Anda di halaman 1dari 33

REFERAT

JULI 2020

INKOMPATIBILITAS GOLONGAN DARAH

Disusun Oleh:

Andi Rahim Nur Annura Anggarha C014182230


Tsabitah M. Tang C014192002
Nurul Miftahul Jannah C014192074

Pembimbing Residen :
dr. Ullifannuri Rachmi

Supervisor :
Prof. dr. Mansyur Arif, Ph.D., Sp.PK(K)., MARS

BAGIAN ILMU PATOLOGI KLINIK


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2020

i
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertandatangan di bawah ini, menyatakan bahwa :

Andi Rahim NurAnnura Anggarha C014182230


Tsabitah M. Tang C014192002
Nurul Miftahul Jannah C014192074

Judul Referat : INKOMPATIBILITAS GOLONGAN DARAH

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian


Ilmu Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, 10 Juli 2020


Mengetahui,

Residen Pembimbing

dr. Ullifannuri Rachmi

Supervisor Pembimbing

Prof. dr. Mansyur Arif, Ph.D., Sp.PK(K)., MARS

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...........................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA........................................................................3
2.1 DefinisiSistem ABO .............................................................................3
2.2 Pengertian Inkompatibilitas Golongan Darah .......................................4
2.3 Penyebab Inkompatibilitas ....................................................................6
2.4 Patofisiologi Inkompatibilitas ...............................................................7
2.4.1 Reaksi Hemolisis Transfusi ........................................................7
2.4.2. Reaksi Imunitas Antigen Antibodi .............................................7
2.5 Diagnosis Inkompatibilitas ...................................................................9
2.5.1. Pemeriksaan Darah Lengkap .....................................................9
2.5.2. Pemeriksaan Urin Lengkap .........................................................9
2.6 Penatalaksanaan Inkompatibilitas ........................................................10
2.7 Prognosis Inkompatibilitas ...................................................................11
BAB III KESIMPULAN .....................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................13

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada abad ini kemajuan teknologi dan ilmu biologi molekuler sangat
membantu manusia dalam melangsungkan kehidupannya, khususnya pada
bidang kesehatan.Dampak yang bisa diihat dari kemajuan tersebut adalah
munculnya berbagai sistem pemeriksaan yang menunjang para klinisi untuk
mendapatkan hasil pemeriksaan fisiologi tubuh maupun menentukan diagnosis
yang tepat terhadap suatu kelainan patologis pada tubuh manusia.Salah satu
sistem pemeriksaan yang bernilai vital bagi keberlangsungan hidup pasien
adalah sistem penggolongan darah ABO. Sistem ABO adalah sistem
penggolongan darah yang didasarkan pada keberadaan antigen dan antibodi
pada tubuh manusia.Secara singkat antigen adalah suatu substansi yang ada di
permukaan sel darah merah atau eritrosit yang menjadi penentu golongan
darah. Pada sistem ABO dikenal ada dua antigen yang dapat menentukan
golongan darah, yaitu antigen A dan antigen B. Sementara itu antibodi dapat
ditemukan pada serum darah manusia yang mana pada penggolongan darah
secara ABO tidak mungkin pada suatu tubuh seseorang terdapat antigen dan
antibodi yang sejenis karena dapat berakibat fatal. Dengan adanya sistem
penggolongan darah ABO ini diharapkan dapat memudahkan para klinisi
untuk menentukan darah yang cocok pada pasien jika terjadi suatu keadaan
yang mengharuskan pasien mendapat donor darah dari orang lain.1
Namun pada kenyataannya sistem penggolongan darah ABO tidak
selalu berjalan sesuai yang diharapkan. Masalah yang kerap timbul dalam
sistem ABO adalah inkompatibilitas sistem ABO atau ketidakcocokan sistem
ABO. Inkompatibilitas dapat terjadi karena kesalahan individual yaitu oleh
petugas kesehatan seperti :perawat, plebotomis, atau analis laboratorium.
Disamping itu, inkompatibiliti juga dapat terjadi karena adanya reaksi antigen
terhadap antibodi yang sejenis.Jika terjadi inkompatibiliti akan terjadi hal
yang signifikan secara klinis dan perlu diwaspadai khususnya pada praktisi

