∂v

Selanjutnya, bilamana f(x,y) terintegralkan pada daerah R, dibawah transformasi koordinat x


= x(u,v), dan y = y(u,v), fungsi f(x,y) juga terintegralkan pada daerah R’, Gambar 3.3.4.
Sebagai hasilnya, penghitungan integral liat dua dibawah transformasi koordinat diberikan
oleh,
∂ ( x, y )
∫∫ f ( x, y)dA = ∫∫ f ( x(u, v), y(u, v)) ∂(u, v) dudv
R R'
= ∫∫ F (u, v) | J (u, v) | dudv
R'
Kejadian khusus dari transformasi integral lipat dua adalah transformasi koordinat kutub,
dimana daerah R berbentuk lingkaran, Gambar 3.3.2. Transformasi koordinat kutub diberikan
oleh,
x = r cos θ x2 + y2 = r2
y
y = r sin θ tan θ =
x
∂x ∂x
∂ ( x, y ) cosθ − r sin θ
J(r,θ) = = ∂r ∂θ = =r
∂ ( r ,θ ) ∂ y ∂y sin θ r cosθ
∂r ∂θ
Dibawah transformasi koordinat kutub dihasilkan,
∂ ( x, y )
∫∫ f ( x, y)dA = ∫∫ f (r cosθ , r sin θ ) ∂(r ,θ ) dr dθ
R R'
= ∫∫ F (r ,θ )r dr dθ
R'
dengan R’ adalah daerah pada bidang r dan θ. Untuk lebih jelasnya perhatikanlah contoh-
contoh berikut ini.

Contoh 3.3.1
∫∫ ( xy)
2
Haitunglah, dxdy , bilamana R adalah daerah pada kuadran pertama yang dibatasi
R
oleh, y = x3, 4y = x3, x = y3, dan 4x = y3.

139
Penyelesaian
∫∫ ( xy)
2
Integral lipat dua yang harus dihitung adalah, dxdy , dimana daerah R terlihat pada
R
Gambar 3.3.4, berikut ini.

y y = x3 4y = x3 v
4 x = y3 4

R R’
x = y3

1
x 1 4 u

Gambar 3.3.4 Gambar 3.3.5

Dari sketsa pada Gambar 3.3.4 diatas, terlihat daerah R mempunyai bentuk lengkungan
sederhana. Oleh karena, itu untuk menghitung integral lipat duanya, tranformasikan daerah R
pada bidang xy ke bidang R’ pada bidang uv dengan transformasi,
x3
uy = x3, atau u =
y
y3
vx = y3, atau v =
x
Dengan transformasi tersebut dihasilkan,
x3 y3
(1). uv = = (xy)2, atau xy = u1 / 2 v1 / 2
y x
∂ ( x, y ) 1
(2). = , dengan,
∂ (u , v) ∂ (u , v)
∂ ( x, y )
∂u ∂u 3x 2 x3

∂ (u , v) ∂x ∂y y y 2 = 8xy
= =
∂ ( x, y ) ∂v ∂v y3 3y 2
∂x ∂y −
x2 x
∂ ( x, y ) 1 1
Sehingga, = =
∂ (u , v) 8 xy 8u 2 v1 / 2
1 /
(3). Batasan daerah R pada bidang xy akan ditransformasikan menjadi,
x3
y = x3 , atau, = 1, ditransformasikan menjadi, u = 1
y
x3
4y = x3, atau, = 4, ditransformasikan menjadi, u = 4
y
y3
x = y3, atau, = 1, ditransformasikan menjadi, v = 1
x

140
y3
4x = y3, atau, = 4, ditransformasikan menjadi, v = 4
x
Hasil transformasi koordinat tersebut diberikan pada Gambar 3.3.5. Dengan demikian
batasan daerah R’ = {(u,v) : 1 ≤ u ≤ 4, 1 ≤ v ≤ 4}.
Dengan menggunakan hasil-hasil diatas, maka diperoleh :
∂ ( x, y ) 4 4 1
∫∫ ( xy) dxdy = ∫∫ (uv) ∂(u, v) dudv = ∫ 1 ∫ 1 uv 8(uv)1 / 2 du dv
2

R R'
4
1 4 4 1/ 2 1/ 2 1 4 ⎡2 ⎤
=
8 ∫ 1 ∫ 1
u v du dv = ∫ ⎢ u 3 / 2 v1 / 2 ⎥ dv
8 1 ⎣3 ⎦1
4
1 4 7 4 1/ 2 7 ⎡2 3/ 2 ⎤
=
12 1∫ (8 − 1)v1 / 2 dv = ∫
12 1
v dv =
12 ⎢⎣ 3
v ⎥
⎦1
7 49
= (8 − 1) =
18 18

Contoh 3.3.2
Haitunglah, ∫∫ 9 x 2 + 4 y 2 dxdy bilamana R adalah daerah yang terletak antara,
R
36 ≤ 9x2 + 4y2 ≤ 144.

Penyelesaian,
Integral lipat dua yang harus dihitung adalah, ∫∫ 9 x 2 + 4 y 2 dxdy , dimana daerah R seperti
R
terlihat pada gambar berikut ini.
y r

9x2 + 4y2 = 144.

2
R’
x
9x2 + 4y2 = 36. 1
θ

Gambar 3.3.6 Gambar 3.3.7

Dari gambar 3.3.6, terlihat bahwa daerah R berbentuk elips, oleh karena itu untuk
menghitung integral lipat dua diatas, gunakanlah transformasi koordinat,
x = 2 r cos θ,
y = 3 r sin θ dengan 0 ≤ θ ≤ 2π
Dengan transformasi tersebut dihasilkan,
(1). 9x2 + 4y2 = 9(4r2 cos2 θ) + 4(9r2 sin2 θ) = 36 r2,
(2). 9 x 2 + 4 y 2 = 36r 2 = 6r

141
∂ ( x, y ) 2 cosθ − 2r sin θ
(3). = = 6r(cos2θ + sin2 θ) = 6r
∂ ( r ,θ ) 3 sin θ 3r cosθ
(4). Batasan daerah R, 36 ≤ 9x2 + 4y2 ≤ 144, pada bidang xy akan ditransformasikan menjadi,
1 ≤ r ≤ 2, 0 ≤ θ ≤ 2π. Hasil transformasi koordinat tersebut diberikan pada Gambar 3.3.7.
Dengan demikian batasan daerah R’ = {(r,θ) : 1 ≤ r ≤ 2, 0 ≤ θ ≤ 2π}.

Dengan menggunakan hasil-hasil diatas, diperoleh :


∂ ( x, y ) 2π 2
∫∫ 9 x + 4 y dxdy = ∫∫ 6r ∂(r ,θ ) dr dθ = ∫ 0 ∫ 1 (6r )(6r ) dr dθ
2 2

R R'
2
2π 2 2π ⎡ 1 3 ⎤
= 36 ∫ ∫1 r 2
dr dθ = 36 ∫ r dθ
0 0 ⎢⎣ 3 ⎥⎦
1
2π ⎛ 1 ⎞ 2π
= 36 ∫ ⎜ (8 − 1) ⎟ dθ = 84 ∫ dθ = 168π
0 ⎝3 ⎠ 0

Contoh 3.3.3
Hitunglah, ∫∫ 4 − x 2 − y 2 dxdy , bilamana R adalah daerah yang terletak pada kuadran
R
pertama dan kedua yang dibatasi oleh, x2 + y2 = 4, garis y = x, dan y = –x.
Penyelesaian
Integral lipat dua yang harus dihitung adalah, ∫∫ 4 − ( x 2 + y 2 ) dxdy , dimana daerah R
R
seperti terlihat pada gambar berikut ini.

y r

y=–x y=x
2

R R’
x2 + y2 = 4

x θ
π/4 3π/4
Gambar 3.3.8 Gambar 3.3.9

Karena daerah R pada gambar 3.3.8 berbentuk bagian dari lingkaran, maka dengan
transformasi koordinat kutub dihasilkan,
(1). 4 − ( x 2 + y 2 ) = 4 − r 2
(2). Batasan daerah R pada Gambar 3.3.8 menjadi,
x2 + y2 = 4, ditransformasikan menjadi, r = 2
y = x, ditransformasikan menjadi, r sin θ = r cos θ, tan θ = 1, atau θ = π/4
y = –x, ditransformasikan menjadi, r sin θ = – r cos θ, tan θ = –1, atau θ = 3π/4
Dengan demikian batasan daerah R’ adalah R’ = {(r,θ) : 0 ≤ r ≤ 2, π/4 ≤ θ ≤ 3π/4} yang
seperti terlihat pada Gambar 3.3.9.

142
Dengan menggunakan hasil-hasil diatas, diperoleh :
3π / 4 2
∫∫ 4 − ( x 2 + y 2 ) dxdy = ∫π / 4 ∫ 0 4 − r 2 r dr dθ
R
2
3π / 4 ⎡ 1 ⎤ 3π / 4 ⎡ 1 3/ 2⎤
= ∫ ⎢
π /4 ⎣ 3
− (4 − r 2 ) 3 / 2 ⎥
⎦ 0
dθ = ∫π / 4 ⎢0 + 3 (4)

⎥ dθ

3π / 4
3π / 4 8 ⎡8 ⎤ 8 ⎛ 3π π ⎞ 4
= ∫π / 4 3
dθ = ⎢ θ ⎥
⎣3 ⎦ π / 4
= ⎜ − ⎟= π
3⎝ 4 4 ⎠ 3

Contoh 3.3.4
Dengan menggunakan integral lipat dua, hitunglah volume benda pejal dibawah permukaan
kerucut, z2 = x2 + y2, di dalam siliner lingkaran tegak, x2 + y2 = 2y, dan diatas bidang xy.
Penyelesaian
Perhatikanlah sketsa benda pejal yang diberikan oleh Gambar 3.3.10 berikut ini.
z y

z2 = x2 + y2 2

R x2 + y2 = 2y

y x
x x2 + y2 = 2y 0

Gambar 3.3.10 Gambar 3.3.11


Dari sketsa pada Gambar 3.3.19, ambil z = f(x,y) = x 2 + y 2 . Volume benda yang dicari
adalah benda dibawah permukaan z = f(x,y) dan diatas daerah R. Dengan demikian,
V= ∫∫ x 2 + y 2 dxdy
R
dimana R daerah berbentuk lingkaran, x2 + y2 = 2y seperti terlihat pada Gambar 3.3.11.
Dengan transformasi koordinat kutub, x = r cos θ, y = r sin θ, dan x2 + y2 = r2, dihasilkan,
(1). f(x,y) = x 2 + y 2 ditransformasikan menjadi, F(r, θ) = r 2 = r
(2). Batasan daerah R berbentuk lingkaran, x2 + y2 = 2y, ditransformasikan menjadi, r2 = 2r
sin θ, atau r = 2 sin θ, dengan 0 ≤ θ ≤ π,
Jadi dalam koordinat kutub, volume benda pejal V diberikan oleh,
π 2 sin θ π 2 sin θ
V= ∫∫ x 2 + y 2 dxdy = ∫0 ∫0 (r ) r dr dθ = ∫
0 ∫0
r 2 dr dθ
R
2 sin θ
π ⎡1 3 ⎤ 8 π
∫ 0 ⎢⎣ 3 r ⎥⎦ 0 3 ∫0
= dθ = sin 3 θ dθ

π
8⎡ 1 2 ⎤ 8⎡ 2 ⎤ 32
= ⎢− sin 2 θ cosθ − cosθ ⎥ = ⎢− (−1 − 1)⎥ =
3⎣ 3 3 ⎦0 3⎣ 3 ⎦ 9
32
Jadi volume benda pejalnya adalah satuan kubik.
9

143
Soal-soal Latihan 3.3.
Dalam soal-soal latihan nomor 1 sampai 10 berikut ini, selesaikanlah integral berulang dalam
koordinat kutub berikut ini.
π / 4 cos θ π / 2 2 sin θ
1. ∫0 ∫0 r 2 sin θ dr dθ 2. ∫π / 4 ∫ 0 r 2 sin θ dr dθ
π / 4 2 cos θ π / 4 2 cos θ
3. ∫ ∫0 r 3 sin θ dr dθ 4. ∫0 ∫0 r 2 cosθ dr dθ
0
π 1− cos θ π / 2 2 sin θ
5. ∫0 ∫0 r 2 sin θ dr dθ 6. ∫0 ∫0 r 2 sin θ dr dθ
π / 2 1+ sin 2 θ 2 π / 3 1− cos θ
7. ∫ π /4 0 ∫ r cosθ dr dθ 8. ∫0 ∫0 r 2 sin θ cosθ dr dθ
π 2 cos θ 3 π / 2 1− sin θ
9. ∫ ∫ 0 0
r cos θ dr dθ 10. ∫0 ∫0 r 2 cos θ dr dθ

Dalam soal-soal latihan nomor 11 sampai 20 berikut ini, hitunglah integral lipat dua yang
diberikan
11. ∫∫ x x 2 + y 2 dxdy , dengan R adalah daerah berbentuk lingkaran, x2 + y2 = 4
R
12. ∫∫ 4 − ( x 2 + y 2 ) dxdy , dengan R adalah daerah pada kuadran pertama yang dibatasi
R
oleh garis, y = x, lingkaran, x2 + y2 = 4, dan sumbu x.
1
13. ∫∫ dxdy , dengan R adalah daerah berbentuk lingkaran, x2 + y2 = 9
2 2
R 9− x − y
(x2 + y 2 )
14. ∫∫ e dxdy , dengan R adalah daerah berbentuk lingkaran, x2 + y2 = 4
R
15. ∫∫ x x 2 + y 2 dxdy , dengan R adalah daerah berbentuk lingkaran, x2 + y2 = 2y
R
16. ∫∫ y x 2 + y 2 dxdy , dengan R adalah daerah berbentuk lingkaran, x2 + y2 = 2x
R

e − ( x + y ) dxdy , dengan R adalah daerah yang terletak antara lingkaran, x2 + y2 = 1,


2 2
17. ∫∫
R
dan x2 + y2 = 9
x
18. ∫∫ dxdy , dengan R adalah daerah pada oktan pertama yang dibatasi oleh
R x2 + y2
lingkaran, x2 + y2 = 4, dan x2 + y2 = 16
19. ∫∫ x 4 x 2 + y 2 dxdy , dengan R adalah daerah yang dibatasi oleh elips, 4x2 + y2 = 4, dan,
R
4x2 + y2 = 16
20. ∫∫ y x 2 + 9 y 2 dxdy , dengan R adalah daerah yang dibatasi oleh elips, x2 + 9y2 = 9, dan,
R
x2 + 9y2 = 36

144
Dalam soal-soal latihan nomor 21 sampai 30, hitunglah luas daerah R.

21. Daerah R pada kuadran pertama dibatasi oleh, xy = 4, xy = 8, xy2 = 5, dan xy2 = 15
22. Daerah R pada kuadran pertama dibatasi oleh, x = y2, x = 4y2, y = x2, dan y = 4x2.
23. Daerah R pada kuadran pertama dibatasi oleh, xy2 = 1, xy2 = 8, x2y = 1, dan x2y = 8
24. Daerah R pada kuadran pertama dibatasi oleh, xy3 = 1, xy3 = 9, x3y = 1, dan x3y = 9
25. Daerah R pada kuadran pertama dibatasi oleh, y2 = x3, 4y2 = x3, x2 = y3, dan 4x2 = y3
26. Daerah R dibatasi oleh lingkaran, x2 + y2 = 4, dan x2 + y2 = 4y.
27. Daerah R dibatasi oleh lingkaran, x2 + y2 = 2y, dan x2 + y2 = 4y.
28. Daerah R dibatasi oleh lingkaran, x2 + y2 = 2x, dan x2 + y2 = 4x.
29. Daerah R dibatasi oleh elipsoida, 9x2 + y2 = 9, dan 9x2 + y2 = 36.
30. Daerah R dibatasi oleh elipsoida, x2 + 4y2 = 16, dan x2 + 4y2 = 36.

Dalam soal-soal latihan nomor 31 sampai 40 berikut ini, dengan transformasi dalam
koordinat kutub hitunglah volume benda pejal yang diberikan.

31. Benda terletak dibawah permukaan paraboloida, z = x2 + y2, didalam silinder lingkaran
tegak, x2 + y2 = 2y, dan diatas bidang xy
32. Benda terletak dibawah permukaan paraboloida, z = x2 + y2, didalam silinder lingkaran
tegak, x2 + y2 = 2x, dan diatas bidang xy
33.Benda terletak dibawah permukaan kerucut, z2 = 3(x2 + y2), didalam silinder lingkaran
tegak, x2 + y2 = 2y, dan diatas bidang xy
34.Benda terletak dibawah permukaan kerucut, 3z2 = x2 + y2, didalam silinder lingkaran
tegak, x2 + y2 = 2x.
35.Benda terletak dibawah permukaan elipsoida, 2x2 + 2y2 + z2 = 18, di dalam silinder
lingkaran tegak, x2 + y2 = 4, dan diatas bidang xy.
36. Benda terletak dibawah permukaan bola, x2 + y2 + z2 = 25, di dalam silinder lingkaran
tegak, x2 + y2 = 16, dan diatas bidang xy.
37. Benda di bawah permukaan bola, x2 + y2 + z2 = 36, di atas kerucut, 3(x2 + y2) = z2.
38. Benda di bawah permukaan bidang, z = y, di atas silinder lingkaran tegak, x2 + y2 = 2y.
39. Benda di bawah permukaan bidang, z = x, di atas silinder lingkaran tegak, x2 + y2 = 2x.
40. Benda di bawah permukaan bidang, z + y = 4, diatas silinder lingkaran tegak, x2 + y2 = 2y.

145
3.4. Penerapan Integral Lipat Dua

Penerapan integral lipat dua, secara tidak langsung telah dibahas antara lain adalah
menghitung luas daerah dan volume benda pejal. Secara lebih luas penerapan integral lipat
dua antara lain adalah untuk menghitung massa lamina, pusat masaa lamina, moment inersia,
maupun luas permukaan benda

3.4.1. Massa dan Pusat Massa Lamina

Misalkan diberikan suatu pelat yang sedemikian tipisnya sehingga dapat dipandang sebagai
benda berdimensi dua. Pelat tipis demikian itu disebut dengan lamina. Andaikan diberikan
suatu lamina yang dibatasi oleh daerah R pada bidang xy, dan andaikan pula kerapatannya
(massa per satuan luas) di sembarang titik (x,y) dinyatakan dengan δ(x,y) seperti terlihat pada
Gambar 3.4.1.
y

( xk , y k )

x
Gambar 3.4.1

Dengan pendekatan jumlahan Reiman, massa Rk secara hampiran diberikan oleh,


δ ( x k , y k ) ΔA k
dan massa total Lamina diberikan oleh,
n
m(k) = ∑ δ ( xk , y k )ΔAk
k =1
Apabila hampiran diatas diambil nilai limitnya, artinya untuk ΔAk partisinya mendekati nol,
maka dengan pendekatan integral lipat dua, massa lamina diberikan oleh,

m= ∫∫ δ ( x, y)dA
R
Selanjutnya, bilamana My dan Mx masing-masing menyatakan moment lamina terhadap
sumbu y, dan moment lamina terhadap sumbu x, maka moment tersebut diberikan oleh,

My = ∫∫ xδ ( x, y) dA
R
Mx = ∫∫ yδ ( x, y) dA
R
Akhirnya, koordinat titik pusat massa ( x , y ) tersebut diberikan oleh,
My Mx
x = , y =
m m

146
Contoh 3.4.1
Lamina pada kuadran pertama dibatasi oleh, y = x2 dan x = y2. Bilamana kerapatannya di
setiap titinya sebanding dengan kuadrat jarak terhadap titik pusat. Hitunglah massa lamina.
Penyelesaian
Diketahui bahwa kerapatannya adalah δ (x,y) = k(x2 + y2), maka massa lamina adalah,
m = k ∫∫ ( x 2 + y 2 ) dA
R
dimana R adalah daerah seperti terlihat pada pada Gambar 3.4.2, berikut ini.

y y = x2
x = y2 Dari sketsa, terlihat kedua grafik
berpotongan di (0,0) dan (1,1).
Dengan pendekatan y sederhana
dibatasi oleh,

R = {(x,y) : x2 ≤ y ≤ x 1/2 , 0 ≤ x ≤ 1}

x
Gambar 3.4.2

Dengan demikian,
∫∫ ( x + y 2 ) dA = ∫∫ ( x 2 + y 2 ) dydx
2
m =k
R R
1 x1 / 2
=k ∫ 0 ∫ x2 ( x 2 + y 2 ) dydx
x1 / 2
⎡ 1 1 ⎤
= k ∫ ⎢x2 y + y3 ⎥ dx
0 ⎣ 3 ⎦ x2
1⎡ 1 1 ⎤
= k ∫ ⎢ x 5 / 2 + x 3 / 2 − x 4 − x 6 ⎥ dx
0⎣ 3 3 ⎦
1
⎡2 2 1 1 ⎤
= k ⎢ x7 / 2 + x5 / 2 − x5 − x7 ⎥
⎣7 5 5 21 ⎦ 0
⎛2 2 1 1 ⎞ 6
= k⎜ + − − ⎟ = k
⎝ 7 15 5 21 ⎠ 35
6
Jadi masa lamina yang diberikan adalah k , kg.
35

Contoh 3.4.2
Lamina pada kuadran pertama dibatasi oleh persamaan-persamaan, x2 – y2 = 4, x2 – y2 = 9, xy
= 2, dan xy = 4. Hitunglah massa lamina bilamana kerapatannya sebanding dengan kuadrat
jarak terhadap titik pusat.
Penyelesaian
Karena kerapatan lamina sebanding dengan kuadrat jarak terhadap titik pusat, dan andaikan
m menyatakan masa lamina, maka dengan integral lipat dua diberikan oleh,
∫∫ δ ( x, y)dA = ∫∫ k ( x
2
m = + y 2 ) dxdy
R R

147
dimana R adalah derah berbentuk lengkungan sederhana seperti terlihat pada Gambar 3.4.3

y xy = 1 xy = 4 v
x2 – y2 = 4
u=4 u=9
x2 – y2 = 9 4

R R’

1
x v
Gambar 3.4.3 Gambar 3.4.4

Karena daerah berbentuk lengkungan sederhana, untuk menghitung integral lipat duanya,
digunakan transformasi, u = x2 – y2 dan v = xy. Sebaga hasilnya diperoleh,
∂ (u , v) 2x − 2 y ∂ ( x, y ) 1
(1). = = 2(x2 + y2), dan J(u,v) = =
∂ ( x, y ) y x ∂ (u , v) 2( x + y 2 )
2

(2). Daerah R pada bidang xy ditransformasikan pada bidang R’ pada bidang uv, yaitu :
x2 – y2 = 4, menjadi u = 4, dan x2 – y2 = 9, menjadi u = 9
xy = 1, menjadi, v = 1, dan xy = 4, menjadi v = 4
Dengan demikian daerah R’ dibatasi oleh, R’ = {(u,v) : 4 ≤ u ≤ 9, 1 ≤ v ≤ 4} yang terlihat
pada Gambar 3.4.4.

Dengan menggunakan hasil diatas, maka ;


m = ∫∫ k ( x 2 + y 2 ) dxdy = k ∫∫ ( x 2 + y 2 ) J (u , v)dudv
R R'
9
4 9 1 4 91 4 ⎡1 ⎤
=k ∫1 ∫ 4 (x 2 + y 2 )
2( x 2 + y 2 )
dudv = k ∫1 ∫ 4 2
dudv = k ∫ u
1 ⎢⎣ 2 ⎥⎦
4
dv

4
4 5 ⎡5 ⎤ 15
=k ∫ 1 2
dv = k ⎢ v ⎥ =
⎣2 ⎦ 1 2
k

15
Jadi masa lamina yang diberikan adalah k
2

Contoh 3.4.3
Lamina dibatasi oleh lingkaran, x2 + y2 = 2y. Bilamana kerapatannya adalah sebanding
dengan jarak terhadap titik pusat, hitunglah pusat massa lamina.
Penyelesaian
Kerapatan sebanding dengan jarak terhadap titik pusat, maka δ (x,y) = k x 2 + y 2 .
Andaikan ( x , y ) menyatakan titik pusat massa lamina, maka koordinat titik pusat tersebut
My Mx
diberikan oleh, x = , dan y = , dimana
m m
m =k ∫∫ x 2 + y 2 dxdy My = k ∫∫ x x 2 + y 2 dxdy
R R

148
Mx = k ∫∫ y x 2 + y 2 dxdy
R
dimana R adalah lingkaran x2 + y2 = 2y. seperti terlihat pada Gambar 3.4.5 berikut ini
y Untuk menghitung integral lipat dua diatas
atas daerah R seperti pada Gambar 3.4.5
x2 + y2 = 2y gunakanlah transformasi koordinat kutub,
x = r cos θ, y = r sin θ, x2 + y2 = r2
R
Hasilnya daerah R ditransformasikan menjadi

x R’ = {(r,θ) : 0 ≤ r ≤ 2 sin θ, 0 ≤ θ ≤ π}

Gambar 3.4.5

Dengan demikian,
π 2 sin θ 2
m =k ∫∫ x 2 + y 2 dxdy = k ∫∫ (r ) r drdθ = k ∫ ∫ r drdθ
0 0
R R'
2 sin θ
π ⎡1 3 ⎤ 8 π
=k ∫ 0 ⎢⎣ 3 r ⎥⎦
0
dθ =
3
k ∫ sin 3 θ dθ
0
π
8 ⎡ 1 2 2 ⎤ 8 ⎡ 2 ⎤ 32
=
3
k ⎢⎣− 3 sin θ cosθ − 3 cosθ ⎥⎦ = 3 k ⎢0 − 3 (−1 − 1)⎥ = 9 k
⎣ ⎦
0

π 2 sin θ 3
My = k ∫∫ x x 2 + y 2 dxdy = k ∫∫ r cosθ (r ) r drdθ = k ∫ ∫ r cosθ drdθ
0 0
R R'
2 sin θ π
π ⎡1 4 ⎤ π ⎡1 ⎤
=k ∫ 0 ⎢⎣ 4 r cosθ ⎥⎦ 0 dθ = 4k ∫ sin 4 θ cosθ dθ = 4k ⎢ sin 5 θ ⎥ = 0
0 ⎣ 5 ⎦0

π 2 sin θ 3
Mx = k ∫∫ y x 2 + y 2 dxdy = k ∫∫ r sin θ (r ) r drdθ = ∫0 ∫0 r sin θ drdθ
R R'
2 sin θ
π ⎡1 ⎤ π
= k ∫ ⎢ r 4 sin θ ⎥ dθ = 4k ∫ sin 5 θ dθ
0 ⎣4 ⎦0 0
π
⎡ 1 4⎛ 1 2 ⎞⎤
= 4k ⎢− sin 4 θ cosθ + ⎜ − sin 2 θ cosθ − cosθ ⎟⎥
⎣ 5 5⎝ 3 3 ⎠⎦ 0
⎛ 8 ⎞ 64
= 4k ⎜ − (−1 − 1) ⎟ = k
⎝ 15 ⎠ 15
Jadi koordinat titik pusat masa diberikan oleh,
My 0
x = = = 0,
m (32 / 9)k
dan
Mx (64 / 15)k 64 9 6
y = = = =
m (32 / 9)k 15 32 5

149
3.4.2. Moment Inersia
Dalam ilmu fisika, dinyatakan bahwa moment inersia suatu partiekl dengan massa m kg
terhadap suatu sumbu didefinisikan oleh mr2 kg-m2, dimana jarak tegak lurus partikel ke
sumbu adalah r meter. Misalkan suatu lamina yang dibatasi oleh daerah R pada bidang xy
mempunyai kerapatan, δ (x,y). Bilamana I, menyatakan moment inersia terhadap titik asal, Ix
menyatakan memont inersia terhadap sumbu x, dan Iy menyatakan moment inersia terhadap
sumbu y, maka dengan integral lipat dua masing-masing diberikan oleh,

∫∫ y δ ( x, y )dA
2
Ix =
R

∫∫ x δ ( x, y )dA
2
Iy =
R

∫∫ ( x + y 2 )δ ( x, y )dA
2
I = Ix + Iy =
R

Contoh 3.4.4
Suatu lamina dikuadran pertama dibatasi oleh parabola, y = x2 dan x = y2. Bilamana
kerapatannya adalah δ(x,y) = k(x2 + y2). Hitunglah moment inersia terhadap sumbu x, sumbu
y dan titik asalnya.
Penyelesaian
Sketsa daerah R diberikan oleh Gambar 3.4.2, dimana batasan daerahnya diberikan oleh,
R = {(x,y) : x2 ≤ y ≤ x 1/2 , 0 ≤ x ≤ 1}. Karena kerapatannya adalah, δ (x,y) = k x 2 + y 2 , maka
:
1 x1 / 2
∫∫ y δ ( x, y)dA = k ∫∫ y ( x + y ) dydx = k ∫ 0 ∫ x2
2 2 2 2
Ix = ( x 2 y 2 + y 4 ) dydx
R R
x1 / 2
1 ⎡1 2 3 1 ⎤ 1⎛ 1 1 1 1 ⎞
=k ∫ x y + y5 ⎥ dx = k ∫ ⎜ x 7 / 2 + x 5 / 2 − x 8 − x10 ⎟ dx
0 ⎢⎣ 3 5 ⎦ x2 0⎝ 3 5 3 5 ⎠
1
⎡2 2 3 1 8 1 9⎤
= k ⎢ x7 / 2 + x − x − x ⎥
⎣ 27 35 27 55 ⎦ 0
⎛ 2 2 1 1 ⎞ 158
=k ⎜ + − − ⎟ = k
⎝ 27 35 27 55 ⎠ 2079
316
Jadi moment inersia terhadap sumbu x adalah k
2079
1 x1 / 2
∫∫ x δ ( x, y)dA = k ∫∫ x ( x + y ) dydx = k ∫ 0 ∫ x2
2 2 2 2
Iy = ( x 4 + x 2 y 2 ) dydx
R R
x1 / 2
1⎡ 4 1 2 3⎤ 1⎛ 1 1 ⎞
=k ∫ x y+ x y ⎥ dx = k ∫ ⎜ x 9 / 2 + x 7 / 2 − x 6 − x 8 ⎟ dx
0 ⎢⎣ 3 ⎦ x2 0⎝ 3 3 ⎠
1
⎡2 2 3 1 8 1 9⎤
= k ⎢ x7 / 2 + x − x − x
⎣11 27 7 27 ⎥⎦ 0

150
⎛2 2 1 1 ⎞ 158
=k ⎜ + − − ⎟ = k
⎝ 11 27 7 27 ⎠ 2079
316
Jadi moment inersia terhadap sumbu y adalah k
2079
158 158 316
I = Ix + Iy = k + k = k
2079 2079 2079
316
Jadi moment inersia terhadap titik pusatnya adalah k
2079

Contoh 3.4.5
Lamina pada kuadran pertama dibatasi oleh lingkaran, x2 + y2 = 4. Bilamana kerapatannya
adalah sebanding dengan jarak terhadap titik pusat, hitunglah moment inersia terhadap sumbu
x, sumbu y dan titik asalnya.
Penyelesaian,
Kerapatan sebanding dengan jarak terhadap titik pusat, maka δ (x,y) = k x 2 + y 2 , maka
Ix = k ∫∫ y 2δ ( x, y )dA = k ∫∫ y 2 x 2 + y 2 dxdy
R R

∫∫ x
2
Iy = k x 2 + y 2 dxdy
R

∫∫ ( x
2
IO = k + y 2 ) x 2 + y 2 dxdy = Ix + Iy
R
Dimana daerah R adalah seperempat lingkaran pada kuadran pertama dari, x2 + y2 = 4, seperti
terlihat pada Gambar 3.4.6 berikut ini.
y
Dalam koordinat kutub, daerah yang terlihat
pada Gambar 3.4.6 diberikan oleh

R x2 + y2 = 4 R’ = {(r,θ) : 0 ≤ r ≤ 2 sin θ, 0 ≤ θ ≤ π}

x
Gambar 3.4.6

Sehingga dengan pendekatan transformasi koordinat kutub dihasilkan,


Ix = k ∫∫ y 2 x 2 + y 2 dxdy = k ∫∫ (r sin θ ) 2 (r ) r drdθ
R R'
2
π /2 2 4 π / 2 ⎡1 5 2 ⎤
= k∫ ∫0 r sin 2 θ drdθ = k ∫0 ⎢ 5 r sin θ ⎥ dθ
0 ⎣ ⎦0
π /2
32 π /2 32 ⎡ 1 1 ⎤
= k∫ sin 2 θ dθ = k ⎢− 2 sin θ cosθ + 2 θ ⎥
5 0 5 ⎣ ⎦0
32 ⎛ 1 π ⎞ 8π
= k ⎜ ⎟ = k
5 ⎝2 2⎠ 5

151

Jadi moment inersia terhadap sumbu x adalah k
5
Iy = k ∫∫ x
2
x 2 + y 2 dxdy = k ∫∫ (r cosθ ) 2 (r ) r drdθ
R R'
2
π /2 2 4 π / 2 ⎡1 5 2 ⎤
= k∫ ∫0 r cos 2 θ drdθ = k ∫0 ⎢⎣ 5 r cos θ ⎥⎦ dθ
0
0
π /2
32 π /2 32 ⎡1 1 ⎤
= k∫ cos 2 θ dθ = k ⎢⎣ 2 cosθ sin θ + 2 θ ⎥⎦
5 0 5 0
32 ⎛ 1 π ⎞ 8π
= k⎜ ⎟ = k
5 ⎝2 2⎠ 5

Jadi moment inersia terhadap sumbu y adalah k . Dengan demikian moment inersia
5
8π 8π 16π
terhadap sumbu koordinat adalah, IO = Ix + Iy = k+ k = k
5 5 5

Soal-soal Latihan Bab 3.4


1. Lamina terletak di kuadran pertama dibatasi oleh kurva-kurva, y = x2, dan y = x2. Jika
kerapatannya, δ(x,y) = kxy, hitunglah massa dan pusat massanya.
2. Lamina terletak di kuadran pertama dibatasi oleh kurva-kurva, x = y2, 4x = y2, y = x2 dan
4y = x2. Jika kerapatannya adalah, δ(x,y) = k(xy)3, hitunglah massanya.
3. Daerah R terletak dikuadran pertama dibatasi oleh garis y = x, dan parabola x = y2. Jika
kerapatannya adalah δ (x,y) = kx, hitunglah masa, dan pusat masanya.
4. Daerah R dibatasi oleh kurva-kurva, y = x2, y = 1 dan sumbu x. Jika kerapatannya adalah δ
(x,y) = k(x + y), hitunglah masa dan pusat masanya
5. Daerah R terletak di kuadran pertama dibatasi oleh, lingkaran x2 + y2 = 4, dan x + y = 2.
Jika kerapatannya adalah δ(x,y) = kxy, hitunglah masa, dan pusat masanya.
6. Hitunglah masa lamina yang dibatasi oleh lingkaran, x2 + y2 = 4, dan garis y = x, jika
kerapatannya adalah δ (x,y) = k x 2 + y 2
7. Hitunglah masa lamina yang terletak pada kuadran pertama dibatasi oleh kurva, y = x2
dan y = 2x, bilamana kerapatannya adalah δ (x,y) = k(x2 + y2).
8. Hitunglah masa lamina yang terletak di kuadran pertama yang dibatasi oleh kurva, y = x3,
dan x = y2, bilamana kerapatannya δ (x,y) = k(x + y).
9. Hitunglah masa lamina yang terletak di kuadran pertama yang dibatasi oleh kurva, y = x2,
dan x = y3, bilamana kerapatannya adalah δ (x,y) = k(x + y2).
10. Hitunglah masa lamina yang terletak pada kuadran pertama yang oleh y = x3, dan y = 4x,
jika kerapatnnya adalah δ (x,y) = k(x2 + y).
11. Hitunglah moment inersia terhadap sumbu x, dari suatu lamina yang dibatasi oleh
parabola, y = 4 – x2 dan garis x + y = 2, jika kerapatannya konstan.
12. Hitunglah moment inersia terhadap sumbu y suatu lamina yang dibatasi oleh lingkaran x2
+ y2 = 4x, garis y = x, dan y = – x. Jika kerapatannya sebanding dengan jarak terhadap
titik pusat.
13. Hitunglah moment inersia terhadap sumbu y, suatu lamina yang dibatasi oleh lingkaran,
x2 + y2 = 4, dan garis x + y = 2, bilamana kerapatnnya adalah δ (x,y) = ky.
14. Hitunglah moment inersia terhadap titik pusat koordinat, dari suatu lamina yang dibatasi
oleh y = x3, dan x = y3 bilamana kerapatnnya konstan.

152
15. Hitunglah moment inersia terhadap sumbu x dan sumbu y, dari lamina yang dibatasi oleh
garis y = x, x + y = 4, dan sumbu x. Bilamana kerapatanya adalah δ (x,y) = kxy.
16. Hitunglah moment inersia terhadap sumbu x dan sumbu y, dari lamina yang dibatasi oleh
garis y = x2, x + y = 2, dan sumbu x. Bilamana kerapatanya adalah δ (x,y) = kx.
17. Hitunglah moment inersia terhadap sumbu x, dari lamina yang dibatasi oleh lingkaran x2
+ y2 = 4x, dan garis x + y = 2. Bilamana kerapatanya adalah konstan.
18. Hitunglah moment inersia terhadap sumbu x, dari lamina yang dibatasi oleh lingkaran, x2
+ y2 = 4y, bilamana kerapatanya sebanding dengan jarak terhadap titik pusat.
19. Hitunglah moment inersia terhadap titik pusat koordinat, dari lamina yang dibatasi oleh
lingkaran, x2 + y2 = 4y, bilamana kerapatanya adalah berbanding terbalik dengan jarak
terhadap titik pusat.
20. Hitunglah moment inersia terhadap titik pusat koordinat, dari lamina yang dibatasi oleh
lingkaran, x2 + y2 = 4y, garis y = x , dan y = – x. bilamana kerapatanya adalah berbanding
terbalik dengan jarak terhadap titik pusat.

153
3.5. Integral Lipat Tiga

Konsep volume benda pejal yang telah dirumuskan dalam mendefinisikan integral lipat dua
pada sub sebelumnya, dapat diperluas digeneralisasikan untuk mendefinisikan integral lipat
tiga. Andaikan f adalah fungsi tiga variabel dari x, y, dan z yang terdefinisikan pada balok B,
dalam ruang dimensi tiga, dimana sisi-sisinya sejajar dengan bidang-bidang koordinat. Lihat
Gambar 3.5.1.

z
B
(xk , y k , z k )

Bk

y
x
Gambar 3.5.1

Pada balok B buatlah partisi berhingga banyak P dengan membagi menjadi n bagian, yakni
B1, B2, …, Bn dimana masing-masing volumenya adalah ΔVk, dan selanjutnya bentuk
jumlahnya Reimann,

n
∑ f ( x k , y k , z k ) ΔVk
k =1

dengan ΔVk = Δxk Δyk Δzk, adalah volume ΔBk, dan ( x k , y k , z k ) adalah sembarang titik
dalam balok B, lihat Gambar 3.5.1. Bilamana partisi P diambil mendekati nol, dan
selanjutnya diambil nilai limitnya dan jika limitnya ada, maka fungsi f dikatakan
terintegralkan pada B, ditulis ∫∫∫ f ( x, y, z ) dV . Jadi,
B
n
∫∫∫ f ( x, y, z ) dV = lim
| P |→ 0 k =1
∑ f ( x k , y k , z k ) ΔV k
B
asalkan limitnya ada.

Sebagaimana pada integral lipat dua, jika f adalah fungsi yang kontinu pada daerah tertutup
maka untuk menghitung integral tentunya dapat digunakan pendekatan integral berulang dua
kali. Demikian pula untuk menghitung integral lipat tiga diatas, dapat digunakan pendekatan
berulang tiga kali, asalkan f kontinu.

Dengan demikian, bilamana B adalah balok berbentuk empat persegi panjang, yang dibatasi
oleh :
B = {(x,y,z) : a ≤ x ≤ b, c ≤ y ≤ d, e ≤ z ≤ h}

seperti yang terlihat pada Gambar 3.5.2 berikut ini.

154
z
h

e
c d y
a

x
Gambar 3.5.2

Bilamana B = {(x,y,z) : a ≤ x ≤ b, c ≤ y ≤ d, e ≤ z ≤ h}, maka untuk menghitung integral lipat


tiga atas benda B dapat digunakan pendekatan,

⎧ d ⎛ h ⎫
f ( x, y, z ) dz ⎞⎟ dy ⎬ dx
b
∫∫∫ f ( x, y, z ) dV = ∫ a ⎨⎩∫ c ⎜⎝ ∫ e ⎠ ⎭
B
Pendekatan lain yang dapat digunakan untuk menghitung integral lipat, tergantung pada
urutan integrasinya. Untuk lebih jelasnya perhatikanlah contoh soal berikut ini.

Contoh 3.5.1
∫∫∫ x
2
Hitunglah, yz 3 dV , bilamana B adalah balok berbentuk empat persegi panjang yang
B
dibatasi oleh, B = {(x,y,z) : 1 ≤ x ≤ 2, 2 ≤ y ≤ 3, 0 ≤ z ≤ 2}.
Penyelesaian
Benda balok B diberikan pada Gambar 3.5.3 berikut ini
z

2 3
1
2
x
Gambar 3.5.3

Mengingat, ΔVk = Δxk Δyk Δzk, maka dV dapat dinyatakan dalam urutan yang berbeda, dimana
menghasilkan urutan pengintegralan yang berbeda pula
Cara pertama. Diambil, dV = dx dy dz
Bilamana diambil pendekatan, dV = dx dy dz maka dihasilkan,
2
2 3 2 2 3 ⎡1 3 3 ⎤
∫∫∫ x 2 yz 3 dV = ∫ 0 ∫ 2 ∫1 x 2 yz 3 dxdydz = ∫0 ∫ 2 ⎢⎣ 3
x yz ⎥
⎦ 1
dydz
B
1 2 3 3 7 2 3
= ∫ ∫
3 0 2
yz [(2) 3 − (1) 3 ] dydz = ∫ ∫ yz 3 dydz
3 0 2

155
3
7 2 ⎡1 2 3 ⎤ 7 2
= ∫ ⎢
3 0 ⎣2
y z ⎥ dz = ∫ [(3) 2 − (2) 2 ]z 3 dz
⎦2 6 0
2
35 2 3 35 ⎡ 1 4 ⎤ 35 ⎡ 1 4 ⎤
=
6 ∫ 0
z dz = ⎢ z ⎥ =
6 ⎣4 ⎦ 0 6 ⎢⎣ 4
(2) ⎥

35 70
= (4) =
6 3

Cara kedua, diambil dV = dy dz dx


Bilamana diambil pendekatan, dV = dy dz dx maka dihasilkan,
3
2 2 3 2 2 ⎡1 2 2 3 ⎤
∫∫∫ x 2 yz 3 dV = ∫1 ∫ 0 ∫ 2 x 2 yz 3 dy dz dx = ∫1 ∫ 0 ⎢⎣ 2
x y z ⎥
⎦ 2
dz dx
B
1 2 2 2 3 5 2 2
=
2 ∫ 1 ∫ 0
x z [(3) 2 − (2) 2 ] dz dx = ∫ ∫ x 2 z 3 dz dx
2 1 0
2
5 2 ⎡1 2 4 ⎤ 5 2
2 ∫1 ⎢⎣ 4 x z ⎥⎦ dx = 8 ∫ 1 (2) x dx
4 2
=
0
2
2 ⎡1 ⎤ 10
= 10 ∫ x 2
dx = 10 ⎢ x 3 ⎥ = [(2) 3 − (1) 3 ]
1 ⎣3 ⎦ 1 3
70
=
3

Dari kedua cara diatas terlihat bahwa, bilamana benda V berbentuk balok sederhana urutan
integrasi berulang yang berbeda dengan batasan integrasi menyesuaikan akan menghasilkan
nilai integral lipat yang sama. Secara umum, urutan integrasi akan berubah atau mengikuti
bentuk dari benda V. Analog pada perhitungan integral lipat dua atas daerah umum R, untuk
menghitung integral lipatnya digunakan pendekatan y sederhana, atau x sederhana. Perluasan
dari daerah umum pada bidang, dapat dikembangkan untuk benda pejal V yang terdiri atas
himpunan-himpunan sederhana.

Andaikan f(x,y,z) terdefinisikan pada S, dan f bernilai nol bilamana diluar S. Andaikan pula S
adalah himpunan z sederhana, dan Sxy adalah proyeksi permukaan benda S pada bidang xy,
untuk lebih jelasnya perhatikan Gambar 3.5.4, dan Gambar 3.5.5
z
y
y2

Sxy

y y1
x

Sxy a b
x
Gambar 3.5.4 Gambar 3.5.5

156
Bilamana f kontibu dan terintegralkan pada benda pejal S, maka diperoleh :

⎡ z 2 ( x, y ) f ( x, y, z ) dz ⎤ dA
∫∫∫ f ( x, y, z ) dV = ∫∫ ⎢⎣∫ z1 ( x, y) ⎥⎦
S S xy
dimana Sxy adalah percerminan permukaan benda pejal S pada bidang xy. Selanjutnya, jika Sxy
daerah pada bidang xy yang berbentuk y sederhana seperti terlihat pada Gambar 3.5.5, yang
dibatasi oleh,

Sxy = {(x,y) : y1(x) ≤ y ≤ y2(x), a ≤ x ≤ b}

maka dengan integral berulang dihasilkan,


⎡ z 2 ( x, y ) ⎤
∫∫∫ f ( x, y, z ) dV = ∫∫ ⎢⎣∫ z1 ( x, y) f ( x, y, z ) dz ⎥⎦ dA
S S xy

b ⎡ y 2 ( x) ⎛ ⎤
f ( x, y, z ) dz ⎞⎟ dy
z 2 ( x, y )
= ∫ a ⎢⎣∫ y1 ( x) ⎜⎝ ∫ z1 ( x, y ) ⎠ ⎥ dx

Dari rumus integral berulang diatas, yang perlu diperhatikan bahwa batasan integrasi harus
sesuai dengan urutan-urutan pengintegralannya. Demikian pula urutan integrasi mungkin
berubah, hal ini tergantung pada benda pejal S dan proyeksi permukaannya. Seperti halnya
integral lipat dua, dimana A(R) = ∫∫ f ( x, y ) dA dapat ditafsirkan sebagai luas bidang datar,
R
demikian pula, V = ∫∫∫ dV dapat ditafsirkan sebagai volume benda pejal. Berikut ini adalah
S
beberapa contoh soal yang mengilustrasikan integral berulang.

Contoh 3.5.2
2 x x+ y
Hitunglah, ∫ 0 ∫1 ∫ y yz dz dy dx
Penyelesaian
Dengan pendekatan integral berulang tiga kali dihasilkan,
x+ y
2 x x+ y 2 x ⎡1 2⎤
∫ 0 ∫1 ∫ y yz dz dy dx = ∫ 0 ∫ 1 ⎢⎣ 2 yz ⎥⎦ y dy dx

1 2 x
=
2 ∫ 0 ∫ 1
y [( x + y ) 2 − y 2 ] dy dx
1 2 x
= ∫ ∫ y ( x 2 + 2 xy + y 2 − y 2 ) dy dx
2 0 1
1 2 x
= ∫ ∫ ( x 2 y + 2 xy 2 ) dy dx
2 0 1
x
1 2 ⎡1 2 ⎤
= ∫ ⎢ x 2 y 2 + xy 3 ⎥ dx
2 0 ⎣2 3 ⎦1
1 2 ⎡1 2 2 2 1 2 ⎤
= ∫ ⎢
2 0 ⎣2
x ( x) + x( x) 3 − x 2 − x ⎥ dx
3 2 3 ⎦

157
2
1 2 ⎡7 4 1 2 2 ⎤ 1⎡ 7 1 2 ⎤
= ∫
2 0 ⎣6⎢ x − x − x ⎥ dx = ⎢ x 5 − x 3 − x 2 ⎥
2 3 ⎦ 2 ⎣ 30 6 6 ⎦0
1⎛ 7 1 2 ⎞ 56
= ⎜ (32) − (8) − (4) ⎟ =
2 ⎝ 30 6 6 ⎠ 15

Contoh 3.5.3
2 2 x
Hitunglah, ∫ 1 ∫ y ∫ 0 xz dz dx dy
Penyelesaian,
Dengan pendekatan integral berulang tiga kali dihasilkan,
x
2 2 x 2 ⎡1 2 ⎤
2
∫1 ∫ y ∫0
xz dz dx dy = ∫ ∫
1 y ⎢⎣ 2
xz ⎥ dx dy
⎦0
2 2 ⎡1 ⎤ 1 2 2
= ∫ ∫ ⎢ x( x) 2 ⎥ dx dy = ∫ ∫ x 3 dx dy
1 y ⎣2 ⎦ 2 1 y
2
1 2 ⎡1 4 ⎤ 1 2 ⎡1 1 ⎤
= ∫ ⎢ x ⎥ dy = ∫ ⎢ (2) 4 − ( y ) 2 ⎥ dy
2 1 ⎣4 ⎦ y 2 1 ⎣4 4 ⎦
2
1 2 ⎛ 1 2⎞ 1⎡ 1 3⎤
= ∫
2 1 ⎝
⎜ 4 − y ⎟ dy = ⎢4 y − y ⎥
4 ⎠ 2⎣ 12 ⎦ 1
1⎡ 1 1⎤ 1⎛ 7 ⎞ 41
= ⎢4(2) − (8) − 4(1) + ⎥ = ⎜ 4 − ⎟ =
2⎣ 12 12 ⎦ 2 ⎝ 12 ⎠ 24

Contoh 5.3.4
Hitunglah, ∫∫∫ f ( x, y, z ) dV , bilamana f(x,y,z) = x2z, dan S adalah benda pejal yang dibatasi
S
oleh silinder paraboloida, x + z2 = 4, dan bidang-bidang, x + y = 4, y = x, x = 0, dan y = 0.
Penyelesaian
Integral lipat tiga yang harus dihitung adalah, ∫∫∫ xz dV , dimana S adalah benda pejal seperti
S
yang terlihat pada Gambar 3.5.6, berikut ini.

z
y

z= 4− x
4 y=x

(2,2)
x=y
y R x=4-y
R x+y=4 x
y=x 0 4

x Gambar 3.5.6 Gambar 3.5.7

158
Dari sektsa benda pejal S pada Gambar 3.5.6, terlihat bahwa S berbentuk himpunan z
sederhana, yakni, 0 ≤ z ≤ 4 − x . Dengan demikian integral berulang menjadi,
4− x
∫∫∫ xz dV = ∫∫ ∫0 xz dz dA
S S xy
dimana Sxy adalah proyeksi permukaan benda pejal S pada bidang xy seperti terlihat pada
Gambar 3.5.7. Dari gambar tersebut, daerah R berbentuk x sederhana yang dibatasi oleh, Sxy =
{(x,y) : y ≤ x ≤ 4 – y, 0 ≤ y ≤ 2}, dan dA = dx dy. Dengan demikian diperoleh,
4− x 2 4− y 4− x
∫∫∫ xz dV = ∫∫ ∫0 xz dz dA = ∫0 ∫ y ∫0 xz dz dx dy
S S xy
4− x
2 4− y ⎡1 2⎤ 1 2 4− y
= ∫0 ∫ y ⎢ 2 xz ⎥
⎣ ⎦0
dx dy =
2 ∫ 0 ∫ y
x( 4 − x ) 2 dx dy

4− y
1 2 4− y 1 2 ⎡ 2 1 3⎤
= ∫ ∫
2 0 y
(4 x − x 2 ) dx dy = ∫
2 0 ⎢⎣2 x − 3 x ⎥⎦
y
dy

1 2⎡ 1 1 ⎤
= ∫ ⎢2(4 − y ) 2 − (4 − y ) 3 − 2 y 2 + y 3 ⎥ dy
2 0 ⎣ 3 3 ⎦
2
1⎡ 2 1 2 1 ⎤
= ⎢ − (4 − y ) 3 + (4 − y ) 4 − y 3 + y 4 ⎥
2⎣ 3 12 3 12 ⎦ 0
1⎡ 2 3 1 2 1 2 1 ⎤
= ⎢ − (2) + (2) 4 − (2) 3 + (2) 4 + (4) 3 − (4) 4 ⎥
2⎣ 3 12 3 12 3 12 ⎦
1 ⎛ 16 4 16 4 128 64 ⎞
= ⎜− + − + + − ⎟
2⎝ 3 3 3 3 3 3 ⎠
1 ⎛ 40 ⎞ 20
= ⎜ ⎟=
2⎝ 3 ⎠ 3

Contoh 5.3.5
Hitunglah, ∫∫∫ xy dV , bilamana S adalah benda pejal dibawah bidang, y + z = 4, dan dibatasi
S
oleh silinder paraboloida, y = x2, y = 2 – x2, dan bidang-bidang x = 0, dan z = 0.
Penyelesaian
Benda pejal V diberikan oleh sketsa pada Gambar 3.5.8 berikut ini
z y
y = x2
y+z=4
(1,1)
R y = 2 – x2

y x

Sxy
2
y=2–x Gambar 3.5.9
y = x2
x Gambar 3.5.8

159
Dari sketsa pada Gambar 3.5.8, terlihat bahwa benda pejal S berbentuk z, sederhana yakni, 0
≤ z ≤ 4 – y. Dengan demikian, dV = dz dA, sehingga.

4− y
∫∫∫ xy dV = ∫∫ ∫0 xy dz dA
S S xy
dimana Sxy adalah proyeksi permukaan benda pejal S pada bidang xy seperti terlihat pada
Gambar 3.5.9. Dari gambar tersebut, daerah R berbentuk y sederhana yang dibatasi oleh, Sxy =
{(x,y) : x2 ≤ y ≤ 2 – x2, 0 ≤ x ≤ 1}, dan dA = dx dy. Dengan demikian diperoleh,
4− y
∫∫∫ xy dV = ∫∫ ∫ 0 xy dz dA
S S xy
1 2− x 2 4− y
= ∫ 0 ∫ x2 ∫0 xy dz dy dx

=
1
∫ 0 ∫ x2
2− x 2
[ xyz ] 4− y
0
dy dx
1 2− x 2
= ∫ 0 ∫ x2 xy (4 − y ) dy dx
2− x 2
1⎡ 1 ⎤
= ∫ x ⎢2 y 2 − y 3 ⎥ dx
0 ⎣ 3 ⎦ x2
1⎡ 1 1 ⎤
= ∫ ⎢2 x(2 − x 2 ) 2 − x(2 − x 2 ) 3 − 2 x 5 + x 7 ⎥ dx
0 ⎣ 3 3 ⎦
1
⎡ 1 1 1 1 8⎤
= ⎢− (2 − x 2 ) 3 + (2 − x 2 ) 4 − x 6 + x
⎣ 3 24 3 24 ⎥⎦ 0
⎡ 1 1 1 1 ⎤ ⎡ 1 1 ⎤
= ⎢− (1) 3 + (1) 4 − (1) 6 + (1) 8 ⎥ – ⎢− (2) 3 + (2) 4 ⎥
⎣ 3 24 3 24 ⎦ ⎣ 3 24 ⎦
⎛ 1 1 1 1 8 16 ⎞
= ⎜− + − + + − ⎟
⎝ 3 24 3 24 3 24 ⎠
⎛ 8 1 8 1 64 16 ⎞ 34
= ⎜− + − + + − ⎟ =
⎝ 24 24 24 24 24 24 ⎠ 24

Volume Benda Pejal

Analog dengan penerapan integral lipat dua, secara lebih luas penerapan integral lipat tiga
dapat digunakan untuk menghitung volume benda pejal, massa dan pusat massa, maupun
moment inersia. Dengan pendekatan integral lipat tiga, volume benda pejal S diberikan oleh,
V = ∫∫∫ dV
S
Berikut ini adalah beberapa contoh penerapannya.

Contoh 5.3.6
Hitunglag volume benda pejal dibawah permukaan paraboloida, z = 4 – y2, dan dibatasi oleh,
x = y2, x + y = 2, z = 0, dan x = 0.

160
Penyelesaian
Perhatikan sketsa benda pejal S pada Gambar 3.5.10 berikut ini.
z
y
z = 4 – y2
y=2–x
R x = y2

(1,1)
y y = x1/2
x+y=2 x

x x = y2
Gambar 3.5.10 Gambar 3.5.11

Dari sketsa pada Gambar 3.5.10, terlihat bahwa permukaan benda pejal S berbentuk z
sederhana, yakni : 0 ≤ z ≤ 4 – y2, dan, dV = dz dA. Sedangkan proyeksi permukaan S pada
bidang xy, Sxy berbentuk y sederhana, dimana Sxy = {(x,y) : x1/2 ≤ y ≤ 2 – x, 0 ≤ x ≤ 1}, dan dA
= dx dy. Jadi volume benda pejal V diberikan oleh,
4− y 2
V= ∫∫∫ dV = ∫∫ ∫ 0 dz dA
S S xy
1 2− x 4− y 2
= ∫0 ∫ x 1/ 2 ∫0 dz dy dx

=
1 2− x
∫ 0 ∫ x1 / 2 [z ] 4− y 2
0
dy dx
1 2− x
= ∫ 0 ∫ x1 / 2 (4 − y 2 ) dy dx
2− x
⎡1 1 ⎤
= ∫ ⎢4 y − y 3 ⎥ dx
0 ⎣ 3 ⎦ x1 / 2
1⎡ 1 1 ⎤
= ∫ ⎢4(2 − x) − (2 − x) 3 − 4 x1 / 2 + x 3 / 2 ⎥ dx
0 ⎣ 3 3 ⎦
1
⎡ 1 8 2 ⎤
= ⎢− 2(2 − x) 2 + (2 − x) 4 − x 3 / 2 + x 5 / 2 ⎥
⎣ 12 3 15 ⎦0
⎡ 1 8 2 ⎤ ⎡ 1 ⎤
= ⎢− 2(1) 2 + (1) 4 − (1) 3 / 2 + (1) 5 / 2 ⎥ – ⎢− 2(2) 2 + (2) 4 ⎥
⎣ 12 3 15 ⎦ ⎣ 12 ⎦
⎛ 1 8 2 16 ⎞ ⎛ 2 15 8 ⎞ 133
= ⎜− 2 + − + + 8 − ⎟ = ⎜6 + − − ⎟ =
⎝ 12 3 15 12 ⎠ ⎝ 15 12 3 ⎠ 60
133
Jadi volume benda pejalnya adalah satuan kubik
60

Contoh 5.3.6
Hitunglah volume benda pejal V dibawah permukaan bidang, x = y, yang dibatasi oleh
silinder lingkaran tegak, y2 + z2 = 8, bidang-bidang ; y = z, x = 0, dan z = 0

161
Penyelesaian
Dengan melalukan perputaran sumbu koordinat, perhatikanlah sketsa benda pejal V pada
Gambar 3.5.12 berikut ini.
x y

x=y y=z

R (2,2)
y y= 8 − z2
R
y2 + z2 = 8 z

z y=z
Gambar 3.5.12 Gambar 3.5.13

Dari sketsa pada Gambar 3.5.12, setelah dilakukan perputaran sumbu koordinat terlihat
bahwa benda pejal S berbentuk x sederhana, dengan batasan 0 ≤ x ≤ y. Sedangkan proyeksi
permukaan S pada bidang yz pada Gambar 3.5.13 terlihat bahwa daerah R berbentuk y
sederhana, yaitu :
Syz = {(y,z) : z ≤ y ≤ 8 − z 2 , 0 ≤ z ≤ 2}
Dengan demikian volume benda pejalnya diberikan oleh,
y 2 8− z 2 y
V= ∫∫ ∫ 0 dz dA = ∫0 ∫ z ∫0 dx dy dz
S xy

=
2
∫0 ∫ z
8− z 2
[x ] y
0
dy dz =
2
∫0 ∫ z
8− z 2
y dy dz

8− z 2 2
2 ⎡1 2⎤ 1 2 1⎡ 2 ⎤
∫ 0 ⎢⎣ 2 y ⎥⎦ z
= dz = ∫ (8 − 2 z 2 ) dz = ⎢8 z − z 3 ⎥
2 0 2⎣ 3 ⎦0
1⎡ 2 ⎤ 1⎛ 16 ⎞ 16
= ⎢8(2) − (2) 3 ⎥ = ⎜16 − ⎟ =
2⎣ 3 ⎦ 2⎝ 3⎠ 3
16
Jadi volume benda pejalnya adalah satuan kubik
3

Massa dan Pusat Massa

Andaikan bahwa δ(x,y,z) menyatakan kerapatan (massa per satuan volume) di setiap titik
(x,y,z) suatu benda pejal S. Bilamana m, Mxy masing-masing menyatakan massa dan moment
terhadap bidang xy, maka koordinat pusat masa yang searah sumbu z yakni z dari pusat
massa diberikan oleh,
M xy
z =
m
dengan, m = ∫∫∫ δ ( x, y, z ) dV , dan Mxy = ∫∫∫ zδ ( x, y, z ) dV
S S

162
Dengan pendekatan yang sama, dapat pula dirumuskan Myz, Mxz, dan x, y . Berikut ini adalah
contoh-contoh soalnya.

Contoh 3.5.7
Suatu benda pejal S di oktan pertama terletak dibawah permukaan silinder lingkaran tegak, x2
+ z2 = 16, dan dibatasi oleh bidang-bidang x + y = 4, y = x, z = 0, dan y = 0. Hitunglah massa
benda pejal S, bilamana kerapatannya di sembarang titik (x,y,z) adalah kz.
Penyelesaian
Andaikan m menyatakan massa benda pejal S, dan karena kerapatannya δ(x,y,z) = kz,
sehingga massa benda pejal S diberikan oleh,
m = ∫∫∫ kz dV
S
dimana sketsa benda pejal S diberikan oleh Gambar 3.5.14 berikut ini.

z y

4
x=y
x2 + z2 = 16

(2,2)
x
x+y=4 R x=4–y
x
y=x
y
Gambar 3.5.14 Gambar 3.5.15

Dari sketsa pada Gambar 3.5.14 terlihat bahwa permukaan benda pejal S berbentuk z
sederhana dengan, 0 ≤ z ≤ 16 − x 2 , dan proyeksinya pada bidang xy dari Gambar 3.5.15
terlihat bahwa daerah R berbentuk x sebanding dengan, y ≤ x ≤ 4 – y, 0 ≤ y ≤ 2. Dengan
demikian,
16 − x 2 2 4− y 16 − x 2
m =k ∫∫ ∫ 0 z dz dA = k ∫
0 ∫y ∫0 z dz dx dy
S xy

16 − x 2 2
2 4− y ⎡1 2 ⎤ k 2 4− y ⎛ 2⎞
= k∫ ∫y 2 ∫0 ∫ y
⎢⎣ 2 z ⎥⎦ dx dy = ⎜ 16 − x ⎟ dx dy
0
0 ⎝ ⎠
4− y
k 2 4− y k 2⎡ 1 ⎤
= ∫ ∫
2 0 y
(16 − x 2 ) dx dy = = ∫ ⎢16 x − x 3 ⎥
2 0 ⎣ 3 ⎦y
dy

k 2⎡ 1 1 ⎤
= ∫ ⎢16(4 − y ) − (4 − y ) 3 − 16 y + y 3 ⎥ dy
2 0⎣ 3 3 ⎦
2
k ⎡ 2 1 4 2 1 4⎤
= ⎢− 8(4 − y ) + 12 (4 − y ) − 8 y + 12 y ⎥
2 ⎣ ⎦0

163
k ⎡ 1 1 1 ⎤
= ⎢ − 8(2) 2 + (2) 4 − 8(2) 2 + (2) 4 + 8(4) 2 − (4) 4 ⎥
2 ⎣ 12 12 12 ⎦
k⎛ 4 4 64 ⎞
= ⎜ − 32 + − 32 + + 128 − ⎟
2⎝ 3 3 3⎠
k⎛ 8 64 ⎞ k ⎛ 136 ⎞ 68
= ⎜ 64 + − ⎟ = ⎜ ⎟ = k
2⎝ 3 3 ⎠ 2⎝ 3 ⎠ 3

Contoh 3.5.8
Tentukanlah pusat massa benda pejal dibawah permukaan bidang, y + z = 4, dan dibatasi oleh
bidang-bidang, y = x, x + y = 4, z = 0, dan x = 0, bilamana kerapatannya konstan.
Penyelesaian
Andaikan, ( x, y, z ) menyatakan pusat massa yang diberikan oleh,
M yz M M xy
x= , y = xz , dan z =
m m m
dengan,
m = ∫∫∫ k dV Mxz = ∫∫∫ ky dV
S S
Myz = ∫∫∫ kx dV Mxy = ∫∫∫ kz dV
S S
dimana benda pejal S diperlihatkan pada Gambar 3.5.16 berikut ini
z
y

4
z=4–y
y=x
R (2,2)
y y=4–x
y=x R y=4–x x

x
Gambar 3.5.16 Gambar 3.5.17
Dari sketsa pada Gambar 3.5.16 terlihat bahwa benda pejal S berbentuk z sederhana dengan,
0 ≤ z ≤ 4 – y, dan proyeksinya pada bidang xy dari Gambar 3.5.15 terlihat bahwa daerah R
berbentuk y sebanding dengan, x ≤ y ≤ 4 – x, 0 ≤ x ≤ 2. Dengan demikian,
4− y 2 4− x 4− y
m= ∫∫ ∫ 0 k dz dA = k ∫
0 ∫x ∫0 dz dy dx
S xy

= k∫
0 ∫x
2 4− x
[z ] 4− y
0
dy dx = k ∫
2
0 ∫x
4− x
(4 − y ) dy dx
4− x
2⎡ 1 2⎤ 2⎛ 1 1 ⎞
=k ∫ 0 ⎢⎣4 y − 2 y ⎥⎦ x dx = k ∫ ⎜ 4(4 − x) − (4 − x) 2 − 4 x + x 2 ⎟ dx
0 ⎝ 2 2 ⎠
2
⎡ 1 1 ⎤
= k ⎢− 2(4 − x) 2 + (4 − x) 3 − 2 x 2 + x 3 ⎥
⎣ 6 6 ⎦0

164
⎡ 1 1 1 ⎤
= k ⎢− 2(2) 2 + (2) 3 − 2(2) 2 + (2) 3 + 2(4) 2 − (4) 3 ⎥
⎣ 6 6 6 ⎦
⎛ 48 ⎞
= k ⎜16 − ⎟ = 8k
⎝ 6 ⎠
4− y 2 4− x 4− y
Mxy = ∫∫ ∫ 0 k z dz dA = k ∫
0 ∫x ∫0 z dz dy dx
S xy
4− y
2 4− x ⎡ 1 2 ⎤ k 2 4− x
= k∫ ∫ ⎢ 2z ⎥ dy dx = ∫ ∫ (4 − y ) 2 dy dx
0 x ⎣ ⎦ 0 2 0 x
4− x
k 2⎡ 1 ⎤ k 2
2 ∫ 0 ⎢⎣ 3 6 ∫0
= − (4 − y ) 3 ⎥ dx = [(4 − x) 3 − x 3 ] dx
⎦x
2
k ⎡ 1 4 1 4⎤ k ⎡ 1 4 1 4 1 4⎤
=
6 ⎢⎣− 4 (4 − x) − 4 x ⎥⎦ = 6 ⎢⎣− 4 (2) − 4 (2) + 4 (4) ⎥⎦
0
56
= k
6
4− y 2 4− x 4− y
ky dz dA = k ∫
∫∫ ∫ 0 0 ∫x ∫0
Mxz = y dz dy dx
S xy

= k∫
0 ∫x
2 4− x
[ yz ] 4− y
0
dy dx = k ∫
2
0 ∫x
4− x
y (4 − y ) dy dx
4− x
2⎡ 2 1 3⎤ 2⎛ 1 1 ⎞
=k ∫ 0 ⎢⎣2 y − 3 y ⎥⎦ x dx = k ∫ ⎜ 2(4 − x) 2 − (4 − x) 3 − 2 x 2 + x 3 ⎟ dx
0 ⎝ 3 3 ⎠
2
⎡ 2 1 2 1 ⎤
= k ⎢− (4 − x) 3 + (4 − x) 4 − x 3 + x 4 ⎥
⎣ 3 12 3 12 ⎦ 0
1 ⎡ 1 1 1 ⎤
= k ⎢− 2(2) 3 + (2) 4 − 2(2) 3 + (2) 4 + 2(4) 3 − (4) 4 ⎥
3 ⎣ 4 4 4 ⎦
1 ⎛ 16 16 ⎞ 40
= k ⎜ − 16 + − 16 + + 108 − 64 ⎟ = k
3 ⎝ 4 4 ⎠ 3
4− y 2 4− x 4− y
Myz = ∫∫ ∫ 0 kx dz dA = k ∫
0 ∫x ∫0 x dz dy dx
S xy

= k∫
0 ∫x
2 4− x
[ xz ] 4− y
0
dy dx = k ∫
2
0 ∫x
4− x
x(4 − y ) dy dx
4− x

2 1 2⎤
=k ∫ 0 x ⎢⎣4 y − 2 y ⎥⎦ x dx
2 ⎛ 1 1 ⎞
= k ∫ x ⎜ 4(4 − x) − (4 − x) 2 − 4 x + x 2 ⎟ dx
0 ⎝ 2 2 ⎠
2 2
= k∫ x(8 − 4 x) dx = 4k ∫0 (2 x − x 2 ) dx
0

165
2
⎡ 1 ⎤ ⎡ 1 ⎤ ⎛ 8⎞
= 4k ⎢ x 2 − x 3 ⎥ = 4k ⎢(2) 2 − (2) 3 ⎥ = 4k ⎜ 4 − ⎟
⎣ 3 ⎦0 ⎣ 3 ⎦ ⎝ 3⎠
16
= k
3
Dengan demikian titik pusat massanya adalah,
M yz (16 / 3)k 2
x= = =
m 8k 3
M xz (40 / 3)k 5
y= = =
m 8k 3
M xy (56 / 6)k 7
z= = =
m 8k 3

Soal-soal Latihan 3.5


Dalam soal-soal latihan nomor 1 sampai 10 berikut ini, selesaikanlah integral berulang yang
diberikan.
2 4− x 1+ y 2 2 x
1. ∫0 ∫2 ∫0 z dz dy dx 2. ∫0 ∫ z ∫ x xyz dy dx dz
2 y x 2 x +1 y
3. ∫1 ∫ 0 ∫1 xz dz dx dy 4. ∫ 1 ∫ x −1 ∫ 0 yz dz dy dx

2 y x 1 2− y 2 x
6. ∫
0 ∫y ∫ 0 xyz dz dx dy
5. ∫ ∫ ∫1 xz dz dx dy
1 y

1 2− x 2 y 1 2− y 2 x
∫0 ∫ x ∫0 xy 2 z dz dx dy ∫0 ∫ y ∫ 0 xyz
2
7. 8. dz dx dy

2 y2 x 1 y x
9. ∫1 ∫ y ∫ 0 xyz dz dx dy 10. ∫ 0 ∫ y 2 ∫ 0 xyz dz dx dy
Dalam soal-soal latihan berikut ini, buatlah sketsa bendanya dan selesaikanlah integral lipat
tiga yang diberikan.
11. ∫∫∫ x dV , bilamana S adalah benda pejal yang dibatasi oleh, 2x + 2y + z = 8, y = x, z = 0,
S
dan y = 0
12. ∫∫∫ ( x + 3) z dV , bilamana S adalah benda pejal yang dibatasi oleh silinder, y2 + z2 = 9,
S
bidang, x + y = 3, z = 0, dan y = 0.
13. ∫∫∫ xyz dV , bilamana S adalah benda pejal di oktan pertama dibatasi oleh silinder
S
lingkaran tegak, y2 + z2 = 4, dan x2 + y2 = 4.
∫∫∫ x
2
14. dV , bilamana S adalah benda pejal yang dibatasi oleh, x + y2 = 4, x + z2 = 4, dan
S
bidang, x = 0, y = 0, dan z = 0.

166
∫∫∫ z dV , bilamana S adalah benda pejal yang dibatasi oleh silinder, y
2
15. + z2 = 4, dan
S
bidang-bidang, y = x, x = 0, dan z = 0.
16. ∫∫∫ z dV , bilamana S adalah benda pejal yang dibatasi oleh silinder, x2 + z2 = 4, bidang-
S
bidang, y = x, z = 0, dan y = 0
17. ∫∫∫ xyz dV , bilamana S adalah benda pejal yang dibatasi oleh, x = z2, y = x2, bidang-
S
bidang, x = 1, z = 0, dan y = 0
18. ∫∫∫ xz dV , bilamana S adalah benda pejal yang dibatasi oleh, x2 + z2 = 4, bidang-bidang,
S
y = x, y = 0, dan z = 0
19. ∫∫∫ xz dV , bilamana S adalah benda pejal yang terletak di oktan pertama yang terletak
S
dibawah permukaan, x2 + 4y2 + z = 4.
20. ∫∫∫ x dV , bilamana S adalah benda pejal dibawah paraboloida, y = x2, dan dibatasi oleh
S
bidang-bidang, x = z, x + z = 4, z = 0, dan y = 0

Dalam soal-soal latihan nomor 21 sampai 30 berikut ini, buatlah sketsa benda pejalnya, dan
selanjutnya hitunglah volume bendanya dengan pendekatan integral lipat tiga.
21. Benda pejal S dibawah bidang, y + z = 4, dan dibatasi oleh, z = 4x2, z = 5 – x2, x = 0, dan y
= 0.
22. Benda pejal S dibatasi oleh silinder, y2 + z = 16, dan bidang-bidang, x + y = 4, x = 0, y =
0.
23. Benda pejal S dibawah permukaan silinder, y2 + z2 = 16, dan dibatasi oleh bidang-bidang,
x + y = 4, x = 0, y = 0, dan z = 0.
24. Benda pejal S dibawah bidang, x + z = 4, dan dibatasi oleh, x = y2, y = 0, dan z = 0.
25. Benda pejal S dibatasi oleh silinder parabolik, z = x2, dan y = z2, bidang-bidang, y = 1, x =
0, dan z = 0.
26. Benda pejal S dibatasi oleh silinder parabolik, y = x2 + 2, bidang-bidang, y = 4, 3y = 4z,
dan z = 0
27. Benda pejal S dibatasi silinder parabolik, 2z = y2, dan bidang-bidang, y + z = 4, x + y = 4,
x = 0, dan z = 0.
28. Benda pejal S dibatasi oleh silinder parabolik, y = x2, dan bidang-bidang, x = z, x + z = 4,
y = 0 dan z = 0.
29. Benda pejal S dibatasi oleh bidang-bidang, y + z = 4, x = z, y = z, x = 0, dan z = 0.
30. Benda pejal S dibawah bidang, x + y + z = 6, dan dibatasi oleh, y = x2, y = 0, dan z = 0.

Dalam soal-soal latihan nomor 31 sampai 40 berikut ini hitunglah massa benda pejal S yang
diberikan.
31. Benda pejal S dibatasi oleh silinder parabolik, y = x2, dan bidang-bidang, x = z, x + z = 4,
y = 0 dan z = 0, bilamana kerapatannya adalah kx.
32. Benda pejal S dibatasi oleh bidang-bidang, y + z = 4, x = z, y = z, x = 0, dan z = 0.
Bilamana kerapatannya adalah xz.
33. Benda pejal S dibawah bidang, x + y + z = 6, dan dibatasi oleh, y = x2, y = 0, dan z = 0.
Bilamana kerapatannya adalah x

167
34. Benda pejal S dibatasi oleh silinder lingkaran tegak, x2 + z2 = 4, dan bidang-bidang, x = y,
y = 0 dan z = 0, bilamana kerapatannya adalah kz.
35. Benda pejal S dibatasi oleh silinder parabolik, y = x2, x = z2 dan bidang-bidang, x = 1, y =
0 dan z = 0, bilamana kerapatannya adalah kxyz.
36. Benda pejal S dibatasi oleh silinder lingkaran tegak, y2 + z2 = 4, dan bidang-bidang, y = x,
x = 0 dan z = 0, bilamana kerapatannya adalah yx.
37. Benda pejal S terletak di oktan pertama dibatasi oleh, z = 4 – x2 – 4y2, dan ketiga bidang
koordinat, bilamana kerapatannya adalah xz.
38. Benda pejal S dibawah bidang, y = z, dan dibatasi oleh, z = x2, z = 2 – x2, x = 0, dan y = 0.
Bilamana kerapatannya adalah xy.
39. Benda pejal S dibawah permukaan silinder, y2 + z2 = 16, dan dibatasi oleh bidang-bidang,
x + y = 4, y = x, y = 0, dan z = 0. Bilamana kerapatannya adalah kz.
40. Benda pejal S dibawah permukaan silinder, x2 + z2 = 4, dan dibatasi oleh bidang-bidang, y
= x, y = 0, dan z = 0. Bilamana kerapatannya adalah xz.

168
3.6. Koordinat Silinder dan Koordinat Bola

Dalam integral lipat tiga, selain koordinat kartesius dikenal pula sistem koordinat silinder dan
sistem koordinat bola. Penggunaan kedua sistem koordinat ini akan memudahkan dalam
penghitungan integral lipat tiga. Sistem koordinat silinder digunakan bilamana benda pejal S
simetris terhadap sumbu z. Sedangkan sistem koordinat bola digunakan bilamana benda pejal
S simetris terhadap titik tertentu, titik tertentu tersebut yang sering digunakan adalah titik
(0,0,0) sumbu koordinat. Disamping itu, kedua sistem koordinat ini, banyak penggunaannya
dalam penerapannya di bidang ilmu fisika, teori medan elektro magnetik, mekanika fluida,
maupun terapan lainnya.

3.6.1. Sistem Koodinat Silinder

Sebagaimana telah dijelaskan pada Bab I, hubungan antara setiap titik (x,y,z) dalam sistem
koordinat kartesius dengan titik (r,,z) pada sistem koordinat silinder diberikan oleh
transformasi,
x = r cos ,
y = r sin ,
z = z,
y
tan  = ,
x
x2 + y2 = r2
Hubungan antara kedua sistem koordinat tersebut diberikan pada Gambar 3.6.1 berikut ini.
z

P(x,y,z) P(r, ,z)

0 y

 r
x2 + y2 = r2
x
Gambar 3.6.1

Sebagai hasil dari transformasi tersenut, fungsi f(x,y,z) ditransformasikan menjadi,

f(x,y,z) = f(r cos, r sin ,z) = F(r,,z)

Selanjutnya andaikan f(x,y,z) terintegralkan pada benda pejal S, sedemikian rupa sehingga,
 f ( x, y, z ) dV ada. Khususnya jika benda pejal S simetris terhadap sumbu z, untuk
S
menghitung integral lipat tiganya lebih mudah menggunakan sistem koordinat silinder. Untuk
itu definisikanlah, Jacobian J(r,,z) yaitu :

169
x x x
r  z
( x, y, z ) y y y
J(r,,z) = =
 ( r , , z ) r  z
z z z
r  z
cos  r sin  0
= sin  r cos 0 =r
0 0 1
Dengan demikian untuk menghitung integral lipat tiga,  f ( x, y , z ) dV , dalam sistem
S
koordinat silinder dihitung dengan rumus,
 f ( x, y, z ) dV =  f ( x, y, z ) dz dy dx
S S
=  f (r cos , r sin  , z ) J (r , , z ) dz dr d
S'
2 r2 ( ) g 2 (r , )
=   1  r1 ( )  g1 (r , ) F (r , , z ) r dz dr d
Perhatikanlah bahwa dalam penghitungan integral berulang diatas, dV = dx dy dz, pada sistem
koordinat kartesius ditransformasikan menjadi, dV = r dz dr dθ. Untuk lebih jelasnya
perhatikanlah contoh-contoh soal berikut ini.

Contoh 3.6.1
Hitunglah volume dan massa sebuah benda pejal yang terletak dibawah permukaan kerucut,
z2 = x2 + y2, di dalam silinder lingkaran tegak, x2 + y2 = 2y, dan diatas bidang xy. Bilamana
diketahui kerapatannya adalah (x,y,z) = x 2  y 2 .
Penyelesaian
Andaikan V dan m masing-masing menyatakan volume dan masa benda pejal, maka
V =  dz dy dx
S

m=   ( x, y, z ) dz dy dx =  x 2  y 2 dz dy dx
S S
dimana S adalah benda pejal seperti tergambar.
z
z2 = x2 + y2

x2 + y2 = 2y

0 0
x x2 + y2 = 2y
Gambar 3.6.2. Gambar 3.6.3.

