Anda di halaman 1dari 36

CASE REPORT

“PERDARAHAN PASCA PERSALINAN

Et Causa RETENSIO PLACENTA”

Pembimbing:

dr. Moch. Ma’roef, Sp.OG

Oleh:

Amalda Rizki Pratiwi (201910401011073)

Naufal Ryandi Hasibuan (201910401011058)

SMF OBGYN

RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH LAMONGAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG


2020

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas

rahmatNya penulis dapat menyelesaikan makalah yang membahas mengenai

“Perdarahan Pasca Persalinan pada Retensio Placenta”.

Makalah ini disusun dalam rangka menyelesaikan tugas stase obstetric

ginekologi di RS Muhammadiyah Lamongan serta menambah wawasan dari

penulis maupun pembaca. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada

berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan tugas ini, terutama

kepada Dr. Moch. Ma’roef, Sp.OG, selaku dokter pembimbing yang telah

memberikan bimbingan kepada penulis dalam penyusunan dan penyempurnaan

makalah ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari

sempurna, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis

harapkan. Semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat.

Malang, Agustus 2020

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Adapun yang melatarbelakangi makalah ini yang membahas

mengenai “ Atonia Uteri” adalah agar kita dapat mengetahui apa itu atonia

uteri dan bagaimana cara penatalaksanaan pada atonia uteri. Makalah ini

dibuat agar mahasiswa lebih memahami lagi tentang pengertian, penyebab,

dan cara penanganan atonia uteri.

Atonia uteri merupakan penyebab terbanyak perdarahan pospartum

dini (50%), dan merupakan alasan paling sering untuk melakukan

histerektomi postpartum. Kontraksi uterus merupakan mekanisme utama

untuk mengontrol perdarahan setelah melahirkan. Atonia terjadi karena

kegagalan mekanisme ini. Perdarahan Pospartum secara fisiologis dikontrol

oleh kontraksi serabut-serabut miometrium yang mengelilingi pembuluh

darah yang memvaskularisasi daerah implantasi plasenta. Atonia uteri terjadi

apabila serabut-serabut miometrium tidak berkontraksi

Atonia Uteri adalah suatu kondisi dimana Myometrium tidak dapat

berkontraksi dan bila ini terjadi maka darah yang keluar dari bekas tempat

melekatnya plasenta menjadi tidak terkendali.

 
 BAB II

LAPORAN KASUS

A. Identitas

Nama : Ny. A

Usia : 30 tahun

B. Anamnesis

1. KU : Perdarahan jalan lahir setelah melahirkan 8 hari yll.

2. RPS:

- Pasien datang dengan rujukan dari bidan dengan perdarahan.

- Melahirkan anak pertama

- Pada saat persalinan tgl 18-08-2020 2 jam yll, dilakukan manual

plasenta karena plasenta lahir lengkap, tidak ada laserasi jalan lahir

- Selama post partum, pasien mengalami perdarahan semakin

banyak, disertai darah merah dan hitam bergumpal-gumpal.

- Nyeri perut (-) demam (-)

- Mual (+), muntah (-) pusing(+)

3. RPD :

HT (-) , DM (-), Asma (-), alergi (-), penyakit jantung (-).

4. RPK :

HT (-) , DM (-), Asma (-), alergi (-), penyakit jantung (-)

5. RPSos: pasien adalah seorang ibu rumah tangga, merokok (-), sering

minum jamu-jamuan (-), makan minum baik


6. Riwayat haid:

Menarche : 12 th

Lama : 5 hari

Siklus : teratur 30 hari teratur

Dismenorhea : kadang-kadang, hari 1

HPHT : lupa

7. R. Perkawinan :

Menikah : 1 Kali

Lama : 1 tahun

8. Riwayat Kehamilan dan Persalinan:

Hamil ini, ANC 3x

9. Riwayat KB : -

10. Riwayat ANC: 3x ke Puskesmas

C. Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum : cukup

Kesadaran : compos mentis

T: 70/40 mmhg,

N: 110 x/menit, RR: 25x/menit

T.aksila : 36,5 C

BB : 49 kg

TB : 143 cm

Head to toe :
1. Kepala/Leher :

a/i/c/d +/-/-/-, Tonsil hiperemi (-); Faring hiperemi (-), Lidah kotor (-),

nyeri tekan (-), hiperemi (-), Pembesaran KGB (-), JVP dbn.

2. Thorax :

- I : Bentuk normal, simetris, iktus kordis tidak tampak, pergerakan

dinding dada simetris.

- P : ekspansi simetris, iktus di MCL S ICS V tidak kuat angkat

- P : Sonor/sonor, batas jantung N, peranjakan naik 1-2 ICS

- A : Ves/Ves, Ronkhi (-), Wheezing (-), S1 S2 tunggal, murmur (-),

gallop (-)

3. Abdomen:

- I = distended, linea nigra (+), striae gravidarum (+), bekas operasi

(-)

- P = nyeri tekan (-), uterus lembek (+)

- P = redup

- A = BU (+) N

4. Extremitas :

- Akral dingin basah.