1
klinis, mengingat darah merupakan bagian vital pada tubuh manusia.
Mengetahui pentingnya penguasaan mengenai sistem penggolongan darah
ABO dan masalah yang dapat timbul, penulis akan membahas secara lebih
rinci pada bab selanjutnya.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Sistem ABO

Sistem golongan darah ABO merupakan sistem golongan darah


yangterpenting dalam transfusi.Sistem penggolongan darah ini adalah yang
palingimunogenik dari semua antigen golongan darah.Hal ini dikarenakan
penyebabpaling umum kematian akibat transfusi darah adalah kesalahan
administrasi dimana jenis yang tidak kompatibel darah ABO yang
ditransfusikan.Antigengolongan darah ABO berbeda bervariasi antara
populasi yang berbeda. Antigengolongan darah ABO dikodekan oleh satu
lokus genetik, lokus ABO, yangmemiliki tiga bentuk alternatif (alel) -A, B,
dan O. Seorang anak menerima salahsatu dari tiga alel dari setiap orangtua,
sehingga menimbulkan enam genotipeyang mungkin dan empat tipe darah
yang memungkin (fenotipe).1
Darah merupakan organ yang “multiantigenic”. Saat ini, diketahui
telah ada 36 sistem golongan darah yang mewakili lebih dari 350 antigen pada
permukaan eritrosit yang terdaftar oleh International Society of Blood
Transfusion (ISBT).2 Selain dari ABO dan sistem Rhesus, banyak jenisantigen
yang terlihat pada membran sel darah merah. Penggolongan darah
danpencocokan silang adalah salah satu tes yang penting selama periode
perioperatif Rhesus-sistem (Rh) adalah sistem golongan darah yang paling
penting kedua setelah ABO. Saat ini, Rh-sistem terdiri dari 50 antigen
golongan darah terdapat hanya lima yang penting.1
Pada setiap permukaan sel darah merah, setiap individu belum tentu
memilikifaktor Rh atau D-antigen imunogenik . Dengan demikian, status
diindikasikan sebagai Rh-positif (terdapat antigen-D) atau Rh-negatif (tidak
terdapat antigen-D).Berbeda dengan sistem ABO, antibodi anti-Rh biasanya
tidak ditemukan dalamdarah individu dengan sel darah merah D-negatif,

3
kecuali sistem peredaran darah dari individu-individu ini telah terpapar sel
darah merah D-positif. Antibodi dari Rh sistem ini merupakan Imunoglobulin
G (IgG) yang dapat melewati plasenta, sehingga profilaksis diberikan terhadap
imunisasi Rh menggunakan Ig anti-D untuk ibu hamil Rh-negatif yang telah
melahirkan anak Rh-positif.1,3
Sistem Kell adalah sistem antigen imunogenik paling penting ketiga
setelah ABO dan sistem Rh, dan ditandai oleh antibodi anti-K.Sistem Kell
bereaksi terhadap eritrosit bayi baru lahir yang mengakibatkan reaksi
hemolitik. Sejak itu 25 antigen Kell telah ditemukan. Anti-K antibodi
menyebabkan penyakit hemolitik parah pada janin dan bayi baru lahir
(HDFN) dan reaksi transfusi hemolitik (HTR).3

2.2. Pengertian Inkompatibilitas Golongan Darah


Secara umum, ketidaksesuian atau inkompatibilitas dalam konteks
golongan darah ini disebabkan oleh pengikatan antibodi plasma dengan
antigen sel darah merah, sehingga menyebabkan reaksi.Tes laboratorium
reaksi ini adalah yang paling umumnya divisualisasikan dengan aglutinasi dari
sel-selmerah. Di tubuh, reaksi antigen-antibodi dapat terjadi sebagai
konsekuensi yang merugikan dari transfusi darah atau kehamilan,
mengakibatkan kerusakan seldarah merah dipercepat. Oleh karena itu penting
untuk mendeteksi ketidaksesuaian antara plasma pasien dan sel darah merah
dari donor darah potensial sebelum transfusi, untuk menghindari reaksi
transfusi. Ketidakcocokan terjadi pada kehamilan saat ibu diimunisasi oleh
sel-sel janin yang melewati plasenta.3
Inkompatibilitas dapat dibedakan menjadi dua yaitu inkompatibilitas
ABO dan inkompatibilitas Rhesus. Inkompatibilitas ABO adalah kondisi
medis dimana golongan darah antara ibu dan bayi berbeda sewaktu masa
kehamilan. Terdapat 4 jenis golongan darah, yaitu A, B, AB dan O. Golongan
darah ditentukan melalui tipe molekul (antigen) pada permukaan sel darah
merah. Sebagai contoh, individu dengan golongan darah A memiliki antigen
A, dan golongan darah B memilkiantigen B, golongan darah AB memiliki
baik antigen A dan B sedangkan golongan darah O tidak memiliki antigen.4