170
Dari sketsa pada Gambar 3.6.2, terlihat bahwa benda pejal S simetris terhadap sumbu z, dan
permukaannya berbentuk z sederhana yang dibatasi oleh, 0  z  x 2  y 2 . Sedangkan
proyeksinya permukaan S yang dipotong oleh silinder lingkaran tegak pada bidang xy
berbentuk lingkaran, x2 + y2 = 2y yang seperti terlihat pada Gambar 3.6.3. Dalam koordinat
2 2 2
silinder yakni dengan transformasi, x = r cos θ, y = r sin θ, z = z, dan x + y = r ,,
permukaan-permukaan yang membentuk benda pejal S dinyatakan oleh,

(1). Kerucut, z2 = x2 + y2 ditransformasikan menjadi, z = r


(2). Silinder, x2 + y2 = 2y ditransformasikan menjadi, r = 2 sin , dengan 0    
(3). Kerapatan, (x,y,z) = x 2  y 2 ditransformasikan menjadi, *(r,,z) = r

Dengan demikian batasan integral berulangnya dalam sistem koordinat silinder adalah
S* = {(r,,z) : 0  z  r, 0  r  2 sin , dan 0    }
Sehingga volume dan massa benda pejal masing-masing adalah :
 2 sin  r
V=  dz dy dx = 0 0 0 r dz dr d
S

=

0 0
2 sin 
 
r z
r
0
dr d =

0 0
2 sin 
r 2 dr d
2 sin 
 1 3  8  3
= r
 0  3 d = sin  d

0 3 0

8 1 2  32
=  sin 2  cos  cos  =
3 3 3 0 9
32
Jadi volume benda pejal yang diberikan adalah satuan kubik
9
Sedangkan massa benda pejal diperoleh dari,
 2 sin  r
m =  x 2  y 2 dz dy dx = 0 0  0 (r ) r dz dr d
S

=

0 0
2 sin 
r2 z  r
0 dr d =

0 0
2 sin 
r 3 dr d
2 sin 
 1 4  
= r
 0  4  d = 4  sin 4  d
0
0

 1 3 3  3  3
= 4   sin 3  cos  sin  cos    = 4    = 
 4 8 8 0 8  2
3
Jadi massa benda pejal yang diberikan adalah 
2

Contoh 3.6.2
2 2 2
Hitunglah volume benda pejal yang terletak dibawah bola, x + y + z = 25, dan terletak
2 2 2 2
antara silinder lingkaran tegak,x + y = 9, x + y = 16, dan diatas bidang xy.
Penyelesaian
Andaikan V volume benda pejal yang dimaksud, dengan integral lipat tiga diberikan oleh,

171
V=  dz dy dx
S
dimana sketsa benda pejal S terilhat seperti pada gambar berikut ini.
z
y
2 2 2
x + y + z = 25
2 2
x + y = 16
r=4

y x
2 2
x +y =9
x r=3

Gambar 3.6.4. Gambar 3.6.5.

Dari sketsa pada gambar 3.6.4, terlihat bahwa benda pejal S simetris terhadap sumbu z,
dengan permukaannya berbentuk z sederhana, yaitu dibatasi oleh,

0z 25  x 2  y 2 .
2 2 2 2
Sedangkan proyeksinya silinder lingkaran tegak x + y = 9 dan x + y = 16, pada bidang xy
2 2
daerah R yang dibatasi oleh dua buah lingkaran yaitu 9  x + y  16. Dalam koordinat
2 2 2
silinder yakni dengan transformasi, x = r cos θ, y = r sin θ, z = z, dan x + y = r , benda pejal
S dinyatakan dengan,
25  x 2  y 2 , menjadi z = 25  r 2
2 2 2
(1). Bola, x + y + z = 25, atau z =
2 2 2 2
(2). Silinder lingkaran tegak, x + y = 9 dan x + y = 16, menjadi r = 3, dan r = 4 dengan 0
   .
Dengan demikian batasan benda pejal S dalam koordinat silinder adalah
S = {(r,,z) : 0    2, 3  r  4, 0  z  25  r 2 }

Dengan demikian volume benda pejal S dalam koordinat silinder diberikan oleh,
V =  dz dy dx =  r dz dr d
S S'
2
2 4 2
2 4 25  r
=    zr  0 25  r dr d
r dr d =  
0 3 0 0 3
4
2 4 2  1 2 ) 3 / 2  dr d
=  r 25  r 2 dr d =
  ( 25  r 
0 3 0  3 
3
2
2  1 3/ 2  1  2 37  37 
=    (9) (16) 3 / 2  d =  d =  
0  3 3  0 3 3 0
37 74
= (2 ) = 
3 3
74
Jadi volume benda pejal yang diberikan adalah  satuan kubik
3

172
Contoh 3.6.3
2 2 2
Hitunglah masa dan pusat masa benda pejal yang terletak dibawah bola, x + y + z = 8, dan
2 2 2
diatas kerucut lingkaran tegak, z = x + y , bilamana kerapatannya sebanding dengan jarak
terhadap bidang xy, yakni δ(x,y,z) = kz.
Penyelesaian
Perhatikanlah sketsa benda pejal S berikut ini,
z
2 2 2
x +y +z =8

2 2 2
z = x +y
y
x

Gambar 3.6.6

Andaikan m dan ( x , y , z ) menyatakan massa dan titik pusat masa benda pejal. Dari gambar
3.6.6, terlihat bahwa benda pejal simetris terhadap sumbu z, maka pusat massa benda pejal
adalah (0,0, z ), dimana z = Mxy/m, dimana Mxy disebut moment terhadap bidang xy.
Mengingat kerapatan benda pejal adalah, δ(x,y,z) = kz, maka dengan integral lipat tiga

m=   ( x, y, z ) dz dy dx =  kz dz dy dx
S S
2
Mxy =  z ( x, y, z ) dz dy dx =  z (kz) dz dy dx =  kz dz dy dx
S S S
2 2 2 2 2 2
dimana S adalah benda pejal yang dibatasi bola, x + y + z = 8 dan kerucut, z = x + y ,
seperti yang terlihat pada Gambar 3.6.6. Dari sketsa pada Gambar 3.6.6, terlihat bahwa benda
pejal berbentuk z sederhana dimana berlaku :
x2  y2  z  8  x2  y 2 .
2 2 2 2 2 2
Dari perpotongan persamaan bola, x + y + z = 8 dan kerucut x + y = z , diperoleh
2 2
persamaan, x + y = 4. Sehingga perpotongan bola dan kerucut bilamana diproyeksikan pada
2 2
bidang xy bernemtuk lingkaran dengan persamaan, x + y = 4. Karena benda pejal S simetris
terhadap sumbu z, maka dengan tranformasi koordinat silinder yakni dengan transformasi, x =
2 2 2
r cos θ, y = r sin θ, z = z, dan x + y = r , dihasilkan,
2 2 2 2 2
(1). Bola, x + y + z = 8 ditransformasikan menjadi r + z = 8, dan khusus persamaan bola
diatas bidang xy adalah z = 8  r 2
2 2 2 2 2
(2). Kecurut, z = x + y , ditransformasikan menjadi, z = r atau z = r
2 2 2
(3). Perpotongan bola dan kerucut yakni x + y = 4, ditransformasikan menjadi, r = 4, atau r
= 2, dan 0    2.
Dengan demikian benda pejal S dalam koordinat silinder dibatasi oleh,
S = {(r,,z) : 0    2, 0  r  2, r  z  8  r 2 }
Dengan koordinat silinder, massa dan moment terhadao bidang xy diberikan oleh,

173
2 2 8 r 2
m=  kz dz dy dx = k    z r dz dr d
0 0 r
S
8 r 2 2 2  1  2
2 2  1 2   1 2
=k   z r dr d =k     8  r2   r  r dr d
0 0  2  0 0 2   2 
r  
k 2 2 k 2 2
=   [(8  r 2 )  r 2 ] r dr d = (8r  2r 3 ) dr d
2 0 0 2 0 0
2
k 2  2 1 4  k 2  1 
=   4 r  r  d =   4(4)  (16)  d
2 0  2 0 2 0  2 
k 2
= 8 d = 4k (2) = 8k 
2 0
Jadi massa benda pejal benda yang diberikan adalah, 8k satuan kubik.

Sedangkan moment terhadap bidang xy diberikan oleh,


2 2 2 8 r 2 2
Mxy =  kz dz dy dx = k    z r dz dr d
0 0 r
S
8r 2 2 2  1  3
2 2  1 3   1 3
= k   z r dr d = k     8  r2   r  r dr d
0 0  3  0 0 3   3 
r  
2
k 2 2 2 3 / 2 4 k 2  1 2 5 / 2 1 5
=  [r (8  r )  r ] dr d =  (8  r )  r  d
3 0 0 3  0  5 5 0
k 2  1 5 / 2 1 5 1 5 / 2  k 2
=   (4)  (2)  (8) d = (128 2  64) d
3 0 
 5 5 5 
 15  0
64k 2 64k 128
= (2 2  1)  d = (2 2  1) (2) = (2 2  1) k 
15 0 15 15
Sehingga dihasilkan,
M xy 128 1 16
z = = (2 2  1) k  = (2 2  1)
m 15 8k 15
16
Jadi pusat massa benda pejalnya adalah (0,0, (2 2  1) )
15

Contoh 3.6.4.
Tentukanlah massa dan moment inersia terhadap sumbu z, sebuah benda pejal yang terletak
2 2 2 2
dibawah paraboloida, z = x + y , didalam silinder lingkaran tegak, x + y = 2y yang terletak
diatas bidang xy, bilamana kerapatan disetiap titik sebanding dengan jarak terhadap bidang
xy.
Penyelesaian
Andaikan m dan Iz masing-masing menyatakan massa dan momen inersia terhadap sumbu z.
Karena kerapatan disetiap titik sebanding dengan jarak terhadap bidang xy, maka δ(x,y,z) =
kz, dengan integral lipat tiga maka
m =   ( x, y, z ) dz dy dx =  kz dz dy dx
S S

174
dan,
2
 y 2 ) dz dy dx =
2 2
Iz =   ( x, y, z )( x  kz ( x + y ) dz dy dx
S S
dimana benda pejal S adalah sebagai berikut,
z

2 2
z=x +y

0 y
2 2
x x + y = 2y

Gambar 3.6.7

Dari sketsa terlihat bahwa benda pejal berbentuk z sederhana dimana benda pejal terletak
2 2
dibawah permukaan paraboloida, z = x + y dan diatas bidang xy atau z = 0 , dengan batasan
2 2
daerah R berbentuk lingkaran, x + y = 2y. Karena benda pejal S simetris terhadap sumbu z,
2 2
dalam koordinat silinder yakni dengan transformasi, x = r cos θ, y = r sin θ, z = z, dan x + y
2
= r , benda pejal S dinyatakan dengan,
2 2 2
(1). Paraboloida yang diatas bidang xy yakni, z = x + y ditransformasikan menjadi, z = r
2 2 2
(2). Silinder lingkaran tegak, x + y = 2y, ditransformasikan menjadi, r = 2r sin θ, atau r = 2
sin θ, dengan 0  θ  .
2 2 2
(3). Persamaan, f(x,y,z) = x + y ditransformasikan menjadi, f *(r,,z) = r
Dengan demikian benda pejal S dalam koordinat silinder dibatasi oleh,
S* = {(r, θ,z) : 0  θ  , 0  r  2 sin θ, 0  z  r}
Dengan demikian dalam koordinat silinder massa dan moment inersianya diberikan oleh,
 2 sin  r 2
m =  kz dz dy dx = k    z r dz dr d
0 0 0
S
r2
 2 sin  1 2  k  2 sin  4
= k  2 z  rdrd = r rdrd
0  0 2 0 0
0
2 sin 
k  2 sin  5 k  1 6 
= r drd  = r d
2 0 0 2  0  6  0

64k  16k  15 1 5 15 
=  sin 6  d =    cos  sin 5   sin 3   sin  
12 0 3  48 6 24 48  0
Karena sin  = 0, dan sin 0 = 0, maka
16k 15 5
m=  = 
3 48 3
5
Jadi massa benda pejalnya adalah  satuan kubik.
3

175
Sedangkan untuk moment inersianya dengan pendekatan trnasformasi koordinat silinder
diberikan oleh,
2 2
Iz =  kz ( x + y ) dz dy dx
S
 2 sin  r 2 2
= k   z (r ) r dz dr d
0 0 0
r2
 2 sin   1 2  3
= k   2 z  r drd
0 0
0
k  2 sin  4 3
=   r r drd
2 0 0
2 sin 
k  2 sin  7 k  1 8 
= r drd = r d
2 0 0 2  0  8  0
256k  8
= sin  d = 16k
16  0

 105 1 8 7 5 35 3 105 
= 16k    cos  sin  sin   sin   sin  
 384 8 48 192 384  0
Karena, sin  = 0, dan sin 0 = 0, maka
105 35
Iz = 16 k  = k
384 8
35
Jadi moment inersia terhadap sumbu z adalah, k.
8

3.6.2. Koordinat Bola

Sebagaimana telah dijelaskan permasalahan utama yang timbul dalam menghitung integral
lipat tiga, yaitu

 f ( x, y, z ) dV =  f ( x, y, z ) dxdydz


S S

adalah menentukan urutan integrasi berulang dan menentukan batas integrasinya yang
berkaitan dengan benda pejal S. Salah satu pendekatan yang telah dibahas adalah
transformasi koordinat silinder yang digunakn bilamana benda pejal S simetris terhadap
sumbu z. Pendekatan lain yang banyak pula digunakan untuk menyelesaikan masalah integral
lipat tiga adalah transformasi koordinat bola. Transformasi ini digunakan bilamana benda
pejal S simetris terhadap titik tertentu, khususnya titik pusat koordinat (0,0,0). Benda-benda
pejal seperti ini biasanya adalah benda yang berbentuk bola dan kerucut.

Hubungan antara setiap titik (x,y,z) dalam system koordinat kartesius dengan titik (r,,) pada
system koordinat bola diberikan oleh transformasi dengan persamaan,
2 2 2 2
x = r cos  sin  x +y +z =r
y = r sin sin  0    2
z = r cos 0
Hubungan kedua system koordinat ini diperlihatkan pada gambar berikut ini,

176
z

 P(x,y,z)

y
 r
x

Gambar 3.6.8.

Sebagai hasilnya, bilamana, f(x,y,z) sembarang fungsi yang terdefinisikan pada sistem
koordinat kartesius, maka fungsi itu pada koordinat bola ditransformasikan menjadi,

f(x,y,z) = f(r cos  sin ,r sin  sin ,r cos ) = F(r,, )

Selanjutnya andaikan S adalah benda pejal yang simetris terhadap titik pusat koordinat, maka
untuk menghitung integral lipat tiga,

 f ( x, y, z ) dV =  f ( x, y, z ) dxdydz


S S
dengan menggunakan transformasi koordinat bola diberikan oleh,
 f ( x, y, z ) dxdydz =  f ( r cos  sin ,r sin  sin ,r cos ) J(r,,) dr d d
S S'
dimana,
x x x
r  
 ( x, y, z ) y y y
J(r,,) = =
 ( r , ,  ) r  
z z z
r  
cos sin   r sin  sin  r cos cos 
= sin  sin  r cos sin  r sin  cos 
cos  0  r sin 
2
= r sin 

Dengan demikian,
 f ( x, y, z ) dxdydz =  f (r cos  sin ,r sin  sin ,r cos ) J(r,,) dr d d
S S'
2
=  F (r,,,) r sin  dr d d
S'
2  2 r2 2
=  1  1  r1 F (r,,,) r sin  dr d d

177
Contoh 3.6.5
2 2 2
Hitunglah volume suatu benda pejal yang terletak didalam bola x + y + z = 4, dan didalam
2 2 2
bola, x + y + z = 4z
Penyelesaian,
Andaikan V menyatakan volume benda pejal, maka dengan integral lipat tiga
V =  dV =  dx dydz
S S
dimana S adalah benda pejal seperti terlihat pada gambar berikut

z
2 2 2
x + y + z = 4z

y
2 2 2
x x +y +z =4

Gambar 3.6.9

Dari sketsa benda pejal pada Gambar 3.6.9, terlihat bahwa benda simetris dengan titik pusat
(0,0,0). Sehingga volume benda pejal dalam koordinat bola diberikan oleh,
  r 2
V =  dx dydz =  2  2  2 r sin  dr d d
1 1 r1
S
Sedangkan benda pejalnya dalam transformasi koordinat bola, ditulis menjadi,
2 2 2
(1). Bola, x + y + z = 4z ditranformasikan menjadi, r = 4 cos 
2 2 2
(2). Bola, x + y + z = 4 ditranformasikan menjadi, r = 2

Perpotongan kedua bola, r = 4 cos  dan r = 2, menghasilkan persamaan 4 cos  = 2, atau


cos  = ½, atau  = /3. Dengan demikian batasan benda pejal S yang terletak di dalam bola
r = 4 cos  dan r = 2 dalam koordinat bola diberikan oleh,

S’ = {(r,,) : 4 cos   r  2; 0    2; /3    /2}

Sehingga dengan pendekatan koordinat bola, volume benda diberikan oleh,


  r 2
V =  2  2  2 r sin  dr d d
1 1 r1
 / 2 2 2 2
=  r sin  dr d d
 / 3  0  4 cos 
 / 2 2  1 3  2
=  r sin  d d
 / 3  0  3  4 cos 

178
 / 2 2  8 64 3 
=   / 3  0  3  3 cos   sin  d d
8  /2
  02 (1 – cos  )sin  d
3
=  
3  /3
 /2
16  1 
=   cos 4   cos  
3 4   /3
Karena, cos /3. = ½, dan cos /2 = 0, maka
4
16   1  1  16  1 1  7
V=  0      =    = 
3  2 2 3  2 16  3
 
7
Jadi volume benda pejal yang diberikan adalah  satuan kubik
3

Contoh 3.6.6
2 2 2
Hitunglah massa dan pusat massa sebuah benda pejal yang terletak didalam bola, x + y + z
2 2 2 2
= a , dan diatas kerucut, 3z = x + y , bilamana kerapatannya di setiap titik sebanding
dengan jarak terhadap titik pusat.
Penyelesaian
Perhatikanlah sketsa benda pejal berikut ini,

z
a
2 2 2 2
x +y +z =a

2 2 2
3z = x + y

y
x
Gambar 3.6.10

Andaikan, m dan ( x , y , z ) masing-masing menyatakan massa benda dan titik pusat massa.
Dari gambar 3.6.10, terlihat bahwa benda pejal simetris dengan sumbu z, maka x = 0, y = 0,
dan,
M xy
z = ,
m
imana Mxy adalah moment terhadap bidang xy. Mengingat kerapatan di setiap titik sebanding
dengan jarak terhadap titik pusat, maka (x,y,z) = k x 2  y 2  z 2 . Sehingga diperoleh,

m=   ( x, y, z ) dxdydz = k  x 2  y 2  z 2 dxdydz


S S

Mxy =  z ( x, y, z ) dxdydz = k  z x 2  y 2  z 2 dxdydz


S S

179
Karena benda pejal S seperti yang terlihat pada Gambar 3.6.10, simetris juga terhadap titik
pusat, maka dengan transformasi koodininat bola dihasilkan,
2 2 2 2
(1). Bola, x + y + z = a , ditransformasikan menjadi r = a
2 2 2 2 2 2 2
(2). Kerucut, 3z = x + y , ditransformasikan menjadi, 3r cos  = r sin2, atau, tan  = 3,
atau  = /3.
(3). Persamaan kerapatan (x,y,z) = k x 2  y 2  z 2 ditanformasikan menjadi, *(r,,) = kr
(4). Persamaan, f(x,y,z) = z ditransformasikan menjadi, f*(r,,) = r cos 
2 2 2 2 2 2 2
Sedangkan perpotongan bola, x + y + z = a ,dan kerucut, 3z = x + y , dan jika
2 2
perpotongannya dicerminkan pada bidang xy menghasilkan persamaan lingkaran, 4(x + y ) =
2
3a . Dengan demikian batasan dari  adalah 0    2. Jadi benda pejal S dalam koordinat
bola diberikan oleh,

S* = {(r,,) : 0  r  a; 0    2; 0    /3}

Jadi dalam koordinat bola masa dan moment dihitung dengan cara,
m = k  x 2  y 2  z 2 dxdydz
S
  r 2
= k  2  2  2 (r) r sin  dr d d
1 1 r1
 / 3 2 a 3
= k
0   r sin  dr d d
0 0
 / 3 2  1 4  a
=k  0  0  4 r  sin  d d
0
1  / 3 2 1  / 3 2
= a4k   sin  d d = a 4 k    0 sin  d
4 0 0 4 0
1  /3 1
= a 4k  sin  d = a 4k  cos   0 / 3
2 0 2
1  1  1
= a 4k    1 = a 4k
2  2  4

Sedangkan momentnya diberikan oleh,


Mxy = k  z x 2  y 2  z 2 dxdydz
S
  r 2
= k  2  2  2 (r cos  )(r) r sin  dr d d
1 1 r1
 / 3 2 a 4
= k
0   r cos  sin  dr d d
0 0
 / 3 2  1 5  a
=k  0  0  5 r  cos  sin  d d
0
1 5  / 3 2
= a k 
5 0  0 sin  cos  d d

180
1 5  / 3 2
= a k 
0
  0 cos  sin  d
5
 /3  /3
2 5 2 1 
= a k  sin  cos  d d = a 5k  sin 2  
5 0 5 2 0
2 5 1  1 2  2 3 3 5
=  
a k 3   = a 5k = a k
5  2  2   5 8 20
Dengan demikian,

M xy 3 5 4 3
z = a k
= = a
m 20 4
a k 5
1 3
Jadi massa benda pejal diatas adalah, a 4k , dan titik pusat massanya adalah (0,0, a )
4 5

Contoh 3.6.7
Hitunglah masa dan moment inersia terhadao sumbu z, dari suatu benda pejal yang terletak
2 2 2 2 2 2
didalam bola, x + y + z = 2z, dan diatas kerucut, z = x + y , bilamana kerapatan di setiap
titiknya berbanding terbalik dengan jarak terhadap titik pusat.
Penyelesaian,
Andaikan d menyatakan jarak terhadap titik pusat, maka d = k x 2  y 2  z 2 , sehingga

kerapatannya adalah, (x,y,z) = k/d = k/ x 2  y 2  z 2 . Maka masa dan moment inersianya


diberikan oleh,
1
m =   ( x, y, z ) dxdydz = k  dxdydz
2 2 2
S S x y z
2 2 x2  y 2
IZ =   ( x, y, z ) (x + y ) dxdydz = k  dxdydz
2 2 2
S x y z
S
dimana benda pejal S seperti terlihat pada Gambar 3.6.11.

2 2 2
x + y + z = 2z
2 2 2
z =x +y

y
x
Gambar 3.6.11

Dari sketsa pada Gambar 3.6.11, terlihat bahwa benda pejal simetris terhadap titik pusat
koordinat. Dalam koordinat bola diperoleh,

181
2 2 2
(1). Bola, x + y + z = 2z ditransformasikan menjadi, r = 2 cos  ,
2 2 2 2 2 2 2 2
(2). Kerucut, z = x + y , ditransformasikan menjadi, r cos  = r sin , atau, tan  = 1,
atau,  = /4
k k
(3). Kerapatan, (x,y,z) = , ditransformasikan menjadi, *(r,,) =
r
x2  y2  z2
2 2 2 2
(4). Persamaan fungsi, f(x,y,z) = x + y , ditransformasikan menjadi, f*(r,,) = r sin ,

2 2 2 2 2 2
Perpotongan bola, x + y + z = 2z, dan kerucut, z = x + y , dan jika dicerminkan pada
2 2
bidang xy menghasilkan persamaan lingkaran, x + y = 1. Dengan demikian batasan dari 
adalah 0    2. Jadi benda pejal S dalam koordinat bola diberikan oleh,

S* = {(r,,) : 0  r  2 cos  ; 0    2; 0    /4}

Jadi dalam koordinat bola masa dan moment inersia diberikan oleh,
1
m = k  dxdydz
2 2 2
S x y z
  r 1 2
= k  2  2  2 ( ) r sin  dr d d
1 1 r1 r
 / 4 2 2 cos 
= k   r sin  dr d d
0 0 0
 / 4 2  1 2  2 cos 
=k   0  2 r  sin  d d
0
0
 / 4 2 2
= 2k 
0 cos  sin  d d
0
 /4
= 2k 
0
  02 2
cos  sin  d

 /4  /4
 1 
= 4k  cos 2  sin  d = 4k   cos 3  
0  3 0
4  1  4 2
=  k 1  2 = k
3  4  3

Sedangan moment inersianya diberikan oleh,


x2  y 2
IZ = k  dxdydz
S x2  y2  z 2
  r  r 2 sin 2   2
= k 2  2  2   r sin  dr d d
1 1 r1  r 
 
 / 4 2 2 cos  3
= k 0 0 r sin3 dr d d
0

182
 / 4 2  1 4  2 cos  3
=k    r  sin  d d
0 0 4 
0
 / 4 2 4 3
= 4k 
0  cos  sin  d d
0
 /4
= 4k 
0
  02 4
cos  sin3 d
 /4
cos 4  sin  sin d
2
= 8k 
0
 /4
cos 4  (1 – cos  ) sin d
2
= 8k 
0
 /4
= 8k  (cos 4   cos 6  ) sin d
0
 /4
 1 1 
= 8k   cos5   cos 7  
 5 7 0
8  1  8  1 
=  k 1  2  –  k 1  2
5  8  7  16 
8 2 16  2 32  9 2
= k – k = k
5 14 70
4 2 32  9 2
Jadi masa benda pejalnya adalah  k satuan, dan moment inersia k
3 70

Soal-soal Latihan 3.6

Dalam soal-soal latihan nomor 1 s.d 20 berikut ini, hitunglah integral berulangnya dan jika
diperlukan gunakan transformasi koordinat silinder atau bola. Pilih yang sesuai

4 25  x 2 (x2  y 2 )
1.    x 2  y 2 dz dy dx
0 0 0
4 4x  x 2 x2  y2
2.   0 x 2  y 2 dz dy dx
0 0
2 2 4  x 2 x2  y2 2 2
3.   2 0 (x + y ) dz dy dx
2 4 x 2

2 2 4 x 2 (x2  y2 )
4.   2  x 2  y 2 dz dy dx
2 4 x 2 0

2 4 4  x 2 x2  y2 z
5.   4 0 dz dy dx
2 4 x2 x2  y2
2 2 4 x 2 (x2  y2 )
6.   2  z x 2  y 2 dz dy dx
2 4 x 2 0

4 4x  x 2 (x2  y 2 ) 2 2
7.    (x + y ) dz dy dx
0  4x  x 2 0

183
4 4x  x 2 x2  y2 2 2
8.   0 z(x + y ) dz dy dx
0  4x  x 2

4 25  y 2 x2  y 2
9.   0 z x 2  y 2 dz dx dy
0 0
10 10 x  x 2 25  x 2  y 2
10.  0 0 x 2  y 2 dz dy dx
0
2 4 x 2 4 x 2  y 2
11.   0 x 2  y 2  z 2 dz dy dx
0 0
2 4 x2 2  4 x 2  y 2
12.  0  x 2  y 2  z 2 dz dy dx
2 0
3 9 x2 9 x2  y 2
13.    x 2  y 2  z 2 dz dy dx
-3 9 x 2 2
9 x  y 2

4 4x  x 2 4 x2  y 2
14.   0 (x2 + y2 + z2) dz dy dx
0 0
2 4 x 2 2  4 x 2  y 2 1
15.  0  2 dz dy dx
2 4 x 2  y 2 2 2 2
x y z
3 9 x 2 4  16  x 2  y 2
16.    x 2  y 2  z 2 dz dy dx
0 0 4
4 16  x 2 4 x2  y2
17.  0  4 dz dy dx
4 16  x 2  y 2 x2  y2  z2
3 9 x2 9 x2  y 2 x2  y2
18.    dz dy dx
-3 9 x2 9 x2  y 2 x2  y2  z2
4 4x  x 2 4 x2  y 2 x2  y2
19.   0 dz dy dx
0 0
x2  y2  z2
2 4 x2 2  4 x 2  y 2 x2  y2
20.  0  dz dy dx
2 0 2 2 2
x y z

Dalam soal-soal latihan nomor 21 s.d 30 berikut ini, buatlah sketsa benda pejalnya dan
gunakan transformasi koordinat silinder untuk menghitung integral berualang yang
ditanyakan
2 2
21. Benda pejal dibatasi oleh paraboloida, z = x + y , dan bidang, y = z. Hitunglah volume
bendanya.
2 2
22. Benda pejal dibatasi oleh paraboloida, x + y + z = 4, dan bidang, z = y. Hitunglah
volume bendanya
2 2
23. Benda pejal dibatasi oleh paraboloida, x + y + z = 12, dan bidang, z = 3. Hitunglah
volume bendanya

184
2 2 2
24. Benda pejal dibatasi oleh paraboloida, x + y + z = 20, dan silinder lingkaran tegak, x +
2
y = 4. Hitunglah volume bendanya
2 2 2 2
25. Benda pejal dibatasi oleh paraboloida, z = x + y , dan silinder lingkaran tegak, x + y =
4y. Hitunglah volume bendanya
2 2
26. Benda pejal terletak didalam oleh silinder lingkaran tegak, x + y = 4x, dan dibawah
2 2 2
kerucut, x + y = z , dan diatas bidang, z = 0. Bilamana kerapatannya sebanding dengan
jarak terhadap bidang xy, hitunglah massanya.
2 2
27. Benda pejal terletak didalam oleh silinder lingkaran tegak, x + y = 4x, dan dibawah
2 2 2
bola, x + y + z = 16 dan diatas bidang, z = 0. Bilamana kerapatannya sebanding dengan
terhadap bidang xy, hitunglah massanya.
2 2
28. Benda pejal terletak didalam oleh silinder lingkaran tegak, x + y = 4y, dan dibawah
2 2 2
kerucut, 2(x + y ) = z , dan diatas bidang, z = 0. Bilamana kerapatannya sebanding
kuadrat jarak terhadap bidang xy, hitunglah massanya.
2 2
29. Benda pejal terletak didalam oleh silinder lingkaran tegak, x + y = 4y, dan dibawah
2 2 2
bola, x + y + z = 16 dan diatas bidang, z = 0. Bilamana kerapatannya sebanding dengan
kuadrat jarak terhadap bidang xy, hitunglah massanya.
2 2
30. Benda pejal terletak didalam oleh silinder lingkaran tegak, x + y = 4y, dan dibawah
2 2 2
bola, x + y + z = 16 dan diatas bidang, z = 0. Bilamana kerapatannya sebanding dengan
jarak terhadap bidang xy, hitunglah moment inersia terhadap sumbu z.

Dalam soal-soal latihan nomor 31 s.d 40 berikut ini, buatlah sketsa benda pejalnya dan
gunakan transformasi koordinat bola untuk menghitung integral berualang yang ditanyakan
2 2 2 2
31. Benda pejal terletak didalam bola, x + y + z = 4z, dan diatas kerucut lingkaran, 3(x +
2 2
y ) = z . Hitunglah volume bendanya.
2 2 2
32. Benda pejal terletak didalam bola, x + y + z = 4z, dan diatas paaboloida lingkaran, z =
2 2
x + y . Hitunglah volume bendanya.
2 2 2 2 2 2
33. Benda pejal terletak diantara dua buah bola, x + y + z = 4, dan x + y + z = 25.
Bilamana kerapatannya sebanding dengan jarak terhadap titik pusat, hitunglah masa
bendanya.
2 2 2
34.Carilah titik pusat massa benda pejal yang terletak didalam bola x + y + z = 4z, dan
2 2 2
diatas kerucut, x + y = z , bilamana kerapatannya berbanding terbalik dengan jarak
terhadap titik pusat.
35. Hitunglah moment inersia terhadap titik pusat koordinat untuk soal nomor (34).
36. Hitunglah moment inersia terhdap titik pusat koordinat untuk soal nomor (33).
37. Hitunglah massa benda pejal, didalam kedua bola, r = 2 2 cos  , dan r = 2. Bilamana
2 2 2
kerapatannya adalah, (x,y,z) = k(x + y + z )
38. Hitunglah moment inersia terhadap sumbu z suatu benda pejal yang terletak didalam bola
2 2 2 2 2 2
x + y + z = 4z, dan diatas kerucut, x + y = 3z , bilamana kerapatannya sebanding
dengan kuadrat jarak terhadap titik pusat.
4  x 2  y 2 dzdydx bilamana S adalah benda pejal berbentuk bola, x +
2
39. Hitunglah,  z
S
2 2
y + z = 2z
40. Hitunglah moment inersia terhadap sumbu z suatu benda pejal yang terletak didalam bola
2 2 2 2 2
x + y + z = 4z, dan diatas paraboloida, z = x + y , bilamana kerapatannya sebanding
jarak terhadap titik pusat.

185
BAB IV
KALKULUS MEDAN VEKTOR

4.1. Medan Skalar dan Medan Vektor


Fungsi Bernilai Skalar dan Medan Skalar
Pada pembahasan bab-bab sebelumnya fungsi yang digunakan adalah fungsi-fungsi bernilai
scalar. Dalam aplikasi matematika teknik akan sering dijumpai fungsi-fungsi yang bernilai
vector, misalnya adalah gaya, kecepatan fluida, medan elektromagentik. Fungsi bernilai
scalar adalah suatu fungsi yang didefinisikan pada setiap titik dalam suatu himpunan tertentu
(bidang atau ruang), dan nilainya adalah bilangan real dimana nilainya tergantung pada titik
tersebut, bukan pada system koordinat yang digunakan. Fungsi scalar f yang menghubungkan
setiap titik di dalam daerah definisi D, dengan suatu scalar, yang selanjutnya disebut dengan
medan scalar yang diberikan di dalam D. Untuk mempresentasikan fungsi f dalam system
koordinat kartesius x, y, z fungsi scalar ditulis dengan f(x,y,z). Dalam penerapannya fungsi
scalar dapat beruapa kurva pada ruang dimensi dua, atau permukaan suatu benda bilamana di
dalam ruang dimensi tiga.

Sebagai ilustrasi fungsi bernilai scalar, misalkan diberikan fungsi yang didefinsisikan oleh
persamaan,
2 2
f(x,y) = x + 4xy – y
maka nilai fungsi di titik (1,2) diberikan oleh,
2 2
f(1,2) = (1) + 4(1)(2) – (2) = 5

Dari ilustrasi diatas terlihat bahwa hasilnya adalah scalar. Sebagaimana telah dijelaskan
bahwa nilai-nilai fungsi scalar tidak tergantung pada system koordinat yang digunakan.
Sebagai ilustrasi, jarak suatu titik P(x,y,z) dengan titik Q(x1,y1,z1) merupakan fungsi scalar
yang terdefinisikan pada daerah asal D. Dalam system koordinat kartesius, jarak didefinisikan
oleh,

d(P,Q) = ( x − x1 ) 2 + ( y − y1 ) 2 + ( z − z1 ) 2

Bilamana system koordinat kartesius deganti dengan system koordinat yang lain, misalkan
koordinat silinder atau koordinat bola, maka titik P(x,y,z) dan titik Q(x1,y1,z1) akan berubah
nilainya, tetapi jaraknya akan sama atau titdak berubah nilainya. Jadi jarak d(P,Q) adalah
suatau fungsi scalar.

Fungsi Bernilai Vektor dan Medan Vektor


Fungsi bernilai vector adalah suatu fungsi yang terdefinisikan pada suatu himpunan D
didalam bisang (atau ruang) yang menghubungkan setiap titik P(x,y,z) didalam D dengan
sebuah vector F(p). Himpunan Fungsi-fungsi F(p) yang menghubungkan setiap titik di dalam
daerah definisi D dengan sebuah vector F(p) disebut dengan medan vector. Fungs-fungsi
bernilai vector F(p), sering muncul dalam penerapan, misalnya masalah mekanika fluida,
aliran dalam suatu pipa, medan elektro magnetic.

186
Suatu medan vektor dalam ruang dimensi tiga, daerah definisinya adalah suatu himpunan
3
bagian di R , fungsi medan vektornya diberikan oleh persamaan,

F(x,y,z) = M(x,y,z)i + N(x,y,z)j + N(x,y,z)k

dimana i, j, dan k adalah vektor satuan yang searah dengan sumbu koordinat.

Demikian pula, suatu fungsi dua variabel bernilai vector dimana daerah definisinya pada
bidang, medan vektornya diberikan oleh persamaan,

F(x,y) = M(x,y)i + N(x,y)j

dimana i dan j adalah vektor satuan yang searah sumbu koordinat. Sebagai ilustrasi dari
medan vector dalam bidang adalah medan kecepatan suatu benda berputar. Misalkan
diberikan medan vector,

F(x,y,z) = –y i + x j

Tabel 4.1.1 dan Gambar 4.1.1, masing-masing memberikan ilustrasi vector-vektor F(x,y)
dengan daerah asal adalah titik-titik pada bidang.

Tabel 4.1.1
============ y
(x,y) F
--------------------
(1,0) j 1
(0,1) –i –1 1
(–1,0) –j
(0,–1) i –1
===========
Gambar 4.11.

Sebagai ilustrasi untuk fungsi medan vektor dengan tiga variabel, misalkan diberikan fungsi
bernilai vector,
2 2 2 3
F(x,y,z) = (2xy + z )i + (x – 3y z)j + (2xz – y )k

Maka nilai fungsi vector di titik-titik,


(1). (1,2,1) adalah F(1,2,1) = 5 i – 11j – 6k
(2). (1,1,2) adalah F(1,1,2) = 6 i – 5 j + 3k
(3). (2,1,1) adalah F(2,1,1) = 5 i + j + 3 k

Dari ilustrasi diatas terlihat bahwa variabel input fungsi adalah skalar, akan tetapi variable
output yakni nilai adalah vektor pada ruang dimensi tiga. Fungsi medan vektor yang telah
dikenal adalah gradien dari fungsi bernilai skalar.

187
Gradien Medan Skalar
Andaikan f(x,y) adalah fungsi dua variabel dari x dan y, dan mempunyai turunan-turunan
parsial f x ( x, y ) dan f y ( x, y ) . Gradien f yang dinyatakan dengan ∇f(x,y) = grad f (dibaca
“del f ”) didefinisikan oleh,

∇f(x,y) = f x ( x, y ) i + f y ( x, y ) j

dimana i = <1,0> dan j = <0,1> masing-masing menyatakan vektor satuan yang searah sumbu
x dan sumbu y. Sedangkan fungsi tiga variabel, andaikan f(x,y,z) adalah fungsi tiga variabel
dari x, y, dan z mempunyai turunan-turunan parsial f x ( x, y, z ) , f y ( x, y, z ) , dan f z ( x, y, z ) .
Gradien f dinyatakan dengan ∇f(x,y,z) = grad f (dibaca “del f ”) didefinisikan oleh,

∇f(x,y,z) = f x ( x, y, z ) i + f y ( x, y, z ) j + f z ( x, y, z ) k

dimana i = <1,0,0>, j = <0,1,0> dan k = <0,0,1> masing-masing menyatakan vektor satuan


yang searah sumbu x, sumbu y dan sumbu z.

Dengan notasi operator diferensial, “del” yaitu


∂ ∂ ∂
∇= i+ j+ k
∂x ∂y ∂z
gradien f ditulis menjadi,
∇f(x,y,z) = ∇ • f(x,y,z)
∂ ∂ ∂
=( i+ j+ k)• f(x,y,z)
∂x ∂y ∂z
∂f ∂f ∂f
= i+ j+ k
∂x ∂y ∂z

Dengan demikian, menurut definisi, gradien fungsi skalar f diberikan oleh,

∂f ∂f ∂f
∇f(x,y,z) = i+ j+ k = f x ( x, y , z ) i + f y ( x, y , z ) j + f z ( x, y , z ) k
∂x ∂y ∂z

dimana i, j, dan k adalah vector satuan yang searah dengan sumbu koordinat. Sedangkan
fungsi gradien di dalam bidang diberikan oleh,

∂f ∂f
∇f(x,y) = i+ j = f x ( x, y ) i + f y ( x , y ) j
∂x ∂y

dimana i, dan j adalah vektor satuan yang searah dengan sumbu koordinat. Dari turunan
berarah telah diperoleh beberapa penerapan dari fungsi bernilai vektor, misalnya adalah laju
perubahan suhu dalam suatu ruangan, laju perubahan potensial listrik, laju perubahan
kepadatan, dan laju perubahan panas dalam suatu ruangan. Untuk lebih jelasnya
perhatikanlah contoh-contoh berikut ini.

188
Contoh 4.1.1
Jika f(x,y) = x2y – xy3, hitunglah fungsi gradien medan skalar f, dan hitung nilai gradien f di
titik (3,2)
Penyelesaian
Dari, f(x,y) = x2y – xy3, diperoleh :
∂f
= f x ( x, y ) = 2xy – y3
∂x
∂f
= f y ( x, y ) = x2 – 3xy2
∂y
Menurut definisi gradien f di sembarang titik diberikan oleh,

∇f(x,y) = (2xy – y3)i + (x2 – 3xy2)j

Sehingga gradien f di titik (3,2) diberikan oleh :

∇f(3,2) = [2(3)(2) – (2)3]i + [(3)2 – 3(3)(2)2] j


= 4i – 27 j

Contoh 4.1.2
Jika, f(x,y) = x y e 2( x − y ) hitunglah fungsi gradien medan sklalar f, dan hitung nilai gradien
3

f di titik (1,1)
Penyelesaian
Dari fungsi skalar, f(x,y) = x y e 2( x − y ) diperoleh
3

∂f
= f x ( x, y ) = 3x y e 2( x − y ) + 2x y e 2( x − y )
2 3
∂x
= (3x y + 2x y) e 2( x − y )
2 3

∂f
= f y ( x , y ) = x e 2( x − y ) – 2 x y e 2( x − y )
3 3
∂y
= (x – 2x y) e 2( x − y )
3 3

Menurut definisi gradien f di sembarang titik diberikan oleh,

∇f(x,y) = (3x y + 2x y) e 2( x − y ) i + (x – 2x y) e 2( x − y ) j
2 3 3 3

Sehingga gradien f di titik (1,1) diberikan oleh

∇f(3,2) = [3(1)(1) + 2(1)(1)3]i + [(1) – 2(1)(1)] j


= 5i – j

Contoh 4.1.3
2 3 3 2 2 4
Tentukanlah gradien fungsi, f(x,y,z) = x y + x z – y z , dan hitunglah nilainya gradiennya di
titik (2,1,1), (1,2,1) dan (1,1,2)
Penyelesaian
Dari fungsi f, dengan menngunakan rumus turunan parsial maka dihasilkan
∂f 3 2 2
= f x ( x, y, z ) = 2xy + 3x z
∂x

189
∂f 2 2 4
= f y ( x, y, z ) = 3x y – 2yz ,
∂y
∂f 3 2 3
= f z ( x, y, z ) = 2x z – 4y z ,
∂z
maka menurut definisi gradien fungsi diberikan oleh
∂f ∂f ∂f
∇f(x,y,z) = i+ j+ k
∂x ∂y ∂z
3 2 2 2 2 4 3 2 3
= (2xy + 3x z )i + (3x y – 2yz )j + (2x z – 4y z )k
Ssedangkan nilai fungsi vektor gradiennya untuk titik-titik dimaksud adalah,
(1). (2,1,1) adalah ∇f(2,1,1) = 16i + 10j + 12k
(2). (1,2,1) adalah ∇f(1,2,1) = 10i + 8 j – 14k
(3). (1,1,2) adalah ∇f(1,1,2) = 5i + j + 3k

Contoh 4.1.4.
⎛x− y⎞
Tentukanlah gradien fungsi, f(x,y,z) = sin ⎜ ⎟ dan hitunglah nilainya gradiennya di titik
⎝ z ⎠
(1,1,1), dan (2,2,1).
Penyelesaian
⎛x− y⎞
Dari fungsi, f(x,y,z) = sin ⎜ ⎟ , dan menggunakan rumus turunan parsial diperoleh,
⎝ z ⎠
∂f 1 ⎛x− y⎞
= f x ( x, y, z ) = cos ⎜ ⎟
∂x z ⎝ z ⎠
∂f 1 ⎛x− y⎞
= f y ( x, y, z ) = – cos ⎜ ⎟,
∂y z ⎝ z ⎠
∂f x− y ⎛x− y⎞
= f z ( x, y , z ) = – cos ⎜ ⎟
∂z z2 ⎝ z ⎠
maka menurut definisi gradien fungsi diberikan oleh
∂f ∂f ∂f
∇f(x,y,z) = i+ j+ k
∂x ∂y ∂z
1 ⎛x− y⎞ 1 ⎛x− y⎞ x− y ⎛x− y⎞
= cos ⎜ ⎟ i – cos ⎜ ⎟j – cos ⎜ ⎟k
z ⎝ z ⎠ z ⎝ z ⎠ z2 ⎝ z ⎠
Ssedangkan nilai fungsi vektor gradiennya untuk titik-titik dimaksud adalah,
1 1
(1). (2,2,2) adalah ∇f(2,2,2) = cos 0 i – cos 0 j + 0 k
2 2
1 1
= i– j
2 2
1 1 π
(2). (2π,0,2) adalah ∇f(1,2,1) = cos π i – cos π j – cos πk
2 2 2
1 1 π
= – i+ j + k
2 2 2

Contoh 4.1.5.
2 2
Jika, f(x,y,z) = x2 e ( y − z ) , hitunglah turunan berarah f di titik (2,1,1)

190
Penyelesaian
2 2
Dari, f(x,y,z) = x2 e ( y − z ) , diperoleh :
∂f 2 2
= f x ( x, y, z ) = 2x e ( y − z )
∂x
∂f 2 2
= f y ( x, y, z ) = 2x y e ( y − z )
2
∂y
∂f 2 2
= f z ( x , y , z ) = – 2x z e ( y − z )
2
∂z
Menurut definisi gradien f di sembarang titik diberikan oleh,
2 2 2 2 2 2
∇f(x,y,z) = 2x e ( y − z ) i + 2x y e ( y − z ) j – 2x z e ( y − z ) k
2 2

Sehingga gradien f di titik (2,1,1) diberikan oleh

∇f(2,3,1) = (4)(1)i + 2(4)(1) j – 2 (4)(1) k = 4i + 8j – 8k

Divergensi Medan Vektor

Andaikan, F(x,y) = M(x,y)i + N(x,y)j adalah medan vektor pada ruang dimensi dua, dengan
M dan N adalah fungsi dua variabel dari x dan y yang mempunyai turunan parsial. Divergensi
dari medan vektor F ditulis div F didefinisikan oleh :

∂ ∂
div F = ∇• F = ( i+ j )• [M(x,y)i + N(x,y)j]
∂x ∂y
∂M ∂N
= +
∂x ∂y

Dari definisi diatas terlihat bahwa divergensi medan vektor adalah skalar. Demikian pula
definisi diatas juga berlaku untuk fungsi medan vektor tiga variabel.

Andaikan, F(x,y,z) = M(x,y,z)i + N(x,y,z)j + R(x,y,z)k adalah medan vektor pada ruang
dimensi tiga, dengan M, N, dan R adalah fungsi tiga variabel dari x, y dan z yang mempunyai
turunan parsial. Divergensi dari medan vektor F ditulis div F didefinisikan oleh :

∂ ∂ ∂
div F = ∇• F = ( i+ j+ k)• [M(x,y,z) i + N(x,y,z)j + R(x,y,z)k]
∂x ∂y ∂z
∂M ∂N ∂R
= + +
∂x ∂y ∂z

Contoh 4.1.6
Bilamana, F(x,y) = e ax cos by i + e ax sin by j . Hitunglah div F = ∇• F.
Penyelesaian
Dari medan vektor F, dihasilkan :
M(x,y) = e ax cos by N(x,y) = e ax sin by

191
∂M ∂ ax ∂N ∂ ax
= (e cos by ) = (e sin by )
∂x ∂x ∂y ∂y
= a e ax cos by = b e ax cos by

Jadi menurut definisi divergensi medan vektor F diberikan oleh,


∂M ∂N
div F = ∇• F = + = (a e ax cos by ) + (b e ax cos by)
∂x ∂y
= (a + b) e ax cos by

Contoh 4.1.6
Tentukanlah divergensi medan vektor,
F(x,y,z) = (y + x e yz )i + (z + y e yz )j + (xy + z e yz )k .
Penyelesaian
Dari medan vektor F, dihasilkan :
M(x,y,z) = y + x e yz N(x,y,z) = z + y e yz R(x,y,z) = xy + z e yz

∂M ∂ ∂N ∂ ∂R ∂
= ( y + x e yz ) = ( z + y e yz ) = ( xy + z e yz )
∂x ∂x ∂y ∂y ∂z ∂z
= e yz = e yz + yz e yz = e yz + yz e yz

Jadi menurut definisi divergensi medan vektor F diberikan oleh,


∂M ∂N ∂R
div F = ∇• F = + +
∂x ∂y ∂z
= e yz + ( e yz + yz e yz ) + ( e yz + yz e yz )
= (3 + 2yz) e yz

Fungsi Harmonik
Dari definisi gradien medan skalar, telah diperoleh bahwa gradien medan skalar adalah
merupakan fungsi bernilai vektor. Oleh karenanya dari gradien medan skalar dapat pula
2
dihitung divergensi gradien medan skalar, yaitu ∇•(∇f) = ∇ f. Menurut definisi gradien
medan skalar f(x,y,z) adalah vektor, yaitu :

∇f(x,y,z) = f x ( x, y, z ) i + f y ( x, y, z ) j + f z ( x, y, z ) k
∂f ∂f ∂f
= i+ j+ k
∂x ∂y ∂z
Berdasarkan definisi diatas, divergensi gradien medan skalar diberikan oleh,
2 ∂f ∂f ∂f ∂f ∂f ∂f
∇ f = ∇•(∇f) = ( i + j+ k)( i+ j+ k)
∂x ∂y ∂z ∂x ∂y ∂z
∂2 f ∂2 f ∂2 f
= + +
∂x 2 ∂y 2 ∂z 2
2
Dengan menetapkan, f(x,y,z) = 0 atau ∇ f(x,y,z)= 0 maka diperoleh,

192
∂2 f ∂2 f ∂2 f
+ + =0
∂x 2 ∂y 2 ∂z 2

Persamaan terakhir ini dikenal dengan persamaan Laplace dalam koordinat kartesius dalam
ruang. Fungsi medan skalar yang memenuhi persamaan Laplace dikatakan sebagai fungsi
harmonik. Sedangkan fungsi harmonik dalam ruang dimensi dua adalah fungsi yang
memenuhi persamaan Laalace dalam ruang dimensi dua yaitu :
2
∇ f(x,y) = 0
∂2 f ∂2 f
+ =0
∂x 2 ∂y 2

Contoh 4.1.7
Diberikan fungsi medan skalar,
f(x,y) = sin x e y + cos y e x .
Selidikilah apakah fungsi skalar tersebut harmonik, dimana memenuhi persamaan Laplace
orde dua
Penyelesaian
Dengan menurunkan secara parsial terhadap x dan y masing-masing dua kali dihasilkan,
∂f ∂f
= cos x e y + cos y e x = sin x e y – sin y e x
∂x ∂y
∂2 f ∂2 f
= –sin x e y + cos y e x = sin x e y – cos y e x
2 2
∂x ∂y
Dengan menggunakan hasil diatas, maka diperoleh :
∂2 f ∂2 f
+ = (–sin x e y + cos y e x ) + ( sin x e y – cos y e x )
2 2
∂x ∂y
= (–sin x e y + sin x e y ) + (cos y e x – cos y e x ) = 0
Dengan demikian terbukti bahwa f(x,y) = sin x e y + cos y e x adalah fungsi harmonik.

Contoh 4.1.8
Diberikan fungsi medan skalar,
1
f(x,y,z) = .
x2 + y2 + z2
Selidikilah apakah fungsi skalar tersebut harmonik, dimana memenuhi persamaan Laplace
orde dua
Penyelesaian
Dengan cara yang sama seperti pada contoh 4.1.7 diatas, dihasilkan :
∂f −x ∂f −y ∂f −z
= = =
∂x ( x + y + z )
2 2 2 3 / 2 ∂y ( x + y + z )
2 2 2 3 / 2 ∂z ( x + y + z 2 ) 3 / 2
2 2

∂2 f 2x 2 − y 2 − z 2 ∂2 f − x2 + 2y2 − z2 ∂2 f − x 2 − y 2 + 2z 2
= = =
∂x 2 ( x 2 + y 2 + z 2 )5 / 2 ∂y 2 ( x 2 + y 2 + z 2 )5 / 2 ∂z 2 ( x 2 + y 2 + z 2 )5 / 2

193
Dengan menjumlahkan ketiga turunan orde dua diatas diperoleh,
∂2 f ∂2 f ∂2 f 2x 2 − y 2 − z 2 − x2 + 2y2 − z 2 − x 2 − y 2 + 2z 2
+ + = + +
∂x 2 ∂y 2 ∂z 2 ( x 2 + y 2 + z 2 )5 / 2 ( x 2 + y 2 + z 2 )5 / 2 ( x 2 + y 2 + z 2 )5 / 2
1
=
2 2 2 5/ 2
[(2x2 – y2 – z2) + (2y2 – x2 – z2) + (2z2 – x2 – y2)]
(x + y + z )
1
=
2 2 2 5/ 2
[(2x2 – x2 – x2) + (2y2 – y2 – y2) + (2z2 – z2 – z2)]
(x + y + z )
=0
1
Dengan demikian terbukti bahwa f(x,y,z) = adalah fungsi harmonik.
x2 + y2 + z2

Curl Medan Vektor

Andaikan, F(x,y,z) = M(x,y,z)i + N(x,y,z)j + R(x,y,z)k adalah medan vektor pada ruang
dimensi tiga, dengan M, N, dan R adalah fungsi tiga variabel dari x, y dan z yang mempunyai
turunan parsial. Curl medan vektor F ditulis curl F didefinisikan oleh :

i j k
∂ ∂ ∂
curl F = ∇×F =
∂x ∂y ∂z
M N R
∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂
= ∂y ∂z i – ∂x ∂z j + ∂x ∂y k
N R M R M N
⎛ ∂R ∂N ⎞ ⎛ ∂R ∂M ⎞ ⎛ ∂N ∂M ⎞
= ⎜⎜ − ⎟⎟ i – ⎜ − ⎟j + ⎜⎜ − ⎟k
⎝ ∂y ∂z ⎠ ⎝ ∂x ∂z ⎠ ⎝ ∂x ∂y ⎟⎠

Dari definisi diatas terlihat bahwa curl medan vektor adalah vektor. Demikian pula definisi
diatas juga berlaku untuk fungsi medan vektor dua variabel. Khusus untuk fungsi dua
variabel, F(x,y) = M(x,y)i + N(x,y)j, curl medan vektornya diberikan oleh,

i j k
∂ ∂ ⎛ ∂N ∂M ⎞
curl F = ∇ × F = 0 = ⎜⎜ − ⎟k
∂x ∂y ⎝ ∂x ∂y ⎟⎠
M N 0

Contoh 4.1.9
Diberikan medan vektor,
F(x,y) = e ax cos by i + e ax sin by j .
Hitunglah curl F = ∇×F, dan div(curl F).

194
Penyelesaian
Dari medan vektor F, dihasilkan :
M(x,y) = e ax cos by , dan N(x,y) = e ax sin by .
Menurut definisi curl medan vektor diberikan oleh,
i j k
∂ ∂
curl F = ∇ × F = 0
∂x ∂y
e ax sin by e ax cos by 0
⎛ ∂N ∂M ⎞ ⎛∂ ∂ ⎞
= ⎜⎜ − ⎟⎟ k = ⎜⎜ (e ax sin by ) − (e ax cos by ) ⎟⎟ k
⎝ ∂x ∂y ⎠ ⎝ ∂x ∂y ⎠
= [a e ax cos by – (–b e ax sin by]k = (a + b) e ax sin by k

Dengan demikian,

div(curl F) = ∇•( ∇ × F) = [(a + b) e ax sin by] = 0
∂z

Contoh 4.1.10
Tentukanlah curl(F), dan div(curl(F)) dari medan vektor,
F(x,y,z) = (y + x e yz )i + (z + y e yz )j + (xy + z e yz )k .
Penyelesaian
Dari medan vektor F, dihasilkan :
M(x,y,z) = y + x e yz N(x,y,z) = z + y e yz R(x,y,z) = xy + z e yz

Menurut definisi, curl medan vektor F diberikan oleh,


i j k
∂ ∂ ∂
curl F = ∇ × F =
∂x ∂y ∂z
y + xe yz z + ye yz xy + ze yz

⎛ ∂ ∂ ⎞ ⎛∂ ∂ ⎞
= ⎜⎜ ( xy + ze yz ) − ( z + ye yz ) ⎟⎟ i – ⎜ ( xy + ze yz ) − ( y + xe yz ) ⎟ j
⎝ ∂y ∂z ⎠ ⎝ ∂x ∂z ⎠
⎛∂ ∂ ⎞
+ ⎜⎜ ( z + ye yz ) − ( y + xe yz ) ⎟⎟ k
⎝ ∂x ∂y ⎠
2 2
= [(x + z e yz – (1 + y e yz )]i – [y – (xy e yz )]j) + [0 – (1 + xz e yz )]k
2 2
= (x – 1 + z e yz – y e yz )i + (xy e yz – y)j – (1 + xz e yz )k

Sedangkan divergensi dari curl F diberikan oleh,


div(curl F) = ∇•( ∇ × F)
∂ 2 2 ∂ ∂
= ( x – 1 + z e yz – y e yz ) + ( xy e yz – y) + [– (1 + xz e yz )]
∂x ∂y ∂z
= 1 + (x e yz + zyx e yz – 1) – (x e yz + xyz e yz ) = 0

195
Sifat-sifat divergensi dan curl

Dari kedua contoh diatas diperoleh hasil bahwa, div(curl F) = ∇•( ∇ × F) = 0. Selengkapnya
tentang sifat-sifat dari divergensi dan curl medan vektro dan medan skalar disajikan berikut
ini.
(1). div(curl F) = ∇•( ∇ × F) = 0
(2). curl(grad f ) = ∇ × (∇f) = 0

Soal-soal Latihan 41

Dalam soal-soal berikut ini, hitunglah fungsi gradien yang diberikan, dan selidikiliah apakah
fungsi yang diberikan harmonik atau tidak .
xy x
1. f(x,y) = 2. f(x,y) = xy ln(x + y) 3. f(x,y) = e − xy
x2 + y2 y
x− y
5. f(x,y) = x e − ( x + y )
2 2
4. f(x,y) = 6. f(x,y) = 2x2y – x3 + y3
2 2
x +y
8. f(x,y) = y e − ( x + y )
2 2
7 f(x,y) = xy ln(x2 – y2) 9. f(x,y) = xy sin(x2 – y2)
x+ y
10. f(x,y,z) = 11. f(x,y,z) = x3y + y2z2 – xz3 12. f(x,y,z) = ze − xy + ye xz
x−z
13. f(x,y,z) = ye − yz + xe xz 14. f(x,y,z) = xy3 sin xz 15. f(x,y,z) = x3y cos yz
16. f(x,y,z) = xe − y tan z
2 3/2
17. f(x,y,z) = z2(x2 + y2) 18. f(x,y,z) = (x2 + y2 + z2)
19. f(x,y,z) = x 2 + y 2 + z 2 20. f(x,y,z) = ln x 2 + y 2 + z 2

Dalam soal nomor 21 s.d 40, berikut ini tentukanlah : div F = (∇ • F), curl F = (∇ × F), dan
div(curl F) = ∇•( ∇ × F) untuk setiap fungsi medan vektor yang diberikan.

2
21. F(x,y) = (xy + y e xy )i + (xy – x e xy )j
2 2 2
22. F(x,y) = (x e y + y )i + (x e y – 4xy )j
2
23. F(x,y) = (cos x e y + xy )i + (sin x e y + 4xy)j
2 2
24. F(x,y) = (y + x e xy )i + (y e xy + x )j
25. F(x,y) = (cos by – sin by) e ax i + (sin by + cos by) e ax j
26. F(x,y) = (sin 2x + cos 2y) e −2 y i + (cos 2x + sin 2y) e −2 y j
2 2
27. F(x,y) = (x ln y + y)i + (2x + y ln y)j
2 2
28. F(x,y) = (x ln x + 2y)i + (x+ y ln x)j
29. F(x,y,z) = (xy + x e xz )i + (yz + y e xz )j + (yz + z e xz )k
30. F(x,y,z) = (yz + x e xy )i + (xz + y e xy )j + (xy + z e xy )k
2 2
31. F(x,y,z) = xz cos y i + xz sin y j + x z sin y k .
2 2
32. F(x,y,z) = (y + z) cos x i + (y – z) sin x j + (y – z )cos x k .
2 2 2
33. F(x,y,z) = x cos yz i + y sin yz j + z cos yz k .
34. F(x,y,z) = xy sin xz i + yz sin xz j + xz cos xz k .

196
35. F(x,y,z) = e xy sin z i + e xy cos z j – e xy sin z k .
ln y xz
36. F(x,y,z) = e xz ln y i – e j + e xz y ln y k .
y
2
37. F(x,y,z) = y sin xz i – y cos xz j + y cos xz k
2 2 2 2 2 2
38. F(x,y,z) = x ln(y + z )i – y ln(y + z ) j + zln(y + z )k
2 2 2 2 2 2
39. F(x,y,z) = y ln(x + z )i – xy ln(x + z ) j + yz ln(x + z )k
2 2 2 2 2 2
40. F(x,y,z) = z ln(x + y )i + xz ln(x + y ) j – yz ln(x + y )k

197
4.2. Medan Vektor Konservatif

Sebagaimana telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya, salah satu fungsi bernilai vektor
adalah gradien fungsi skalar dalam ruang dimensi tiga. yang didefinisikan oleh,

∂f ∂f ∂f
∇f(x,y,z) = i+ j+ k
∂x ∂y ∂z
= f x ( x, y , z ) i + f y ( x, y , z ) j + f z ( x, y , z ) k

dimana i, j, dan k adalah vektor satuan yang searah dengan sumbu koordinat. Sedangkan
gradien fungsi skalar dalam bidang diberikan oleh,

∂f ∂f
∇f(x,y) = i+ j
∂x ∂y
= f x ( x, y ) i + f y ( x, y ) j

dimana i, dan j adalah vektor satuan yang searah dengan sumbu koordinat x dan y. Secara
formal kasus demikian ini disebut dengan medan vektor gradien.

Andaikan f adalah medan skalar, dan F adalah medan vektor. Suatu medan vektor F yang
didefinisikan oleh,

F = ∇f

maka F disebut dengan medan vektor gradien, dan f dikatakan sebagai fungsi potensial untuk
medan vektor gradien F. Medan veKtor gradien sering pula disebut medan konservatif.
Dengan menggunakan pendekatan diatas, andaikan f(x,y,z) adalah fungsi skalar tiga variabel
bebas, maka medan vektor gradiennya diberikan oleh,

∂f ∂f ∂f
F(x,y,z) = ∇f (x,y,z) = i+ j+ k
∂x ∂y ∂z
= f x ( x, y , z ) i + f y ( x, y , z ) j + f z ( x, y , z ) k

Sedangkan untuk fungsi dua variabel f(x,y), medan vektor gradiennya diberikan oleh,

∂f ∂f
F(x,y) = ∇f(x,y) = i+ j
∂x ∂y
= f x ( x, y ) i + f y ( x, y ) j

Sebagai ilustrasi, misalkan diberikan fungsi medan vektor dan medan skalar, yaitu :

F(x,y) = (2xy – y3)i + (x2 – 3xy2) j


dan,
2 2
f(x,y) = xy(x – y )

198
Menurut definisi gradien f (∇f) diberikan oleh,
∂f ∂f
∇f(x,y) = i+ j = f x ( x, y ) i + f y ( x , y ) j
∂x ∂y
2 3 3 2
= (3x y – y )i + (x – 2xy ) j

Karena, ∇f(x,y) ≠ F(x,y), maka medan vektor F dikatakan bukan sebagai mdan vektor
konservatif, dan fungsi f(x,y) bukan fungsi potensial untuk F. Sebaliknya misalkan diberikan
oleh fungsi
F(x,y) = (3x y + 2x y) e 2( x − y ) i + (x – 2x y) e 2( x − y ) j
2 3 3 3

dan,
f(x,y) = x y e 2( x − y )
3

Menurut definisi gradien f (∇f) diberikan oleh,


∂f ∂f
∇f(x,y) = i+ j
∂x ∂y
= (3x y + 2x y) e 2( x − y ) i + (x – 2x y) e 2( x − y ) j
2 3 3 3

Karena, ∇f(x,y) = F(x,y), maka medan vektor F dikatakan sebagai medan vektor konservatif,
dan fungsi f(x,y) disebut fungsi potensial untuk F.

Demikian pula untuk fungsi tiga variabel. Misalkan diberikan fungsi medan skalar dan medan
vektor, seperti pada contoh 4.1.4, yaitu :
⎛x− y⎞
f(x,y,z) = sin ⎜ ⎟
⎝ z ⎠
dan,
∂f ∂f ∂f
F(x,y,z) = i+ j+ k = f x ( x, y , z ) i + f y ( x, y , z ) j + f z ( x, y , z ) k
∂x ∂y ∂z
1 ⎛x− y⎞ 1 ⎛x− y⎞ x− y ⎛x− y⎞
= cos ⎜ ⎟ i – cos ⎜ ⎟j – cos ⎜ ⎟k
z ⎝ z ⎠ z ⎝ z ⎠ z2 ⎝ z ⎠
Karena, ∇f(x,y,z) = F(x,y,z) maka fungsi bernilai vektor F dikatakan sebagai medan vektor
konservatif, dan fungsi f(x,y,z) disebut fungsi potensial untuk F(x,y,z).

Dari kedua ilustrasi diatas, terlihat bahwa adalah cukup mudah untuk menentukan medan
vektor korservatif atau bukan bilamana diberikan fungsi potensialnya dengan menggunakan
definisi gradien medan skalar. Masalah yang timbul adalah menentukan medan vektor
konservatif atau tidak, akan tetapi tidak diberikan fungsi potensialnya, dan bagaimana
menentukan fungsi potensialnya. Untuk mengatasi masalah ini, dapat digunakan pendekatan
diferensial total, dan atau persamaan diferensial eksak.

Andaikan F(x,y) = M(x,y)i + N(x,y) j adalah medan vektor dimana M dan N adalah fungsi-
fungsi dua variabel yang kontinu, dan mempunyai turunan parsial kontinu. Medan vektor,
F(x,y) = M(x,y) i + N(x,y) j dikatakan konservatif bilamana :
∂M ∂N
=
∂y ∂x

199
Bilamana F adalah medan vektor konservatif, fungsi potensial f dapat dihitung dengan
pendekatan persamaan diferensial total eksak. Oleh karenanya andaikan diberikan fungsi
medan vektor konservatif, F(x,y) = M(x,y)i + N(x,y)j, dan f(x,y) adalah fungsi potensial untuk
F(x,y). Karena, F(x,y) = ∇f , maka fungsi potensial f(x,y) = c, diberikan oleh :

f(x,y) = ∫ M ( x, y ) dx + g(y)
dimana g(y) fungsi dari y dihasilkan dari :
∂f
(x,y) = N(x,y)
∂y
Dengan mendeferensialkan persamaan ini secara parsial terhadap y, maka dihasilkan :

M ( x, y ) dx + g′(y) = N(x,y)
∂y ∫
Jadi fungsi g(y) pada penyelesaian umumnya persamaan diferensial eksak diberikan oleh,
⎛ ∂ ⎞
g(y) = ∫ ⎜⎜ N ( x, y ) − ∫ M ( x, y ) dx ⎟⎟ dy + c
⎝ ∂y ⎠
Pendekatan lain, untuk menentukan fungsi potensial f(x,y) = c adalah dapat diperoleh dari,
f(x,y) = ∫ N ( x, y ) dy + h(x)
dengan h(x) fungsi dari x diperoleh dari,
∂f
(x,y) = M(x,y)
∂x

N ( x, y ) dy + h′(x) = M(x,y)
∂x ∫

Jadi fungsi h(x) pada penyelesaian persamaan diferensial eksak diberikan oleh,
⎛ ∂ ⎞
h(x) = ∫ ⎜ M ( x, y ) − ∫ N ( x, y ) dy ⎟ dx + c
⎝ ∂ x ⎠
Dengan demikian fungsi potensialnya diberikan oleh,
⎛ ∂ ⎞
f(x,y) = ∫ N ( x, y ) dy + ∫ ⎜ M ( x, y ) − ∫ N ( x, y ) dy ⎟ dx + c
⎝ ∂x ⎠

Contoh 4.2.1.
Misalkan F adalah medan vektor yang didefinisikan oleh,
3 x 2 2 x 2
F(x,y) = (2xy + ye )i + (3x y + e – y )j
Tentukanlah fungsi potensial f(x,y) bilamana F konservatif
Penyelesaian :
Dari medan vektor F, diperoleh :
3 x 2 2 x 2
M(x,y) = 2xy + ye , N(x,y) = 3x y + e – y
∂M 2 x ∂N 2 x
= 6xy + ye , = 6xy + e
∂y ∂x
Karena,
∂M ∂N 2 x
= = 6xy + e ,
∂y ∂x
maka F medan vektor konservatif, dan F(x,y) = ∇f(x,y). Oleh karena itu, fungsi potensial f
diperoleh dari F(x,y) = ∇f(x,y). Dengan demikian fungsi potensialnya diberikan oleh,

200
f(x,y) = ∫ (2 xy 3 + ye x ) dx + g(y) = x y + ye + g(y)
2 3 x

dimana fungsi g(y) diperoleh dari :


∂f
(x,y) = N(x,y)
∂y

( x2y3 + yex) + g′(y) = 3x2 y2 + ex – y2
∂y
3x y + ye + g′(y) = 3x y – y
2 2 x 2 2 2

g′(y) = –y
2

1 3
g(y) = ∫ − y 2 dy + c = – y + c.
3

Jadi, fungsi potensial f untuk medan vektor konservatif F adalah,


2 3 x 1
f(x,y) = x y + ye – y 3 + c
3

Contoh 4.2.2.
Misalkan F adalah medan vektor yang didefinisikan oleh,
x x
F(x,y) = (x + y e xy + e cos y)i +(x e xy + 2y – e sin y)j
Tentukanlah fungsi potensial f(x,y) bilamana F konservatif
Penyelesaian :
Dari fungsi medan vektornya, dihasilkan:
x x
M(x,y) = x + y e xy + e cos y N(x,y) = x e xy + 2y – e sin y
∂M x ∂N x
= e xy + y e xy (x) – e sin y = e xy + x e xy (y) – e sin y
∂y ∂x
x x
= (1 + xy) e xy – e sin y = (1 + xy) e xy – e sin y
Karena,
∂M ∂N x
= = (1 + xy) e xy – e sin y,
∂y ∂x
maka fungsi medan vektor yang diberikan adalah konservatif. Oleh karena itu, fungsi
potensial f diperoleh dari F(x,y) = ∇f(x,y), dan fungsi potensialnya diberikan oleh, f(x,y) = c,
dimana,
f(x,y) = ∫ ( xe xy + 2 y − e x sin y ) dy + h(x)
2 x
= e xy + y + e cos y + h(x)
Seperti contoh 4.2.1, h(x) diperoleh dari :
∂f
(x,y) = M(x,y)
∂x

( e xy + y2 + excos y) + h′(x) = x + y e xy + excos y
∂ x
y e xy + e cos y + h′(x) = x + y e xy + e cos y
x x

h′(x) = x
1
h(x) = ∫ x dx + c = x 2 + .c
2

201
1 2
Karena, h(x) = x + c. Jadi, fungsi pembangkitnya diberikan oleh,
2
2 x 1
f(x,y) = e xy + y + e cos y + x 2 + c
2

Pada dasarnya, metode untuk menentukan fungsi pembangkit dua variabel x dan y dapat
dikembangkan untuk menentukan fungsi pembangkit tiga variabel x,y dan z, yakni dengan
pendekatan diferensiaal total atau fungsi gradien. Misalkan diberikan fungsi medan vektor,

F(x,y,z) = M(x,y,z)i + N(x,y,z) j + R(x,y,z) k

dimana M, N, dan R adalah fungsi-fungsi tiga variabel yang kontinu, dan mempunyai turunan
parsial yang kontinu. Medan vektor F dikatakan konservatif (atau medan vektor gradien), jika
hanya jika :

∂M ∂N ∂M ∂R ∂N ∂R
= ; = ; =
∂y ∂x ∂z ∂x ∂z ∂y

Seperti pada permasalahan fungsi medan vektor dua variabel, bilamana diberikan fungsi
medan vektor konservatif, masalah yang timbul adalah menentukan fungsi potensial atau
fungsi pembangkitnya, yaitu dari F(x,y,z) = ∇f(x,y,z),. Andaikan diberikan fungsi medan
vektor F(x,y,z) = M(x,y,z)i + N(x,y,z) j + R(x,y,z) k konservatif, fungsi potensial f untuk F
adalah fungsi tiga variabel f(x,y,z) = c, sedemikian rupa sehingga F(x,y,z) = ∇f(x,y,z), dimana
fungsi tersebut diberikan oleh,

f(x,y,z) = ∫ M ( x, y, z ) dx + g(y,z)
dimana g(y,z) fungsi dari y dan z diperoleh dari,

f y ( x, y, z ) = N(x,y,z).

Dengan mendeferensialkan persamaan, f(x,y,z) = ∫ M ( x, y, z ) dx + g(y,z) secara parsial


terhadap y dihasilkan,

∂y ∫
M ( x, y, z ) dx + g y ( y, z ) = N(x,y,z),


∂y ∫
g y ( y, z ) = N(x,y,z) – M ( x, y, z ) dx

Jadi fungsi g(y,z) pada penyelesaian umum persamaan diferensial eksak adalah,
⎛ ∂ ⎞
g(y,z) = ∫ ⎜⎜ N ( x, y, z ) − ∫ M ( x, y, z ) dx ⎟⎟ dy + h(z)
⎝ ∂y ⎠
Dengan demikian penyelesaian umumnya dapat ditulis menjadi,
⎛ ∂ ⎞
f(x,y,z) = ∫ M ( x, y, z ) dx + ∫ ⎜⎜ N ( x, y, z ) − ∫ M ( x, y, z ) dx ⎟⎟ dy + h(z)
⎝ ∂y ⎠
Sedangan h(z) diperoleh dari,
f z ( x, y, z ) = R(x,y,z)

202
Mengingat, bilamana fungsi medan vektornya adalah konservatif, maka untuk menentukan
fungsi pembangkitnya tidak tergantung pada urutan integrasi. Dengan cara yang sama urutan
integrasi parsial untuk menentukan fungsi pembangkit f(x,y,z) dapat dikerjakan dengan urutan
yang berbeda, misalnya pertama integrasi terhadap y, langkah kedua integrasi terhadap z dan
terakhir adalah integrasi terhadap x. Pendekatan lain, langkah pertama integrasi terhadap z,
integrasi kedua terhadap y, dan integrasi terakhir terhadap x. Namun demikian, perbedaan
urutan integrasi ini tidak mempengaruhi hasil akhir. Untuk lebih jelasnya perhatikanlah
contoh-contoh soal berikut ini.

Contoh 4.2.3
Tentukan fungsi potensial f untuk medan vektor F, jika medan vektor yang diberikan berikut
ini adalah konservatif.
2 2 2
F(x,y,z) = 2 x( e y − z 3 ) i + (x e y – 2y cos z)j + (y sin z – 3x2z + z2)k

Penyelesaian
Dari fungsi medan vektor F dihasilkan :
2 2 2
M(x,y,z) = 2 x( e y − z 3 ) , N(x,y,z) = x e y – 2y cos z, dan R(x,y,z) = y sin z – 3x2z + z2
Dengan menurunkan secara parsial terhadap x, y, dan z dihasilkan :
M y = 2x e y N x = 2x e y R x = − 6 xz 2
M z = − 6 xz 2 N z = 2y sin z R y = 2y sin z
Dari hasil diatas terlihat bahwa,
M y = N x = 2x e y

M z = R x = − 6 xz 2
N z = R y = 2y sin z
Dari hasil diatas maka dapat disimpulkan bahwa medan vektor yang diberikan adalah medan
vektor konservatif.

Sedangkan fungsi potensialnya adalah f(x,y,z) = c, dan diberikan oleh :


f(x,y,z) = ∫ M ( x, y, z ) dx + g(y,z)
= ∫ 2 x(e y − z 3 ) dx + g(y,z)
= x 2 ( e y − z 3 ) + g(y,z)
dimana g(y,z) fungsi dari y dan z diperoleh dari,
f y ( x, y, z ) = N(x,y,z)
∂ 2
[ x 2 ( e y − z 3 ) ] + g y ( y, z ) = x e y – 2y cos z
∂y
2 2
x e y + g y ( y, z ) = x e y – 2y cos z
g y ( y , z ) = – 2y cos z
g(y,z) = – ∫ 2 y cos z dy
2
= – y cos z + h(z)
Dengan demikian fungsi pembangkitnya dapat ditulis menjadi,
2
f(x,y,z) = x 2 ( e y − z 3 ) – y cos z + h(z)

203
dimana h(z) diperoleh dari,
f z ( x, y, z ) = R(x,y,z)

[ x 2 ( e y − z 3 ) – y2cos z] + h′(z) = y2sin z – 3x2z2 + z2
∂z
– x2z + y sin z + h′(z) = y sin z – 3x2z + z2
2 2 2 2

h′(z) = z2
∫z
2
h(z) = dz
1 3
= z +c
3
Jadi fungsi pembangkitnya medan vektornya yang diberikan adalah,
2 1
f(x,y,z) = x 2 ( e y − z 3 ) – y cos z + z 3 + c
3

Contoh 4.2.4
Tentukan fungsi potensial f untuk medan vektor F, jika medan vektor yang diberikan berikut
ini adalah konservatif,
2 2z 2 3 2z 2 3 2z
F(x,y,z) = x (1 – 3ye )i + (3y cos z – x e )j + (z – y sin z – 2x3ye )k
Penyelesaian
Dari fungsi medan vektor F dan selanjutnya dengan menurunkan secara parsial terhadap x, y,
dan z dihasilkan :
2 2z 2 3 2z 2 3 2z
M(x,y,z) = x (1 – 3ye ); N(x,y,z) = 3y cos z – x e R(x,y,z) = z – y sin z – 2x3ye
2 2z 2 2z 2 2z
M y = –3x e N x = –3 x e R x = – 6x ye
2 2z 2 3 2z 2 3 2z
M z = –6x ye N z = –(3y sin z + 2x e ) R y = – (3y sin z + 2x e )
Dari hasil diatas terlihat bahwa,
2 2z
M y = N x = –3x e
2 2z
M z = R x = –6x ye
2 3 2z
N z = R y = – (3y sin z + 2x e )
Dari hasil diatas maka dapat disimpulkan bahwa medan vektor yang diberikan adalah medan
vektor konservatif.

