Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

“HEMORAGIC POST PARTUM”

Pembimbing:
Dr. Moch. Ma’roef, Sp.OG

Disusun Oleh:
Tri Ananda Adipranoto
202020401011148

KEPANITERAAN KLINIK
ILMU KEBIDANAN DAN PENYAKIT KANDUNGAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
RS MUHAMMADIYAH MALANG
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmatNya penulis
dapat menyelesaikan makalah yang membahas mengenai “Hemoragic post partum”
Makalah ini disusun dalam rangka menyelesaikan tugas stase obstetric
ginekologi di RS Muhammadiyah Lamongan serta menambah wawasan dari penulis
maupun pembaca. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang
telah membantu dalam penyusunan tugas ini, terutama kepada Dr. Moch. Ma’roef,
Sp.OG, selaku dokter pembimbing yang telah memberikan bimbingan kepada penulis
dalam penyusunan dan penyempurnaan makalah ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu
kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga tulisan ini
dapat memberikan manfaat.

Lamongan, November 2021

Penyusun
BAB 1

2.1 Definisi

Berdasarkan WHO (World Health Organization), perdarahan pasca persalinan

didefinisikan sebagai kehilangan darah >500 pada kelahiran per vaginam, dan kehilangan

darah >1000 mL pada persalinan dengan metode sectio cesarea. Perdarahan pasca

persalinan dapat bersifat minor (500-1000 mL) atau mayor (>1000 mL). Perdarapan

pasca persalinan yang bersifat mayor dapat terbagi menjadi sedang (1000-2000 mL) dan

berat (>2000 mL) (Rani et al., 2017).

Berdasarkan ACOG (American College of Obstetricians and Gynecologists),

perdarahan pasca persalinan adalah kehilangan darah minimal 1.000 mL atau lebih yang

disertai dengan tanda dan gejala hipovolemia dalam 24 jam hingga 12 minggu setelah

persalinan, baik persalinan dengan metode per vaginam maupun sectio cesarea (Watkins

et al., 2020). Pada umumnya, bila terdapat perdarahan yang lebih dari normal, apalagi

telah menyebabkan perubahan tanda vital (seperti kesadaran menurun, pucat, limbung,

berkeringat dingin, sesak napas, serta tensi < 90 mmHg dan nadi >100/menit), maka

penanganan harus segera dilakukan (Prawirohardjo, 2016).

2.2 Epidemiologi

PPH merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas maternal di seluruh dunia,

terutama di negara berkembang. Estimasi angka mortalitas akibat PPH setiap tahunnya

mencapai 140.000 per tahun atau 1 kematian ibu setiap 4 menit (Rani et al., 2017).

. Pada 2015, terjadi lebih dari 80.000 kematian ibu yang disebabkan oleh perdarahan di

seluruh dunia. Angka kematian ini berbeda-beda antar negara. Perdarahan menyumbang

sekitar 9.3% kematian pada negara dengan indeks sosiodemografik yang tinggi dan

45.7% pada negara dengan indeks sosiodemografik yang rendah (Borovac et al., 2018).

1
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menilai angka kematian ibu melahirkan

di Indonesia relatif tinggi. Angka kematian ibu di Indonesia juga masih tergolong tinggi

jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara, yaitu menempati urutan ke

delapan dari 18 negara, sebesar 240 per 100.000 KH, disusul India (230 per 100.000 KH),

Bhutan (200 per 100.000 KH), dan Filipina sebesar 94 per 100.000 KH.

Berdasarkan hasil Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) menunjukkan

bahwa secara nasional Angka Kematian Ibu pada tahun 2012 di Indonesia adalah

359/100.000 kelahiran hidup. Rata-rata kematian ini jauh melonjak dibanding hasil SDKI

2007 yang mencapai 228/ 100.000 kelahiran hidup Pada tahun 2013, perdarahan yaitu

terutama perdarahan postpartum menyebabkan kematian ibu sebanyak 30.3% di

Indonesia. Selain perdarahan, penyebab kematian ibu tertinggi lainnya adalah hipertensi

dalam kehamilan (27.1%), infeksi (7.3%), partus lama (1,8%) dan abortus (Kemenkes RI,

2014).