4
Golongan darah yang berbeda menghasilkan antibodi yang berbeda-
beda.Ketika golongan darah yang berbeda tercampur, suatu respon kekebalan
tubuhterjadi dan antibodi terbentuk untuk menyerang antigen asing di dalam
darah.Inkompatibilitas ABO seringkali terjadi pada ibu dengan golongan
darah O dan bayi dengan golongan darah baik A atau B. Ibu dengan golongan
darah Omenghasilkan antibodi anti-A dan anti-B yang cukup kecil untuk
memasuki sirkulasi tubuh bayi, menghancurkan sel darah merah janin.3
Penghancuran sel darah merah menyebabkan peningkatan
produksibilirubin, yang merupakan produk sisa. Apabila terlalu banyak
bilirubin yangdihasilkan, akan menyebabkan ikterus pada bayi. Bayi dengan
ikterus akanmemerlukan fototerapi atau transfusi ganti untuk kasus berat.
Apabila bayi tidakditangani, bayi akan menderita cerebral palsy. Sampai saat
ini, tidak adapencegahan yang dapat memperkirakan inkompatibilitas ABO.
Tidak sepertiinkompatibilitas Rh, inkompatibilitas ABO dapat terjadi pada
kehamilan pertama dan gejalanya tidak memburuk pada kehamilan
berikutnya.3,4

Golongan Darah Antigen pada sel Antibodi pada plasma

A A Anti-B

B B Anti-A

AB AB Tidak ada

O Tidak ada Anti-A dan Anti-B

Inkompatibiltas Rh adalah suatu kondisi yang terjadi ketikaseorang


wanita hamil memilikidarah Rh-negatif dan bayi dalam rahimnyamemiliki
darah Rh-positif. Selama kehamilan, sel darah merah dari bayi yangbelum
lahir dapat menyeberang ke aliran darah ibu melalui plasenta. Jika
ibumemiliki Rh-negatif, sistem kekebalan tubuhnya memperlakukan sel-sel
Rhpositifjanin seolah-olah mereka adalah substansi asing dan membuat
antiboditerhadap sel-sel darah janin. Antibodi anti-Rh ini dapat menyeberang

5
kembalimelalui plasenta ke bayi yang sedang berkembang dan
4
menghancurkan sel-seldarah merah bayi.
Sel-sel darah merah yang dipecah menghasilkan bilirubin. Hal
inimenyebabkan bayi menjadi kuning (ikterus). Tingkat bilirubin dalam aliran
darahbayi bisa berkisar dari ringan sampai sangat tinggi. Karena butuh waktu
bagi ibuuntuk mengembangkan antibodi, bayi sulung jarang yang mengalami
kondisi ini,kecuali ibu mengalami keguguran di masa lalu atau aborsi yang
membuat pekasistem kekebalan tubuhnya. Namun, semua anak-anaknya
yangmemiliki Rh-positif dapat terpengaruh.4