- Edema ekstremitas (-), CRT > 2 detik, ikterik (-), Spoon nail (-),

Ulkus (-), eritema palmaris (-)

5. Status ginekologi:

- Vulva/vagina: fluxus (+)banyak fluor (-)

- Portio: terbuka, perdarahan (+)


- Corpus uteri: AF~ membesar, TFU : 2 jari dibawah pusat,

konsistensi lunak

- Adnexa d/s : massa (-) nyeri (-)

- CD: dbn

D. Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium: Hb 6,8 gr%


BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Atonia uteri (relaksasi otot uterus) adalah uteri tidak berkontraksi

dalam 15 detik setelah dilakukan pemijatan fundus uteri (plasenta telah lahir).

(Depkes Jakarta : 2002). Atonia uteri terjadi karena kegagalan serabut –

serabut otot miometrium uterus untuk berkontraksi dan memendek. Hal ini

merupakan penyebab perdarahan post partum yang paling penting dan bisa

terjadi segera setelah bayi lahir hingga 4 jam setelah persalinan. Atonia uteri

dapat menyebabkan perdarahan hebat dan dapat mengarah pada terjdainya

syok hipovolemik.

Diagnosis atonia uteri yaitu bila setelah bayi dan placenta lahir

ternyata pendarahan masih aktif dan banyak, bergumpal dan pada palpasi

didapatkan fundus uteri masih setinggi pusat atau lebih dengan kontraksi

yang lebih lembek.

2.2 Faktor Resiko

Beberapa faktor Predisposisi yang terkait dengan perdarahan pasca

persalinan yang disebabkan oleh Atonia Uteri, diantaranya adalah :

1) Uterus membesar lebih dari normal selama kehamilan, diantaranya :

a. Jumlah air ketuban yang berlebihan (Polihidramnion)

b. Kehamilan gemelli

c. Janin besar (makrosomia)

2) Kala satu atau kala 2 memanjang


3) Persalinan cepat (partus presipitatus)

4) Persalinan yang diinduksi atau dipercepat dengan oksitosin

5) Infeksi intrapartum

6) Multiparitas tinggi (grande multipara)

7) Magnesium sulfat yang digunakan untuk mengendalikan kejang pada

preeklamsia atau eklamsia.

8) Umur yang terlalu tua atau terlalu muda(<20 tahun dan >35 tahun)

Atonia Uteri juga dapat timbul karena salah penanganan kala III

persalinan, dengan memijat uterus dan mendorongnya ke bawah dalam usaha

melahirkan plasenta, sedang sebenarnya belum terlepas dari uterus.

2.3 Manifestasi Klinis

1) Uterus tidak berkontraksi dan lembek

2) Perdarahan segera setelah anak lahir (post partum primer)

2.4 Tanda dan Gejala

1) Perdarahan pervaginam

Perdarahan yang sangat banyak dan darah tidak merembes. Peristiwa

sering terjadi pada kondisi ini adalah darah keluar disertai gumpalan

disebabkan tromboplastin sudah tidak mampu lagi sebagai anti pembeku

darah

2) Konsistensi rahim lunak

Gejala ini merupakan gejala terpenting/khas atonia dan yang

membedakan atonia dengan penyebab perdarahan yang lainnya


3) Fundus uteri naik    

4) Terdapat tanda-tanda syok

a. Nadi cepat dan lemah (110 kali/ menit atau lebih)

b. Tekanan darah sangat rendah : tekanan sistolik < 90 mmHg

c. Pucat

d. Keriangat/ kulit terasa dingin dan lembap

e. Pernafasan cepat frekuensi30 kali/ menit atau lebih

f. Gelisah, binggung atau kehilangan kesadaran

g. Urine yang sedikit ( < 30 cc/ jam)                       

2.5 Diagnosis

Diagnosis ditegakan bila setelah bayi dan plasenta lahir  ternyata

perdarahan masih aktif dan banyak, bergumpal dan pada palpasi didapatkan

fundus uteri masih setinggi pusat atau lebih dengan kontraksi yang lembek.

Perlu diperhatikan bahwa pada saat atonia uteri didiagnosis, maka pada saat

itu juga masih ada darah sebanyak 500-1000 cc yang sudah keluar dari

pembuluh darah, tetapi masih terperangkap dalam uterus dan harus

diperhitungkan dalam kalkulasi pemberian darah pengganti.

2.6 Tatalaksana

Banyaknya darah yang hilang akan mempengaruhi keadaan umum

pasien. Pasien bisa masih dalam keadaaan sadar, sedikit anemis, atau sampai

syok berat hipovolemik. Tindakan pertama yang harus dilakukan tergantung

pada keadaaan klinisnya.


 Tatalaksana Umum HPP

Diagnosis dan intervensi awal dari PPP penting untuk menurunkan

mortalitas. Selain itu, diperlukan pula kerjasama tim yang terkoordinasi

(Watkins et al., 2020). Berdasarkan Chandrahan et al dan POGI, algoritma

penatalaksanaan PPP disebut dengan “HAEMOSTASIS”, yaitu:

1. Ask for HELP

Segera meminta pertolongan atau dirujuk ke rumah sakit bila

persalinan di bidan/PKM. Kehadiran ahli obstetri, bidan, ahli

anestesi, dan hematologi sangat penting. Pendekatan

multidisipliner dapat mengoptimalkan monitoring dan

pemberian cairan. Monitoring elektrolit dan parameter

koagulasi penting untuk penentuan tahap tindakan berikutnya.