Gambar 2.1 Grafik Penyebab Kematian Ibu di Indonesia (Kemenkes RI, 2014)

2.3 Faktor Resiko

Faktor resiko perdarahan pasca persalinan meliputi kondisi antepartum dan

intrapartum, yaitu riwayat PPP, kehamilan multiple, fetal macrosomia (> 4000 gram),

primigravida, grande multipara, usia tua, kelahiran preterm, cedera saluran genitalia,

2
tidak dilakukan pemberian oksitosin sebagai profilaksis, induksi kelahiran, kelahiran

secara sectio cesarea, dan kematian janin dalam uterus (Fukami, 2019).

Bagi tenaga kesehatan, penting untuk mengidentifikasi faktor resiko pada periode

antenatal dan intrapartum agar dapat mengintervensi dan mencegah terjadinya PPP

(Fukami, 2019). PPP dapat juga terjadi pada wanita tanpa faktor resiko, maka dari itu,

klinisi harus siap untuk mengantisipasi dan menangani komplikasi ini pada setiap

persalinan (Sebghati et al., 2017).

Tabel 2.1 Faktor Resiko Perdarahan Postpartum (Watkins et al., 2020)

2.4 Etiologi

Berdasarkan SOGC (Society of Obstetricians and Gynaecologists of Canada),

penyebab perdarahan post partum berhubungan dengan abormalitas dari 1 atau lebih dari

4T: Tonus, Trauma, Tissue, dan Thrombin. Salah satu faktor utama dari PPP adalah

perdarahan karena atoni. (Fukami, 2019).

3
Tabel 2.2 4T dan Faktor Resiko yang Berkaitan (Watkins et al., 2020)

Majoritas kasus PPP disebabkan oleh karena atonia uteri (80%). Atonia uteri

disebabkan oleh kelainan hipokontraktilitas dari miometrium ketika masa post partum.

Atonia uteri dapat terjadi pada wanita dengan multifetal gestations, polihidramnion, dan

fetus dengan berat berlebih (>4000 gram) (Watkins et al., 2020).

Trauma yang didapatkan saat persalinan juga dapat mengakibatkan PPP. Trauma

dapat berupa laserasi pada serviks, vagina, atau perineum, hematoma yang melebar, dan

ruptur dari uterus. Kelainan pada jaringan (tissue) dapat disebabkan karena kelainan

plasenta, yang dapat meningkatkan resiko PPP. Kelainan placenta dapat berupa

tertinggalnya bagian plasenta setelah janin lahir, plasenta previa, dan plasenta accreta.

Pada plasenta previa, plasenta menutupi sebagian ataupun seluruh jalan lahir. Pada

plasenta accreta, plasenta menembus dinding uterus secara abnormal. Plasenta accreta

dibagi lagi berdasarkan kedalaman invasinya, yaitu accreta, increta, dan percreta

Kelainan thrombin dapat berupa koagulopati, Von Willebrand disease, HELLP syndrome

(Hemolysis, Elevated Liver enzymes, Low Platelets), dan Disseminated Intravascular

Coagulopathy (DIC) (Watkins et al., 2020).

4
Gambar 2.2 Macam-macam kelainan plasenta (Watkins et al., 2020)

2.5 Klasifikasi

Berdasarkan jumlah perdarahannya, perdarahan pasca persalinan dapat bersifat minor

(500-1000 mL) atau mayor (>1000 mL). Perdarahan pasca persalinan yang bersifat mayor

dapat terbagi menjadi sedang (1000-2000 mL) dan berat (>2000 mL) (Rani et al., 2017).

Berdasarkan Royal College of Obstetricians and Gynaecologists (RCOG), pada saat

persalinan, nadi dan tekanan darah dipertahankan pada range normal hingga kehilangan

darah >1.000 mL. Pada saat kehilangan darah sebanyak 1.000-1.500 mL terjadi takikardi,

takipneu, dan penurunan sedikit tekanan darah sistolik. Apabila kehilangan darah >1.500

mL akan terjadi penurunan tekanan darah sistolik dibawah 80 mmHg, dan perburukan

takikardia, takipneu, dan penurunan kesadaran.

Berdasarkan saat terjadinya PPP dapat dibagi menjadi PPP primer, yang terjadi

dalam 24 jam pertama dan biasanya disebabkan oleh atonia uteri, berbagai robekan jalan

lahir, dan sisa sebagian plasenta. Dalam kasus yang jarang, bisa karena inversio uteri. PPP

sekunder yang terjadi setelah 24 jam persalinan, biasanya terjadi karena sisa plasenta

(Prawirohardjo, 2016). PPP sekunder dapat terjadi setelah 24 jam persalinan hingga 12

minggu pasca kelahiran (Sebghati et al., 2017).