Sedangkan fungsi potensialnya adalah f(x,y,z) = c, dan diberikan oleh :


f(x,y,z) = ∫ N ( x, y, z ) dy + g(x,z)
= ∫ (3 y 2 cos z − x 3e 2 z ) dy + g(x,z)
3 3 2z
= y cos z – x ye + g(x,z)
dimana g(x,z) fungsi dari x dan z diperoleh dari,
f z ( x, y, z ) = R(x,y,z)

[ y3cos z – x3ye2z] + gz(x,z) = z2 – y3 sin z – 2x3ye2z
∂z
2 3 2z 2 3 3 2z
– 3y sin z – 2x ye + gz(x,z) = z – y sin z – 2x ye
2
gz(x,z) = z
1
g(x,z) = ∫ z 2 dz + h(x) = z 3 + h(x)
3

204
Dengan demikian fungsi pembangkitnya dapat ditulis menjadi,
3 3 2z 1
f(x,y,z) = y cos z – x ye + z 3 + h(x)
3
dimana h(x) diperoleh dari,
f x ( x, y, z ) = M(x,y,z)
∂ 1
[ y3cos z – x3ye2z + z 3 ] + h′(x) = x2(1 – 3ye2z)
∂x 3
–3x ye + h′(x) = x (1 – 3ye )
2 2z 2 2z

h′(x) = x
2

1
h(x) = ∫ x 2 dx = x 3 + c
3
Jadi fungsi pembangkitnya medan vektornya yang diberikan adalah,
3 3 2z 1 1
f(x,y,z) = y cos z – x ye + z 3 + x 3 + c
3 3

Contoh 4.2.5
Tentukan fungsi potensial f untuk medan vektor F, jika medan vektor yang diberikan berikut
ini adalah konservatif,
3 2z x2 2 2z 3 2z
F(x,y,z) = (x ln x + 2x ln y + y e )i + ( + 3xy e )j + (z + 2xy e )k
y
Penyelesaian
Dari fungsi medan vektor F dan selanjutnya dengan menurunkan secara parsial terhadap x, y,
dan z dihasilkan :
3 2z x2 2 2z 3 2z
M(x,y,z) = x ln x + 2x ln y + y e N(x,y,z) = + 3xy e R(x,y,z) = z + 2xy e
y
2x 2x 3 2z
My= + 3 y 2e2z Nx = + 3 y 2e2z R x = 2y e
y y
3 2z 2 2z 2 2z
M z = 2y e N z = 6xy e R y = 6xy e
Dari hasil diatas terlihat bahwa,
2x
M y = Nx = + 3 y 2e2z
y
3 2z
M z = R x = 2y e
2 2z
N z = R y = 6xy e

Dari hasil diatas maka dapat disimpulkan bahwa medan vektor yang diberikan adalah medan
vektor konservatif. Sedangkan fungsi potensialnya adalah f(x,y,z) = c, dan diberikan oleh :
∫ R( x, y, z ) dz + g(x,y) = ∫ ( z + 2 xy
3 2z
f(x,y,z) = e ) dz + g(x,y)
1 2
= z + xy 3e 2 z + g(x,y)
2
dimana g(x,z) fungsi dari x dan y diperoleh dari,
f y ( x, y, z ) = N(x,y,z)
∂ 1 2 x2 2 2z
[ z + xy 3e 2 z ] + g y ( x, y ) = + 3xy e
∂y 2 y

205
2 2z x2 2 2z
3xy e + g y ( x, y ) = + 3xy e
y
x2
g y ( x, y ) = + h(x)
y
x2
∫ y dy + h(x) = x ln y + h(x)
2
g(x,y) =

Dengan demikian fungsi pembangkitnya dapat ditulis menjadi,


1 2
f(x,y,z) = z 2 + xy 3e 2 z + x ln y + h(x)
2
dimana h(x) diperoleh dari,
f x ( x, y, z ) = M(x,y,z)
∂ 1 2
[ z + xy 3e 2 z + x2 ln y] + h′ (x) = x ln x + 2x ln y + y3e2z
∂x 2
y e + 2x ln y + h′(x) = x ln x + 2x ln y + y e
3 2z 3 2z

h′ (x) = x ln x
h(x) = ∫ x ln x dx
1 2
x (2 ln x − 1) + c
=
4
Jadi fungsi pembangkitnya medan vektornya yang diberikan adalah,
1 2 1
f(x,y,z) = z 2 + xy 3e 2 z + x ln y + x 2 (2 ln x − 1) + c
2 4

Soal-soal Latihan 4.2


Dalam soal-soal berikut ini, selidikilah apakah medan vektor yang diberikan konservatif. Jika
konservatif tentukanlah fungsi potensial f untuk fungsi medan vektor F.

1. F(x,y) = ( x 3 + y 2 ) i + (2 xy − y 3 ) j

2. F(x,y) = (x + y sin 2x)i + (sin 2 x + 3 y 2 ) j


3. F(x,y) = (2x + y cos(xy))i + (x cos(xy) – 2y)j

4. F(x,y) = x{2 − sin( x 2 − y 2 )} i + y sin( x 2 − y 2 ) j

5. F(x,y) = ( x + y ) 2 i + ( x 2 + 2 xy + ye y ) j

6. F(x,y) = (e x + ye xy ) i + (1 + xe xy ) j

7. F(x,y) = ( xe x − e y ) i + e y (1 − x) j

8. F(x,y) = 3 x 2 ( y − 1) 2 i + 2 x 3 ( y − 1) j

206
⎛ x2 ⎞
9. F(x,y) = (e x cos y + 2 x ln y ) i + ⎜ − e x sin y + 2 y ⎟ j
⎜ y ⎟
⎝ ⎠
x+ y
10. F(x,y) = i + (arc tan x – 2y)j
1+ x2
1 + 2 xy ⎧⎪ 2 y ⎫⎪
11. F(x,y) = i + ⎨ln(1 + x 2 ) + ⎬j
1+ x2 ⎪⎩ 1 + y 2 ⎪⎭
x+ y
12. F(x,y) = i + (arc sin x + 2y)j
2
1− x
x(1 + y 2 ) ⎧⎪ 1 ⎫⎪
13. F(x,y) = i + 2 y ⎨ln(1 + x 2 ) − ⎬j
1+ x2 ⎪⎩ 1 + y 2 ⎪⎭
⎧ ln y ⎫
14. F(x,y) = 3 xy 1 + x 2 i + ⎨(1 + x 2 ) 3 / 2 + ⎬j
⎩ y ⎭
15. F(x,y) = (2 x cos y − e x ) i + ( y − x 2 sin y ) j
16. F(x,y) = (1 + y 3 sin 2 x) i + (2 y − 3 y 2 cos 2 x) j
⎧ 2x ⎫ ⎧⎪ x2 ⎫⎪
17. F(x,y) = ⎨ + 5 y 2 − 6 x ⎬ i + ⎨2 y − + 10 xy ⎬ j
⎩ y ⎭ ⎪⎩ y2 ⎪⎭
18. F(x,y) = (3 y 2 + y sin 2 xy ) i + (6xy + x sin 2xy + 1)j
x+ y ⎧ 1 ⎫
19. F(x,y) = i+ ⎨ + ln(1 + x)⎬ j
1+ x ⎩1 + y ⎭
x + xy ⎧ 1 ⎫
20. F(x,y) = i + ⎨ 1+ x2 + ⎬j
1+ x2 ⎩ 1+ y ⎭
⎧⎪ x 2 ⎪⎫
21. F(x,y) = {x 3 + 2 x ln(1 + y )} i + ⎨ + 2 y + cos y ⎬ j
⎪⎩1 + y ⎪⎭
⎧⎪ x 2 ⎫⎪
22. F(x,y) = (3x 2 + 2 x arctan y ) i + ⎨ + ye y ⎬ j
⎪⎩1 + y 2 ⎪⎭
2 2
23. F(x,y) = e x y (1 + 2 x 2 y ) i + ( x 3 e x y + 2 y ) j
⎧ x ⎫ ⎧⎪ x 2 y ⎫⎪
24. F(x,y) = ⎨ + 2 x ln(1 + y )⎬ i + ⎨ + ⎬j
⎩1 − x ⎭ ⎪⎩1 + y 1 + y ⎪⎭
25. F(x,y) = (x + x e x sin y )i + [(x – 1) e x cos y + 3y)j
2 2 2 2
26. F(x,y,z) = (y e x + 2x e z )i + 2y( e x + e z )j + (x + y + z ) e z k
2 2 2 2 2
27. F(x,y,z) = (x – y )i + (yz – 2xy)j + (y z + 3z ) e z k
2 3 2 2 2
28. F(x,y,z) = (2x sin y – 2x e z )i + (x cos y + 2yz )j + (3y z – x e z )k
2 2 2
29. F(x,y,z) = (z e x + 2x e y )i + (x – z ) e y j + 2z( e x – e y + e z )k
2 3 2 2 2 2
30. F(x,y,z) = (xz + 2xy )i + (3x y + 2z e y )j + (x z + z e y + ln z)k

207
2 2 2
31. F(x,y,z) = (z e x + 2xy e z )i + (x e z + ln y)j + (2z e x + x y e z + ln z)k
2 2 2 2 2 2 2
32. F(x,y,z) = x(y + z )i + y(x + y + z )j + z(x + y + ln z)k
2 2 2 2 2
33. F(x,y,z) = 2x( e y – y cos z)i + (x e y – 2x y cos z + 2y)j + (x y + e z )sin z k
2 2 2 2 2
34. F(x,y,z) = (xy e 2 z + 2x cos y)i + (x y e 2 z – x sin y + y) e y j + (x y + cos z) e 2 z k
3 3 2 2 3 2 2 3
35. F(x,y,z) = 2x(y + z )i + y (3x + 2z )j + z (3x + 2y + ln z)k

208
4.3. Integral Garis

Konsep luas pada bidang datas, biasanya sering digunakan untuk mendefinisikan integral
tertentu, atau sering dikenal dengan jumlah Reimaan. Demikian pula, sebagai ilustrasi untuk
mendefinisikan integral suatau medan vektor, akan digunakan konsep usaha atau kerja yang
dilakukan oleh sebuah medan vektor gaya sepanjang garis lurus, khususnya medan vektor
gaya dalam ruang dimensi dua atau tiga.

Andaikan F(x,y,z) adalah medan gaya yang bekerja pada suatu titik (x,y,z), dan diberikan
oleh,

F(x,y,z) = M(x,y,z)i + N(x,y,z)j + R(x,y,z)k

dengan M, N, dan R fungsi-fungsi dari x, y, dan z yang kontinu. Andaikan, W adalah kerja
yang dilakukan oleh medan gaya F untuk memindahlan suatu partikel sepanjang kurva mulus
sederhana C. Andaikan pula bahwa, r = xi + yj + zk adalah vektor posisi untuk titik P(x,y,z)
pada kurva C, seperti yang terlihat pada Gambar 4.3.1.

z
F
B
T

r
A y
x

Gambar 4.3.1.

dr
Jika T adalah vektor singgung satuan, di P, komponen singgung F di P adalah F•T.
ds
Dengan demikian kerja W yang dilakukan medan gaya F sepanjang kurva mulus sederhana C
dengan jarak Δs diberikan oleh :

W ≈ F•T Δs

Bilamana kerja W yang dilakukan sepanjang kurva C dari titik A sampai dengan titik B, maka
kerja W yang dilakukan oleh medan gaya F sepanjang kurva mulus sederhana C didefinisikan
oleh,

W= ∫C F • T ds
dr dt
Mengingat, T = , maka kerja W dapat ditulis menjadi,
dt ds
dr dt
W= ∫ F• ds
C dt ds
= ∫ F • dr
C

209
Selanjutnya, karena dr = dx i + dy j + dz k, dan F = M i + N j + R k, maka

F• dr = (M i + N j + R k)•(dx i + dy j + dz k)

= M dx + M dy + R dz

maka kerja W yang dilakukan oleh medan gaya F sepanjang kurva mulus sederhana C
diberikan oleh,

W= ∫C F • dr = ∫C M dx + N dy + R dz

Rumus integral pada bagian ruas kanan diatas dikenal dengan istilah integral garis. Rumus
diatas juga dapat dikembangkan untuk fungsi medan gaya pada ruang dimensi dua. Dengan
demikian usaha W yang dilakukan oleh medan gaya, F(x,y) = M(x,y)i + N(x,y)j, sepanjang
kurva mulus sederhana C dalam bidang diberikan oleh,

W= ∫C F • dr = ∫C M dx + N dy

Sedangkan untuk menghitung integral garis diatas dapat dialkukan dengan beberapa
pendekatan. Untuk lebih jelasnya sebagai ilustrasi perhitungan integral garis diatas,
perhatikanlah contoh berikut ini.

Contoh 4.3.1.
Misalkan suatu partikel bergerak dari titik (0,0) ke titik (2,4). Hitunglah kerja total yang
dilakukan oleh medan gaya :
2 2 2
F(x,y) = (x + xy )i + (x y + 2y)j,
2
bilamana, kurva C adalah berbentuk kurva paraboloida, y = x . Asumsikanlah jarak diukur
dalam meter, dan medan gaya dalam newton.
Penyelesaian
Perhatikanlah skesa grafik parabola seperti
2
pada Gambar 4.3.2, Dalam bentuk persamaan 4 y=x
2
parameter persamaan parabola, y = x
diberikan oleh :
2
x = t, y = t , 0 ≤ t ≤ 2.
Dengan demikiam persamaan fungsi vektor
2
dari parabola y = x adalah, x
2
r(t) = ti + t j 2
dan Gambar 4.3.2
r′(t) = i + 2t j
Dengan persamaan parameter tersebut, medan vektor F dapat ditulis menjadi,
2 2 2 22 2
F = (t + (t)(t ) )i + (t t + 2t )j,
2 5 4 2
= (t + t )i + (t + 2t )j,

Menurut definisi, oleh karenanya kerja W yang dilakukan oleh medan vektor F sepanjang
kurva C diberikan oleh :

210
( 2, 4)
W= ∫(0,0) F • dr
2 2 4 2
= ∫ 0 (t + t 5 )i + (t + 2t )j • (i + 2t j)dt
2 2
= ∫ 0 (t + 4t 3 + 3t 5 ) dt
2
⎡1 1 ⎤
= ⎢ t3 + t4 + t6 ⎥
⎣3 2 ⎦0
8
= + 16 + 32
3
152
=
3
152
Jadi kerja total yang dilakukan medan gaya F sepanjang kurva C adalah Joule .
3

Pendekatan lain yang dapat digunakan untuk menghitung kerja total diatas adalah dengan
menggunakan rumus :
W = ∫ M dx + N dy
C
2
= ∫C ( x + xy 2 ) dx + ( x 2 y + 2 y ) dy
Dengan rumus diatas, ambil variabel x sebagai parameter, dan substitusikan :
2
y=x ,
dy = 2x dx
dengan 0 ≤ x ≤ 2.

Jadi, integral garis diatas dapat dihitung pula dengan cara sebagai berikut yaitu,
2
W= ∫C ( x + xy 2 ) dx + ( x 2 y + 2 y ) dy
2 2
= ∫ 0 (x + x( y 2 ) 2 )dx + ( x 2 x 2 + 2 x 2 ) ( 2 x dx)
2 2
= ∫ 0 (x + 4 x 3 + 3x 5 ) dx
2
⎡1 1 ⎤
= ⎢ x3 + x 4 + x 6 ⎥
⎣3 2 ⎦0
8
= + 16 + 32
3
152
=
3
152
Jadi kerja total yang dilakukan medan gaya F sepanjang kurva C adalah Joule .
3

Perhatikanlah bahwa, baik menggunakan variabel x atau t sebagai parameter jedua variabel
menghasilkan hasil akhir yang sama, karena lintasannya sama. Dengan demikian integral
garis nilainya tidak tergantung pada variabel yang digunakan. Dengan demikian pendekatan
kerja total dapat digunakan untuk mendefinisikan integral garis. Berikut ini disajikan secara
formal dari definisi integral garis.

211
Andaikan C adalah suatu kurva pada ruang dimensi tiga yang diberikan oleh persamaan
vektor :
z
r(t) = x(t) i + y(t) j + z(t)k a≤t≤b F B

sedemikian rupa sehingga x′(t), y′(t), dan z′(t) C


kontinu pada interval tertutup a ≤ t ≤ b. A r
Lihat Gambar 4.3.3. Misalkan pula F adalah y
medan vektor yang didefinisikan oleh,

F(x,y,z) = M(x,y,z)i + N(x,y,z)j + R(x,y,z)k x


Gambar 4.3.3
dimana M, N, dan R fungsi dari x, y, dan z
yang kontinu. Maka integral garis F sepanjang kurva C didefinisikan oleh,

∫C F • dr = ∫C F(r(t )) • r′(t ) dt
= ∫ ( M x′ + N y’ + R z’) dt
C

Bilamana dr = dx i + dy j + dz k, maka integral garis diatas dapat dituliskan menjadi,

∫C F • dr = ∫C M (x,y,z)dx + N(x,y,z)dy + R(x,y,z)dz

Selanjutnya, andaikan C adalah suatu kurva pada ruang dimensi dua yang diberikan oleh
persamaan vektor :
y
r(t) = x(t) i + y(t) j a ≤ t ≤ b F B

sedemikian rupa sehingga x′(t), dan y′(t) C


kontinu pada interval tertutup a ≤ t ≤ b. A
Lihat Gambar 4.3.4. Misalkan pula F adalah r
medan vektor yang didefinisikan oleh, x

F(x,y) = M(x,y)i + N(x,y)j Gambar 4.3.4

dimana M, dan N fungsi-funsgi dari x, dan y yang kontinu. Maka integral garis F sepanjang
kurva C didefinisikan oleh,

∫C F • dr = ∫C F(r(t )) • r′(t ) dt
= ∫ M ( x(t ), y (t )) x′(t) dt + N(x(t),y(t)) y′(t) dt
C
Bilamana dr = dx i + dy j, maka integral garis diatas dapat dituliskan menjadi,

∫C F • dr = ∫C M (x,y)dx + N(x,y)dy

212
Contoh 4.3.1
2 2
Hitunglah integral garis dari, ∫C F • dr , jika F = x yi + (x – xy)j, apabila C adalah segmen
garis lurus dari (–1,1) ke (0,0) dan busur parabola dari (0,0) sampai dengan (2,4)
Penyelesaian
Perhatikanlah sketsa grafik kurva C seperti y
terlihat pada gambar. Dari sketsa pada 4 (2,4)
Gambar 4.3.5, terlihat bahwa lintasan kurva
C terdiri atas busur-busur sederhana C1
dan C2. Segmen busur C1 adalah garis lurus, (-1,1) C2
2
y = –x, dan C2 adalah busur parabola y = x . 1
Dengan demikian untuk menghitung integral C1
garisnya harus dihitung atas dua segmen garis
tersebut. Oleh karenanya integral garis dari –1 2 x
(-1,1) ke (2,4) diberikan oleh : Gambar 4.3.5

( 0,0) ( 2, 4)
∫C F • dr = ∫ C1 F • dr + ∫ C2 F • dr = ∫ (−1,1) F • dr + ∫ (0,0) F • dr

Menghitung, ∫ C1 F • dr
Untuk menghitung integral garis sepanjang busur C1, pada Gambar 4.3.5, yakni y = –x dari
(–1,1) ke (0,0) substitusikanlah :

y = –x, dan dy = –dx, –1 ≤ x ≤ 0

Dengan demikian dihasilkan,


(0,0) (0,0) 2
∫ C1 F • dr = ∫ (−1,1) F • dr = ∫ (−1,1) x y dx + ( x 2 − xy) dy
0
=∫ x 2 (− x) dx + ( x 2 − x(− x)) (−dx)
−1
0 2
= ∫ −1 (2 x − x 3 ) dx
0
⎡2 1 ⎤
= ⎢ x3 − x 4 ⎥
⎣3 4 ⎦ −1
2 1 11
= + =
3 4 12

Menghitung, ∫ C2 F • dr
2
Untuk menghitung integral garis sepanjang busur C2, pada Gambar 4.3.5, yakni y = x dari
(0,0) ke (2,4) substitusikanlah :
2
y = x , dan dy = 2x dx, 0 ≤ x ≤ 2

Dengan demikian dihasilkan,

213
( 2, 4)
∫ C2 F • dr = ∫ (0,0) F • dr
( 2, 4)
= ∫ (0,0) x 2 y dx + ( x 2 − xy ) dy
2
= ∫ x 2 ( x 2 ) dx + ( x 2 − x( x 2 )) (2 xdx)
0
2 3
= ∫ 0 (2 x − x 4 ) dx
2
⎡2 1 ⎤
= ⎢ x 4 − x5 ⎥
⎣4 5 ⎦0
32 32 32 8
= − = =
4 5 20 5
2 2
Jadi integral garis dari, x y dx+ (x – xy)dy, atas kurva C pada gambar 4.3.5 adalah,
( 2, 4 ) 2
∫C F • dr = ∫ (−1,1) x y dx + ( x 2 − xy ) dy
( 0,0) 2 ( 2, 4)
= ∫ (−1,1) x y dx + ( x 2 − xy) dy + ∫ (0,0) x 2 y dx + ( x 2 − xy ) dy
11 8 55 + 96 151
= + = =
12 5 60 60

Contoh 4.3.2
Hitunglah integral garis,
2
∫C F • dr = ∫ C (2 x − y 2 ) dx + 3 xy dy ,
dari (0,0) ke titik (1,1) bilamana C adalah sembarang kurva yang berbentuk :
(a). Garis lurus dari (0,0) ke (1,1)
2
(b). Parabola, y = x , dengan 0 ≤ x ≤ 1
2 3
(c). Persamaan parameter, x = t , y = t dengan 0 ≤ t ≤ 1.
Penyelesaian
Kasus pertama garis lurus. y
Perhatikanlah sketsa kurva C yang y=x
berbentuk garis lurus, y = x. pada
Gambar 4.3.6. Oleh karena itu
substitusikanlah,

y = x, dan dy = dx, 0 ≤ x ≤ 1 0 1 x
Gambar 4.3.6.
Sehingga dihasilkan,
(1,1)
∫C F • dr = ∫ (0,0) (2 x 2 − y 2 ) dx + 3 xy dy
1 2
= ∫ 0 (2 x − ( x) 2 ) dx + 3 x( x) dx
1
1 2 ⎡4 3⎤ 4
= ∫ 0 4 x dx = ⎢⎣ 3 x ⎥⎦ 0 = 3

214
2
Kasus kedua, parabola y = x y
2 2
Perhatikanlah sketsa grafik parabola y = x 1 y=x
seperti terlihat pada Gambar 4.3.7. Oleh
karena itu untuk menghitung integral garis
atas kurva tersebut substistusikanlah,
2
y = x , dan dy = 2x dx, 0 ≤ x ≤ 2 x
0 1
Sehingga dihasilkan, Gambar 4.3.7
(1,1)
∫C F • dr = ∫ (0,0) (2 x 2 − y 2 ) dx + 3xy dy
1 2
= ∫ 0 (2 x − ( x 2 ) 2 ) dx + 3x( x 2 ) (2 x dx)
1 2
= ∫ 0 (2 x + 5 x 4 ) dx
1
⎡2 ⎤ 2 5
= ⎢ x3 + x5 ⎥ = + 1 =
⎣3 ⎦0 3 3

Kasus ketiga, persamaan parameter,


2 3
Untuk persamaan parameter, x = t , y = t dengan 0 ≤ t ≤ 1. Untuk menghitung itegral
garisnya subsititusikanlah :
2
x = t , dx = 2t dt
3 2
y = t , dy = 3t dt
dengan 0 ≤ t ≤ 1. Sehingga dihasilkan,
(1,1)
∫C F • dr = ∫ (0,0) (2 x 2 − y 2 ) dx + 3xy dy
1 2 2
= ∫ 0 (2(t ) − (t 3 ) 2 ) (2tdt ) + 3(t 2 )(t 3 ) (3t 2 dt )
1 5
= ∫ 0 (4t + 7t 7 ) dt
1
⎡4 7 ⎤ 4 7 37
= ⎢ t 6 + t8 ⎥ = + =
⎣6 8 ⎦0 6 8 24

Contoh 4.3.3
Hitunglah integral garis,
2
∫C F • dr = ∫ C 2 xy dx + ( y − xz ) dy + 2 yz dz
dari titik (0,0,0) ke titik (1,2,1). Bilamana C adalah kurva yang berbentuk.
(a). Garis lurus dari (0,0,0) ke (1,2,1)
2 3
(b). Persamaan vektor, r(t) = t i + 2t j + t k, 0 ≤ t ≤ 1.
Penyelesaian
Kasus pertama, lintasan C garis lurus. Persaman garis lurus dari (0,0,0) ke titik (1,2,1), dalam
bentuk persamaan parameter adalah,

x = t, y = 2t, z = t, 0 ≤ t ≤ 1

215
Sehingga dihasilkan, dx = dt, dy = 2 dt, dz = dt. Dengan mensubsitusikan pada persamaan
integral garis dihasilkan,
(1,2,1) 2
∫C F • dr = ∫ (0,0,0) 2 xy dx + ( y − xz ) dy + 2 yz dz
1 2
= ∫ 0 2(t )(2t ) dt + ((2t ) − (t )(t ) 2dt + 2(2t )(t ) dt
1
1 2 ⎡10 3 ⎤ 10
= ∫ 0 10t dt = ⎢⎣ 3 t ⎥⎦ 0 = 3
2 3
Kasus Kedua. Untuk lintasan C berbentuk persamaan vektor r(t) = t i + 2t j + t k, 0 ≤ t ≤ 1.
Ambil sebagai persamaan paramaternya adalah,
2 3
x = t, y = 2t , z = t ,
2
maka dihasilkan, dx = dt, dy = 4t dt, dz = 3t dt. Dengan mensubsitusikan hasil diatas pada
persamaan integral garis dihasilkan,

(1,2,1) 2
∫C F • dr = ∫ (0,0,0) 2 xy dx + ( y − xz ) dy + 2 yz dz
1 2
= ∫ 0 2(t )(2t ) dt + ((2t 2 ) 2 − (t )(t 3 )) ( 2t dt ) + 2(2t 2 )(t 3 ) (3t 2 dt )
1 3
= ∫ 0 (4t + 2t 5 + 12t 7 ) dt
1
⎡ 1 3 ⎤
= ⎢t 4 + t 6 + t 8 ⎥
⎣ 3 2 ⎦0
1 3 17
= 1+ + =
3 2 6

Dari kedua contoh diatas terlihat bahwa untuk lintasan C yang berbeda menghasilkan nilai
integral garis yang berbeda, baik integral garis dalam bidang maupun integral garis dalam
ruang. Pada kasus demikian nilai integral garis tergantung pada lintasan yang digunakan.
Sedangkan pada kasus berikut ini, nilai integral garis tidak tergantung pada lintasannta.
Untuk lebih jelasnya perhatikanlah contoh berikut ini.

Contoh 4.3.4
Hitunglah integral garis,
2
∫C F • dr = ∫ C (2 x − xy 2 ) dx + (4 y − x 2 y ) dy
dari titik (0,0) ke titik (2,4). Bilamana C adalah kurva yang berbentuk.
(a). Garis lurus y = 2x dari (0,0) ke (2,4)
2
(b). Parabola, y = x .
Penyelesaian
Kasus pertama garis lurus.
Untuk kurva C berbentuk garis lurus y = 2x, untuk menghitung integral garisnya ambil
sebagai persamaan paramternya adalah, x = t, y = 2t, 0 ≤ t ≤ 2. Dengan mensubtitusikan x = t,
dx = dt, y = 2t, dan dy = 2dt, maka dihasilkan :

216
( 2,4)
∫C F • dr = ∫ (0,0) (2 x 2 − xy 2 ) dx + (4 y − x 2 y ) dy
2 2
= ∫ 0 (2(t ) − t (2t ) 2 ) (dt ) + (4(2t ) − (t ) 2 (2t )) (2dt )
2 2
= ∫ 0 (16t + 2t − 8t 3 ) dt
2
⎡ 2 ⎤
= ⎢8t 2 + t 3 − 2t 4 ⎥
⎣ 3 ⎦0
16 16
= 32 + - 32 =
3 3
2
Kasus kedua, parabola y = x
2
Untuk kurva C berbentuk garis parabola,y = x , untuk menghitung integral garisnya ambil
sebagai persamaan paramternya adalah,
2
x = t, y = t , 0 ≤ t ≤ 2.
2
Dengan mensubtitusikan x = t, dx = dt, y = t , dan dy = 2t dt, maka dihasilkan :

( 2,4)
∫C F • dr = ∫ (0,0) (2 x 2 − xy 2 ) dx + (4 y − x 2 y ) dy
2 2
= ∫ 0 (2(t ) − t (t 2 ) 2 ) (dt ) + (4(t 2 ) − (t ) 2 (t 2 )) (2t dt )
2 2
= ∫ 0 (2t + 8t 3 − 3t 5 ) dt
2
⎡2 1 ⎤
= ⎢ t 3 + 2t 4 − t 6 ⎥
⎣3 2 ⎦0
16 16
= + 32 - 32 =
3 3

Contoh 4.3.5
Hitunglah integral garis,
3
∫C F • dr = ∫ C (4 x − xy 2 ) dx + y (2 z − x 2 ) dy + ( y 2 + z ) dz
dari titik (0,0,0) ke titik (1,1,2). Bilamana C adalah kurva yang berbentuk.
(a). Garis lurus dari (0,0,0) ke (1,1,2)
2 3
(b). Persamaan vektor, r(t) = t i + t j + 2t k, 0 ≤ t ≤ 1.
Penyelesaian
Kasus pertama, lintasan C garis lurus. Persaman garis lurus dari (0,0,0) ke titik (1,1,2), dalam
bentuk persamaan parameter adalah,
x = t, y = t, z = 2t, 0 ≤ t ≤ 1

Sehingga dihasilkan, dx = dt, dy = dt, dan dz = 2dt. Dengan mensubsitusikan pada persamaan
integral garis dihasilkan,

217
(1,1,1) 3
∫C F • dr = ∫ (0,0,0) (4 x − xy 2 ) dx + y (2 z − x 2 ) dy + ( y 2 + z ) dz
1
= ∫0 (4t 3 − t (t 2 )) dt + t (4t − t 2 ) dt + (t 2 + 2t ) (2dt )
1 3
= ∫ 0 (2t + 6t 2 + 4t ) dt
1
⎡1 ⎤
= ⎢ t 4 + 2t 3 + 2t 2 ⎥
⎣2 ⎦0
1 9
= +2+2=
2 2

2 3
Kasus Kedua. Untuk lintasan C berbentuk persamaan vektor r(t) = t i + t j + 2t k, 0 ≤ t ≤ 1.
Ambil sebagai persamaan paramaternya adalah,
2 3
x = t, y = t , z = 2t ,
2
maka dihasilkan, dx = dt, dy = 2t dt, dz = 6t dt. Dengan mensubsitusikan hasil diatas pada
persamaan integral garis dihasilkan,

(1,1,1) 3
∫C F • dr = ∫ (0,0,0) (4 x − xy 2 ) dx + y (2 z − x 2 ) dy + ( y 2 + z ) dz
1
= ∫0 (4t 3 − t (t 2 ) 2 ) dt + t 2 (4t 3 − t 2 ) (2tdt ) + ((t 2 ) 2 + 2t 3 ) (6t 2 dt )
1 3
= ∫ 0 (4t + 9t 5 + 14t 6 ) dt
1
⎡ 3 ⎤
= ⎢t 4 + t 6 + 2t 7 ⎥
⎣ 2 ⎦0
3 9
=1+ +2=
2 2

Dari kedua contoh terakhir ini terlihat bahwa untuk lintasan C yan berbeda menghasilkan
nilai integral garis yang sama, baik untuk kasus integral garis dalam bidang maupun integral
garis dalam ruang. Pada kasus demikian ini, nilai integral garis tidak tergantung pada lintasan
C yang digunakan. Integral garis semacam kasus ini disebut dengan kebebasan lintasan
integral garis. Kasus-kasu demikian ini akan dibahas lebih lanjut pada sub bab kebebasan
lintasan integral garis.

Soal-soal Latihan 4.3.


Dalam soal-soal latohan berikut ini, hitunglah nilai integral garis yang diberikan

2
1. ∫ C (x y + y 2 ) dx + xy dy dari titik (0,0) ke titik (2,4), dan bilamana C adalah lintasan
2
berbentuk (a) garis lurus, (b) parabola y = x .

218
2
2. ∫ C ( xy − x 2 ) dx + x 2 y dy dari titik (0,0) ke titik (4,2), dan bilamana C adalah lintasan
2
berbentuk (a) garis lurus, dan (b) parabola x = y .
3. ∫C x( y 2 − x 2 ) dx + x 2 y dy dari titik (0,0) ke titik (1,1), dan bilamana C adalah lintasan
2 2 3
berbentuk (a) parabola y = x , dan (b) persamaan vektor, r(t) = t i + t j, 0 ≤ t ≤ 1.
4. ∫C x( x 2 − y 2 ) dx + x 2 y dy dari titik (0,0) ke titik (1,1), dan bilamana C adalah lintasan
3 3 2
berbentuk (a) parabola y = x , dan (b) persamaan vektor, r(t) = t i + t j, 0 ≤ t ≤ 1.
5. ∫C x( x 2 + y 2 ) dx − y ( x 2 − 2) dy dari titik (0,0) ke titik (2,4), dan bilamana C adalah
2
lintasan berbentuk (a) garis lurus, y = 2x, (b) persamaan vektor, r(t) = t i + t j, 0 ≤ t ≤ 2.
2
6. ∫ C (x − y 2 ) dx − y (2 x − y ) dy dari titik (0,0) ke titik (2,4), dan bilamana C adalah
2
lintasan berbentuk (a) garis lurus, y = 2x, (b) persamaan vektor, r(t) = t i + t j, 0 ≤ t ≤ 2.
2
7. ∫ C (x + xy 2 ) dx + ( x 2 y − y 2 ) dy dari titik (0,0) ke titik (1,1), dan bilamana C adalah
2 3 2
lintasan berbentuk (a) parabola, y = x , (b) persamaan vektor, r(t) = t i + t j, 0 ≤ t ≤ 1.
3
8. ∫ C (x + y 3 ) dx + (3xy 2 − 3 y ) dy dari titik (0,0) ke titik (1,1), dan bilamana C adalah
2 3
lintasan berbentuk (a) parabola, x = y , (b) persamaan vektor, r(t) = t i + t j, 0 ≤ t ≤ 1.
3
9. ∫ C 2 x(1 − y ) dx − (3x 2 y 2 − 3 y ) dy dari titik (0,0) ke titik (1,1), dan bilamana C adalah
3 2
lintasan berbentuk (a) kubik, y = x , (b) persamaan vektor, r(t) = t i + t j, 0 ≤ t ≤ 1.
10. ∫ x(3 x + y 2 ) dx + y ( x 2 − 3 y ) dy dari titik (0,0) ke titik (1,1), dan bilamana C adalah
C
3 2 3
lintasan berbentuk (a) parabola, x = y , (b) persamaan vektor, r(t) = t i + t j, 0 ≤ t ≤ 1.
2
11. ∫ x(3 x − y 2 ) dx − y ( x 2 − 3 y ) dy dengan C adalah lintasan berbentuk parabola, y = x dari
C
(–1,1) dan dilanjutkan dengan garis lurus dari (0,0) ke (2,2)
12. ∫ ( x 2 − xy 2 ) dx + 2 xy dy dengan C adalah lintasan berbentuk garis lurus dari (–1,1) ke
C
2
(0,0) dan dilanjutkan dengan parabola, y = x dari (0,0) ke (2,4)
13. ∫ (2 x − x 2 y ) dx + 2 xy 2 dy dengan C adalah lintasan berbentuk garis lurus dari (0,0) ke
C
2
(1,1) dan dilanjutkan dengan parabola, y = x dari (1,1) ke (2,4)
2 2
14. ∫ C (3x − xy ) dx − x 2 y dy dengan C adalah lintasan parabola, y = x dari (–1,1) ke (0,0)
2 3
dan dilanjutkan dengan persamaan vektor, r(t) = t i + t j, 0 ≤ t ≤ 1.
2
15. ∫ C (4 x + xy ) dx + ( x 2 y − 3 y ) dy dengan C adalah lintasan berbentuk persamaan vektor,
2 3 2
r(t) = t i + t j, 0 ≤ t ≤ 1, dan dilanjutkan dengan parabola y = y = x dari (1,1) ke (2,4).

16. ∫C x( y 2 + 3z 2 ) dx + y ( x 2 − z 2 )dy + z (3x 2 − y 2 + 2) dz dengan C adalah lintasan


2 3
berbentuk persamaan vektor, r(t) = t i + t j + t k, 0 ≤ t ≤ 1,

219
2
17. ∫ C ( xy + 3z 2 ) dx + ( yx 2 − z 2 )dy + ( x 2 − y 2 + 2) dz dengan C adalah lintasan berbentuk
persamaan vektor, r(t) = t i + 2t j + 3t k, 0 ≤ t ≤ 1,
2
18. ∫ C (x + yz ) dx + y ( x − z )dy + 2 xy dz dengan C adalah lintasan berbentuk persamaan
2 3
vektor, r(t) = t i + t j + t k, 0 ≤ t ≤ 1,
19. ∫ C 2 xyz dx + 3xz dy + 4 z ( x + y) dz dengan C adalah lintasan berbentuk persamaan vektor,
3 2
r(t) = t i + t j + t k, 0 ≤ t ≤ 1,
20. ∫C x( y − z ) dx + y ( x − z ) dy + 4 xy dz dengan C adalah lintasan berbentuk persamaan
2 3
vektor, r(t) = t i + t j + t k, 0 ≤ t ≤ 1,
21. ∫C x( y − z 2 ) dx + y ( x 2 − z ) dy + 4 xyz dz dengan C adalah lintasan berbentuk persamaan
2 3
vektor, r(t) = t i + t j + t k, 0 ≤ t ≤ 1,
22. ∫C x( y 2 − z 2 ) dx + y ( x 2 − z 2 ) dy − z ( x 2 + y 2 − 2) dz dengan C adalah lintasan berbentuk
2 3
persamaan vektor, r(t) = t i + t j + t k, 0 ≤ t ≤ 1,
23. ∫C x( y 2 − z 2 ) dx + y ( x 2 − z 2 ) dy − z ( x 2 + y 2 − 2) dz dengan C adalah lintasan berbentuk
3 2
persamaan vektor, r(t) = t i + t j + t k, 0 ≤ t ≤ 1,
24. ∫C x( y 2 − 2 z ) dx + y ( x 2 − 2 z ) dy − ( x 2 + y 2 − 2 z ) dz dengan C adalah lintasan berbentuk
3 2
persamaan vektor, r(t) = t i + t j + t k, 0 ≤ t ≤ 1,
2
25. ∫ C (2 x − y 2 + z 2 ) dx + 2 y ( z − x) dy + (2 xz + y 2 − 3z ) dz dengan C adalah lintasan yang
3 2
berbentuk persamaan vektor, r(t) = t i + t j + t k, 0 ≤ t ≤ 1,

220
4.4. Kebebasan Lintasan Integral Garis

Dari berbagai contoh yang telah dibahas pada sub bab 4.3., dan sebagaimana telah dijelaskan
pada akhir pembahasan pada sub 4.3, bahwa pada penghitungan integral garis, diperoleh dua
inormasi yang cukup penting, yakni pertama nilai integral garis akan berbeda apbila lintasan
C berbeda. Sedangkan informasi kedua adalah nilai integral garis akan menghasilkan nilai
yang sama walaupun lintasan yang digunakan berbeda, dengan kata lain nilai integral garis
tidak tergantung pada lintasan C yang digunakan. Integral garis semacam ini disebut dengan
integral garis yang tidak tergantung pada lintasan, atau kebebasan lintasan integral garis.
Teorema dasar integral garis berikut ini memberikan dasar dan atau syarat-syarat yang
diperlukan agar supaya nilai integral garis tidak tergantung pada lintasan yang digunakan.

Teorema A

Andaikan C adalah kurva mulus sederhana sepotong-sepotong yang menghubungkan titik


A(x1, y1) ke titik B(x2,y2) yang terletak pada bidang. Misalkan F(x,y) = M(x,y)i + N(x,y)j
adalah medan vektor konservatif, dan f adalah suatu fungsi potensial untuk F. Maka integral
garis, ∫ F • dr tidak tergantung pada lintasan C, dan
C

∫C F • dr = f(x2,y2) – f(x1, y1)

Atas dasar hal itu, berikut ini disajikan tiga persyaratan yang dapat digunakan untuk
memudahkan menghitung integral garis, dimana medan vektor F adalah konservatif, yaitu :
1). F = ∇f, untuk suatu medan vektor skalar f, dengan F medan vektor konservatif
2). ∫ F • dr tidak tergantung pada lintasan C, jika F medan vektor konservatif
C
3). ∫C F • dr = 0 untuk setiap lintasan tertutup C, jika F medan vektor konservatif
Sebagai ilustrasi penggunaan teorema diatas, kembali pada Contoh 4.3.4, telah diperoleh
2 2 2
bahwa nilai integral garis dari medan vektor F(x,y) = (2x – xy )i + (4y – x y)j dari titik (0,0)
ke titik (2,4), yaitu :
2 2 2 16
∫C F • dr = ∫ C (2 x − xy ) dx + (4 y − x y ) dy = 3
Bilamana diterapkan teorema diatas, dari medan vektornya diperoleh :
2 2 2
M(x,y) = 2x – xy N(x,y) = 4y – x y
M y (x,y) = –2xy N x (x,y) = –2xy

Karena, M y (x,y) = N x (x,y) = –2xy, maka medan vektor yang diberikan adalah konservatif
sedemikian rupa berlaku F = ∇f . Dengan metode yang telah dikembangkan pada bagian
medan vektor konservatif, fungsi potensial f(x,y) untuk medan vektor F adalah :

2 3 1 2 2
f(x,y) = x − x y + 2y2 + c
3 2

221
Karena F medan vektor konservatif, maka integral garis yang diberikan tidak tergantung pada
lintasan C. Dengan demikian menurut teorema diatas,

( 2, 4)
∫C F • dr = ∫ (0,0) (2 x 2 − xy 2 ) dx + (4 y − x 2 y ) dy
( 2, 4)
⎡2 1 ⎤
= ⎢ x3 − x 2 y 2 + 2 y 2 ⎥
⎣3 2 ⎦ (0,0)
16 16
= − 32 + 32 =
3 3

Perhatikanlah bahwa hasil ini memberikan hasil yang sama dengan contoh pada 4.3.4
sebelumnya. Dari teorema diatas terlihat bahwa persyaratan yang harus dipenuhi adanya
kebebasan lintasan integral garis pertama lintasan C adalah kontinu, dan medan vektor F
adalah konservatif. Berikut ini disajikan contoh-contoh pengggunaannya.

Contoh 4.4.1
Hitunglah, ∫ F • dr dari titik A(0,1) ke (1,2) dimana medan vektornya adalah,
C
3 x 2 2 x 2
F(x,y) = (2xy + ye )i + (3x y + e – y )j
Penyelesaian :
Dari contoh 4.2.1, telah diketahui bahwa medan vektor F adalah konservatif dan dengan
metode yang telah dikembangkan pada bagian medan vektor konservatif, fungsi potensial
f(x,y) diberikan oleh,
2 3 1
f(x,y) = x y + ye – y 3 + c
x
3
Sehingga dengan menerapkan Teorema A, maka diperoleh :
(1, 2)
∫C F • dr = ∫ (0,1) (2 xy 3 + ye x ) dx + (3 x 2 y 2 + e x − y 2 ) dy
(1, 2)
⎡ 1 ⎤
= ⎢ x 2 y 3 + ye x − y 3 ⎥
⎣ 3 ⎦ (0,1)
⎛ 8⎞ ⎛ 1⎞ 14
= ⎜ 8 + 2e − ⎟ – ⎜ 0 + 1 − ⎟ = + 2e
⎝ 3⎠ ⎝ 3⎠ 3

Contoh 4.4.2
3
Hitunglah, ∫ C (2 x + y 3 ) dx + (3 xy 2 − 12 y ) dy dari titik (–1,1) ke titik (2,4) dengan cara
langsung dan menggunakan teorema
Penyelesaian
Menentukan fungsi skalar f
Medan vektor dari soal yang diberikan adalah,
3 3 2
F(x,y) = (2x + y )i + (3xy – 12y)j
Dari medan vektor F dihasilkan,
3 3 2
M(x,y) = 2x + y N(x,y) = 3xy – 12y
2 2
M y (x,y) = 3y N x (x,y) = 3y

222
2
Karena, M y (x,y) = N x (x,y) = 3y , maka medan vektor F adalah medan vektor konservatif
sedemikian rupa berlaku F = ∇f, dan dengan metode yang telah dikembangkan pada bagian
medan vektor konservatif, fungsi potensial f(x,y) diberikan oleh,
1
f(x,y) = x 4 + xy 3 − 6 y 2 + c
2

Menghitung ∫C F • dr
Karena medan vektor F konservatif, maka nilai integral garisnya tidak tergantung pada
lintasan C. Oleha karena itu untuk menghitungnya dapat dialkukan dengan dua pendekatan
yaitu dengan mengambil sembarang kurva C yang menghubungkan kedau titik atau langsung
dengan teorema. Pendekatan pertama, andaikanlah bahwa lintasan yang digunakan yang
2
menghubungkan titik (-1,1) ke titik (2,4) adalah parabola y = x , -1 ≤ x ≤ 2. Selanjutnya
2
dengan mensubstitusikan, y = x , dy = 2xdx, -1 ≤ x ≤ 2 dihasilkan :

( 2, 4) 3
∫C F • dr = ∫ (−1,1) (2 x + y 3 ) dx + (3 xy 2 − 12 y ) dy
2 3
= ∫ −1 (2 x + x 6 ) dx + (3 x 5 − 12 x 2 ) (2 xdx)
2 6
= ∫ −1 (7 x − 22 x 3 ) dx
2
⎡ 11 ⎤
= ⎢x7 − x4 ⎥
⎣ 2 ⎦ −1
⎛ 11 ⎞ 93
= (128 – 88) – ⎜ − 1 − ⎟ =
⎝ 2⎠ 2

Pendekatan kedua untuk menghitung integral garus diatas adalah dengan menggunakan
3 3 2
Teorema A. Karena, F(x,y) = (2x + y )i + (3xy – 12y)j konservarif, dan sedemikian rupa
berlaku F = ∇f, maka menurut teorema :
( 2, 4) 3
∫C F • dr = ∫ (−1,1) (2 x + y 3 ) dx + (3 xy 2 − 12 y ) dy
( 2, 4 )
⎡1 ⎤ ⎛1 ⎞
= ⎢ x 4 + xy 3 − 6 y 2 ⎥ = [8 + 128 – 96) – ⎜ − 1 − 6) ⎟
⎣2 ⎦ ( −1,1) ⎝2 ⎠
1 93
= 47 − =
2 2
Perhatikanlah bahwa baik pendekatan pertama dan kedua menghasilkan integral garis dengan
nilai yang sama, jadi,
( 2, 4) 3 3 2 93
∫ (−1,1) (2 x + y ) dx + (3xy − 12 y ) dy = 2
Contoh 4.4.3.
Hitunglah, ∫ F • dr dari titik A(0,1) ke (1,2) dimana medan vektornya adalah,
C
⎛ x2 ⎞
F(x,y) = (2x ln y + y e xy )i + ⎜ + xe xy − y ⎟ j
⎜ y ⎟
⎝ ⎠

223
Penyelesaian :
Dari fungsi medan vektornya, dihasilkan:
x2
M(x,y) = 2x ln y + y e xy N(x,y) = + xe xy − y
y
2x 2x
M y (x,y) = + e xy + y e xy (x) N x (x,y) = + e xy + x e xy (y)
y y
2x 2x
= + (1 + xy) e xy = + (1 + xy) e xy
y y
2x
Karena, M y = N x (x,y) = + (1 + xy) e xy , maka fungsi medan vektor F yang diberikan
y
adalah konservatif, sedemikian rupa sehingga berlaku F(x,y) = ∇f(x,y). Dengan metode yang
telah dikembangkan pada bagian medan vektor konservatif, fungsi potensial f(x,y) untuk
medan vektor F diberikan oleh,
2 1
f(x,y) = x ln y + e xy – y 2 + c
2
⎛ x2 ⎞
Jadi menurut Teorema integral garis dari F(x,y) = (2x ln y + y e xy )i + ⎜ + xe xy − y ⎟ j dari
⎜ y ⎟
⎝ ⎠
titik A(0,1) ke (1,2) tidak tergantung pada lintasan yang digunakan. Jadi nilai integral
garisnya diberikan adalah,
(1, 2) ⎛ x2 ⎞
⎜ + xe xy − y ⎟ dy
∫C ∫ (0,1)
xy
F • dr = ( 2 x ln y + ye ) dx +
⎜ y ⎟
⎝ ⎠
(1, 2)
⎡ 1 ⎤ 5
= ⎢ x 2 ln y + e xy − y 2 ⎥ = ln 2 + e 2 −
⎣ 2 ⎦ (0,1) 2

Dari contoh-contoh diatas terlihat bahwa, jika F konservatif penghitungan integral garis mirip
dengan teorema dasar kalkulus. Oleh karenanya Teorema kebebasan lintasan integral garis ini
dikenal pula dengan teorema Dasar Kalkulus Integral Garis. Kebebasan integral garis ini
berlaku pada ruang dimensi tiga. Hal ini dinyatakan pada teorema berikut ini.

Teorema B

Misalkan C adalah lintasan mulus sederhana sepotong-potong kontinu dari titik A(x1, y1, z1)
ke titik B(x2, y2,z2) yang terletak pada ruang dimensi tiga. Misalkan :
F(x,y,z) = M(x,y,z)i + N(x,y,z)j + R(x,y ,z)k
adalah medan vektor konservatif, dan f(x,y,z) adalah suatu fungsi potensial untuk F. Maka
integral garis, ∫ F • dr tidak tergantung pada lintasan C, dan
C

∫C F • dr = f(x2,y2,z2) – f(x1,y1,z1)
Sebagai ilustrasu manfaat yang sangat penting dari teorema diatas adalah penerapannya
dalam bidang ilmu fisika, yakni Hukum Kekekalan Energi. Hukum ini menyatakan bahwa
jumlahan energi kinetik dan energi potensial adalah konstan.

Andaikan bahwa suatu benda bermassa m bergerak sepanjang kurva C yang diberikan oleh,
r(t) = x(t)i + x(t)i + y(t)j + z(t)k

224
Bilamana medan gaya vektor F konservatif, sedemikian rupa berlaku F(r) = ∇f(r). Dari ilmu
fisika mekanika diperoleh bahwa :
(i). F(r) = m a(t) = m r′′(t)
1 2
(ii). KE = m| r | r(t) (KE = Energi Kinetik)
2
(iii). PE = –f(r). (PE = Energi Potensial)

Selanjutnya dengan mendeferensialkan KE dan PE terhadap waktu t diperoleh,


d d ⎡1 ⎤
(KE + PE) = ⎢ m | r ′(t ) |2 − f (r )⎥
dt dt ⎣ 2 ⎦
1 ⎛ ∂f ∂x ∂f ∂y ∂f ∂z ⎞
= m[ r′ (t) r′ (t) ]′ – ⎜⎜ + + ⎟⎟
2 ⎝ ∂x ∂t ∂y ∂t ∂z ∂t ⎠
= m r′′(t) r′(t) – ∇f(r) r′(t) = [m r′′(t) – ∇f(r)] r′(t)
= [F(r) – F(r)] r′(t)
=0

d
Karena, (KE + PE) = 0, dan menurut definisi turunan, fungsi turunan yang hasilnya nol
dt
adalah konstanta. Jadi terbuktilah bahwa (KE + PE) = adalah konstan. Dengan kata lain
jumlahan energi kinetik dan energi potensial adalah konstan.

Contoh 4.4.4
Buktikanlah bahwa integral garis,
⎛ x2 ⎞
3 2z ⎜ 2 2z ⎟
dy + (2 xy 3e 2 z + z )dz
∫C F • dr = ∫C ( x ln x + 2 x ln y + y e ) dx +
⎜ y
+ 3 xy e

⎝ ⎠
tidak tergantung pada lintasan C, dan hitunglah nilai integral garisnya dari titik (1,1,0) ke titik
(e,e,1)
Penyelesaian
Integral garis tidak tergantung pada lintasan C, bilamana medan vektor F merupakan gradien
medan skalar f atau medan vektornya adalah konservatif. Dari integral garis diketahui bahwa
fungsi medan vektornya adalah,
3 2z x2 2 2z 3 2z
F(x,y,z) = (x ln x + 2x ln y + y e )i + ( + 3xy e )j + (z + 2xy e )k
y
Dari contoh soal 4.2.5, telah diketahui bahwa medan vektor F diatas adalah konservatif, dan
fungsi pembangkitnya adalah,
1 2 1
f(x,y,z) = z 2 + xy 3e 2 z + x ln y + x 2 (2 ln x − 1) + c
2 4
Karena medan vektor F konservatif, menurut teorema B integral garis yang diberikan tidak
tergantung pada lintasan C, dan nilai integral garis dari titik (1,1,0) ke titik (e,e,1) adalah,
( e, e,1) ⎛ x2 ⎞
3 2z ⎜ 2 2z ⎟
dy + (2 xy 3e 2 z + z )dz
∫C F • d r = ∫ (1,1,0) ( x ln x + 2 x ln y + y e ) dx +
⎜ y
+ 3 xy e

⎝ ⎠
( e, e,1)
⎡1 1 ⎤ 5 3
= ⎢ x 2 (2 ln x − 1) + x 2 ln y + xy 3e 2 z + z 2 ⎥ = e 2 + e6 −
⎣4 2 ⎦ (1,1,0) 4 4

225
Contoh 4.4.5
Hitunglah integral garis,
3
∫C F • dr = ∫ C (4 x − xy 2 ) dx + y (2 z − x 2 ) dy + ( y 2 + z ) dz
dari titik (0,0,0) ke titik (1,1,2), dengan menggunakan teorema bilamana F konservatif
Penyelesaian
9
Dari contoh 4.3.5 pada sub bagian 4.3, bahwa nilai integral garis diatas . Dari masalah
2
yang diberikan diketahui bahwa,
3 2 2 2
F(x,y,z) = (4x – xy )i + y(2z – x )j +(y + z)k
Dari medan vektor F diperoleh fungsi-fungsi dan turunan parsialnya yaitu ,
3 2 2 2
M(x,y,z) = 4x – xy N(x,y,z) = y(2z – x ) R(x,y,z) = y – z
M y (x,y,z) = –2xy N x (x,y,z) = –2xy Rx (x,y,z) = 0
M z (x,y,z) = 0 N z (x,y,z) = 2y R y (x,y,z) = 2y
Karena,
M y (x,y,z) = N x (x,y,z) = –2xy ,
M z (x,y,z) = R x (x,y,z) = 0,
N z (x,y,z) = R y (x,y,z) = 2y
Maka dapat disimpulkan bahwa medan vektor F adalah konservatif, atau medan vektor F
adalah merupakan gradien dari medan skalar f, sedemikian rupa berlaku F= ∇f. Dengan
metode yang telah dikembangkan pada bagian medan vektor konservatif, fungsi potensial
f(x,y,z) diberikan oleh,
1 1
f(x,y,z) = x 4 − x 2 y 2 + y 2 z + z 2 + c
2 2
Selanjutnya, karena medan vektor F konservatif, maka integral garisnya tidak tergantung
pada lintasan C. Menurut teorema, nilai integral garisnya diberikan oleh :
(1,1,2) 3
∫C F • dr = ∫ (0,0,0) (4 x − xy 2 ) dx + y (2 z − x 2 ) dy + ( y 2 + z ) dz
(1,1, 2)
⎡ 1 1 ⎤
= ⎢x4 − x2 y 2 + y2 z + z 2 ⎥
⎣ 2 2 ⎦ ( 0, 0, 0 )
⎛ 1 ⎞ 9
= ⎜1 − + 2 + 2 ⎟ =
⎝ 2 ⎠ 2
Perhatikanlah hasil ini ternyata sama nilainya dengan hasil contoh 4.3.5

Contoh 4.4.6
Buktikanlah bahwa integral garis,

∫C F • dr = ∫ C x(2 y 3 + z 2 )dx + 3 y 2 ( x 2 − z )dy + ( x 2 z − y 3 + 2)dz


tidak tergantung pada lintasan C, dan hitunglah integral garis yang diberikan dari titik (1,1,1)
ke titik (2,2,4) bilamana C adalah sembarang lintasan dan kedua menggunakan teorema
Penyelesaian
Persyaratan agar supaya nilai integral garis yang tidak tergantung pada lintasan, adalah
medan vektor F yang diberikan konservatif. Dari integral garis yang diberikan diketahui
bahwa medan vektornya adalah,

226
3 2 2 2 2 3
F(x,y,z) = x(2y + z )i + 3y (x – z)j + (x z – y + 2)k

Dari medan vektor diatas diperoleh fungsi-fungsi dan turunan parsialnya yaitu,
3 2 2 2 2 3
M(x,y,z) = x(2y + z ) N(x,y,z) = 3y (x – z) R(x,y,z) = x z – y + 2
2 2
M y (x,y,z) = 6xy N x (x,y,z) = 6xy Rx (x,y,z) = 2xz
2 2
M z (x,y,z) = 2xz N z (x,y,z) = –3y R y (x,y,z) = –3y
Karena,
2
M y (x,y,z) = N x (x,y,z) = 6xy
M z (x,y,z) = R x (x,y,z) = 2xz
2
N z (x,y,z) = R y (x,y,z) = –3y
Maka dapat disimpulkan bahwa medan vektor F adalah konservatif, atau medan vektor F
adalah merupakan gradien dari medan skalar f, sedemikian rupa berlaku F= ∇f. Dengan
metode yang telah dikembangkan pada bagian medan vektor konservatif, fungsi potensial
f(x,y,z) diberikan oleh,
1
f(x,y,z) = x 2 y 3 + x 2 z 2 − y 3 z + 2 z + c
2
Selanjutnya, karena medan vektor F konservatif, maka integral garisnya tidak tergantung
pada lintasan C. Karena lintasan C boleh diambil sembarang, maka sebagai lintasan yang
menghubungkan titik (1,1,1) dengan titik (2,2,4), ambil persamaan parameternya adalah :
2
x = t, y = t, z=t
dx = dt, dy = dt, dz = 2t dt,
dengan 1 ≤ t ≤ 2. Jadi,
( 2, 2, 4)
∫C F • dr = ∫ (1,1,1) x(2 y 3 + z 2 )dx + 3 y 2 ( x 2 − z )dy + ( x 2 z − y 3 + 2)dz
2
= ∫1 t (2t 3 + t 4 )dt + 3t 2 (t 2 − t 2 )dt + (t 4 − t 3 + 2)(2tdt )
2
2 ⎡ 1 ⎤
5
= ∫ (4t + 3t )dt = ⎢2t 2 + t 6 ⎥
1 ⎣ 2 ⎦1
5 71
= 38 − =
2 2

Pendekatan lain untuk menghitung integral garis diatas adalah menggunakan teorema. Karena
medan vektor F konservatif, maka dengan menerapkan teorema, nilai integral garisnya
diberikan oleh :
( 2, 2,4)
∫C F • dr = ∫ (1,1,1) x(2 y 3 + z 2 )dx + 3 y 2 ( x 2 − z )dy + ( x 2 z − y 3 + 2)dz
( 2, 2, 4)
⎡ 1 ⎤
= ⎢x2 y3 + x2 z 2 − y3 z + 2z⎥
⎣ 2 ⎦ (1,1,1)
5 71
= 38 − =
2 2

227
Soal-soal Latihan 4.4.
Dalam soal-soal latihan berikut ini, tunjukkanlah bahwa integral garis berikut ini tidak
tergantung pada lintasan C. Kemudian hitung nilai integral garisnya dengan menggunakan
sembarang lintasan yang saudara tentukan sendiri.
2 3 2 2
1. ∫ C ( 2xy – y )dx + (2x – 3xy + 3y)dy dengan C adalah sembarang lintasan kurva dari
titik (1,1) ke titik (4,2).
2 2 3 2
2. ∫ ( 2x + 3x y )dx + (2x y – 3y )dy dengan C adalah sembarang lintasan kurva dari titik
C
(–2,4) ke titik (1,1).
∫C ( e
x
3. + ye xy )dx + (1 + xe xy ) dy dengan C adalah sembarang lintasan kurva dari titik
(0,0) ke titik (1,1).
∫C ( x + xe
x
4. sin y )dx + ((x – 1) e x cos y + 3y)dy dengan C adalah sembarang lintasan
⎛ π⎞ ⎛ π⎞
kurva dari titik ⎜1, ⎟ ke titik ⎜ 2, ⎟ .
⎝ 4⎠ ⎝ 2⎠
2 2 2
5. ∫ ( 2xy – x )dx + (x + 3y )dy dengan C adalah sembarang lintasan kurva dari titik (1,1)
C
ke titik (2,4).
2 2 2 2 2 2
6. ∫ ( 3x + 6xy – 2y )dx + (3x – 4xy + 6y )dy dengan C adalah busur ellips 4x + 9y = 36
C
dari titik pada sumbu x ke titik pada sumbu y di kuadran pertama
2 2 2
7. ∫ ( 4x + 2xy )dx + (2x y – 2y )dy dengan C adalah susur lingkaran dengan pusat (0,0)
C
dan jari-jari 2 dari titik pada sumbu x positip ke titik pada sumbu y negatif.
2 2 2
8. ∫C ( x – e 2 x y + 2y)dx + (2x – e 2 x y + 3y )dy dengan C adalah sembarang lintasan kurva
dari titik (0,2) ke titik (1,4).
2 2 2 2
9. ∫ ( x + yz)dx + (xz – yz )dy + (xy – y z + 3z )dz dengan C adalah sembarang lintasan
C
kurva dari titik (0,0,0) ke titik (1,2,1).
2x 2 2 2
10. ∫C ( e z + 2x e y )dx + (x e y – y e 2 z )dy + ( e 2 x z – y e 2 z + 3z)dz dengan C adalah
sembarang lintasan kurva dari titik (0,0,0) ke titik (1,1,1).
2 2 2 2 2 2
11. ∫ ( 2xy + xz )dx + (x – yz )dy + z(x – y + z )dz dengan C adalah sembarang lintasan
C
kurva dari titik (1,1,1) ke titik (4,4,2).
⎛ y2 1 ⎞ ⎛ z 2y ⎞
12. ∫ ⎜ − ⎟ dx + ⎜ − ⎟ dy + ⎛⎜ x − 1 + 1 ⎞⎟ dz dengan C adalah sembarang lintasan
C ⎜ x2 z ⎟ ⎜ y2 x ⎟ ⎜ 2 y z⎟
⎝ ⎠ ⎝ ⎠ ⎝z ⎠
kurva dari titik (1,1,1) ke titik (2,4,4).
2 2 2 3 2
13. ∫ ( 2x sin y – 3x z )dx + (x cos y – yz )dy + z(2 – 2x – y )dz dengan C adalah
C
⎛ π ⎞ ⎛ π ⎞
sembarang lintasan kurva dari titik ⎜ − 1,− ,2 ⎟ ke titik ⎜1, ,4 ⎟ .
⎝ 2 ⎠ ⎝ 2 ⎠
14. ∫C x( y 2 − 2 z ) dx + y ( x 2 − 2 z ) dy − ( x 2 + y 2 − 2 z ) dz dengan C adalah lintasan lintasan
kurva dari titik (1,1,1) ke titik (2,4,4).

228
2
15. ∫ C (2 x − y 2 + z 2 ) dx + 2 y ( z − x) dy + (2 xz + y 2 − 3z ) dz dengan C adalah lintasan kurva
dari titik (1,1,1) ke titik (2,4,8).

Dalam soal-soal latihan berikut ini, tunjukkanlah bahwa integral garis berikut ini tidak
tergantung pada lintasan C. Kemudian hitung nilai integral garisnya dengan menggunakan
teorema A atau B
3 2 2
16. ∫ ( x ln x + 2xy )dx + (3x y + 3y)dy dari titik (1,1) ke titik (e,4).
C
2 2 2 2 ⎛ π⎞ ⎛ π⎞
17. ∫C ( x + x tan y)dx + (x sec y + cos y)dy dari titik ⎜ − 1, ⎟ ke titik ⎜ 2, ⎟ .
⎝ 6⎠ ⎝ 3⎠
3 4 3 2 3
18. ∫C ( x – xy )dx + (y – 2x y )dy dari titik (-1,1) ke titik (2,3).

19. ∫ x(3x − y 2 ) dx − y ( x 2 − 3 y ) dy dari (–1,-1) ke titik (2,2)


C
2
20. ∫ C (4 x + xy ) dx + ( x 2 y − 3 y ) dy dari (1,1) ke titik (2,4).

21. ∫C x( x 2 + y 2 ) dx − y ( x 2 − 2) dy dari titik (0,0) ke titik (2,4),


2
22. ∫ C (x − y 2 ) dx − y (2 x − y ) dy dari titik (1,1) ke titik (2,4)
2
23. ∫ C (x + yz ) dx + ( xz − y 2 )dy + ( xy + z 2 ) dz dari titik (1,1,1) ke titik (2,-1,2)
2
24. ∫ C 2 xyz dx + z ( x − 3 y 2 ) dy + ( x 2 y − y 3 + z ) dz dari titik (0,0,1) ke titik (2,1,2)

25. ∫C x( y 2 − z 2 ) dx + y ( x 2 − z 2 ) dy − z ( x 2 + y 2 − z 2 ) dz dari titik (-1,-1,-1) ke titik (1,2,2)


3 2 2 2 2
26. ∫ C (4 xy − z ) dx + (2 x + yz ) dy + ( y z − 3xz + 2 z ) dz dari titik (1,1,1) ke titik (2,4,8).
27. ∫ ( 2 e 2 x sin y + yz)dx + ( e 2 x cos y + z sin y + xz)dy + (xy – cos y + z)dz dari titik
C
⎛ π ⎞ ⎛ π ⎞
⎜ 0, ,1⎟ ke titik ⎜1, ,2 ⎟ .
⎝ 4 ⎠ ⎝ 2 ⎠
⎛ 2x x2 ⎞ ⎛ x2 ⎞
2 2x ⎜ ye − ⎟ dy – ⎜ + 3z ⎟ dz dari titik (2,1,1) ke titik (4,e,e)
28. ∫C ( 2xln yz + y e ) dx +
⎜ y ⎟ ⎜ z ⎟
⎝ ⎠ ⎝ ⎠
2x 2z 2x+ y 2z 2
∫ C e (1 - 2 e )dx + (y e – e )dy + e (y – 1)dz dari titik (0,1,0) ke titik (1,2,2).
y
29.
2 3 3 2 2
30. ∫ ( x + 4y z )dx + y(1 + 8xz )dy + (z + 12xy z )dz dari titik (1,1,-1) ke titik (2,4,1)
C

229
4.5. Teorema Green

Pada pembahasan integral garis dan kebebasan lintasan, sebagian besar lintasan yang
digunakan untuk menghitung integral garisnya adalah berupa segmen kurva terbuka. Pada
bagian ini secara khusus akan dibahas integral garis dengan lintasan tertutup. Dalam
penghitungan integral garisnya akan dikenalkan suatu teorema yang memudahkan untuk
menghitung integral garis dimana lintasannya berupa kurva tertutup. Dalam penghitungan
integral garis dengan teorema ini akan lebih banyak menggunakan kerangka teori yang
berkaitan dengan integral lipat dua. Teorema ini banyak terapannya dalam ilmu fisika,
khususnya dalam analisis kalor, listrik medan magnet maupun mekanika fluida.

Dalam generalisasinya teorema ini dikelompokkan menjadi teorema Green, teorema


divergensi Gauss, dan teorema Stokes. Fokus ketiga teorema pada bidang tersebut adalah
menghitung integral garis pada bidang yang berkaitan dengan medan vektor dua variabel
F(x,y) = M(x,y)i + N(x,y)j pada lintasan tertutup sederhana C. Integral garis dimaksud
diberikan oleh,

∫ C F • dr = ∫ C M (x,y)dx + N(x,y)dy
Berikut ini disajikan secara lengkap teorema Grenn dalam bidang.

Teorema Green

Andaikan M dan N adalah fungsi-fungsi dua variabel dari x dan y yang kontinu dan
mempunyai turunan-turunan parsial kontinu pada daerah R, dan batasnya C. Andaikan C
adalah kurva mulus sepotong-sepotong tertutup sederhana yang batasnya membentuk daerah
R dibidang. Bilamana F(x,y) = M(x,y)i + N(x,y)j adalah medan vektor dan R daerah yang
dibatasi oleh C, maka :
⎛ ∂N ∂M ⎞
∫ C M (x,y)dx + N(x,y)dy = ∫∫ ⎜⎜⎝ ∂x − ∂y ⎟⎟⎠ dA
R

Teorema Green diatas berlaku pula bilamana daerah R adalah daerah tertutup maupun derah
dengan satu atau beberapa lubang dengan arah C berlawanan arah dengan arah jarum jam, hal
ini ditunjukkan pada Gambar 4.5.1, dan 4.5.2.. Daerah tertutup sederhana dimaksud misalnya
daerah R berbentuk x sederhana atau y sederhana.
y y

R
R

c
x x
a b

Gambar 4.5.1 Gambar 4.5.2

230
Dari teorema Green diatas, bilamana F adalah medan vektor konservatif, dimana berlaku
bahwa,
∂M ∂N
=
∂y ∂x
maka dihasilkan
⎛ ∂N ∂M ⎞
∫ C M (x,y)dx + N(x,y)dy = ∫∫ ⎜⎜⎝ ∂x − ∂y ⎟⎟ dA = 0

R

Contoh 4.5.1
2 2
Periksalah kebenaran berlakunya teorema Green, untuk medan vektor F(x,y)= y i + x y j, dan
jika C adalah kurva tertutup yang terdiri atas busur parabola dari titik (0,0) ke titik (2,4) dan
busur garis lurus dari titik (2,4) ke titik (0,0) seperti yang terlihat pada Gambar 4.5.3
Penyelesaian
2 2
Untuk medan vektor F(x,y)= y i + x y j, dari ruas kiri teorema Green dihasilkan

∫ C M (x,y)dx + N(x,y)dy = ∫ C y 2 dx + x 2 y dy

dimana C adalah kurva tertutup sederhana seperti yang terlihat pada Gambar 4.5.3 dengan
arah berlawanan arah jarum jam.

y
(2,4)

y = 2x

2
y=x
x

Gambar 4.5.3 Soal 4.5.1


2
Dari sketsa terlihat C merupakan kurva tertutup sederhana yang terdiri atas kurva C1, y = x
dari (0,0) ke (2,4) dan C2, y = 2x, dari (2,4) ke (0,0). Dengan demikian untuk menghitung
integral garisnya, harus dihitung atas kurva C1 dan C2, yaitu :

2
∫C y 2 dx + x 2 y dy = ∫ C1 y dx + x 2 y dy + ∫ C2 y
2
dx + x 2 y dy

2
Untuk lintasan C1, y = x dari (0,0) ke (2,4), ambilah sebagai persamaaan parameternya
2
adalah y = x sehingga dihasilkan dy = 2x dx, dari x1 = 0 ke x2 = 2. Jadi,

2 2 2 2
∫ C1 y
2
dx + x 2 y dy = ∫ 0 (x ) dx + x 2 ( x 2 )(2 xdx) = ∫ 0 (x
4
+ 2 x 5 ) dx
2
⎡1 1 ⎤ 32 64 416
= ⎢ x5 + x6 ⎥ = + =
⎣5 3 ⎦0 5 3 15

231
Demikian pula untuk lintasan C2, y = 2x dari (2,4) ke (0,0), ambilah sebagai persamaaan
parameternya adalah y = 2x sehingga dihasilkan dy = 2 dx, dengan x1 = 2 ke x2 = 0. Jadi,

0 2 0
∫ C2 y
2
dx + x 2 y dy = ∫ 2 (2 x) dx + x 2 (2 x)(2dx) = ∫ 2 (4 x
2
+ 4 x 3 ) dx
0
⎡4 ⎤ ⎛ 32 ⎞ 80
= ⎢ x 3 + x 4 ⎥ = − ⎜ + 16 ⎟ = –
⎣3 ⎦2 ⎝ 3 ⎠ 3

Jadi,
2
∫C y 2 dx + x 2 y dy = ∫ C1 y dx + x 2 y dy + ∫ C2 y
2
dx + x 2 y dy
416 80 16
= – =
15 3 15
2 2
Selanjutnya untuk ruas kanan teorema Green, untuk medan vektor F(x,y)= y i + x y j,
2 2
diperoleh M(x,y) = y dan N(x,y) = x y. Sehingga untuk ruas kanan teorema Green dihasilkan,
⎛ ∂N ∂M ⎞ ⎛∂ 2 ∂ 2 ⎞
∫∫ ⎜⎜⎝ ∂x − ∂y ⎟⎟⎠ dA = ∫∫ ⎜⎜⎝ ∂x ( x y) − ∂y ( y ) ⎟⎟⎠ dA
R R
= ∫∫ (2 xy − 2 y ) dA
R
Dimana dari sketsa pada Gambar 4.5.3, daerah R berbentuk y sederhana yang dibatasi oleh :
2
R = {(x,y) : x ≤ y ≤ 2x, 0 ≤ x ≤ 2}
Jadi,
⎛ ∂N ∂M ⎞
∫∫ ⎜⎜⎝ ∂x − ∂y ⎟⎟⎠ dA = ∫∫ (2 xy − 2 y) dA
R R
2 2x
= ∫ 0 ∫ x2 (2 xy − 2 y )dydx

= ∫0
2
[ xy 2
− y2 ] 2x
x 2 dx =
2
∫0 (4 x 3 − 4 x 2 − x 5 + x 4 )dx
2
⎡ 4 1 1 ⎤
= ⎢ x 4 − x3 − x 6 + x5 ⎥
⎣ 3 6 5 ⎦0
32 64 32 16
= 16 − − + =
3 6 5 15

Perhatikanlah baik secara langsung maupun dengan pendekatan integral lipat dua
16
menghasilkan hasil yang sama, yaitu .
15

Contoh 4.5.2
2
Hitunglah, ∫ C ( x + 3xy)dx + ( x − y )dy , dengan cara langsung dan menggunakan pendekatan
integral lipat dua (teorema Green), bilamana C adalah lintasan tertutup yang berlawanan arah
dengan jarum jam yang dibatasi oleh kurva-kurva, sumbu x dari (0,0) ke (6,0), garis lurus x +
y = 6 dari (6,0) ke (2,4), dan kurva parabola dari (2,4) ke (0,0).

232
Penyelesaian
Menghitung integral garis atas kurva tertutup diatas, dapat diartikan pula menghitung integral
2
garis ruas kiri teorema Green, untuk medan vektor F(x,y)= (x + 3xy)i + (2x – y)j, yaitu
2
∫ C M (x,y)dx + N(x,y)dy = ∫ C ( x + 3xy)dx + (2 x − y )dy
dimana C adalah kurva tertutup sederhana seperti yang terlihat pada Gambar 4.5.4 dengan
arah berlawanan arah jarum jam.

y
2
y=x

(2,4)

C3 C2
R x+y=6

x
(0,0) C1 (6,0)

Gambar 4.5.4 Soal 4.5.2

Dari sketsa terlihat C kurva tertutup terdiri atas kurva C1, y = 0 dari (0,0) ke (6,0) dan C2,
2
garis lurus, x + y = 6, dari (6,0) ke (2,4), dan C3, parabola, y = x , dari (2,4) ke (0,0). Dengan
demikian untuk menghitung integral garisnya, harus dihitung atas kurva C1, C2, dan C3.

Untuk lintasan C1, y = 0 dari (0,0) ke (6,0). Ambilah sebagai persamaaan parameternya
adalah y = 0, sehingga dihasilkan dy = 0, dengan x1 = 0 ke x2 = 6. Jadi,
2 6 2
∫ C1 ( x + 3xy)dx + (2 x − y ) dy = ∫ 0 ( x + 0)dx + (2 x − 0)(0)
6
6 ⎡1 2 ⎤ 36
= ∫ 0 x dx = ⎢⎣ 2 x ⎥⎦ 0 = 2 = 18

Untuk lintasan C2, x + y = 6 dari (6,0) ke (2,4). Ambilah sebagai persamaaan parameternya
adalah, y = 6 – x, sehingga dihasilkan dy = –dx, dari x1 = 6 ke x2 = 2. Jadi,
2 2 2
∫ C2 ( x + 3xy)dx + (2 x − y ) dy = ∫ 6 ( x + 3x(6 − x))dx + (2 x − (6 − x))(−dx)
2 2
= ∫ 6 (6 + 18 x − 5 x )dx
2
⎡ 5 ⎤
= ⎢6 x + 9 x 2 − x 3 ⎥
⎣ 3 ⎦6
⎛ 40 ⎞ 104
= ⎜ 48 − ⎟ =
⎝ 3 ⎠ 3

233
2
Untuk lintasan C3, y = x dari (2,4) ke (0,0). Ambilah sebagai persamaaan parameternya
2
adalah, y = x , sehingga dihasilkan dy = 2x dx, dari x1 = 2 sampai dengan x2 = 0. Jadi,
0 2
∫ C3 ( x + 3xy)dx + (2 x
2
− y ) dy = ∫ 2 ( x + 3 x( x ))dx + (2 x 2 − x 2 )(2 xdx)
0
0 3 ⎡1 5 ⎤
= ∫ ( x + 5 x )dx = ⎢ x 2 + x 4 ⎥
2 ⎣2 4 ⎦2
= – (2 + 20) = – 22
Jadi,
2 104 92
∫ C ( x + 3xy)dx + ( x − y )dy = 18 +
3
– 22 =
3

Selanjutnya ruas kanan teorema Green, untuk medan vektor


2
F(x,y)= (x + 3xy)i + (2x – y)j,
2
diperoleh M(x,y) = x + 3xy dan N(x,y) = 2x – y. Sehingga untuk ruas kanan teorema Green
dihasilkan,
⎛ ∂N ∂M ⎞ ⎛∂ 2 ∂ ⎞
∫∫ ⎜⎜⎝ ∂x − ∂y ⎟⎟⎠ dA = ∫∫ ⎜⎜⎝ ∂x (2 x − y) − ∂y ( x + 3xy) ⎟⎟⎠ dA
R R
= ∫∫ (4 x − 3 x) dA = ∫∫ x dA
R R
Dimana dari sketsa pada Gambar 4.5.4, daerah R berbentuk x sederhana yang dibatasi oleh :
1/2
R = {(x,y) : y ≤ x ≤ 6 – y, 0 ≤ y ≤ 4}
Jadi,
⎛ ∂N ∂M ⎞ 4 6− y
∫∫ ⎜⎜⎝ ∂x − ∂y ⎟⎟⎠ dA = ∫∫ x dA = ∫ 0 ∫ y1 / 2 x dxdy
R R
6− y
4⎡ 1 2⎤ 1 4 2
= ∫ 0 ⎢⎣ 2 x ⎥⎦ y1 / 2 dy = 2 ∫ 0 [(6 − y) − y] dy
4
1⎡ 1 1 ⎤
= ⎢ − (6 − y ) 3 − y 2 ⎥
2⎣ 3 2 ⎦0
1⎛8 ⎞ ⎛4 ⎞
=– ⎜ + 8 ⎟ + 36 = 36 – ⎜ + 4 ⎟
2⎝3 ⎠ ⎝3 ⎠
4 92
= 32 – =
3 3

Perhatikanlah baik secara langsung maupun dengan pendekatan integral lipat dua khususnya
92
x sederhana menghasilkan hasil yang sama, yaitu .
3

Dari kedua contoh diatas terlihat bahwa dengan pendekatan teorema Green, penghitungan
integral garis kususnya kurva tertutup dapat ditransformasikan menjadi integral lipat dua, dan
begitu pula sebaliknya. Transformasi ini sangat memudahlan untuk menghitung integral garis
kususnya kurva tertutup, dan disamping manfaatnya mengalihkan penghitungan integral
vektor ke bentuk integra biasa, begitu pula sebaliknya. Untuk lebih jelasnya tranformasi ini
perhatikanlah contoh-contoh berikut ini.

234
Contoh 4.5.3
Dengan menggunakan teorema Greeb, hitunglah :
2x
∫ C (e − x 2 y )dx + ( xy 2 + y ln y )dy
2 2
dimana C adalah lingkaran x + y = 2y dengan arah berlawanan arah jarum jam.
Penyelesaian
Perhatikanlah kurva tertutup seperti pada gambar 4.5.5 berikut ini.

y
2 2
x + y = 2y

Gambar 4.5.5 Soal 4.5.3

Jika integral garis diatas dihitung secara langsung permasalahan yang timbul adalah
menentukan persamaan paramternya dan menghitung integral tak tentu yang berkaitan
dengan fungsi eksponensial dan logaritma asli dimana integralnya tidaklah cukup sederhana.
Namun demikian dengan pendekatan Teorema Green masalah ini tidak akan terjadi. Dari
integral garis yang diberikan diperoleh :
2
M(x,y) = e 2 x − x 2 y dan N(x,y) = xy + y ln y
Karena lintasan C adalah kurva tertutup sederhana, maka dengan menerapkan teorema Green
dihasilkan,
2x 2 2 ⎛∂ 2 ∂ 2x 2 ⎞
∫ C (e − x y )dx + ( xy + y ln y )dy = ∫∫ ⎜⎜⎝ ∂x ( xy + y ln y) − ∂y (e − x y) ⎟⎟⎠ dA
R
2 2 2
= ∫∫ ( y − (− x )) dA = ∫∫ ( x + y 2 ) dy dx
R R
2 2
dimana R daerah yang dibatasi oleh lintasan C yang berbentuk lingkaran x + y = 2y seperti
terlihat pada gambar 4.5.5. Dalam koordinat kutub dengan transformasi, x = r cos θ, y = r sin
2 2 2 2 2
θ, dan x + y = r , maka daerah R yang dibatasi oleh lingkaran x + y = 2y ditransformasika
menjadi, r = 2 sin θ, 0 ≤ θ ≤ π. Jadi
2 π 2 sin θ
∫∫ ( x + y 2 ) dy dx = ∫0 ∫0 (r 2 ) (rdrdθ )
R
2 sin θ
π 2 sin θ π ⎡1 4 ⎤ 1 π
= ∫0 ∫0 r 3drdθ = ∫ 0 ⎢⎣ 4 r ⎥⎦ 0 dθ = ∫ 16 sin 4 θ dθ
4 0
π
⎡ 1 3 3 ⎤
= 4 ⎢− sin 3 θ cosθ − sin θ cosθ + θ ⎥
⎣ 4 8 8 ⎦0
⎛3 ⎞ 3
= 4⎜ π ⎟ = π
⎝8 ⎠ 2

235
Contoh 4.5.4
Dengan menggunakan teorema Green, hitunglah kerja total yang dilakukan oleh medan gaya
F(x,y) = (cos x + 2y)i + (5x + sin y)j, untuk memindahkan suatu benda untuk mengitari
lingkaran berjari-jari a yang berlawanan arah dengan jarum jam. Asumsikanlah jarak dalam
meter dan gaya dalam newton.
Penyelesaian
Andaikan W joule kerja yang dilakukan oleh suatu medan gaya F(x,y) = M(x,y)i + N(x,y)j,
sepanjang kurva tertutup C, maka
W = ∫ F • dr = ∫ M (x,y)dx + N(x,y)dy
C C
Untuk medan gaya F(x,y) = (cos x + 2y)i + (5x + sin y)j, maka kerja W diberikan oleh,
W = ∫ (cos x + 2 y )dx + (5 x + sin y )dy
C
dimana C adalah lingkaran berjari-jari a yang berlawanan arah dengan jarum jam. Karena C
adalah lintasan tertutup sederhana, maka dengan menerapkan teorema Green dihasilkan,
W = ∫ (cos x + 2 y )dx + (5 x + sin y )dy
C
⎛∂ ∂ ⎞
= ∫∫ ⎜⎜⎝ ∂x (5 x + sin y) − ∂y (cos x + 2 y) ⎟⎟⎠ dA
R
= ∫∫ (5 − 3) dA = 2 ∫∫ dA
R R
Karena integral lipat dua terakhir ini menyatakan luas daerah, dan daerah R pada integral
2
terakhir ini adalah lingkaran dengan jari-jari a dimana luasnya adalah πa , maka
2 2
W = 2 ∫∫ dA = 2(πa ) = 2πa
R
2
Jadi usaha yang dilakukan oleh medan gaya diatas adalah 2πa Joule.