2. Assess (vital parameter, blood loss) and Resuscitate

Penting sekali segera menilai jumlah darah yang keluar

seakurat mungkin dan menentukan derajat perubahan

hemodinamik. Lebih baik overestimate jumlah darah yang

hilang dan bersikap proaktif daripada underestimate dan

bersikap menunggu/pasif. Nilai tingkat kesadaran, nadi,

tekanan darah, dan bila fasilitas memungkinkan, saturasi

oksigen harus dimonitor.

Saat memasang jalur infus dengan abocath 14G-16G, harus

segera diambil spesimen darah untuk memeriksa hemoglobin,

profil pembekuan darah, elektrolit, penentuan golongan darah,

serta crossmatch (RIMOT = Resusitasi, Infus 2 jalur,


Monitoring keadaan umum, nadi dan tekanan darah, Oksigen,

dan Team approach). Diberikan cairan kristaloid dan koloid

secara cepat sambil menunggu hasil crossmatch.

3. Establish Aetiology, Ensure Availability of Blood, Ecbolics

(Oxytocin, Ergometrin or Syntometrine bolus IV/ IM)

Sementara resusitasi sedang berlangsung, dilakukan upaya

menentukan etiologi PPP. Nilai kontraksi uterus, cari adanya

cairan bebas di abdomen, bila ada risiko trauma (bekas seksio

sesarea, partus buatan yang sulit) atau bila kondisi pasien lebih

buruk daripada jumlah darah yang keluar. Harus dicek ulang

kelengkapan plasenta dan selaput plasenta yang telah berhasil

dikeluarkan.

Bila perdarahan terjadi akibat morbidly adherent placentae saat

sectio cesarea, dapat diupayakan haemostatic sutures, ligasi

arteri hipogastrika dan embolisasi arteri uterina. Morbidly

adherent placentae sering terjadi pada kasus plasenta previa

pada bekas seksio sesarea.

Bila hal ini sudah diketahui sebelumnya, disarankan untuk

tidak berupaya melahirkan plasenta, tetapi ditinggalkan

intrauterin dan kemudian dilanjutkan dengan pemberian

metotreksat seperti pada kasus kehamilan abdominal. Bila

retensio plasenta/sisa plasenta terjadi setelah persalinan

pervaginam, dapat digunakan tamponade uterus sementara

menunggu kesiapan operasi/laparotomi.


4. Massage the uterus

Jika terjadi perdarahan banyak setelah plasenta lahir, harus

segera ditangani dengan masase uterus dan pemberian obat-

obatan uterotonika. Bila uterus tetap lembek harus dilakukan

kompresi bimanual interna dengan menggunakan kepalan

tangan di dalam untuk menekan forniks anterior sehingga

terdorong ke atas dan telapak tangan di luar melakukan

penekanan pada fundus belakang sehingga uterus terkompresi.

5. Oxytocin infusion/ prostaglandins – IV/ per rectal/ IM/

intramyometrial

Dapat dilakukan pemberian oksitosin 40 unit dalam 500 cc

normal salin dengan kecepatan 125 cc/jam. Hindari kelebihan

cairan karena dapat menyebabkan edema pulmoner hingga

edema otak yang pada akhimya dapat menyebabkan kejang

karena hiponatremia. Hal ini timbul karena efek antidiuretic

hormone (ADH) like effect dan oksitosin; sehingga monitoring

ketat masukan dan keluaran cairan sangat esensial dalam

pemberian oksitosin dalam jumlah besar.

Pemberian ergometrin sebagai lini kedua dari oksitosin dapat

diberikan secara intramuskuler atau intravena. Dosis awal 0,2

mg (secara perlahan), dosis lanjutan 0,2 mg setelah 15 menit

bila masih diperlukan. Pemberian dapat diulang setiap 2-4 jam

bila masih diperlukan. Dosis maksimal adalah 1 mg atau 5


dosis per hari. Kontraindikasi pada pemberian ergometrin yaitu

preeklampsia, vitiumcordis, dan hipertensi.

Bila PPP masih tidak berhasil diatasi, dapat diberikan

misoprostol per rektal 800-1000ug. Pada perdarahan masif

perlu diberikan transfusi darah, bahkan juga diperlukan

pemberian fresh frozen plasma (FFP) untuk menggantikan

faktor pembekuan yang turut hilang. Direkomendasikan

pemberian 1 liter FFP (15 mL/kg) setiap 6 unit darah.

Pertahankan trombosit di atas 50.000, bila perlu diberikan

transfusi trombosit. Kriopresipitat direkomendasikan bila

terjadi DIC yang ditandai dengan kadar fibrinogen <1 gr/dl (10

gr/L).