5
2.6 Patofisiologi

Meskipun atoni uterus bertanggung jawab atas 75-90% PPP, trauma juga

menyebabkan sekitar 20% dari keseluruhan PPP. Sedangkan, penyebab lain PPP seperti

abnormalitas pembekuan darah berjumlah lebih sedikit (3%). Pada trauma seperti

laserasi serviks, vagina, perineum, inversi uteri, dan ruptur uteri, dapat menyebabkan

perdarahan dalam jumlah banyak, terutama apabila tidak diketahui (Watkins et al., 2020)

Salah satu penyebab utama PPP adalah atoni uterus, yaitu kegagalan uterus untuk

berkontraksi. PPP yang disebabkan atoni uterus terjadi ketika miometrium yang rileks

gagal untuk konstriksi pembuluh darah yang melewati jaringannya, sehingga

menyebabkan terjadinya perdarahan. Karena sekitar 1/5 cardiac output maternal (1000

mL/ min) melewati sirkulasi uteroplacental saat aterm, PPP dapat menyebabkan

perdarahan dalam waktu singkat.

Mekanisme hemostatik pada saat dan sesudah separasi plasenta mungkin melibatkan

kontraksi serabut otot disekitar arteri spiral pada plasenta, yang menyebabkan

terbentuknya platelet plug. Retraksi uterus juga menyebabkan oklusi secara mekanis

pada arteriol yang memfasilitasi terbentuknya platelet plug, aktivasi kaskade pembekuan

darah dan fibrinolisis. Apabila ada gangguan pembekuan darah, seperti pada von

Willebrand disease (defisiensi faktor VIII, hal ini akan meningkatkan resiko terjadinya

PPP.

PPP juga dapat disebabkan oleh karena adanya plasenta yang tertinggal. Plasenta

yang tertinggal ini dapat menyebabkan hambatan fisik pada kontraksi uterus yang

diperlukan untuk konstriksi pembuluh darah pada plasenta. Distensi pada uterus yang

dapat menyebabkan gangguan kontraksi tidak harus selalu terjadi ketika ketika proses

persalinan. Distensi pada uterus yang terjadi sebelum persalinan, seperti multiple

6
pregnancy dan polihidramnion, juga mempengaruhi kemampuan uterus untuk

berkontraksi secara efisien setelah persalinan.

Pada plasenta previa dan plasenta previa accreta, plasenta terletak pada segmen

bawah rahim. Karena implantasi yang terletak pada segmen bawah, hal ini dapat

mengindikasikan kemungkinan terjadinya perdarahan. Hal ini disebabkan karena limitasi

anatomis dan fisiologis segmen bawah rahim. Serabut otot pada segmen atas rahim dapat

berkontraksi dan retraksi pada kala 3 persalinan, sedangkan segmen bawah rahim hanya

dapat berdilatasi secara paralel dengan serviks. Karena kontraksi pada segmen bawah

rahim tidak adekuat, maka dapat terjadi perdarahan. Hal ini disebabkan karena kontraksi

penting untuk memisahkan plasenta dan menghentikan perdarahan setelah persalinan.

Pada plasenta previa dan plasenta accreta, segmen bawah rahim lebih tipis dari

normalnya. Hal ini mungkin disebabkan karena kontraktilitas segmen bawah rahim

semakin lemah karena adanya plasenta. Selain itu, terjadinya plasenta accreta, increta,

dan percreta mungkin disebabkan karena dinding segmen bawah rahim yang tipis. Hal

ini menyebabkan implantasi plasenta dan invasi trofoblas lebih dalam pada jaringan

desidua. Kelainan plasenta ini dapat menyebabkan meningkatnya potensi PPP (Khan et

al., 2008).

2.7 Diagnosis

Diagnosis PPP didasarkan dengan penilaian klinis dan pertimbangan klinisi (Watkins

et al., 2020). Diagnosis PPP memerlukan klinisi untuk mengenali terjadinya perdarahan

yang berlebihan dan mengidentifikasi kemungkinan penyebabnya (Sebghati et al., 2017).

Perdarahan harus dimonitor secara kumulatif sepanjang persalinan dan post partum

dengan pengukuran secara kuantitatif apabila memungkinkan (Evensen et al., 2017).