Luas Daerah

Sebagaimana telah dijelaskaan salah satu manfaat dari teorema Green pada bidang adalah
dapat mentransformasikan penghitungan integral lipat dua menjadi integral garis, dan begitu
pula sebaliknya. Salah satu penerapan dari hal ini adalah manfaatnya untuk menghitung luas
daerah. Misalkan R adalah daerah pada bidang yang dibatasi oleh kurva mulus sederhana
sepotong-sepotong dan tertutup sederhana. Dalam bentuk integral garis, luas daerah R
diberikan oleh,

1 1 ⎡∂ ∂ ⎤
2 ∫∫
A(R) = (2) dA = ∫∫ ⎢ ∂x ( x) − ∂y (− y )⎥ dA
2
R R ⎣ ⎦
1
= ∫ xdy − ydx
2 C

Contoh 5.4.4
Dengan teorema Green, hitunglah luas daerah yang dibatasi oleh ellips,
2 2
⎛ x⎞ ⎛ y⎞
⎜ ⎟ +⎜ ⎟ = 1
⎝a⎠ ⎝b⎠

236
Penyelesaian
Menurut teorema Green luas daerah yang dibatasi oleh kurva tertutup sederhana adalah,
1
A(R) = ∫ xdy − ydx
2 C
Khususnya untuk lintasan C berbentuk ellips dengan arah berlawanan arah jarum jam, yang
terlihat pada Gambar 4.5.6

y
2 2
⎛ x⎞ ⎛ y⎞
b ⎜ ⎟ + ⎜ ⎟ = 1,
⎝a⎠ ⎝b⎠

x
–a a

Gambar 4.5.6 Soal 5.4.4

Dengan menggunakan transformasi, x = a cos t, y = b sin t, dx = –a sin t dt, dy = b cos dt, dan
dari sektsa diperoleh pula 0 ≤ t ≤ 2π. Jadi,

1 1 2π
A(R) =
2 ∫ C
xdy − ydx = ∫
2 0
(a cos t )(b cos tdt ) − (b sin t )(− a sin tdt )
1 2π ab 2π
= ab ∫ (cos 2 t + sin 2 t )dt =
2 ∫0
dt
2 0

⎡ ab ⎤ ab
= ⎢ t⎥ = (2π ) = abπ
⎣ 2 ⎦0 2
Jadi luas elips yang ditanyakan adalah abπ satuan luas.

Teorema Divergensi Gauss Dalam Bidang

Teorema Green dalam bentuk vektor dapat dinyatakan dalam dua cara yang berbeda, salah
satunya adalah dengan teorema divergensi Gauss di bidang. Bentuk vektor yang kedua dari
teorema Green adalah dengan teorema stokes.

Andaikan C adalah kurva tertutup, mulus sepotong-sepoting sederhana dalam bidang, dengan
arah berlawanan arah jarum jam seperti terlihat pda Gambar 4.5.7. Selanjutnya, misalkan
persamaan vektor kurva C adalah,

r(s) = x(s)i + y(s)j

Bilamana P adalah sembarang titik pada kurva C, vektor singgung satuan di P diberikan oleh
dx dy
T(s) = i+ j
ds ds

237
dan vektor normal satuan pada C di P adalah :
dy dx
n= i− j
ds ds
(lihat gambar)

y T
n

R P

Gambar 4.5.7

Bilamana F(x,y) = M(x,y)i + N(x,y)j adalah medan vektor maka :

⎡ dy dx ⎤
∫ C F • n ds = ∫ C [M ( x, y) i + N ( x, y) j] • ⎢⎣ ds i − ds j⎥⎦ ds
= ∫ C M ( x, y)dy − N ( x, y)dx
= ∫ − N ( x, y )dx + M ( x, y )dy
C
Dengan menerapkan teorema Green, integral garis ruas kanan dapat dituliskan menjadi,
⎛ ∂M ∂ (− N ) ⎞
∫ C − N ( x, y)dx + M ( x, y)dy = ∫∫ ⎜⎜⎝ ∂x − ∂y ⎟⎟⎠ dA
R
⎛ ∂M ∂N ⎞
= ∫∫ ⎜⎜⎝ ∂x + ⎟ dA
∂y ⎟⎠
R
Pada sisi lain, menurut definisi divergensi dari suatu medan vektor F(x,y) = M(x,y)i + N(x,y)j,
adalah,
⎛∂ ∂ ⎞ ∂M ∂N
div F = ∇• F = ⎜⎜ i + j ⎟⎟ • ( M i + N j) = +
⎝ ∂x ∂y ⎠ ∂x ∂y
Dengan demikian dapat disimpulkan,

⎛ ∂M ∂N ⎞
∫ C F • n ds = ∫∫ ⎜⎜⎝ ∂x + ⎟ dA =
∂y ⎟⎠ ∫∫ div FdA = ∫∫ ∇ • F dA
R R R

Persamaan terakhir ini sering dikanl dengan istilah teorema Divergensi Gauss di dalam
bidang. Penerapan pendting dari teorema divergensi Gauss ini adalah manfaatnay untuk
menghitung fluks medan vektor yang menembus suatu titik. Misalkan, F(x,y) = v(x,y)
menyatakan medan kecepatan suatu fluida di titik (x,y). Banyaknya fluida (bersih) yang
meninggalkan S disebut dengan fluks dari medan vektor F melintasi kurva C dalam arah
keluar R. Fluks medan vektor F yang melintasi C diberikan oleh,

Fluks F = ∫ C F • n ds

238
Contoh 5.4.5
Suatu medan kecepatan fluida diberikan oleh,
F(x,y) = (4x – 3y)i + (x + 2y)j
2 2
Hitunglah laju aliran yang keluar dari daerah R yang dibatasi oleh ellips, 4x + 9y = 36.
Penyelesaian
Menurut teorema divergensi Gauss pada bidang, laju aliran fluida dengan medan kecepatan
fluida F(x,y) = (4x – 3y)i + (x + 2y)j diberikan oleh,

Fluks F = ∫ C F • n ds = ∫∫ ∇ • F dA
R
⎛∂ ∂ ⎞
= ∫∫ ⎜⎜⎝ ∂x (4 x − 3 y) + ∂y ( x + 2 y) ⎟⎟⎠ dA
R
= ∫∫ (4 + 2) dA = 6 ∫∫ dA
R R
2 2
dimana R adalah daerah yang dibatasi oleh ellips 4x + 9y = 36. Karena integral lipat ruas
2 2
⎛x⎞ ⎛ y⎞
kanan, ∫∫ dA menyatakan luas daerah yang dibatasi oleh elips, ⎜ ⎟ + ⎜ ⎟ = 1, dan dari
R
⎝3⎠ ⎝ 2⎠
contoh sebelumnya luas elips tersebut adalah abπ = (3)(2)π = 6π satuan luas. Jadi,

Fluks F = 6 ∫∫ dA = 6(6π ) = 36π


R
Jadi laju lairan fluida yang keluar daerah R adalah 36π satuan luas per satuan waktu.

Contoh 5.4.6
Diberikan medan kecepatan fluida,
3 3
F(x,y) = x i + y j

Tentukanlah laju aliran fluida keluar daerah R yang dibatasi oleh kurva C yang berbentuk
2 2
lingkaran tertutup, x + y = 2x.
Penyelesaian
Dengan menggunakan teorema divergensi Gauss pada bidang, laju aliran fluida dari medan
3 3
kecepatan F(x,y) = x i + y j diberikan oleh fluks F melalui C, yaitu :

∫ C F • n ds = ∫∫ ∇ • F dA
R
⎛∂ ∂ 3 ⎞ 2
= ∫∫ ⎜⎜⎝ ∂x ( x
3
)+ ( y ) ⎟⎟ dA = ∫∫ (3x + 3 y 2 ) dA
∂y ⎠
R R
= 3 ∫∫ ( x + y ) dA = 3 ∫∫ ( x + y 2 ) dx dy
2 2 2

R R
2 2
dimana R adalah daerah yang dibatasi oleh lintasan C yang berbentuk lingkaran x + y = 2y
seperti terlihat pada gambar 4.5.8.

239
y

C2
2 2
R x + y = 2y

C1

Gambar 4.5.8 Lingkaran Soal 5.4.6


2
Dalam koordinat kutub dengan menggunakan transformasi, x = r cos θ, y = r sin θ, dan x +
2 2 2 2 π π
y = r , maka lingkaran x + y = 2x ditransformasika menjadi, r = 2 cos θ, – ≤θ≤ . Jadi
2 2
2
∫ C F • n ds = 3 ∫∫ ( x + y 2 ) dx dy
R
π /2 2 cos θ
=3 ∫ −π / 2 ∫ 0 (r 2 ) (rdrdθ )
2 cos θ
π / 2 2 cos θ 3 π / 2 ⎡1 4 ⎤
=3 ∫
−π / 2 0 ∫
r drdθ = 3 r
−π / 2 ⎢⎣ 4 ⎥⎦
0
∫ dθ

3 π /2
= ∫ 16 cos 4 θ dθ
4 −π / 2
π /2
⎡1 3 3 ⎤
= 12 ⎢ cos 3 θ sin θ + cosθ sin θ + θ ⎥
⎣4 8 8 ⎦ −π / 2
⎛ 3⎞ ⎛π ⎡ π ⎤⎞ 9
= 12 ⎜ ⎟ ⎜⎜ − ⎢− ⎥ ⎟⎟ = π
⎝ 8⎠ ⎝ 2 ⎣ 2 ⎦⎠ 2
9
Dengan demikian laju lairan fluida yang keluar dari daerah R tersebut adalah π satuan luas
2
per satuan waktu.

Teorema Stokes di Dalam Bidang

Selain teorema divergensi Gauss di bidang, bentuk vektor lain dari teorema Green adalah
teorema Stokes di dalam bidang. Untuk itu, kembali pada perumusan masalah teorema
divergensi Gauss.

Andaikan bahwa,
dx dy
T(s) = i+ j
ds ds
menyatakan vektor singgung satuan C di titik P, seperti yang terlihat pada gambar 4.5.9
berikut ini.

240
z

y
T
n

R P
x

Gambar 4.5.7

Andaikan, F(x,y) = M(x,y)i + N(x,y)j, medan vektor, selanjutnya didefinisikanlah hasil kali
titik F dengan T, yaitu :

⎡ dx dy ⎤
F • T ds = [M(x,y)i + N(x,y)j] • ⎢ i + j⎥ ds
⎣ ds ds ⎦
= M(x,y) dx + N(x,y) dy

Sehingga dengan menerapkan teorema Green dihasilkan,


∫ F • T ds = ∫ M ( x, y)dx + N ( x, y)dy
C C
⎛ ∂N
⎞ ∂M
= ∫∫ ⎜⎜⎝ ∂x −
⎟⎟ dA
⎠ ∂y
R
Pada sisi lain, curl dari medan vektor F pada ruang dimensi dua didefinisikan oleh,
i j k
∂ ∂ ∂ ⎛ ∂N ∂M ⎞
curl F = ∇× F = = ⎜⎜ − ⎟⎟ k
∂x ∂y ∂z ⎝ ∂x ∂y ⎠
M N 0

Dengan hasil diatas, maka diperoleh pula,


⎛ ∂N ∂M ⎞ ∂N ∂M
(curl F) • k = (∇× F) • k = ⎜⎜ − ⎟⎟ k • k = −
⎝ ∂x ∂y ⎠ ∂x ∂y
Sehingga, ruas kanan dari teorema Green dapat ditulis menjadi,
⎛ ∂N ∂M ⎞
∫∫ ⎜⎜⎝ ∂x − ∂y ⎟⎟⎠ dA = ∫∫ curl F • k dA = ∫∫ (∇ × F) • k dA
R R R
Dengan demikian dalam bentuk vektor, teorema Green dapat dinyatakan dengan,
∫ F • T ds = ∫∫ (∇ × F) • k dA
C
R

Dalam penerapannya, bila medan vektor F menyatakan medan kecepatan fluida, maka hasil
kali titik, (F•T) adalah komponen tangensial dari dari medan vektor F, dan integral garis
∫ F • T ds disebut dengan sirkulasi dari medan vektor F di sekeliling kurva tertutup C. Hal
C
ini dapat digambarkan pada gambar berikut ini.

241
T
F T

R
R F

Gambar 4.5.8 ∫ C F • T ds > 0 Gambar 4.5.9 ∫ C F • T ds < 0


Dari sketsa pada Gambar 4.5.8 dan 4.5.9 diatas dapat disimpulkan bahwa (1). Bilamana
∫ F • T ds > 0, maka dikatakan laju dari sirkulasi fluida berlawanan arah dengan jarum jam,
C
(2). Bilamana ∫ C F • T ds < 0 maka dikatakan laju dari sirkulasi fluida searah dengan jarum
jam, (3). Bilamana ∫ F • T ds = 0, dan curl F = 0, maka medan vektor F dikatakan
C
irotasional, karena ortogonal. Untuk memeriksa kebenaran dari teorema diatas, perhatikanlah
contoh-contoh kasus berikut ini.

Contoh 5.4.7
Selidikilah kebenaran teorema Stokes, untuk medan vektor F(x,y) = (4x – 3y)i + (x + 2y)j, dan
2 2
C adalah lingkaran, x + y = 4 dengan arah berlawanan arah jarum jam.
Penyelesaian
Untuk membuktikan kebenaran berlekunya teorema Stokes pada bidang, integral garis yang
harus dibuktikan dan dihitung adalah,
∫ F • T ds = ∫∫ (∇ × F) • k dA
C
R
Langkah pertama, menghitung integral vektor ruas kiri yaitu, ∫ C F • T ds
Untuk medan vektor, F(x,y) = (4x – 3y)i + (x + 2yj, dan karena C adalah lintasan berbentuk
2 2
lingkaran, x + y = 4 dimana jari-jari 2, oleh karena itu untuk persamaan parameternya
ambil, x = 2 cos t, y = 2 sin t, dengan 0 ≤ t ≤ 2π sehingga dihasilkan,

r(s) = 2 cos s i + 2 sin s j , dengan 0 ≤ s ≤ 2π

dx dy
T(s) = i + j = –2 sin s i + 2 cos s j
ds ds

F(s) = (8 cos s – 6 sin s)i + (2 cos s + 4 sin s)j


Jadi,

∫ C F • T ds = ∫ 0 [(8 cos s – 6 sin s)i + (4 sin s + 2 cos s)j] • (–2 sin s i + 2 cos s j) ds
2π 2 2
= ∫0 (4 cos s + 12 sin s – 8 sin s cos s) ds

242
2π 2
= ∫0 (4 + 8 sin s – 8 sin s cos s) ds

⎡ 8 8 8 ⎤
= ⎢4 s − sin s cos s + s − sin 2 s ⎥
⎣ 2 2 2 ⎦0
= 4(2π) + 4(2π) = 16 π
Jadi ∫C F • T ds = 16 π

Langkah kedua, menghitung ∫∫ (∇ × F) • k dA


R
Dari medan vektor F(x,y) = (4x – 3y)i + (x + 2y)j, diperoleh M(x,y) = 4x – 3y, N(x,y) = x + 2y.
Maka diperoleh,
⎛ ∂N ∂M ⎞
∫∫ (∇ × F) • k dA = ∫∫ ⎜⎜⎝ ∂x − ∂y ⎟⎟⎠ dA
R R
⎛∂ ∂ ⎞
= ∫∫ ⎜⎜⎝ ∂x ( x + 2 y) − ∂y (4 x − 3 y) ⎟⎟⎠ dA
R
= ∫∫ (1 − (−3)) dA = 4 ∫∫ dA
R R
2 2
dimana R adalah daerah yang dibatasi oleh lingkaran, x + y = 4, dimana jari0jarinya adalah
2. Karena integral lipat dua, ∫∫ dA menyatakan luas daerah R, dan luas daerah R yang
R
2 2
dibatasi lingkaran, x + y = 4 adalah 4π. Jadi,

∫∫ (∇ × F) • k dA = 4 ∫∫ dA = 4 (4π) = 16π
R R

Dengan menperhatikan kedua hasil diatas, dari langkah pertama dan kedua, jadi terbuktilah
kebenaran berlakunya teorema Stokes, untuk medan vektor F(x,y) = (4x – 3y)i + (x + 2yj, dan
2 2
karena C adalah lintasan berbentuk lingkaran, x + y = 4 yaitu :

∫ C F • T ds = ∫∫ (∇ × F) • k dA = 16 π
R

Soal-soal Latihan 4.5


Dalam soal-soal litihan berikut ini gunakanlah teorem Green untuk menghitung integral garis
yang diberikan dengan menggunakan pendekatan inetegral lipat dua. Dalam soal-soal berikut
ini arah lintasannya berlawanan arah dengan jarum jam.
2 2
1. ∫ C ( x + 2xy)dx + (3x – y)dy, dengan C adalah lintasan tertutup yang dibatasi oleh, y = x ,
dan y = 2x.

243
2 2
2. ∫ C ( 2x + y )dx + (x + 3y)dy, dengan C adalah lintasan tertutup yang dibentuk oleh kurva-
2
kurva, y = 0, x = 2, dan y = x .
2 2 2
3. ∫ ( x + xy )dx + (2x y + y )dy, dengan C adalah lintasan tertutup yang dibentuk oleh
C
2
sumbu y, garis y = 2, dan parabola x = y .
2 2 2
4. ∫ ( x + y )dx + (4xy – y )dy, dengan C adalah lintasan tertutup berbentuk segitiga dengan
C
titik-titik sudut (0,0), (4,0) dan (2,2)
2 2
5. ∫ ( x – y )dx + (2xy + y)dy, dengan C adalah lintasan tertutup yang dibatasi oleh kurva
C
2
berbentuk parabola, x = y , garis lurus x + y = 2, dan sumbu y.
3 2
6. ∫ ( x + 2xy)dx + (2x + 3y)dy, dengan C adalah lintasan tertutup yang berbentuk
C
2 2
lingkaran x + y = 4y.
2 2 2
7. ∫ ( x – yx )dx + xy dy, dengan C adalah lintasan tertutup yang berbentuk lingkaran
C
2 2
dengan pusat x + y = 4x.

3 3 3 3
8. ∫C (x – y )dx + (x + y )dy, dengan C adalah lintasan tertutup yang berbentuk lingkaran,
2 2
x + y = 4x.
2x 2 2
9. ∫ ( e – x y)dx + (3x y + y)dy, dengan C adalah lintasan tertutup yang berbentuk yang
C
2 2
dibatasi oleh, y = x , dan x = y .
2x 2 2
10. ∫ ( e – xy )dx + (3x y + y)dy, dengan C adalah lintasan tertutup yang berbentuk yang
C
3 3
dibatasi oleh, y = x , dan x = y .

Dalam soal-soal latihan 11 sampai dengan 20 berikut ini, hitunglah luas daerah yang
diberikan dengan pendekatan integral garis, yakni dengan rumus,
1
A(R) = ∫ xdy − ydx
2 C
2
11. Daerah R dibatasi oleh kurva, y = x , dan y = 2x,
2
12. Daerah R dibatasi oleh kurva, y = x , dan x = 2y,
2 2
12. Daerah R dibatasi oleh kurva, y = x , dan x = y ,
3 2
13. Daerah R dibatasi oleh kurva, y = x , dan x = y ,
2 3
14. Daerah R dibatasi oleh kurva, y = x , dan x = y ,
2
15. Daerah R dibatasi oleh kurva, y = x , x + y = 2, dan sumbu x
2
16. Daerah R dibatasi oleh kurva, x = y , x + y = 2, dan sumbu y
2 2
17. Daerah R dibatasi oleh lingkaran, x + y = 2y
2 2
18. Daerah R dibatasi oleh lingkaran, x + y = 4x
2 2
19. Daerah R dibatasi oleh ellips, 4x + 9y = 36
2 2
20. Daerah R dibatasi oleh ellips, 16x + 9y = 144

244
Dalam soal-soal latihan berikut ini, selidikilah kebenaran berlakunya teorema divergensi
Gauss dalam bidang, dam teorema Stokes di dalam bidang, untuk medan vektor dan lintasan
berikut ini. Dalam soal-soal berikut ini arah lintasannya berlawanan arah dengan jarum jam.

21. F(x,y) = (x – 3y)i + (2x + y)j, dan C adalah lintasan tertutup yang dibatasi oleh lingkaran,
2 2
x +y =4
22. F(x,y) = (3x – 2y)i + (2x + 3y)j, dan C adalah lintasan tertutup yang dibatasi oleh ellips,
2 2
9x + 4y = 144
23. F(x,y) = (2x – 3y)i + (3x + 2y)j, dan C adalah lintasan tertutup yang dibatasi oleh ellips,
2 2
4x + 25y = 100
3 3
24. F(x,y) = (x – 2y)i + (x + y )j, dan C adalah lintasan tertutup yang dibatasi oleh lingkaran,
2 2
x +y =4
2 2 2
25. F(x,y) = (x – y )i + 2xy j, dan C adalah lintasan tertutup yang dibatasi oleh lingkaran, x
2
+ y = 2y
2 2
26. F(x,y) = (1 + 2xy)i + (3x + 3y )j, dan C adalah lintasan tertutup yang dibatasi oleh
2 2
lingkaran, x + y = 4
3 3 3 3
27. F(x,y) = (x – y )i + (x + y )j, dan C adalah lintasan tertutup yang dibatasi oleh lingkaran,
2 2
x + y = 2y
3 3 3 3
28. F(x,y) = (x – y )i + (x + y )j, dan C adalah lintasan tertutup yang dibatasi oleh lingkaran,
2 2
x + y = 4x.
3 2 2 3
29. F(x,y) = (x – x y)i + (xy + y )j, dan C adalah lintasan tertutup yang dibatasi oleh
2 2
lingkaran, x + y = 4.
2 2 2 2
30. F(x,y) = (x – y )i + (x + y )j, dan C adalah lintasan tertutup yang dibatasi oleh lingkaran,
2 2
x + y = 4y.

245
4.6. Integral Permukaan dan Fluks Medan Vektor
Teorema divergensi Gauss, dan teorema Stokes dalam bidang yang merupakan bentuk vektor
dari teorema Green. Kedua teorema ini dapat digeneralisasikan dalam bentuk umum dalam
ruang yakni teorema divergensi Gauss dan teorema Stokes dalam ruang dimensi tiga. Untuk
membahas kedua teorema ini diperlukan alat bantu yang dikenal dengan integral permukaan.
Integral permukaan ini merupakan generalisasi dari integral lipat dua.

Integral Permukaaan

Andaikan S adalah suatu permukaan yang diberikan oleh persamaan, z = f(x,y) dengan
proyeksinya pada bidang xy diberikan oleh daerah D. Hal ini diperlihatkan pada Gambar
4.6.1, berikut ini.
z

S z = f(x,y)

x
Gambar 4.6.1

Jika f(x,y) mempunyai turunan parsial pertama, yakni fx(x,y) dan fy(x,y) kontinu pada daerah
R. Andaikan, G(x,y,z) = G(x,y,f(x,y)) fungsi tiga variabel dari x, y, dan z yang konitnu pada S ,
maka integral permukaan G atas S dinyatakan dengan, ∫∫ G ( x, y, z ) dS didefinisikan oleh,
S
2 2
∫∫ G( x, y, z ) dS = ∫∫ G( x, y, f ( z, y)) f x + f y + 1 dA
S R
dimana R adalah daerah yang merupakan proyeksi permukaan S yang diberikan oleh
persamaan, z = f(x,y) pada bidang xy. Sedangkan untuk menghitung integral lipat dua pada
ruas kanan dapat digunakan pendekatan yang telah dibahas pada sub bab sebelumnya.

Pendekatan lain untuk menghitung integral permukaan diatas adalah, andaikan permukaan S
diberikan oleh persamaan, y = g(x,z), dan proyeksinya pada bidang xz adalah R. Jika, g(x,z)
mempunyai turunan parsial pertama, yakni gx(x,z) dan gz(x,z) yang kontinu pada daerah R.

246
Andaikan, G(x,y,z) = G(x,g(x,z),z) fungsi tiga variabel dari x, y, dan z yang konitnu pada S,
maka integral permukaan G atas S dinyatakan dengan, ∫∫ G ( x, y, z ) dS didefinisikan oleh,
S
2 2
∫∫ G( x, y, z ) dS = ∫∫ G( x, g ( x, z ), z ) g x + g z + 1 dA
S R
dimana R adalah daerah yang merupakan proyeksi permukaan S yang diberikan oleh
persamaan, y = g(x,z), pada bidang xz.

Pendekatan yang ketiga untuk menghitung integral permukaan diatas adalah, andaikan
permukaan S diberikan oleh persamaan, x = h(y,z), dan proyeksinya pada bidang yz adalah R.
Jika, h(x,z) mempunyai turunan parsial pertama, yakni hy(y,z) dan hz(y,z) kontinu pada daerah
R. Andaikan, G(x,y,z) = G(h(y,z),y,z) fungsi tiga variabel dari x, y, dan z yang konitnu pada S,
maka integral permukaan G atas S dinyatakan dengan, ∫∫ G ( x, y, z ) dS didefinisikan oleh,
S

∫∫ G( x, y, z ) dS = ∫∫ G(h( y, z ), y, z ) h y 2 + hz 2 + 1 dA
S R
dimana R adalah daerah yang merupakan proyeksi permukaan S yang diberikan oleh
persamaan, x = h(y,z), pada bidang yz.

Dari ketiga pendekatan penghitungan integral permukaan diatas, biasanya yang paling sering
digunakan adalah integral permukaan G atas S dimana permukaannya dicerminkan terhadap
bidang xy. Pada dasarnya untuk menentukan pendekatan mana yang akan digunakan, sangat
tergantung pada fungsi G dan persamaan permukaan S.

Contoh 4.6.1
Hitunglah integral permukaan, ∫∫ yz dS , dimana S adalah bagian permukaan bidang, 2x + 2y
S
2
+ z = 4, yang dipotong oleh paraboloida, x = y , dan bidang-bidang x = 0, dan z = 0.
Penyelesaian
Perhatikanlah sketsa permukaan S, dan proyeksinya pada daerah R berikut ini.

z
y

z = 4 – 2x – 2y y =2–x
2
R x=y
(1,1)
y
R
x+ y = 2 x
2
x=y
x

Gambar 4.6.2. Contoh 4.6.1 Gambar 4.6.3 Proyeksi S Contoh 4.6.1

247
Sketsa persamaan bidang 2x + 2y + z = 4, atau z = 4 – 2x – 2y, diperlihatkan pada Gambar
4.6.2. Dari gambar itu, ambil sebagai persamaan permukaan S adalah z = f(x,y) = 4 – 2x – 2y,
maka dihasilkan :

fx(x,y) = –2
fy(x,y) = –2
2 2 2 2
fx + fy + 1 = (–2) + (–2) + 1 = 9

Sedangkan dari sketsa pada Gambar 4.6.3, terlihat bahwa daerah R yang merupakan proyeksi
2
permukaan S yang dipotong x = y pada bidang xy berbentuk y sederhana dan dibatasi oleh,

R = {(x,y) : x ≤ y ≤ 2 – x ; 0 ≤ x ≤ 1}

Sehingga dengan G(x,y,z) = yz = y(4 – 2x – 2y), dan dengan menerapkan rumus pertama,
maka integral permukaan diatas diberikan oleh,

∫∫ yz dS = ∫∫ y(4 − 2 x − 2 y) (−2) 2 + (−2) 2 + 1 dA


S R
1 2− x
= 3∫ ∫ (4 y − 2 xy − 2 y 2 ) dydx
0 x
1 2− x
= 3∫ ∫ [2 y (2 − x) − 2 y 2 ] dydx
0 x
2− x
1⎡ 2 ⎤
=3 ∫ (2 − x) y 2 − y 3 ⎥ dx
0 ⎢⎣ 3 ⎦ x
1 ⎡1 3 2 ⎤
=3 ∫ 0 ⎢⎣ 3 (2 − x) − 2 x + x 2 + x 3 / 2 ⎥ dx
3 ⎦
1
⎡ 1 1 4 ⎤
= 3 ⎢− (2 − x) 4 − x 2 + x 3 + x 5 / 2 ⎥
⎣ 12 3 15 ⎦0
⎛ 1 1 4 16 ⎞
= 3 ⎜ − −1+ + + ⎟
⎝ 12 3 15 12 ⎠
51
=
20

Contoh 4.6.2
2
Hitunglah, ∫∫ x dS , dimana S adalah bagian permukaan bidang, 2x + 2y + z = 4, yang
S
3
dipotong oleh paraboloida, y = x , dan bidang-bidang z = 0, dan y = 0.
Penyelesaian
Sketsa permukaan S, 2x + 2y + z = 4, dan proyeksinya pada daerah R yang diperlihatkan pada
gambar 4.6.4, dan gambar 4.6.5. Seperti pada contoh 4.6.1, dari persamaan bidang 2x + 2y + z
= 4, ambil sebagai persamaan permukaan S adalah z = f(x,y) = 4 – 2x – 2y, maka dihasilkan :
fx(x,y) = –2
fy(x,y) = –2
2 2 2 2
fx + fy + 1 = (–2) + (–2) + 1 = 9

248
Sketsa permukaan S, dan proyeksinya di bidang xy

z y

3
y=x

(1,1)
z = 4 – 2x – 2y x+y=2

R
x x
R 0
3
y=x
x+y=2
x
Gambar 4.6.4. Permukaan S Contoh 4.6.2 Gambar 4.6.5. Daerah R contoh 4.6.2

Sedangkan dari sketsa pada Gambar 4.6.5, terlihat bahwa daerah R yang merupakan proyeksi
3
permukaan S yang dipotong oleh y = x pada bidang xy berbentuk x sederhana dan dibatasi
oleh,
1/3
R = {(x,y) : y ≤ x ≤ 2 – y ; 0 ≤ y ≤ 1}
2
Sehingga dengan G(x,y,z) = x , dan dengan menerapkan rumus pertama, maka integral diatas
diberikan oleh,
2 2
∫∫ x dS = ∫∫ x (−2) 2 + (−2) 2 + 1 dA
S R
1 2− y
= 3∫ ∫ y1 / 3 x 2 dx dy
0
2− y
1 ⎡1 ⎤
= 3 ∫ ⎢ x3 ⎥ dy
0 ⎣3 ⎦ 1/ 3
y
1 3
= ∫ 0 [(2 − y) − y ] dy
1
⎡ 1 1 ⎤
= ⎢− (2 − y ) 4 − x 2 ⎥
⎣ 4 2 ⎦0
⎛ 1 1 16 ⎞ 13
= ⎜− − + ⎟ =
⎝ 4 2 4⎠ 4

Contoh 4.6.3
2 2
Hitunglah integral permukaan, ∫∫ x z dS , dimana S adalah bagian permukaan dari kerucut,
S
2 2 2
z = 4(x + y ) yang dipotong oleh bidang z = 2 dan z = 4

249
Penyelesaian
2 2 2
Perhatikanlah sketsa permukaan kerucut, z = 4(x + y ) yang dipotong oleh bidang z = 4 dan
z = 16 dan proyeksinya diperlihatkan pada Gambar 4.6.6. Sedangkan perpotongan permukaan
2 2 2
kerucut, z = 4(x + y ) dengan z = 4 dan z = 14 masing-masing menghasilkan daerah yang
2 2 2 2
dibatasi dua buah lingkaran, x + y = 1 dan x + y = 1. Sketsa daerah R diperlihatkan pada
gambar 4.6.7, berikut ini.

Z y

z=4
2 2 2
z = 4(x + y )

z=2
0 1 2 x
2 2
x +y =1
y
2 2
x +y =4
x
Gambar 4.6.6 Permukaan Contoh 4.6.3 Gambar 4.6.7 Daerah R Contoh 4.6.3
2 2 2
Seperti pada contoh sebelumnya, dari permukaan kerucut, z = 4(x + y ), dan untuk z ≥ 0
diperoleh, z = 2 x 2 + y 2 , dan ambil z = f(x,y) = 2 x 2 + y 2 , sehingga dihasilkan :
2x
fx(x,y) =
x2 + y2
2y
fy(x,y) =
x2 + y2
2 2 4x2 4y2
fx + fy + 1 = + +1
x2 + y2 x2 + y2
4( x 2 + y 2 ) + ( x 2 + y 2 )
= =5
x2 + y2

2 2
Dengan mengambil, G(x,y,z) = x z , dan dengan menerapkan rumus pertama, maka integral
diatas diberikan oleh,

2 2 2
∫∫ x z dS = ∫∫ x [4( x 2 + y 2 )] 5 dA
S R
= 4 5 ∫∫ x 2 ( x 2 + y 2 ) dA
R

Dari sketsa gambar 4.6.7, terlihat daerah R yang merupakan proyeksi kerucut terpancung
2 2 2 2
pada bidang xy dibatasi oleh dua buah lingkaran, x + y = 1, dan, x + y = 4. Sehingga
2 2
daerah R terletak antara, 1 ≤ x + y ≤ 4. Oleh karena itu untuk menghitung integral lipat dua

250
pada ruas kanan diatas, digunakan transformasi koordinat kutub, yaitu x = r cos θ, y = r sin θ,
2 2 2
x + y = r , dA = r dr dθ dengan, R* = {(r,θ) : 1 ≤ r ≤ 2, 0 ≤ θ ≤ 2π}. Jadi,

∫∫ x z dS = 4 5 ∫∫ x 2 ( x 2 + y 2 ) dy dx
2 2

S R
2π 2
= 4 5 ∫ 0 ∫1 (r 2 cos 2 θ )(r 2 )(r dr dθ )
2π 2 5
= 4 5 ∫ 0 ∫1 r cos 2 θ dr dθ
2

⎡1 6 2 ⎤
= 4 5 ∫ 0 ⎢⎣ 6 r cos θ ⎥⎦ 1 dθ
2 2π
= 5 (64 − 1) ∫ cos 2 θ dθ
3 0

⎡1 1 ⎤
= 42 5 ⎢ cosθ sin θ + θ ⎥
⎣2 2 ⎦0
⎛1 ⎞
= 42 5 ⎜ (2π ) ⎟ = 42 5 π
⎝2 ⎠

Luas Permukaan dan Massa Permukaan Benda Pejal


Salah satu penerapan yang cukup penting dari integral permukaan adalah bahwa integral
tersebut memberikan ukuran untuk luas permukaan S dan massa permukaan S. Dengan
pendekatan bahwa permukaan S diberikan oleh persamaan, z = f(x,y). Dari rumus pertama
integral permukaan, yaitu

∫∫ G( x, y, z ) dS = ∫∫ G( x, y, f ( z, y)) f x 2 + f y 2 + 1 dA
S R
Bilamana, G(x,y,z) = 1, integral permukaan diatas, dapat dituliskan menjadi,

∫∫ dS = ∫∫ f x 2 + f y 2 + 1 dA
S R
Integral permukaan pada ruas kanan diatas adalah integral lipat dua yang memberikan ukuran
luas permukaan S. Jadi luas persamaan S yang diberikan oleh persamaan z = f(x,y) dan diatas
daerah R pada bidang xy diberikan oleh,
A(S) = ∫∫ f x 2 + f y 2 + 1 dA
R
Selanjutnya bilamana kerapatan disembarang titik (x,y,z) pada permukaan S diberikan oleh
δ(x,y,z) dan m menyatakan massa permukaan S, maka massa permukaan tersebut diberikan
oleh,
m(S) = ∫∫ δ ( x, y, z ) dS
S

= ∫∫ δ ( x, y, z ) f x 2 + f y 2 + 1 dA
R
dimana R adalah daerah pada bidang xy yang merupakan proyeksi dari permukaan S.

251
Sedangkan, jika persamaan permukaan S diberikan oleh y = g(x,z) dan daerah R pada bidang
xz. Maka luas permukaan, dan massa permukaan S dengan kerapatan δ(x,y,z) diberikan oleh,
A(S) = ∫∫ g x 2 + g z 2 + 1 dA
R
m(S) = ∫∫ δ ( x, y, z ) g x 2 + g z 2 + 1 dA
R

Sedangkan, jika persamaan permukaan S diberikan oleh x = h(y,z) dan daerah R pada bidang
yz. Maka luas permukaan, dan massa permukaan S dengan kerapatan δ(x,y,z) diberikan oleh,

A(S) = ∫∫ h y 2 + hz 2 + 1 dA
R
m(S) = ∫∫ δ ( x, y, z ) h y 2 + g z 2 + 1 dA
R

Contoh 4.6.4
2
Hitunglah luas permukaan bidang, 2x + 2y + z = 12 yang dipotong oleh paraboloida, y = x ,
bidang-bidang z = 0, dan x = 0.
Penyelesaian
Andaikan A(S) menyatakan luas permukaan, maka luas permukaan tersebut diberikan oleh,
A(S) = ∫∫ dS
S
dimana S adalah permukaan bidang dengan persamaan, 2x + 2y + z = 12, yang diperlihatkan
pada Gambar 4.6.8, dan daerah R yang merupakan proyeksi permukaan S yang diperlihatkan
pada Gambar 4.6.9. berikut ini

z y

12 y=6–x

2x + 2y + z = 12 (2,4)
R
2
y=x
y
R
2
y=x
x+y=6
x

Gambar 4.6.8. Permukaan S Contoh 4.6.4 Gambar 4.6.9. Daerah R contoh 4.6.4

Dari sketsa bidang 2x + 2y + z = 12, pada Gambar 4.6.8, ambil sebagai persamaan permukaan
S adalah z = f(x,y) = 12 – 2x – 2y, maka dihasilkan :

252
fx(x,y) = –2
fy(x,y) = –2
2 2 2 2
fx + fy + 1 = (–2) + (–2) + 1 = 9

Sedangkan dari sketsa pada Gambar 4.6.9 terlihat bahwa daerah R yang merupakan proyeksi
permukaan S pada bidang xy berbentuk y sederhana dan dibatasi oleh,
2
R = {(x,y) : x ≤ y ≤ 6 – x ; 0 ≤ x ≤ 2}

Dengan memperhatikan hasil diatas, andaikan A(S) menyatakan luas permukaan bidang S,
2
dengan z = z = f(x,y) = 12 – 2x – 2y yang dipotong oleh paraboloida, y = x , bidang-bidang z
= 0, dan x = 0 dan dicerminkan pada bidang xy diberikan oleh,
A(S) = ∫∫ f x 2 + f y 2 + 1 dA
R
= ∫∫ (−2) 2 + (−2) 2 + 1 dA
R
2 6− x
= 3 ∫∫ dA = 3 ∫
0 ∫ x2
dy dx
R
2 2
= 3∫
0
[ y ] 6 −2 x dx = 3 ∫ (6 − x − x 2 )dx
0
x
2
⎡ 1 1 ⎤
= 3 ⎢6 x − x 2 − x 3 ⎥
⎣ 2 3 ⎦0
⎛ 8⎞
= 3 ⎜10 − ⎟ = 22
⎝ 3⎠
Jadi luas permukaan S yang ditanyakan adalah 22 satuan luas kuadrat

Contoh 4.6.5.
1 2
Hitunglah luas permukaan paraboloida, z = ( x + y 2 ) yang terletak dibawah permukaan
2
bidang z = 4.
Penyelesain
Perhatikanlah sketsa permukaan paraboloida, dan proyeksi permukaannya berikut ini.
z

z=4
1
z = (x2 + y2 )
2

R y
2 2
x x +y =8

Gambar 4.6.10. Permukaan Contoh 4.6.5

253
1 2
Dari sketsa terlihat bahwa perpotongan permukaan paraboloida, z = ( x + y 2 ) dan bidang z
2
= 4, jika diproyeksikan pada bidang xy akan menghasilkan daerah yang dibatasi oleh
2 2 1
lingkaran, x + y = 8. Dengan mengambil, z = f(x,y) = ( x 2 + y 2 ) , maka dihasilkan,
2
fx(x,y) = x
fy(x,y) = y
2 2 2 2
fx + fy + 1 = x + y + 1

Andaikan A(S) menyatakan luas permukaan, maka luas permukaan tersebut diberikan oleh,
A(S) = ∫∫ dS = ∫∫ f x 2 + f y 2 + 1 dA
S R

= ∫∫ x 2 + y 2 + 1 dA
R
2 2
dimana R adalah daerah dibatasi oleh lingkaran, x + y = 8,. Sehingga dengan menggunakan
2 2 2
transformasi koordinat kutub, yaitu x = r cos θ, y = r sin θ, x + y = r , dA = r dr dθ dengan,
R* = {(r,θ) : 0 ≤ r ≤ 8 , 0 ≤ θ ≤ 2π}. Jadi,

A(S) = ∫∫ x 2 + y 2 + 1 dA
R
2π 8
= ∫0 ∫0 r 2 + 1 r dr dθ
8

⎡1 2 ⎤
=∫ (r + 1) 3 / 2 ⎥ dθ
0 ⎢⎣ 3 ⎦0
2π ⎡ 1 ⎤
= ∫ ⎢ (27 − 1)⎥ dθ
0 ⎣3 ⎦

⎡ 26 ⎤
= ⎢ θ⎥
⎣3 ⎦0
52
= π
3

52
Jadi luas permukaan S yang ditanyakan adalah π satuan luas kuadrat
3

Contoh 4.6.6.
2 2 2
Hitunglah massa permukaan bola, x + y + z = 25 diatas bidang z = 3, dan dibawah bidang z
2
= 4, jika kerapatan disetiap titik pada permukaan bolanya adalah ditanyakan, δ(x,y,z) = kz .
Penyelesaian
Andaikan m(S) menyatakan massa permukaan S, maka massa tersebut diberikan oleh,

m(S) = ∫∫ δ ( x, y, z ) dS
S

254
2 2 2
dimana S adalah permukaan bola, x + y + z = 25 yang terletak antara bidang z = 3, z = 4
yang sketsanya diperlihatkan pada Gambar 4.6.10, dan proyeksi permukaan bidang
diperlihatkan pada gambar 4.6.11 dan berikut ini.

z= 25 − x 2 − y 2 y

2 2
x +y =9
2 2
x +y =9 R
R
2 2
x + y = 16
2 2 2 2
x + y = 25 x + y = 16
x

Gambar 4.6.10. Permukaan Contoh 4.6.5 Gambar 4.6.11 Daerah R Contoh 4.6.5

Dari sketsa permukaan S pada Gambar 4.6.10, setengah bola yang terletak diatas bidang xy
persamaannya adalah, z = 25 − x 2 − y 2 . Oleh karena itu, ambil f(x,y) = 25 − x 2 − y 2
sehingga dihasilkan,
−x
fx(x,y) =
25 − x 2 − y 2
−y
fy(x,y) =
25 − x 2 − y 2
2 2 x2 y2
fx + fy + 1 = + +1
25 − x 2 − y 2 25 − x 2 − y 2
25
=
25 − x 2 − y 2

Sedangkan dari sketsa pada Gambar 4.6.11 terlihat bahwa daerah R yang merupakan proyeksi
permukaan bola z = 25 − x 2 − y 2 yang terletak antara z = 3, dan z = 4 pada bidang xy
2 2 2 2
adalah daerah yang dibatasi oleh lingkaran, x + y = 9 dan x + y = 16. Dengan kerapatan,
2 2 2 2
δ(x,y,z) = kz , dimana z = 25 – x – y , maka integral permukaan untuk menghitung massa
permukaanya diberikan oleh,
2
m(S) = ∫∫ kz dS
S

= ∫∫ kz
2
f x 2 + f y 2 + 1 dA
R

255
25
= k ∫∫ (25 − x 2 − y 2 ) dA
R 25 − x 2 − y 2

= 5k ∫∫ 25 − ( x 2 + y 2 ) dA
R
2 2 2 2
dimana R adalah daerah yang dibatasi oleh dua buah lingkaran x + y = 9 dan x + y = 16.
Sehingga dengan menggunakan transformasi koordinat kutub, yaitu x = r cos θ, y = r sin θ,
2 2 2
x + y = r , dA = r dr dθ , dan R* = {(r,θ) : 3 ≤ r ≤ 4, 0 ≤ θ ≤ 2π}. Jadi,

m(S) = 5k ∫∫ 25 − ( x 2 + y 2 ) dA
R
2π 4
= 5k ∫0 ∫3 25 − r 2 r dr dθ
4
2π ⎡ 1 ⎤
= 5k ∫ − (25 − r 2 ) 3 / 2 ⎥ dθ
0 ⎢⎣ 3 ⎦ 3
2π ⎡ 27 64 ⎤
= 5k ∫0 ⎢⎣− 3 + 3 ⎥⎦ dθ

⎡ 37 ⎤
= 5k ⎢ θ ⎥
⎣3 ⎦0
370
= π
3
370
Jadi massa luas permukaan S yang ditanyakan adalah π
3

Fluks Medan Vektor

Disamping penerapaannya untuk menghitung luas permukaan, dan masa suatu permukaan
benda pejal, salah satu penerapan yang sangat penting dari integral permukaan adalah
manfaatnya untuk menghitung fluks medan vektor yang menembus suatu permukaan.
Generalisasi dari fluks medan vektor ini adalah teorema divergensi Gauss dan teorema Stokes
dalam ruang dimenasi tiga. Konsep dari fluks medan vektor ini tergantung dari jenis medan
vektornya. Jika medan vektornya adalah medan kecepatan atau medan panas, maka fluks
menyatakan medan kecepatan suatu fluks medan fluida atau fluks medan panas, jika medan
vektornya adalah medan elektrik maka fluksnya disebut dengan fluks medan elektrik.
Demikian pula jika medan vektornya adalah medan magnetik, maka fluksnya disebut dengan
fluks medan magnetik.

Andaikan F adalah medan vektor kecepatan yang didefinisikan oleh,

F(x,y,z) = M(x,y,z)i + N(x,y,z)j + R(x,y,z)k

Andaikan pula bahwa medan vektor melalui suatu permukaan S yang diberikan oleh, z =
f(x,y) dimana permukaannya terletak diatas daerah R yang terletak di bidang xy. Andaikan

256
pula f(x,y) dan g(x,y,z) beserta turunan-turunan parsialnya pertamanya f x ( x, y ) dan f y ( x, y )
kontinu pada daerah R. Andaikan pula bahwa permukaan S mulus sederhana, dan mempunyai
vektor normal satuan n keatas. Lihat Gambar 4.6.12

n
F

ΔS

Gambar 4.6.12

Jika ΔS adalah potongan kecil bagian dari permukaan S, volume fluida ΔV yang melewati
permukaan ΔS dalam arah vektor normal satuan n adalah,

ΔV ≈ F • n ΔS

Dengan demikian jumlah total banyaknya fluida yang melalui permukaan S per satuan waktu
diberikan oleh,

n
∑ Fk • n k Λ k S
k =1
Dengan mengambil limit penjumlahan untuk n membesar menuju tak hingga, maka diperoleh
rumus integral permukaan yang disebut dengan fluks F melalui S yaitu,

Fluks F = ∫∫ F • n dS
S
Sedangkan untuk menghitung integral permukaan diatas, tulislah persamaan permukaan S
menjadi,

g(x,y,z) = z – f(x,y)

Dari fungsi ini, n vektor normal keatas diberikan oleh,

∇g ( x , y , z ) − fx i − f y j+ k
n= =
| ∇g ( x , y , z ) | f x2 + f y2 +1

257
Karena, F = M i + N j + R k, dan dS = f x 2 + f y 2 +1 dA , maka integral permukaan fluks F
melalui S dapat ditulis menjadi,

Fluks F = ∫∫ F • n dS
S
⎛ ⎞
⎜ − f xi − f y j + k ⎟
= ∫∫ ( M i + N j + R k ) • ⎜ ⎟ dS
⎜ 2 2 ⎟
f + f + 1
S ⎝ x y ⎠
− Mf x − Nf y + R
= ∫∫ f x 2 + f y 2 + 1 dA
R f x2 + f y2 +1
= ∫∫ (− Mf x − Nf y + R) dA
R
Jadi fluks medan vektor kecepatan F yang melalui permukaan S dengan vektor normal satuan
kearah atas diberikan oleh,

Fluks F = ∫∫ (− Mf x − Nf y + R) dA
R
dimana R adalah proyeksi permukaan S pada bidang xy.

Contoh 4.6.7
Misalkan diberikan medan kecepatan panas,
F(x,y,z) = 2y i + 3x j + 2z k
dan S adalah bagian permukaan bidang, 2x + y + z = 6, yang dipotong bidang, y = x, x = 0,
dan z = 0. Hitunglah banyaknya panas yang keluar melalui permukaan S
Penyelesaian
Banyaknya panas yang keluar melalui permukaan S pada dasarnya adalah fluks medan panas.
Perhatikanlah sketsa permukaan S berikut ini

n y

z = 6 – y – 2x y = 6 – 2x

R (2,2)
0 y
R 2x + y = 6 y=x
0 x
y=x
x

Gambar 4.6.13 Persamaan contoh 4.6.7 Gambar 4.6.14 Daerah R contoh 4.6.7

258
Dari sketsa permukaan S pada Gambar 4.6.13, dari persamaan z = 6 – 2x – y, ambil z= f(x,y) =
6 – 2x – y, maka dihasilkan f x ( x, y ) = –2, dan f y ( x, y ) = –1. Sedangkan dari medan vektor
kecepatan panas F = 2y i + 3x j + 2z k, dihasilkan, M(x,y,z) = 2y, N(x,y,z) = 3x, R(x,y,z) = 2z.

Jadi menurut definisi fluk medan vektor, dengan vektor normal n kearah atas banyaknya
panas yang keluar melalui permukaan S diberikan oleh,

Fluks F = ∫∫ (− Mf x − Nf y + R) dA
R
= ∫∫ [(−2 y)(−2) − (3x)(−1) + 2 z ) dA
R
= ∫∫ (3x + 4 y + 2(6 − 2 x − y)) dA
R
= ∫∫ (12 − x + 2 y) dA
R
dimana R adalah proyeksi permukaan S, 2x + y + z = 6, yang dipotong oleh bidang y = x,
pada bidang xy diperlihatkan pada gmabr 4.6.14. Dari gambar itu terlihat bahwa daerah R
dibatasi oleh,
R = {(x,y) : x ≤ y ≤ 6 –2, 0 ≤ x ≤ 2}
Jadi,

Fluks F = ∫∫ (12 − x + 2 y) dydx


R
2 6−2x
= ∫0 ∫ x (12 − x − 2 y ) dydx
6−2x
2 ⎡ 2 ⎤
= ∫ ⎢ (12 − x) y + y 2 ⎥ dx
0 ⎣ 2 ⎦ x
2 2
= ∫ 0 [(12 − x)(6 − 2 x) + (6 − 2 x) − (12 − x) x − x 2 ] dx
2 2
= ∫ 0 (72 − 66 x + 6 x ) dx
2
⎡ 6 ⎤
= ⎢72 x − 33x 2 + x 3 ⎥
⎣ 3 ⎦0
= 72(2) – 33(4) + 2(8) = 24

Jadi laju aliran panas yang melaui permukaan S adalah 24 satuan pangjang pangkat tiga per
satuan waktu.

Contoh 4.6.8
Misalkan diberikan suatu medan fluida,
2 2
F(x,y,z) = y i – xy j + z k
2 2 2
Hitunglah fluks F melalui S, jika permukaan S adalah bagian dari bola, x + y + z = 8 yang
terletak diatas bidang z = 2.

259
Penyelesaian
2 2 2
Perhatikanlah sketsa permukaan S permukaan bola, x + y + z = 8 yang terletak diatas
bidang z = 2, dan proyeksi permukaan S yang dipotong bidang pada bidang xy adalah daerah
2 2
yang dibatasi oleh lingkaran, x + y = 4, diperlihatkan pada gambar 4.6.15.

n z= 8 − x2 − y2

R y
2 2
x +y =4
x

Gambar 4.6.15 Permukaan Contoh 4.6.8

Dari sketsa permukaan S pada Gambar 4.6.10, setengah bola yang terletak diatas bidang xy
persamaannya adalah, z = 8 − x 2 − y 2 . Oleh karena itu, ambil f(x,y) = 8 − x2 − y2
sehingga dihasilkan turunan parsial pertama yaitu,
−x x
fx(x,y) = =−
8 − x2 − y2 z
−y y
fy(x,y) = =−
8 − x2 − y2 z
2 2 2
Sedanglan dari medan kecepatan fluida, F(x,y,z) = y i – xy j + z k, diperoleh, M(x,y,z) = y ,
2
N(x,y,z) = –xy, dan R(x,y,z) = z . Karena arah normal permukaan S adalah keatas, maka laju
aliran fluida yang melalui permukaan S diberikan oleh,

Fluks F = ∫∫ (−Mf x − Nf y + R) dA
R
⎡ 2⎛ x⎞ ⎛ y ⎞ 2⎤
= ∫∫ ⎢⎣− y ⎜ − ⎟ − (− xy)⎜ − ⎟ + z ⎥ dA
⎝ z⎠ ⎝ z⎠ ⎦
R
⎛ xy 2 xy 2 ⎞
⎜− 2⎟
= ∫∫ ⎜ z z + + z

dA
R ⎝ ⎠
2
= ∫∫ z dA
R
= ∫∫ (8 − x 2 − y 2 ) dA
R

260
2 2
dimana R daerah yang dibatasi oleh lingkaran, x + y = 4. Sehingga dengan menggunakan
2 2 2
transformasi koordinat kutub, yaitu, x = r cos θ, y = r sin θ, x + y = r , dA = r dr dθ , dan
R* = {(r,θ) : 0 ≤ r ≤ 2, 0 ≤ θ ≤ 2π}. Jadi,

2
Fluks F = ∫∫ (8 − ( x + y 2 )) dA
R
2π 2 2
= ∫ 0 ∫ 0 (8 − r ) r dr dθ

2π 2 3
= ∫ 0 ∫ 0 (8r − r ) dr dθ
2
2π ⎡ 2 1 4 ⎤
= ∫ 0 ⎢⎣
4r − r ⎥ dθ
4 ⎦0

= ∫0 (16 − 4) dθ

= [12θ ] 02π = 24π

Jadi laju aliran fluida yang melalui permukaan S adalah 24π satuan panjang pangkat tiga per
satuan waktu.

Pada pembahasan contoh-contoh soal fluks medan vektor diatas, diasumsikan bahwa arah
dari vektor normal permukaannya n adalah keatas. Bilamana arah vektor normal n adalah ke
bawah, maka rumus yang digunakan untuk menghitung integral permukaan dari fluks medan
vektor adalah,

Fluks F = ∫∫ F • n dS = ∫∫ (Mf x + Nf y − R) dA
S R

Demikian pula, bila S adalah permukaan tertutup sederhana, misalnya adalah balok, slinder
lingkaran tegak, bola, elipsoida, maka untuk menghitung integral permukaanya harus
diperhatikan arah vektor normalnya. Akibatnya, untuk menghitung fluks medan vektor F
yang melalui permukaan tertutup, maka penghitungan inetgral permukaannya harus
memperhatikakan vektor normal permukaannya. Khusus, untuk permukaan tertutup yang
simetris, misalkan elipsoida, dan bola maka penghitungan fluks medan vektornya diberikan
oleh,
∫∫ F • n dS = ∫∫ F • n1 dS + ∫∫ F • n 2 dS
S S1 S2

Contoh 4.6.9
Hitunglah fluks F melalui S, jika diberikan medan vektor,

F(x,y,z) = 2xi + 2y j + z k
2 2 2
dan S adalah bagian permukaan kerucut terpancung, z = x + y , antara z = 1 dan z = 2. Jika
diasumsikan bahwa arah vektor normal n adalah ke bawah.

261
Penyelesaian.
2 2 2
Perhatikanlah sketsa permukaan S kerucut, x + y = z yang dipotong oleh bidang z = 1 dan
z = 2. Proyeksi permukaan kerucut terpansung pada bidang xy adalah daerah yang dibatasi
2 2 2 2
oleh lingkaran, x + y = 1, dan x + y = 4, hal ini diperlihatkan pada gambar 4.6.16.

z
2 2 2
z =x +y

R y
2 2
x +y =1
2 2
x +y =4
x

Gambar 4.6.16 Permukaan Kerucut Contoh 4.6.9

2 2 2
Dari sketsa pada Gambar 4.6.16, untuk z ≥ 0, dari persamaan kerucut z = x + y , ambil z =
f(x,y) = x 2 + y 2 . Sehingga turunan parsial pertamanya adalah,
x x
fx(x,y) = =
x2 + y2 z
y y
fy(x,y) = =
x2 + y2 z

Sedangkan dari medan vektor, F(x,y,z) = 2xi + 2y j + z k, diperoleh M(x,y,z) = 2x, N(x,y,z) =
2y, dan R(x,y,z) = z k. Karena normal permukaan S, n arahnya kebawah, maka menurut
definisi fluks medan vektor F(x,y,z) = 2xi + 2y j + z k yang melalui permukaan kerucut
terpanung diberikan oleh,
Fluks F = ∫∫ ( Mf x + Nf y − R) dA
R
⎡ ⎛ x⎞ ⎛ y⎞ ⎤
= ∫∫ ⎢⎣2 x⎜⎝ z ⎟⎠ + 2 y⎜⎝ z ⎟⎠ − z ⎥⎦ dA
R
2( x 2 + y 2 ) − z 2
= ∫∫ z
dA
R
2z 2 − z 2
= ∫∫ z
dA
R

= ∫∫ z dA = ∫∫ x 2 + y 2 dA
R R

262
dimana R adalah daerah yang merupakan proyeksi permukaan kerucut terpancung. Dari
2 2 2 2
gambar 4.6.16 daerah R dibatasi oleh lingkaran, x + y = 1, dan x + y = 4. Sehingga dengan
2 2 2
menggunakan transformasi koordinat kutub, yaitu, x = r cos θ, y = r sin θ, x + y = r , dA =
r dr dθ , dan R* = {(r,θ) : 1 ≤ r ≤ 2, 0 ≤ θ ≤ 2π}. Jadi dihasilkan,

2π 2
Fluks F = ∫∫ x 2 + y 2 dA = ∫ 0 ∫1 ( r 2 ) r dr dθ
R
2
2π 2 2π ⎡1 3 ⎤
= ∫ 0 ∫1 r 2 dr dθ = ∫0 ⎢⎣ 3 r ⎥⎦ dθ
1

2π 1 ⎡7 ⎤ 14
= ∫ 0 3 (8 − 1) dθ = ⎢ θ⎥
⎣3 ⎦ 0
=
3
π

14
Jadi laju aliran fluida yang melalui permukaan S adalah π satuan panjang pangkat tiga per
3
satuan waktu.

Contoh 4.6.10
Hitunglah fluks F melalui S, jika diberikan medan vektor,
2
F(x,y,z) = 2xzi + 2yz j + z k
2 2 2
dan S adalah permukaan bola, x + y + z = 4.
Penyelesaian
2 2 2
Perhatikanlah sketsa permukaan bola S, x + y + z = 4 pada Gambar 4.6.17. Dari sketsa itu
terlihat bahwa S adalah permukaan tertutup yang terdiri atas dua buah permukaan, yaitu S1
dan S2. Persamaan permukaan S1 adalah z = 4 − x 2 − y 2 dengan arah vektor normalnya n1
ke atas, dan persamaan permukaan S2 adalah z = – 4 − x 2 − y 2 dengan arah vektor
normalnya n2 ke bawah. Sedangkan perpotongan permukaan kedua permukaan, S1 dan S2
jika dicerminkan terhadap bidang xy menghasilkan suatu daerah R yang dibatasi oleh
2 2
lingkaran, x + y = 4. Lihat gambar 4.6.17

n1 z= 4 − x2 − y2

R y
2 2
x +y =4

x n2 z = – 4 − x2 − y2

Gambar 4.6.17 Permukaan Bola Contoh 4.6.10

263
Karena permukaan tertutup S terdiri atas permukaan S1, dan S2, maka fluks medan vektor F
yang melalui S diberikan oleh,

Fluks F = ∫∫ F • n dS
S
= ∫∫ F • n1 dS + ∫∫ F • n 2 dS
S1 S2
dimana S1 adalah permukaan setengah bola diatas bidang xy, dan S2 adalah permukaan
setengan bola dibawah bidang xy. Untuk permukaan S1, z = 4 − x 2 − y 2 , ambil z = f(x,y)
dan sehingga dihasilkan turunan parsial pertamanya adalah,
−x x
fx(x,y) = = −
4 − (x2 + y2 ) z
−y y
fy(x,y) = = −
4 − (x2 + y2 ) z

2
Sehingga untuk medan vektor F(x,y,z) = 2xzi + 2yz j + z k, dan vektor normal n ke arah atas,
maka fluks F melalui S1 diberikan oleh,
∫∫ F • n1 dS = ∫∫ (− Mf x − Nf y + R) dA
S1 R
⎡ ⎛−x⎞ ⎛ − y ⎞ 2⎤
= ∫∫ ⎢⎣− (2 xz)⎜⎝ ⎟ − (2 yz )⎜
z ⎠ ⎝ z ⎠
⎟ + z ⎥ dA

R
2
= ∫∫ (2 x + 2 y 2 + 4 − x 2 − y 2 ) dA
R
2
= ∫∫ [4 + ( x + y 2 )] dA
R
2 2
dimana R daerah yang dibatasi oleh lingkaran, x + y = 4. Sehingga dengan menggunakan
2 2 2
transformasi koordinat kutub, yaitu, x = r cos θ, y = r sin θ, x + y = r , dA = r dr dθ , dan
R* = {(r,θ) : 0 ≤ r ≤ 2, 0 ≤ θ ≤ 2π}. Jadi,

2
∫∫ F • n1 dS = ∫∫ [4 + ( x + y 2 )] dA
S1 R
2π 2 2
= ∫ 0 ∫ 0 (4 + r ) r dr dθ
2π 2 3
= ∫ 0 ∫ 0 ( 4r + r ) dr dθ
2
2π ⎡ 2 1 4⎤
= ∫0 ⎢⎣2r + 4 r ⎥⎦ dθ
0

= ∫0 (8 + 4) dθ

= [12θ ] 02π = 24 π

264
Sedangkan untuk permukaan S2, z = – 4 − x 2 − y 2 , ambil z = f(x,y) dan sehingga dihasilkan
turunan parsial pertamanya adalah,
x x
fx(x,y) = =
4 − (x2 + y2 ) −z
y y
fy(x,y) = =
4 − (x2 + y2 ) −z

2
Sehingga untuk medan vektor F(x,y,z) = 2xzi + 2yz j + z k, dan vektor normal n ke arah
bawah, maka fluks F melalui S2 diberikan oleh,
∫∫ F • n 2 dS = ∫∫ (Mf x + Nf y − R) dA
S2 R
⎡ ⎛ x ⎞ ⎛ y ⎞ 2⎤
= ∫∫ ⎢⎣(2 xz)⎜⎝ − z ⎟⎠ + (2 yz)⎜⎝ − z ⎟⎠ − z ⎥ dA

R
2
= ∫∫ [−2( x + y 2 ) − (4 − x 2 − y 2 )] dA
R
2
= ∫∫ [−4 − ( x + y 2 )] dA
R
2
= – ∫∫ [4 + ( x + y 2 )] dA
R
2
Seperti pada penghitungan sebelumnya, ∫∫ [4 + ( x + y 2 )] dA = 24 π, jadi
R

∫∫ F • n 2 dS = – 24π
S2
Dengan demikian,
Fluks F = ∫∫ F • n dS = 24π – 24π = 0
S

Soal-soal Latihan 4.6.

Dalam soal-soal latihan nomor 1 sampai dengan 10 berikut ini, hitunglah integral permukaan
∫∫ G( x, y, z ) dS
S

2 2 2
1. ∫∫ (2 x + z ) dS , dimana S adalah bagian permukaan, z = y – x , dan diatas daerah R yang
S
2 2 2 2
dibatasi oleh lingkaran, x + y = 1, dan x + x = 4.
2. ∫∫ ( x + y) dS , dimana S adalah bagian permukaan, z = 4 − y 2 , dan diatas daerah R yang
S
2 2 2 2
dibatasi R = {(x,y) : 0 ≤ x ≤ 1, 0 ≤ y ≤ 3 }oleh lingkaran, x + y = 1, dan x + x = 4.

265
2 2 2
3. ∫∫ xyz dS , dimana S adalah bagian permukaan kerucut, z = 4(x + y ) yang dipotong oleh
S
bidang z = 1, dan z = 16.
2 2 2
4. ∫∫ x 2 + y 2 + z 2 dS , dimana S adalah bagian permukaan kerucut, z = x + y , yang
S
dipotong oleh bidang z = 2 dan z = 3.
5. ∫∫ ( x + y ) dS , dimana S adalah bagian permukaan bidang, 4x + 3y + 2z = 14 yang dipotong
S
oleh bidang y = x, x = 0 dan z = 0
2 2
6. ∫∫ x 2 + y 2 dS , dimana S adalah bagian permukaan paraboloida, 2z = 10 – (x + y ) yang
S
dipotong oleh bidang z = ½ dan z = 3.
2 2 2
7. ∫∫ x 2 + y 2 dS , dimana S adalah bagian permukaan bola, x + y + z = 25 yang dipotong
S
oleh bidang z = 3 dan z = 4.
8. ∫∫ ( x + y + z ) dS , dimana S adalah bagian permukaan bidang, x + 2y + 2z = 6 yang
S
dipotong oleh bidang, y = x, y = 0 dan z = 0
9. ∫∫ ( y + z ) dS , dimana S adalah bagian permukaan bidang, x + 2y + 2z = 8 yang dipotong
S
2
oleh bidang, x = y , y = 0 dan z = 0
2 2 2 2
10. ∫∫ ( x + y 2 ) z dS , dimana S adalah bagian permukaan kerucut, z = (x + y ) yang
S
dipotong oleh bidang, z = 1, dan z = 2.

Dalam soal-soal latihan nomor 11 sampai dengan 20 berikut ini hitunglah luas permukaan S.

11. Bagian permukaan bidang, 3x + 2y + 6z = 12 yang dipotong oleh bidang, 2y = 3x, x = 0,


dan z = 0.
2 2
12.Bagian permukaan, z = 4 − x 2 di oktan pertama yang tepat diatas lingkaran, x + y = 1,
2 2
dan x + x = 4.
2 2
13. Bagian permukaan paraboloida, z = x + y , yang dipotong oleh bidang z = 1 dan z = 9
2 2 2
14. Bagian permukaan kerucut, z = x + y , yang dipotong oleh bidang z = 2 dan z = 3
2 2 2 2 2
15. Bagian permukaan bola, x + y + z = 4, dan didalam silinder, x + y = 2y. yang terletak
diatas bidang xy.
2 2 2 2 2
16. Bagian permukaan bola, x + y + z = 4, dan didalam silinder, x + y = 2x, dan diatas
bidang xy.
2 2 2
17. Bagian permukaan bola, x + y + z = 4z, yang terletak diatas z = 2
2 2 2 2 2
18. Bagian permukaan kerucut, x + y = z , dan didalam silinder, x + y = 2y, dan diatas
bidang xy.
2 2 2
19. Bagian permukaan bola, x + y + z = 10z, yang terletak antara z = 3 dan z = 4
2
20. Bagian permukaan bidang, 2x + y + 2z = 8, yang dipotong oleh, y = x , x = 0, dan z = 0.

266
Dalam soal-soal latihan nomor 21 sampai dengan 30 berikut ini hitunglah masa permukaan S.
2 2
21. Masa bagian silinder paraboloida, z = x + y , yang dipotong bidang, z = 1 dan z = 4 jika
2 2
kerapatannya adalah, δ(x,y,z) = k(x + y )
2 2 2
22. Masa bagian kerucut, z = x + y , yang dipotong bidang, z = 1 dan z = 2 jika
2 2
kerapatannya adalah, δ(x,y,z) = k(x + y )
2 2
23. Masa bagian tabung/silinder, y + z = 4, yang dipotong bidang, x = 0, z = 0, y = x jika
2
kerapatannya adalah, δ(x,y,z) = kz
2 2
24. Masa bagian silinder paraboloida, z = x + y , yang dipotong bidang, z = 1 dan z = 4 jika
2 2
kerapatannya adalah, δ(x,y,z) = k(x + y )
25. Masa bagian bidang, 2x + 3y + z = 6, di oktan pertama bilamana kerapatannya adalah
δ(x,y,z) = x + 2z
2 2 2
26. Masa bagian permukaan bola, x + y + z = 16, di oktan pertama dan kerapatannya
2
adalah δ(x,y,z) = kz .
2 2 2
27. Masa bagian permukaan bola, x + y + z = 10z, yang dipotong oleh z = 3 dan z = 4, dan
kerapatannya adalah δ(x,y,z) = k x 2 + y 2
2 2 2
28. Masa bagian permukaan bola, x + y + z = 25, yang dipotong oleh z = 3 dan z = 4, dan
2 2
kerapatannya adalah δ(x,y,z) = k(x + y )
2 2
29. Masa bagian silinder paraboloida, z = 10 – (x + y ), yang dipotong bidang, z = 1 dan z =
6 jika kerapatannya adalah, δ(x,y,z) = x2 + y2
2 2 2
30. Masa bagian permukaan bola, x + y + z = 10z, yang dipotong oleh z = 5 dan z = 8, dan
2 2
kerapatannya adalah δ(x,y,z) = k(x + y )
Dalam soal-soal latihan nomor 31 sampai dengan 40 berikut ini hitunglah fluks medan vektor
F melalui permukaan S.
2 2 2
31. F(x,y,z) = 2y i – 2x j + 3z k, dan S adalah bagian permukaan bola, x + y + z = 25, yang
dipotong oleh z = 3 dan z = 4, dengan arah vektor normal n ke atas.
2 2 2
32. F(x,y,z) = 3x i + 3y j + 2z k, dan S adalah bagian permukaan kerucut, z = x + y antara z
= 2, dan z = 3, dengan arah vektor normal n ke bawah.
2 2
33. F(x,y,z) = 2x i + 2y j + 3z k, dan S adalah bagian permukaan paraboloida, z = 5 – (x + y )
antara, z = 1 dan z = 4, dengan arah vektor normal n ke atas.
2 2
34. F(x,y,z) = 3x i + 3y j + 5z k, dan S adalah bagian permukaan paraboloida, z = x + y
antara, z = 1 dan z = 4, dengan arah vektor normal n ke bawah.
2 2 2
35. F(x,y,z) = 2x i + 2y j + 5z k, dan S adalah bagian permukaan bola, x + y + z = 25 dan
diatas, z = 3, dengan arah vektor normal n ke atas.
36. F(x,y,z) = 2x i + 3y j + z k, dan S adalah bagian permukaan bidang, x + y + z = 2, yang
dipotong oleh, y = x, x = 0, dan z = 0
37. F(x,y,z) = 2x i + y j + z k, dan S adalah bagian permukaan bidang, z = 2 + y, yang
2
dipotong oleh, y = x , y = 0, dan x = 2.
38. F(x,y,z) = x i + 2y j + z k, dan S adalah bagian permukaan bidang, z = 2 + x, yang
2
dipotong oleh, y = x , x + y = 6, dan y = 0.
39. F(x,y,z) = 2x i + 3y j + 2z k, dan S adalah bagian permukaan bidang, 2x + 2y + z = 4, yang
3
dipotong oleh, x = y , x = 0, dan z = 0
40. 38. F(x,y,z) = 3x i + 4y j + 2z k, dan S adalah bagian permukaan bidang, y + z = 4, yang
2
dipotong oleh, y = x , x = 0, dan z = 0.

267
4.7. Teorema Divergensi Gauss dan Teorema Stokes

Teorema Divergensi Gauss

Dari teorema Grenn pada sub bab 4.5, telah diperoleh bahwa,

∫C F • n ds = ∫∫ div F dA = ∫∫ (∇ • F) dA
R R

Persamaan ini menyatakan bahwa fluks medan vektor F yang melewati batas C dari daerah
tertutup R dan batasnya C sama dengan integral lipat dua dari divergensi F atas daerah R.
Pernyataan ini lebih dikenal dengan teorema Gauss dalam ruang dimensi dua. Generalisasi
dari teorema ini adalah teorema divergensi Gauss dalam ruang dimensi tiga.

Andaikan B sebuah benda pejal tertutup dan terbatas dalam ruang dimensi tiga, yang secara
sederhana benda pejal B dibatasi oleh permukaan tertutup dan sederhana dalam ruang
dimensi tiga. Misalkan,

F(x,y,z) = M(x,y,z)i + N(x,y,z)j + R(x,y,z)k

adalah medan vektor sedemikian rupa sehingga M(x,y,z), N(x,y,z), dan R(x,y,z) mempunyai
turunan-turunan parsial pertama yang kontinu pada B, dan batasnya permukaan tertutup S.
Bilamana n adalah vektor normal satuan keluar S, maka :

∫∫ F • n dS = ∫∫∫ div F dV = ∫∫∫ (∇ • F) dV


S B B

Selanjutnya, mengingat,
⎛∂ ∂ ∂ ⎞
∇ • F = ⎜⎜ i + j + k ⎟⎟ •(Mi + Nj + Rk)
⎝ ∂x ∂y ∂z ⎠
∂M ∂N ∂R
= + +
∂x ∂y ∂z
Maka teorema divergensi Gauss diatas dapat dituliskan menjadi,
⎛ ∂M ∂N ∂R ⎞
∫∫ F • n dS = ∫∫∫ (∇ • F) dV = ∫∫∫ ⎜⎜⎝ ∂x + ∂y + ∂z ⎟⎟⎠ dV
S B B

Persamaan terakhir dari teorema ini menyatakan bahwa fluks medan vektor F yang melewati
suatu permukaan tertutup S dalam ruang dimensi tiga adalah integral lipat tiga dari divergensi
medan vektor F atas benda pejal B tersebut. Bukti teorema ini diluar jangkauan dari buku ini,
dan bukti dari teorema ini diperoleh dari buku-buku teks analisis kalkulus lanjut, atau
matematika teknik. Salah satu manfaat penting dari teorema ini adalah kemudahan untuk
menghitung integral permukaan atas permukaan tertutup melalui transformasi menjadi
integral lipat tiga. Sedangkan untuk menghitung integral lipat tiga pada ruas kanan disamping
menggunakan sistem koordinat kartesius, juga dapat pula digunkan transformasi koordinat
silinder dan koordinat bola. Berikut ini adalah contoh-contoh penerapannya.

268
Contoh 4.7.1
Andaikan F adalah medan vektor yang didefinisikan oleh,
2 2 2
F(x,y,z) = 3xy i + yz j + x z k

Hitunglah fluks medan vektor F yang melewati permukaan benda pejal berbentuk balok
empat persegi panjang di oktan pertama yang dibatasi oleh bidang-bidang, x = 1, y = 3, z = 2
baik secara langsung maupun dengan teorema Gauss.
Penyelesaian
Cara pertama secara langsung. Dengan secara langsung, integral permukaan yang
harus dihitung adalah bagian ruas kiri dari teorema divergensi Gauss yaitu :

2
∫∫ F • n dS = ∫∫ (3xy i + yz 2 j + x 2 z k ) • n dS
S S

dimana S adalah permukaan benda tertutup yang dibatasi oleh,

B = {(x,y,z) : 0 ≤ x ≤ 1, 0 ≤ y ≤ 3, 0 ≤ z ≤ 2}

yang seperti terlihat pada gambar 4.7.1 berikut ini

3
y

1
x

Gambar 4.7.1. Permukaan Tertutup Contoh 4.7.1

Dari sketsa pada Gambar 4.7.1, terlihat bahwa benda pejal dibatasi oleh enam buah sisi
permukaan. Oleh karena itu, untuk menghitung integral permukaan,

∫∫ F • n dS
S
harus dihitung atas dasar keenam sisi permukaan, dan hasilnya lalu dijumlahkan. Pada
keenam sisi-sisi permukaan tersebut mempunyai vektor normal bidang n, yang berbeda. Hal
ini akan mengakibatkan hasil dari (F•n) berbeda pula hasilnya. Tabel berikut ini menyajikan
hasil dari hasil titik vektor normal dan medan vektornya. Dari tabel, maka :
∫∫ F • n dS = ∫∫ F • n dS + ∫∫ F • n dS + ∫∫ F • n dS
S z =2 y =3 x=2

269
Tabel 4.7.1
Hasil Kali Titik F•n

======================================
Sisi/Bidang n F•n
======================================
2 2 2 2
z=2 k (3xy i + yz j + x z k) • k = 2x
2 2 2
z=0 -k (3xy i + yz j + x z k) • -k = 0
2 2 2 2
y=3 j (3xy i + yz j + x z k) • j = 3z
2 2 2
y=0 -j (3xy i + yz j + x z k) • -j = 0
2 2 2 2
x=1 i (3xy i + yz j + x z k) • i = 3y
2 2 2
x=0 -i (3xy i + yz j + x z k) • -i = 0
=======================================

Berdasarkan hasil tabel diatas, maka diperoleh hasil sebagai berikut.