6. Shift to theatre – exclude retained products and trauma/

bimanual compression (konservatif; non-pembedahan)

Bila perdarahan masif masih tetap terjadi, segera evakuasi

pasien ke ruang operasi. Pastikan pemeriksaan untuk

menyingkirkan adanya sisa plasenta atau selaput ketuban. Bila

diduga ada sisa jaringan, segera lakukan tindakan kuretase.

Kompresi bimanual dapat dilakukan selama ibu dibawa ke

ruang operasi.

7. Tamponade balloon/ uterine packing (konservatif; non-

pembedahan)

Bila perdarahan masih berlangsung, pikirkan kemungkinan

adanya koagulopati yang menyertai atonia yang refrakter.


Tamponade uterus dapat membantu mengurangi perdarahan.

Tindakan ini juga dapat memberi kesempatan koreksi faktor

pembekuan. Dapat dilakukan tamponade test dengan

menggunakan Tube Sengstaken yang mempunyai nilai prediksi

positif 87% untuk menilai keberhasilan penanganan PPP.

Bila pemasangan tube tersebut mampu menghentikan

perdarahan berarti pasien tidak memerlukan tindakan bedah

lebih lanjut. Akan tetapi, bila setelah pemasangan tube,

perdarahan masih tetap masif, maka pasien harus menjalani

tindakan bedah. Pemasangan tamponade uterus dengan

menggunakan baloon relatif mudah dilaksanakan dan hanya

memerlukan waktu beberapa menit. Tindakan ini dapat

menghentikan perdarahan dan mencegah koagulopati karena

perdarahan masif serta kebutuhan tindakan bedah. Hal ini perlu

dilakukan pada pasien yang tidak membaik dengan terapi

medis.

Pemasangan tamponade uterus dapat menggunakan Bakri SOS

baloon dan tampon balon kondom kateter. Biasanya

dimasukkan 300-400 cc cairan untuk mencapai tekanan yang

cukup adekuat sehingga perdarahan berhenti. Balon tamponade

Bakri dilengkapi alat untuk membaca tekanan intrauterin

sehingga dapat diupayakan mencapai tekanan mendekati

tekanan sistolik untuk menghentikan perdarahan. Segera


libatkan tambahan tenaga dokter spesialis kebidanan dan

hematologis sambil menyiapkan ruang ICU.

8. Apply compression sutures – B-Lynch/ modified

(pembedahan konservatif)

Dalam menentukan keputusan, harus selalu dipertimbangkan

antara

mempertahankan hidup dan keinginan mempertahankan

fertilitas. Sebelum mencoba setiap prosedur bedah konservatif,

harus dinilai ulang keadaan pasien berdasarkan perkiraan

jumlah darah yang keluar, perdarahan yang masih berlangsung,

keadaan hemodinamik, dan paritasnya. Keputusan untuk

melakukan laparotomi harus cepat setelah melakukan informed

consent terhadap segala kemungkinan tindakan yang akan

dilakukan di ruang operasi.

Penting sekali kerja sama yang baik dengan ahli anestesi untuk

menilai kemampuan pasien bertahan lebih lanjut pada keadaan

perdarahan setelah upaya konservatif gagal. Apabila tindakan

B-Lynch tidak berhasil, dipertimbangkan untuk dilakukan

histerektomi. Ikatan kompresi yang dinamakan Ikatan B-Lynch

(B-Lynch suture) pertama kali diperkenalkan oleh Christopher

B-Lynch.

Benang yang dapat dipakai adalah kromik catgut no.2, Vicryl 0

(Ethicon), chromic catgut 1 dan PDS 0 tanpa adanya

komplikasi. Akan tetapi, perlu diingat bahwa tindakan B-Lynch


ini harus didahului tes tamponade yaitu upaya menilai

efektifitas tindakan B- Lynch dengan cara kompresi bimanual

uterus secara langsung di meja operasi.

9. Systematic pelvic devascularization – uterine/ ovarian/

quadruple/ internal iliac (pembedahan konservatif)

Ligasi a. uterina dan ligasi a. Hipogastrika.

10. Interventional radiologis, if appropriate, uterine artery

embolization (pembedahan konservatif)

11. Subtotal/ total abdominal hysterectomy (non-konservatif)

Gambar 2.3 Algoritma Manajemen PPP (Sebghati et al., 2017)

Tatalaksana Spesifik

NO Langkah penatalaksanaan Alasan


1 Masase fundus uteri segera Masase merangsang kontraksi
setelah lahirnya uterus. Saat dimasase dapat
plasenta(maksimal 15 detik) dilakukan penilaia kontraksi uterus
2 Bersihkan bekuan darah adan Bekuan darah dan selaput ketuban
selaput ketuban dari vaginadan dalam vagina dan saluran serviks
lubang servik akan dapat menghalang kontraksi
  uterus secara baik.
 