7
2.7.1 Penilaian Klinis

Diagnosis klinis dilakukan berdasarkan adanya tanda perdarahan > 500 mL

pada persalinan per vaginam, adanya tanda perdarahan >1.000 mL setelah persalinan

secara Sectio Cesarea, adanya tanda gangguan hemodinamik yang disebabkan karena

perdarahan yang berlebihan setelah persalinan, dan adanya penurunan yang signifikan

dari hematokrit (Sebghati et al., 2017).

Penting untuk mencari kemungkinan penyebab perdarahan. Hal ini dapat

dilakukan dengan menginspeksi dan mempalpasi perineum pasien, canalis cervicalis,

dan cavum uteri. Pemeriksaan awal juga harus fokus terhadap status hemodinamik

pasien, dan segera mengintervensi apabila pasien mengalami gangguan hemodinamik.

Ketika mencurigai adanya PPP, intervensi emergensi harus segera dilakukan untuk

mencegah kolapsnya sistem kardiovaskular. Selain itu, juga harus diperhatikan

apakah plasenta telah dilahirkan secara utuh.

Untuk membantu diagnosa perdarahan, dapat dilakukan pemantauan vital sign

secara umum, yaitu nadi dan tekanan darah. Namun, pada wanita yang mengalami

perdarahan mungkin tidak mengalami takikardi atau hipotensi hingga terjadinya

perdarahan yang signifikan (>1.000 mL). Gejala dari perdarahan atau hipovolemi

dapat berupa palpitasi, konfusi, sinkop, kelelahan, takipneu, dan diaphoresis (Watkins

et al., 2020).

Berdasarkan Royal College of Obstetricians and Gynaecologists (RCOG), pada

saat persalinan, nadi dan tekanan darah dipertahankan pada range normal hingga

kehilangan darah >1.000 mL. Pada saat kehilangan darah sebanyak 1.000-1.500 mL

terjadi takikardi, takipneu, dan penurunan sedikit tekanan darah sistolik. Apabila

kehilangan darah >1.500 mL akan terjadi penurunan tekanan darah sistolik dibawah

80 mmHg, dan perburukan takikardia, takipneu, dan penurunan kesadaran.

8
Tabel 2.3 Klasifikasi Perdarahan (Monteiro et al., 2019)

2.7.2 Pemeriksaan Penunjang

Sebagai pemeriksaan penunjang, dapat dilakukan pemeriksaan darah lengkap,

faktor koagulasi (termasuk fibrinogen), golongan darah dan skrining antibodi apabila

belum diketahui sebelumnya. Hemoglobin dan hematokrit biasanya tidak terlalu

berguna pada diagnosis awal, kecuali ada perbandingan hemoglobin dan hematokrit

sebelumnya. Pada perempuan hamil cenderung terjadi hipervolemia terinduksi

kehamilan normal. Selain itu, dapat juga dilakukan pengecekan dengan USG untuk

melihat pelvis apabila terdapat plasenta yang tertinggal, hematoma, ataupun

perdarahan peritoneal (Watkins et al., 2020).

Tabel 2.4 Pemeriksaan Laboratorium (Watkins et al., 2020)

9
2.8 Penatalaksanaan

2.8.1 Penatalaksanaan Umum

Diagnosis dan intervensi awal dari PPP penting untuk menurunkan mortalitas.

Selain itu, diperlukan pula kerjasama tim yang terkoordinasi (Watkins et al., 2020).

Berdasarkan Chandrahan et al dan POGI, algoritma penatalaksanaan PPP disebut dengan

“HAEMOSTASIS”, yaitu:

1. Ask for HELP

Segera meminta pertolongan atau dirujuk ke rumah sakit bila persalinan di

bidan/PKM. Kehadiran ahli obstetri, bidan, ahli anestesi, dan hematologi

sangat penting. Pendekatan multidisipliner dapat mengoptimalkan

monitoring dan pemberian cairan. Monitoring elektrolit dan parameter

koagulasi penting untuk penentuan tahap tindakan berikutnya.

2. Assess (vital parameter, blood loss) and Resuscitate

Penting sekali segera menilai jumlah darah yang keluar seakurat mungkin

dan menentukan derajat perubahan hemodinamik. Lebih baik overestimate

jumlah darah yang hilang dan bersikap proaktif daripada underestimate

dan bersikap menunggu/pasif. Nilai tingkat kesadaran, nadi, tekanan darah,

dan bila fasilitas memungkinkan, saturasi oksigen harus dimonitor.