(1). Untuk sisi permukaa z = 2, permukaan S diproyeksikan pada bidang xy, dengan daerah R
adalah,
R1 = {(x,y) : 0 ≤ x ≤ 1, 0 ≤ y ≤ 3}
2
Mengingat untuk sisi permukaan z = 2, F • n = 2x , maka :

2 2
∫∫ F • n dS = ∫∫ 2 x dA = ∫∫ 2 x dy dx
z =2 R1 R1
1 3 2
= ∫ 0 ∫ 0 2x dy dx

∫ 0 [2 x ]
1 2 3 1 2
= y
0
dx = ∫ 0 6x dx
1
⎡6 ⎤
= ⎢ x3 ⎥ = 2
⎣3 ⎦ 0

(2). Untuk sisi permukaan y = 3, permukaan S diproyeksikan pada bidang xz, dengan daerah
R adalah
R2 = {(x,z) : 0 ≤ x ≤ 1, 0 ≤ z ≤ 2}
2
Mengingat untuk sisi permukaan y = 3, F • n = 3z , maka :

2 2
∫∫ F • n dS = ∫∫ 3z dA = ∫∫ 3z dz dx
y =3 R2 R2
1 2 2
= ∫ 0 ∫ 0 3z dz dx
2
1 ⎡3 3 ⎤ 1
= ∫ z
0 ⎢⎣ 3 ⎥⎦
0
dx = ∫ 0 8 dx
= [8 x ] 10 = 8

270
(2). Untuk sisi permukaan x = 1, permukaan S diproyeksikan pada bidang yz, dengan daerah
R adalah
R3 = {(y,z) : 0 ≤ y ≤ 3, 0 ≤ z ≤ 2}
2
Mengingat untuk sisi permukaan x = 1, F • n = 3y , maka :

2 2
∫∫ F • n dS = ∫∫ 3 y dA = ∫∫ 3 y dz dy
x =1 R3 R3
3 2 2
= ∫ 0 ∫ 0 3y dz dy

∫ 0 [3 y ]
3 2 3
= 2
z 0 dy = ∫ 6 y 2 dy
0
3
⎡6 ⎤
= ⎢ y 3 ⎥ = 54
⎣3 ⎦ 0
Jadi,
∫∫ F • n dS = ∫∫ F • n dS + ∫∫ F • n dS + ∫∫ F • n dS
S z =2 y =3 x=2
= 2 + 8 + 54 = 64

Cara Kedua Teorema Divergensi Gauss


Dari sketsa pada gambar 4.7.1, benda pejal V dibatasi oleh,

B = {(x,y,z) : 0 ≤ x ≤ 1, 0 ≤ y ≤ 3, 0 ≤ z ≤ 2}
2 2 2
Sedangkan dari medan vektor, F(x,y,z) = 3xy i + yz j + x z k, divergensi medan vektornya
diberikan oleh,
∂M ∂N ∂R
div F = ∇ • F = + +
∂x ∂y ∂z
∂ ∂ ∂
= (3 xy 2 ) + ( yz 2 ) + ( x 2 z )
∂x ∂y ∂z
2 2 2 2 2 2
= 3y + z + x = x + 3y + z

Sehingga menurut teorema divergensi Gauss, integral permukaan tertutup tersebut diberikan
oleh,
⎛ ∂M ∂N ∂R ⎞
∫∫ F • n dS = ∫∫∫ ⎜⎜⎝ ∂x + ∂y + ∂z ⎟⎟⎠ dV
S B
2
= ∫∫∫ ( x + 3 y 2 + z 2 ) dz dy dx
B
1 3 2 2
= ∫ 0 ∫ 0 ∫ 0 (x + 3 y 2 + z 2 ) dz dy dx

271
2
1 3⎡ 2 1 ⎤
= ∫0 ∫ ⎢ x z + 3y 2 z + z3 ⎥ dy dx
0 ⎣ 3 ⎦ 0
1 3⎛ 2 8⎞
= ∫ 0 ∫ 0 ⎜⎝ 2 x + 6 y 2 + ⎟ dy dx
3⎠
3
1⎡ 2 8 ⎤
= ∫ 2x y + 2 y3 + y⎥ dx
0 ⎢⎣ 3 ⎦ 0
1 2
= ∫ 0 (6 x + 62) dx
1
⎡6 ⎤
= ⎢ x 3 + 62 x ⎥ = 2 + 62 = 64
⎣3 ⎦0

Contoh 4.7.2
Misalkan F adalah medan vektor kecepatan suatu fluida,
F(x,y,z) = yi – x j + 2z k
2 2 2
dan S adalah sebuah permukaan bola, x + y + z = 4. Hitunglah fluks F melalui S, baik
secara langsung maupun menggunakan teorema.
Penyelesaian
Cara Pertama Secara Langsung
Menurut definisi, fluks medan vektor F melalui S diberikan oleh,
∫∫ F • n dS
S
2 2 2
dimana S adalah permukaan tertutup yang dibatasi oleh bola, x + y + z = 4 seperti terlihat
pada gambar 4.7.2

z
n1 z= 4 − x2 − y2

2 2
x +y =4
R y

x
n2 z = – 4 − x2 − y2

Gambar 4.7.2. Permukaan Bola, Contoh 2.7.2

Dari sketsa pada gambar 4.7.2, terlihat permukaan tertutup S terdiri dari dua permukaan
setengah bola, yaitu z = 4 − x 2 − y 2 dan z = – 4 − x 2 − y 2 . Oleh kerena itu untuk
menghitung integral permukaan diatas, secara langsung yang harus dikerjakan adalah,

272
∫∫ F • n dS = ∫∫ F • n1 dS1 + ∫∫ F • n 2 dS 2
S S1 S2
dimana S1 adalah permukaan setengah bola yang terletak diatas bidang xy, dengan vektor
normal satuan n1 arahnya adalah ke atas, dan S2 adalah permukaan setengah bola yang
terletak dibawah bidang xy, dengan vektor normal sruan n2 arahnya adalah ke bawah. Dari
gambar 4.7.2, terlihat bahwa proyeksi permukaan S1 dan S2, pada bidang xy membentuk suatu
2 2
daerah R yang dibatasi oleh lingkaran x + y = 4.

Untuk permukaan S1, ambil, z = f(x,y) = 4 − x 2 − y 2 sehingga dihasilkan,


−x x
f x ( x, y ) = = −
4 − x2 − y2 z
−y y
f y ( x, y ) = =−
4 − x2 − y2 z
Sehingga untuk medan vektor F(x,y,z) = yi – xj + 2z k, maka fluks F yang melalui permukaan
S1, dengan vektor normal n1 ke arah atas diberikan oleh,

∫∫ F • n1 dS1 = ∫∫ (−Mf x − Nf y + R) dA
S1 R
⎡ ⎛−x⎞ ⎛−y⎞ ⎤
= ∫∫ ⎢⎣− y⎜⎝ ⎟ − (− x)⎜
z ⎠
⎟ + 2 z ⎥ dA
⎝ z ⎠ ⎦
R
= ∫∫ 2 z dA
R
= ∫∫ 2 4 − x 2 − y 2 dA
R
2 2
dimana R adalah lingkaran, x + y = 4. Sehingga dengan menggunakan transformasi
2 2 2
korrdinat kutub yaitu, x = r cos θ, y = r sin θ, x + y = r , dan dA = r dr dθ , sebagai hasilnya
2 2
daerah R yang dibatasi oleh lingkaran x + y =4, ditransformasikan menjadi,
R* = {(r,θ) : 0 ≤ r ≤ 2, 0 ≤ θ ≤ 2π}

Jadi,

∫∫ F • n1 dS1 = ∫∫ 2 4 − x 2 − y 2 dA
S1 R
2π 2
= ∫0 ∫0 2 4 − r 2 rdrdθ
2
2π ⎡ 2 ⎤
= ∫ − (4 − r 2 ) 3 / 2 ⎥ dθ
0 ⎢⎣ 3 ⎦ 0
2π ⎡ 2 3/ 2 ⎤
= ∫0 ⎢⎣ 3 (4) ⎥⎦ dθ

⎡16 ⎤ 32
= ⎢ θ⎥ = π
⎣3 ⎦0 3

273
Selanjutnya, dengan cara yang sama untuk permukaan S2, ambil, z = f(x,y) = – 4 − x 2 − y 2
sehingga dihasilkan,
x x
f x ( x, y ) = = −
4 − x2 − y2 z
y y
f y ( x, y ) = =−
4 − x2 − y2 z
Sehingga untuk medan vektor F(x,y,z) = yi – xj + 2z k, maka fluks F yang melalui permukaan
S1, dengan vektor normal n2 ke arah bawah diberikan oleh,

∫∫ F • n 2 dS 2 = ∫∫ (Mf x + Nf y − R) dA
S2 R
⎡ ⎛ x⎞ ⎛ y⎞ ⎤
= ∫∫ ⎢⎣ y⎜⎝ − z ⎟⎠ + (− x)⎜⎝ − z ⎟⎠ − 2 z ⎥⎦ dA
R
= ∫∫ − 2 z dA
R
= ∫∫ (−2)(− 4 − x 2 − y 2 ) dA
R
= ∫∫ 2 4 − x 2 − y 2 dA
R
2 2
dimana R adalah lingkaran, x + y = 4. Sehingga dengan menggunakan hasil perhitungan
sebelumnya maka dihasilkan pula,
32
∫∫ F • n 2 dS 2 = ∫∫ 2 4 − x 2 − y 2 dA = π
3
S2 R
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa,

∫∫ F • n dS = ∫∫ F • n1 dS1 + ∫∫ F • n 2 dS 2
S S1 S2
32 32 64
= π + π = π
3 3 3

Cara Kedua, teorema Divergensi Gauss


Daari medan vektor, F(x,y,z) = yi – xj + 2zk, maka divergensi medan vektornya diberikan
oleh,
∂M ∂N ∂R
div F = ∇ • F = + +
∂x ∂y ∂z
∂ ∂ ∂
= ( y ) + (− x) + (2 z )
∂x ∂y ∂z
=1–1+2=2

Sehingga menurut teorema divergensi Gauss, integral permukaan tertutup tersebut diberikan
oleh,

274
⎛ ∂M ∂N ∂R ⎞
∫∫ F • n dS = ∫∫∫ ⎜⎜⎝ + + ⎟ dV
∂x ∂y ∂z ⎟⎠
S B
= ∫∫∫ 2 dV = 2 ∫∫∫ dV
B B
2 2 2
dimana B adalah bola, x + y + z = 4, dengan pusat (0,0,0) dan jari-jari 2. Karena integral
lipat tiga, ∫∫∫ dV menyatakan suatu volume benda pejal, dan volume bola dengan jari-jari r
B
4 4 32
adalah π r 3 . Sehingga volume bola dengan r = 2 adalah π (2) 3 = π . Jadi,
3 3 3
⎛ 32 ⎞ 64
∫∫ F • n dS = 2 ∫∫∫ dV = 2 ⎜⎝ 3 π ⎟⎠ = 3 π
S B
64
Perhatikanlah kedua pendekatan menghasilkan nilai yang sama yakni π . Jadi laju aliran
3
64
fluida yang melalui bola adalah π satuan panjang pangkat tiga per satuan waktu.
3

Dari kedua contoh diatas terlihat bahwa teorema divergensi Gauss memberikan cara yang
lebih mudah atau sederhana untuk menghitung nilai integral permukaan atas suatu permukaan
tertutup. Teorema ini menfransformasikan penghitungan integral permukaan (integral vektor)
menjadi integral lipat tiga (skalar). Kemudahan ini akan lebih terlihat bilamana medan
vektornya memuat fungsi-fungsi transendent, untuk jelasnya perhatikanlah contoh berikut ini.

Contoh 4.7.3
Misalkan F adalah medan vektor yang didefinisikan oleh,
yz 2
F(x,y,z) = (e – x y)i + 3yz j + 2xyz k
Hitunglah integral permukaan, ∫∫ F • n dS , bilamana S adalah permukaan tertutup benda
S
pejal yang di oktan pertama dibatasi oleh bidang-bidang, 2x + y + z = 6, y = x, z = 0 dan x = 0
Penyelesaian
Perhatikanlah sketsa benda pejal berikut ini

z = 6 – 2x – y

y
R
2x + y = 6
x y=x

Gambar 4.7.3 Sketsa Permukaan S Contoh 4.7.3

275
yz 2
Dari sketsa pada gambar 4.7.3 diatas, dan medan vektor F(x,y,z) = (e – x y)i + 3yzj + 2xyzk,
kesulitan yang timbul jika untuk menghitung integral permukaan, ∫∫ F • n dS secara
S
langsung adalah integral permukaannya harus dihitung atas dasar empat permukaan, seperti
terlihat pada gambar 4.7.3, yang mana metode ini tidaklah begitu sederhana. Sedangkan jika
menggunakan teorema divergensi Gauss, dari medan vektor, F(x,y,z) yang diberikan
yz 2
dihasilkan M(x,y,z) = e – x y, N(x,y,z) = 3yz, dan R(x,y,z) = 2xyz,. Dengan demikian
divergensi medan vektornya adalah,

∂M ∂N ∂R
div F = ∇ • F = + +
∂x ∂y ∂z
∂ yz ∂ ∂
= (e − x 2 y ) + (3 yz ) + (2 xyz)
∂x ∂y ∂z
= (–2xy) + 3z + 2xy = 3z

Sehingga menurut teorema divergensi Gauss,


⎛ ∂M ∂N ∂R ⎞
∫∫ F • n dS = ∫∫∫ ⎜⎜⎝ ∂x + ∂y + ∂z ⎟⎟⎠ dV = ∫∫∫ 3z dV
S B B
dimana B adalah benda pejal yang terlihat seperti pada Gambar 4.7.3. Benda pejal pada
Gambar 4.7.3 tersebut, berbentuk z sederhana yang dibatasi oleh,

B = {(x,y,z) : 0 ≤ z ≤ 6 – 2x – y; x ≤ y ≤ 6 – 2x; 0 ≤ x ≤ 2}

Jadi,

∫∫ F • n dS = ∫∫∫ 3z dV = ∫∫∫ 3z dz dy dx
S B B
2 6−2x 6−2x − y
= ∫0 ∫ x ∫0 3z dz dy dx
6−2x− y
2 6−2x ⎡3 2⎤
= ∫0 ∫ x ⎢⎣ 2 z ⎥⎦
0
dy dx

3 2 6−2x
= ∫ ∫ (6 − 2 x − y ) 2 dy dx
2 0 x
6−2x
3 2⎡ 1 ⎤
− (6 − 2 x − y ) 3 ⎥
2 ∫ 0 ⎢⎣ 3
= dx
⎦x
1 2 27 2
= ∫ (6 − 3x) 3 dx = ∫ (2 − x) 3 dx
2 0 2 0
2
27 ⎡ 1 4⎤
=
2 ⎢⎣− 4 (2 − x) ⎥⎦
0
27 ⎛ 1 ⎞
= ⎜ ⎟ (16)
2 ⎝4⎠
= 54

276
Contoh 4.7.4
Misalkan F adalah medan vektor yang didefinisikan oleh,
3 3 3
F(x,y,z) = x i + y j + z k
Hitunglah fluks medan vektor F yang melalui permukaan tertutup S, jika S adalah permukaan
2 2 2 2 2 2
benda pejal yang dibatasi oleh bola, x + y + z = 2z, dan diatas kerucut, x + y = z
Penyelesaian
Menurut definisinya fluks medan vektor F yang melalui permukaan S diberikan oleh,
∫∫ F • n dS
S
dimana S adalah permukaan tertutup yang diperlihatkan pada gambar 4.7.4 berikut ini.

z
2 2 2
x + y + z = 2z

2 2 2
x +y =z

y
x

Gambar 4.7.4. Sketsa permukaan Contoh 4.7.4

Untuk menghitung integral permukaan diatas secara langsung, maka yang harus dihitung
adalah integral permukaan atas permukaan bola untuk n1 yang arahnya keatas, dan
permukaan kerucut untuk n2 yang arahnya kebawah. Kesulitan yang timbul adalah
menghitung inetgral permukaan dengan dua normal bidang yang berbeda, yang mana hal ini
tidaklah cukup sederhana. Dengan menerapkan teorema divergensi, untuk medan vektor,
3 3 3
F(x,y,z) = x i + y j + z k, dihasilkan :

⎛∂ 3 ∂ 3 ∂ ⎞
∫∫ F • n dS = ∫∫∫ ⎜⎜⎝ ∂x ( x )+ ( y ) + ( z 3 ) ⎟⎟ dV
∂y ∂z ⎠
S B
2
= ∫∫∫ (3x + 3 y 2 + 3z 2 ) dV
B
= 3 ∫∫∫ ( x 2 + y 2 + z 2 ) dV
B
dimana B adalah benda pejal yang dibatasi oleh bola dan kerucut seperti terlihat pada Gambar
4.7.3. Benda pejal pada Gambar 4.7.3 simetris terhadap titik pusat koordinat. Sehingga
dengan menggunakan transformasi koordinat bola, yakni x = r cos θ sin φ , y = r sinθ sin φ ,
2 2 2 2 2 2 2 2
z = r cosφ , x + y + z = r , dan dV = r sin φ dr dθ dφ . Hasilnya, bola, x + y + z = 2z
2 2 2
ditransformasikan menjadi, r = 2 cos φ , kerucut, z = x + y , ditransformasikan menjadi,
2
tan φ = 1, φ = π/4. Jadi benda pejal B dalam koordinat bola diberikan oleh,
B* = {(r,θ,φ) : 0 ≤ r ≤ 2 cos φ ; 0 ≤ θ ≤ 2π; 0 ≤ φ ≤ π/4}

277
Jadi,
∫∫ F • n dS = 3 ∫∫∫ ( x 2 + y 2 + z 2 ) dV
S B
π / 4 2π 2 cos φ 2
= 3∫ ∫0 ∫0 (r 2 ) r sin φ dr dθ dφ
0
π / 4 2π 2 cos φ
= 3∫ ∫0 ∫0 r 4 sin φ dr dθ dφ
0
2 cos φ
π / 4 2π ⎡ 1 5 ⎤
=3 ∫0 ∫0 ⎢ r ⎥
⎣5 ⎦ 0
sin φ dθ dφ

π / 4 2π ⎛ 32 5 ⎞
= 3∫ ∫ 0 ⎜⎝ 5 cos φ sin φ ⎟⎠ dθ dφ
0

π / 4 ⎡ 32 ⎤
= 3∫ ⎢⎣ 5 θ cos5 φ sin φ ⎥ dφ
0 ⎦0
192 π /4
= π ∫ cos5 φ sin φ dφ
5 0
π /4
192 ⎡ 1 6 ⎤
=
5
π ⎢⎣− 6 cos φ ⎥⎦
0

32 ⎡ ⎛ 1 ⎞ ⎤
6
= π ⎢1 − ⎜ 2 ⎟ ⎥
5 ⎢ ⎝2 ⎠ ⎥⎦

32 ⎛ 1 ⎞ 28
= π ⎜1 − ⎟ = π
5 ⎝ 8⎠ 5
28
Jadi fluks medan vektor F yang melewati permukaan tertutup S yang ditanyakan adalah π
5
satuan panjang pangkat tiga per satuan waktu.

Dalam penghitungan integral permukaan atas permukaan tertutup dengan menggunakan


teorema divergensi Gauss diasunsikan bahwa permukaan benda pejalnya adalah benda pejal
tidak berlubang. Namun demikian, perluasan dari teorema divergensi Gauss ini berlaku pula
bilamana permukaan benda pejalnya adalah benda pejal yang berlubang. Namun demikian,
dalam penggunaannya harus pula diperhatikan adalah bahwa vektor normal datuanya harus
mengarah atau menjauhi bagian dalam benda pejal yang berlubang. Untuk itu perhatikanlah
contoh berikut ini

Contoh 4.7.5
Hitunglah fluks medan vektor F yang melalui S, bilamana F adalah medan vektor yang
didefinisikan oleh,
2 2 2
F(x,y,z) = 2xy i + (x – yz )j + (2zx + y)k
2 2
dan S adalah permukaan benda pejal terletak antara dua silinder lingkaran tegak, x + y = 1,
2 2
x + y = 4, dari z = 0 dan z = 2

278
Penyelesaian
Menurut definisinya fluks medan vektor F yang melalui permukaan S diberikan oleh,
∫∫ F • n dS
S
dimana S adalah permukaan tertutup yang diperlihatkan pada gambar 4.7.5 berikut ini.

z z=2

2 2
x +y =4
2 2
x +y =1

Gambar 4.7.5. Sketsa benda contoh 4.7.5

Dari sketsa pada Gambar 4.7.5, terlihat bahwa benda pejal yang diberikan berlubang
ditengah, sehingga untuk menghitung integral permukaan, ∫∫ F • n dS secara langsung akan
S
menimbulkan berbagai kesulitan, terutama yang terkait dengan vektor normal satuannya.
2 2 2
Sehingga untuk medan vektor, F(x,y,z) = 2xy i + (x – yz )j + (2zx + y)k, dan permukaan
yang terlihat pada gambar 4.7.5, dengan menerapkan teorema divergensi dihasilkan

⎛∂ 2 ∂ ∂ ⎞
∫∫ F • n dS = ∫∫∫ ⎜⎜⎝ ∂x (2 xy )+ ( x − yz 2 ) + (2 zx 2 + y ) ⎟⎟ dV
∂y ∂z ⎠
S B
2
= ∫∫∫ (2 y − z 2 + 2 x 2 ) dV
B
2
= ∫∫∫ [2( x + y 2 ) − z 2 ] dV
B

dimana benda pejal B adalah benda pejal yang berlubang yang berbentuk silinder lingkaran
tegak dibatasi oleh,
2 2
B = {(x, y, z) : 0 ≤ z ≤ 2 ; 1 ≤ x + y ≤ 4}
Sehingga dengan menggunakan transformasi koordinat silinder, x = r cos θ, y = r sinθ, z = z,
2 2 2
x + y = r , dan dV = r dz dr dθ . Hasilnya benda pejal pada gambar 4.75 diatas akan
ditransformasikan menjadi,

B* = {(r,θ, z) : 0 ≤ z ≤ 2 ; 1 ≤ r ≤ 2; 0 ≤ θ ≤ 2π}

279
Jadi,
2
∫∫ F • n dS = ∫∫∫ [2( x + y 2 ) − z 2 ] dV
S B
2π 2 2 2
= ∫ 0 ∫ 1 ∫ 0 ( 2r − z 2 ) r dz dr dθ
2π 2 2 3
= ∫ 0 ∫ 1 ∫ 0 ( 2r − z 2 r ) dz dr dθ
2
2π 2 ⎡ 3 1 ⎤
= ∫0 ∫ 2r z − rz 3 ⎥ dr dθ
1 ⎢⎣ 3 ⎦ 0
2π 2⎛ 3 8 ⎞
= ∫ 0 ∫1 ⎜ 4r − r ⎟ dr dθ
⎝ 3 ⎠
2
2π ⎡ 4 4 2 ⎤
= ∫ 0 ⎢⎣
r − r
3 ⎥⎦ 1

2π ⎡⎛ 16 ⎞ ⎛ 4 ⎞⎤
= ∫0 ⎢⎜16 − 3 ⎟ − ⎜1 − 3 ⎟⎥ dθ
⎣⎝ ⎠ ⎝ ⎠⎦

⎡⎛ 32 1 ⎞ ⎤
= ⎢⎜ + ⎟θ ⎥
⎣⎝ 3 3 ⎠ ⎦ 0
⎛ 33 ⎞
= ⎜ ⎟(2π ) = 22 π
⎝ 3⎠

Jadi fluks medan vektor F yang melewati permukaan tertutup S yang ditanyakan adalah 22 π
satuan panjang pangkat tiga per satuan waktu.

Teorema Stokes

Teorema Stokes dalam bidang yang merupakan salah satu bentuk vektor dari teorema Green,
telah dibahas pada pembahasan pada sub teorema Green. Teorema Stokes dalam bidang
dimaksud dinyatakan dengan,

∫ C F • T ds = ∫∫ (∇ × F) • k dA
R
Sebagaimana teorema divergensi Gauss dalam bidang yang dapat digeneralisasikan dalam
ruang dimensi tiga, teorema Stokes jua dapat digeneralasikan dalam bentuk umu di ruang
dimensi tiga, dalam kasus dimana S adalah kurva permukaan ruang dimensi tiga. Teorema ini
memberikan metode yang baik untuk menghitung integral garis pada kurva tertutup dengan
pendekatan integral permukaan.

Misalkan S adalah permukaan mulus sederhana dengan vektor satuan n bervariasi dan
kontinu, dan batasnya ∂S adalah C kurva tertutup sederhana dengan arah berlawanan arah
jarum jam, mulus sepotong-sepotong. (Lihat gambar 4.7.6 dan 4.7.7)

280
n S n
T ∂S
C

C T S

∂S n n

Gambar 4.7.6 Sketsa permukaan n keatas Gambar 4.7.7 Sketsa permukaan n kebawah

Andaikan, F(x,y,z) = M(x,y,z)i + N(x,y,z)j + R(x,y,z)k, adalah medan vektor sedemikian rupa
sehingga M(x,y,z), N(x,y,z), dan R(x,y,z) fungsi tiga variabel yang mempunyai turunan-
turunan parsial pertama yang kontinu pada S, dan batasnya ∂S. Jika n vektor normal satuan
dengan arah keatas pada S, dan jika T adalah suatu vektor singgung pada C, maka

∫ C F • T ds = ∫∫ (∇ × F) • n dS
S

Bukti teorema Stokes ini diluar batasan pembahasan buku ini. Teorema Stokes ini
menyatakan bahwa integral garis dari komponen tangensial medan vektor F disekitar C,
batasnya dari permukaan S pada ruang dimensi tiga adalah sama dengan integral permukaan
komponen hasil kali titik dari curl medan vektor F dengan vektor normal permukaan S.
Teorema ini menyajikan pula kemudahan menghitung integral garis melalui integral
permukaan. Faktor yang perlu diperhatikan dalam menghitung integral permukaan ruas kanan
teorema Stokes adalah arah dari vektor normal satuannya. Karena arah vektor normal berbeda
rumus yang digunakan untuk menghitung integral permukaannya juga berbeda. Untuk itu
perhatikanlah contoh-contoh berikut ini.

Contoh 4.7.6
3 3 3
Periksanlah berlakunya teorema Stokes, untuk medan vektor F(x,y,z) = –y i + x j + z k, dan
2 2 2
S adalah bagian kerucut, z = x + y yang terletak dibawah bidang z = 2
Penyelesaian
Untuk membuktikan berlakunya teorema Stokes, yakni,
∫ F • T ds = ∫∫ (∇ × F) • n dS
C
S
yang harus dibuktikan adalah integral garis ruas kiri, ∫ C F • T ds nilainya harus sama dengan
integral permukaan ruas kanan, yaitu ∫∫ (∇ × F) • n dS .
S
Langkah pertama, menghitung ∫ C F • T ds
2 2 2
Perhatikanlah sketsa permukaan kerucut S, z = x + y yang dipotong oleh bidang z = 2
berikut ini.

281
z

C
n

2 2 2
z = x +y

R y
2 2
x x +y =4

Gambar 4.7.8 Sketsa permukaan kerucut contoh 4.7.6

2 2 2
Gambar 4.7.8, memperlihatkan sketsa permukaan kerucut, z = x + y dengan vektor normal
yang arahnya ke atas, dan proyeksi kerucut yang dipotong oleh bidang z = 2 pada bidang xy
2 2
membentuk suatu daerah R yang dibatasi oleh lingkaran, x + y = 4.
2 2 2
Kurva C yang merupakan perpotongan kerucut, z = x + y , dan bidang z = 2 menghasilkan
suatu lingkaran pada bidang z = 2 dengan pusat (0,0,2) dan jari-jarinya adalah 2. Sehingga
persamaan parameter untuk kurva C adalah,

x = 2 cos s, y = 2 sin s , z = 2, dan 0 ≤ s ≤ 2π

Dengan demikian persamaan fungsi vektor kurva C adalah,

r(s) = 2 cos s i + 2 sin s j + 2k, dengan 0 ≤ s ≤ 2π

Dengan demikian, dihasilkan :


3 3 3 3 3
F(s) = –y (s) i + x (s) j + z (s) k = –8 sin s i + 8 cos s j + 8 k,
dan,
dx dy dz
T(s) = i+ j+ k = –2 sin s i + 2 cos s j + 0 k
ds ds ds
3 3
F(s)• T(s) = (– 8 sin s i + 8 cos s j + 8 k)•( –2 sin s i + 2 cos s j + 0 k)
4 4
= 16 sin s + 16 cos s
4 4
= 16(cos s + sin s)

Jadi,


∫ C F • T ds = ∫ 0 16(cos 4 s + sin 4 s ) ds

282
2π 2π
⎡⎛ 1 3 ⎞ 3 ⎤ ⎡ ⎛1 3 3 ⎞ 3 ⎤
= 16 ⎢⎜ cos 3 s + cos s ⎟ sin s + s ⎥ + 16 ⎢− ⎜ 4 sin s + 8 sin s ⎟ cos s + 8 s ⎥
⎣⎝ 4 8 ⎠ 8 ⎦0 ⎣ ⎝ ⎠ ⎦0
⎛6 ⎞ ⎛6 ⎞
= 16 ⎜ π ⎟ + 16 ⎜ π ⎟ = 24 π
⎝8 ⎠ ⎝8 ⎠

Langkah kedua, menghitung ∫∫ (∇ × F) • n dS


S
3 3 3
Dari medan vektor, F(x,y,z) = –y i + x j + z k, dihasilkan

i j k
∂ ∂ ∂
curl F = ∇× F =
∂x ∂y ∂z
− y3 x3 z3
⎛∂ ∂ ⎞ ⎛∂ ∂ ⎞ ⎛∂ ∂ ⎞
= ⎜⎜ ( z 3 ) − ( x 3 ) ⎟⎟ i – ⎜ ( z 3 ) − (− y 3 ) ⎟ j + ⎜⎜ ( x 3 ) − (− y 3 ) ⎟⎟ k
⎝ ∂y ∂z ⎠ ⎝ ∂x ∂z ⎠ ⎝ ∂x ∂y ⎠
2 2
= 0i – 0j + 3(x + y )k

Dengan demikian,
2
∫∫ (∇ × F) • n dS = ∫∫ 3( x + y 2 ) k • n dS
S S
dimana S adalah bagian permukaan kerucut seperti terlihat pada gambar 4.7.8, dengan arah
vektor normal ke atas, maka untuk menghitung integral permukaan ruas kanan rumus yang
2 2
digunakan adalah, ∫∫ (− Mf x − Nf y + R ) dA . Dari ∇× F = 3(x + y )k, diperoleh M = 0, N = 0,
R
2 2 2 2 2
dan R = 3(x + y ). Sedangkan dari persamaan kerucut, z = x + y , atau, z = x 2 + y 2 ambil
z = f(x,y) = x 2 + y 2 , sehingga dihasilkan,
x x
f x ( x, y ) = = ,
2 2 z
x +y
y y
f y ( x, y ) = =
x2 + y2 z

Jadi,

2
∫∫ (∇ × F) • n dS = ∫∫ 3( x + y 2 ) k • n dS
S S
⎡ ⎛ x⎞ ⎛ y⎞ 2 ⎤
= ∫∫ ⎢⎣− 0⎜⎝ z ⎟⎠ − 0⎜⎝ z ⎟⎠ + 3( x + y 2 )⎥ dA
R ⎦
2
= ∫∫ 3( x + y 2 ) dA
R

283
2 2
Dari gambar 4.7.8, terlihat bahwa daerah R dibatasi oleh lingkaran, x + y = 4. Sehingga
untuk menghitung integral terakhir ini, dengan menggunakan transformasi koordinat kutub,
2 2 2
yaitu : x = r cos θ, y = r sin θ, x + y = r , dan dA = r dr dθ , sebagai hasilnya daerah R yang
2 2
dibatasi oleh lingkaran x + y = 4, ditransformasikan menjadi,

R* = {(r,θ) : 0 ≤ r ≤ 2, 0 ≤ θ ≤ 2π}

Jadi,

2
∫∫ 3( x + y 2 ) k • n dS = 3 ∫∫ ( x
2
+ y 2 ) dA
S R
2π 2 2
= 3∫ ∫ 0 (r ) r dr dθ
0
2π 2 3
= 3∫ ∫0 r dr dθ
0
2
2π ⎡ 1 4 ⎤
=3 ∫ r
0 ⎢⎣ 4 ⎥⎦
0


= 3∫ 4 dθ
0
= [12θ ] 02π = 24 π

Dari langkah pertama dan kedua, jadi terbuktilah kebenaran teorema Stokes untuk kasus
diatas, yakni 24 π

Contoh 4.7.7
2
Periksalah berlakunya teorema Stokes, untuk medan vektor, F(x,y,z) = yz i + 2xz j + z k, dan
2 2
S adalah bagian permukaan paraboloida, z = 10 – x – y , yang terletak diatas bidang z = 1
Penyelesaian
Seperti pada contoh sebelumnya, untuk membuktikan berlakunya teorema Stokes yang harus
diperlihatkan adalah bahwa nilai dari integral garis ∫ F • T ds , hasilnya sama dengan
C
integral permukaan, ∫∫ (∇ × F) • n dS
S

Langkah pertama, menghitung ∫ C F • T ds


2 2
Perhatikanlah sketsa permukaan paraboloida, z = 10 – x – y , yang terletak diatas bidang z =
1, dan daerah R yang merupakan proyeksi permukaannya pada bidang xy, diperlihatkan pada
Gambar 4.7.9

284
z
n

S
2 2
z = 10 – x – y

2 2
z=1 x + y = 9, z =1
C

R y
2 2
x x +y =9

Gambar 4.7.9. Permukaan paraboloida contoh 4.7.7

2 2
Dari sketsa pada gambar 4.7.9, perpotongan permukaan paraboloida, z = 10 – x – y , dengan
bidang z = 1 menghasilkan kurva tertutup C yang berbentuk suatu lingkaran dengan pusat
(0,0,1) dan jari-jarinya adalah 3. Persamaan parameter untuk kurva tertutup C tersebut adalah,

x = 3 cos s, y = 3 sin s , z = 1, dan 0 ≤ s ≤ 2π

Dengan demikian persamaan fungsi vektor kurva C adalah,

r(s) = 3 cos s i + 3 sin s j + k, dengan 0 ≤ s ≤ 2π

Dengan demikian, dihasilkan :


2
F(s) = yz i + 2xz j + z k = 3 sin s i + 6 cos s j + k,
dan,
dx dy dz
T(s) = i+ j+ k = – 3 sin s i + 3 cos s j + 0 k
ds ds ds

F(s) • T(s) = (3 sin s i + 6 cos s j + 8 k)•( –3 sin s i + 3 cos s j + 0 k)


2 2
= – 9 sin s + 18 cos s
2 2 2
= 27cos s – 9(cos s + sin s)
2
= 27 cos s – 9
Jadi,

∫ C F • T ds = ∫ 0 (27 cos 2 s − 9) ds

⎡ 27 27 ⎤
= ⎢ cos s sin s + s − 9 s ⎥
⎣2 2 ⎦0
⎛ 27 ⎞
= ⎜ ⎟(2π ) – 9 (2π) = 9 π
⎝ 2 ⎠

285
Langkah kedua, menghitung ∫∫ (∇ × F) • n dS
S

2
Dengan cara yang sama seperti sebelumnya, dari medan vektor, F(x,y,z) = yz i + 2xz j + z k,
dihasilkan

i j k
∂ ∂ ∂
curl F = ∇× F =
∂x ∂y ∂z
yz 2 xz z2
⎛∂ ∂ ⎞ ⎛∂ ∂ ⎞ ⎛∂ ∂ ⎞
= ⎜⎜ ( z 2 ) − (2 xz ) ⎟⎟ i – ⎜ ( z 2 ) − ( yz ) ⎟ j + ⎜⎜ (2 xz ) − ( yz ) ⎟⎟ k
⎝ ∂y ∂z ⎠ ⎝ ∂x ∂z ⎠ ⎝ ∂x ∂y ⎠
= –2x i + y j + z k

Dengan demikian,

∫∫ (∇ × F) • n dS = ∫∫ (−2 x i + y j + z k ) • n dS
S S

dimana S adalah bagian permukaan paraboloida seperti terlihat pada gambar 4.7.9, dengan
arah vektor normal ke atas. Maka untuk menghitung integral permukaan ruas kanan rumus
yang digunakan adalah, ∫∫ (− Mf x − Nf y + R) dA . Dari (∇× F) = –2x i + y j + z k, diperoleh
R
2 2
M = –2x, N = y, dan R = z. Sedangkan dari persamaan paraboloida, z = 10 – (x + y ), ambil,
2 2
z = f(x,y) = 10 – (x + y ), sehingga dihasilkan,

f x ( x, y ) = – 2x
f y ( x, y ) = – 2y

Jadi,
∫∫ (∇ × F) • n dS = ∫∫ (−2 x i + y j + z k ) • n dS
S S
= ∫∫ [−(−2 x)(−2 x) − y(−2 y) + z ] dA
R
2
= ∫∫ [−4 x + 2 y 2 + (10 − x 2 − y 2 )] dA
R
2
= ∫∫ (10 − 5 x + y 2 ) dA
R
2
= ∫∫ [10 + ( x + y 2 ) − 6 x 2 ] dA
R

2 2
Dari gambar 4.7.9, terlihat bahwa daerah R dibatasi oleh lingkaran, x + y = 9. Sehingga
untuk menghitung integral terakhir ini, dengan menggunakan transformasi koordinat kutub,

286
2 2 2
yaitu : x = r cos θ, y = r sin θ, x + y = r , dan dA = r dr dθ , sebagai hasilnya daerah R yang
2 2
dibatasi oleh lingkaran, x + y = 9, ditransformasikan menjadi,

R* = {(r,θ) : 0 ≤ r ≤ 3, 0 ≤ θ ≤ 2π}

Jadi,
2
∫∫ (−2 x i + y j + z k ) • n dS = ∫∫ [10 + ( x + y 2 ) − 6 x 2 ] dA
S R
2π 3 2
= ∫ 0 ∫ 0 (10 + r − 6r 2 cos 2 θ ) r dr dθ
2π 3 3
= ∫ 0 ∫ 0 (10r + r − 6r 3 cos 2 θ ) dr dθ
3

⎡ 2 1 4 6 4 2 ⎤
∫ 0 ⎢⎣5r + 4 r − 4 r cos θ ⎥⎦ 0 dθ
=

2π ⎛ 261 243 ⎞
= ∫ ⎜ − cos 2 θ ⎟ dθ
0 ⎝ 4 2 ⎠

⎡ 261 243 ⎛ 1 1 ⎞⎤
= ⎢ θ− ⎜ cosθ sin θ + θ ⎟⎥
⎣ 4 2 ⎝2 2 ⎠⎦ 0
⎡ 261 243 ⎛ 1 ⎞ ⎤
= ⎢ (2π ) − ⎜ ⎟(2π )⎥
⎣ 4 2 ⎝2⎠ ⎦
⎛ 261 243 ⎞ 18
=⎜ − ⎟π = π = 9 π
⎝ 2 2 ⎠ 2

Dari langkah pertama dan kedua, jadi terbuktilah kebenaran teorema Stokes untuk kasus
diatas, yakni 9 π

Dari kedua contoh diatas tersyirat bahwa teorema ini menyajikan pula kemudahan dalam
penghitungan integral garis melalui integral permukaan. Kemudahan ini akan semakin jelas
bilamana integral garis yang hendak dihitung kurva tertutupnya terdiri atas beberapa kurva.
Demikian pula sebaliknya memberikan alternatif lain untuk menghitung integral permukaan
dengan melalui integral garis pada kurva tertutup. Untuk itu perhatikanlah contoh-contoh
berikut ini.

Contoh 4.7.8
Dengan menerapkan teorema Stokes, hitunglah integral garis, ∫ C F • T ds , untuk medan
2 2
vektor, F(x,y,z) = –yz i + x j + y k, dan C adalah batas dari permukaan silinder paraboloida,
2
z = 4 – x , di oktan pertama yang dipotong oleh bidang-bidang, z = 0, y = x dan y = 0.
Penyelesaian
2
Gambar 4.7.10 berikut ini memperlihatkan permukaan silinder patabolik, z = 4 – x di oktan
pertama yang dipotong oleh bidang-bidang, z = 0, y = x dan y = 0.

287
z

n
2
z=4–x

C1 C3
y

R
2 x=2
x C2 y=x

Gambar 4.7.10. Permukaan Contoh 4.7.8

Dari gambar 4.7.10, terlihat bahwa kurva tertutup C, terdiri atas kurva C1, C2, dan C3.
Akibatnya, jika integral garis diatas yakni ∫ F • T ds , dihitung secara langsung, maka untuk
C
menghitungnya harus dihitung atas tiga buah segmen kurva C1, C2, dan C3 yaitu :
∫ F • T ds = ∫ F • T ds + ∫ F • T ds + ∫ F • T ds
C C1 C2 C3

Cara yang demikian ini, tidaklah cukup sederhana dan praktis, dengan menggunakan teorema
Stokes transformasi menjadi integral permukaan permasalahan itu menjadi lebih sederhana.
Dengan menggunakan teorema Stokes diperoleh,

∫ C F • T ds = ∫∫ (∇ × F) • n dS
S
Untuk menghitung integral permukaan ruas kanan terlebih dahulu dicari (curl F). Untuk
2 2
medan vektor, F(x,y,z) = –yz i + x j + y k, diperoleh :

i j k
∂ ∂ ∂
curl F = ∇× F =
∂x ∂y ∂z
− yz x2 y2
⎛∂ ∂ ⎞ ⎛∂ ∂ ⎞ ⎛∂ ∂ ⎞
= ⎜⎜ ( y 2 ) − ( x 2 ) ⎟⎟ i – ⎜ ( y 2 ) − (− yz ) ⎟ j + ⎜⎜ ( x 2 ) − (− yz ) ⎟⎟ k
⎝ ∂y ∂z ⎠ ⎝ ∂x ∂z ⎠ ⎝ ∂x ∂y ⎠
= 2y i – y j + (2x + z) k

Dengan demikian,

∫∫ (∇ × F) • n dS = ∫∫ [2 y i − y j + (2 x + z ) k ] • n dS
S S

288
2
dimana S adalah bagian dari permukaan silinder paraboloida, z = 4 – x , di oktan pertama
yang dipotong oleh bidang-bidang, z = 0, y = x dan y = 0. Selanjutnya dari sketsa pada
gambar 4.7.10, terlihat bahwa vektor normal n arahnya keatas, sehingga untuk menghitung
integral permukaan ruas kanan digunakan rumus, ∫∫ (− Mf x − Nf y + R) dA . Sedangkan dari,
R
(∇× F) = 2y i – y j + (2z + z) k, diperoleh M = 2y, N = – y, dan R = 2x + z. Sedangkan dari
2 2
silinder paraboloida, z = 4 – x , ambil, z = f(x,y) = 4 – x , sehingga dihasilkan,

f x ( x, y ) = – 2x
f y ( x, y ) = 0
Sehingga, dengan menggunakan hasil diatas diperoleh :
∫∫ (∇ × F) • n dS = ∫∫ [2 y i − y j + (2 x + z ) k ] • n dS
S S
= ∫∫ [−(2 y)(−2 x) − (− y)(0) + (2 x + z )] dA
R
= ∫∫ (4 xy + 2 x + z ) dA
R
2
= ∫∫ (4 xy + 2 x + 4 − x ) dA
R
dimana daerah R, menurut sketsa pada gambar 4.7.10 dibatasi oleh,

R = {(x, y) : 0 ≤ y ≤ x, 0 ≤ x ≤ 2}
Jadi,
2 2
∫∫ (4 xy + 2 x + 4 − x ) dA = ∫∫ (4 + 2 x − x + 4 xy) dy dx
R R
2 x
= ∫0 ∫0 (4 + 2 x − x 2 + 4 xy ) dy dx
x
2⎡ 2 4 2⎤
= ∫ 0 ⎢⎣(4 + 2 x − x ) y − 2 xy ⎥⎦ 0 dx
2 2
= ∫ 0 [(4 + 2 x − x ) x − 2 x( x 2 )] dx
2 2
= ∫ 0 (4 x + 2 x − 3x 3 ) dx
2
⎡ 2 3 ⎤
= ⎢2 x 2 + x 3 − x 4 ⎥
⎣ 3 4 ⎦0
16
= 8 + − 12
3
4
=
3
4
Jadi integral garis yang ditanyakan untuk masalah diatas adalah
3

289
Contoh 4.7.9
Hitunglah integral permukaan, ∫∫ (∇ × F) • n dS , bilamana F adalah medan vektor yang
S
didefinisikan oleh, F(x,y,z) = yz i + 2xz j + xy k, dan S adalah permukaan elipsoida dengan
2 2 2
persamaan : x + 9y + z = 10 yang terletak di atas bidang, z = 1.

Penyelesaian
Menurut teorema Stokes, penghitungan integral permukaan diatas dapat dilakukan dengan
transformasi menjadi integral garis atas kurva tertutup C yang merupakan batas dari S, yaitu
∫∫ (∇ × F) • n dS = ∫ F • T ds
C
S
dimana C kurva tertutup yang diperlihatkan pada gambar berikut ini.

z = 10 − x 2 − 9 y 2

2 2
z = 1, x + 9y = 9
C
y
2 2
x x + 9y = 9

Gambar 4.7.11 Kurva C Contoh 4.7.9

hitung secara laDari sketsa pada gambar 4.7.11 diatas, terlihat bahwa kurva tertutup C yang
2 2 2
merupakan perpotongan elipsoida, x + 9y + z = 10 dengan bidang z = 1 adalah suatu elips
2 2
pada bidang, z = 1 dengan persamaan, x + 9y = 9. Persamaan parameter untuk kurva C
tersebut adalah,

x = 3 cos s, y = sin s, z = 1, dan 0 ≤ s ≤ 2π

Dengan demikian persamaan fungsi vektor kurva C adalah,

r(s) = 3 cos s i + sin s j + k, dengan 0 ≤ s ≤ 2π

Dengan menggunakan persamaan paramater tersebut, maka dihasilkan :

F(s) = yz i + 2xz j + xy k = sin s i + 6 cos s j + 3 cos s sin s k,


dan,
dx dy dz
T(s) = i+ j+ k = – 3 sin s i + cos s j + 0 k
ds ds ds

F(s) • T(s) = (sin s i + 6 cos s j + 3 cos s sin s k) • ( –3 sin s i + cos s j + 0 k)


2 2
= – 3 sin s + 6 cos s

290
2 2 2
= 6 cos s + 6 sin s – 9 sin s
2
= 6 – 9 sin s
Jadi,
∫∫ (∇ × F) • n dS = ∫ C F • T ds
S

= ∫0 (6 − 9 sin 2 s) ds

⎡ 9 9 ⎤
= ⎢6s − cos s sin s + s ⎥
⎣ 2 2 ⎦0
⎛9⎞
= 6 (2 π) – ⎜ ⎟(2π ) = 3π
⎝2⎠
Jadi integral permukaan yang ditanyakan untuk masalah diatas adalah 3π

Soal-soal Latihan 4.7.

Dalam soal-soal latihan nomor 1 sampai dengan 10 berikut ini, hitunglah fluks medan vektor
F melalui permukaan S, baik secara langsung maupun dengan menggunakan teorema
divergensi Gauss
2
1. F(x,y,z) = 3xyi + 2yzj + z k, dan S adalah permukaan balok di oktan pertama yang
dibatasi oleh bidang-bidang, x = 0, x = 2, y = 1, y = 2, z = 1 dan z = 3.
2 2 2
2. F(x,y,z) = x yi + y zj + xz k, dan S adalah permukaan balok di oktan pertama yang
dibatasi oleh bidang-bidang, x = 0, x = 1, y = 0, y = 2, z = 1 dan z = 2.
2 2 2
3. F(x,y,z) = x yz i + xy z j + xyz k, dan S adalah permukaan balok di oktan pertama yang
dibatasi oleh bidang-bidang, x = 1, x = 2, y = 0, y = 2, z = 0 dan z = 1.
4. F(x,y,z) = y i – x j + 2z k, dan S adalah permukaan tertutup yang dibatasi oleh
2 2 2 2
paraboloida, z = 8 – x – y , dan z = x + y .
2 2
5. F(x,y,z) = y i – xy j + 2z k, dan S adalah permukaan tertutup di oktan pertama yang
dibatasi bidang, x + 2y + z = 2, x = 0, y = 0, dan z = 0
2 2
6. F(x,y,z) = xy i – x j + 2z k, dan S adalah permukaan tertutup di oktan pertama yang
dibatasi bidang, 2x + 2y + z = 4, x = 0, y = 0, dan z = 0
2 2
7. F(x,y,z) = xy i – x j + z k, dan S adalah permukaan tertutup yang dibatasi oleh
2 2 2 2
paraboloida, z = 8 – x – y , dan z = x + y .
2 2 3
8. F(x,y,z) = xy i – x y j + z k, dengan S adalah permukaan tertutup yang dibatasi oleh
2 2 2
bola, x + y + z = 4.
2 2 3
9. F(x,y,z) = 2xy i + 2x y j – z k, dengan S adalah permukaan tertutup yang dibatasi oleh
2 2 2
bola, x + y + z = 4.
3 3 3 2 2 2
10. F(x,y,z) = x i + y j + z k, dan S permukaan tertutup berbentuk bola, x + y + z = 4.

291
Dalam soal latihan nomor 11 sampai 20 berikut ini, hitunglah integral permukaan,
∫∫ F • n dS dimana S adalah permukaan tertutup dengan menggunakan teorema divergensi
S
atau transformasi integral lipat tiga
2 2
11. F(x,y,z) = 2xyz i + 3y z j – 2yz k, dengan S adalah permukaan tertutup suatu benda pejal
2 2
yang dibatasi oleh silinder, y + z = 4, bidang x + y = 2, dan ketiga bidang koordinat.
2 2 2
12. F(x,y,z) = x yz i – xy z j + 2xyz k, dengan S adalah permukaan tertutup suatu benda pejal
2 2
yang dibatasi oleh silinder, y + z = 4, bidang y = x, x = 0, dan z = 0.
2
13. F(x,y,z) = xz i + 2yz j + 3z k, dengan S adalah permukaan tertutup suatu benda pejal yang
dibatasi oleh bidang-bidang, x + 2y + z = 6, y = x, y = 0, dan z = 0.
2
14. F(x,y,z) = 2xy i + y j + yz k, dengan S adalah permukaan tertutup suatu benda pejal yang
dibatasi oleh bidang, 2y + y + z = 4, z = 2x, x = 0, dan y = 0.
2 2
15. F(x,y,z) = x z i – xyz j + xz k, dengan S adalah permukaan tertutup suatu benda pejal
2 2
yang dibatasi oleh silinder, x + z = 4, bidang y = x, y = 0, dan z = 0.
2 2 2 2
16. F(x,y,z) = xy i + x y j + (x + y )z k, dengan S adalah permukaan tertutup suatu benda
2 2 2
pejal yang dibatasi oleh bola, x + y + z = 2z.
3 3 3
17. F(x,y,z) = x i + y j + z k, dengan S adalah permukaan tertutup suatu benda pejal yang
2 2
dibatasi oleh silinder lingkaran tegak, x + y = 4y, antara z = 0, dan z = 2.
18. F(x,y,z) = (xi + yj + zk) x 2 + y 2 + z 2 dengan S adalah permukaan tertutup suatu benda
2 2 2
pejal yang dibatasi oleh bola, x + y + z = 4.
xi + yj + zk
19. F(x,y,z) = dengan S adalah permukaan tertutup suatu benda pejal yang
x2 + y2 + z 2
2 2 2
dibatasi oleh bola, x + y + z = 2z.
xi + yj + zk
20. F(x,y,z) = dengan S adalah permukaan tertutup suatu benda pejal yang
( x 2 + y 2 + z 2 )3
2 2 2 2 2 2
dibatasi oleh bola, x + y + z = 1, dan x + y + z = 4.

Untuk soal-soal latihan nomor 21 s.d 30 berikut ini periksalah kebenaran berlakunya teorema
Stokes, untuk medan vektor F dan kurva C batas dari permukaan S berikut ini.

21. F(x,y,z) = 3z i + 2y j + 4z k, dan kurva C adalah batas dari permukaan S yang merupakan
2 2
bagian dari permukaan paraboloida, z = 4 – x – y , dan diatas bidang xy.
22.F(x,y,z) = 2xy i + 2x j + 3z k, dan kurva C adalah batas dari permukaan S yang merupakan
2 2
bagian dari permukaan paraboloida, z = x + y , dibawah bidang, z = 4.
23. F(x,y,z) = 3yz i + 2xz j + z k, dan kurva C adalah batas dari permukaan S yang merupakan
2 2
bagian dari permukaan paraboloida, z = 10 – x – y , dan diatas bidang, z = 1.
3 3
24. F(x,y,z) = –y i + x j + xyz k, dan kurva C adalah batas dari permukaan S yang merupakan
2 2 2
bagian dari permukaan bola, x + y + z = 25 dan diatas bidang, z = 3.
3 3
25. F(x,y,z) = –y i + x j + xyz k, dan kurva C adalah batas dari permukaan S yang merupakan
2 2 2
bagian dari permukaan kerucut, x + y = z dan dibawah bidang, z = 2.
2 2
26. F(x,y,z) = xy i + 3x j + z k, dan kurva C adalah batas dari permukaan S yang merupakan
2 2 2
bagian dari permukaan kerucut, x + y = z dan dibawah bidang, z = 3.

292
3 3 3
27. F(x,y,z) = –y i + 4x j + z k, dan kurva C adalah batas dari permukaan S yang merupakan
2 2 2
bagian dari permukaan elipsoida, 4x + y + 4z = 36 dan diatas bidang xy.
2 2 3
28. F(x,y,z) = –yx i + xy j + 3z k, dan kurva C adalah batas dari permukaan S yang
2 2 2
merupakan bagian dari permukaan bola, x + y + z = 25 dan diatas bidang, z = 4
2 2 3
29. F(x,y,z) = –9yx i + 4xy j + z k, dan kurva C adalah batas dari permukaan S yang
2 2 2
merupakan bagian dari permukaan elipsoida, 9x + 4y + z = 36 dan diatas bidang xy.
2 2
30. F(x,y,z) = –yx i + xy j + xyz k, dan kurva C adalah batas dari permukaan S yang
2 2 2
merupakan bagian dari permukaan kerucut, x + y = z dan dibawah bidang, z = 2.

Dalam soal-soal latihan nomor 31 s.d 40 berikut ini, gunakanlah teorema Stokes untuk
menghitung integral garis, ∫ F • T ds dengan mentransformasikan menjadi integral
C
permukaan ∫∫ (∇ × F) • n dS , jika diberikan medan vektor F dan kurva C berikut ini, dengan
S
normal permukaannya diambil arahnya keatas.
2 2
31. F(x,y,z) = yx i + xy j + xyz k, dan C kurva batas dari permukaan S yang merupakan
2 2
bagian dari permukaan silinder, x + z = 4 yang dipotong bidang, y = x, y = 0, dan z = 0.
2 2 2
32. F(x,y,z) = xy i + xz j + y z k, dan C kurva batas dari permukaan S yang merupakan
2 2
bagian dari permukaan silinder, y + z = 4 yang dipotong bidang, y = x, x = 0, dan z = 0.
33. F(x,y,z) = yz i + xy j + xz k, dan C kurva batas dari permukaan S yang merupakan bagian
dari permukaan bidang, z = 2y yang dipotong bidang, y = x, x + y = 4, x = 0 dan z = 0.
2
34. F(x,y,z) = 2z i + 3x j + 3y k, dan C kurva berbentuk ellips yang merupakan bagian dari
2 2
permukaan silinder, x + y = 4 yang dipotong bidang, y = z yang terletak diatas bidang
xy.
2 2 2 2
35. F(x,y,z) = (y – z)i + (z – x )j + (x – y ) k, dan C kurva batas dari permukaan S yang
merupakan bagian dari permukaan bidang, x + 2y + z = 3 yang dipotong bidang, y = x, x =
0, dan z = 0.
2 2
36. F(x,y,z) = (y – x)i + (x – z )j + (2x – y) k, dan C kurva batas dari permukaan S yang
merupakan bagian dari permukaan bidang, x + 2y + z = 6 yang dipotong bidang, y = x, y =
0, dan z = 0.
37. F(x,y,z) = (2y – z)i + (2z – x)j + (2x – y) k, dan C kurva berbentuk elips batas dari
2 2
permukaan S yang merupakan bagian dari permukaan silinder, x + y = 4, yang dipotong
bidang, x + z = 2 yang terletak diatas bidang xy.
2 2 3
38. F(x,y,z) = –2yx i + 2xy j + z k, dan kurva C adalah batas dari permukaan S yang
2 2
merupakan bagian dari permukaan paraboloida, z = x + y dan dibawah bidang z = 4.
39. F(x,y,z) = (2z – y)i + (2x – 3z)j + (2x – 3y) k, dan C kurva berbentuk elips batas dari
2 2
permukaan S yang merupakan bagian dari permukaan silinder, x + y = 4, yang dipotong
bidang, y + z = 2 yang terletak diatas bidang xy.
2 2
40. F(x,y,z) = (y – z)i + (x – z)j + (2x – y) k, dan C kurva batas dari permukaan S yang
2
merupakan bagian dari permukaan bidang, x + y + z = 6 yang dipotong bidang, y = x , y =
0, dan z = 0.

293
Dalam soal-soal latihan nomor 41 s.d 50 berikut ini, gunakanlah teorema Stokes untuk
menghitung integral permukaan, ∫∫ (∇ × F) • n dS dengan mentransformasikan menjadi
S
integral garis, ∫ C F • T ds , jika diberikan medan vektor F dan kurva C berikut ini, dengan
normal permukaannya diambil arahnya keatas.

2 2 3
41. F(x,y,z) = –yx i + xy j + z k, dan kurva C adalah batas dari permukaan S yang
2 2 2
merupakan bagian dari permukaan bola, x + y + z = 5 diatas bidang z = 1.
3
42. F(x,y,z) = –y i + 2xz j + 3z k, dan kurva C adalah batas dari permukaan S yang
2 2 2
merupakan bagian dari permukaan elipsoida, 2x + 2y + z = 12 dan diatas bidang z = 2.
43. F(x,y,z) = (z – 2y)i + (2x + z) j + (x – y) k, dan kurva C adalah batas dari permukaan S
2 2
yang merupakan bagian dari permukaan paraboloida, z = 4 – (x + y ) dan diatas bidang
xy.
2 2 2
44. F(x,y,z) = zy i + zx j + z k, dan kurva C adalah batas dari permukaan S yang merupakan
2 2 2
bagian dari permukaan bola, x + y + z = 8 dan diatas bidang z = 2.
2 2
45. F(x,y,z) = –y z i + xz j + z k, dan kurva C adalah batas dari permukaan S yang merupakan
2 2 2
bagian dari permukaan elipsoida, x + y + 4z = 20 dan diatas bidang z = 2.
3
46. F(x,y,z) = –y i + x z j + 3z k, dan kurva C adalah batas dari permukaan S yang merupakan
2 2 2
bagian dari permukaan elipsoida, 4x + y + 4z = 20 dan diatas bidang z = 2.
47. F(x,y,z) = y i + 2xz j + 3z k, dan kurva C adalah batas dari permukaan S yang merupakan
2 2
bagian dari permukaan paraboloida, z = 14 – (x + y ) dan diatas bidang z = 5.
3 2
48. F(x,y,z) = –y i + 2xz j + z k, dan kurva C adalah batas dari permukaan S yang
2 2 2
merupakan bagian dari permukaan elipsoida, x + 4y + 4z = 20 dan diatas bidang z = 2.
3
49. F(x,y,z) = y i + 4x j + 3z k, dan kurva C adalah batas dari permukaan S yang merupakan
2 2 2
bagian dari permukaan elipsoida, 4x + 9y + 4z = 36 dan diatas bidang xy.
3 3 3
50. F(x,y,z) = –y z i + x z j + z k, dan kurva C adalah batas dari permukaan S yang
2 2
merupakan bagian dari permukaan paraboloida, z = 5 – (x + y ) dan diatas bidang z = 1.

294
295
BAB V
DERET TAK HINGGA

5.1. Barisan Tak Hingga

Barisan Tak Hingga

Barisan bilangan sering dijumpai dalam bidang ilmu matematika, ilmu keteknikan maupun
bidang ilmu lainnya. Misalkan diberikan suatu bilangan-bilangan,

1, 3, 5, 9, 11, …, 99

susunan-susunan bilangan diatas membentuk sutau barisan. Barisan bilangan diatas


dikatakan berhingga, karena terdapat suku terakhir yakni 99. Sedangan barisan bilangan,

1, 4, 7, 10, 13, …

dikatakan sebagai barisan bilangan tak berhingga, karena barisan bilangan diatas tidak
mempunyai suku terakhir. Secara eksplisit, suku terakhir barisan bilangan dapat
dinyatakan dengan rumus,

an = 3n – 2, untuk n ≥ 1

Jadi sebuah barisan adalah suatu himpunan dari bilangan-bilangan,

a1, a2, a3, a4, a5, …

didalam suatu urutan tertentu yang terkait dengan bilangan asli, dan dibentuk menurut
kaidah aturan tertentu. Sebuah bilangan dalam barisan tersebut disebut dengan suku.
Barisan dapat dibedakan menjadi barisan yang berhingga bilamana barisan itu mempunyai
suku yang terakhir, dan barisan tak berhingga bilamana barisan tidak mempunyai bilangan
suku terakhir. Sebagai ilustrasi himpunan bilangan-bilangan,

1, 4, 7, 10, 13, … ,31

adalah sebuah barisan berhingga. Perhatikanlah bahwa bilangan pada barisan diatas
monoton naik artinya suku ke-n selalu meningkat, dan beda bilangan antara dua suku yang
saling berurutan adalah 3. Dengan demikian suku ke-n barisan bilangannya diberikan oleh,

an = 1 + 3(n – 1) = 3n – 2, untuk n = 1, 2, 3, …, 10

Sedangkan himpunan bilangan,

1 1 1
1, , , ,…
3 5 7
membentuk barisan tak hingga. Perhatikanlah bahwa bilangan pada barisan ini monoton
turun artinya suku ke-n selalu menurun, dimana pembilangnya konstan 1, dan
penyebutnya berbentuk bilangan yang ganjil yang bersesuaian dengan bilangan bulat.
Dengan demikian suku ke-n barisan bilangannya diberikan oleh,

1
an = , untuk n = 1, 2, 3, …
2n − 1

Limit Barisan Tak Hingga

Suatu barisan tak hingga,

a1, a2, a3, a4, a5, …

dapat pula disajikan dengan notasi, {an } ∞


n =1 , atau yang lebih singkat dengan {an}. Suatu
barisan, {an} dikatakan konvergen dan mempunyai limit L, untuk setiap ε > 0, terdapatlah
bilangan bulat positip N yang nilainya tergantung pada ε, sedemikian sehingga berlaku |an
– L| < ε untuk semua bilangan bulat n > N. Jadi bilangan bulat L dikatakan sebagai limit
dari barisan tak hingga,{an}, maka dalam kasus ini dapat dituliskan menjadi,

lim an = L
n→ ∞

Demikian pula sebaliknya, bilamana tidak suku ke-n tidak konvergen, maka barisan {an}
yang diberikan dikatakan divergen.

Contoh 5.1.1
⎧ n +1 ⎫ 1
Buktikanlah barisan, ⎨ ⎬ konvergen, dan limitnya adalah
⎩ 4n + 3 ⎭ 4
Penyelesaian
Dari barisan diatas, ambil :
n +1
an =
4n + 3
Menurut definisi yang harus ditunjukkan adalah untuk setiap ε > 0, terdapatlah bilangan
bulat positip N yang nilainya tergantung pada ε, sedemikian untuk semua bilangan bulat n
> N, berlaku :
n +1 1
⇔ jika n > N, maka − < ε
4n + 3 4
4(n + 1) − (4n + 3)
⇔ jika n > N, maka < ε
4(4n + 3)
1
⇔ jika n > N, maka <ε
4(4n + 3)
1
⇔ jika n > N, maka <ε
4(4n + 3)
1
⇔ jika n > N, maka < 4ε
4n + 3
1
⇔ jika n > N, maka 4n + 3 >

1 − 12ε
⇔ jika n > N, maka n >
16ε
Agar supaya pernyataan diatas berlaku maka dapat diambil N = (1 – 12ε)/16ε, dan dapat
diperoleh bilangan bulat n sedemikian rupa sehingga berlaku :

1− 12ε n +1 1
jika n > , maka − < ε
16ε 4n + 3 4
1 1 1
Khususnya jika diambil ε = dan N = , maka diperoleh n > , dan pernyataan diatas
16 4 4
dapat ditulis menjadi,
1 n +1 1 1
jika n > , maka − <
4 4n + 3 4 16
⎧ n +1 ⎫
Jadi pernyataan terakhir ini membuktikan bahwa barisan, ⎨ ⎬ konvergen, dan
⎩ 4n + 3 ⎭
1
limitnya adalah . Misalkan diambil n = 3, maka diperoleh :
4
3 +1 1 4 1 1 1
− = − = <
4(3) + 3 4 15 4 60 16

Dari contoh ini terlihat bahwa untuk membuktikan konvergensi barisan dengan
menggunakan definisi, cukup sulit. Pendekatan lain yang dapat digunakan untuk
menyelidiki konvergensi barisan adalah dengan menghitung limit suku ke-n. Hal ini
diberikan oleh contoh soal berikut ini.

Contoh 5.1.2.
⎧⎪ 6n 2 + 1 ⎫⎪
Selidikilah apakah barisan, ⎨ ⎬ ini konvergen atau divergen.
⎪⎩ 4n 2 + 3n ⎪⎭
Penyelesaian
Untuk membuktikan apakah barisan yang diberikan konvergen atau divergen, yang harus
ditunjukkan adalah apakah, lim an = L ada atau tidak. Dari barisan yang diberikan ambil,
n→ ∞
2
6n + 1
an =
4n 2 + 3n
Dengan menggunakan aturan L’Hopital diperoleh,
6n 2 + 1 12n 12 3
lim an = lim = lim = lim =
n→ ∞ n→ ∞ 2
4n + 3n n → ∞ 8n + 3 n→ ∞ 8 2
3 3
Jadi, lim an = , oleh karena itu limitnya ada yakni . Sehingga dapat disimpulkan
n→ ∞ 2 2
2 2
bahwa barisan yang diberikan konvergen. Jadi barisan {(6n +1)/(3n + 3n)} konvergen
3
yang limitnya menuju .
2

Pendekatan lain untuk menghitung nilai limit barisan, lim an = L ada atau tidak
n→ ∞
adalah dengan pendekatan lim f(x) = L, ada atau tidak. Bilamana lim f(x) = L, dan f
x→ ∞ x→ ∞
yang terdefinisikan untuk setiap bilangan bulat positif, maka berlaku pula bahwa lim
n→ ∞
f(n) = L bilamana n adalah bilangan bulat pisitif. Rumus ini digunakan bilamana barisan
yang terlibat didalam memuat suku-suku dimana limitnya tidak dapat dihitung dengan cara
penyederhanaan biasa secara langsung. Untuk lebih jelasnya perhatikanlah contoh-contoh
berikut ini.

Contoh 5.1.3.
⎧⎪ e 2 n ⎫⎪
Selidikilah apakah barisan, ⎨ ⎬ ini konvergen atau divergen.
⎪⎩ n 2 + 4n ⎪⎭
Penyelesaian
Seperti pada contoh sebelumnya yang harus dibuktikan adalah apakah barisan tersebut
mempunyai limit atau tidak, yaitu :
e 2n
lim an = lim
n→ ∞ n → ∞ n 2 + 4n
e 2n
Nilainya ada atau tidak. Oleh karena itu uutuk menghitung lim , ambil,
n→ ∞ n 2 + 4n
e2x
f(x) =
x2 + 4x
e 2n
Dengan demikian, menurut rumus diatas untuk menghitung lim ada atau tidak,
n→ ∞ n 2 + 4n
e2x
dapat dibuktikan dari lim . Sehingga dengan menerapkan aturan L’Hopithal
x→ ∞ x2 + 4x
dihasilkan,

e2x 2e 2 x 4e 2x
lim = lim = . lim =∞
x→ ∞ x2 + 4x x→ ∞ 2x + 4 x→ ∞ 2
Karena limitnya tidak ada atau tak hingga, maka daoat disimpulkan bahwa,
e 2n
lim
n→ ∞ n 2 + 4n
Juga tidak ada, jadi barisan yang diberikan adalah barisan yang divergen.
Contoh 5.1.4.
⎧⎪⎛ 1 ⎞ ⎫⎪
n
Selidikilah apakah barisan, ⎨⎜1 + ⎟ ⎬ ini konvergen atau divergen.
⎪⎩⎝ 4n ⎠ ⎪⎭
Penyelesaian :
Seperti pada contoh sebelumnya yang harus dibuktikan adalah apakah barisan tersebut
mempunyai limit atau tidak. Dari barisan diperoleh bahwa,
n
⎛ 1 ⎞
an = ⎜ 1 + ⎟
⎝ 4n ⎠
n
⎛ 1 ⎞
Untuk menghitung limit tak hingga yakni lim ⎜1 + ⎟ ambil,
n→ ∞ ⎝ 4n ⎠
x x
⎛ 1 ⎞ ⎛ 4x +1 ⎞
f(x) = ⎜1 + ⎟ = ⎜ ⎟
⎝ 4x ⎠ ⎝ 4x ⎠
dan jika diambil nilai logaritma aslinya dihasilkan,
x
⎛ 4x +1 ⎞ ⎛ 4x +1 ⎞
ln f(x) = ln ⎜ ⎟ = x ln ⎜ ⎟
⎝ 4x ⎠ ⎝ 4x ⎠
atau,
⎡ ⎛ 4 x + 1 ⎞⎤
f(x) = exp ⎢ x ln⎜ ⎟⎥
⎣ ⎝ 4 x ⎠⎦
Sehingga untuk menghitung nilai lim f(x), dapat diperoleh dari,
x→ ∞
x
⎛ 1 ⎞ ⎡ ⎛ 4 x + 1 ⎞⎤
lim f(x) = lim ⎜1 + ⎟ = exp ⎢ lim x ln⎜ ⎟⎥
x→ ∞ x→ ∞ ⎝ 4x ⎠ ⎣ x →∞ ⎝ 4 x ⎠⎦
Sedangan untuk menghitung limit tak hingga, dengan menerapkan aturan L’Hopithal
dihasilkan,

⎛ 4x +1 ⎞ ln(4 x + 1) − ln 4 x
lim x ln ⎜ ⎟ = lim
x→ ∞ ⎝ 4x ⎠ x→ ∞ (1 / x)
4 1 1
− −
4(4 x + 1)
= lim 4 x + 1 x = lim
x→ ∞ 1 x→ ∞ 1
− −
x2 x2
x2 2x 2 1
= lim = lim = lim =
2
x → ∞ 4 x +4 x x → ∞ 8x + 4 x→ ∞ 8 4
Berdasarkan hasil ini, maka :
x
⎛ 1 ⎞
lim ⎜1 + ⎟ = e1 / 4
x→ ∞ ⎝ 4x ⎠
dan akibatnya adalah,
n
⎛ 1 ⎞
lim ⎜1 + ⎟ = e1 / 4
n→ ∞ ⎝ 4n ⎠
Karena suku ke-n limitnya ada, oleh karena itu barisan yang diberikan konvergen, dan
limitnya menuju e1 / 4 .

Terkait dengan konvergensi barisan tak hingga, berikut ini disajikan teorema atau
rumus yang sangat bermanfaat untuk dapat menyelidiki konvergensi barisan tak hingga.
Andaikan, lim an = A, dan lim bn = B, maka :
n→ ∞ n→ ∞
(i). lim (an + bn) = lim an + lim bn = A + B
n→ ∞ n→ ∞ n→ ∞
(ii). lim (an – bn) = lim an – lim bn = A – B
n→ ∞ n→ ∞ n→ ∞
(iii) lim (an • bn) = lim an • lim bn = A B
n→ ∞ n→ ∞ n→ ∞
a A
(iv). lim n = , bilamana lim bn = B ≠ 0
n → ∞ bn B n→ ∞
p p
(v).) lim an = A , untuk sembarang bilangan real p.
n→ ∞
Untuk lebih jelasnya perhatikanlah contoh-contoh berikut ini.

Contoh 5.1.5.
⎧⎪ n 2 3π ⎫⎪
Selidikilah apakah barisan, ⎨ sin ⎬ konvergen atau divergen
⎪⎩ 2n + 1 n ⎪⎭
Penyelesaian
Dari barisan diatas, tulislah suku ke-n barisan menjadi,
n2 3π n 3π
sin = n sin
2n + 1 n 2n + 1 n
Oleh karenaya barisan diatas dapat dinyatakan sebagai perkalian antara dua barisan yaitu :
⎧ n ⎫⎧ 3π ⎫
⎨ ⎬ ⎨n sin ⎬
⎩ 2n +1⎭ ⎩ n⎭
Selanjutnya dengan menggunakan dalil L’Hopital diperoleh,
n
lim an = lim =½
n→ ∞ n → ∞ 2n + 1
dan,

lim bn = lim n sin
n→ ∞ n→ ∞ n
3π 3π 3π
sin − cos
2 n
= lim n = lim n
n→ ∞ 1 n→ ∞ 1

n n2

= lim 3π cos = 3π
n→ ∞ n
n 3π
Mengingat, lim = ½ , dan lim n sin = 3π , maka menurut rumus diatas
n → ∞ 2n + 1 n→ ∞ n
diperoleh,
n2 3π n 3π 3π
lim sin = lim lim n sin = (½ )( 3π) =
n → ∞ 2n + 1 n n → ∞ 2n + 1 n → ∞ n 2

Jadi barisan yang diberikan adalah konvergen, dan limitnya adalah
2

Barisan monoton dan terbatas

Barisan {an} dikatakan


(i). monoton naik, apabila an ≤ an+1 untuk semua n, dan bilangan D dikatakan sebagai
batas atas barisan {an}apabila an ≤ D untuk semua bilangan bulat positif n.
(ii). monoton turun, apabila an ≥ an+1 untuk semua n, dan bilangan C disebut sebagai batas
bawah barisan {an}apabila C ≤ an untuk semua bilangan bulat positif n.

Contoh 5.1.6
Selidilikah apakh barisan berikut ini monoton naik, monoton turun, atau tidak monoton,
bilaman diberikan :
⎧ n ⎫ ⎧ n ⎫
(a). ⎨ ⎬ (b). ⎨ ⎬
⎩ 3n + 4 ⎭ ⎩ n2 + 4 ⎭
Penyelesaian
(a). Suku-suku barisan kasus pertama dapat dituliskan menjadi,
1 2 3 n n +1
, , ,..., ,
7 10 13 3n + 4 3n + 7
Dari suku-suku diatas diperoleh an+1 dengan cara mengganti suku n dengan (n + 1) pada
n
suku an. Karena, an = , maka :
3n + 4
n +1 n +1
an+1 = =
3(n + 1) + 4 3n + 7
Perhatikanlah tiga suku pertama barisan diatas, dari ketiga suku diatas terlihat bahwa
barisan cenderung naik. Dengan demikian yang harus dibuktikan adalah bahwa jika n naik
maka harus berlaku :
n n +1

3n + 4 3n + 7
Untuk membuktikan berlakunya pertidaksamaan diatas, kalikanlah pertidaksamaan
masing-masing suku dengan (3n + 4)(3n+ 7), sehingga dihasilkan :

n(3n + 7) ≤ (n + 1)(3n + 4)
2 2
⇔ 3n + 7n ≤ 3n + 7n + 4

Pertidaksamaan terakhir ini jelas berlaku, karena ruas kanan lebih besar 4 dari pada ruas
kiri. Jadi dapat disimpulkan bahwa, an ≤ an+1 atau barisan monoton naik.
(b). Dengan cara yang sama seperti diatas, tulislah suku-suku barisan kasus kedua yaitu :
1 2 3 4 5 n n +1
, , , , ..., ,
5 8 13 20 29 2 2
n + 4 n + 2n + 5
Dari suku-suku diatas diperoleh suku an+1 dengan cara mengganti suku n dengan (n + 1)
n
pada suku an. Karena, an = , maka :
2
n +4
n +1 n +1
an+1 = =
(n + 1) 2 + 4 n 2 + 2n + 5
Perhatikanlah lima suku pertama barisan diatas, dari kelima suku diatas terlihat bahwa
bilangan-bilangan pada barisan cenderung menurun. Dengan demikian yang harus
dibuktikan adalah bahwa jika n naik maka harus berlaku :
n n +1

2 2
n +4 n + 2n + 5

Untuk membuktikan berlakunya pertidaksamaan diatas, kalikanlah kedua ruas pada


2 2
pertidaksamaan diatas masing-masing dengan (n + 4)( n + 2n + 5), sehingga dihasilkan :
2 2
n(n + 2n + 5) ≥ (n + 1)( n + 4)
3 2 3 2
⇔ n + 2n + 5n ≥ n + n + 4n + 4
2
⇔ n +n–4 ≥ 0

Pertidaksamaan terakhir ini jelas berlaku khususnya untuk n ≥ 2. Jadi dapat disimpulkan
bahwa, an ≥ an+1 atau barisan monoton turun.

Dari definisi diatas dan kedua contoh diatas dapat dikatakan bahwa suatu barisan yang
monoton naik atau monoton turun yang mempunyai batas dikatakan sebagai barisan
terbatas. Barisan terbatas adalah barisan yang konvergen. Akibatnya,
(i). suatu {an} barisan monoton naik, dan D batas atas barisan ini, maka {an} konvergen,
dan,
lim an ≤ D
n→ ∞
(ii).suatu {an} barisan monoton turun, dan C batas bawah barisan ini, maka {an}
konvergen, dan,
lim an ≥ C
n→ ∞

Sebagai ilustrasi, pada contoh diatas barisan yang pertama adalah barisan monoton naik
1
dan batasnya adalah , demikian pula barisan yang kedua adalah barisan monoton turun
3
dimana batasnya adalah 9. Untuk lebih jelas tentang pengertian barisan yang terbatas ini
perhatikanlah contoh berikut ini.
Contoh 5.1.7
⎧⎪ 2 n ⎪⎫
Buktikanlah bahwa barisan, ⎨ ⎬ adalah konvergen
⎪⎩ (n + 1)!⎪⎭
Penyelesaian
Suku-suku barisan bilangan diatas diberikan oleh,
21 2 2 23 2 4 2n 2 n +1
, , , , …, , ,…
2! 3! 4! 5! (n + 1)! (n + 2)!
2 1 2 2n 2 n +1
1,, , , …, , ,…
3 3 15 (n + 1)! (n + 2)!
Dari elemen-elemen barisan diatas dapat terlihat bahwa a1 > a2 > a3 > … an > an+1 > …
Dengan demikian patut diduga bahwa barisan diatas adalah monoton turun. Untuk itu yang
harus dibuktikan adalah kebenaran dari, an ≥ an+1 atau :
2n 2 n +1

(n + 1)! (n + 2)!
n n+1
⇔ 2 (n + 2)! ≥ 2 (n + 1)!
n n
⇔ 2 (n + 1)(n +1)! ≥ 2 2 (n + 1)!
⇔n+1≥2

Untuk n = 1, pertidakamaan menjadi 2 = 2. Jadi jelaslah bahwa pertidaksamaan berlaku


untuk n > 1. Dengan demikian barisan tersebut adalah terbatas, dengan batas atas adalah 2
dan batas bawah adalah 0. Karena barisan monoton turun dan terbatas, maka dapat
disimpulkan bahwa barusan yang diberikan adalah konvergen.

Soal-soal Latihan 5.1.

Dalam soal latihan berikut ini tentukanlah apakah barisan yang diberikan divergen atau
konvergen. Jika konvergen tentukan nilai limitnya

⎧ n +1 ⎫ ⎧⎪ n 2 − 1 ⎫⎪ ⎧⎪ n 2 + n ⎪⎫
1. ⎨ ⎬ 2. ⎨ ⎬ 3. ⎨ ⎬
⎩ 3n − 1⎭ ⎪⎩ 3n 2 + 2n ⎪⎭ ⎪⎩ 3n − 1 ⎪⎭
⎧⎪ e n ⎫⎪ ⎧ ln(n + 1) ⎫ ⎧ ln(n + 1) ⎫
4. ⎨ ⎬ 5. ⎨ ⎬ 6. ⎨ ⎬
⎪⎩ 3n 2 +1⎪⎭ ⎩ n2 ⎭ ⎩ en ⎭
⎧⎪ n 2 π ⎫⎪ ⎧ ln(n + 1) ⎫ ⎧⎪ ln 2 (n + 1) ⎫⎪
7. ⎨ sin ⎬ 8. ⎨ ⎬ 9. ⎨ ⎬
⎪⎩ 3n + 1 n ⎪⎭ ⎩ n ⎭ ⎪⎩ n ⎪⎭
⎧⎪ n 2 n 2 ⎫⎪ ⎧⎪⎛ 3 ⎞ n ⎫⎪ ⎧⎪⎛ 1 ⎞ ⎫⎪
n
10. ⎨ − ⎬ 11. ⎨⎜1 + ⎟ ⎬ 12. ⎨⎜1 − ⎟ ⎬
⎪⎩ n − 2 n + 3 ⎪⎭ ⎪⎩⎝ n ⎠ ⎪⎭ ⎪⎩⎝ 2n ⎠ ⎪⎭
⎧⎪ 1 ⎫⎪ ⎧⎪1 − 3n 2 ⎫⎪ ⎧⎪⎛ 2 ⎞ ⎫⎪
n
13. ⎨ ⎬ 14. ⎨ ⎬ 15. ⎨⎜1 + ⎟ ⎬
⎪⎩ n 2 + 1 − n ⎪⎭ ⎪⎩ n 2 ⎪⎭ ⎪⎩⎝ 3n ⎠ ⎪⎭
Dalam soal-soal latihan berikut ini, tunjukkanlah apakah barisan yang diberikan monoton
naik, monoton turun, atau tidak monoton. Dan tunjukkan pula apakah barisan berikut ini
terbatas.