 
3 Pastikan bahwa kantung kemih Kandung kemih yang penuh akan
kosong,jika penuh dapat  dapat menghalangi uterus
dipalpasi, lakukan kateterisasi berkontraksi secara baik.
menggunakan teknik aseptik
4 Lakukan Bimanual Internal (KBI) Kompresi bimanual internal
selama 5 menit memberikan tekanan langsung pada
pembuluh darah dinding uterusdan
juga merangsang miometrium
untuk berkontraksi.
5 Anjurkan keluarga untuk mulai Keluarga dapat meneruskan
membantu kompresi bimanual kompresi bimanual eksternal
eksternal selama penolong melakukan
langkah-langkah selanjutnya
6 Keluarkan tangan perlahan-lahan Menghindari rasa nyeri
7 Berikan ergometrin 0,2 mg IM Ergometrin dan misopostrol akan
(kontraindikasi hipertensi) atau bekerja dalam 5-7 menit dan
misopostrol 600-1000 mcg menyebabkan kontraksi uterus
8 Pasang infus menggunakan jarum Jarum besar memungkinkan
16 atau 18 dan berikan 500cc pemberian larutan IV secara cepat
ringer laktat + 20 unit oksitosin. atau tranfusi darah. RL akan
Habiskan 500 cc pertama secepat membantu memulihkan volume
mungkin cairan yang hilang selama
perdarahan.oksitosin IV akan cepat
merangsang kontraksi uterus.
9 Ulangi kompresi bimanual KBI yang dilakukan bersama
internal dengan ergometrin dan oksitosin
atau misopostrol akan membuat
uterus berkontraksi
10 Rujuk segera Jika uterus tidak berkontaksiselama
1 sampai 2 menit, hal ini bukan
atonia sederhana. Ibu
membutuhkan perawatan gawat
darurat di fasilitas yang mampu
melaksanakan bedah dan tranfusi
darah
11 Dampingi ibu ke tempat rujukan. Kompresi uterus ini memberikan
Teruskan melakukan KBI tekanan langung pada pembuluh
darah dinding uterus dan
merangsang uterus berkontraksi
12 Lanjutkan infus RL +20 IU RL dapat membantu memulihkan
oksitosin dalam 500 cc larutan volume cairan yang hilang akibat
dengan laju 500 cc/ jam sehingga perdarahan. Oksitosin dapat
menghabiskan 1,5 I infus. merangsang uterus untuk
Kemudian berikan 125 cc/jam. berkontraksi.
Jika tidak tersedia cairan yang
cukup, berikan 500 cc yang kedua
dengan kecepatan sedang dan
berikan minum untuk rehidrasi
BAB IV

POMR

SUMMARY OF CLUE AND CUE PROBLE INITIAL PLANNING


DIAGNOSIS THERAPY MONITORING EDUCAT
DATA BASE M LIST DIAGNOSI
S
Identitas  Ny. A, 30 tahun 1. Syok Syok • MRS • Kontraksi  Membe
Nama: Ny A/30 th  Perdarahan jalan hypovo hipovolemia • Konsul Sp.OG uterus tahukan
KU : Perdarahan jalan lahir   lemia Et causa • O2 15 lpm • Urin output tentang
lahir 2 jam post  T: 70/40 mmhg primary dengan masker • Heart rate kemuun
partum.  N: 110 x/menit severe PPH reservoir  bila • Tekanan penyak

 RR: 25x/menit et causa saturasi bertahan darah  Membe


RPS: atonia uteri diantara 94-98% • Respiratory an pasie
 Akral dingin
 Pasien datang  ubah ke simple rate mengen
basah.
dengan rujukan dari facemask 7-10 • Saturasi O2 komplik
 CRT > 2 detik
bidan dengan lpm • Tanda g
 Conjungtiva
perdarahan. • Pemasangan anemia kemung
anemis
 Melahirkan anak double IV ukuran (fatigue, pasien a
 Hb 6.8 gr%
pertama. 16 G dan sesak nafas,  Membe
 Mual (+)\Pusing
 Pada saat persalinan pengambilan nyeri dada, an kepa
(+)
tgl 18-08-2020 2 spesimen darah masalah pasien u
jam yll, dilakukan • Loading NS laktasi) rawat in
manual plasenta 2. Post 1000 cc • DL serial agar
karena plasenta lahir • Perdarahan partum • Transfusi PRC 2 (Hemoglobin mendap
lengkap, tidak ada jalan lahir   haemor bag dengan ) pemant
laserasi jalan lahir. • Post partum 2 rhage kecapatan 34 tpm • Platelet dan tera
 Selama post partum, jam yang lalu ec. • Pemasangan count yang op
pasien mengalami • Plasenta lahir Atonia kateter urin no 18 • PT  Membe
perdarahan semakin lengkap uteri • Masase uterus • aPTT an pasie
banyak, disertai • Laserasi jalan terus menerus • Kadar tentang
darah merah dan lahir (-) hingga kontraksi Fibrinogen yang ha
hitam bergumpal- • Darah merah uterus baik • Serum periksa
gumpal. dan hitam • Loading oksitosin Elektrolit  Membe
 Nyeri perut (-) bergumpal 20 IU dalam 500 (kalsium) pasien t
demam (-) • fluxus (+) ml NS (10 menit) • Tanda reaksi terapi y
 Mual (+), muntah (-) • uterus lembek  dilanjutkan transfusi akan di
pusing(+). (+) Oksitosin 20 IU seperti berikan
dalam 500 ml RL urtikaria, efek sam
RPD : 83 tpm selama 1 rash, demam dari tera
HT (-) , DM (-), Asma jam takikardi, -
(-), alergi (-), penyakit • Bila Terapi sesak, nyeri
jantung (-). uterotonika gagal kepala
 Tampon dimulai 15
RPK : uterus bila menit setelah
HT (-) , DM (-), Asma masih gagal  transfusi 
(-), alergi (-), penyakit embolisasi tiap jam 
jantung (-) pembuluh darah 15 menit
 bila masih setelah
RPSos: pasien adalah gagal  ligasi a transfusi
seorang ibu rumah uterina dan a selesai
tangga, merokok (-), hipogastika 
sering minum jamu- bila masih gagal
jamuan (-), makan  histerektomi
minum baik