Saat memasang jalur infus dengan abocath 14G-16G, harus segera diambil

spesimen darah untuk memeriksa hemoglobin, profil pembekuan darah,

elektrolit, penentuan golongan darah, serta crossmatch (RIMOT =

Resusitasi, Infus 2 jalur, Monitoring keadaan umum, nadi dan tekanan

darah, Oksigen, dan Team approach). Diberikan cairan kristaloid dan

koloid secara cepat sambil menunggu hasil crossmatch.

10
3. Establish Aetiology, Ensure Availability of Blood, Ecbolics (Oxytocin,

Ergometrin or Syntometrine bolus IV/ IM)

Sementara resusitasi sedang berlangsung, dilakukan upaya menentukan

etiologi PPP. Nilai kontraksi uterus, cari adanya cairan bebas di abdomen,

bila ada risiko trauma (bekas seksio sesarea, partus buatan yang sulit) atau

bila kondisi pasien lebih buruk daripada jumlah darah yang keluar. Harus

dicek ulang kelengkapan plasenta dan selaput plasenta yang telah berhasil

dikeluarkan.

Bila perdarahan terjadi akibat morbidly adherent placentae saat sectio

cesarea, dapat diupayakan haemostatic sutures, ligasi arteri hipogastrika

dan embolisasi arteri uterina. Morbidly adherent placentae sering terjadi

pada kasus plasenta previa pada bekas seksio sesarea.

Bila hal ini sudah diketahui sebelumnya, disarankan untuk tidak berupaya

melahirkan plasenta, tetapi ditinggalkan intrauterin dan kemudian

dilanjutkan dengan pemberian metotreksat seperti pada kasus kehamilan

abdominal. Bila retensio plasenta/sisa plasenta terjadi setelah persalinan

pervaginam, dapat digunakan tamponade uterus sementara menunggu

kesiapan operasi/laparotomi.

4. Massage the uterus

Jika terjadi perdarahan banyak setelah plasenta lahir, harus segera

ditangani dengan masase uterus dan pemberian obat-obatan uterotonika.

Bila uterus tetap lembek harus dilakukan kompresi bimanual interna

dengan menggunakan kepalan tangan di dalam untuk menekan forniks

anterior sehingga terdorong ke atas dan telapak tangan di luar melakukan

penekanan pada fundus belakang sehingga uterus terkompresi.

11
5. Oxytocin infusion/ prostaglandins – IV/ per rectal/ IM/

intramyometrial

Dapat dilakukan pemberian oksitosin 40 unit dalam 500 cc normal salin

dengan kecepatan 125 cc/jam. Hindari kelebihan cairan karena dapat

menyebabkan edema pulmoner hingga edema otak yang pada akhimya

dapat menyebabkan kejang karena hiponatremia. Hal ini timbul karena

efek antidiuretic hormone (ADH) like effect dan oksitosin; sehingga

monitoring ketat masukan dan keluaran cairan sangat esensial dalam

pemberian oksitosin dalam jumlah besar.

Pemberian ergometrin sebagai lini kedua dari oksitosin dapat diberikan

secara intramuskuler atau intravena. Dosis awal 0,2 mg (secara perlahan),

dosis lanjutan 0,2 mg setelah 15 menit bila masih diperlukan. Pemberian

dapat diulang setiap 2-4 jam bila masih diperlukan. Dosis maksimal adalah

1 mg atau 5 dosis per hari. Kontraindikasi pada pemberian ergometrin

yaitu preeklampsia, vitiumcordis, dan hipertensi.

Bila PPP masih tidak berhasil diatasi, dapat diberikan misoprostol per

rektal 800-1000ug. Pada perdarahan masif perlu diberikan transfusi darah,

bahkan juga diperlukan pemberian fresh frozen plasma (FFP) untuk

menggantikan faktor pembekuan yang turut hilang. Direkomendasikan

pemberian 1 liter FFP (15 mL/kg) setiap 6 unit darah. Pertahankan

trombosit di atas 50.000, bila perlu diberikan transfusi trombosit.

Kriopresipitat direkomendasikan bila terjadi DIC yang ditandai dengan

kadar fibrinogen <1 gr/dl (10 gr/L).