⎧ n +1 ⎫ ⎧ 3 − 2n ⎫ ⎧⎪ n 2 − 1 ⎫⎪
16. ⎨ ⎬ 17. ⎨ ⎬ 18. ⎨ ⎬
⎩ 3n − 1⎭ ⎩ 3n + 1 ⎭ ⎪⎩ 3n 2 + 2n ⎪⎭
⎧⎪ n 2 + n ⎫⎪ ⎧⎪1 − 3n 2 ⎫⎪ ⎧⎪ n 2 n 2 ⎫⎪
19. ⎨ ⎬ 20. ⎨ ⎬ 21. ⎨ − ⎬
⎪⎩ 3n − 1 ⎪⎭ ⎪⎩ n 2 ⎪⎭ ⎪⎩ n − 2 n + 3 ⎪⎭
⎧⎪ n 2 − 1⎫⎪ ⎧⎪ n 3 + 2 ⎫⎪ ⎧⎪ 2 n ⎫⎪
22. ⎨ ⎬ 23. ⎨ ⎬ 24. ⎨ ⎬
⎪⎩ n ⎪⎭ ⎪⎩ n 3 + n ⎪⎭ ⎪⎩1 + 2 n ⎪⎭
⎧⎪ 3n ⎫⎪ ⎧⎪ 3n ⎫⎪ ⎧ n!⎫
25. ⎨ ⎬ 26. ⎨ ⎬ 27. ⎨ ⎬
⎪⎩1 + 3( 2n) ⎪⎭ ⎪⎩ n ! ⎪⎭ ⎩ 2n ⎭
⎧⎪ n 2 ⎫⎪ ⎧1⋅ 3 ⋅ 5 ⋅ ...(2n − 1) ⎫ ⎧ n! ⎫
28. ⎨ ⎬ 29. ⎨ ⎬ 30. ⎨ ⎬
⎪⎩ 2 n ⎪⎭ ⎩ 2n n ! ⎭ ⎩1⋅ 3 ⋅ 5 ⋅ ...(2n − 1) ⎭
5.2. Deret Tak Hingga

Pengertian Deret Tak Hingga

Misalkan diberikan suatau barisan tak hingga dimana suku-sukunya adalah :

a1, a2, a3, a4, …, an, an+1, …

Selanjutnya perhatikanlah suatu jumlahan bilangan-bilangan dari barisan diatas, yaitu :

S1 = a1
S2 = a1 + a2
S3 = a1 + a2 + a3
S4 = a1 + a2 + a3 + a4
………………….
Sn = a1+ a2 + a3 + a4 + …+ an

Suatu barisan {Sn} yang diperoleh dari jumlahan barisan {an} disebut dengan deret tak
hingga. Deret tak hingga ini biasanya dinyatakan dengan,

∑ an = a1+ a2 + a3 + a4 + …+ an + …
n =1
Bilangan-bilangan, a1, a2, a3, a4,…,an disebut dengan suku-suku deret tak hingga.
Sedangkan bilangan-bilangan S1, S2, S3, S4, …,Sn disebut dengan jumlahan parsial deret
tak hingga. Sebagai ilustrasi perhatikanlah contoh-contoh berikut ini.

Contoh 5.2.1

1
Diberikan deret tak hingga, ∑ n −1
n =1 2
(a). Tentukanlah jumlahan parsial untuk empat suku pertama
(b). Tentukanlah rumus umum untuk jumlahan Sn dan hitunglah jumlah parsial empat suku
pertama dengan rumus Sn. Hitunglah pula nilai limit tak hingganya
Penyelesaian
(a). Jumlahan parsial empat suku pertama deret diatas adalah :

S1 = 1 = 1
1 3
S2 = 1 + =
2 2
1 1 3 1 7
S3 = 1 + + = + =
2 4 2 4 4
1 1 1 7 1 15
S4 = 1 + + + = + =
2 4 8 4 8 8
(b). Menentukan rumus umum Sn
Dari deret tak hingga diperoleh,
n
1
Sn = ∑ 2 n −1
n =1
1 1 1 1
=1+ + + +…+
2 4 8 2 n −1
1 1 1 1 1 1
Sn = + + +…+ +
2 2 4 8 n −1
2 2n
Dengan demikian,
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Sn – Sn = (1 + + + + … + )–( + + +…+ + )
2 2 4 8 n −1 2 4 8 n −1
2 2 2n
⎛1 1⎞ ⎛1 1⎞ ⎛ 1 1 ⎞ 1
= 1 + ⎜ − ⎟ + ⎜ − ⎟ + … + ⎜⎜ − ⎟⎟ –
⎝2 2⎠ ⎝4 4⎠ ⎝ 2 n −1 2 n −1 ⎠ 2 n
1 1
Sn = 1 –
2 2n
Jadi jumlah parsial untuk Sn, adalah :
⎛ 1 ⎞
Sn = 2 ⎜⎜1 − ⎟⎟
⎝ 2n ⎠
Dengan menggunakan hasil diatas, diperoleh :
⎛ 1⎞
S1 = 2 ⎜1 − ⎟ = 1
⎝ 2⎠
⎛ 1 ⎞ ⎛3⎞ 3
S2 = 2 ⎜⎜1 − ⎟ = 2⎜ ⎟ =
2⎟ ⎝4⎠ 2
⎝ 2 ⎠
⎛ 1 ⎞ ⎛7⎞ 7
S3 = 2 ⎜⎜1 − ⎟⎟ = 2 ⎜ ⎟ =
⎝ 23 ⎠ ⎝8⎠ 4
⎛ 1 ⎞ ⎛ 15 ⎞ 15
S4 = 2 ⎜⎜1 − ⎟ = 2⎜ ⎟ =
4⎟ ⎝ 16 ⎠ 8
⎝ 2 ⎠
Perhatikanlah hasil diatas sama dengan hasil (a) yang dihitung langsung dari definisi.
Sedangkan nilai limit tak hingganya diberikan oleh,
⎛ 1 ⎞
S = lim Sn = lim 2 ⎜⎜1 − ⎟⎟ = 2
n→∞ n→∞ ⎝ 2n ⎠

Contoh 5.2.2

1
Diberikan deret tak hingga, ∑ n(n + 1)
n =1
(a). Tentukanlah jumlahan parsial untuk empat suku pertama
(b). Tentukanlah rumus umum untuk jumlahan Sn dan hitunglah jumlah parsial empat suku
pertama dengan rumus Sn
Penyelesaian
(a). Jumlahan parsial empat suku pertama diberikan oleh,
1 1
S1 = =
(1)(2) 2
1 1 1 1 4 2
S2 = + = + = =
2 (2)(3) 2 6 6 3
1 1 1 4 1 9 3
S3 = + + = + = =
2 6 12 6 12 12 4
1 1 1 1 3 1 16 4
S4 = + + + = + = =
2 6 12 20 4 20 20 5
(b). Menentukan rumus umum Sn
Dari deret tak hingga, tulislah suku ke-n an dalam bentuk jumlahan parsial, yaitu :
1 1 1
an = = –
n(n + 1) n n +1
Dengan hasil diatas, jumlah parsial n suku pertama dapat ditulis menjadi,
∞ n
1 ⎛1 1 ⎞
Sn = ∑ = ∑ ⎜ − ⎟
n(n + 1) n =1 ⎝ n n + 1 ⎠
n =1
⎛ 1⎞ ⎛1 1⎞ ⎛1 1⎞ ⎛1 1⎞ ⎛1 1 ⎞
= ⎜1 − ⎟ + ⎜ − ⎟ + ⎜ − ⎟ + ⎜ − ⎟ +… + ⎜ − ⎟
⎝ 2⎠ ⎝ 2 3⎠ ⎝3 4⎠ ⎝ 4 5⎠ ⎝ n n +1⎠
1
=1–
n +1
Jadi jumlah parsial untuk Sn adalah :
1 n
Sn = 1 – =
n + 1 (n + 1)
Dengan menggunakan hasil diatas, maka diperoleh :
1 1
S1 = =
(1 + 1) 2
2 2
S2 = =
(2 + 1) 3
3 3
S3 = =
(3 + 1) 4
4 4
S4 = =
(4 + 1) 5

Perhatikanlah hasil diatas sama dengan hasil (a) yang dihitung langsung dari definisi.
Sedangkan nilai limit tak hingganya diberikan oleh,
n
S = lim Sn = lim =1
n→∞ n → ∞ (n + 1)
Konvergensi Deret Tak Hingga


Andaikan ∑ an adalah suatu deret tak hingga, dan {Sn} adalah barisan jumlahan parsial
n =1

yang diperoleh dari deret tak hingga. Deret tak hingga, ∑ an dikatakan konvergen dan
n =1
mempunyai jumlah S, bilamana barisan jumlah-jumlah parsial {Sn} konvergen menuju S
atau lim Sn = S. Apabila barisan jumlah-jumlah parsial {Sn} divergen, maka deret tak
n→∞
hingga divergen

Dari definisi diatas mengatakan bahwa, pada dasarnya suatu deret tak hingga dikatakan
konvergen jika hanya jika barisan jumlahan parsialnya konvergen. Dengan demikian dapat
diperoleh beberapa hasil yang akan membentu memudahkan menentukan konvergensi
deret tak hingga, yaitu :

(i). Jika deret tak hingga, ∑ an konvergen, maka nlim
→∞
an = 0.
n =1
(ii). Jika, lim an = 0, belum tentu deret tak hingga konvergen, ada kemungkinan deret
n→∞
tak hingganya divergen atau konvergen.
(iii). Jika, lim an ≠ 0, maka deret tak hingganya pasti divergen.
n→∞

Pernyataan ini dikenal pula sebagai uji divergensi deret suku ke-n. Sebagai ilustrasi
perhatikanlagh deret tak hingga berikut ini.

1
(a). Deret tak hingga, ∑ n −1
adalah deret yang konvergen, karena :
n =1 2
⎛ 1 ⎞ ⎛ 1 ⎞
(i). Sn =2 ⎜⎜1 − ⎟⎟ , dan S = lim Sn = lim 2 ⎜⎜1 − ⎟⎟ = 2.
⎝ 2n ⎠ n→∞ n→∞ ⎝ 2n ⎠
(ii). Jadi deret yang diberikan konvergen dan jumlahnya menuju 2.
1
(iii).Karena deret konvergen, maka lim an = lim = 0.
n→∞ n → ∞ 2 −1
n

1
(b). Deret tak hingga, ∑ adalah deret yang konvergen, karena :
n =1
(n + 1)(n + 2)
1 1 n n 1
(i). Sn = – = , dan S = lim Sn = lim =
2 n+2 2(n + 2) n→∞ n → ∞ 2(n + 2) 2
1
(ii). Jadi deret yang diberikan konvergen dan jumlahnya menuju
2
1
(iii).Karena deret konvergen, maka lim an = lim = 0.
n→∞ n → ∞ ( n + 1)(n + 2)
Contoh 5.2.3
Selidikilah apakah deret tak hingga berikut ini divergen atau konvergen,

2n + 1
∑ 2 2
n =1 n (n + 1)
Penyelesaian
Langkah pertama menentukan Sn. Dari deret yang diberikan dihasilkan suku-n adalah,
2n + 1
an =
n (n + 1) 2
2

Selanjutnya tulislah un dalam bentuk jumlahan parsial berikut, yaitu


1 1
an = –
2
n (n + 1) 2
Dengan demikian jumlahan parsial deret yang diberikan dapat dituliskan menjadi,
∞ ⎛
n
2n + 1 1 1 ⎞⎟
Sn = ∑ = ∑⎜ −
2 2 ⎜ 2 (n + 1) 2 ⎟
n =1 n ( n + 1) n =1 ⎝ n ⎠
⎛ 1⎞ ⎛1 1⎞ ⎛ 1 1 ⎞⎟
= ⎜1 − ⎟ + ⎜ − ⎟ + … + ⎜ −
⎝ 4⎠ ⎝4 9⎠ ⎜ n 2 (n + 1) 2 ⎟
⎝ ⎠
1
= 1-
(n + 1) 2
Oleh kerena itu,
⎛ 1 ⎞⎟
S = lim Sn = lim ⎜1 − =1
n→∞ n → ∞ ⎜⎝ (n + 1) 2 ⎟⎠
Jadi dapat disimpulkan bahwa deret tak hingga yang diberikan konvergen, dan jumlahnya
adalah 1.

Contoh 5.2.4
Diberikan deret tak hingga,

3n 2
∑ 2
n =1 2n + 3n + 1
Selidikilah apakah deret diatas konvergen atau divergen
Penyelesaian
Perhatikanlah bahwa suku-suku pada pembilang dan penyebut dari deret mempunyai
derajat yang sama, sehingga dapat diduga bahwa nilai limit tak hingga tidak sama dengan
dengan nol. Oleh karena itu, dari deret tak hingga ambil :
3n 2
an =
2n 2 + 3n + 1
Dengan menggunakan dalil l’Hopital limit tak hingga diberikan oleh,
3n 2 6n 6
lim an = lim = lim = lim
n→∞ n→∞ 2
2n + 3n + 1 n → ∞ 4n + 3 n → ∞ 4
6
Karena, lim an = tidak sama dengan no;, maka deret yang diberikan adalah divergen
n→∞ 4
Deret Tak Hingga Khusus

Dari ilustrasi dan contoh soal diatas, terlihat bahwa untuk membuktikan suatu deret tak
hingga divergen dan atau konvergen langsung dengan definisi tidaklah cukup mudah dan
sederhana. Berikut ini disajikan beberapa deret tak hingga khusus yang natinya akan
sangat bermanfaat dan membantu dalam menyelidiki konvergensi deret tak hingga. Deret
khusus dimaksud adalah :

(1). Deret Geometri

Deret Geometri atau deret ukur diberikan oleh,



∑ ar n −1 = a + ar + ar
2 3 4 n–1
+ ar + ar + … + ar +…
n =1
a
dengan a ≠ 0. Deret geometri konvergen ke S = bilamana | r | < 1, dan divergen
1− r
a (1 − r n )
bilamana | r | ≥ 1. Jumlahan parsial n suku pertama adalah Sn = .
1− r

(2). Deret orde-p,

Deret orde-p adalah deret yang diberikan oleh :



1 1 1 1 1
∑ p
1
=
2 p
3
+
p
n p
++…
p
+…+
n =1 n
dengan p adalah konstanta. Deret orde p konvergen bilamana p > 1, dan deret divergen
bilamana p ≤ 1. Khusus untuk p = 1, deret orde p disebut dengan deret harmonik yang
divergen, yaitu :

1 1 1 1 1
∑ n = 1+ + +…+ +…
2 3 n
n =1
Konvergensi dan divergensi deret ini biasanya dapat dibuktikan dari uji integral, yang
akan dibahas pada sub bab berikutnya.

Contoh 5.2.5

Buktikalah bahwa deret geometri, ∑ ar n −1 dengan a ≠ 0, konvergen bilamana | r | < 1,
n =1
dan divergen bilamana | r | ≥ 1.
Penyelesaian
Dari deret jumlahan parsial n suku pertama adalah :
2 3 4 n–1
Sn = a + ar + ar + ar + ar + … + ar
2 3 4 n–1 n
rSn = ar + ar + ar + ar + … + ar + ar
Akibatnya dihasilkan :
2 n–1 2 n–1 n
Sn – rSn = (a + ar + ar + … + ar ) – (ar + ar + … + ar + ar )
n
(1 – r)Sn = a – ar
Jadi,
a (1 − r n ) a ar n
Sn = = –
1− r 1− r 1− r
n
Jika, | r | < 1, maka lim r = 0, sehingga :
n→∞
a (1 − r n )
S = lim Sn = lim
n→∞ n→∞ 1− r
a ar n
= lim – lim
n → ∞ 1− r n → ∞ 1− r
a
=
1− r
n
Dengan kata lain deret geometri konvergen bila | r | < 1. Jika, | r | ≥ 1, maka lim r = ∞,
n→∞
sehingga :
a (1 − r n )
S = lim Sn = lim = ∞,
n→∞ n→∞ 1− r
Dengan kata lain deret divergen jika, | r | ≥ 1, Jadi terbukti bahwa deret geometri
konvergen bilamana | r | < 1, dan divergen bilamana | r | ≥ 1.

Contoh 5.2.6

2n
Diberikan deret tak hingga, ∑ n −1
. Selidikilah apakah deret konvergen atau divergen.
n =1 3
Jika konvergen hitunglah jumlahnya
Penyelesaian
Dari deet tak hingga dihasilkan,
n −1
2n 2 ⋅ 2 n −1
⎛2⎞
un = = = 2⎜ ⎟
3n −1 3n −1 ⎝3⎠
Dengan hasil ini, deret yang diberikan dapat ditulis menjadi :
∞ ∞ n −1
2n ⎛2⎞
∑ n −1
= ∑ 2⎜⎝ 3 ⎟⎠
n =1 3 n =1
2 2
Deret terakhir ini adalah deret geometri dengan a = 2, dan r =. Karena r = < 1, maka
3 3
deret yang diberikan adalah konvergen, sedangkan jumlahnya adalah :
a 2
S= = =6
1− r 1 − (2 / 3)
Sifat-sifat Deret Tak Hingga

Sifat 1. Andaikan c konstanta tak nol.


∞ ∞
(i). Jika deret ∑ an konvergen dengan jumlah S, maka deret ∑ can konvergen dengan
n =1 n =1
jumlah adalah c.S.
∞ ∞
(ii). Jika deret ∑ an divergen, maka deret ∑ c an juga divergen
n =1 n =1

∞ ∞
Sifat 2. Andaikan ∑ an dan ∑ bn adalah dua deret yang konvergen dan jumlahnya
n =1 n =1
masing-masing adalah S dan R. Maka

(i). ∑ (an + bn ) adalah deret konvergen dan jumlahnya adalah S + R
n =1

(ii). ∑ (an − bn ) adalah deret konvergen dan jumlahnya adalah S – R
n =1

∞ ∞
Sifat 3. Andaikan ∑ an adalah deret konvergen, dan ∑ bn adalah deret divergen, maka
n =1 n =1

∑ (an + bn ) adalah deret divergen
n =1

Contoh 5.2.7

⎛ 1 1 ⎞
Selidilikilah apakah deret, ∑ ⎜⎜ + ⎟⎟ apakah konvergen atau divergen
n =1 ⎝ 3
n
n3 ⎠
Penyelesaian
Tulislah deret yang diberikan menjadi jumlahan dua buah deret yaitu :
∞ ∞ ∞
⎛ 1 1 ⎞ 1 1
∑ ⎜ n n 3 ⎟ ∑ 3n ∑ n 3
⎜ + ⎟ = +
n =1 ⎝ 3 ⎠ n =1 n =1

1 1
Suku pertama ruas kanan adalah deret geometri, ∑ 3n dengan r =
3
< 1, maka deret
n =1

1
tersebut konvergen. Sedangkan suku kedua ruas kanan adalah deret orde-p, yaitu ∑
n3 n =1
dengan p = 3 > 1 yang konvergen. Karena kedua deret konvergen, maka menurut sifat
kedua diatas deret yang diberikan yang merupakan penjumlahan dari dua deret yang
konvergen juga konvergen.
Contoh 5.2.8

3n 2 + 4
Selidilikilah apakah deret, ∑ konvergen atau divergen
n =1 n3
Penyelesaian
Seperti pada contoh sebelumnya tulislah deret tak hingga menjadi jumlahan parsial dua
buah deret yaitu :
∞ ∞ ∞
3n 2 + 4 3 4
∑ n3 ∑ n ∑ n3
= +
n =1 n =1 n =1
∞ ∞
3 1
Suku pertama ruas kanan yaitu ∑ = 3 ∑ adalah deret harmonik atau deret orde-p
n =1
n n =1
n
∞ ∞
4 1
dengan p = 1 yang divergen. Sedangkan suku kedua ruas kanan, ∑ = 4∑
3 3
n =1 n n =1 n
adalah orde-p dengan p = 3 yang konvergen. Menurut sifat ketiga penjumlahan dua buah
deret bilamana salah satu deretnya divergen, maka penjumlahanya juga divergen. Dengan
demikian deret yang diberikan juga divergen

Karena kedua deret konvergen, maka menurut sifat diatas deret yang diberikan yang
merupakan penjumlahan dari dua deret yang konvergen juga konvergen.
Dar

Contoh 5.2.9
∞ ⎡ n n⎤
⎛1⎞ ⎛1⎞
Selidikiliah apakah deret, ∑ ⎢⎢6 ⎜⎝ 3 ⎟⎠ − 3 ⎜⎝ 6 ⎟⎠ ⎥ konvergen atau divergen. Jika konvergen
⎥⎦
n =1⎣
hitunglah jumlahnya
Penyelesaian
Tulislah deret tak hingga menjadi jumlahan parsial dua buah deret yaitu :
∞ ⎡
⎛1⎞ ⎤
n n ∞ n ∞ n
⎛1⎞ ⎛1⎞ ⎛1⎞
∑ ⎜ 3 ⎟ ⎜⎝ 6 ⎟⎠ ⎥ ∑ ⎜⎝ 3 ⎟⎠ ∑ ⎜⎝ 6 ⎟⎠
⎢ 6 − 3 ⎥ = 6 – 3
n =1⎢⎣ ⎝ ⎠ ⎦ n =1 n =1
∞ n
⎛1⎞
Deret pada ruas kanan adalah deret geometri. Deret pertama, ∑ 6 ⎜ ⎟ dengan a = 6,
3
n =1 ⎝ ⎠
1
dan r = < 1, maka deret tersebut konvergen. Sedangkan jumlah deret yang pertama
3
adalah :
a 6
S= = =9
1− r 1 − (1 / 3)
∞ n
⎛1⎞ 1
Deret geometri keuda, ∑ 3 ⎜⎝ 6 ⎟⎠ dengan a = 3, dan r = 6 < 1, maka deret tersebut
n =1
konvergen. Sedangkan jumlah deret yang pertama adalah :
a 3 18
R= = =
1− r 1 − (1 / 6) 5
Karena dua deret pada ruas kanan konvergen, maka munurut sifat kedua deret yang
diberikan juga konvergen. Sedangkan jumlahnya adalah :
18 27
S–R=9– =
5 5

Soal-soal Latihan 5.2.


Selidikilah apakah deret-deret berikut konvergen atau divergen
∞ ∞ ∞
15 28 10
1. ∑ (2n + 1)(2n + 3) 2. ∑ (3n + 1)(3n + 4) 3. ∑ (4n − 3)(4n + 1)
n =1 n =1 n =1
∞ ∞ ∞
12 ⎡ 2 2 ⎤ ⎡ n +1 n + 2⎤
4. ∑ (n + 2)(n + 3) 5. ∑ ⎢ −
n + 1 n + 2 ⎥⎦
6. ∑ ⎢⎣ n + 2 − n + 3 ⎥⎦
n =1 n =1 ⎣ n =1

∞ ⎡ ∞
n n +1 ⎤ 4n − 2
7. ∑ ⎢ 2
− ⎥
(n + 2) 2 ⎦⎥
8. ∑ n
n =1 ⎣⎢ (n + 1) n =1 3
∞ ∞ n +1
3n 2
9. ∑ n−2
10. ∑ e n −1
n =1 4 n =1

Dengan menggunakan sifat-sifat deret tak hingga, tentukanlah konvergensi atau divergensi
dari deret yang diberikan. Jika konvergen hitunglah jumlahnya jika memungkinkan.

∞ ∞ ∞
3n + 1 3n 2 + n 3n 2 + 4n + 5
11. ∑ 3
12. ∑ 3
13. ∑
n3
n =1 ( n + 1) n =1 ( 2n + 1) n =1

∞ ∞ ∞
⎡ 5 3 ⎤ ⎡2 5 ⎤ ⎡2 5 ⎤
14. ∑ ⎢ 2n − 4n ⎥ 15. ∑ ⎢ 5n + 2 n ⎥ 16. ∑ ⎢ 5n + 2 n ⎥
n =1 ⎣ ⎦ n =1 ⎣ ⎦ n =1 ⎣ ⎦
∞ ⎡ ⎛ n ⎞ ⎛ 3n −1 ⎞⎤ ∞ ⎡ ⎛ n −1 ⎞ ⎛ n ⎞⎤
2 ⎟ 3 ⎟ − 3 ⎜ 4 ⎟⎥
16. ∑ ⎢4 ⎜
⎢ ⎜ 3n −1 ⎟
−2⎜
⎜ 4 n ⎟⎥
⎟⎥ 18. ∑ ⎢5 ⎜
⎜ n ⎟ ⎜ 5 n ⎟⎥
n =1 ⎣ ⎝ ⎠ ⎝ ⎠⎦ n =1 ⎢⎣ ⎝ 4 ⎠ ⎝ ⎠⎦
∞ ⎡ ⎛ 4n ⎞ ⎛ 3n −1 ⎞⎤ ∞ ⎡ ⎛ n −1 ⎞
5 ⎛ n ⎞⎤
19. ∑ ⎢⎢2 ⎜⎜ 3n −1 ⎟⎟ + 4 ⎜⎜ ⎟⎥ 20. ∑ ⎢3 ⎜ ⎟ + 5 ⎜ 4 ⎟⎥
n ⎟ ⎜ n ⎟ ⎜ 3n −1 ⎟⎥
n =1 ⎣ ⎝ ⎠ ⎝ 2 ⎠⎦⎥ n =1 ⎣⎢ ⎝ 4 ⎠ ⎝ ⎠⎦
5.3. Uji Konvergensi Deret Suku-suku Positif

Masalah yang sering muncul dalam melakukan analisis deret tak hingga, bilamana
diberikan suatu deret adalah :
(1).Menentukan apakah deret yang diberikan konvergen atau divergen
(2). Bilamana konvergen berpakah jumlahnya.

Bilamana suku-suku pada deret adalah positip, maka barisan jumlahan parsialnya adalah
naik, sehingga bila deret konvergen maka jumlahan parsial mempunyai batas atas.
Sehingga untuk menjawab masalah ini disarakan menggunakan komputer, karena dengan
iterasi yang berulang-ulang setelah n kali akan dihasilkan sebuah bilangan batas atas.
Bilangan batas ini disebut dengan jumlahan deret konvergen. Sebagaimana telah
dijelaskan kesulitan yang timbul untuk menentukan konvergensi deret adalah menentukan
jumlahan parsial n suku pertama dari deret. Hal ini disebabakan tidak semua deret yang
konvergen, secara eksplisit mempunyai jumlahan parsial yang cukuo mudah diketahui
nilainya.

Pendekatan lain yang disaranakan adalah membandingkan deret yang diberikan dengan
suatu deret yang sudah diketahui konvergen atau divergen. Deret-deret tersebut yang
sering digunakan adalah :

∑ ar n −1 = a + ar + ar
2 3 4 n–1
(1). Deret geometri + ar + ar + … + ar + … , dengan a ≠ 0.
n =1
a
Deret geometri konvergen ke S = jika | r | < 1, dan divergen jika | r | ≥ 1
1− r

1 1 1 1 1
(2). Deret orde-p, ∑ n p = 1p + 2 p
3
+
p
np
+…+
+ … , dengan p adalah konstanta.
n =1
Deret orde p konvergen bilamana p > 1, dan deret divergen bilamana p ≤ 1. Khusus
untuk p = 1, deret orde p disebut dengan deret harmonik yang divergen, yaitu :
Pendekatan yang kedua ini yang akan digunakan untuk menguji adapakah suatu deret
dengan suku-suku positip divergen atau konvergen.

5.3.1.Uji Banding

Andaikan an dan bn adalah suku-suku deret-deret positif.



(i). Jika ∑ bn deret dengan suku-suku positip yang konvergen, dan an ≤ bn untuk n > N,
n =1

maka ∑ an juga konvergen.
n =1

(ii). Jika ∑ bn deret dengan suku-suku positip yang divergen, dan an ≥ bn untuk n > N,
n =1

maka ∑ an juga divergen.
n =1
Contoh 5.3.1

n
Selidikilah apakah deret tak hingga, ∑ 3n (n + 1) kovergen atau divergen
n =1
Penyelesaian
Dari deret yang diberikan ambil,
n
n 1 n ⎛1⎞ n
an = = =⎜ ⎟
n n +1 ⎝ 3 ⎠ n +1
3n (n + 1) 3
n
Dari suku ke-n terlihat bahwa untuk n yang cukup besar n > N, suku pecahan akan
n +1
mendekati 1. Sehingga deret.
∞ ∞ n
n ⎛1⎞ n
∑ n
= ∑ ⎜⎝ 3 ⎟⎠ (n + 1)
n =1 3 (n + 1) n =1
1
Akan mendekati deret geometri dengan r = < 1 yang konvergen. Tepatnya adalah,
3
n
n ⎛1⎞ n
an = =⎜ ⎟
3n (n + 1) ⎝ 3 ⎠ n + 1
n n
1 n +1 ⎛ 1 ⎞
≤ ⎛⎜ ⎞⎟ = ⎜ ⎟ = vn
⎝ 3 ⎠ n +1 ⎝ 3 ⎠
∞ ∞ n n
⎛1⎞ n ⎛1⎞
Karena, ∑ bn = ∑ ⎜ ⎟ adalah deret geometri yang konvergen, dan <⎜ ⎟ ,
n =1
3
n =1 ⎝ ⎠ 3 (n + 1) ⎝ 3 ⎠
n


n
atau an ≤ bn, atau maka menurut uji banding deret ∑ 3n (n + 1) kovergen.
n =1

Contoh 5.3.2

n+2
Selidikilah apakah deret tak hingga, ∑ n(n + 1)
kovergen atau divergen
n =1
Penyelesaian
Dari deret yang diberikan ambil,
n+2
an =
n(n + 1)
n+2
Dari bn, terlihat bahwa untuk n yang cukup besar, akan cukup dekat 1, akibatnya
n +1

n+2 1 1
untuk n cukup besar an = akan cukup dengan , dengan ∑ adalah deret
n(n + 1) n n =1
n
harmonik yang divergen. Dengan demikian diperoleh,
n+2 (n + 1) + 1 (n + 1) 1
un = = = +
n(n + 1) n(n + 1) n(n + 1) n(n + 1)
1 1 1
= + ≥ = bn
n n(n + 1) n
∞ ∞
1 n+2 1
Karena, ∑ bn = ∑ n
adalah deret harmonik yang divergen, dan
n(n + 1)

2n
, maka
n =1 n =1

n+2
menurut uji banding deret ∑ n(n + 1)
juga divergen
n =1

Contoh 5.3.3.

n n +4
Selidikilah apakah deret tak hingga, ∑ n 3 + 2n
kovergen atau divergen
n =1
Penyelesaian
Dari deret yang diberikan ambil,
n n +4
an =
n 3 + 2n
Dari an, terlihat bahwa persamaan pada pembilang berpangkat 3/2, dan pada penyebut
1
berpangkat 3, sehingga untuk n yang cukup besar suku ke-n cenderung mendekati ,
n3 / 2

1
dengan ∑ adalah deret orde p = 3/2 >1 yang konvergen. Tepatnya adalah,
3/ 2
n =1 n
n n +4 n n +4 n n + 2n n( n + 2) n +2
an = = ≤ = =
3 2 2 2 2
n + 2n n(n + 2) n(n + 2) n(n + 2) n +2
2 n 2
≤ = = vn
n2 n3 / 2
∞ ∞
2
Karena, ∑ bn = ∑ 3/ 2
adalah deret orde p = 3/2 > 1 yang konvergen, dan an ≤ bn,
n =1 n =1 n

n n +4 2 n n +4
atau,
n 3 + 2n
<
n3 / 2
, atau maka menurut uji banding deret ∑ 3
kovergen.
n =1 n + 2n

Dari contoh-contoh diatas, untuk dapat menggunakan uji banding pertama yang harus
dilakukan adalah menduga apakah deret yang diberikan konvergen atau divergen. Langkah
kedua menentukan deret pembanding yang sudah diketahui konvergensi atu
divergensinya. Sedangkan tahapan berikutnya adalah melakukan analisis dengan uji
banding. Namun metode ini memuat kelemahan dalam pengambilan keputusan,
kelemahan yang mungkin terjadi adalah :
1). Deret yang semula diduga konvergen, sehingga dipilih pembanding deret konvergen,
namun sesungguhnya deret sumula adalah divergen
2). Deret yang semula divergen, sehingga dipilih pembanding deret divergen, namun
sesungguhnya deret semula adalah konvergen.

Untuk mengatasi hal ini, digunakan pendaktan lain yang merupakan pengembangan lebih
lanjut dari uji banding, yang lebih dikenal dengan uji banding limit. Uji ini lebih mudah
diaplikasikan dalam membuktikan konvergensi/divergensi deret tak hingga.
5.3.2. Uji Banding Limit

∞ ∞
Andaikan, ∑ an dan ∑ bn adalah deret dengan suku-suku positip, dan andaikan pula :
n =1 n =1
a
L = lim n
n → ∞ bn
(1). Jika L > 0, maka kedua deret akan bersama-sama konvergen atau divergen
∞ ∞
(2). Jika L = 0, dan ∑ bn adalah deret konvergen, maka ∑ an adalah deret konvergen
n =1 n =1
∞ ∞
(3). Jika L = ∞, dan ∑ bn adalah deret divergen, maka ∑ an adalah deret divergen
n =1 n =1
1
Kasus khusus dalam uji banding limit ini adalah bilamana diambil, bn = .
np
Andaikan,
an
L = lim = lim n p a n
n→∞ n
b n→∞

(1). Jika L berhingga, dan p > 1, maka ∑ an adalah deret konvergen
n =1

(2). Jika L ≠ 0 (atau mungkin tak hingga), dan p ≤ 1, maka ∑ an adalah deret divergen
n =1

Dalam menggunakan uji banding limit ini ada beberapa kesalahan yang mungkin
mengakibatkan uji banding limit gagal, yaitu :
∞ ∞
(1). Jika L = 0, dan ∑ bn adalah deret divergen, maka ∑ an tidak akan diketahui
n =1 n =1
divergen atau konvergen
∞ ∞
(2). Jika L = ∞, dan ∑ bn adalah deret kovergen, maka ∑ an tidak akan diketahui
n =1 n =1
divergen atau konvergen

Kedua kasus diatas mengakibatkan uji gagal atau tidak dapa mengambil kesimpulan
tentang konvergensi atau divergensi dari deret yang diberikan. Untuk lebih jelasnya
perhatikanlah contoh soal berikut ini.

Contoh 5.3.4

ln n
Selidikilah apakah deret tak hingga, ∑ n3
kovergen atau divergen
n =1
Penyelesaian
Dari deret yang diberikan ambil,
ln n
an =
n3

1 1
Langkah awal, ambil, bn = dengan ∑ adalah deret orde p = 3 yang konvergen.
3 3
n n =1 n
Sedangkan,
a 3 ln n
L = lim n = lim x = lim ln n = ∞
n → ∞ bn n→∞ n3 n→∞
1
Dari hasil akhir ini, tampaknya ujia banding limit gagal. Selanjutnya, misalkan bn =
n

1
dengan ∑ n
deret harmonik yang konvergen. Sehingga dengan menggunakan dalil
n =1
l’Hopital dihasilkan,
a ln n ln n 1
L = lim n = lim x = lim = lim =0
n → ∞ bn n→∞ n 3 n→∞ n 2 n → ∞ 2n 2
1
Dari hasil ini dengan bn = nampaknya uji banding limit juga gagal. Langkah terakhir,
n

1 1
misalkan diambil, bn =
n 2
dengan
2 ∑
adalah deret orde p = 2 yang konvergen. S
n =1 n
Sehingga dengan menggunakan dalil l’Ho[ital dihasilkan,
a 2 ln n ln n 1
L = lim n = lim x = lim = lim =0
n → ∞ bn n→∞ 3 n→∞ n n→∞ n
n

1
Karena, L = 0, dan ∑ 2
adalah deret yang konvergen, maka menurut uji banding limit
n =1 n

ln n
deret, ∑ 3
kovergen
n =1 n

Contoh 5.3.5

1
Buktikanlah deret tak hingga, ∑ n(n + 1) kovergen (lihat contoh 5.2.1)
n =1
Penyelesaian
Dari deret yang diberikan ambil,
1
an =
n(n + 1)
Dari suku ke-n ini untuk n cukup besar, terlihat bahwa perbanding antara pembilang dan
1 1
penyebut cukup dekat dengan, . Oleh karena itu ambil, bn = . Sehingga menurut
2
n n2
dalil l’Hopital dihasilkan,
an 2 1 n2 2n
L = lim = lim n = lim = lim
n → ∞ bn n→∞ n(n + 1) n → ∞ n + n n → ∞ 2n + 1
2
2
= lim =1
n→∞ 2


1
Karena, L = 1, dan ∑ 2
adalah deret yang konvergen, maka menurut uji banding limit
n =1 n

1
deret, ∑ n(n + 1)
konvergen
n =1

Contoh 5.3.6.

1
Selidikilah apakah deret tak hingga, ∑ ( n 2 + 2n) 2 / 5 kovergen atau divergen
n =1
Penyelesaian
Dari deret yang diberikan ambil,
1
un =
( n + 2n) 2 / 5
2
2 2
Dari suku ke-n ini untuk n cukup besar, terlihat bahwa (n + 2n) cukup dekat dengan n
2 2/5 4/5 1
sehingga (n + 2n) cukup dekat dengan n . Oleh karena itu ambil, bn = .
n4 / 5
Sehingga menurut dalil l’Hopital dihasilkan,
a 4/5 1 (x2 )2 / 5
L = lim n = lim x = lim
n → ∞ bn n→∞ ( n 2 + 2n) 2 / 5 n → ∞ ( n 2 + 2n ) 2 / 5
2/5 2/5 2/5
⎛ n2 ⎞ ⎛ n 2 ⎞⎟ ⎛ 2n ⎞
= lim ⎜ ⎟ = ⎜ lim = ⎜ lim ⎟
n → ∞ ⎜⎝ n 2 + 2n ⎟⎠ ⎜ n → ∞ n 2 + 2n ⎟
⎝ ⎠ ⎝ n → ∞ 2n + 2 ⎠
2/5
⎛ 2⎞
= ⎜ lim ⎟ =1
⎝ n→∞ 2 ⎠

1
Karena, L = 1, dan ∑ n 4 / 5 adalah deret orde p = 4/5 < 1 yang divergen, maka menurut
n =1

1
uji banding limit deret, ∑ ( n 2 + 2n) 2 / 5 divergen
n =1

Contoh 5.3.7

n
Buktikanlah deret tak hingga, ∑ 3n (n + 1) kovergen (lihat contoh 5.3.1)
n =1
Penyelesaian
Dari deret yang diberikan ambil,
n
n 1 n ⎛1⎞ n
an = = =⎜ ⎟
3n (n + 1) 3n n + 1 ⎝ 3 ⎠ n + 1
n
Dari suku ke-n untuk n yang cukup besar terlihat bahwa, suku pecahan akan
n +1
1
mendekati 1. Oleh karena itu, bn = . Sehingga menurut dalil l’Hopital dihasilkan,
3n
an n n n
L = lim = lim 3 = lim =1
n → ∞ bn n→∞ n
3 (n + 1) n → ∞ n +1
∞ n
⎛1⎞
Karena, L = 1, dan ∑ ⎜⎝ 3 ⎟⎠ adalah deret geometri r = 1/3 < 1 yang konvergen, maka
n =1

n
menurut uji banding limit deret, ∑ 3n (n + 1) konvergen
n =1

Contoh 5.3.8

n2
Selidikilah apakah deret tak hingga, ∑ n ! kovergen atau divergen
n =1
Penyelesaian
Dari deret yang diberikan ambil,
n2
an =
n!

1 1
dan sebagai pembanding ambil, bn = , dimana, ∑ adalah deret yang konvergen.
n! n =1
n !
Dengan menerapkan uji banding limit dihasilkan,
a n2 2
L = lim n = lim n ! = lim n = ∞
n → ∞ bn n→∞ n! n→∞
Dari hasil ini nampaknya terlihat bahwa uji banding limit gagal, sehingga tidak dapat
digunakan. Agar supaya uji banding limit dapat digunakan, tulislah deret yang diberikan
menjadi,

n2 1 22 32 4 2 n2
∑ n ! 1! 2 ! 3 ! 4 !
= + + + + … +
n !
+…
n =1
Bilmana dua suku pertama deret diatas dibuang, maka dihasilkan suatu deret yang dapat
ditulis menjadi,

32 4 2 n2 (n + 2) 2
+ +…+ +…= ∑
3! 4 ! n! n =1
(n + 2) !
(n + 2) 2 1
Sehingga dengan mengambil, an = dan bn = , sehingga dengan menerapakn
(n + 2) ! n!
aturan l’Hopital dihasilkan,
an (n + 2) 2 ( n + 2) 2
L = lim = lim n! = lim n!
n → ∞ bn n→∞ (n + 2) ! n → ∞ n(n + 1)n!
(n + 2) 2 2(n + 2) 2
= lim = lim = lim =1
n→∞ 2
n +n n → ∞ 2n + 1 n→∞ 2

1
Karena, L = 1, dan ∑ n !
adalah deret yang konvergen, maka menurut uji banding limit
n =1

n2
deret, ∑ n!
konvergen
n =1

5.3.2. Uji Integral

Uji intergal ini merupakan salah salah uji deret tak hingga dengan suku-suku positip yang
menggunakan pendekatan intergal tak wajar. Misalkan f suatu fungsi kontinu, monoton
turun dan bernilai positip untuk semua x > 1. Perhatikanlah sketsa pada Gambar berikut ini

y = f(x)

Gambar 5.3.1

Andaikan pula bahwa, an = f(n) untuk semua k bilangan bulat positif. Maka deret tak
hingga,

∑ an = a1 + a2 + a3 + … + an + …
n =1
konvergen , jika hanya jika integrl tak wajar
∞ b
∫1 f ( x) dx = lim ∫
b→∞ 1
f ( x) dx

konvergen. Demikian pula, jika intergral tak wajar divergen, maka deret tak hingga juga
divergen.

Pernyataan ini dikenal dengan uji integral tak wajar untuk deret tak hingga. Salah satu
manfaat penting dari uji ini adalah untuk membuktikan konvergensi dan divergensi deret
orde-p yang diberikan oleh :

1 1 1 1 1
∑ n p = 1p +
2 p
3 p
+
n p
+…, +…+
n =1
dengan p adalah konstanta. Deret orde p konvergen bilamana p > 1, dan deret divergen
bilamana p ≤ 1.
Contoh 5.3.9
Buktikanlah bahwa deret orde p,

1 1 1 1 1
∑ n p = 1p + 2 3 p
+
p
n
+…+
p
+…,
n =1
dengan p adalah konstanta. Deret orde p konvergen bilamana p > 1, dan deret divergen
bilamana p ≤ 1.
Penyelesaian
1 1
Dari deret orde p, diperoleh an = , dan ambil f(x) = dengan x ≥ 1. Untuk x ≥ 1,
p
n xp
1
f(x) = adalah fungsi kontinu monoton turun dan selalu bernilai positif. Untuk dapat
xp
menerapkan uji integral, yang harus dihitung adalah konvergensi integral tak wajar dari :
∞ 1
∫ 1 x p dx
Bila p ≠ 1, integral tak wajarnya diberikan oleh,
b
∞ 1 b 1 ⎡ x1− p ⎤
∫1 x p dx = lim ∫
b→∞ 1 x p
dx = lim ⎢ ⎥
b → ∞ ⎣⎢ 1 − p ⎦⎥
1
⎡ b1− p − 1⎤ 1 ⎛ 1 ⎞
= lim ⎢ ⎥ = ⎜⎜1 − lim ⎟⎟
b → ∞ ⎣⎢ 1 − p ⎦⎥ 1− p ⎝ b → ∞ b −1 ⎠
p

1
Kasus pertama bila : p > 1 dan p – 1 > 0, maka lim = 0, dan
b → ∞ b −1
p

∞ 1 1 ⎛ 1 ⎞ 1
∫ 1 x p dx = 1 − p ⎜⎜⎝1 − blim
→∞ b p −1
⎟⎟ =
⎠ 1− p
Sehingga integral tak wajar konvergen bila p > 1.

1
Kasus kedua bila p < 1, dan 1 – p > 0, maka, lim = + ∞, dan
b→∞ b p −1
∞ 1 1 ⎛ 1 ⎞
∫1x p
dx = ⎜⎜1 − lim
1 − p ⎝ b → ∞ b −1 ⎟⎠
p
⎟ =∞

Sehingga integral tak wajar divergen bila p < 1.

Bila p = 1, integral tak wajarnya diberikan oleh,


∞1 b1
∫ 1 x dx = blim ∫ dx = lim [ln x ] 1b = lim (ln b) = ∞
→∞ 1 x b→∞ b→∞
Jadi untuk p = 1, integral tak wajar divergen.

Sehingga berdasarkan hasil diatas dapat disimpulkan bahwa integral tak wajar konvergen
bilamana p > 1, dan deret divergen bilamana p ≤ 1, sehingga Deret orde p konvergen
bilamana p > 1, dan deret divergen bilamana p ≤ 1.
Contoh 5.3.10

1
Buktikanlah deret tak hingga, ∑ n(n + 1) kovergen (lihat contoh 5.3.5)
n =1
Penyelesaian
1
Dari deret tak hingga dihasilkan, an = . Karena an selalu bernilai positif, dengan
n(n + 1)
1
pendekatan uji integral oleh karena itu ambil, f(x) = untuk x ≥ 1 fungsi kontinu
x( x + 1)
monoton turun. Dengan menggunakan uji integral diperolah,
∞ 1 b 1 b⎛ 1 1 ⎞
∫ 1 x( x + 1) dx = blim
→∞
∫ 1 x( x + 1)
dx = lim ∫ ⎜ −
b→∞ 1 ⎝ x x +1⎠
⎟ dx
b
⎡ ⎛ x ⎞⎤ ⎡ ⎛ b ⎞ ⎛ 1 ⎞⎤
= lim ⎢ln⎜ ⎟⎥ = lim ⎢ln⎜ ⎟ − ln⎜ ⎟⎥
b → ∞ ⎣ ⎝ x + 1 ⎠⎦ 1 b → ∞ ⎣ ⎝ b +1⎠ ⎝ 2 ⎠⎦
⎛ b 1⎞ b 1
= ln lim ⎜ − ⎟ = ln lim – ln
b → ∞ ⎝ b +1 2 ⎠ b → ∞ b +1 2
= ln lim (1) + ln 2 = ln 2
b→∞
∞ 1
Jadi, ∫ dx = ln 2, dengan demikian integral tak wajar konvergen, maka menurut
1 x( x + 1)

1
uji integral deret tak hingga yang diberikan ∑ n(n + 1) juga konvergen.
n =1

Contoh 5.3.11

ln n
Buktikanlah deret tak hingga, ∑ 3
kovergen (lihat contoh 5.3.4)
n =1 n
Penyelesaian
ln n
Dari deret yang diberikan diperoleh, an = . Karena an selalu bernilai positif, dengan
n3
ln x
pendekatan uji integral oleh karena itu ambil, f(x) = untuk x ≥ 1 fungsi kontinu
x3
monoton turun. Dengan menggunakan uji integral diperolah,
b
∞ ln x b ln x ⎡ ln x 1 ⎤
∫ 1 x 3
dx = lim
b→∞

1 x3
dx = lim ⎢−
b → ∞ ⎣ 2x 2
− ⎥
4x 2 ⎦ 1
b
⎡ 2 ln x + 1⎤ ⎡ 1 2 ln b + 1⎤
= lim ⎢− ⎥ = lim ⎢ 4 − ⎥
2
b→∞ ⎣ 4x ⎦ 1 b→∞ ⎣ 4b 2 ⎦
1 2 ln b + 1 1 2
= – lim = – lim
4 b → ∞ 4b 2 4 b → ∞ 8b 2
1
=
4
∞ ln x 1
Karena, ∫1 3
x
dx =
4
, dengan demikian integral tak wajar konvergen, jadi menurut uji


ln n
integral terbuktikan bahwa deret tak hingga yang diberikan ∑ 3
juga konvergen.
n =1 n

Contoh 5.3.12

n2
Selidikilah apakah deret tak hingga, ∑ n
kovergen atau divergen
n =1 e
Penyelesaian
n2
Dari deret tak hingga diperoleh, an = . Karena an selalu bernilai positif, dengan
en
x2
pendekatan uji integral oleh karena itu ambil, f(x) = = x 2 e − x untuk x ≥ 1 fungsi
x
e
kontinu monoton turun. Dengan menggunakan uji integral diperolah,
b
∞ 2 −x b 2 −x
⎡ x2 + 2x + 2 ⎤
∫1 x e dx = lim
b→∞ 1
∫ x e dx = lim ⎢−
b → ∞ ⎣⎢ ex

⎦⎥ 1
⎡ 5 b 2 + 2b + 2 ⎤ ⎡ 1 2 ln b + 1⎤
= lim ⎢ − ⎥ = lim ⎢4 − ⎥
b → ∞ ⎣⎢ e eb ⎦⎥ b → ∞ ⎣ 4b 2 ⎦
5 b 2 + 2b + 2 5 2b + 2
=
– lim = – lim
e b→∞ b e b → ∞ eb
e
5 2 5
= – lim =
e b → ∞ eb e
∞ 5
Karena, ∫ x 2 e − x dx = , maka integral tak wajar konvergen, sehingga menurut uji
1 e

n2
integral deret tak hingga yang diberikan ∑ n
juga konvergen.
n =1 e

Ringkasan Uji Konvergensi Deret Suku-suku Positif

Berdasarkan teorema-teorema diatas, untuk menguji apakah deret tak hingga dengan suku-
suku positif itu konvergen atau divergen, perhatikanlah ringkasan uji konvergensi berikut
ini :
(1). Jika, lim un ≠ 0, maka deret divergen
n→∞
n
(2). Jika un memuat suku-suku n !, r , un hanya memuat suku-suku pangkat n konstam atau
p
(n) gunakanlah uji banding limit.
(3). Jika un hanya memuat suku-suku pangkat n konstam gunakanlah uji banding limit.
(4). Bila dengan uji diatas gagal, gunakanlah uji banding biasa atau uji integral
Soal-soal Latihan 5.3.
Dalam soal-soal latihan berikut ini, selidikilah konvergensi atau divergensi deret tak
hingga dengan uji banding dan uji banding limit

∞ ∞ ∞
n2 4n 2 − 1 n
1. ∑ n3 + 4 2. ∑ 2 n (3n 2 + 1) 3. ∑ n 3 + 4n − 4
n =1 n =1 n =1
∞ ∞ ∞
4 4 4
4. ∑ 5. ∑ 6. ∑
n =1 4n + 3 n 3 +3n 2
n =1 n =1 n n + 3n
∞ ∞ ∞
4 n 1
7. ∑ n2 n+3
8. ∑ ( n 3 + 2n) 3 / 4 9. ∑ (n 2 + 4) 2 / 3
n =1 n =1 n =1
∞ ∞ ∞
1 n n 3n + 1
10. ∑ n3 / 2 ln n 11. ∑ n3 + 5n + 4 12. ∑ (n + 1)3
n =1 n =1 n =1
∞ 2 ∞ 2 ∞
3n − 1 3n + n 1
13. ∑ 4 n (4n 2 + 1) 14. ∑ (2n + 1)3 15. ∑ ( n 3 + n) 2 / 3
n =1 n =1 n =1

Dalam soal-soal latihan berikut ini, selidikilah konvergensi atau divergensi deret tak
hingga dengan uji integral

∞ ∞ ∞
1 n 4
16. ∑ (n + 3)3 / 2 17. ∑ n2 + 4 18. ∑
2
4n − 1
n =1 n =1 n =1
∞ ∞ 2 ∞
n n n3
19. ∑ n 2 − 4n + 3 20. ∑ n
21. ∑ 2
n =1 n =1 2 n =1 e n
∞ ∞ 1/ n ∞
n e 1
22. ∑ e 2n 23. ∑ n 2
24. ∑ n(ln n) 2
n =1 n =1 n =1
∞ 2 ∞ 2 ∞
n n ln n
25. ∑ n 6 + 2n 3 + 1 26. ∑ e 2n 27. ∑ n2
n =1 n =1 n =1

1
28.Buktikanlah bahwa deret, ∑ n(ln n) p konvergen jika hanya jika p > 1
n =1

ln n
29. Buktikanlah bahwa deret. ∑ konvergen jika hanya jika p > 1
n =1 np
5.4. Deret Berganti Tanda, dan Konvergensi Mutlak

Pada sub bab sebelumnya deret tak hingga yang telah dibahas adalah deret-deret dengan
suku-suku positip. Suatu deret bilamana suku-sukunya bergantian tanda positip dan
negatif, deret demikian ini disebut dengan deret berganti tanda. Sebagai ilustrasi misalkan
diberikan suatu deret berikut ini,


1 1 1 (−1) n +1 1
1– + – +–…+ + … = ∑ (−1) n +1
2 3 4 n n =1
n

1 1 1 1 (−1) n 1
– + – + –+…+ + … = ∑ (−1) n
3 5 7 9 2n + 1 n =1
2n + 1

1 1 1 (−1) n+1 1
1– + – +–…+ + … = ∑ (−1) n +1
2
4 9 16 n n =1 n2

Definisi berikut ini menyatakan pernyataan secara lebih jelas dari deret berganti tanda.

Misalkan an > 0, untuk semua bilangan bulat positip n. Maka suatu deret,

a1 – a2 + a3 – a4 + – … + (−1) n +1 an + … = ∑ (−1) n +1 an
n =1
atau,

∑ (−1) n +1 an = a1 – a2 + a3 – a4 + – … + (−1) n +1 an + …
n =1
disebut dengan deret berganti tanda.

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa, masalah utama dalam deret tak hingga deret dengan
suku-suku positip adalah menentukan konvergensi atau divergensi suatu deret. Masalah
konvergensi ini berlaku pula untuk deret berganti tanda. Teorema berikut ini memberikan
suatu uji konvergensi deret berganti tanda. Uji ini dikenal pula sebagai uji Leibniz untuk
deret berganti tanda.

Konvergensi Deret Berganti Tanda.

∞ ∞
Misalkan diberikan deret berganti tanda, ∑ (−1) n +1 an [atau ∑ (−1) n an]. Deret berganti
n =1 n =1
tanda dikatakan konvergen, jika hanya jika :
(1). an+1 < an untuk semua bilangan bulat positip n
(2). lim an = 0
n→∞

Jika salah satu dari kedua syarat diatas tidak dipenuhi, maka deret berganti tanda
dikatakan divergen. Untuk lebih jelasnya perhatikanlah contoh-contoh berikut ini.
Contoh 5.4.1

1
Selidikiliah apkah deret berganti tanda, ∑ (−1) n +1 n
konvergen atau divergen
n =1
Penyelesaian
Dari deret berganti tanda diperoleh,
1 1
an = , dan an+1 =
n n +1
(i). Mengingat untuk semua n bilangan bulat positi berlaku bahwa, n < n + 1, maka
1 1
berlaku pula < atau an+1 < an untuk semua bilangan positip n
n +1 n
1
(ii). lim an = lim =0
n→∞ n→∞ n
Karena dua persyaratan konvergensi deret berganti tanda dipenuhi, maka deret yang
diberikan konvergem

Contoh 5.4.2

n+2
Selidikilah apakah deret berganti tanda, ∑ (−1) n +1 n(n + 1)
konvergen atau divergen
n =1
Penyelesesaian
Dari deret berganti tanda diperoleh,
n+2 n+3
an = , dan an+1 =
n(n + 1) (n + 1)(n + 2)
(1). Untuk membuktikan pernyataan apakah an+1 < an untuk semua bilangan bulat positip
a
n, dengan membagi kedua dengan an, maka pernyataan itu ekuivalen dengan, n +1 < 1.
an
Dari suku an dan an+1 deret dihasilkan :
an +1 n+3 n(n + 1) n(n + 3) n 2 + 3n
= × = =
an (n + 1)(n + 2) (n + 2) (n + 2) 2 n 2 + 4n + 4
(n 2 + 4n + 4) − (n + 4) n+4
= =1– <1
2 2
n + 4n + 4 n + 4n + 4
(2). Dengan menggunakan dalil l’Hopital dihasilkan,
n+2 1
lim an = lim = lim =0
n→∞ n → ∞ n(n + 1) n → ∞ 2n + 1
n+2 a n+4
Karena, lim = 0, dan n +1 = 1 – < 1, maka deret berganti tanda
n → ∞ n( n + 1) an 2
n + 4n + 4
yang diberikan adalah konvergen
Contoh 5.4.3

n
Selidikilah apakah deret berganti tanda, ∑ (−1) n +1 3n (n + 1) konvergen atau divergen
n =1
Penyelesaian
Dari deret yang diberikan ambil,
n 1 n +1
an = , dan an+1 =
n n +1 n + 2
3 (n + 1) 3
Dengan menerapkan dan menggunakan hasil ini dihasilkan :
n 1 n
(1). lim an = lim = lim lim = (0)(1) = 0
n→∞ n
n → ∞ 3 (n + 1) n → ∞ 3 n → ∞ n +1
n

(2). Seperti pada contoh sebelumnya,


an +1 1 n +1 3n (n + 1) 1 n 2 + 2n + 1
= × =
an 3n +1 n + 2 n 3 n 2 + 2n
1⎛ 1 ⎞ 1 1
= ⎜⎜1 + ⎟⎟ = + <1
2
3 ⎝ n + 2n ⎠ 3 3(n + 2n) 2

n a n +1 1 1
Karena, lim = 0, dan = + < 1, maka deret berganti tanda
3 2
n→∞ 3n (n + 1) an 3(n + 2n)
yang diberikan adalah konvergen.,

Konvergensi Bersyarat dan Konvergensi Mutlak

Dari contoh-contoh dan ilustrasi sebelumnya, diperoleh beberapa fenomena yang cukup
menarik dari deret dengan suku-suku positip dan deret berganti tanda. Deret-deret
dimaksud misalnya adalah :

1 1 1 (−1) n +1 (−1) n +1
1– + – +–…+ +… = ∑
2 3 4 n n =1
n
deret berganti tanda yang konvergen. Bilamana suku-suku deret ini diganti dengan nilai
mutlaknya diperoleh deret,

1 1 1 1 1
1+ + + +–…+ +… = ∑
2 3 4 n n =1
n
adalah deret harmonik yang divergen. Demikian pula dari contoh 5.4.2, deret berganti
tanda,

(−1) n +1 (n + 2)
∑ n(n + 1)
n =1
adalah konvergen, sedangkan deret dengan suku-suku nlai mutlaknya yakni

n+2
∑ n(n + 1)
n =1
adalah deret divergen. Deret-deret semacam ini dikatakan sebagai deret konvergen
bersyarat. Sebaliknya dari contoh sebelumnya telah pula diperoleh, deret berganti tanda,
dan deret dengan suku-suku nilai mutlaknya yang konvergen, yakni :

(−1) n +1 n
∑ n
adalah deret berganti tanda konvergen,
n =1 3 ( n + 1)

n
∑ 3n (n + 1) adalah suku-suku positip deret konvergen
n =1
Deret-deret semacam ini disebut dengan dengan konvergen mutlak. Secara formal deret
konvergen mutlak dan konvergen bersyarat dinyatakan dalam teorema berikut ini.

∞ ∞
Andaikan ∑ an adakah deret dengan suku-suku tak nol. Deret, ∑ an dikatakan :
n =1 n =1

(1). Konvergen mutlak, jika ∑ | an | konvergen
n =1
∞ ∞
(2). Konvergen bersyarat, jika ∑ | a n | divergen, dan ∑ an konvergen
n =1 n =1


(−1) n (n + 2)
Sebagai ilustrasi, deret ini, ∑ n(n + 1)
adalah deret konvergen bersyarat, karena :
n =1

(−1) n (n + 2)
(i). deret berganti tanda ∑ konvergen, dan,
n =1
n(n + 1)

n+2
(ii). deret mutlaknya, ∑ n ( n + 1)
divergen.
n =1


(−1) n +1 n
Sedangkan deret berganti tanda, ∑ n
dikatakan deret konvergen mutlak karena :
n =1 3 ( n + 1)
∞ n +1
(−1) n
(i). deret berganti tanda ∑ konvergen, dan,
n
n =1 3 ( n + 1)

n
(ii). deret nilai mutlaknya ∑ konvergen.
n
n =1 3 (n + 1)

Contoh 5.4.4.

cos nπ
Selidikilah apakah deret, ∑ konvergen mutlak atau konvergen bersyarat
n =1 n n
Penyelesaian
Dari deret yang diberikan, ambil :
cos nπ
|an| =
n n
Karena, |cos nπ| ≤ 1, maka dihasilkan :
cos nπ 1 1
|an| = = =
n n n n n3 / 2

Akibatnya dari deret semula, dihasilkan deret nilai mutlaknya yaitu :


∞ ∞ ∞ ∞
cos nπ 1 1
∑ | an | = ∑ n n = ∑ n n = ∑ n 3 / 2
n =1 n =1 n =1 n =1
3
Deret dengan nilai mutlak ini adalah deret orde-p dengan p = > 1 yang konvergen. Jadi
2

1
deret ∑ n 3/ 2
adalah deret konvergen. Karena deret dengan nilai mutlaknya konvergen,
n =1
maka deret yang diberikan konvergen mutlak.

Dari kedua ilustrasi dan contoh-contoh diatas, pada dasarnya untuk menyelidiki
konvergensi bersyarat dan atau konvergensi mutlak dari deret yang suku-sukunya tak nol
dapat digunakan uji-uji konvergensi dengan suku-suku positip, misalnya uji integral, uji
banding limit maupun uji banding biasa. Salah satu masalah yang sering timbul untuk
menggunakan uji banding adalah diperlukan pengetahuan yang cukup luas tentang
macam-macam deret yang telah diketahui konvergen atau divergen. Pengembangan lebih
lanjut dari uji banding limit dan uji deret berganti tanda adalah uji rasio atau uji hasil bagi.
Inti dari uji ini adalah untuk mengetahui konvergen mutlak atau divergen adalah dengan
membandingkan dengan deret diri sendiri.

Uji Rasio/Hasil Bagi



Andaikan ∑ an adalah suatu deret tak hingga dengan suku-suku tak nol. Andaikan pula,
n =1
a n +1
r = lim
n→∞ an

(i). Jika r < 1, maka deret ∑ an konvergen (mutlak)
n =1

(ii). Jika r > 1, maka deret ∑ an divergen
n =1
(iii). Jika r = 1, maka uji rasio gagal atau tidak memberikan kesimpulan konvergensinya

Dari pernyataan terakhir ini, jika dengan uji rasio menghasilkan r = 1, maka untuk
mengguji konvergensi deret yang diberikan digunakan pendekatan uji banding limit, uji
integral atau uji lainnya yang telah dikenal. Uji rasio ini biasanya digunakan bilamana
n n
suku dari deret memuat n!, r , atau (n) , jika tidak memuat suku-suku tersebut biasanya
uji rasio akan gagal. Untuk lebih jelasnya perhatikanlah contoh-contoh berikut ini.
Contoh 5.4.5.

(−1) n (n + 2)
Selidikilah apakah deret, ∑ konvergen atau divergen
n =1
n(n + 1)
Penyelesaian
Dari ilustrasi diatas, telah dibutikan bahwa deret ini adalah konvergen bersyarat. Untuk
itu, akan dibuktikan bahwa uji rasio akan gagal untuk membuktikan konvergensinya. Dari
deret yang diberikan diperoleh,
(−1) n (n + 2) (−1) n +1 (n + 3)
an = , dan an+1 =
n(n + 1) (n + 1)(n + 2)

Dengan menerapkan uji rasio dan dalil l’Hopital dihasilkan,

a n +1 (−1) n +1 (n + 3) n(n + 1)
r = lim = lim ⋅
n→∞ an n → ∞ ( n + 1)(n + 2) ( −1) n ( n + 2)

n 2 + 3n 2n + 3 2
= lim = lim = lim =1
n→∞ 2
n + 4n + 4 n → ∞ 2n + 4 n→∞ 2

Karena r = 1, maka uji rasio gagal untuk membuktikan konvergensi deret yang diberikan.
n n
Perhatikanlah bahwa an tidak memuat bentuk, n!, r , atau (n) , Oleh karena itu harus
digunakan uji lain untuk menyelidiki seperti yang telah dibahas pada contoh sebelumnya

Contoh 5.4.6.

(−1) n
Selidikilah apakah deret in, ∑ konvergen mutlak, konvergen bersyarat atau
n =1
n ( n + 1)
divergen
Penyelesaian
Dari deret berganti tanda, ambil :
(−1) n (−1) n
an = =
n(n + 1) n2 + n
n n
Karena, an tidak memuat bentuk, n!, r , atau (n) , maka untuk menguji konvergensinya
tidak dapat digunakan uji rasio. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan adalah uji
1
banding limit. Perhatikanlah bahwa nilai mutlah suku ke n bentuknya mendekati .
n2
1
Oleh karena itu, ambil bn = ,. Dengan menerapkan uji banding limit dihasilkan,
n2
| an | 1 2 2n
L = lim = lim n = lim =1
n → ∞ bn n → ∞ n2 + n n → ∞ 2n + 1
∞ ∞ ∞
1 1
Karena, L = 1, dan ∑n2
deret yang konvergen, maka ∑ | an | = ∑ n(n + 1)
deret
n =1 n =1 n =1
konvergen. Jadi deret yang diberikan konvergen mutlak.
Contoh 5.4.7

(−1) n n 3
Selidikilah apakah deret, ∑ 3n
konvergen mutlak atau divergen.
n =1
Penyelesain :
Dari deret berganti tanda, ambil :
(−1) n n 3 (−1) n +1 (n + 1) 3
an = , dan, an+1 =
3n 3( n +1)
n
Karena, an memuat bentuk, r , maka untuk menguji konvergensinya digunakan uji rasio.
Oleh karena itu dengan menerapkan uji rasio dan dalil l’Hopital dihasilkan,
a n +1 (−1) n +1 (n + 1) 3 3n 1 (n + 1) 3
r = lim = lim ⋅ = lim
n→∞ an n→∞ 3n +1 (−1) n n 3 3 n → ∞ n3

1 3(n + 1) 2 1 6(n + 1) 1 6 1
= lim = lim = lim =
3 n → ∞ 3n 2 3 n → ∞ 6n 3 n→∞ 6 3

1 (−1) n n 3
Karena, r = , maka deret nilai mutlak, ∑ konvergen. Sehingga deret
3 n =1 3n
berganti tanda yang diberikan diatas konvergen mutlak.

Contoh 5.4.8

(−1) n 3n
Selidikilah apakah deret, ∑ n ! konvergen mutlak atau divergen.
n =1
Penyelesaian
Dari deret berganti tanda, ambil :
(−1) n 3n (−1) n +1 3n +1
an = , dan, an+1 =
n! (n + 1) !
n
Karena, an memuat bentuk, n!, dan r , maka untuk menguji konvergensinya digunakan uji
rasio. Oleh karena itu dengan menerapkan uji rasio dan dalil l’Hopital dihasilkan,
a n +1 (−1) n +1 3n +1 n! n!
r = lim = lim ⋅ = 3 lim
n→∞ an n→∞ (n + 1)! (−1) n 3n n →∞ n • n!
1
= 3 lim =0
n→∞ n

(−1) n 3n
Karena, r = 0, maka deret nilai mutlak,∑ n ! konvergen. Sehingga deret berganti
n =1
tanda yang diberikan diatas konvergen mutlak.

Contoh 5.4.9

(−1) n +1 3n
Selidikilah apakah deret, ∑ e n +1
konvergen mutlak atau divergen.
n =1
Penyelesaian
Dari deret berganti tanda, ambil :
(−1) n +1 3n (−1) n + 2 3n +1
an = , dan, an+1 =
e n +1 en+ 2
Dengan menerapkan uji rasio dihasilkan,
a n +1 (−1) n + 2 3n +1 e n +1 3 3
r = lim = lim ⋅ = lim =
n→∞ an n→∞ en+ 2 (−1) n +1 3n n→∞ e e
3
Karena, r = > 1, maka deret dengan nilai mutlak adalah divergen. Jadi deret berganti
e
tanda yang juga divergen.

Uji Tanda Akar ke n


n n
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa bilamana an memuat bentuk, n!, r , dan (n) , maka
n n
digunakanlah uji rasio. Khususnya bilamana an memuat bentuk, r , dan (n) , untuk
menyelidiki konvergensinya dapat digunakan uji tanda akar. Uji tanda akar ini digunakan
untuk menyelidiki konvergensi mutlak dan divergensi deret tak nol.


Andaikan ∑ an adalah suatu deret tak hingga dengan suku-suku tak nol. Andaikan pula,
n =1
L = lim n | a n | = lim (| an |)1 / n
n→∞ n→∞

(i). Jika L < 1, maka deret ∑ an konvergen (mutlak)
n =1

(ii). Jika L > 1, maka deret ∑ an divergen
n =1
(iii). Jika r = 1, maka uji rasio gagal atau tidak memberikan kesimpulan konvergensinya

Contoh 5.4.10

(−1) n +1 2 n
Selidikilah apakah deret, ∑ en
konvergen mutlak, kovergen bersyarat atau
n =1
divergen.
Penyelesaian
Dari deret berganti tanda, ambil :
(−1) n +1 2 n
an =
en
n
Karena, an memuat bentuk, r , maka untuk menguji konvergensinya digunakan uji tanda
akar ke n. Oleh karena itu dengan menerapkan uji tanda akar diperoleh,
1/ n
(−1) n +1 2 n
L= lim n | an | = lim
n→∞ n→∞ en
1/ n
⎛ 2n ⎞ (2 n )1 / n 2 2
= lim ⎜ ⎟ = lim = lim =

n→∞ ⎝ e ⎠ n ⎟ n
n → ∞ (e ) 1 / n n→∞ e e
2
Karena, r = < 1, maka deret dengan nilai mutlak adalah konvergen. Jadi menurut uji
e
tanda akar deret berganti tanda yang diberikan juga konvergen mutlak.

Contoh 5.4.11

(−1) n 2 n
Selidikilah apakah deret, ∑ n 2n
konvergen mutlak, konvergen bersyarat atau
n =1
divergen.
Penyelesaian
Dari deret berganti tanda, ambil :
(−1) n 2 n
an =
n 2n
n n
Karena, an memuat bentuk, r dan (n) , maka untuk menguji konvergensi dapat digunakan
uji tanda akar ke n. Oleh karena itu dengan menerapkan uji tanda akar diperoleh,
1/ n
(−1) n 2 n
L= lim n | an | = lim
n→∞ n→∞ n 2n
1/ n
⎛ 2n ⎞ (2 n )1 / n 2
= lim ⎜ ⎟ = lim = lim =0
n → ∞ ⎜⎝ n 2n ⎟⎠ n→∞ (n 2n 1 / n
) n→∞ n

Karena, r = 0 < 1, maka deret dengan nilai mutlak adalah konvergen. Jadi menurut uji
tanda akar, deret berganti tanda yang diberikan juga konvergen mutlak.

Ringkasan Uji Konvergensi Deret

Dengan memperhatikan hasil rumus-rumus yang tekah diperoleh dari deret dengan suku-
suku positip maupun deret berganti tanda, berikut ini disajikan ringkasan uji konvergensi
deret secara keseluruhan.


Misalkan diberikan deret tak hingga, ∑ an
n =1

(1). Hitunglah lim an. Jika lim an ≠ 0, maka deret tak hingga
n→∞ n→∞
∑ an divergen
n =1
(2). Selidikilah apakah deret mempunyai bentuk-bentuk khusus berikut ini :

a
(a). Deret geometri, ∑ ar n −1 . Deret konvergen ke jumlah 1 − r , jika r < 1, dan deret
n =1
divergen jika r ≥ 1.

1
(b). Deret orde p, ∑ n p . Deret konvergen jika p > 1, dan deret divergen jika p ≤ 1.
n =1
∞ ∞
(c). Deret berganti tanda, ∑ (−1) n an atau ∑ (−1) n +1 an . Dimana deret konvergen
n =1 n =1
jika an+1 < an untuk semua bilangan bulat positip n, dan lim an = 0.
n→∞
(3). Jika suku ke n, yakni an dengan suku-suku tak nol an memuat salah satu dari bentuk-
n n
bentuk n !, r atau (n) , untuk menyeleidiki konvergensi mutlaknya gunakanlah uji
rasio.,
(4). Jika suku ke n yakni an hanya memuat suku-suku positip dengan pangkat dalam n,
untuk menyelidiki konvergensi gunakanlah banding limit atau uji banding biasa.
(5). Jika uji banding limit atau uji banding biasa gagal, untuk menyelidiki konvergensi
gunakanlah uji integral atau uji tanda akar.

Soal-soal Latihan 5.4.

Dengan uji konvergensi deret berganti tanda, selidikilah apalah deret berikut ini konvergen
atau divergen

∞ ∞ ∞
(−1) n 3 n+2 1
1. ∑ 2n − 1
2. ∑ (−1) n 2
n + 3n
3. ∑ (−1) n +1 n n
n =1 n =1 n =1
∞ ∞ ∞
1 ln n ln n
4. ∑ (−1) n +1 (n + 1) 2 5. ∑ (−1) n n
6. ∑ (−1) n n2
n =1 n =1 n =1
∞ ∞ ∞
ln n n2 n +1
7. ∑ (−1) n n n
8. ∑ (−1) n +1 n +63
9. ∑ (−1) n (n + 2)(n + 3)
n =1 n =1 n =1
∞ ∞ ∞
sin nπ 1 n
10. ∑ n 2
11. ∑ (−1) n +1 n(ln n) 2
12. ∑ (−1) n +1 2
2n − 1
n =1 n =1 n =1
∞ ∞ ∞
n 1 cos nπ
13. ∑ (−1) n +1 (n + 1) 2 14. ∑ (−1) n +1 n ln n
15. ∑
n =1 n =1 n =1 n n

Dalam soal berikut ini, dengan uji rasio atau uji tanda akar selidikilah apakah deret berikut
ini konvergen mutlak, konvergen bersyarat atau divergen.

∞ ∞ ∞
2 n(n + 1) n!
16. ∑ (−1) n +1 n 2 e − n 17. ∑ (−1) n +1 18. ∑ (−1) n +1 6 n
n =1 n =1 4n n =1
∞ ∞ ∞
4n e 2n −1 n2
19. ∑ (−1) n +1 e 2n 20. ∑ (−1) n +1 n!
21. ∑ (−1) n +1 e 2n
n =1 n =1 n =1
∞ ∞ ∞
ln n ln n2
n 32n −1
22. ∑ (−1) n +1 23. ∑ (−1) n +1 24. ∑ (−1) n +1
n =1 3n n =1
n! n =1
(n + 1) !
∞ ∞ ∞
32n (ln n) n 2 3n
25. ∑ (−1) n +1 26. ∑ (−1) n +1 27. ∑ (−1) n +1 12.
n =1 e 3n +1 n =1 4n n =1 32n +1
∞ ∞ n +1 ∞
( n) 2n
4 32n +1
28. ∑ (−1) n +1 (ln n) n 29. ∑ (−1) n +1 5n
30. ∑ (−1) n +1 n 2n
n =1 n =1 n =1
∞ ∞ ∞
4 n +1 32n +1 (1 + n) 2n
31. ∑ (−1) n +1 32. ∑ (−1) n +1 33. ∑ (−1) n +1
n =1 e 2n −1 n =1 (n ln n) n n =1 n n (ln n) 2n
∞ ∞
23n −1
2n
1 ⎛ 1⎞
34. ∑ (−1) n +1 32n +1 (n + 1) ! 35. ∑ (−1) n +1 e n ⎜⎝1 + n ⎟⎠
n =1 n =1
5.5. Deret Pangkat

Pada pembahasan sebelumnya, deret tak hingga yang dibahas adalah deret dengan suku-
suku konstanta tak nol yang berbentuk, ∑ an dengan an sebuah bilangan tak nol. Sebuha
deret lain yang sangat penting dan banyak penerapannya adalah deret dengan suku-suku
variabel yang sering disebut dengan deret pangkat atau deret fungsi. Dengan deret pangkat
ini operasi aritmetik, analisis numerik, dan atau kalkulus yang melibatkan fungsi-fungsi
2
seperti sin bx, cos bx, e − ax , dan x misalnya menghitung integral tentu yang tidak dapat
diselesaikan dengan teorema dasar kalkulus, dengan deret masalah tersebut dapat
diselesaikan.

Sebuah deret pangkat dalam (x – a) adalah sebuah deret yang berbentuk :



∑ cn ( x − a ) n
2 3
c0 + c1(x – a) + c2(x – a) + c3(x – a) + … =
n =0
dimana c0, c1, c2, c3, … adalah konstanta yang nilainya diketahui. Dalam hal tertentu, jika
bilangan a = 0, deret pangkat dalam x berbentuk :

∑ cn x n
2 3
c0 + c1x + c2x + c3x + … =
n =0

Karena deret pangkat mendefinisikan suatu fungsi, maka deret pangkat sering pula disebut
dengan deret fungsi. Fungsi f yang didefinisikan dalam suatu deret pangkat dalam x
diberikan oleh,

f(x) = ∑ cn x n
n =0
atau,

f(x) = ∑ cn ( x − a ) n
n =0
dimana daerah definisinya adalah semua bilangan x yang menyebabkan deret pangkat
dalam x atau (x - a) konvergen.

Dari daerah definisi f, timbul dua pertanyaan yang mendasar yang berkaitan dengan deret
fungsi, yaitu :
(i). untuk nilai x manakah deret pangkar konvergen
(ii). berapakah jumlah S(x), atau ke fungsi manakah deret konvergen,
Untuk memudahkan memahami dua masalah mendasar ini, dan menentukan dimanakah
n
deret pangkat konvergen perhatikanlah suku deret pangkat memuat bentuk x , oleh karena
itu untuk mementukan konvergensinya maka dapat digunakan uji rasio. Untuk lebih
jelasnya perhatikanlah lima buah contoh berikut ini.

Contoh 5.5.1.

xn
Tentukanlah nilai x yang menyebabkan deret pangkat, ∑ (−1) n 3n (n + 1)
konvergen.
n =0
Penyelesaian
Dari deret pangkat yang diberikan ambil :
xn x n +1
un = (−1) n , dan un+1 = (−1) n +1
3n (n + 1) 3n +1 (n + 2)
Selanjutnya dengan merapakna uji rasiao, dihasilkan :
u n +1 (−1) n +1 x n +1 3n (n + 1)
r = lim = lim ⋅
n → ∞ un n → ∞ 3n +1 ( n + 2) ( −1) n x n
1 n +1 1 n +1 1
= lim | x| = | x | lim = | x|
n→∞ 3 n+2 3 n→∞ n+ 2 3
Menurut uji rasio dihasilkan bahwa :
1
(i). deret pangkat konvergen, jika r = | x | < 1, atau | x | < 3, artinya deret pangkat
3
konvergen pada interval, –3 < x < 3
1
(ii). deret pangkat divergen, jika r = | x | > 1, atau | x | > 3, artinya deret pangkat
3
divergen pada interval, x < –3, atau x > 3
1
(iii). uji konvergensi gagal, jika r = | x | = 1, atau | x | = 3, artinya untuk x = –3, atau x =
3
3, perlu penyelidikan tersendiri.

Selanjutnya untuk x = 3, deret pangkat semula dapat ditulis menjadi,


∞ ∞
3n 1
∑ (−1) n
n
3 (n + 1)
= ∑ (−1) n n +1
n=0 n=0
1 1 1 1
+ – + –+…
=1–
2 3 4 5
Deret harmonik berganti tanda diatas adalah deret konvergen. Jadi untuk x = 3, deret
pangkat konvergen. Sedangkan untuk x = –3, deret pangkat semula dapat ditulis menjadi,
∞ ∞
(−3) n 1
∑ (−1) n1 3n (n + 1) = ∑ (−1) 2n n +1
n =0 n =0
1 1 1 1
+ + + ++…
=1+
2 3 4 5
Deret terakhir ini adalah deret harmonik dengan suku-suku positip yang divergen. Jadi
untuk x = –3, deret pangkat divergen. Dengan demikian dapat disimpulkana bahwa deret
pangkat diatas konvergen pada interval, –3 < x ≤ 3, dan deret pangkat divergen pada
interval x ≤ –3, atau x > 3.

Contoh 5.5.2.

( x − 4) n
Tentukanlah nilai x yang menyebabkan deret pangkat, ∑ n +1 2
konvergen.
n =0 3 n
Penyelesaian
Dari deret yang diberikan diatas ambil,
( x − 4) n ( x − 4) n +1
un = , dan, un+1 =
3n +1 n 2 3n + 2 (n + 1) 2
Selanjutnya ambil,
u n +1 ( x − 4) n +1 3n +1 n 2
r = lim = lim ⋅
n→∞ un n → ∞ 3n + 2 (n + 1) 2 ( x − 4) n

| x − 4 | n2 | x−4| n2
= lim = lim
n→∞ 3 (n + 1) 2 3 n → ∞ n 2 + 2n + 1
| x−4| 1
= lim
3 n → ∞ 1 + (2 / n) + (1 / n 2 )
| x−4| 1 | x−4|
= lim =
3 n → ∞ 1+ 0 + 0 3

Menurut uji rasio dapat ditarik kesimpulna bahwa :


| x−4|
(i). deret pangkat konvergen, jika < 1, atau | x – 4| < 3, artinya deret pangkat
3
konvergen pada interval, 1 < x < 7
| x−4|
(ii). deret pangkat divergen, jika > 1, atau | x – 4| > 3, artinya deret pangkat
3
divergen pada interval, x < 1, atau x > 7
| x−4|
(iii). uji konvergensi gagal, jika = 1, atau | x – 4| = 3, artinya untuk x = 1, atau x =
3
7, perlu penyelidikan tersendiri.

Selanjutnya untuk x = 7, deret pangkat semula dapat ditulis menjadi,


∞ ∞
(7 − 4) n 1 ∞ 1
3n
∑ n +1 n 2 ∑ 3n +1 n 2 3 ∑ n 2
= =
n =0 3 n =0 n =0
deret ini adalah deret orde p = 2 > 1 yang konvergen. Demikian pula untuk x = 1,
dihasilkan
∞ ∞
(1 − 4) n 1 ∞ (−1) n
(−3) n
∑ n +1 n 2 ∑ 3n +1 n 2 3 ∑ n 2
= =
n =0 3 n =0 n=0
Deret terakhir ini adalah deret berganti tanda konvergen, karena deret dengan nilai
1 ∞ 1
mutlaknya ∑
3 n =0 n2
konvergen. Jadi, dapat disimpulkan deret pangkat diatas konvergen

pada interval, 1 ≤ x ≤ 3, dan deret pangkat divergen pada interval x < 1, atau x > 7.