Riwayat haid:
 Menarche : 12 th
 Lama : 5 hari
 Siklus : teratur 30
hari teratur
 Dismenorhea :
kadang-kadang, hari
1

HPHT : lupa
R. Perkawinan :
 Menikah : 1 Kali
 Lama : 1 tahun

Riwayat Kehamilan
dan Persalinan:
 Hamil ini.
 Riwayat KB : -
 Riwayat ANC: 3x
ke Puskesmas.

Pemeriksaan Fisik:
Keadaan umum : cukup
A/I/C/D : +/-/-/-
Kesadaran : compos
mentis
T: 70/40 mmhg
N: 110 x/menit
RR: 25x/menit
t.aksila : 36,5 C
BB : 49 kg
TB : 143 cm
Head to toe :
Kepala/Leher :
I : a/i/c/d +/-/-/- Tonsil
hiperemi (-); Faring
hiperemi (-), Lidah
kotor (-), nyeri tekan
(-), hiperemi (-),
Pembesaran KGB (-),
JVP dbn.

Thorax :
 I : Bentuk normal,
simetris, iktus kordis
tidak tampak,
pergerakan dinding
dada simetris.
 P : ekspansi
simetris, iktus di
MCL S ICS V tidak
kuat angkat
 P : Sonor/sonor,
batas jantung N,
peranjakan naik 1-2
ICS
 A : Ves/Ves, Ronkhi
(-), Wheezing (-), S1
S2 tunggal, murmur
(-), gallop (-)

Abdomen:
 I = distended, linea
nigra (+), striae
gravidarum (+),
bekas operasi (-)
 P = nyeri tekan (-),
uterus lembek (+)
 P = redup
 A = BU (+) N

Extremitas :
 Akral dingin basah.
 Edema ekstremitas
(-), CRT > 2 detik,
ikterik (-), Spoon
nail (-), Ulkus (-),
eritema palmaris (-)

Status ginekologi:
 Vulva/vagina:
fluxus (+)banyak
fluor (-)
 Portio: terbuka,
perdarahan (+)
 Corpus uteri: AF~
membesar, TFU : 2
jari dibawah pusat,
konsistensi lunak
 Adnexa d/s : massa
(-) nyeri (-)
 CD: dbn

Laboratorium:
Hb 6.8 gr%
BAB V

PEMBAHASAN

Pasien Ny. A datang ke IGD dengan keluhan perdarahan dari jalan lahir

setelah melahirkan 2 jam yang lalu. Pasien dalam keadaan compos mentis, dari

hasil anamnesis pasien mengeluhkan rasa pusing dan juga mual. Pada

pemeriksaan Vital Signnya didapatkan TD 70/40 mmHg, N 110x/menit, RR

25x/menit dan T. 36.5. Pada pemeriksaan fisik juga ditemukan bahwa konjungtiva

anemis, akral pasien dingin basah, CRT > 2 detik. Berdasarkan pemeriksaan di

atas maka dapat ditegakkan bahwa pasien sedang mengalami Syok Hipovolemia

akibat perdarahan. Berdasarkan Monteiro 2019, dari vital sign pasien yang

mengalami hipotensi, takikardi, dan takipneau maka pasien dapat dikelompokkan

pada syok hypovolemia derajat dua.

Gambar klasifikasi derajat syok hypovolemia (Monteiro, 2019)

Oleh karena pasien ini mengalami syok hypovolemia derajat dua maka dapat

diestimasikan bahwa kehilangan darahnya berkisar 750-1500 cc. Queensland

26
Clinical Guideline mengklasifikasikan perdarahan diatas 1000 cc sebagai severe

post partum haemorrhage.

Gambar klasifikasi derajat PPH (Queensland Clinical Guideline, 2018)

Syok hypovolemia yang dialami oleh pasien ini disebabkan oleh

perdarahan post partum. Perdarahan post partum menurut definisi terbaru yang

dikeluarkan oleh American Collegue of Obstetrian and Gynecologyst adalah

kehilangan darah lebih atau sama dengan 1000 cc yang disertai dengan tanda

tanda hipovolemi dalam kurun waktu 24 jam post partum terlepas dari rute jalan

lahirnya (ACOG, 2017).