6. Shift to theatre – exclude retained products and trauma/ bimanual

compression (konservatif; non-pembedahan)

12
Bila perdarahan masif masih tetap terjadi, segera evakuasi pasien ke ruang

operasi. Pastikan pemeriksaan untuk menyingkirkan adanya sisa plasenta

atau selaput ketuban. Bila diduga ada sisa jaringan, segera lakukan

tindakan kuretase. Kompresi bimanual dapat dilakukan selama ibu dibawa

ke ruang operasi.

7. Tamponade balloon/ uterine packing (konservatif; non-pembedahan)

Bila perdarahan masih berlangsung, pikirkan kemungkinan adanya

koagulopati yang menyertai atonia yang refrakter. Tamponade uterus dapat

membantu mengurangi perdarahan. Tindakan ini juga dapat memberi

kesempatan koreksi faktor pembekuan. Dapat dilakukan tamponade test

dengan menggunakan Tube Sengstaken yang mempunyai nilai prediksi

positif 87% untuk menilai keberhasilan penanganan PPP.

Bila pemasangan tube tersebut mampu menghentikan perdarahan berarti

pasien tidak memerlukan tindakan bedah lebih lanjut. Akan tetapi, bila

setelah pemasangan tube, perdarahan masih tetap masif, maka pasien harus

menjalani tindakan bedah. Pemasangan tamponade uterus dengan

menggunakan baloon relatif mudah dilaksanakan dan hanya memerlukan

waktu beberapa menit. Tindakan ini dapat menghentikan perdarahan dan

mencegah koagulopati karena perdarahan masif serta kebutuhan tindakan

bedah. Hal ini perlu dilakukan pada pasien yang tidak membaik dengan

terapi medis.

Pemasangan tamponade uterus dapat menggunakan Bakri SOS baloon dan

tampon balon kondom kateter. Biasanya dimasukkan 300-400 cc cairan

untuk mencapai tekanan yang cukup adekuat sehingga perdarahan

berhenti. Balon tamponade Bakri dilengkapi alat untuk membaca tekanan

13
intrauterin sehingga dapat diupayakan mencapai tekanan mendekati

tekanan sistolik untuk menghentikan perdarahan. Segera libatkan

tambahan tenaga dokter spesialis kebidanan dan hematologis sambil

menyiapkan ruang ICU.

8. Apply compression sutures – B-Lynch/ modified (pembedahan

konservatif)

Dalam menentukan keputusan, harus selalu dipertimbangkan antara

mempertahankan hidup dan keinginan mempertahankan fertilitas. Sebelum

mencoba setiap prosedur bedah konservatif, harus dinilai ulang keadaan

pasien berdasarkan perkiraan jumlah darah yang keluar, perdarahan yang

masih berlangsung, keadaan hemodinamik, dan paritasnya. Keputusan

untuk melakukan laparotomi harus cepat setelah melakukan informed

consent terhadap segala kemungkinan tindakan yang akan dilakukan di

ruang operasi.

Penting sekali kerja sama yang baik dengan ahli anestesi untuk menilai

kemampuan pasien bertahan lebih lanjut pada keadaan perdarahan setelah

upaya konservatif gagal. Apabila tindakan B-Lynch tidak berhasil,

dipertimbangkan untuk dilakukan histerektomi. Ikatan kompresi yang

dinamakan Ikatan B-Lynch (B-Lynch suture) pertama kali diperkenalkan

oleh Christopher B-Lynch.

Benang yang dapat dipakai adalah kromik catgut no.2, Vicryl 0 (Ethicon),

chromic catgut 1 dan PDS 0 tanpa adanya komplikasi. Akan tetapi, perlu

diingat bahwa tindakan B-Lynch ini harus didahului tes tamponade yaitu

upaya menilai efektifitas tindakan B- Lynch dengan cara kompresi

bimanual uterus secara langsung di meja operasi.

14
9. Systematic pelvic devascularization – uterine/ ovarian/ quadruple/

internal iliac (pembedahan konservatif)

Ligasi a. uterina dan ligasi a. Hipogastrika.

10. Interventional radiologis, if appropriate, uterine artery embolization

(pembedahan konservatif)

11. Subtotal/ total abdominal hysterectomy (non-konservatif)

Gambar 2.3 Algoritma Manajemen PPP (Sebghati et al., 2017)

2.8.2 Penatalaksanaan Spesifik

a. Tissue

Pada retensi plasenta, dapat diberikan oksitosin secara IV atau IM

bersamaan dengan melakukan traksi umbilical cord untuk mengeluarkan

plasenta. Pada retensi plasenta, pengambilan plasenta dapat dilakukan secara

manual dengan bantuan anestesi (Sebghati et al., 2017). Jika diseksi

manual menggunakan ujung jari tangan yang menggunakan sarung tangan

tidak menunjukkan batas antara dinding uterus dan plasenta, dapat

dipertimbangkan kemungkinan plasenta yang invasif (Evensen et al., 2017).