Contoh 5.5.3.

Tentukanlah nilai x yang menyebabkan deret pangkat, ∑ n( x − a ) n konvergen.
n =0
Penyelesaian
Dari deret yang diberikan diatas ambil,
un = n( x − a ) n , dan, un+1 = (n + 1)( x − a ) n +1

Selanjutnya ambil,
u n +1 (n + 1)( x − a ) n +1
r = lim = lim
n→∞ un n→∞ n( x − a ) n
n +1 n +1
= lim |x – a| = |x – a| lim
n→∞ n n→∞ n
= |x – a|
Menurut uji rasio dapat ditarik kesimpulna bahwa :
(i). deret pangkat konvergen, jika |x – a| < 1, artinya deret pangkat konvergen pada
interval, (a – 1) < x < (a + 1)
(ii). deret pangkat divergen, jika |x – a| > 1, artinya deret pangkat divergen pada interval,
atau x < (a – 1), atau x > (a + 1),
(iii). uji konvergensi gagal, jika |x – a| = 1, artinya untuk x = a – 1, atau x = a + 1, perlu
penyelidikan tersendiri.

Selanjutnya untuk x = a + 1, deret pangkat semula dapat ditulis menjadi,


∞ ∞
∑ n( a + 1 − a ) n = ∑n
n =0 n =0
deret ini divergen, karena lim n = ∞ ≠ 0. Demikian pula untuk, x = a – 1, dihasilkan
n→∞
∞ ∞
∑ n( a − 1 − a ) n
= ∑ (−1) n n
n =0 n=0
deret berganti tanda ini juga divergen, lim n = ∞ ≠ 0. Jadi, dapat disimpulkan deret
n→∞
pangkat diatas konvergen pada interval, (a – 1) < x < (a + 1), dan deret pangkat divergen
pada interval x ≤ a – 1, atau x ≥ a + 1.

Contoh 5.5.4.

( x − a) n
Tentukanlah nilai x yang menyebabkan deret pangkat, ∑ n ! konvergen.
n =0
Penyelesaian
Dari deret yang diberikan diatas ambil,
( x − a) n ( x − a) n +1
un = , dan, un+1 =
n! (n + 1) !
Selanjutnya ambil,
u n +1 ( x − a ) n +1 n!
r = lim = lim ⋅
n→∞ un n→∞ (n + 1) ! ( x − a) n
1 1
= lim |x – a| = |x – a| lim =0
n→∞ n n→∞ n
Karena r = 0 < 1, maka menurut uji rasio deret pangkat konvergen, artinya konvergensi
deret tidak tergantung pada nilai x. Jadi dapat disimpulkan bahwa deret pangkat yang
diberikan konvergen untuk semua nilai x.

Contoh 5.5.5.

Tentukanlah nilai x yang menyebabkan deret pangkat, ∑ n ! ( x − a) n konvergen.
n =0
Penyelesaian
Dari deret yang diberikan diatas ambil,
un = n ! ( x − a) n , dan, un+1 = (n + 1) ! ( x − a) n
Selanjutnya ambil,
u n +1 (n + 1) ! ( x − a) n +1
r = lim = lim
n→∞ un n→∞ n !( x − a) n
⎧ 0 , jika x = a
= lim |x – a| n = ⎨
n→∞ ⎩∞ , jika x ≠ a
Karena r = 0, jika x = 0, dan r = ∞ jika x ≠ a, maka menurut uji rasio deret pangkat
divergen untuk semua nilai x, kecuali di x = a.

Dari berbagai contoh-contoh diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa himpunan


konvergensi deret pangkat dapat berupa (i). interval tertutup, (ii). interval terbuka, (iii).
titik tertentu, atau (iv) berlaku untuk semua nilai x. Kenyataan demikian ini dinyatakan
dalam teorema berikut ini.

Andaikan diberikan deret pangkat dalam x, yaitu :



∑ cn x n
n =0
Himpunan konvergensi deret pangkat selalu berbentuk interval yang merupakan salah satu
dari :
(i). satu titik x = 0
(ii). semua bilangan riil x.
(iii). suatu interval yaitu salah satu dari, – R < x < R, atau – R ≤ x < R, atau, – R < x ≤ R,
atau, –R ≤ x ≤ R, dengan R disebut dengan jari-jari interval konvergensi. Interval
konvergensi deret pangkat tersebut dapat digambarkan seperti terlihat pada gambar 5.5.1

|x|<R

x < –R x>R
──────┼─────────┼─────────┼──────> x
–R 0 R
divergen konvergen divergen

Gambar 5.5.1
Sedangkan dalam kaus deret pangkat dalam (x – a) yaitu :

∑ cn ( x − a ) n
n =0
Himpunan konvergensi deret pangkat selalu berbentuk interval yang merupakan salah satu
dari :
(i). satu titik x = a
(ii). semua bilangan riil x.
(iii). suatu interval yaitu salah satu dari, (a– R) < x < (a + R), atau (a– R) ≤ x < (a + R),
atau, (a – R) < x ≤ (a + R), atau, (a – R) ≤ x ≤ (a + R), dengan R disebut dengan jari-jari
interval konvergensi. Interval konvergensi deret pangkat tersebut dapat digambarkan
seperti terlihat pada gambar 5.5.2 berikut ini.

| x – a| < R

x<a–R x > (a + R)
──────┼─────────┼─────────┼────────> x
–R a R
divergen konvergen divergen

Gambar 5.5.2

Dari contoh 5.5.1 sampai dengan 5.5.5, untuk menentukan interval konvergensi deret
pangkat sebagaimana tersebut pada rumusan diatas, langkah-langkahnya adalah sebagai
berikut :
(1). Dari deret pangkat yang diberikan tentukanlah rumus umum suku ke n dan n + 1, yaitu
un, dan, un+1.
u n +1
(2).Hitunglah, r = lim
n→∞ un
(3). Dengan uji rasio, tentukanlah jari-jari interval konvergensi deret pangkat R.
(4). Substitusikanlah nilai x = ± R (atau x = a ± R) ke deret pangkat yang diberikan,
sehingga diperoleh deret tak hingga
(5). Selidikilah konvergensi deret tak hingga dari langkah (4), dengan menggunakan uji
banding, uji banding limit, uji integral, uji deret berganti tanda, atau uji deret lain dan
deret khusus lainnya yang telah dibahas.
Berdasarkan tahapan langkah-langkah tersebut diatas, berikut ini adalah contoh-contoh
soalnya untuk memperjelas permasalahannya, disamping contoh-contoh soal yang telah
dibahas sebelumnya.

Contoh 5.5.6

( x − 5) n
Tentukanlah interval konvergensi deret pangkat, ∑ n
.
n =1 3 n n
Penyelesaian
Langkah pertama, menentukan un, dan, un+1. Dari deret yang diberikan diperoleh,
( x − 5) n ( x − 5) n ( x − 5) n +1
un = = , dan, un+1 =
3n n n 3n n 3 / 2 3n +1 (n + 1) 3 / 2
Langklah kedua menghitung r, yaitu :
u n +1 ( x − 5) n +1 3n n 3 / 2
r = lim = lim ⋅
n→∞ un n→∞ 3n +1 (n + 1) 3 / 2 ( x − 5) n
3/ 2
| x − 5 | n3 / 2 | x −5| ⎛ n ⎞
= lim = lim ⎜ ⎟
n→∞ 3 (n + 1) 3 / 2 3 n → ∞ ⎝ n +1⎠
3/ 2
| x −5| ⎛ n ⎞ | x −5|
= ⎜ lim ⎟ =
3 ⎝ n→∞ n + 1 ⎠ 3
Langkah ketiga menentukan R. Dengan menerapkan uji rasio, dihasilkan :
Menurut uji rasio dapat ditarik kesimpulna bahwa :
| x −5|
(i). deret pangkat konvergen, jika < 1, atau |x – 5| < 3, artinya deret pangkat
3
konvergen pada interval, –3 < x – 5 < 3, atau 2 < x < 8.
| x −5|
(ii). deret pangkat divergen, jika > 1, atau |x – 5| > 3, artinya deret pangkat
3
divergen pada interval, x < 2, atau x > 8.
| x −5|
(iii). uji konvergensi gagal, jika = 1, atau |x – 5| = 3, artinya untuk x = 2, atau x = 8,
3
perlu penyelidikan tersendiri.

Langkah keempat penyelidikan di batas interval. Jika x = 8, disubstitusikan pada deret


semula dihasilkan,
∞ ∞ ∞
(8 − 5) n 3n 1
∑ n
= ∑ 3n n 3 / 2 = ∑ n3 / 2
n =1 3 n n n =1 n =1
Deret tak hingga ini adalah deret orde p dengan p = 3/2 > 1 yang konvergen. Sehingga
untuk x = 8, deret pangkat konvergen. Selanjutnya jika x = 2, disubstitusikan pada deret
pangkat semula diperoleh deret tak hingga,
∞ ∞ ∞
(2 − 5) n (−3) n (−1) n

3n n n
= ∑ 3n n 3 / 2 3/ 2
= ∑
n =1 n =1 n =1 n
Deret berganti tanda ini adalah deret yang konvergen, karena deret dengan nilai mutlaknya
konvergem. Dengan demikian untuk x = 2, deret pangkat juga konvergen.

Kesimpulan, berdasarkan hasil-hasil diatas dapat disimpulkan bahwa interval konvergensi


deret pangkat yang diberikan adalah 2 ≤ x ≤ 8.

Contoh 5.5.7

( x + 3) n
Tentukanlah interval konvergensi deret pangkat, ∑ (−1) n
4 n n ln n
.
n =1
Penyelesaian
Langkah pertama, menentukan un, dan, un+1. Dari deret yang diberikan diperoleh,
(−1) n ( x + 3) n (−1) n +1 ( x + 3) n +1
un = , dan, un+1 =
4 n n ln n 4 n +1 (n + 1) ln(n + 1)
Langklah kedua menghitung r, yaitu :
u n +1 (−1) n +1 ( x + 3) n +1 4 n n ln n
r = lim = lim ⋅
n→∞ un n→∞ 4 n +1 (n + 1) ln(n + 1) (−1) n ( x + 3) n
| x + 3| n ln n
= lim
n→∞ 4 (n + 1) ln(n + 1)
| x +3| n ln n
= lim lim
4 n → ∞ (n + 1) n → ∞ ln(n + 1)
| x +3| 1 n +1 | x + 3 |
= lim lim =
4 n→∞ 1 n→∞ n 4

Langkah ketiga menentukan R. Dengan menerapkan uji rasio, dihasilkan :


| x + 3|
(i). deret pangkat konvergen, jika < 1, atau |x + 3| < 4, artinya deret pangkat
4
konvergen pada interval, –4 < x + 3 < 4, atau –7 < x < 1.
| x +3|
(ii). deret pangkat divergen, jika > 1, atau |x + 5| > 4, artinya deret pangkat
4
divergen pada interval, x < –7, atau x > 1.
| x +3|
(iii). uji konvergensi gagal, jika = 1, atau |x + 3| = 4, artinya untuk x = –7, atau x =
4
1, perlu penyelidikan tersendiri.

Langkah keempat penyelidikan di batas interval. Jika x = –7, disubstitusikan pada deret
semula dihasilkan,
∞ ∞ ∞
(−1) n (−4) n (−1) 2n 4 n 1
∑ n
4 n ln n
= ∑ n
= ∑ n ln n
n =1 n =1 4 n ln n n =1
Deret tak hingga ini adalah deret dengan suku-suku positip yang divergen, karena menurut
uji integral diperoleh,
∞ dx
∫1 x ln x = [ln(ln x)] 1 ∞.


1
Sehingga menurut uji integral deret ∑ n ln n divergen. Sehingga untuk x = –7 deret
n =1
pangkat divergen. Selanjutnya jika x = 1, disubstitusikan pada deret pangkat semula
diperoleh deret tak hingga,
∞ ∞
(−1) n (4) n (−1) n
∑ n
= ∑ n ln n
n =1 4 n ln n n =1
Deret berganti tanda ini adalah deret yang konvergen, karena :
1
(i). lim = 0
n → ∞ n ln n
(ii). Karena untuk n yang cukup besar berlaku bahwa : n < (n + 1), dan ln n < ln(n + 1),
maka diperoleh :
an +1 n ln n
= <1
an (n + 1) ln(n + 1)
Dengan demikian untuk x = 1, deret pangkat juga konvergen.Kesimpulan, berdasarkan
hasil-hasil diatas dapat disimpulkan bahwa interval konvergensi deret pangkat yang
diberikan adalah, –7 < x ≤ 1

Soal-soal Latihan 5.5

Dalam soal-soal latihan berikut ini, tentukanlah interval konvergensi deret pangkat yang
diberikan.
∞ ∞
( x − 3) n ( x + 5) n
1. ∑ (−1) n +1 2. ∑ n(2n + 1)
n =1 2 n ( n 2 + 2n) n =1

∞ ∞
( x − 2) 2n +1 2 n ( x + 1) 2n +1
3. ∑ (−1) n 4 n (2n + 1)
4. ∑ 3n +1 (2n + 1)
n =0 n =0

∞ ∞
( x − 3) n 5 n ( x − 3) n
5. ∑ (−1) n +1 6. ∑
n =1 2 n n 2 ln(n + 1) n =0
n!
∞ ∞
( x − 3) n ( x − 4) 2n +1
7. ∑ (−1) n (2n − 1) 2
8. ∑
n(n + 1)
n =0 n =1

∞ ∞
( x − 4) 2n ( x − 6) n +1
9. ∑ n(n + 1) 10. ∑ (−1) n +1
n =1 n =1 4 ( 2n −1) (2n − 1)
∞ ∞
n 2 ( x − 4) n n 2 ( x − 3) 2n
11. ∑ 4n
12. ∑ n 2n
n =0 n =1
∞ ∞
( x − 2) 2n +1 n !( x − 4) n
13. ∑ (−1) n +1 14 ∑
n =1 4n n n n =0 nn
∞ ∞
cos nπ ( x − 4) 2n ( x − 2) 2n +1
15. ∑ 3n +1 (2n + 1)
16. ∑ 4 n (n 2 + 1) 4 / 3
n =0 n =0
∞ ∞
ln n ( x − 4) n ( x − 2) 2n +1
17. ∑ 18. ∑
n +1
n =1 3 (n + 1) 3 n =0 4 n (n 2 + 1) 4 / 3
∞ ∞
n2 ⎛ 2 − x ⎞
n n
1 ⎛ x −1 ⎞
19. ∑ ⎜ ⎟ 20. ∑ ⎜ ⎟
n =1 3 ( 2n − 1) ⎝
n x +1⎠ n 2+ x⎠
n =0 2 ⎝
5.6. Diferensial dan Integral Deret Pangkat

Operasi Deret Pangkat


Sebagaimana telah dijelaskan bahwa deret pangkat adalah suatu fungsi dimana daerah
definisinya adalah interval konvergensinya. Pada umumnya deret pangkat konvergen
untuk |x| < R, (atau |x – a| < R), dan divergen untuk |x| > R, (atau |x – a| > R), dimana R
suatu konstanta yang disebut pula dengan jari-jari konvergensi. Sedangkan untuk |x| = R,
(atau |x – a| = R), perlu penyelidikan tersendiri.

Dengan asumsi bahwa deret berikut ini konvergen dalam suatu interval maka berlaku
ketentuan-ketentuan berikut ini
∞ ∞
(1). Dua deret pangkat, ∑ an x n , dan ∑ bn x n dapat ditambahkan, atau dikurangkan
n =0 n =0
suku demi suku untuk setiap nilai x yang konvergen bersama dalam interval-interval
kedua deret tak hingga tersebut
∞ ∞
(2). Dua deret pangkat, ∑ an x n , dan ∑ bn x n dapat dikalikan untuk mendapatkan deret
n =0 n =0

pangkat, ∑ cn x n dimana :
n =0
cn = a0 bn + a1 bn–1 + a2 bn–2 + … + an b0
untuk setiap nilai x yang konvergen dalam interval-interval konvergen dalam interval-
interval kedua deret tak hingga tersebut
∞ ∞
(3). Deret pangkat, ∑ an x n , dapat dibagi oleh deret pangkat ∑ bn x n dengan bn ≠ 0,
n =0 n =0
maka hasil bagi tersebut dapat dituliskan sebagai deret pangkat yang konvergen untuk
nilai x yang relatif cukup kecil.

Deret panglat selain memenuhi operasi-operasi aljabar seperti penjumlahan, perkalian dan
pembagian seperti yang tersebut diatas, suku-suku deret pangkat juga memenuhi operasi
deferensial dan integrasi.

Deferensial dan Integrasi Deret Pangkat

Pada deret tak hingga telah dibahas tentang deret geometri, yakni ∑ ar n , dimana deret
a
konvergen, jika | r | < 1, dan jumlahnya adalah S = . Demikian pula pada deret
1− r
pangkat telah dibahas pula deret yang berbentuk, ∑ an x n . Pada dasarnya deret pangkat
dapat pula dipandang sebagai suatu fungsi suku banyak dengan suku-suku tak berhingga
banyak, maka fungsi dimaksud adalah :

f(x) = ∑ ax n
n =0
Untuk itu perhatikanlah ilustrasi berikut ini. Bilamana deret pangkat itu dipandang sebagai
deret geometri, maka deret pangkat konvergen pada interval, | x | < 1, dengan jumlahnya
a
adalah S(x) = . Demikian pula jika diambil a = 1, dihasilkan suatu fungsi polinomial
1− x
dengan koefisien satu yang berbentuk :

∑ xn
2 3 n
f(x) = =1+x+x +x +…+x +…
n =0
1
yang konvergen ke dengan | x | < 1. Jadi dihasilkan :
1− x
2 3 n 1
1+x+x +x +…+x +…=
1− x
Bilamana x diganti dengan (–x) dihasilkan :
2 3 n n 1
1 – x + x – x + … + (–1) x + … = , dengan | x | < 1.
1+ x
2
Bilamana x diganti dengan (x ) dihasilkan :
2 4 6 2n 1
1+x +x +x +…+x +…= , dengan | x | < 1.
1− x2

Dari ilustrasi ini terlihat bahwa deret pangkat mendefinisikan fungsi. Karena f suatu fungsi
polinomial maka fungsi tersebut dapat diturunkan dan diintegrasikan pada interval
konvergensinya. Asumsikanlah bahwa f(x) adalah jumlah deret pangkat yang menyatakan
suatu fungsi. Anggaplah deret pangkat sebagai suatu fungsi suku banyak dengan suku-
suku tak hingga banyak. Dengan asumsi ini deferensial dan integrassi deret pangkat
dilakukan pada suku-suku suku banyak tersebut. Berikut ini adalah formulasi dari
pernyataan dimaksud.


Andaikan ∑ an x n adalah suatu deret yang mempunyai jari-jari konvergensi R > 0, dan
n =0
andaikan pula bahwa f(x) adalah jumlah deret pangkat yang menyatakan suatu fungsi yang
didefinisikan oleh :

∑ a n x n = a 0 + a 1 x + a2 x
2 3 n
f(x) = + a3 x + … + an x + …
n=0
Fungsi f(x) dapat dideferensialkan dan dintegralkan pada interval terbuka –R < x < R, dan
diferensial atau integralnyanya dihitung dengan mendeferensialkan atau mengintegralkan
suku demi suku deret pangkat. Apabila x ada dalam interval terbuka, terbuka –R < x < R,
maka berlakulah :
d ∞ ∞
d ∞
(1). f′(x) = ∑ an x n = ∑ (an x n ) = ∑ nan x n −1 adalah deret pangkat yang
dx n =0 n =0
dx n=0
konvergen dan mempunyai jari-jari konvergensi R > 0.
∞ ∞
an n +1
∑ ∫0 ∑
x x
(2). ∫0 f (t )dt = an t n dt f(x) =
n +1
x adalah deret pangkat konvergen
n =0 n =0
dan mempunyai jari-jari konvergensi R > 0.

Dari rumus diatas terlihat bahwa diferensial dan integrasi deret pangkat diperoleh dengan
mendeferensialkan atau mengintegralkan masing-masing suku dari deret pangkat. Karena
x terletak dalam interval I, maka deret pangkat hasil pendeferensialan atau pengintegralan
juga mempunyai jari-jari konvergensi yang sama dengan deret pangkat semula.

Contoh 5.6.1
Andaikan f adalah fungsi deret pangkat yang diberikan oleh,

xn
f(x) = ∑ n(n + 1)
n =1
Tentukanlah daerah definisi f(x), hitunglah f′(x) dan daerah definisinya, dan hitunglah pula
x
∫0 f (t )dt dan daerah definisinya.
Penyelesaian

xn
Diketahui, f(x) = ∑ n(n + 1) . Daerah definisi fungsi f adalah interval konvergensi deret
n =1
pangkat tersebut. Untuk menentukan interval konvergensinya, dari deret pangkat diperoleh
xn x n +1
un = , dan un+1 =
n(n + 1) (n + 1)(n + 2)
Selanjutnya, ambil :
u n +1 x n +1 n(n + 1)
r = lim = lim =
n → ∞ un n → ∞ ( n + 1)(n + 2) xn
n
= | x | lim = |x|
n→∞ n+2
Menurut uji rasio, deret pangkat konvergen mutlak jika | x | < 1, deret divergen jika | x | >
1, dan uji gagal jika | x | = 1. Selanjutnya jika diambil x = 1 dihasilkan deret tak hingga,
∞ ∞
(1) n 1
∑ n(n + 1) ∑ n(n + 1)
=
n =1 n =1
dimana deret diatas adalah deret tak hingga yang konvergen (buktikan dengan uji
banding). Demikian pula untuk x = –1 dihasilkan deret tak hingga berganti tanda,

(−1) n
∑ n(n + 1)
n =1
yang juga konvergen, karena deret mutlaknya konvergen. Jadi interval konvergen deret
pangkat diatas adalah, –1 ≤ x ≤ 1. Dengan demikian, daerah definisi fungsi f adalah
interval tertutup, –1 ≤ x ≤ 1. atau R = 1.

Selanjutnya dengan mendeferensialkan suku demi suku deret pangkat dihasilkan,




d ⎛ xn ⎞ nx n −1
f′(x) = ∑ dx ⎜⎜ n(n + 1) ⎟⎟ = ∑ n(n + 1)
n =1 ⎝ ⎠ n =1
∞ n −1
x
= ∑
n +1
n =1
Dengan menerapakan cara yang sama seperti sebelumnya, dengan menerapkan uji rasio,
deret pangkat konvergen mutlak jika | x | < 1, deret divergen jika | x | > 1, dan uji gagal
jika | x | = 1. Selanjutnya jika diambil x = 1 dihasilkan deret tak hingga,

1
∑ n +1
n =1
dimana deret diatas adalah deret tak hingga yang divergen (buktikan dengan uji banding).
Demikian pula untuk x = –1 dihasilkan deret tak hingga berganti tanda,

(−1) n
∑ n +1
n =1
dimana dengan uji deret berganti tanda, deret tak hingga ini adalah divergen. Jadi interval
konvergen deret pangkat hasil deferensialnya,

x n −1
f′(x) = ∑ n +1
n =1
adalah, –1 ≤ x < 1. Jadi, daerah definisi fungsi f′(x) adalah interval, –1 ≤ x < 1. atau R = 1.

Demikian pula dengan mengintegralkan suku demi suku deret pangkat dihasilkan,
∞ ∞
tn x n +1
∑ ∫ 0 n(n + 1) ∑
x x
∫0 f (t )dt = dt =
2
n =1 n =1 n( n + 1)
Dengan menerapakan cara yang sama seperti sebelumnya, dengan menerapkan uji rasio,
deret pangkat konvergen mutlak jika | x | < 1, deret divergen jika | x | > 1, dan uji gagal
jika | x | = 1. Selanjutnya jika diambil x = 1 dihasilkan deret tak hingga,

1
∑ n(n + 1) 2
n =1
dimana deret diatas adalah deret tak hingga konvergen (buktikan dengan uji banding).
Demikian pula untuk x = –1 dihasilkan deret tak hingga berganti tanda,

(−1) n
∑ n(n + 1) 2
n =1
yang konvergen, karena deret mutlaknya konvergen. Jadi interval konvergen deret pangkat
hasil integrasi, yaitu :

x n +1
∑ 2
n =1 n( n + 1)
konvergen pada interval, –1 ≤ x ≤ 1. Dengan demikian, daerah definisi fungsi f adalah
interval tertutup, –1 ≤ x ≤ 1. atau R = 1.
Contoh 5.6.2
Dengan deferensial dan pengintegrasian, tentukanlah deret pangkat baru yang dihasilkan
untuk deret geometri berikut ini.

1
= 1 + x + x + x + … + x + … = ∑ x n , jika | x | < 1,
2 3 n
1− x n =0
Penyelesaian
Dari deret geometri diatas, jika didferensialkan suku demi suku dihasilkan,
∞ ∞
d ⎛ 1 ⎞ d n
⎜ ⎟= ∑ ( x ) = ∑ nx n −1
dx⎝ 1 − x ⎠ n =0 dx n =1
1 2 3 n–1
= 1 + 2x + 3x + 4x + … + nx + … , | x | < 1,
2
(1 − x)
Sedangkan, jika diintegralkan suku demi suku dihasilkan,
∞ ∞ x
1 ⎡ t n +1 ⎤
∑ ∫0
x

x n
∫ 0 1− t dt = t dt = ⎢ ⎥
⎢⎣ n + 1 ⎥⎦ 0
n =0 n=0

x n +1 1 1 1
–ln(1 – x) = ∑ n + 1 = x + 2 x 2 + 3 x3 + 4 x 4 + ….
n =0

x n +1 1 1 1
ln(1 – x) = – ∑ = – x – x 2 – x 3 – x 4 – ….
n =0
n +1 2 3 4
⎛ 1 ⎞ 1 2 1 3 1 4
ln ⎜ ⎟ = x + x + x + x + ….
⎝1− x ⎠ 2 3 4
Selanjutnya jika x diganti dengan (–x) dihasilkan rumus,

1 2 1 3 1 4 (−1) n +1 n +1
ln(1 + x) = x – x + x – x + …. = ∑ x
2 3 4 n =0
n + 1
Dengan menggunakan hasil diatas diperoleh pula,
1+ x
ln = ln(1 + x) – ln(1 – x)
1− x
⎛ x3 x5 x 2n −1 ⎞
= 2⎜x + + + ... + + ... ⎟
⎜ 3 5 2n − 1 ⎟
⎝ ⎠

x 2n +1
∑ 2n + 1
=2
n=0
Dari persamaan terakhir ini jika diambil x = ½, maka dihasilkan :
⎛1 1 1 1 ⎞
ln 3 = 2 ⎜⎜ + + + ... ⎟⎟
3 5 7
⎝2 32 52 72 ⎠
1 1 1 1
=1+ + + +
12 80 448 2304
= 1,0 + 0,083 333 + 0,012 500 + 0,002 232 + 0,000 434
= 1,09 8499
Contoh 5.6.3.
Buktikanlah bahwa,

xn x2 x3 x4
ex = ∑ n! = 1 + x +
2!
+
3!
+
4!
+ ….
n =0
berlaku untuk semua nilai x real. Dengan hasil ini tentukanlah rumus untuk e − x dan
2
e − x , dan hitunglah nilai dari e −0, 25 sampai dengan enam angka desimal

Penyelesaian
Dari deret pangkat yang diberikan, definisikanlah suatu fungsi suku banyak, yaitu :

xn
f(x) = ∑
n!
n =0
Daerah definisi fungsi f adalah interval konvergensi deret pangkat tersebut. Untuk
menentukan interval konvergensinya, dari deret pangkat diperoleh
xn x n +1
un = , dan un+1 =
n! (n + 1)!
Selanjutnya, ambil :
u n +1 x n +1 n! 1
r = lim = lim = | x | lim = 0
n → ∞ un n → ∞ ( n + 1)! x n n→∞ n
Menurut uji rasio, deret pangkat konvergen mutlak jika | r | < 1. Karena r = 0, maka
menurut uji rasio deret pangkat konvergen untuk semua nilai x. Karena deret pangkat
konvergen untuk semua nilai x, maka fungsi suku banyak yang didefinisikan oleh,

xn
f(x) = ∑ n!
n =0
berlaku untuk semua nilai x. Dengan mendferensialkan fungsi ini, dihasilkan kesamaan,
∞ ∞ ∞
d xn nx n −1 nx n −1
f′(x) = ∑ dx n ! ∑ n ! ∑ n(n − 1) !
= =
n =0 n =1 n =1

x n −1 x2 x3 x4
=∑ =1+x+ + + + ….
n =1
( n − 1) ! 2 ! 3 ! 4 !

xn
f′(x) = ∑ n!
= f (x)
n =0
Karena, f′(x) = f(x), maka fungsi diatas memenuhi persamaan difeensial,
df
= f(x)
dx
dimana penyelesaian umumnya adalah f(x) = c e x . Diketahui pula bahwa untuk f(0) = 1,
jadi diperoleh c = 1. Jadi f(x) = e x . Karena, f(x) = e x , dan jika disubstitusikan ke
kesamaan semula dihasilkan :

xn
ex = ∑ n!
n =0
Dengan hasil ini, jadi terbuktikan bahwa kesamaan yang diminta.
Dengan menggunakan hasil terakhir ini, jika x diganti dengan (–x) dihasilkan deret
pangkat baru untuk e − x , yaitu
∞ ∞
−x (− x) n (−1) n n
e = ∑ n! = ∑ n! x
n=0 n =0
x2 x3 x4
= 1–x+ – + + – ….
2! 3! 4!
2
Demikian pula, jika x diganti dengan (–x ) dihasilkan rumus derert pangkat e − x yaitu :
2

∞ ∞
2 (− x 2 ) n (−1) n 2n
e− x = ∑ n! = ∑ n! x
n =0 n=0
x4 x6 2 x8
=1–x + – + + – ….
2! 3! 4!
Selanjutnya jika diambil x = 0,5 maka diperoleh :
1 1 1 1
e −0, 25 = 1 – + – + –+…
4 32 384 6144
= 1 – 0,25 + 0,03125 – 0,002 604 + 0,000 1627 –+ …
= 0,778 813

Salah satu manfaat yang sangat penting adalah penggunaaanya dalam penghitungan
integral tertentu. Sebagaimana diketahui bahwa penghitungan integral tertentu biasanya
dihitung dengan menggunakan Teorema Dasar Kalkulus. Namun demikian, salah satu
kelemahan untuk menggunakan teorema ini adalah dipersyaratkannya adanya anti turunan
fungsinya. Pada kenyataannya tidak semua fungsi dapat dihitung anti turunan secara
eksak, dan biasanya sering gunakan untuk menghitung integral tertentu semacam ini.

Contoh 5.6.4
1
Dengan deret geometri, carilah deret pangkat untuk, , dan selanjutnya hitunglah
1 + x3
0,5 1
∫0 1 + x3
dx sampai dengan enam angka desimal

Penyelesaian
Dari deret geometri, telah diperoleh bahwa :

1
= 1 + x + x + x + … + x + … = ∑ x n , jika | x | < 1,
2 3 n
1− x n =0
3
Bilamana x diganti dengan (–x ) diperoleh hasil,

1
1+ x 3
= ∑ (−1) n x 3n , jika | x | < 1,
n=0
3 6 9 n 3n
= 1 – x + x – x + … + (–1) x + …

Dengan demikian, jika deret pangkat diatas diintegralkan suku demi suku dihasilkan,
0,5 1 0,5 3 6 9 n 3n
∫0 1+ x 3
dx = ∫0 (1 − x + x – x + … + (–1) x + …) dx

0,5
⎡ x4 x7 x10 x13 ⎤
= ⎢x − + – + − +...⎥
⎢⎣ 4 7 10 13 ⎥⎦ 0
(0,5) 4 (0,5) 7 (0,5)10 (0,5)13
= 0,5 – + – + –+…
4 7 10 13
= 0,5 – 0,015 625 + 0,001 116 – 0,000 097 + 0,000 009
= 0,485 401
Jadi,
0,5 1
∫0 1 + x3
dx = 0,485 401

Contoh 5.6.5
Dengan menggunakan ekspansi deret pangkat dari, e x (lihat contoh 5.6.3) hitunglah :
2
1 x2 1 1 − e− x
∫ 0
e dx dan ∫0 x2
dx sampai dengan 6 angka desimal

Penyelesaian
Dari contoh 5.6.3 telah diperoleh hasil bahwa,

xn x2 x3 x4
∑ n!
ex = = 1 + x +
2 !
+
3 !
+
4 !
+ ….
n =0
2
Bilamana x diganti dengan (x ) diperoleh hasil,

2 x 2n x4 x6 x8

2
ex = =1+x + + + + ….
n =0
n! 2! 3! 4!
Dengan menggunakan hasil diatas maka diperoleh,
0,5 x 2 0,5 ⎛ 2 x
4
x6 ⎞
⎜ ⎟ dx
∫0 e dx = ∫0 ⎜ 1 + x +
2 !
+
3!
+ ...

⎝ ⎠
0,5
⎡ x3 x5 x7 ⎤
= ⎢x + + + + ...⎥
⎢⎣ 3 5 ⋅ 2! 7 ⋅ 3! ⎥⎦ 0
(0,5) 3 (0,5) 5 (0,5) 7 (0,5) 9
= 0,5 + + + + +…
3 10 42 216
= 0,5 + 0,041 667 + 0,003 125 + 0,000 186 + 0,000 009 = 0,544 987
Jadi,
0,5 2
∫0 e x dx = 0,544 987

2
Dengan cara yang sama seperti diatas, bilamana x diganti dengan (–x ) diperoleh hasil,
2 x4 x6 x8
e− x
2
= 1–x + – + + – ….
2! 3! 4!
2
1 − e− x 1 ⎡ ⎛⎜ x 4 x 6 x8 ⎞⎤
= ⎢1 − 1 − x 2 + − + − +... ⎟⎥
x2 x 2 ⎢⎣ ⎜⎝ 2! 3! 4! ⎟⎥
⎠⎦
1 ⎛⎜ 2 x 4 x 6 x 8 ⎞
= x − + − + −... ⎟
x 2 ⎜⎝ 2! 3! 4! ⎟

x2 x4 x6 x8
=1– + – + – + ….
2! 3! 4! 5!
Dengan demikian,
2
0,5 1 − e − x 0,5 ⎛ 2 4 6 ⎞
⎜1 − x + x − x + −... ⎟ dx
∫ 0 x2
dx = ∫0 ⎜ 2 ! 3! 4! ⎟
⎝ ⎠
0,5
⎡ x3 x5 x7 ⎤
= ⎢x − + − + −...⎥
⎢⎣ 3 ⋅ 2! 5 ⋅ 3! 7 ⋅ 4! ⎥⎦ 0
(0,5) 3 (0,5) 5 (0,5) 7 (0,5) 9
= 0,5 – + – + –+…
6 30 168 1080

= 0,5 – 0,020 833 + 0,001 047 – 0,000 465 + 0,000 001


= 0,479 750
Jadi,
2
0,5 1 − e − x
∫ 0 x2
dx = 0,479 750

Contoh 5.6.6
–1 –1
Tentukanlah deret pangkat dari tan x. Dengan hasil itu hitunglah nilai dari tan (½) dan
0.5 x − tan −1 x
hitunglah pula, ∫ 0 x
dx sampai dengan enam nagka desimal
Penyelesaian
Dari rumus dasar integral dan teorema dasar kalkukus telah diperoleh bahwa,
x 1 –1
∫ 0 1 + t 2 dt = tan x.
Sedangkan dari deret geometri telah diperoleh pula bahwa,

1
= 1 + x + x + x + … + x + … = ∑ x n , jika | x | < 1,
2 3 n
1− x n =0
2
Jika pada kesamaan diatas x diganti dengan (–x ) dihasilkan :

1
∑ (−1) n x 2n = 1 – x
2 4 6 n 2n
= + x – x + … + (–1) x + …
2
1+ x n =0
Dengan demikian dihasilkan,
∞ ∞ ⎡ 2 n +1 ⎤ x
1 n t
∑ ∫ 0 (−1) ∑
–1 x x n 2n
tan x = ∫0 1+ t 2
dt = t dt = (−1) ⎢
⎢ 2 n + 1

⎥⎦ 0
n =0 n =0 ⎣

x 2n +1 x3 x5 x7 n x
2 n +1
= ∑ (−1) n 2n + 1 =x–
3
+
5

7
+ – … + (–1)
2n + 1
+…
n =0
–1
Jadi ekpansi deret pangkat dari tan x diberikan oleh,
2 n +1
–1 x3 x5 x7 n x
tan x = x – + – + – … + (–1) +…
3 5 7 2n + 1

x 2n +1
= ∑ (−1) n
2n + 1
n =0

Dengan menggunakan hasil ini, jika diambil x = 0,5 maka diperoleh :


–1
tan (½) = 0,5 – 0,041 667 + 0,006 250 – 0,001 116 + 0,000 217
= 0,463 648

Demikian pula dengan hasil tersebut diperoleh pula,


x − tan −1 x 1 ⎡ ⎛ x3 x5 x 7 x9 ⎞⎤
= ⎢x − ⎜ x − + − + − +... ⎟⎥
x x ⎢ ⎜⎝ 3 5 7 9 ⎟⎥
⎠⎦

x2 x4 x6 n+1 x
2n
= – + – + … + (–1) +…
3 5 7 2n + 1

x 2n
= ∑ (−1) n +1
n =1
2n + 1
Dengan menggunakan hasil ini maka diperoleh,
∞ ∞ 0,5
0.5 x − tan −1 x 0,5 n +1 x
2n
n +1
⎡ x 2 n +1 ⎤
∫ 0
dx = ∑ ∫0 (−1)
2n + 1
dx = ∑ (−1) ⎢ 2

x n =1 n =1 ⎣⎢ (2n + 1) ⎦⎥ 0
0,5
⎡ x 3 x 5 x 7 x 9 x11 ⎤
= ⎢ − + − + − +...⎥
⎣⎢ 9 25 49 81 121 ⎦⎥ 0
(0,5) 3 (0,5) 5 (0,5) 7 (0,5) 9 (0,5)11
= – + – + –+…
9 25 49 81 121
= 0,013 889 – 0,001 250 + 0,000 159 – 0,000 024 + 0,000 004 = 0,012 778
Jadi,
0.5 x − tan −1 x
∫0 x
dx = 0,012 778

Soal-soal Latihan 5.6

Dalam soal-soal berikut ini, dengan menggunakan pendekatan deret pangkat yang telah
diketahui, tentukanlah deret pangkat yang jumlahnya f(x), dan tentukanlah pula interval
konvergensinya
x x x
1. f(x) = 2. f(x) = 3. f(x) =
4− x 4+ x 2
2 + x3
x 1 1
4. f(x) = 5. f(x) = 6. f(x) =
2 3
(2 − x) 8 + ( x − 2) 3 + 2x − x2
x−2 x−2 x−2
7. f(x) = 8. f(x) = 9. f(x) =
6 + 4x − x2 8 − 4x + x2 8 + ( x − 2) 3
x −1 1− e− x
10. f(x) = 11. f(x) =
8 − ( x − 1) 3 x

Dalam soal berikut ini tentukanlah daerah definisi fungsi deret pangkat yang diberikan,
dan dengan diferensial fungsi tentukan pula deret pangkat yang dihasilnya dengan interval
konvergensinya pula
∞ ∞ ∞
( x − 2) n ( x − 3) n +1 ( x + 2) n
12. ∑ 2n + 1 13. ∑ 3/ 2
14. ∑ (n + 1)!
n=0 n =1 n( n + 1) n =0
∞ ∞ 2n +1 ∞
( x − 1) n ( x + 1) n( x − 2) 2n −1
15. ∑ 2 n
16. ∑ 2 n
17. ∑ n
n = 0 ( n + 1) 4 n = 0 (2n + 1) 3 n =1 (2n − 1) 3
∞ 2n +1 ∞ n +1 ∞
n
2 ( x − 2) ( x − 2) (n + 1)( x − 2) 2n +1
18. ∑ 3n (2n + 1)
19. ∑ 2
20. ∑ (2n + 1) e n
n =0 n =1 ( n + 1) ln(n + 1) n =0

Dengan menggunakan pendekatan pengintegrasian suku demi suku tentukanlah deret


pangkat berikut ini,
–1 2 x2 1 2 x2 1
21. tan x = ∫ dt 22. ln(1 + x ) = ∫ dt
0 1+ t 2 0 1+ t

2 x2 1 x
23. ln(1 – x ) = – ∫ dt 24. ∫ ln(1 + t )dt
0 1− t 0
x ln(1 + t ) x 2 et − 1
25. ∫0 t
dt 26. ∫ 0 t
dt

tan −1 t
x2 x −1
27. ∫ 0 t dt 28. ∫ 0 t tan t dt

x 2 1 − e −t x
29. ∫ dt ∫0
t ln(1 − t ) dt
30.
0 t
Dengan pendekatan ekspansi deret pangkat hitunglah integral tentu berikut ini
0,5 − x 2 0,5 1 0, 2 1
31. ∫ e dx 32. ∫ dx 33. ∫ dx
2
0 0 1+ x 0 1+ x4
0, 25 0,5 0,5 x − ln(1 + x)
34. ∫ tan −1 x 2 dx 35. ∫ x ln(1 + x 2 ) dx 36. ∫ dx
0 0 0 x2
0,5 0,5 x 0,5 x
37. ∫ x tan −1 x dx 38. ∫ dx 39. ∫ dx
0 0 1 + x3 0 1 − x3

0, 25 e x − 1 0, 25 1 − e − x
40. ∫ 0 x
dx 41. ∫
0 x
dx
5.7. Deret Taylor dan MacLaurin

Dalam penerapan integral tentu, Dari rumus deferensial dan integrasi deret panglat secara
tidak langsungs telah diperoleh ekspansi fungsi suku banyak yang dinyatakan dalam
bentuk deret pangkat. Fungsi-fungsi dengan suku banyak dimaksud antara lain adalah :

1
= 1 + x + x + x + … + x + … = ∑ xn
2 3 n
(i).
1− x n =0

1
= 1 – x + x – x + … + (–1) x + … = ∑ (−1) n x n
2 3 n n
(ii).
1+ x n =0

1 2 1 3 1 4 (−1) n +1 n +1
(iii). ln(1 + x) = x – x + x – x + …. = ∑ x
2 3 4 n =0
n + 1

x2 x3 x4 xn
(iv). e x = 1 + x + + + + …. = ∑
2! 3! 4! n =0
n!

x3 x5 x7 n x
2n +1
x 2n +1
+ … = ∑ (−1) n
–1
(v). tan x = x – + – + – … + (–1)
3 5 7 2n + 1 n =0
2n + 1

Secara umum ekspansi deret pangkat untuk fungsi dengan suku banyak diberikan oleh,

f(x) = ∑ cn ( x − a ) n
n =0
2 3 n
= c0 + c1(x – a) + c2(x – a) + c3(x – a) + … + cn(x – a) + …

dimana jari-jari konvergensinya adalah R > 0. Menurut rumus diferensial deret pangkat
jari-jari konvergensi fungsi dan turunannya adalah R > 0. Dengan mendeferensialkan
fungsi f sapai dengan tak berhingga pada interval konvergensinya dihasilkan,
2 3 n
f(x) = c0 + c1(x – a) + c2(x – a) + c3(x – a) + … + cn(x – a) + …
f′(x) = c1 + 2c2(x – a) + 3c3(x – a) + 4c4(x – a) +… + ncn(x – a)
2 3 n–1
+…
f′′(x) = 2c2 + 6c3(x – a) + 12c4(x – a) + … + n(n – 1)cn(x – a)
2 n–2
+…
f′′′(x) = 6 c3 + 24c4(x – a) + … + n(n – 1)(n – 2)cn(x – a)
n–3
+…
iv n–4
f (x) = 24 c4 + 5! c5(x – a) + … + n(n – 1)(n – 2)(n – 3)cn(x – a) +…
.......................................................
n
f (x) = n! cn + (n + 1)! cn+ (x – a) + …

Jika x = a disubstitusikan pada persamaan f(x), f′(x), f′′ (x), f′′′(x), …, f (x) dihasilkan :
n

f(a) = c0, atau c0 = f(a)


f′(a) = c1, atau c1 = f′(a)
f ′′(a )
f′′(a) = 2c2, atau c2 =
2!
f ' ' ' (a )
f′′′(a) = 6 c3, atau c3 =
3!
iv f iv (a )
f (a) = 24c4, atau c4 =
4!
dan secara umum dihasilkan,
n f n (a)
f (x) = n! cn, atau cn =
n!

Dengan demikian dapat disimpulkan, jika fungsi :



∑ cn ( x − a ) n
2 3 n
f(x) = = c0 + c1(x – a) + c2(x – a) + c3(x – a) + … + cn(x – a) + …
n =0
untuk setiap nilai x yang terletak dalam interval konvergensinya berlaku ketentuan,
f n (a)
cn =
n!
Koefisien, cn ini sering dijumpai dalam rumus deret Taylor. Berikut ini secara formal
diberikan rumusan ekspansi deret Taylor bagi fungsi yang konvergen dengan jarijari
konvergensi R > 0.

Andaikan f adalah sebuah fungsi yang memiliki turunan f′(x), f′′ (x), f′′′(x), …, f (x), dan
n
n+1
kontinu pada interval terbuka (a–r, a+r), dan f (x) ada pada interval terbuka (a–r, a+r).
Ekspansi deret Taylor dari fungsi f disekitar x = a diberikan oleh :

f ′′(a) f ' ' ' (a) f n (a)


f(x) = f(a) + f′(a)(x – a) +
2 3 n
(x – a) + (x – a) + … + (x – a) + Rn(x)
2! 3! n!
dengan, Rn(x) disebut dengan galat (error) yang diberikan oleh.
f n +1 (c) n+1
Rn(x) = (x – a)
(n + 1) !
dan,
lim Rn(x) = 0
x →∞
Dari rumus diatas, diperoleh hampiran polinom Taylor orde-n, fn(x) adalah :
f ′′(a) f ( n) (a)
fn(x) ≈ f(a) + f ′(a)(x – a) + ( x − a) 2 + … + ( x − a) n
2! n!

Dalam kasus a = 0, polinom Taylor orde-n dapat disederhanakan yang disebut dengan
polinom Maclaurin orde-n. Dengan demikian polinom Maclaurin orde-n diberikan oleh
rumus,
f ′′(0) 2 f ( n ) (0) n
f(x) = f(0) + f ′(0) x + x +…+ x + Rn(x)
2! n!
dimana sisa (galat/error) Rn(x) diberikan oleh rumus,
f ( n+1) (c) n +1
Rn(x) = x
(n + 1)!
dan c suatu titik antara x dan 0. Sehingga nilai hampiran fungsi polinom MacLaurin adalah
:
f ′′(0) 2 f ( n ) (0) n
f(x) ≈ f(0) + f ′(0) x + x +…+ x
2! n!

Contoh 5.7.1.
Gunakanlah polinom Taylor orde 5 pada a = 1 untuk menghitung hampiran ln(1,1), dan
berikan taksiran galat maksimum yang dibuat.
Penyelesaian :
Terlebih dahulu dicari polinom orde 5 dari f(x) = ln x. Dengan mendiferensialkan f
terhadap x sampai enam kali diperoleh,
f(x) = ln x f(1) = 0
f ′(x) = x−1 f ′(1) = 1
f ′′(x) = -x−2 f ′′(1) = -1
f ′′′(x) = 2 x−3 f ′′′(1) = 2
( ) ( )
f 4 (x) = - 6x−4 f 4 (1) = - 6
( ) ( )
f 5 (x) = 24 x−5 f 5 (1) = 24
( ) (6)
f 6 (x) = -120 x−6 f (c) = -120 c−6

Dengan hasil diatas, jadi menurut rumus Taylor polinom orde 5 untuk ln x adalah :
( x − 1) 2 ( x − 1) 3 ( x − 1) 4
ln x = 0 + (x – 1) + (-1) + (2) + (-6) +
2! 3! 4!
( x − 1) 5
(24) + R5 (x)
5!
atau,
1 1 1 1
ln x = (x – 1) − (x – 1)2 + (x – 1)3 − (x – 1)4 + (x – 1)5 + R5 (x)
2 3 4 5

Dengan demikian untuk x = 1,1 diperoleh hasil,


1 1 1 1
ln(1,1) = (0,1) − (0,1)2 + (0,1)3 − (0,1)4 + (0,1)5 + R5 (x)
2 3 4 5
≈ 0,1 – 0,005 + 0,0003333 – 0,000025 + 0,000002
= 0,0953103
dan galat absulutnya adalah,
120 (0,1) 6 (0,1) 6
|R5 (1,1)| = =
c 6 6! 6c 6
Dimana 1 < c < 1,1. Dari persamaan itu pecahan semakin membesar jika penyebutnya
dibuat lebih kecil. Ambilah c = 1,0, sehingga galat mutlaknya akan memenuhi,
(0,1) 6
|R5 (1,1)| < < 0,000001
6(1,0) 6
Jadi dapat disimpulkan bahwa, ln(1,1) = 0,0953103 dengan galat lebih kecil dari 0,000001.
Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa galat hitungan tidak berarti. Jadi ln (1,1) = 0,09531

Contoh 5.7.2.
Dengan polinom Taylor orde-3 dari x di x = 4, dan dengan hasil itu hitunglah 4,1 dan
berapa taksiran galatnya.
Penyelesaian :
Andaikan f(x) = x , seperti pada contoh 5.4.1., dengan mendiferensialkan f(x) = x
terhadap x lima kali dihasilkan,
f(x) = x f(4) = 2
−1/2
f ′(x) = ½ x f ′(4) = ¼
f ″(x) = - ¼ x−3/2 f ″(x) = - 1/32
f ′″(x) = 3/8 x −5/2 f ′″(x) = 3/256
f (4)(x) = -15/16x −7/2 f (4)(c) = -15/16c −7/2

Dengan hasil diatas, menurut rumus Taylor dihasilkan polinom orde-3, yaitu :
1 1 ( x − 4) 2 3 ( x − 4) 3
f(x) = 2 + (x – 4) – + + R3(x)
4 32 2! 256 3!
atau,
1 1 2 1 3
f(x) = 2 + (x – 4) – (x – 4) + (x – 4) + R3(x)
4 64 512
Jadi untuk x = 4,1 diperoleh :
1 1 2 1 3
f(4,1) = 2 + (0,1) – (0,1) + (0,1) + R4(x)
4 64 512
≈ 2 + 0,025 – 0,00015625 + 0,000001953125
= 2,0248456703

Galat absulutnya adalah,


15 (0,1) 4 5 (0,1) 4
|R3(4,1) | = =
16 4 ! c 7 / 2 128 c 7 / 2
dimana 4 < c < 4,1. Dari persamaan itu pecahan semakin membesar jika penyebutnya
dibuat lebih kecil. Ambil c = 4, sehingga galat mutlaknya akan memenuhi,
5 (0,1) 4 5
|R3(4,1) | < = (0,1) 4 < 0,0000001
128 4 7 / 2 16284
Karena galatnya cukup kecil, jadi jika diambil sampai dengan enam angka desimal, dapat
disimpulkan bahwa, 4,1 = 2,024846.

Contoh 5.7.3.
Dengan rumus Maclaurin, carilah polinom orde-n dari dan dengan polinom itu carilah
0,5
hmpiran e , dari dengan galat kurang 0,0001.
Penyelesaian :
Karena, f(x) = e , dan turunannya f (n)(x) = e , sehingga pada x = 0, f(0) = 1, f (n)(0) = 1.
x x

Jadi menurut rumus Maclaurin,


1 1 3 1 4 1 5 1 6 1 7 1 n
e = 1 + x + x2 +
x
x + x + x + x + x +…+ x + Rn (x)
2! 3! 4! 5! 6! 7! n!
dengan memberikan sisa,
f ( n+1) (c) ec
Rn (x) = = x n +1
(n + 1)! (n + 1)!
Sehingga,
ec
Rn (0,5) = (0,5) n +1
(n + 1)!
Dimana, 0 < c < 0,5. Mengingat, e < e0,5 < 2, dan (0,5)n +1 < 1, sehingga :
c

2 2
| Rn (0,5) | < (1) n+1 =
(n + 1)! (n + 1)!
Dengan persamaan suku terakhir, bahwa untuk n ≥ 7, maka | Rn (0,5) | ≤ 0,0001, karena
1
≤ 0,0001
8!
Akibatnya dengan galat kurang dari 0,0001, diperoleh polinom Maclaurin orde 7, yaitu :
x 1 2 1 3 1 4 1 5 1 6 1 7
e ≈1+x+ x + x + x + x + x + x
2! 3! 4! 5! 6! 7!
Sehingga untuk x = 0,5 diperoleh,
0,5
e ≈ 1 + 0,5 + 0,125 + 0,0208333 + 0,002604166 + 0,000260416 + 0,000021701
= 1,648719283
0,5
Jika diambil enam angka desimal, dapat disimpulkan bahwa e = 1,648719 dengan galat
kurang dari 0,0001. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa kesalahan penghitungan itu tidak
berarti.

Contoh 5.7.4.
Carilah rumus polinom Mclaurin orde-n dari cos x, dengan hasil itu hitunglah cos 3o
dengan galat kurang dari 0,00001.
Penyelesaian :
Andaikan, f(x) = cos x dan turunannya orde-n f (n) (x) = cos[(π/2)n + x] sehingga untuk x =
0, dihasilkan :
f(0) = 1 f 4(0) = 1
f ′(0) = 0 f 5(0) = 0
f ″(0) = -1 f 6(0) = -1
f ′″(0) = 0 f 7(0) = 0
Jadi,
x2 x4 x6 (−1) n x 2n
cos x = 1 -+ - +…+ + Rn (x)
2! 4! 6! (2n)!
yang memberikan galat mutlaknya,
π
cos[ (n + 1) + c] x 2(n +1)
Rn (x) = 2
[2(n + 1)]!
o
dimana 0 < c < 3 . Karena |cos x | ≤ 1, maka jika pembilang diambil nilai terbesar akan
o 2
memberikan hasil terbesar. Jadi untuk x = 3 = π/60 dan (π/60) < 0,5 menghasilkan :
(π / 60) 2(n +1) 0,5
| Rn (3o) | < <
[2(n + 1)]! [2(n + 1)]!
Dari suku terakhir pertidaksamaan | Rn (3o)| untuk n ≥ 3, maka | Rn (3o)| < 0,00001.
Akibatnya diperoleh polinom orde-3 dari cos x, yaitu :
x2 x4
cos x = 1 - +
2! 4!
Jadi,
o
cos 3 ≈ 1 – 0,001370778 + 0,000000313722 ≈ 0,998629535
o
Jadi dapat disimpulkan bahwa cos 3 = 0,998629, dengan galat kurang dari 0,00001.

Deret-deret khusus
Dengan menggunakan ekspansi deret MacLaurin maka dihasilkan ekspansi deret untuk
fungsi-fungsi berikut ini,
∞ x 2n+1
(1). sin x = ∑ (−1) n (2n + 1)!
, –∞ < x < ∞
n =0
∞ x 2n
(2). cos x = ∑ (−1) n (2n)!
, –∞ < x < ∞
n =0
∞ n
x
(3). e x = ∑ n !
, –∞ < x < ∞
n =0

1
(4). = ∑ xn , | x | < 1
1 − x n =0

(−1) n +1 n +1
(5). ln(1 + x) = ∑ x ,|x|<1
n =0
n + 1

1 1+ x x 2n +1
(6). ln = ∑ , |x|<1
2 1− x n =0
2n + 1

x 2n +1

–1
(7). tan x = (−1) n ,|x|<1
n =0
2n + 1

Contoh 5.7.5.
Dengan menggunakan rumus diatas, hitunglah hampiran dari sin 0,2 radian sampai dengan
enam angka desimal.
Penyelesaian :
Dengan menggunakan n = 2, bila x = 0,2 diperoleh,
1 3 1 5
sin x ≈ x - x + x
3! 5!
maka,
1 1
sin 0,2 ≈ 0,2 - (0,2)3 + (0,2)5
3! 5!
= 0,2 – 0,00133333 + 0,00000266666
= 0,198669366
Jadi, jika diambil enam angka desimal maka sin 0,2 radian = 0,198669.
Sebagai telah diketahui bahwa, dalam mendefinisikan integral tertentu,
b
∫ a f ( x) dx ,
biasanya fungsi f diandaikan terdefinisikan pada interval tertutup [a,b] yang berhingga
b
atau terbatas. Biasanya untuk menghitung integral tertentu ∫ a f ( x) dx digunakan Teorema
Dasar Kalkulus. Namun demikian banyak kasus integral tertentu tidak dapat dihitung
dengan metode-metode integrasi dan menggunakan Teorema Dasar Kalkulus. Hal ini
disebabkan karena anti turunan dari integran atau integral tak tentunya tidak mempunyai
anti turunan. Misalnya adalah integral tertentu,

2
1 4 1 1 − cos x 1 2 1 1 − e− x
∫0 1 + x dx ∫ 0 x2
dx ∫ 0 sin x dx ∫0 x2
dx

Bentuk integral tak wajar ini akan semakin banyak dijumpai pada penerapan integral, dan
ada metode khusus menyelesaikannya. Pengintegralan secara numerik ini akan lebih
mudah dikerjakan dengan bantuan komputer. Salah satu metode yang dapat digunakan
adalah menggunakan ekspansi deret MacLaurin. Berikut ini disajikan beberapa penerapan
untuk menghitung integral dimaksud.

Contoh 5.7.6
1 1 − cos x
Dengan menggunakan ekspansi deret MacLaurin hitunglah, ∫0 x2
dx , sampai

dengan enam angka desimal


Penyelesaian
Dalam bentuk ekspansi deret MacLaurin, fungsi cos x diberikan oleh,
x2 x4 x6 x8
cos x = 1 – + – + –+ …
2! 4! 6! 8!
Sehingga dihasilkan,
x2 x4 x6 x8
1 – cos x = 1 – (1 – + – + –+…)
2! 4! 6! 8!
x2 x4 x6 x8
= – + – +–…
2! 4! 6! 8!
dan,
1 − cos x 1 x2 x4 x6 x8
= ( – + – + – …)
x2 x2 2! 4! 6! 8!
1 x2 x4 x6
= – + – +–…
2 4! 6! 8!
Dengan menggunakan hasil terakhir ini maka dihasilkan,
1 1 − cos x 1 1 x2 x4 x6
∫0 x2
dx = ∫0 ( –
2 4!
+
6!

8!
+ – …) dx

1
⎡ x x3 x5 x7 ⎤
= ⎢ − + − + ...⎥
⎣⎢ 2 3 ⋅ 4! 5 ⋅ 6! 7 ⋅ 8! ⎦⎥ 0
1 1 1 1
= – + – +–…
2 3⋅ 4! 5⋅ 6! 7 ⋅8!
= 0,5 – 0,013 889 + 0,000 278 – 0,000 004 = 0,486 385
Jadi,

1 1 − cos x
∫0 x2
dx = = 0,486 385

Contoh 5.7.6
1 2
Dengan menggunakan ekspansi deret MacLaurin hitunglah, ∫ 0 sin x dx , sampai dengan
enam angka desimal
Penyelesaian
Dalam bentuk ekspansi deret MacLaurin, fungsi sin x diberikan oleh,
x3 x5 x 7 x9
sin x = x – + – + –+ …
3! 5! 7 ! 9!
2
Sehingga jika x diganti dengan x dihasilkan,
2x6 x10 x14
2 x14
sin x = x –
+ – + –+ …
3! 5! 7! 9!
Dengan menggunakan hasil diatas, maka dihasilkan :
1 1 2 x6 x10 x14 x14
∫0 sin x 2 dx = ∫0 ( x – + – + – + …)dx
3! 5! 7! 9!
1
⎡ x3 x7 x11 x15 ⎤
= ⎢ − + − + ...⎥
⎣⎢ 3 7 ⋅ 3! 11 ⋅ 5! 15 ⋅ 7! ⎦⎥ 0
1 1 1 1
= – + – +–…
3 7 ⋅ 3! 11⋅ 5 ! 15 ⋅ 7 !
= 0,333 333 – 0,023 809 + 0,000 757 – 0,000 012 + 0,000 000 1
= 0,310 268

Jadi,
1 2
∫ 0 sin x dx = 0,310 268

Deret Binomial

n
Dalam ilmu aljabar telah diperlajari bahwa teorema binomial, (a + b) sebagai jumlahan
pangkat dari a dan b dangan n bilangan bulat positip yaitu,

⎛ n⎞ ⎛n⎞ ⎛ n ⎞ n −1
(a + b) = a + ⎜⎜ ⎟⎟a n −1b + ⎜⎜ ⎟⎟a n− 2b 2 + … + ⎜⎜
n n n
⎟⎟ab +b
⎝1⎠ ⎝ 2⎠ ⎝ n − 1⎠
Dari deret binomial diatas, jika diambil a = 1, b = x, dan n bukan bilangan bulat positip
misalkan adalah p maka dihasilkan rumus :
⎛ p⎞ ⎛ p⎞ ⎛ p⎞ ⎛ p⎞
(1 + x) = 1 + ⎜⎜ ⎟⎟ x + ⎜⎜ ⎟⎟ x 2 + ⎜⎜ ⎟⎟ x 3 + … + ⎜⎜ ⎟⎟ x n + ….
p

⎝1⎠ ⎝2⎠ ⎝3⎠ ⎝n⎠


Karena,
⎛ p⎞ p ( p − 1)...( p − k + 1)
⎜⎜ ⎟⎟ =
⎝k⎠ k!
Maka deret untuk semua nilai x deret dapat ditulis menjadi,
p p( p − 1) 2 p ( p − 1)( p − 2) 3 p ( p − 1)...( p − n + 1) n
(1 + x) = 1 + px + x + x + x +…
2! 3! n!
p
Deret diatas dikenal dengan deret Binomial atau deret MacLaurin untuk (1 + x) . Dengan
menerapakan uji rasio dihasilkan rumusan sebagai berikut :
(1). Jika p adalah bilangan bulat positip atau nol, maka deret tersebut akan berakhir
(2). Jika p > 0, akan tetapi bukan merupakan bilangan bulat positip maka deret tersebut
konvergen (mutlak) pada interval, –1 ≤ x ≤ 1.
(3). Jika –1 < p < 0, maka deret tersebut konvergen pada interval, –1 < x ≤ 1.
(4). Jika p ≤ –1, mka deret tersebut konvergen pada iterval, –1 < x < 1.
Dengan memperhatikan hasil diatas, maka dapt disimpulkan bahwa untuk semua nilai p
maka deret konvergen pada interval | x | < 1 atau, –1 < x < 1.

Contoh 5.7.7
Naytakanlah, (1 + x)1 / 3 dalam bentuk deret pangkat dalam x. Dengan hasil itu, hitunglah
3 66 sampai dengan enam angka desimal
Penyelesaian
Dengan menggunakan rumus deret Binomial, khususnya untuk p = 1/3 dihasilkan :
p ( p − 1) 2 p ( p − 1)( p − 2) 3 p ( p − 1)...( p − n + 1) n
(1 + x)1 / 3 = 1 + px + x + x +…+ x +…
2! 3! n!
1 (1 / 3)(1 / 3 − 1) 2 (1 / 3)(1 / 3 − 1)(1 / 3 − 2) 3
= 1+ x+ x + x +…
3 2! 3!
1 2 2 10 3 80 4
=1+ x– x + x – x +…
3 2 3 4
3 ⋅2! 3 ⋅ 3! 3 ⋅4!
1/ 3 1/ 3 1/ 3
⎛ 66 ⎞ ⎛ 64 + 2 ⎞ ⎛ 2 ⎞
Selajutnya, mengingat 3 66 = 3 64 ⎜ ⎟ =4 ⎜ ⎟ = 4 ⎜1 + ⎟
⎝ 64 ⎠ ⎝ 64 ⎠ ⎝ 64 ⎠
1
Dengan demikian untuk x = , maka dihasilkan :
32
1/ 3 2 3 4
⎛ 1 ⎞ 1⎛ 1 ⎞ 2 ⎛ 1 ⎞ 10 ⎛ 1 ⎞ 80 ⎛ 1 ⎞
⎜1 + ⎟ =1+ ⎜ ⎟ – 2 ⎜ ⎟ + 3 ⎜ ⎟ – 4 ⎜ ⎟ +…
⎝ 32 ⎠ 3 ⎝ 32 ⎠ 3 ⋅ 2 ! ⎝ 32 ⎠ 3 ⋅ 3 ! ⎝ 32 ⎠ 3 ⋅ 4 ! ⎝ 32 ⎠
= 1 + 0,010 416 – 0,000 109 + 0,000 002
= 1,010 310
Jadi,
1/ 3
3 ⎛ 2 ⎞
66 = 4 ⎜1 + ⎟ = 4(1,010 310) = 4,041240
⎝ 64 ⎠
Contoh 5.7.8
0,5
Tentukanlah deret pangkat dalam x dari, 1 + x 4 , dan hitunglah ∫0 1 + x 4 dx sampai
dengan enam angka desimal
Penyelesaian
Dari deret Binomial untuk p = ½, diperoleh :
p ( p − 1) 2 p ( p − 1)( p − 2) 3 p ( p − 1)...( p − n + 1) n
(1 + x)1 / 2 = 1 + px + x + x +…+ x +…
2! 3! n!
1 (1 / 2)(−1 / 2) 2 (1 / 2)(−1 / 2)(−3 / 2) 3
=1+ x+ x + x + …
2 2! 3!
1 1 2 1 3 5 4
=1+ x– x + x – x +– …
2 8 16 128
4
Bilamana x diganti dengan x , dihasilkan :
1 4 1 42 1 43 5 4 4
(1 + x 4 )1 / 2 = 1 + x – (x ) + (x ) – (x ) +– …
2 8 16 128
1 4 1 8 1 12 5 16
=1+ x – x + x – x +– …
2 8 16 128
Sehingga dengan menggunakan hasil diatas diperoleh :
0,5 4 0,5 1 4 1 8 1 12 5 16
∫ 0 1 + x dx = ∫ 0 (1 + + 2 x – 8 x + 16 x – 128 x + – …) dx
0,5
⎡ 1 1 1 13 ⎤
= ⎢ x + x5 − x9 + x − +...⎥
⎣ 10 72 208 ⎦0
= 0,5 + 0,003 125 – 0,000 027 + 0,000 001
= 0,503098

Contoh 5.7.9
1
Nyatakanlah, = (1 + x) −1 / 2 dalam deret pangkat dalam x. Dengan hasil itu,
1+ x
1
hitunglah sin −1 x = ∫ dt , dengan empat suku pertamanya hitunglah sin −1 (1/2)
x
0 2
1− t

Penyelesaian
Menurut rumus deret Binomial untuk p = –½, diperoleh,
1 (−1 / 2)(−1 / 2 − 1) 2 (−1 / 2)(−1 / 2 − 1)(−1 / 2 − 2) 3
(1 + x) −1 / 2 = 1 – x + x + x + …
2 2! 3!
1 1⋅ 3 1 2 1⋅ 3 ⋅ 5 1 3
=1– x+ x – x +– …
2 22 2 ! 23 3 !
Jadi,

1 1 ⋅ 3 ⋅ 5 ⋅ ...(2n − 1) n
= 1 + ∑ (−1) n x
1+ x n =1 2 n
n !
2
Bilamana x diganti dengan (–x ) dihasilkan :

1 1 ⋅ 3 ⋅ 5 ⋅ ...(2n − 1)
∑ (−1) n
2 n
=1+ (–x )
2 n
1− x n =1 2 n!

1 ⋅ 3 ⋅ 5 ⋅ ...(2n − 1)

2n
=1+ x
n
2 n!n =1
Dengan mengintegralkan suku demi suku hasil diatas dihasilkan,
1
sin −1 x = ∫
x
dt ,
0
1− t 2
∞ x 1 ⋅ 3 ⋅ 5 ⋅ ...(2n − 1) 2n
∑ ∫0
x
=∫ dx + x dx
0 n
2 n!
n =1

1 ⋅ 3 ⋅ 5 ⋅ ...(2n − 1) x 2n +1
=x+∑
n =1 2n n ! 2n + 1
Dengan hasil diatas, empat suku pertamanya diberikan oleh,
1 3 5 5 7
sin −1 x = x + x 3 + x + x
6 40 112
Dengan demikian, untuk x = ½ diperoleh :
3 5 7
−1 1 1 ⎛1⎞ 3 ⎛1⎞ 5 ⎛1⎞
sin (½) = + ⎜ ⎟ + ⎜ ⎟ + ⎜ ⎟
2 6 ⎝2⎠ 40 ⎝ 2 ⎠ 112 ⎝ 2 ⎠
= 0,5 + 0,020 833 + 0,002 343 + 0,000 349 + 0,000 0059
= 0,52335852

Soal-soal Latihan 5.7.

Dalam soal-soal latihan berikut ini, tentukanlah ekspansi deret Taylor dalam (x – a)
sampai dengan suku kelima, dari :
1. f(x) = cos x, dengan a = π/6
2. f(x) = sin x, dengan a = π/3
3. f(x) = tan x, dengan a = π/4
2
4. f(x) = sin x, dengan a = π/6
2
5. f(x) = cos x, dengan a = π/3
Dalam soal-soal latihan berikut ini, tentukanlah ekspansi deret MacLaurin sampai dengan
suku kelima, dari :
6. f(x) = e − x cos x
5/2
7. f(x) = (1 + x)
1
8. f(x) =
1− x
3/2
9. f(x) = (1 – x)
1
10. f(x) =
(1 + x)1 / 3
Dengan menggunakan pendekatan ekspansi deret MacLaurin atau deret Binomial
hitunglah integral tak tentu berikut ini sampai dengan enam angka desimal, yaitu :
0,5 4 0, 25
11. ∫0 1 + x 2 dx 12. ∫0 (1 − x ) 2 / 3dx
1 2 0,5
13. ∫ 0 cos( x ) dx 14. ∫0 sin x dx
1 − x 0,5 2
15. ∫0 e dx 16. ∫0 e − x dx
1 2 0,25
17. ∫0 x e − x dx 18. ∫0 x cos x dx

0,5 1 − e − x 0,5
19. ∫ dx 20. ∫0 1 − x 3 dx
0 x
2
0, 25 1 − e− x 0,5 3
21. ∫0 dx 22. ∫0 1 + x 2 dx
2
x

Dengan menggunakan ekspansi fungsi dari deret hitunglah nilai fungsi berikut ini sampai
dengan enam angka desimal.
1/5 2/3
23. (36) dengan f(x) = (1 + x)1 / 5 24. (60) dengan f(x) = (1 − x) 2 / 3
1/4 3/4
25. (252) dengan f(x) = (1 − x)1 / 4 26. (18) dengan f(x) = (1 + x) 3 / 4
o o
27. cos 58 dengan f(x) = cos x 28. sin 32 dengan f(x) = sin x
2 2
29. e −0,25 , dengan f(x) = e − x 30. e −0,04 , dengan f(x) = e − x
BAB VI
FUNGSI GAMMA, FUNGSI BETA
DAN FUNGSI KHUSUS LAINNYA
6.1. Fungsi Gamma
Pengertian fungsi gamma dan fungsi khusus lainnya yang melibatkan fungsi
eksponensial negatif secara tidak langsung telah dibahas pada sub bagian integral tak wajar,
khususnya batas menuju tak hingga. Pada bagian ini secara khusus akan dibahas fungsi
gamma dan berbagai penerapannya khususnya dalam kaitannya dengan penghitungan nilai
integral tak wajar.
Fungsi gamma yang dinyatakan dengan Γ(n) didefinisikan oleh integral tak wajar,

Γ(α) = ∫0 xα −1e − x dx
yang konvergen untuk α > 0.
Guna untuk memudahkan menggunakan keistimewaaan fungsi gamma akan ditinjau
beberapa kasus berikut ini.

6.1.1 Kasus n bilangan bulat positif

Untuk kasus α bilangan bulat positif, katakanlah α = n akan ditinjau beberapa kasus
berikut ini. Pertama ditinjau n = 1. Dengan metode integrasi parsial untuk n = 1, dihasilkan :
∞ ∞
x1−1e − x dx = e − x dx = lim
b −x
Γ(1) = ∫0 ∫0 b→∞
∫0 e dx
b
⎡ 1⎤ ⎡ 1⎤ 1
= lim ⎢− ⎥ = lim ⎢1 − ⎥ = 1 – lim =1
x
b→∞ ⎣ e ⎦ 0 b→∞ ⎣ b b → ∞ eb
e ⎦

Jadi diperoleh hasil bahwa, Γ(1) = 1. Selanjutnya untuk, n = 2, dihasilkan :

∞ ∞
x 2 −1e − x dx = xe − x dx = lim −x
b
Γ(1) = ∫0 ∫0 b→∞
∫ 0 xe dx
b
⎡ x + 1⎤ ⎡ b + 1⎤ b +1
= lim ⎢− ⎥ = lim ⎢1 − b ⎥ = 1 – lim
b → ∞ ⎣ ex ⎦ 0 b→∞ ⎣ e ⎦ b → ∞ eb
1
= 1 – lim =1
b → ∞ eb

Jadi diperoleh hasil bahwa, Γ(2) = 1. Secara umum untuk, n > 2, dengan menggunakan
metode integrasi parsial, dihasilkan :

∞ ∞
Γ(n +1) = ∫0 x ( n +1) −1e − x dx = ∫0 x n e − x dx
b n −x
= lim
b→∞
∫0 x e dx
b
⎡ xn ⎤
= lim ⎢− ⎥ + n lim ∫ x n −1 e − x dx
b
b → ∞ ⎣⎢ e x ⎦⎥ b→∞ 0
0
bn ∞
= – lim + n∫ x n −1e − x dx
b→∞ b 0
e

Dengan menggunakan dalil L’Hopital limit bentuk tak tentu,


bn n!
lim = lim= 0,
b→∞ eb b → ∞ eb
dan menurut definisi fungsi gamma bahwa

∫0 x n −1e − x dx = Γ(n)

Dengan demikian untuk n bilangan bulat positif dihasilkan suatu hubungan,


Γ(n + 1) = nΓ(n)
= n (n – 1)Γ(n – 1)
= n (n – 1)(n – 2)Γ(n – 2)
= (n – 1)(n – 2)(n – 3) … 2 1Γ(1)
=n!
Sebagai ilustrasi untuk n > 2, akan dihasilkan rumus-rumus nilai fungsi gamma yaitu,
Γ(3) = Γ(2 + 1) = 2 ! = 2 × 1 = 2
Γ(4) = Γ(3 + 1) = 3 ! =
Γ(5) = Γ(4 + 1) = 4 ! = 4 × 3 × 2 × 1 = 24
Γ(6) = Γ(5 + 1) = 5 ! = 5 × 4 × 3 × 2 × 1 = 120
Γ(7) = Γ(6 + 1) = 6 ! = 6 × 5 × 4 × 3 × 2 × 1 = 720
dan seterusnya. Hubungan rumus rekursi, bahwa Γ(n + 1) = nΓ(n) berlaku pula untuk
sembarang bilangan α > 0. Secara umum hubungan antara fungsi gamma tersebut diberikan
oleh,
Γ(α + 1) = α Γ(α)

Contoh 6.1.1
Γ(8)
Hitunglah
Γ(6)
Penyelesaian
Untuk n bilangan bulat positif berlaku, Γ(n + 1) = n !. Dengan rumus faktorial dihasilkan,
Γ(6) = Γ(5 + 1) = 5 !
Γ(8) = Γ(7+ 1) = 7 ! = 7 × 6 × 5 ! = 42 × 5 !
Dengan demikian,
Γ(8) 42× 5 !
= = 42
Γ(6) 5!

Contoh 6.1.2.

Hitunglah, ∫0 x 3e − 2 x dx
Penyelesaian,
Dengan menggunakan pendekatan fungsi gamaa, substitusikanlah :
1
(i). t = 2x, atau x = t
2
1
(ii). dx = dt
2
Dengan subsitusi tersebut diatas, dihasilkan :
3 4
∞ 3 −2x ⎛t⎞ ∞ 1 ⎛1⎞ ∞
∫0 x e dx = ∫ ⎜ ⎟ e − t dt = ⎜ ⎟ ∫ t 3e − t dt
0 ⎝2⎠ 2 ⎝2⎠ 0
1 ∞ 1 3! 3
= ∫ t 4 −1e − t dt = Γ(4) = =
16 0 16 16 8
Contoh 6.1.3

x 2 e − 2 x dx
4
Hitunglah, ∫0
Penyelesaian,
Misalkan,
4
⎛u⎞ u4
(i). u = 2 4 x , atau x = ⎜ ⎟ = ,
⎝2⎠ 16
u3
(ii). dx = du .
4
Dengan demikian,
4
∞ ∞ ⎛u⎞ u3 1 ∞ 7 −u
x 2 e − 2 x dx =
4
e−u
∫0 ∫ 64 ∫ 0
⎜ ⎟ du = u e du
0 ⎝2⎠ 4
1 7!
= Γ(8) =
64 64

Sebagaimana tekah dijelaskan bahwa salah satu permasalahan atau kesulitan yang akan
dijumpai dalam menentukan konvergensi integral tak wajar adalah menghitungnya secara
langsung dari definisi. Salah satu manfaat penerapan penting dari fungsi gamma adalah
manfaatnya untuk memudahkan menghitung integral tak wajar yang konvergen, yang tidak
dapat secara lansung dihitung dari definisi, khususnya bilamana integral tak wajar tersebut
melibatkan fungsi eksponensial negatif. Berikut ini akan disajikan aneka ragam masalah-
masalah penghitungan integran tentu yang dapat diselesaikan dengan fungsi gamma.