Berdasarkan Queensland Clinical Guideline, etiologi dari post partum

haemorrhage adalah salah satu dari 4T yaitu tonus, trauma, tissue, dan thrombin.

Gambar etiologi dari post partum haemorrhage

(Queensland Clinical Guideline, 2018)

Dari hasil pemeriksaan tidak dapatkan laserasi dari jalan lahir, plasenta lahir

lengkap, dan darah merah kehitaman yang menggumpal. Dari hasil pemeriksaan

27
ini maka dapat disingkirkan trauma, tissue dan thrombin sebagai penyebab PPH

yang dialami pasien. Pada pemeriksaan palpasi yang dilakukan didapatkan uterus

yang lembek dan kontraksinya yang tidak adekuat. sehingga dapat disimpulkan

bahwa pasien mengalami post partum haemorrhage yang disebabkan oleh atonia

uteri. Untuk menegakkan diagnosis atonia uteri hanya diperlukan pemeriksaan

fisik saja tanpa penunjang. Berdasarkan Gill 2020 mengatakan atonia uteri

ditegakkan apabila dengan palpasi bimanual didapatkan uterus yang lembek dan

kontraksinya yang jelek. (Gill et al, 2020).

Dari penjelasan di atas, maka pada pasien ini dapat ditegakkan diagnosis

Syok Hipovolemia et causa Post Partum Haemorrhage et causa Atonia Uteri.

Tidak diperlukan planning pemeriksaan penunjang lainnya dikarenakan dari

pemeriksaan yang sudah dilakukan sudah bisa menegakkan diagnosis.

Tatalaksana pada pasien HPP meliputi resusitasi sebagai perbaikan kondisi

syok yang terjadi, serta tatalaksana spesifik terhadap etiologi yang mendasari,

dalam kasus ini adalah atonia uteri (Evensen et al, 2017). Kedua macam

tatalaksana tersebut harus dikerjakan secara simultan (WHO, 2012).

28
Gambar Tatalaksana HPP (Evensen et al, 2017)

Rincian kegiatan pada resusitasi adalah call for help dan primary survey.

Call for help dikerjakan dengan melakukan konsultasi pada dokter spesialis

obstetri dan ginekologi. Airway pada pasien ini clear, ditandai dengan keadaan

umumnya yang komposmentis. Breathing, RR 24x/menit, ditatalaksana dengan

pemberian O2 masker reservoir 15l/menit. Bila pada evaluasi lanjutan saturasi

bertahan diantara 94-98% diubah ke simple facemask 7-10l/menit (O’Driscoll

B.R., et al,2016).

Tatalaksana Circulation pasien dengan hasil pemeriksaan TD 70/40

mmHg dan nadi 110x/menit adalah pemasangan double IV chateter ukuran 16G,

loading RL 1500 cc serta transfusi PRC 2 bag (34 tpm). Pemasangan double IV

29
ukuran 16 G disertai pengambilan spesimen darah untuk pemeriksaan

hemoglobin, profil pembekuan darah, elektrolit, golongan darah dan crossmatch

(POGI, 2016). Loading RL 1000 cc didasarkan pada estimasi kehilangan darah

pasien pada syok hemoragik kelas 2 yaitu sebesar 750-1500 ml (Montairo, 2019).

Setiap 1 cc kehilangan darah dibutuhkan resusitasi sebesar 1-2 ml dengan

menggunakan cairan kristaloid (NATA, 2019). Sedangkan cairan kristaloid yang

lebih direkomendasikan pada kondisi syok adalah RL karena NS lebih berpotensi

menyebabkan asidosis metabolik dan hipernatremia, meskipun efek tersebut tidak

terlalu signifikan (Mane. 2017). Bila setelah resusitasi cairan pasien tetap

hipotensi, pemberian vasopressor diindikasikan. Pemilihan vasoprresor

dilandaskan dari HR, bila takikardi (HR >100x/menit) pilihan obatnya

norepinefrin 10 mikrogram bolus IV, sedangkan normokardi diberikan efedrin

(NATA, 2019). Transfusi PRC 2 bag  kadar hemoglobin pasien 6,8 g/dl (<7

g/dl) diindikasisan untuk mendapatkan transfusi PRC (NATA, 2019). Target

hemoglobin yang diharapkan dicapai sebesar 8 g/dl, sedangan tiap 1 unit PRC

dapat menaikkan hemoglobin sekitar 1 g/dl. Transfusi PRC diberikan sesuai hasil

pemeriksaan golongan darah dan uji crossmatch sebanyak 2 bag dengan kecepatan

34 tpm (WHO, 2002). Sedangkan transfusi produk darah lainnya seperti FFP dan

TC diberikan sesuai indikasi. FFP diberikan bila perdarahan masih tetap

berlangsung setelah transfusi 4 bag PRC dan TC bila nilai platelet <75x109/L

(NATA, 2019).