Plasenta invasive (acreta, increta, percreta,) dapat menyebabkan

perdarahan postpartum yang mengancam nyawa. Pengobatan dari plasenta

yang invasif adalah hysterectomy atau pada kasus tertentu bisa diberikan

15
manajemen konservatif (seperti membiarkan plasenta pada tempat atau

memberikan metrotrexate oral setiap minggu) (Evensen et al., 2017).

b. Thrombin

Koagulopati pada PPP ditandai dengan Waktu perdarahan dan waktu

pembekuan memanjang, trombositopenia, hipofibrinogenemia, dan terdeteksi

adanya FDP (fibrin degradation produts) serta perpanjangan tes protrombin

dan PTT (partial tromboplastin time). Berbagai kondisi tersebut diakibatkan

berbagai macam etiologi, baik yang didapat maupun yang kongenital.

Gambar 2.4 Etiologi Koagulopati pada PPP (Evensen et al, 2017)

Faktor trombin menempati 1% penyebab PPP. Sebelum mencurigai

koagulopati sebagai penyebab PPP perlu disingkirkan penyebab PPP lainnya.

Selain itu secara klinis didapatkan darah pasien yang tidak menggumpal dalam

waktu 5-10 menit. Penegakan diagnosis koagulopati dikerjakan dengan

memalakukan pemeriksaan penunjang tes koagulasi standar (PT, aPTT, clauss

fibrinogen dan platelet) atau tes viskoelastik (tromboelastogram dan

16
tromboelastografi). Tes viskoelastik dianggap lebih unggul karena dapat

memberikan gambaran yang komprehensif dari pembentukan bekuan hingga

titik pelarutan bekuan darah. Selain itu juga dapat memberi informasi kadar

trombosit, fungsi trombosit dan kadar fibrinogen. Perbedaan tes koagulasi

standar dan viskoelastik ditampilkan pada gambar 2.8.

Gambar 2.5 Perbedaan Tes Viskoelastik dan Koagulasi Standar (Guasch,


F., Gilsan, Z., 2016)

Pada kelainan pembekuan darah (defisiensi faktor VIII, IX, Von

Willebrand’s disease), dapat menyebabkan PPP. Maka dari itu, identifikasi

dan koreksi gangguan koagulopati dapat meningkatkan outcome. Koagulopati

dapat didiagnosa dengan observasi klinis, dan pemeriksaan laboratoris.

Apabila perdarahan disebabkan oleh koagulopati, transfusi darah dapat

dilakukan berdasarkan konsultasi dari ahli hematologis (Sebghati et al., 2017).

Pada pasien dengan perdarahan yang signifikan, diberikan resusitasi.

Pasien diberikan oksigen sesuai kebutuhan dan diberikan cairan intravena

serta penggantian darah yang keluar dengan normal saline atau cairan

kristaloid lainnya yang diberikan melalui jarum intravena berukuran besar

dengan selang infus ganda. Pemberian transfusi darah O negatif juga diberikan

apabila tidak ada kantong darah yang spesifik pada pasien atau menunggu

adanya kantong darah yang sesuai dengan pasien. Pemberian 4 unit fresh

17
frozen plasma dan pemberian 1 unit platelet setiap penggunaan 4 sampai 6

kantong kantong darah (Evensen et al., 2017).

Tatalaksana yang diberikan pada pasien mulai dari management

antepartum, pengobatan profilaksis dan tatalaksana saat terjadi PPH.

Gambar 2.9 Manajemen Antepartum (POGI, 2016)

Gambar 2.9 Rekomendasi Pengobatan Profilaksis Koagulopati (Kadir


et al, 2014)

18
Gambar 2.6 Tatalaksana Koagulopati (Carvalho et al 2015)

2.9 Prevensi

Meskipun tidak harus mengandalkan analisis faktor resiko untuk memprediksi semua

wanita yang dapat mengalami PPP, namun pencegahan primer PPP dimulai dengan

penilaian faktor risiko. Penilaian faktor-faktor risiko yang dilakukan secara berulang dan

19
respons yang cepat terhadap komplikasi dapat mencegah berkembangnya perdarahan

minor menjadi perdarahan yang parah dan mengancam jiwa. Wanita yang diidentifikasi

berisiko tinggi mengalami PPP harus dirujuk ke fasilitas kesehatan dengan akses ke staf

yang terlatih dan yang memiliki akses terhadap bank darah terdekat.