Contoh 6.1.4
∞ 1
Buktikanlah bahwa, ∫0 x n e − ax dx = Γ(n + 1)
n +1
a
Penyelesaian
Untuk membuktikan kesamaan diatas, misalkanlah :
1
(i). u = ax, atau x = u
a
1
(ii). dx = du .
a
Dengan substiusi tersebut dihasilkan,
n n +1
∞ ∞ ⎛ 1 ⎞ −u ⎛ 1 ⎞ ⎛1⎞ ∞ n −u
∫0 x n e − ax dx = ∫⎜ u ⎟ e ⎜ du ⎟ = ⎜ ⎟ u e du ∫
0 ⎝a ⎠ ⎝a ⎠ ⎝a⎠ 0
1 ∞ ( n +1) −1 − u 1
a
=
n +1 0
u ∫ e du =
n +1
Γ(n + 1)
a
Dengan demikian terbuktilah bahwa,
∞ n − ax 1
∫ 0 x e dx = a n +1 Γ(n + 1) .
Sebagai contoh penggunaannya misalnya adalah :
∞ 1 3! 3
(i). n = 3, dan a = 2, maka ∫ x 3e − 2 x dx = Γ(3 + 1) = =
0 ( 3 +1) 4 8
2 2
∞ 1
(ii). n = 4, dan a = ½, maka ∫ x 4 e − ( x / 2) dx = Γ(4 + 1) = 25 4 !
0 ( 4 +1)
(1 / 2)

Contoh 6.1.5
∞ 2 1 ⎛ n +1⎞
(a). Buktikanlah bahwa, ∫0 x n e − ax dx = Γ⎜ ⎟.
( n +1) / 2 ⎝ 2 ⎠
2a
∞ 5 −2x 2 ∞ 2
(b). Dengan hasil diatas, hitunglah ∫0 x e dx , dan ∫0 x 7 e − (1 / 2) x dx
Penyelesaian
(a). Membuktikan kesamaan. Untuk membuktikan kesamaan diatas, misalkanlah :
1/ 2
2 ⎛u⎞
(i). u = ax , atau x = ⎜ ⎟
⎝a⎠
−1 / 2
1 −1 1 ⎛u⎞
(ii). du = 2 ax dx, atau dx = x du = ⎜ ⎟ .
2a 2a ⎝ a ⎠
Dengan demikian integral tak wajar diatas dapat ditulis menjadi,
n/2 −1 / 2
∞ 2 ∞⎛u⎞ 1 −u ⎛ u ⎞
∫0 x n e − ax dx = ∫ 0 ⎜⎝ a ⎟⎠ e ⎜ ⎟ du
2a ⎝a⎠
−1 / 2 n/2
1 ⎛1⎞ ⎛1⎞ ∞
= ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ∫0 u n / 2 e − u u −1 / 2 du
2a ⎝ a ⎠ ⎝a⎠
( n +1) / 2
1⎛1⎞ ∞ ( n −1) / 2 − u
⎜ ⎟
=
2⎝ a⎠ ∫ 0
u e du

1 1 ∞ ( n +1) / 2 −1 − u
=
2 a ( n +1) / 2 ∫ 0
u e du

1 1 ⎛ n +1⎞
= Γ⎜ ⎟
2 a ( n +1) / 2 ⎝ 2 ⎠
Jadi terbuktilah bahwa,
∞ n − ax 2 1 1 ⎛ n +1⎞
∫ 0 x e dx = 2 a (n +1) / 2 Γ ⎜⎝ 2 ⎟⎠
Kasus khusus, bilamana n ganjil, misalkan n = 2m + 1, dengan m ≥ 1, maka diperoleh rumus,
∞ 2 m +1 − ax 2 1 1 ⎛ (2m + 1) + 1 ⎞
∫ 0 x e dx = 2 a[(2m +1) +1] / 2 Γ ⎜⎝ 2 ⎟⎠
1 1
= Γ(m + 1)
2 a +1)
( m
∞ 2 ∞ 2
(b). Menghitung ∫0 x 5 e − 2 x dx dan ∫0 x 7 e − (1 / 2) x dx
Untuk. n = 2m + 1 = 5, atau m = 2, dan a = 2, dihasilkan :
∞ 5 −2x 2 1 1 1
∫ 0 x e dx = 2 2(2 +1) Γ(2 + 1) = 8
Sedangkan untuk, n = 2m + 1 = 7, atau m = 3, dan a = ½, dihasilkan :
∞ 2 1 1 24
∫0 x 7 e − (1 / 2) x dx = Γ(3 + 1) = 3!
2 (1/2) (3 +1) 2

Contoh 6.1.6
1 (−1) n
Buktikanlah. ∫0 x m (ln x) n dx =
(m + 1) n +1
Γ(n + 1), dengan n > 0. Dengan hasil diatas,

1 1 1/ 2
∫0 x ∫0 x
4
hitunglah (ln x) 3dx dan (ln x) 2 dx
Penyelesaian
Dari integral tak wajar, diperoleh fungsi integrannya adalah,
m n
f(x) = x (ln x) ,
terdefinisi pada interval 0 < x ≤ 1, dan nilai ln x < 0. Oleh karena itu, misalkan :
–u
(i). –u = ln x, atau x = e ,
–u
(ii). dx = –e du.
(iii). Perubahan batas integralnya, u = 0, jika x = 1, dan u = –∞, jika x = 0.
Oleh karena itu integral tak wajar diatas dapat ditulis menjadi,
−u m
) (−u ) n (−e − u du )
1 0
∫0 x ∫ − ∞ (e
m
(ln x) n dx =

e − ( m +1)u (−1) n u n du
0
= −∫
−∞

= (−1) n ∫ u n e − ( m +1)u du
0
Selanjutnya untuk menghitung integral diatas, subsitusikanlah :
1
(iv). z = (m + 1)u, atau u = z
m +1
1
(v). du = dz ,
m +1
maka akan dihasilkan :

u n e − ( m +1)u du
1
∫0 x (ln x) n dx = (−1) n ∫
m
0
n
⎛ z ⎞ −z ⎛ 1 ⎞
∞ (−1) n ∞ n −z
= (−1) ∫ ⎜ ∫
n
⎟ e ⎜ ⎟ dz = +
z e dz
0 ⎝ m +1⎠ ⎝ m +1⎠ (m + 1) n 1 0

(−1) n ∞ (−1) n
= ∫ z ( n +1) −1e − z dz = Γ(n + 1)
(m + 1) n +1 0 (m + 1) n +1
Jadi terbuktikan bahwa,
1 (−1) n
∫0 x m (ln x) n dx =
(m + 1) n +1
Γ(n + 1)

Sehingga dengan menggunakan hasil diatas, untuk m = 3, dan n = 2 dihasilkan :


1 (−1) 3 3!
∫0
4 3
x (ln x) dx = Γ(3 + 1) = −
3 +1
(4 + 1) 54
Demikian pula untuk m = ½, dan n = 2, dengan rumus diatas dihasilkan :
1 1/ 2 (−1) 2 1 24 16
∫ 0
x (ln x) 2 dx =
[(1 / 2) + 1] 2 +1
Γ(2 + 1) = –
(3 / 2) 3
2! =
3 3
=
27

6.1.2. Kasus Kedua α = ½ , 0 < α < 1, dan 1 < α < 2

Kasus khusus α = ½, dari definisi diperoleh :


∞ ∞
Γ(1/2) = ∫0 x (1 / 2) −1e − x dx = ∫0 x −1 / 2 e − x dx
2
Untuk menghitung integral tak wajar diatas, substitusikanlah, x = u , dx = 2u du. Dengan
substitusi tersebut integral diatas dapat ditulis menjadi,
∞ 2 ∞ 2
Γ(1/2) = ∫0 (u 2 ) −1 / 2 e − u (2u du ) = 2= ∫0 u −1e − u u du
∞ 2
= 2 ∫0 e − u du
Bilamana kedua ruas dikuadratkan dihasilkan,
{ Γ(1/2)}2 = ⎧⎨2 ∫ e − u du ⎫⎬ ⎧⎨2 ∫ e − v dv ⎫⎬
∞ 2 ∞ 2

⎩ 0 ⎭ ⎩ 0 ⎭
∞ ∞ 2 2
= 4∫ ∫0 e − (u + v ) du dv
0
Selanjutnya dengan menggunakan transformasi koordinat kutub, u = r cos θ, v = r sin θ, dan
du dv = r dr dθ, u + v = r , maka dihasilkan :
2 2 2

π /2 ∞ 2
{ Γ(1/2)}2 = 4 ∫0 ∫0 r e − r drdθ
b
π /2 ⎡ 1 2⎤ π /2 1 ⎛ 1 ⎞ ⎛π ⎞
=4 ∫0 lim ⎢− e − r ⎥ dθ = 4 ∫ dθ = 4 ⎜ ⎟⎜ ⎟ =π
b→∞ ⎣ 2 ⎦0 0 2 ⎝2⎠ ⎝ 2 ⎠
2
Karena, { Γ(1/2)} = π, maka untuk α = ½, maka dihasilkan rumus :
Γ(½) = π
Dengan menggabungkan rumus rekursi, Γ(α + 1) = α Γ(α), dan rumus Γ(1/2) = π , dapat
digunakan Γ(3/2), Γ(5/2) dan sebagainya. Dengan menggunakan pendekatan yang seperti
diatas, khusus untuk α yang terletak pada 0 < α < 1, berlaku rumus bahwa :

π
Γ(α) Γ(1 – α) =
sin απ
Sedangan untuk untuk 1 < α < 2, nilai fungsi gammanya diberikan oleh tabel pada lampiran.
Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh-contoh berikut ini
Contoh 6.1.7
Dengan menggunakan rumus rekursi Γ(α + 1) = α Γ(α), dan Γ(1/2) = π , hitunglah :
Γ(4) Γ(7 / 2)
(a). Γ(3/2) Γ(5/2) (b). (c). (d). Γ(5/3) Γ(7/3)
Γ(5 / 2) Γ(5)
Penyelesaian
(a). Menghitung Γ(3/2) Γ(3/4). Mengingat,
(i). Γ(3/2) = Γ(½ + 1) = ½ Γ(½) = (½ ) π
(ii). Γ(5/2) = Γ(3/2 + 1) = (3/2) Γ(3/2) = ¾ π
Dengan demikian,
3
Γ(3/2) Γ(5/2) = (½ π )( ¾ π ) = π
8
Γ(4)
(b). Menghitung . Mengingat,
Γ(5 / 2)
(i). Γ(4) = Γ(3 + 1) = 3 ! = 6,
(ii). Γ(5/2) = ¾ π ,
Maka
Γ(4) 6 8
= =
Γ(5 / 2) (3/4) π π
Γ ( 7 / 2)
(c). Menghitung . Mengingat,
Γ(5)
(i). Γ(5) = Γ(4 + 1) = 4 ! = 24
15
(ii). Γ(7/2) = Γ(5/2 + 1) = (5/2) Γ(5/2) = (5/2)(¾ π ) = π
8
Dengan demikian,
Γ ( 7 / 2) (15 / 8) π 5
= = π
Γ(5) 24 64
(d). Menghitung Γ(5/3) Γ(7/3). Mengingat,
(i). Γ(5/3) = Γ[(2/3) + 1] = (2/3) Γ(2/3)
(ii). Γ(7/3) = Γ[(4/3) + 1] = (4/3) Γ(4/3) = (4/3) Γ[(1/3) + 1] = (4/3)(1/3) Γ(1/3)
Dengan demikian,
2 4 8
Γ(5/3) Γ(7/3) = Γ(2 / 3) Γ(1 / 3) = Γ(2/3) Γ(1/3)
3 9 27
Karena,
π π 2
Γ(2/3) Γ(1/3) = Γ(2/3) Γ[1 – (1/3)] = = = π
sin(1 / 3)π (1 / 2) 3 3
Jadi,
8 2 16 3
Γ(5/3) Γ(7/3) = π = π
27 3 81

Contoh 6.1.8.

Hitunglah, ∫0 x 3 / 2 e − 4 x dx
Penyelesaian
Dari contoh sebelumnya telah diperoleh bahwa,
∞ n − ax 1
∫ 0 x e dx = a n +1 Γ(n + 1)
Sehingga untuk n = 3/2, dan a = 4, maka dihasilkan :
∞ 3 / 2 −4x 1 1
∫ 0 x e dx = (4)(3 / 2 +1) Γ(3 / 2 + 1) = 45 / 2 Γ(5/2)
Dari contoh sebelumnya bahwa, Γ(5/2) = ¾ π , dan 45 / 2 = (2 2 ) 5 / 2 = 2 = 32, dengan
5

demikian :
∞ 3 / 2 −4x 1 1 3
∫ 0 x e dx = 45 / 2 Γ(5/2) = 32 ¾ π = 128 π ,
Contoh 6.1.9
∞ 2 ∞ 2
Hitunglah ∫0 x 4 e − 2 x dx , dan ∫0 x 6 e − (1 / 2) x dx
Penyelesaian
Dari contoh sebelumnya telah dihasilkan bahwa,
∞ n − ax 2 1 1 ⎛ n +1⎞
∫ 0 x e dx = 2 a (n +1) / 2 Γ ⎜⎝ 2 ⎟⎠
Sehingga dengan menggunakan rumus diatas, untuk n = 4, a = 2 dan Γ(½) = π , maka
dihasilkan
∞ 4 −2x 2 1 1 1 1
∫ 0 x e dx = 2 (2)(4 +1) / 2 Γ(4 + 1)/2 = 2 25 / 2 Γ(5/2)
1⎛3⎞ 1 3 3
= ⎜ ⎟ π = π = 2π
8 2 ⎝2⎠ 2 32 2 64
Sedangkan untuk, n = 6, a = ½, dan Γ(½) = π , maka dihasilkan
∞ 6 − (1 / 2) x 2 1 1 1
∫0 x e dx =
2 (1/2) ( 6 +1) / 2
Γ(6 + 1)/2 = 2 7 / 2 Γ(7/2)
2
⎛5⎞ ⎛3⎞ 1
= 4 2 ⎜ ⎟ Γ(5/2) = 10 2 ⎜ ⎟ π
⎝2⎠ ⎝2⎠ 2
15
= 2π
2

6.1.3. Kasus Ketiga α < 0

Pada dasarnya bahwa fungsi gamma itu didefinisikan bilamana α > 0, namun
demikian dengan pendekatan dari hubungan rumus rekursi,
Γ(α + 1) = α Γ(α)
dapat pula dikembangkan sedemikian rupa sehingga berlaku pula untuk α < 0. Dari
hubungan, Γ(α + 1) = αΓ(α) diperoleh rumus bahwa,
Γ(α + 1)
Γ(α) =
α
Sedangkan dari persamaan, Γ(α + 2) = (α + 1) Γ(α + 1) = (α + 1)α Γ(α) diperoleh rumus,
Γ(α + 2)
Γ(α) =
α (α + 1)
Demikian pula dari persamaan, Γ(α + 3) = (α + 2)(α + 1) α Γ(α), diperoleh rumus,
Γ(α + 3)
Γ(α) =
α (α + 1)(α + 2)
Dengan memperhatikan hasil diatas, maka diperoleh rumus umum,
Γ(α + 1) Γ(α + 2) Γ(α + 3) Γ(α + k + 1)
Γ(α) = = = =…=
α α (α + 1) α (α + 1)(α + 2) α (α + 1)(α + 2)...(α + k )
dimana α ≠ 0, dan α ≠ –1, –2, –3, … bilangan bulat negatif. Jadi akhirnya diperoleh rumus,
Γ(α + k + 1)
Γ(α) =
α (α + 1)(α + 2)...(α + k )
dimana k adalah bilangan bulat terkecil sedemikian rupa sehingga, (α + k + 1) > 0. Untuk
lebih jelasnya perhatikanlah contoh berikut ini.

Contoh 6.1.10
Dengan menggunakan rumus rekursi,
Γ(α + 1) Γ(α + k + 1)
Γ(α) = = ,
α α (α + 1)(α + 2)...(α + k )
hitunglah :
(a). Γ(–5/2) (b). Γ(–5/4)Γ(–7/4)
Penyelesaian
(a). Menghitung Γ(–5/2). Dengan menggunakan rumus rekursi diatas diperoleh,
Γ(−5 / 2 + 1) 2
Untuk α = –5/2, Γ(–5/2) = = − Γ(−3 / 2)
(−5 / 2) 5
Γ(−3 / 2 + 1) 2
Untuk α = –3/2, Γ(–3/2) = = − Γ(−1 / 2)
(−3 / 2) 3
Γ(−1 / 2 + 1)
Untuk α = –1/2, Γ(–1/2) = = − 2Γ(1 / 2) = –2 π
(−1 / 2)
Jadi,
2 ⎛ 2 ⎞⎛ 2 ⎞ 8
Γ(–5/2) = − Γ(−3 / 2) = ⎜ − ⎟⎜ − ⎟(−2 π ) = − π
5 ⎝ 5 ⎠⎝ 3 ⎠ 15
Pendekatan lain, dari pertidaksamaan, (α + k + 1) > 0, atau, α + k > –1, dan untuk α = –5/2,
maka dihasilkan pertidaksamaan, –5/2 + k > – 1 atau k > 3/2. Nilai k terkecil yang memenuhi
k > 3/2 adalah k = 2. Dengan demikian,
Γ[(−5 / 2) + 2 + 1)] Γ(1 / 2)
Γ(–5/2) = =
(−5 / 2)[(−5 / 2) + 1](−5 / 2) + 2] (−5 / 2)(−3 / 2)(−1 / 2)
8
= − π
15
(b). Menghitung Γ(–7/4)Γ(–9/4).
Untuk α = –(7/4), maka dihasilkan pertidaksamaan, –(7/4) + k > – 1 atau k > 3/4.
Nilai k terkecil yang memenuhi k > 3/4 adalah k = 1. Dengan demikian,
Γ[(−7 / 4) + 1 + 1] Γ(1 / 4) 16
Γ(–7/4) = = = Γ(1 / 4)
(−7 / 4)[(−7 / 4) + 1] (−7 / 4)(−3 / 4) 21
Sedangkan untuk α = –9/4, maka dihasilkan pertidaksamaan, –9/4 + k > – 1 atau k >
5/4, Nilai k terkecil yang memenuhi 5/4 < k adalah k = 2. Dengan demikian,
Γ[(−9 / 4) + 2 + 1] Γ(3 / 4) 64
Γ(–9/4) = = = − Γ(3 / 4)
(−9 / 4)(−9 / 4 + 1)(−9 / 4 + 2) (−9 / 4)(−5 / 4)(−1 / 4) 45
Dengan menggunakan hasil diatas, maka :
16 64 45
Γ(–7/4)Γ(–9/4) = – Γ(1 / 4) Γ(3 / 4) = – Γ(1/4)Γ(3/4)
21 45 945
Karena,
π π 2
Γ(1/4) Γ(3/4) = Γ(1/4) Γ[1 – (1/4)] = = = π
sin(1 / 4)π (1 / 2) 2 2
Jadi,
45 2 45 2
Γ(–7/4)Γ(–9/4) = – π =− π
945 2 945

6.1.4. Rumus Stirling


Dalam penghitungan fungsi gamma akan dijumpai kesulitan yang cukup berarti
bilamana α cukup besar. Oleh karenanya, berikut ini akan disajikan cara yang cukup
sederhana untuk menentukan hampiran dari nilai fungsi gamma. Tulislah definisi fungsi
gamma menjadi,
∞ ∞ α ln x − x
Γ(α +1) = ∫0 xα e − x dx = ∫0 e e dx

= ∫0 e (α ln x − x ) dx
Dari integran, misalkan, f(x) = α ln x – x. Nilai ini mencapai maksimum bilamana f′(x) = 0,
α
atau − 1 = 0, atau x = α. Dengan kata lain, f(x) = α ln x – x, akan mencapai nilai maksimum
x
pada x = α. Oleh karena itu, subsitusikanlah, x = α + y, dx = dy, maka definisi fungsi gamma
dapat ditulis menjadi,
∞ ∞
Γ(α +1) = ∫0 e (α ln x − x ) dx = ∫0 e (α ln(α + y ) − (α + y ) dy
∞ α ln(α + y ) − y −α
= ∫0 e e dy
∞ α ln(α + y ) − y
= e −α ∫0 e dy
Mengingat,
α ln(α + y) = α ln[α(1 + (y/α)] = α ln α + α ln(1 + y/α),
dan akibatnya dihasilkan,
eα ln(α + y ) = eα ln α +α ln(1+ y / α ) = eα ln α eα ln(1+ y / α )
= α α eα ln(1+ y / α )
Oleh karena itu fungsi gamma dapat ditulis menjadi,
∞ α ln(α + y ) − y ∞ α α ln(1+ y / α ) − y
Γ(α +1) = e −α ∫0 e dy = e −α ∫0 α e dy
α
⎛α ⎞
∞ α ln(1+ y / α ) − y

= e −α α α∫ e = ⎜ ⎟ ∫ eα ln(1+ y / α ) − y dy
dy
0 ⎝e⎠ 0
Integral tak wajar terakhir ini pada ruas kanan diatas, dalam kepentingan praktis, khusus
untuk α cukup besar dihampiri dengan 2πα . Jadi,
∞ α ln(1+ y / α ) − y
∫0 e dy ≈ 2πα
Dengan demikian untuk α cukup besar, nilai fungsi Γ(α +1) dihampiri dengan,
α
⎛α ⎞
Γ(α +1) ≈ ⎜ ⎟ 2πα
⎝e⎠
Rumus ini dikenal dengan stirling.

Contoh 6.1.11
2
Hitunglah, Γ(51) Γ(πe + 1)
Penyelesaian
Dengan menggunakan rumus stirling untuk α + 1 = 51, atau α = 50, dihasilkan :
50 50
⎛ 50 ⎞ ⎛ 50 ⎞
Γ(51) ≈ ⎜ ⎟ 2π (50) = 10 ⎜ ⎟ π
⎝ e ⎠ ⎝ e ⎠
2 2
Sedangkan untuk, α + 1 = πe , atau α = πe , maka dengan rumus stirling diperoleh :
π e2
⎛ π e2 ⎞
2π (πe 2 ) = π e (π e)π e
2
Γ(πe + 1) ≈ ⎜ ⎟
2
2
⎜ e ⎟
⎝ ⎠

Dari contoh diatas, terlihat bahwa untuk α yang cukup besar dan tidak harus bialangan bulat
positip, rumus stirling cukup mudah dan membantu untuk menghitung nilai fungsi gamma.

6.1.5. Fungsi Gamma Tak Lengkap

Menurut definisi fungsi gamma diberikan oleh,



Γ(α) = ∫0 xα −1e − x dx
Dengan asumsi bahwa t terletak pada, 0 < t < ∞, maka fungsi gamma dapat ditulis menjadi,
α −1 − x ∞
xα −1e − x dx
t
Γ(α) = ∫0 x e dx + ∫t
Dari definisi terakhir ini, terlihat bahwa fungsi gamma dapat dinyatakan sebagai jumlahan
dua buah integral tentu. Fungsi yang diturunkan fungsi gamma diatas disebut dengan fungsi
gamma tak lengkap. Fungsi gamma demikian ini diberikan oleh,
t α −1 − x
P(α,t) = ∫0 x e dx

Q(α,t) = ∫t xα −1e − x dx
dan berlaku pula,
Γ(α) = P(α,t) + Q(α,t),
atau
Q(α,t), = Γ(α) – P(α,t)
Salah satu manfaat dari fungsi gamma tak lengap ini adalah untuk memudahkan menghitung
integral tak wajar yang diberikan oleh,

Q(α,t) = ∫t xα −1e − x dx
Dengan memanfaatkan kemudahaan dari fungsi gamma, dan integral tentu P(α,t) yang
relative lebih sederhana dari pada Q(α,t), maka fungsi gamma tak lengkap ini akan lebih
mudah untuk menghitung nilai dari Q(α,t). Integral tak wajar P(α,t) dan Q(α,t) ini sering
muncul dalam masalah analisis fungsi kepadatan probabilitas.
Salah satu fungsi yang sering muncul dari penerapan fungsi gamma tak lengkap
adalah fungsi galat (error fuction) yang dituliskan dengan erf(x) yang didefinisikan dengan,
2 x −t 2 2 ∞ −t 2
erf(x) = ∫ e
π
dt = 1
0
– ∫ e dt π x
Suku terakhir ini disebut dengan fungsi galat komplementernya yang ditulis dengan, erfc(x)
yang didefinisikan oleh,
2 ∞ −t 2
erfc(x) = ∫ e dtπ x
Atas dasar hal diatas berlaku hubungan bahwa, erf(x) + erfc(x) = 1. Dalam prakteknua untuk
2
menghitung fungsi galat digunkana pendekatan ekspansi deret dari e − x . Karena menurut
ekspnasi deret Taylor,
2 x4 x6 x8
e− x
2
=1 – x + – + –+…
2! 3! 4!
Maka dihasilkan,
2 x −t 2
erf(x) = ∫ e dt
π 0

2 ⎡x 2 t
4
t 6 t8 ⎤
π ∫ 0 ⎣⎢
= ⎢1 − t + − + − +...⎥ dt
2 ! 3! 4 ! ⎦⎥
2 ⎛⎜ 1 1 x5 1 x7 1 x9 ⎞
= x − x3 + − + − +...⎟
π ⎜⎝ 3 2 ! 5 3! 7 4 ! 9 ⎟

Dengan menggunakan pendekatan ekspansi deret tersebut dihasilkan nilai dari erf(x) seperti
yang disajikan pada tabel pada lampiran.

6.1.6. Fungsi-fungsi Khusus

Salah satu penggunaan dari fungsi gamma adalah penggunaannya dalam analisis
fungsi kepadatan probabilitas dimana fungsinya melibatkan fungsi ekponensial negatif.
Fungsi-fungsi khusus berikut ini pada dasarnya telah disinggung pada saat mambahas integral
tak wajar. Fungsi-fungsi khusus dimaksud dalam analisisnya sering melibatkan fungsi
gamma adalah :
i). Fungsi eksponensial negatif, yaitu : f(x) = λ e −λx , λ ≥ 0, x ≥ 0
λn x n −1
ii). Fungsi distribusi gamma, f(x) = e − λx , λ ≥ 0, x ≥ 0
Γ ( n)
1 ⎡ (x − μ)2 ⎤
iii). Fungsi distribusi Normal, f(x) = exp ⎢− ⎥ , dimana –∞ ≤ x ≤ + ∞
σ 2π ⎢⎣ 2σ 2 ⎥⎦
b
bx b −1e − ( x / α )
iv). Fungsi distribusi Weibull, f(x) = , x ≥ 0, α > 0 b > 0
αb
⎛ 2 ⎞ −( x / α )2
v). Fungsi distribusi Rayleigh, f(x) = ⎜⎜ ⎟⎟ xe , x ≥ 0, α > 0
⎝α 2 ⎠
1 − x2 / 2
vi). Fungsi distribusi normal standart, f(x) = e , –∞ ≤ x ≤ ∞

Berikut ini disajikan beberapa analisis fungsi khusus tersebut, terutama untuk menghitung
nilai k, mean dan varian.

Contoh 6.1.12.
Fungsi kepadatan eksponensial negatif diberikan oleh,

f(x) = λ e −λx , λ ≥ 0, x ≥ 0

dimana λ disebut parameter distribusi. Buktikanlah, ∫0 λ e − λx dx = 1, dan hitung pula mean
dan variannya.
Penyelesaian

Untuk membuktikan bahwa, ∫0 λ e − λx dx = 1, substitusikanlah

1
(i). u = λx, atau x = u,
λ
1
(ii). dx = du.
λ
Dengan substitusi tersebut diatas, dihasilkan :
∞ ∞ ∞
λ e − λx dx = λ
1
∫0 ∫0 e−u du = ∫0 e − u du = Γ(1) = 1
λ

Jado terbuktilah bahwa, ∫0 λ e − λx dx = 1. Sedangan mean dan variannya diberikan oleh,

∞ ∞
μ = E(x) = ∫0 x f ( x) dx = λ ∫ x e − λx dx
0

∞ ⎛ u ⎞ −u 1 1
=λ ∫0 ⎜ ⎟e
⎝λ ⎠ λ
du , dengan u = λx, atau x = u
λ
1 ∞ 1 1
= ∫0 u e − u du = Γ(2) =
λ λ λ
Sedangan varian dihitung dengan rumus,
2 2 2
σ = E(x ) – [E(x)]
dimana,
∞ ∞
∫0 x 2 f ( x) dx = λ ∫ x 2 e − λx dx
2
E(x ) =
0
2
∞⎛ u ⎞ −u 1 1
=λ ∫ 0 ⎜⎝ λ ⎟⎠ e λ du , dengan u = λx, atau x = λ u,
1 ∞ 1 2
= ∫0 u 2 e − u du = Γ(3) =
λ 2
λ 2
λ2
Dengan demikian,
2
2 2 ⎛1⎞ 1 2 2
σ = E(x ) – [E(x)] = –⎜ ⎟ =
λ 2 ⎝λ ⎠ λ2

Contoh 6.1.13.
Fungsi kepadatan probabilitas normal diberikan oleh,

1 ⎡ (x − μ)2 ⎤
f(x) = exp ⎢− ⎥ , dimana –∞ ≤ x ≤ + ∞
σ 2π ⎢⎣ 2σ 2 ⎥⎦

Buktikanlah, ∫ −∞ f ( x) dx = 1, dan hitung pula mean dan variannya.
Penyelesaian :
Untuk fungsi distribusi normal standar yang harus dibuktikan adalah,
∞ 1 ⎡ (x − μ)2 ⎤
∫ − ∞ σ 2π exp ⎢− ⎥ dx = 1
2σ 2 ⎦⎥
⎣⎢
Oleh karena itu substitusikanlah,
(i). t = x – μ, atau x = t + μ
(ii). dx = dt
Dengan substitusi diatas dihasilkan,
∞ 1 ⎡ (x − μ)2 ⎤ 1 ∞ − t 2 / 2σ 2
∫ − ∞ σ 2π exp ⎢−
2σ 2
⎥ dx = ∫
σ 2π − ∞
e dt
⎣⎢ ⎦⎥
Karena, e − t / 2σ adalah fungsi genap, maka integral suku terakhir dapat ditulis menjadi,
2 2

∞ ∞
e − t / 2σ dt = 2 ∫ e − t / 2σ dt
2 2 2 2
∫ −∞ 0
Selanjutnya substitusikan kembali,
t2 2 2
(iii). u = , atau t = 2σ u
2σ 2

σ 2 1
2σ u
2 –1/2
(iv). 2t dt = 2σ du , atau dt = du = du
2 u 2
Dengan substitusi diatas, maka dihasilkan :
∞ − t 2 / 2σ 2 1 ∞
∫0 e dt = 2σ ∫ u −1 / 2 e − u du
2 0
1 1 σ
= 2σ Γ(½) = 2σ π = 2π
2 2 2
Berdasarkan hasil diatas, maka dapat disimpulkan bahwa :

∞ 1 ⎡ (x − μ)2 ⎤ 1 σ
∫ − ∞ σ 2π exp ⎢−
⎢⎣ 2σ 2
⎥ dx =
σ 2π
2( 2π ) = 1
⎦⎥ 2
Mean untuk fungsi distribusi normal diberikan oleh,

∞ ∞ x ⎡ (x − μ)2 ⎤
E(x) = ∫ −∞ x f ( x) dx = ∫ − ∞ σ 2π exp ⎢−
⎢⎣ 2σ 2 ⎦⎥
⎥ dx


(t + μ )e − t / 2σ dt, dengan t = x – μ, atau x = t + μ
1 2 2
= ∫
σ 2π − ∞
1 ∞ − t 2 / 2σ 2 μ ∞ − t 2 / 2σ 2
σ 2π ∫ − ∞ σ 2π ∫ − ∞
= te dt + e dt

Karena, t e − t / 2σ adalah fungsi ganjil, maka :


2 2

∞ − t 2 / 2σ 2
∫ − ∞ te dt = 0,
dan dari hasil sebelumnya telah diperoleh bahwa,
∞ − t 2 / 2σ 2
∫ −∞ e dt = σ 2π

Dengan menggunakan hasil terakhir ini, maka dapat disiumpulkan bahwa


μ
E(x) = 0 + ( σ 2π ) = μ
σ 2π
Sedangkan variannya diperoleh dari,
2 2
var(x) = E(x ) – [E(x)]
dengan,
∞ ∞ x2 ⎡ (x − μ)2 ⎤
∫ −∞ ∫ − ∞ σ 2π
2
E(x ) = x 2 f ( x) dx = exp ⎢− ⎥ dx
⎢⎣ 2σ 2 ⎦⎥

1 ∞ 2 − t 2 / 2σ 2
=
σ 2π ∫ − ∞ (t + μ ) e dt; dengan t = x – μ, atau x = t + μ


+ 2tμ + μ 2 )e − t / 2σ dt
1 2 2
∫ − ∞ (t
2
=
σ 2π
1 ∞ 2 − t 2 / 2σ 2 2μ ∞ − t 2 / 2σ 2
=
σ 2π ∫ −∞ t e dt +
σ 2π ∫ − ∞ te dt

μ2 ∞ 2 2
+ ∫ −∞ e − t / 2σ dt
σ 2π
2 2
Karena, t e − t / 2σ adalah fungsi genap, maka integral tak wajar suku pertama dapat ditulis
2

menjadi,
∞ 2 − t 2 / 2σ 2 ∞ 2 − t 2 / 2σ 2
∫ −∞ t e dt = 2 ∫
0
t e dt
∞ t2
= σ 32 2 ∫0 u1 / 2 e − u du , dengan u =
2 2
, atau t = 2σ u
2σ 2
1
= σ 2 2 Γ(3/2) = σ 2 2
3
π = σ 2π
3 3
2
Dengan menggunakan hasil diatas, maka dihasilkan :
1 2μ μ2
2
E(x ) = ( σ 3 2π )+ (0) + ( σ 2π )
σ 2π σ 2π σ 2π
2 2
=σ +μ
Jadi,
2 2 2 2 2 2
var(x) = E(x ) – [E(x)] = (σ + μ ) – (μ) = σ

Contoh 6.1.14
Hitunglah mean dan varian dari fungsi kepadatan distribusi Weibull,
b
bx b −1e − ( x / α )
f(x) = , x ≥ 0, α > 0 b > 0
αb
Penyelesaian
Mean untuk fungsi distribusi Weibull diberikan oleh,
∞ ∞ b
x b e − ( x / α ) dx
b
E(x) = ∫0 x f ( x) dx =
αb
∫0
Untuk menghitung integral tak wajar ruas kanan diatas , substitusikanlah :
x
(i). t = , atau x = α t
α
(ii). dx = α dt
Maka integral diatas dapat ditulis menjadi,
∞ b ∞ b ∞ b
∫0 x b e − ( x / α ) dx = ∫0 (α t ) b e − (t ) α dt = α b +1 ∫ t b e − t dt
0
Sekali lagi substitusikanlah,
b 1/b
(iii). u = t , atau, t = u
1
(iv). dt = u (1 / b) −1 du
b
Dengan subsititusi diatas, maka
∞ b −t b ∞ 1 (1 / b) −1 1 ∞
∫ t e dt = ∫0 u e −u
u du = ∫ u1 / b e − u du
0 b b 0
1 ⎛1 ⎞
= Γ ⎜ + 1⎟
b ⎝b ⎠
Dengan demikian,
∞ ∞
x b e − ( x / α ) dx =
b b b b
E(x) = ∫0 ( α b +1 ∫ t b e − t dt)
αb αb 0
1 ⎛1 ⎞ ⎛1 ⎞ α ⎛1⎞
= αb( Γ ⎜ + 1⎟ ) =α Γ ⎜ + 1⎟ = Γ⎜ ⎟
b ⎝b ⎠ ⎝b ⎠ b ⎝b⎠

Sedangkan variannya diperoleh dari,


2 2
var(x) = E(x ) – [E(x)]
dengan,
∞ ∞
x b +1 e − ( x / α ) dx ,
b b
∫ −∞ x ∫0
2 2
E(x ) = f ( x) dx =
α b
b (b + 2) ∞ b +1 − t b x
=
α b
α ∫ 0
t e dt, dengan t =
α
, atau x = αt

∞ 1 (1 / b) −1
= αb ∫ u (1+1 / b) e − u
b 1/b
u du, dengan u = t , atau t = u
0 b
⎛ 2 ⎞ 2α
2
2 / b −u ∞ ⎛2⎞
∫0
2 2
=αu e du = α Γ ⎜ + 1⎟ = Γ⎜ ⎟
⎝b ⎠ b ⎝b⎠
Dengan hasil diatas, maka
2 2
2α 2 ⎛ 2 ⎞
2 ⎛ α ⎞ ⎡ ⎛ 1 ⎞⎤
2
var(x) = E(x ) – [E(x)] = Γ ⎜ ⎟ – ⎜ ⎟ ⎢ Γ⎜ ⎟ ⎥
b ⎝b⎠ ⎝ b ⎠ ⎣ ⎝ b ⎠⎦

2 ⎧
⎛ 2 ⎞ ⎡ ⎛ 1 ⎞⎤ ⎫⎪
2
⎛α ⎞ ⎪
= ⎜ ⎟ ⎨2bΓ⎜ ⎟ − ⎢Γ⎜ ⎟⎥ ⎬
⎝b⎠ ⎪ ⎝ b ⎠ ⎣ ⎝ b ⎠⎦ ⎪⎭

Soal-soal Latihan 6.1.


Dengan menggunakan rumus rekursi fungsi gamma, hitunglah :
Γ(8) Γ(4)Γ(5 / 2)
1. 2.
Γ(5)Γ(3) Γ(7 / 2)
Γ(4) Γ(8 / 3)Γ(7 / 3)
3. 4.
Γ(5 / 4)Γ(7 / 4) Γ(5)
Γ(7 / 6)Γ(11 / 6) Γ(4)
5. 6.
Γ (7) Γ(−5 / 2)Γ(7 / 2)
Γ(5 / 2) Γ(−5 / 4)Γ(−7 / 4)
7. 8.
Γ(5 / 3)Γ(7 / 3) Γ(7 / 2)
Γ(5 / 4)Γ(7 / 4) Γ(−7 / 6)Γ(−11 / 6)
9. 10.
Γ(−5 / 3)Γ(−7 / 3) Γ(5 / 4)Γ(7 / 4)

Dengan menggunakan definisi fungsi gamma, hitunglah integral tak wajar berikut ini
∞ ∞ 2
11. ∫0 x 4 e − 2 x dx 12. ∫0 x 4 e − 2 x dx
∞ 2 ∞ 3/ 2
13. ∫0 x 3 / 2 e − 2 x dx 14. ∫0 x2 e−2x dx
∞ ∞ 4
x1 / 4 e − 2 x dx x 4 e − ( x / 2) dx
4
15. ∫0 16. ∫0
∞ ∞ 3
17. ∫0 x 2 e − 2 x dx 18. ∫0 x1 / 2 e − 2 x dx
∞ ∞ 3
19. ∫0 x 3 / 4 e − 2 x dx 20. ∫0 x 2 e − x dx
∞ 5 ∞ 4/3
21. ∫0 x − 3 e − ( x / 2) dx 22. ∫0 x2 e− x dx
1 1
∫0 x ∫0 x
4
23. (ln x) 3 / 2 dx 24. 2
(ln x) 4 dx
1 3/ 4 1 3
25. ∫0 x (ln x) 2 dx 26. ∫0 x (ln x) 3 / 4 dx

27. Fungsi kepadatan distribusi gamma, diberikan oleh :


λn x n −1
f(x) = e − λx , λ ≥ 0, x ≥ 0.
Γ ( n)

Buktikanlah bahwa, ∫0 f ( x) dx = 1, dan hitung pula mean dan variannya.
28. Fungsi kepadatan distribusi Weibull diberikan oleh :
bx b −1e − ( x / α )
b
f(x) = , x ≥ 0, α > 0 b > 0
αb

Buktikanlah bahwa, ∫0 f ( x) dx = 1,
30. Fungsi kepadatan distribusi Rayleigh diberikan oleh,
⎛ 2 ⎞ −( x / α )2
f(x) = ⎜⎜ ⎟⎟ xe ,dengan x ≥ 0, α > 0
⎝α 2 ⎠

Buktikanlah bahwa, ∫0 f ( x) dx = 1, dan hitung pula mean dan variannya.
31. Fungsi kepadaran distribusi normal standart diberikan oleh,
1 − x2 / 2
f(x) = e , –∞ ≤ x ≤ ∞


Buktikanlah, ∫ −∞ f ( x) dx = 1, dan hitung pula mean dan variannya.
32. Diberikan suatu fungsi kepadatan yang didefinisikan oleh,
f(x) = kx 4 e − ( x / α ) ,dengan x ≥ 0, α > 0
2


Hitunglah nilai k agar supaya ∫0 f ( x) dx = 1, dan hitung pula meannya.
33. Diberikan suatu fungsi kepadatan yang didefinisikan oleh,
3
f(x) = kx 3e − (αx ) , dengan x ≥ 0, α > 0

Hitunglah nilai k agar supaya ∫0 f ( x) dx = 1, dan hitung pula meannya.
34. Diberikan suatu fungsi kepadatan yang didefinisikan oleh,
f(x) = k x 2 e −α x ,dengan x ≥ 0, α > 0

Hitunglah nilai k agar supaya ∫0 f ( x) dx = 1, dan hitung pula meannya.
35. Diberikan suatu fungsi kepadatan yang didefinisikan oleh,
3/ 2
f(x) = k x 2 e − ( x / α ) ,dengan x ≥ 0, α > 0

Hitunglah nilai k agar supaya ∫0 f ( x) dx = 1, dan hitung pula meannya.
36. Diberikan suatu fungsi kepadatan yang didefinisikan oleh,
f(x) = k x e − ( x / α ) ,dengan x ≥ 0, α > 0
2


Hitunglah nilai k agar supaya ∫0 f ( x) dx = 1, dan hitung pula meannya.
7.2. Fungsi Betha
Dalam banyak masalah perhitungan integral tentu pada perhitungannya banyak
melibatkan fungsi gamma dan fungsi beta. Sebelum mendefinisikan fungsi Betha
perhatikanlah integral tentu berikut ini,

x m−1 (1 − x) n −1 dx
1
∫0
Bilamana, m ≥ 1, dan n ≥ 1, terlihat bahwa integral tentu diatas merupakan proper integral,
sehingga integral konvergen. Bilamana 0 < m < 1, integral tentu merupakan integral tak wajar
jenis kedua di x = 0, dan bilamana 0 < n < 1, integral merupakan integral tak wajar jenis
kedua di x = 1. Oleh karena itu perlu penyelidikan tersendiri khususnya di x = 0, dan x = 1.
Oleh karenanya tulislah,

m −1
(1 − x) n−1 dx = x m−1 (1 − x) n−1 dx + x m−1 (1 − x) n −1 dx
1 1/2 1
∫0 x ∫0 ∫1/2
Suku pertama ruas kanan merupakan integral tak wajar jenis kedua di x = 0 yang konvergen,
dan suku kedua juga merupakan integral tak wajar jenis kedua yang konvergen di x = 1. Pada
kondisi m ≤ 0, dan atau n ≤ 0, suku pertama merupakan integral tak wajar jenis kedua yang
divergen di x = 0, dan suku kedua juga merupakan integral tak wajar yang divergen di x = 1.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa integral yang diberikan konvergen untuk m > 0, dan
n > 0. Dengan dapat didefinisikan suatu fungsi dengan dua variabel bebas yang diberikan
oleh,
m−1
(1 − x) n−1 dx
1
B(m,n) = ∫0 x
konvergen untuk m > 0, n > 0. Dengan menggunakan subtistusi :
(i). u = 1 – x, atau x = 1 – u,
(ii). dx = –du,
(iii). u = 1, bila x = 0, dan u = 0 bila x = 1
maka dihasilkan,
m −1
(1 − x) n −1 dx = (1 − u ) m −1 (u ) n −1 (−du )
1 0
B(m,n) = ∫0 x ∫1
n −1
(1 − u ) m −1 du = B(n,m)
1
= ∫0 u
Dari hasil diatas akhirnya dapat diperoleh rumus bahwa,
B(m,n) = B(n,m)
Bentuk lain untuk menyatakan fungsi betha adalah menggunakan fungsi sinus dan
cosinus. Dari definisi fungsi beta, bilamana dimisalkan :
2 2 2 2
(i). x = sin t, dan 1 – x = 1 – sin t = cos t
(ii). dx = 2 sin t cos t dt
(iii). t = 0, bila x = 0, dan t = ½π bila t = 1
Akibatnya integral fungsi betha dapat ditulis menjadi,
π/2
B(m,n) = ∫0 (sin 2 t ) m −1 (cos 2 t ) 2n −1 (2 sin t cos t dt )
π/2
∫0 (sin 2m − 2 t sin t ) (cos
2n –2
=2 t cos t)dt
π/2
∫0 sin 2m −1 t cos
2n –1
=2 t dt
Jadi, akhirnya dihasilakan rumus :
π/2
∫0 sin 2m −1 t cos
2n –1
t dt = ½ B(m,n)

Dalam prakteknya untuk menghitung nilai fungsi betha, digunakan hasil dari fungsi gamma.
Menurut definisi,
∞ m −1 − u ∞
Γ(m) = ∫0 u e du, dan Γ(n) = ∫0 v n −1 e − v dv
2
Bilamana disubsitusikan, u = x , du = 2x dx, maka fungsi diatas dapat ditulis menjadi,
∞ 2 ∞ 2 m −1 − x 2
Γ(m) = ∫0 (u 2 ) m −1 e − x (2 xdx) = 2 ∫ x e dx
0
2
Dengan cara yang sama, bilamana disubsitusikan, v = y , dv = 2y dy, maka dihasilkan,
∞ 2 ∞ 2 m −1 − y 2
Γ(n) = ∫0 ( y 2 ) n −1 e − y (2 ydy ) = 2 ∫ y e dy
0
Akibatnya,
∞ 2 m −1 − x 2 ∞ 2 m −1 − y 2
Γ(m) Γ(m) = ( 2 ∫ x e dx )( 2 y ∫
e dy )
0 0
∞ ∞ 2 m −1 2 m −1 − ( x 2 + y 2 )
= 4∫ ∫x y e dx dy
0 0

Selanjutnya dengan menggunakan transformasi koordinat kutub :


2 2 2 y
(i). x = r sin t, y = r cos t, x + y = r , tan t = ,
x
(ii). dx dy = r dr dt
(iii). Perubahan batas, 0 < x < ∞, 0 < y < ∞, menjadi 0 < r < ∞, 0 < r < π/2
Dengan substitusi tersebut dihasilkan :
∞ ∞ 2 2
Γ(m) Γ(n) = 4 ∫ ∫0 x 2m −1 y 2m −1 e − ( x + y ) dx dy
0
π /2 ∞ 2
= 4∫ ∫0 (r cos t ) 2m −1 (r sin t ) 2m −1 e − r (r dr dt)
0
π /2 ∞ 2
= 4∫ ∫0 r 2[(m + n) −1] e − r sin 2n −1 t cos 2m −1 t r dr dt
0
⎛ ∞ ⎞ π /2
= ⎜ ∫ (r 2 ) ( m + n) −1 e − ( r ) (2r dr ) ⎟ ⎛⎜ 2 ∫ sin 2n −1t cos 2m −1 t dt ⎞⎟
2

⎝ 0 ⎠⎝ 0 ⎠
= Γ(m + n) B(m,n)

Jadi, akhirnya diperoleh rumus umum untuk menghitung nilai fungsi betha, yaitu :
Γ ( m) Γ ( n )
B(m,n) =
Γ( m + n)
untuk m > 0, dan n > 0. Sebagaimana diketahui bahwa fungsi gama dapat didefinisikan pula
untuk λ < 0. Dengan demikian, melalui pendekatan seperti fungsi gama, maka akhirnya dapat
pula didefinisikan fungsi betha yang berlaku pula untuk m < 0, dan n < 0 dengan ketentuan
bahwa, m, n, dan, m + n ≠ 0, –1, –2, –3, ... bilangan bulat negatif. Rumus hubungan antara
fungsi gamma dan fungsi beta diatas, banyak digunakan untuk menghitung nilai fungsi beta.
Berikut ini adalah contoh-contoh penggunaannya yang langsung diperoleh dari definisi.

Contoh 6.2.1.
Hitunglah
(a). B(3,5) (b). B(5/2,3) (c). B(3/2,5/2) (d). B(5/3,7/3)
Penyelesaian
(a). Menghitung B(3,4).
Γ(3) Γ(5) Γ(3) Γ(5) 2 Γ(5) 1
B(3,5) = = = =
Γ(3 + 5) Γ(8) (7)(6)Γ(5) 21
(b). Menghitung B(5/2,3).
Γ(5 / 2) Γ(3) 2 Γ(5 / 2) 2Γ(5 / 2) 16
B(5/2,3) = = = =
Γ[(5 / 2) + 3] Γ(11 / 2) (9 / 2)(7 / 2)(5 / 2)Γ(5 / 2) 315
(c). Menghitung B(3/2,5/2).
Γ(3 / 2) Γ(5 / 2) Γ(3 / 2) Γ(5 / 2)
B(3/2,5/2) = =
Γ[(3 / 2) + (5 / 2)] Γ(4)
1 ⎛1 ⎞ ⎛3 ⎞ 1 ⎛3 ⎞ π
= ⎜ π ⎟ ⎜ π ⎟= ⎜ π ⎟ =
Γ(4) ⎝ 2 ⎠ ⎝4 ⎠ 3!⎝ 8 ⎠ 16
(d). Menghitung B(5/3/,7/3).
Γ(5 / 3) Γ(7 / 3) Γ(5 / 3)Γ(7 / 3)
B(5/3,7/3) = =
Γ(5 / 3 + 7 / 3) Γ(4)
Mengingat,
Γ(5/3) = Γ[(2/3) + 1] = (2/3)Γ(2/3)
Γ(7/3) = Γ[(4/3) + 1] = (4/3)Γ(4/3) = (4/3)(1/3)Γ(1/3) = (4/9)Γ(1/3)
π π 2π
Γ(2/3)Γ(1/3) = Γ(2/3) Γ[1 – (2/3)] = = =
sin( 2 / 3)π (1 / 2) 3 3
Maka,
Γ(5 / 3)Γ(7 / 3) 1 ⎡ 2 ⎛ 2 ⎞⎤ ⎡ 4 ⎛ 1 ⎞⎤
B(5/3,7/3) = = Γ⎜ ⎟ Γ⎜ ⎟
Γ(4) 3 ! ⎢⎣ 3 ⎝ 3 ⎠⎥⎦ ⎢⎣ 9 ⎝ 3 ⎠⎥⎦
1 8 8 2π 8π
= Γ(2/3)Γ(1/3) = =
6 27 (6)(27) 3 81 3

Contoh 6.2.1.
1 1 x5 / 4
Hitunglah (a). ∫ x 3 (1 − x) 4 dx (b). ∫ 0 4 1 − x dx
0
Penyelesaian :
1 3
(a). Menghitung ∫0 x (1 − x) 4 dx .
Integral tentu ini adalah fungsi betha dengan, m – 1 = 3, atau m = 4, dan n – 1 = 4, atau n = 5.
Jadi,
4 −1
(1 − x) 5 −1 dx = B(4,5)
1 3 1
∫0 x (1 − x) 4 dx = ∫0 x
Γ(4) Γ(5) 3! 4! 1
= = =
Γ(9) 8! 280
1 x5 / 4
(b). Menghitung ∫ 0 4 1− x
dx

Integral tentu ini adalah fungsi betha dengan, m – 1 = 5/4, atau m = 9/4, dan n – 1 = –1/4, atau
n = 3/4. Jadi,
1 x5 / 4
(1 − x) −1 / 4 dx
1 5/ 4
∫ 0 4 1− x
dx = ∫0 x
(9 / 4) −1
(1 − x) (3 / 4) −1 dx = B(9/4,3/4)
1
= ∫0 x
Γ(9 / 4) Γ(3 / 4) (5 / 4)(1 / 4)Γ(1 / 4)Γ(3 / 4)
= =
Γ(12 / 4) Γ(3)
1 5 5
= Γ(1/4)Γ(3/4) = Γ(1/4)Γ[1 – (1/4)]
2 16 32
5 π 5 π 5π
= = =
32 sin(1 / 4)π 32 (1 / 2) 2 16 2

Contoh 6.2.3.
Hitunglah :
π/2 π/2 π/2
(a). ∫0 sin 5t cos 6 t dt (b). ∫0 sin 6 t dt (c). ∫0 cos 7 t dt
Penyelesaian :
π/2
(a). Menghitung, ∫0 sin 5t cos 6 t dt
Dengan menggunakan fungsi betha, dalam hal ini 2m – 1 = 5, atau m = 3, dan 2n – 1 = 6, atau
n = 7/2. Sehingga diperoleh :
π/2 π/2 2(7 / 2) −1 1
∫ 0 sin t cos t dt = ∫ 0 sin t cos
5 6 2(3) -1
t dt = B(3,7/2)
2
1 Γ(3) Γ(7 / 2) 1 Γ(3) Γ(7 / 2)
= =
2 Γ(3 + 7/2) 2 Γ(13/2)
1 2 Γ(7 / 2) 8
= =
2 (11 / 2)(9 / 2)(7 / 2)Γ(7/2) 693

π/2
(b). Menghitung, ∫0 sin 6 t dt
Seperti contoh (a), dalam hal ini 2m – 1 = 6, atau m = 7/2, dan 2n– 1 = 0, atau n = ½.
Sehingga menurut fungsi betha diperoleh :
π/2 π/2
∫0 sin 6 t dt = ∫0 sin 2(7/2) -1t cos 2(1 / 2) −1 t dt
1
= B(7/2,½)
2
1 Γ(7 / 2) Γ(1 / 2) 1 1 ⎛ 15 ⎞
= = ⎜ π⎟ π
2 Γ(7 / 2 + 1 / 2) 2 3! ⎝ 8 ⎠

=
32
π/2
(c). Menghitung, ∫0 cos 7 t dt
Seperti contoh (a), dalam hal ini 2m – 1 = 0, atau m = ½, dan 2n – 1 = 7, atau n = 4. Sehingga
menurut fungsi betha diperoleh :
π/2 π/2 1
∫ 0 cos t dt = ∫ 0 sin
7 2(1/2) -1
t cos 2( 4) −1 t dt = B(½,4)
2
1 Γ(1 / 2) Γ(4) 1 Γ(1 / 2) (3 !)
= =
2 Γ(4 + 1 / 2) 2 Γ(9 / 2)
3 Γ(1 / 2) 16
= =
(7 / 2)(5 / 2)(3 / 2)(1 / 2)Γ(1 / 2) 35

Pada contoh sebelumnya telah dibahas penghitungan integral tentu dari fungsi sinus dan
cosinus berpangkat bulat. Salah satu aplikasi dan keistimewaan dari fungsi betha adalah dapat
digunakan untuk menghitung integral tentu dari fungsi sinus dan cosinus yang berpangkat
pecahan. Hal ini dinyatakan dalam contoh berikut ini.

Contoh 6.2.4
π/2
Hitunglah (a). ∫0 sin 5/2t cos3 / 2 t dt
π/2
(b). ∫0 sin 8 / 3 t cos 4 / 3 t dt
π/2
(c). ∫0 sin 7 / 3 t cos5 / 3 t dt

Penyelesaian
π/2
(a). Menghitung, ∫0 sin 5/2t cos3 / 2 t dt
Seperti pada contoh sebelumnya, dari fungsi integran ambil 2m – 1 = 5/2, atau m = 7/4, dan
2n – 1 = 3/2, atau n = 5/4. Sehingga menurut fungsi betha diperoleh :
π/2 π/2 2(7/4) −1 1
∫ 0 sin t cos t dt = ∫ 0 sin
5/2 3/ 2
t cos 2(5 / 4) −1 t dt = B(7/4,5/4)
2
1 Γ(7 / 4) Γ(5 / 4) 1 ⎛3 ⎞ ⎛1 ⎞
= = ⎜ Γ(3 / 4) ⎟ ⎜ Γ(1 / 4) ⎟
2 Γ[(7 / 4) + (5 / 4)] 2 Γ(3) ⎝ 4 ⎠ ⎝4 ⎠
1 3 3
= Γ(3 / 4)Γ(1 / 4) = Γ(1/4)Γ[1 – (1/4)]
4 16 64
3 π 3 π 3π 3
= = = = 2π
64 sin(1 / 4)π 64 (1 / 2) 2 32 2 64

π/2
(b). Menghitung, ∫0 sin 8 / 3 t cos 4 / 3 t dt
Seperti pada contoh sebelumnya, dari fungsi integran ambil 2m – 1 = 8/3, atau m = 11/6, dan
2n – 1 = 4/3, atau n = 7/6. Sehingga menurut fungsi betha diperoleh :
π/2 π/2 2(11/6) −1 1
∫ 0 sin t cos t dt = ∫ 0 sin
8/3 4/3
t cos 2(7 / 6) −1 t dt = B(11/6,7/6)
2
1 Γ(11 / 6) Γ(7 / 6) 1 ⎛5 ⎞ ⎛1 ⎞
= = ⎜ Γ(5 / 6) ⎟ ⎜ Γ(1 / 6) ⎟
2 Γ[(11 / 6) + (7 / 6)] 2 Γ(3) ⎝ 6 ⎠ ⎝6 ⎠
1 5 5
= Γ(1 / 6)Γ(5 / 6) = Γ(1/6)Γ[1 – (1/6)]
4 36 144
5 π 5 π 5
= = = π
144 sin(1 / 6)π 144 (1 / 2) 72

π/2
(c). Menghitung, ∫0 sin 7 / 3 t cos11 / 3 t dt
Seperti pada contoh sebelumnya, dari fungsi integran ambil 2m – 1 = 7/3, atau m = 10/6 =
5/3, dan 2n – 1 = 11/3, atau n = 14/6 = 7/3. Sehingga menurut fungsi betha diperoleh :
π/2 π/2 2(5/3) −1 1
∫ 0 sin t cos t dt = ∫ 0 sin
7/3 11 / 3
t cos 2(7 / 3) −1 t dt = B(5/3,7/3)
2
1 Γ(5 / 3) Γ(7 / 3) 1 ⎛2 ⎞ ⎛4 ⎞
= = ⎜ Γ(2 / 3) ⎟ ⎜ Γ(1 / 3) ⎟
2 Γ[(5 / 3) + (7 / 3)] 2 Γ(4) ⎝ 3 ⎠ ⎝9 ⎠
1 8 2
= Γ(2 / 3)Γ(1 / 3) = Γ(2/3)Γ[1 – (2/3)]
(2)(3 !) 27 81
2 π 2 π 4
= = = π
81 sin(2 / 3)π 81 (1 / 2) 3 81 3

Penghitungan Integral Tentu

Dalam penggunaan secara praktis, fungsi betha ini sangat membantu untuk
menghitung integral tentu. Integral tentu yang dimaksud disini adalah integral tentu dengan
transformasi dan atau subsitusi tertentu dapat dinyatakan dalam bentuk fungsi betha. Untuk
itu perhatikanlah contoh-contoh berikut ini.

Contoh 6.2.5.
2
Hitunglah : ∫ x 4 (4 − x 2 ) 3 / 2 dx
0
Penyelesaian :
Cara pertama. Biasanya untuk menghitung integral tentu jenis diatas, bentuk akar
dirasionalkan dengan substitusi trigonometri, yaitu :
(i). x = 2 sin t, dan 4 − x 2 = 2 cos t
(ii). dx = 2 cos t dt
(iii). Perubahan batas integral, t = 0, bila x = 0, dan t = π/2, bila x = 2
Dengan substitusi tersebut dihasilkan,
3
2 4 2 4⎛ ⎞ dx = π/2 (2sin t ) 4 (2 cos t ) 3 2 cos t dt
∫ 0
x (4 − x 2 ) 3 / 2 dx = ∫ 0
x ⎜ 4 − x2


⎠ ∫0
π/2
= 256 ∫0 sin 4 t cos 4 t dt
π/2
= 256 ∫0 sin 2(5/2) −1 t cos 2(5 / 2) −1 t dt
1 Γ(5 / 2) Γ(5 / 2)
= 256 [ B(5/2,5/2)] = 128
2 Γ(5 / 2 + 5 / 2)
[(3 / 4) π ][(3 / 4) π ] 128 9
= 128 = π = 3π
Γ(5) 4 ! 16

Cara kedua. Integral tentu diatas juga dapat dihitung dengan mensubtitusikan :
2 1/2
(i). x = 4u, atau x = 2 u = 2 u
(ii). (4 − x 2 ) 3 / 2 = (4 − 4u ) 3 / 2 = (4) 3 / 2 (1 − u ) 3 / 2 = 8 (1 − u ) 3 / 2
–1/2
(iii). x dx = 2 du, atau dx = u du
(iv). Perubahan batas integral, u = 0, bila x = 0, dan u = 1, bila x = 2
Dengan substitusi tersebut dihasilkan,
[8(1 − u ) 3 / 2 ] u −1 / 2 du
2 4 1
∫0 x (4 − x 2 ) 3 / 2 dx = ∫ 0 (4u)
2

u (5 / 2) −1 (1 − u ) (5 / 2) −1 du
1 1
= 128 ∫0 u 3 / 2 (1 − u ) 3 / 2 du = 128 ∫0
Γ(5 / 2) Γ(5 / 2)
= 128 B(5/2,5/2) = 128 = 3π
Γ(5 / 2 + 5 / 2)
Perhatikanlah bahwa kedua cara menghasilkan hasil akhir yang sama, dan terlihat bahwa cara
kedua kelihatannya lebih praktis dan lebih sederhana. Untuk lebih jelasnya perhatikanlah
contoh-contoh berikut ini.

Contoh 6.2.6.
3 x6
Hitunglah, ∫0 3 3
dx
27 − x
Penyelesaian
Untuk mereduksi tanda akar pangkat tiga dari integran biasanya digunakan substitusi :
(i). u = x3 dan
2
(ii). du = 3x dx.
Namun demikian, cara demikian ini tidak selalu berhasil, dan kesulitan yang timbul adalah
6
mengubah pangkat dari pembilang yakni (x ) dalam bentuk yang lebih sederhana. Hal ini
tidak menjadi masalah bilamana digunakan pendekatan fungsi betha.
Dengan memperhatikan contoh soal diatas, substitusikanlah :
3 1/3
(i). x = 27u, atau x = 3u
(ii). (27 − x 3 )1 / 3 = (27 − 27u )1 / 3 = (27)1 / 3 (1 − u )1 / 3 = 3 (1 − u )1 / 3
–2/3
(iii). dx = u du
(iv). Perubahan batas integral, u = 0, bila x = 0, dan u = 1, bila x = 3
Dengan substitusi tersebut dihasilkan,
x6 x6 1 (3u1 / 3 ) 6
(u − 2 / 3 du )
3 3
∫0 3 dx = ∫ 0 (27 − x 3 )1 / 3 dx = ∫ 0 3(1 − u )1 / 3
27 − x 3
(u 6 / 3 )(u − 2 / 3 ) (1 − u ) −1 / 3 du = 3 u 4 / 3 (1 − u ) −1 / 3 du
1 1
∫0 ∫0
5 5
=3

u (7 / 3) −1 (1 − u ) ( 2 / 3) −1 du = 3 B(7/3,2/3)
1
∫0
5 5
=3

5 Γ(7 / 3) Γ(2 / 3) 35 ⎛ 4 ⎞ ⎛ 1 ⎞ ⎛ 1 ⎞ ⎛ 2 ⎞
=3 = ⎜ ⎟ ⎜ ⎟Γ⎜ ⎟Γ⎜ ⎟
Γ(7 / 3 + 2 / 3) Γ(3) ⎝ 3 ⎠ ⎝ 3 ⎠ ⎝ 3 ⎠ ⎝ 3 ⎠
π π 108
= 2 (33 ) = 54 = π
sin(1 / 3)π (1 / 2) 3 3
= 36 3 π

Contoh 6.2.7.
2 6
Hitunglah, ∫0 x (16 − x 4 ) 5 / 4 dx
Penyelesaian :
Dengan cara yang sama seperti diatas, subsitusikanlah :
4 1/4
(i). x = 16u, atau x = 2 u
5
(ii). (16 − x 4 ) 5 / 4 = (16 − 16u ) 5 / 4 = (16) 5 / 4 (1 − u ) 5 / 4 = 2 (1 − u ) 5 / 4
1
(iii). dx = u − 3 / 4 du
2
(iv). Perubahan batas integral, u = 0, bila x = 0, dan u = 1, bila x = 2
Dengan substitusi tersebut dihasilkan,
2 6 1 5 / 4 ⎛ 1 −3 / 4 ⎞
∫ 0 x (16 − x ) dx = ∫ 0 (2u ) [2 (1 − u ) ] ⎜⎝ 2 u du ⎟⎠
4 5/ 4 1/ 4 6 5

( 7 / 4) −1
(1 − u ) (9 / 4) −1 du
1 3/ 4 1
∫0 u ∫0 u
10 10
=2 (1 − u ) 5 / 4 du = 2

10 10 Γ(7 / 4)Γ(9 / 4) 210


= 2 B(7/4,9/4) = 2 = Γ(7/4)Γ(9/4)
Γ[(7 / 4) + (9 / 4)] Γ(4)
210 ⎛ 3 ⎞⎛5 ⎞
= ⎜ Γ(3 / 4) ⎟ ⎜ Γ(1 / 4) ⎟ Γ(7/4)Γ(9/4)
3! ⎝ 4 ⎠ ⎝ 16 ⎠
210 15 π π
= Γ(3/4)Γ(1/4) = 40 = 40
6 26 sin(1 / 4)π (1 / 2) 2
= 40 2 π

Disamping untuk menghitung integral tentu terutama integral tak wajar jenis kedua yang
konvergen, manfaat lain dari fungsi betha adalah dapat digunakan untuk menghitung integral
tak wajar, khususnya integral tak wajar jenis pertama. Hal ini dinyatakan pada contoh soal
berikut ini.

Contoh 6.2.8
∞ x p −1
Buktikanlah bahwa, ∫ 0 1+ x
dx = Γ(p) Γ(1–p), dengan 0 < p < 1. Dengan hasil itu,

∞x −3/4
hitunglah ∫ 0 1 + x dx
Penyelesaian :
Untuk membuktikan kesamaan diatas, andaikan
x y
(i). y = , y(1 + x) = x; x(1 – y) = x atau x =
1+ x 1− y
(1 − y )(1) − y (−1) 1
(ii). dx = dy = dy
2
(1 − y ) (1 − y ) 2
(iii). Perubahan batas, y = 0, bila x = 0, dan y = 1, bila x = ∞
Dengan pengandaian diatas integral tak wajar dapat ditulis menjadi,
p−2
∞ x p −1 ∞x ⎛ y ⎞ 1
x p − 2 dx =
1
∫ dx = ∫ ∫ 0 y ⎜⎜⎝ 1 − y ⎟⎟⎠ dy
0 1+ x 0 1+ x (1 − y ) 2
y p−2 1
y p −1 (1 − y ) − p dy
1 1
= ∫0 y
(1 − y ) p−2
(1 − y ) 2
dy = ∫0
y p −1 (1 − y ) (1− p ) −1 dy = B(p,1 – p)
1
= ∫0
Γ( p ) Γ(1 − p ) Γ( p) Γ(1 − p)
= = = Γ(p) Γ(1 – p)
Γ[ p + (1 − p )] Γ(1)
Berdasarkan hasil diatas, maka untuk p – 1 = –3/4, atau p = ¼ dihasilkan :
∞ x −3 / 4 ∞ x (1 / 4) −1
∫ 0 1+ x
dx = ∫ 0 1+ x
dx = = B[1/4,1–(1/4)] = Γ(1/4) Γ(1 – 1/4)
π π
= = = 2π
sin(1 / 4)π (1 / 2) 2

Contoh 6.2.9
Dengan menggunakan hasil dari soal 7.2.8, hitunglah :
∞ dx ∞ x 5 dx
(a). ∫0
1 + x3
(b). ∫
0 1 + x8
Penyelesaian :
∞ dx
(a). Menghitung ∫0
1 + x3
Untuk dapat menggunakan rumus pada contoh 7.2.8, substitusikanlah :
3 1/3
(i). u = x , atau x = u
1
(ii). dx = u − 2 / 3du
3
Dengan subsitusi diatas, diperoleh :
∞ dx ∞ (1 / 3)u −2 / 3
∫0 1 + x3
= ∫ 0 1 + u du
1 ∞ u (1 / 3) −1
3 ∫ 0 1+ u
= du
Dari integral terakhir ini diperoleh, p = 1/3. Jadi,
∞ dx 1 1 π
∫ 0 1 + x3 = 3 Γ(1/3) Γ(1 – 1/3) = 3 sin(1/ 3)π
1 π 2π
= =
3 (1 / 2) 3 3 3

∞ x 5 dx
(b). Menghitung,
1 + x8
∫0
Seperti pada contoh sebelumnya, untuk dapat menggunakan rumus pada contoh 7.2.8,
substitusikanlah :
8 1/8
(i). u = x , atau x = u
1
(ii). dx = u − 7 / 8 du
8
Dengan subsitusi diatas, diperoleh :
∞ x 5 dx ∞ (u1 / 8 ) 5 ⎛ 1 − 7 / 8 ⎞
∫0 1 + x8
= ∫ 0 1 + u ⎜⎝ 8 u du ⎟⎠
1 ∞ (u 5 / 8 )(u −7 / 8 )
8 ∫0
= du
1+ u
1 ∞ u −2 / 8
8 ∫ 0 1+ u
= du

1 ∞ u (3 / 4) −1
8 ∫0
= du
1+ u
Dengan menggunakan hasil dari rumus contoh 7.2.8, dari bentuk integral terakhir ini
diperoleh, p = ¾. Jadi,
∞ x 5 dx 1 1 π 1 π
∫0 1 + x8
=
8
Γ(3/4) Γ(1 – 3/4) =
8 sin(3 / 4)π
=
8 (1 / 2) 2
2
= π
8
Integral Dirichlet
Salah satu penerapan penting dan kelihatannya cukup prakis adalah untuk menghitung
integral lipat tiga yang dikenal dengan integral Dirichlet. Pada dasarnya untuk menghitung
integral lipat tiga ini, biasanya digunakan transformasi koordinat, namun dengan pendekatan
ini langkah tersebut dapat dilewati. Integral Dirichlet ini menyatakan, jika V menyatakan
benda tertutup di dalam oktan pertama yang dibatasi oleh permukaan,
p q r
⎛ x⎞ ⎛ y⎞ ⎛z⎞
⎜ ⎟ + ⎜ ⎟ + ⎜ ⎟ =1
⎝a⎠ ⎝b⎠ ⎝c⎠
dan bidang-bidang koordinat. Bilamana semua konstanta positif, Maka
aα b β c γ Γ(α / p)Γ( β / q )Γ(γ / r )
∫∫∫ xα −1 y β −1 z γ −1 dxdydz =
pqr ⎛ α β γ⎞
V Γ⎜⎜1 + + + ⎟⎟
⎝ p q r⎠
Contoh 7.2.9
Sebuah benda pejal dibatasi oleh bidang, 4x + 3y + 2z = 12, dan bidang-bidang koordinat.
Hitunglah massa bendanya jika kerapatannya kxyz.
Penyelesaian
Dengan menggunakan integral lipat tiga, massa dihitung dengan rumus :
m = k ∫∫∫ xyz dxdydz
V
dimana V benda pejal yang dibatasi oleh bidang 4x + 3y + 2z = 12. Dengan pendekatan
integral Dirichlet, integral lipat diatas ditulis menjadi,
m = k ∫∫∫ x 2 −1 y 2 −1 z 2 −1 dxdydz
V
x y z
dan benda pejalnya ditulis menjadi, + + = 1. Berdasarkan hasil ini, diperoleh :
3 4 6
a = 3, b = 4, c = 6; p = q = r = 1, α = β = γ = 2
α β γ α β γ
= 2, = 2, = 2 dan 1+ + + =7
p q r p q r
Jadi massa benda pejalnya diberikan oleh,
(3) 2 (4) 2 (6) 2 Γ(2)Γ(2)Γ(2) (72) 2 36
m = k ∫∫∫ xyz dxdydz = k = k= k
(1)(1)(1) Γ (7) 6! 5
V

Contoh 6.2.10
2 2 2
Sebuah benda pejal dibatasi oleh elipsoida, 4x + 9y + 16z = 144. Hitunglah volume benda
pejalnya.
Penyelesaian
2 2 2
Elipsoida, 4x + 9y + 16z = 144, pusatnya adalah (0,0,0), sehingga elipsoida simetris
terhadap titik pusat koordinat, maka volume benda pejal dalam integral lipat tiga diberikan
oleh,
V = 8 ∫∫∫ dxdydz
V
2 2 2
dimana V benda pejal yang dibatasi oleh, 4x + 9y + 16z = 144. Dengan pendekatan integral
Dirichlet, integral lipat diatas ditulis menjadi,
m = 8 ∫∫∫ x1−1 y1−1 z1−1 dxdydz
V
dan benda pejalnya ditulis menjadi,
2 2 2
x2 y2 z 2 ⎛x⎞ ⎛ y⎞ ⎛ z⎞
+ + = 1, atau ⎜ ⎟ + ⎜ ⎟ + ⎜ ⎟ = 1
36 16 9 ⎝6⎠ ⎝ 4 ⎠ ⎝3⎠
Berdasarkan hasil ini, diperoleh :
a = 6, b = 4, c = 3; p = q = r = 2, α = β = γ = 1
α β γ α β γ 5
= ½, = ½, =½ 1+ + + =
p q r p q r 2
Jadi volume benda pejalnya dengan pendekatan integral Dirichlet diberikan oleh,
(6)1 (4)1 (3)1 Γ(1 / 2)Γ(1 / 2)Γ(1 / 2)
V = 8 ∫∫∫ dxdydz = 8
(2)(2)(2) Γ(5 / 2)
V
⎛ 72 ⎞ ( π )( π )( π ) 4
= 8⎜ ⎟ = (72)( π ) = 96π
⎝ 8 ⎠ (3 / 2)(1 / 2) π 3

Contoh 6.2.11
Sebuah benda pejal berbentuk bola dengan pusat (0,0,0) dan jari-jari r. Hitunglah massanya
2 2 2
bilamana kerapatannya adalah, x y z .
Penyelesaian
Mengingat bola dengan pusat (0,0,0) dan jari-jari r, simetris terhadap titik pusat, maka massa
2 2 2
benda pejal dengan kerapatan x y z , dalam integral lipat tiga diberikan oleh,
m = 8 ∫∫∫ x 2 y 2 z 2 dxdydz
V
2 2 2 2
dimana bola dengan pusat (0,0,0) dan jari-jari r. Persamaan bola, x + y + z = r , dapat pula
ditulis menjadi,
2 2 2
⎛x⎞ ⎛ y⎞ ⎛ z⎞
⎜ ⎟ +⎜ ⎟ +⎜ ⎟ = 1
⎝r⎠ ⎝r ⎠ ⎝r⎠
Sedangan integral lipat tigas diatas, dapat pula ditulis menjadi,
m = 8 ∫∫∫ x 3−1 y 3−1 z 3 −1 dxdydz
V
Oleh karena itu, dengan pendekatan integral Dirichlet berdasarkan hasil ini dihasilkan :
a = b = c = r; p = q = r = 2, α = β = γ = 3
α β γ 3 α β γ 11
= = = 1+ + + =
p q r 2 p q r 2
Jadi masa benda pejalnya dengan pendekatan integral Dirichlet diberikan oleh,
m = 8 ∫∫∫ x 3−1 y 3−1 z 3 −1 dxdydz
V
(r ) 3 (r ) 3 (r ) 3 Γ(3 / 2)Γ(3 / 2)Γ(3 / 2)
=8
(2)(2)(2) Γ(11 / 2)
r 9 [(1 / 2) π ]3 4π r 9
=
(9 / 2)(7 / 2)(5 / 2)(3 / 2)(1 / 2) π 945

Soal-soal Latihan 6.2


Dengan menggunakan pendekatan fungsi betha, dan atau rumus-rumus yang terkait dengan
fungsi betha, hitunglah integral tentu berikut ini
1 9/4 1 x5 / 4
1. ∫ 0
x (1 − x)11 / 4 dx 2. ∫ 0 4 1 − x dx
2 a +1
3. ∫1 ( x − 1) 4 (2 − x) 5 dx 4. ∫a ( x − a) 7 / 3 (a + 1 − x) 5 / 3 dx
4 1 8
5. ∫2 ( x − 2)(4 − x)
dx 6. ∫1 ( x − 1) 5 / 3 (8 − x) 7 / 3 dx

4 2
7. ∫1 ( x − 1) 3 (4 − x) 3 / 2 dx 8. ∫ x 2 4 16 − x 4 dx
0
2
2 x 8 1
9. ∫0 3 dx 10. ∫1 3 ( x − 1)(8 − x)
dx
16 − x 4
π/2 π/2
11. ∫0 cos 6 t dt 12. ∫0 sin 7 t dt
π/2 π/2
13. ∫0 cos 9 t dt 14. ∫0 sin 8t dt
π/2 π/2
15. ∫0 sin 6t cos 4 t dt 16. ∫0 sin 7 t cos5 t dt
π/2 π/2
17. ∫0 sin 6t cos 7 t dt 18. ∫0 sin 5/2t cos 7 / 2 t dt
π/2 π/2
19. ∫0 sin 4 / 3 t cos8 / 3 t dt 20. ∫0 sin 7 / 3 t cos 9 / 3 t dt
π/2 ∞ dx
21. ∫0 sin10 / 3 t cos14 / 3 t dt 22. ∫01+ x4
∞ x 3 dx ∞ x dx
23. ∫ 24. ∫0
0 1+ x6 1 + x3
∞ x 2 dx ∞ e kx dx
25. ∫ 26. ∫0
0 1+ x4 ae 2kx + 1

Dalam soal-soal latihan berikut ini, gunakan integral Direchlet untuk menghitung integral
tentu yang diberikan.
27. Sebuah lamina dibatasi oleh bidang, 2x + 3y = 6, dan sumbu-sumbu koordinat. Hitunglah
massa bendanya jika kerapatannya adalah xy
2/3 2/3
28. Carilah pusat massa suatu lamina di kuadran pertama yang dibatasi oleh x + y = 1
bilamana kerapatannya adalah xy
2/3 2/3
29. Hitunglah massa suatu lamina yang dibatasi oleh, x + y = 1 bilamana kerapatannya
2 2
adalah x y
30. Hitunglah volume bola dengan pusat (0,0,0) dan jari-jarinya r.
2 2 2
⎛ x⎞ ⎛ y⎞ ⎛z⎞
31. Hitunglah massa elipsoida, ⎜ ⎟ + ⎜ ⎟ + ⎜ ⎟ = 1, bilamana kerapatannya adalah xyz
⎝a⎠ ⎝b⎠ ⎝c⎠
2/3 2/3 2/3
32. Hitunglah volume benda pejal yang dibatasi oleh, x + y + z = 1
2/3 2/3 2/3
33. Hitunglah massa volume benda pejal yang dibatasi oleh, x + y + z = 1, bilamana
kepatannya adalah kxyz
REFERENSI

1. Anton, Howard, Irl Bives, Stephan Davis, Calculus, Seventh Edition,


John Wiley and Sons Inc, Singapore, 2002
2. Ayres, Frank, and Elliot Mendelson, Theory and Problems of
Differenntion and Integral Calculus, 3/ed, Metric Edition, Schaum’s
Outlines Series, McGraw-Hill Book Company, Landon, 1992
3. Baisuni, H.M. Hasyim, Kalkulus, Edisi Pertama, Universitas
Indonesia Press, Jakarta, 1986
4. Croft, Anthony, Engineering Mathematics, Third Edition, Pearson
Education, 2001
5. Erwin Kreyszig, Advanced Engineering Mathematics, Eighth Edition,
John Wiley and Sons, 2003
6. Hoffman, Laurance, D and Gerald L. Bradley, Calculud for Business,
Economics, and the Sosial and Life Science, Fourth Edition, Mc.
Graw Hill, 1989
7. Johnson, RE and Riokemeister, FL, Calculus with Analitic Geometry,
Third Edition, Prentice Hall of India, New Delhi, 1981
8. Kaplan, Wilfred, Advanced Calculus, Addison Wesley, Pub Co Inc,
USA, 1976
9. Lopez, Robert, Advanced Engineering Mathematics, Pearson
Education Asia, 2001
10. Murray R. Spiegel, (terjemahan Koko Martono), Matematika Teknik
Lanjutan Untuk Para Insinyur dan Ilmuwan, Erlangga, Jakarta, 1995
11. Murray R. Spiegel, (terjemahan Koko Martono), Kalkulus Lanjut,
Erlangga, Jakarta, 1999
12. Purcell, Edwin J, Varberg, Dale, (terjemahan I Nyoman Susila, Bana
Kartasasmita, Ramuh), 1994, Kalkulus dan Geometri Analitis, Edisi
Kelima, Jilid II, Erlangga, Jakarta
13. Peter, O;Neil, Advanced Engineering Mathematics, Fourrth Edition,
Books/Cole, California, 1995
14. Piskunov, N Differential and Integral Calculus, Peace Publication,
Moscow
15. Pipes, Louis A. and Lawrence R Harvill, Applied Mathematics for
Engineering and Physicists, Third Edition, Mac Graw-Hill
Kogakusha, Tokyo, 1970
BACKCOVER
Penerapan Matematika Lanjut atau Kalkulus Lanjut terutama yang berkaitan dengan analisis
fungsi n variabel banyak sekali baik dalam ilmu rekayasa, maupun dalam ilmu science pada
umumnya. Untuk dapat menerapkan analisis fungsi n variabel diperlukan pengetahuan, teknik
dan ketrampilan yang cukup memadahi. Buku ini disusun dalam rangka menjawab masalah
itu. Buku ini merupakan kelanjutan atau bagian yang tidak terpisahkan dari buku Kalkulus
fungsi satu variabel yang penulis susun. Oleh karena itu pembahasan buku ini lebih
ditekankan pada penggunaan teori atau teorema, dan pembahasan contoh-contoh soal.
Sasaran buku ini lebih ditujukan bagi mahasiswa jurusan eksakta yang mengambil mata
kuliah kalkulus lanjut atau matematika teknik. Oleh karenanya setiap pembahasan, langkah-
langkah yang digunakan diupayakan mudah diikuti khususnya oleh mahasiswa dan para
pembaca pada umumnya.

Memahami dan menerapkan analis kalkulus lanjut tidaklah dapat dihafal, akan tetapi harus
lebih banyak mengerjakan soal-soal latihan, maka pada setiap akhir sub bab pokok bahasan
disediakan soal-soal latihan. Lebih dari 1000 soal latihan yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari buku ini, dengan harapan dikerjakan untuk menambah pendalaman materi.
Letak keunggulan dari buku ini adalah bahwa buku ini lebih menekankan pada bagaimana
menyelesaikan masalah, namun demikian tidak meninggalkan kaidah-kaidah secara teori.

Buku ini disusun menjadi terdiri atas enam bab atau bagian, terdiri atas fungsi n variabel,
turunan parsial dan aplikasinya, integral lipat dua dan tiga termasuk didalamnya koodinat
bola dan silinder, analisis kalkulus medan vektor, deret tak hingga, dan terakhir dibahas
fungsi gamma dan fungsi beta.
16. Stewart, James, Kalkulus, Edisi Keempat, Jilid 2, (alih bahasa I
Nyoman Susila, dan Henda Gunawan), Erlangga, 2003
17. Stround, KA, Matematika Teknik, Edisi Kelima, Jilid I dan Jilid II,
alih bahasa Alit Bondan, Erlangga, 2003
18. Suhaedi, Suryadi HS, Matematika Lanjut, Edisi Pertama, Universitas
Gunadarma, 1994
19. Sharma, SG and J.S. Sarna, Engineering Mathematics, Second
Edition, CBS Publisgers, New Delhi, 1982
20. Thomas, George B, Calculus and Analitic Geometry, Fourth Edition,
Addison-Wesley, 1975

Anda mungkin juga menyukai