Tabel Prosedur Transfusi PRC

Produk Kemampuan Target Kecepatan Awal Transfusi Selesai

Darah Hb transfusi
Packed 1 unit RBC 8 g/dl 100-150 Dalam 30 menit ≤ 4 jam

30
Red Cell meningkatkan ml/jam setelah dikeluarkan

Hb 1g/dL / HC3 dari pendingin

3%
(WHO, 2002)

Tatalaksana spesifik terhadap atonia uteri dikerjakan secara mekanis dan

medikamentosa. Mekanis dikerjakan dengan masase uterus dan pemasangan

kateter urin no 18. Tatalaksana medikamentosa utama dalam mengatasi atonia

uteri adalah dengan melakukan masase uterus terus hingga kontraksi uterus baik

dan pemasangan kateter urin no 18 untuk mengosongkan VU (NATA, 2019).

Sedangkan terapi medikamentosa diberikan uterotonik, oksitosin sebagai pilihan

utama. Cara pemberiannya dengan melarutkan Oksitosin 20 – 40 IU (2-4 ml)

dalam 1 L NS. Selanjutnya sebanyak 500 cc di loading dalam 10 menit, kemudian

dilanjutkan 250 cc/jam (83 tpm) dalam 1 jam (Evensen et al, 2017). Setelah

pemberian oksitosin dilakukan evaluasi ulang perbaikan kontraksi uterusnya. Bila

uterotonika gagal  tampon uterus bila masih gagal  embolisasi pembuluh

darah  bila gagal  ligasi a uterina dan a hipogastika  bila masih gagal 

histerektomi. Selain itu bila perdarahan masih tetap berlanjut setelah pemberian

uterotonik diindikasikan pemberian bolus IV asam traneksamat 1 g (WHO, 2012).

31
Gambar Obat Uterotonika ((Evensen et al, 2017)

Monitoring pasien ditujukan untuk mrngevaluasi perbaikan kontraksi

uterus, keadaan hemodinamik pasien yang sedang mengalami syok, gejala anemia

serta keberhasilan terapi, termasuk transfusi darah. Monitoring HR, TD, RR dan

saturasi O2 tiap 15 menit. Bila PPH memburuk monitoring diperketat tiap 5 menit

dan ditambah monitoring EKG serta CVP. Monitoring keluhan anemia meliputi

fatigue, sesak nafas, nyeri dada dan masalah laktasi. Monitoring keberhasilan

transfusi darah dengan pemriksaan DL serial untuk evaluasi hemoglobin dan

trombosit, PT, aPTT, fibrinogen serta serum Elektrolit (kalsium) karena tranfusi

darah yang terlalu agresif berpotensi menyebabkan hikalsemia (NATA 2019).

Selain itu tanda reaksi transfusi seperti urtikaria, rash, demam takikardi, sesak,

32
nyeri kepala, dll juga harus diperhatikan. Evaluasi dimulai pada saat sebelum

transfusi diberikan, dilanjutkan pada 15 menit setelah transfusi dinilai, kemudian

dilakukan tiap jam dan diakhiri pada 15 menit setelah transfusi selesai (WHO,

2002).

Edukasi yang diberikan pada pasien meliputi menjelaskan tentang

penyakitnya, komplikasi penyakit yang mungkin dapat terjadi, keperluan MRS

agar mendapatkan pemantauan dan terapi yang optimal, pemeriksaan penunjang

yang perlu dikerjakan, serta rencana terapi yang akan di berikan beserta efek

sampingnya

Gambar Komplikasi pada HPP (Evensen et al, 2017)

33
(WHO, 2002)

34
DAFTAR PUSTAKA

ACOG. 2017. Practice Buletin Post Partum Haemorrhage. Wormer KC,

Jamil RT, Bryant SB. 2019. Acute Postpartum Hemorrhage. Available from:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK499988/

Gill P, Patel A, Van Hook MD JW. 2020. Uterine Atony. Available

from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK493238/

Hooper N, Armstrong TJ. 2020. Hemorrhagic Shock.Available from:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470382

Mane. 2017. Fluid Resuscitation: Ringer Lactate Versus Normal Saline-

A clinical Study. International Journal of Contemporary Medical Research

Monteiro, R., Marwa S. 2019. Analgesia, Anaesthesia and Pregnancy.

Major obstetric haemorrhage. pp.233-237

Mavrides E, Allard S, Chandraharan E, Collins P, Green L, Hunt BJ,

Riris S, Thomson AJ on behalf of the Royal College of Obstetricians and

Gynaecologists. Prevention and management of postpartum haemorrhage. BJOG

2016;124:e106–e149.

NATA Consensus, 2019, Patient blood management in obstetrics:

prevention and treatment of postpartum haemorrhage., Blood Transfusion, 17(2):

112–136

O’Driscoll B.R., et al,2016, British Thoracic Society Guideline for

Oxygen Use in Adults in Healthcare and Emergency Setting

POGI. 2016. Perdarahan Pasca Salin. Pedoman Nasional Pelayanan

Kedokteran

35
Queensland clinical guideline. 2018. Guideline primary post partum

haemorrhage.

WHO, 2012. Recommendations for The Prevention and Treatment of

Postpartum Haemorrhage

WHO. 2002. Clinical Transfusion Practice

36

Anda mungkin juga menyukai