Anemia adalah faktor risiko untuk PPP dan membutuhkan transfusi darah pada saat

persalinan dengan metode sectio cesarea. Dengan memperbaiki anemia yang sudah ada

sebelumnya, akan mengoptimalkan kemampuan pasien untuk bertahan pada keadaan

perdarahan ringan hingga sedang tanpa adanya kompromisasi. Pada wanita hamil dengan

gangguan perdarahan yang berisiko PPP, pasien harus dirujuk untuk melahirkan di

fasilitas kesehatan dengan obstetricians, pusat perawatan hemofilia, atau ahli

hematologis (Mclintock et al., 2011).

Berdasarkan Evenson et al., strategi terbaik untuk mencegah PPP adalah manajemen

secara aktif pada kala 3 persalinan. Hal ini meliputi penggunaan oksitosin, traksi

umbilical cord, masase uterus setelah lahirnya plasenta.

2.10 Komplikasi

Berdasarkan Evenson et al., komplikasi yang dapat terjadi pada PPP yaitu

anemia, kelelahan, transfusi darah, iskemia anterior pada kelenjar pituitary dengan

keterlambatan atau kegagalan laktasi, iskemia miokard, hipertensi ortostatik, depresi post

partum, dilusi faktor koagulasi, dan kematian.

2.11 Prognosis

Diagnosis dan intervensi awal dari PPP penting untuk menurunkan mortalitas.

Menghindari keterlambatan dalam diagnosis dan terapi akan memberikan dampak yang

bermakna terhadap sekuele dan prognosis pasien (POGI, 2016).

20
DAFTAR PUSTAKA

Borovac-Pinheiro, A., Pacagnella, R., Cecatti, J., et al., 2018. Postpartum

hemorrhage: new insights for definition and diagnosis. American Journal of Obstetrics

and Gynecology, 219(2), pp.162-168.

Chandraharan, E. and Krishna, A., 2017. Diagnosis and management of

postpartum haemorrhage. BMJ, p.j3875.

Fukami, T., Koga, H., Goto, M., Ando, M., Matsuoka., et al., 2019. Incidence and

risk factors for postpartum hemorrhage among transvaginal deliveries at a tertiary

perinatal medical facility in Japan. PLOS ONE, 14(1), p.e0208873.

Guasch, F., Gilsan, Z., 2016, Massive obstetric hemorrhage: Current approach to

management, Medicina Intensiva.;40 (5):298 – 310.

Kadir et al, 2014, Evaluation and management of postpartum hemorrhage:

consensus from an international expert panel.

Khan, R.U., et al. 2008. Pathophysiology of Postpartum Hemorrhage and Third

Stage of Labor. In M, Glob. libr. women's med., DOI 10.3843/GLOWM.10138.

Mavrides E, Allard S, Chandraharan E, Collins P, Green L, Hunt BK, Riris S,

Thompson AJ on behalf of the Royal College of Obstetricians and Gynaecologists.

Prevention and Management of Postpartum Haemorrhage. BJOG 2016:124:e106-e149.

Monteiro, R., Marwa S. 2019. Analgesia, Anaesthesia and Pregnancy. Major

obstetric haemorrhage. pp.233-237.

POGI. 2016. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran: Perdarahan Pasca Salin.

Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia.

Prawirohardjo, S., 2016. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka.

21
Rani, P., 2017. Recent Advances in the Management of Major Postpartum

Haemorrhage - A Review. Journal of Clinical and Diagnostic Research.

Sebghati, M. and Chandraharan, E., 2017. An update on the risk factors for and

management of obstetric haemorrhage. Women's Health, 13(2), pp.34-40.

Watkins, E.J., & Stem, K. 2020. Postpartum Hemorrhage. JAPA: Official Journal

of the American Academy of Physician Assistants.

Williams, J., Cunningham, F., Leveno, K., Bloom, S., Hauth, J., Gilstrap, L. and

Wenstrom, K., 2018. Obstetrics. 25rd ed. Estados Unidos: McGraw-Hill.

22

Anda mungkin juga menyukai