2.3. Penyebab Inkompatibilitas


Inkompatibilitas sel darah merah (inkompatibilitas ABO) terjadi oleh karena dua
hal :
Ketidakcocokan atau inkompatibilitas golongan darah ABO saat
melakukan transfusi sehingga terjadi reaksi hemolisis intravaskular akut.
Reaksi hemolisis intravaskular akut adalah reaksi yang disebabkan
inkompatibilitas sel darah merah (inkompatibilitas ABO). Antibodi dalam
plasma pasien akan melisiskan sel darah merah yang inkompatibel. Meskipun
volume darah inkompatibel hanya sedikit (10 – 50 ml), namun sudah dapat
menyebabkan reaksi berat. Semakin banyak volume darah yang inkompatibel
maka akan semakin meningkatkan risiko. Penyebab terbanyak reaksi
hemolisis intravaskular akut adalah inkompatibilitas ABO.5
Reaksi imunitas antara antigen dan antibodi pada ibu dan janin yang
dikandungnya. Inkompatibilitas pada golongan darah ABO terjadi jika ibu
golongan darah O mengandung janin golongan darah A atau B. Ibu yang
golongan darah O secara alamiah mempunyai antibody anti-A dan anti-B pada
sirkulasinya.6Jika janin mempunyai golongan darah A atau B, eritroblastosis
dapat terjadi. Sebagian besar secara alamiah, membentuk antiA atau anti-B
berupa antibody IgM (Immunoglobulin M) yang tidak melewati plasenta.
Beberapa ibu juga relative mempunyai kadar IgG (Immunoglobulin G) anti-A
atau anti-B yang tinggi dan berpotensial menyebabkan eritroblastosis karena
melewati plasenta. Ibu golongan darah O mempunyai kadar IgG anti-A lebih

6
tinggi daripada ibu golongan darah B dan mempunyai kadar IgG anti-B lebih
tinggi daripada ibu dengan golongan golongan darah A. Dengan demikian,
penyakit hampir selalu terjadi bila golongan darah O. Penyakit jarang terjadi
bila ibu golongan darah A dan bayi golongan darah B. Kehamilan pertama
sering terkena sensitisasi ibu tejadi sejak awal kehidupan melalui kontak
dengan antigen A dan B. Penyakit tidak memburuk pada kehamilan kedua
atau lebih yang juga terkena dan jika ada penyakitnya cenderung menjjdi lebih
ringan.7

2.4. Patofisiologi Inkompatibilitas


1. Reaksi hemolisis transfusi
Reaksi hemolitik akibat transfusi dibagi menjadi dua kelompok yaitu
reaksi hemolitik yang disebabkan proses imun(immune mediated hemolysis)
yang terdiri dari reaksi hemolitik akut (acute hemolytic transfusion reaction,
AHTR) dan reaksi hemolitik lambat (delayed hemolytic transfusion reaction,
DHTR) dan nonimun (non-immunemediated hemolysis).8 Reaksi hemolitik
akut atau AHTR umumnya disebabkan oleh kesalahan dalam identifikasi
sampel darah resipien atau dalam pencocokan sampel darah resipien dan
donor (crossmaatch).9
Proses hemolitik terjadi di dalam pembuluh darah (intravaskular),
yaitu sebagai reaksi hipersensitivitas tipe II. Plasma donor yang mengandung
eritrosit dapat merupakan antigen (major incompatability) yang berinteraksi
dengan antibodi pada resipien yang berupa imunoglubulin M (IgM) anti-A,
anti-B, atau terkadang antirhesus.Pada reaksi hemolitik lambat atau DHTR
diawali dengan reaksi antigen berupa eritrosit donor dan respons antibodi yang
terjadi di intravaskuler dan berlanjut ke ekstravaskuler.Plasma donor yang
mengandung eritrosit berinteraksi dengan IgG dan atau C3b pada resipien.
Selanjutnya eritrosit yang telah diikat IgG dan C3b akan dihancurkan oleh
makrofag di hati. Jika eritrosit donor diikat oleh antibodi (IgG1atau IgG3)
tanpa melibatkan komplemen, maka ikatan antigen-antibodi tersebut akan
dibawa oleh sirkulasi darah dan dihancurkan di limpa.10

7
2. Reaksi imunitas antigen antibodi
Sistem penggolongan ABO merupakan satu-satunya yang memiliki
antigen dan antibodi sekaligus. Setiap individu mempunyai antibodi
(isohemagglutinins) dalam plasma darahnya dan antigen pada sel darah
merahnya (RBCs).11Golongan darah A memiliki antigen A dan antibodi anti-
B, golongan darah B memiliki antigen B dan antibodi anti-A. Golongan darah
AB memiliki antigen A dan antigen B tetapi tidak memiliki antibodi pada
serumnya. Golongan darah O tidah memiliki antigen pada permukaan
eritrositnya tapi memiliki antibodies anti-A dan antibodi anti-B.12

Pengecekan golongan darah berfungsi untuk mencegah reaksi transfusi


yang dapat menyebabkan inkompabilitas ABO antara pasien dan
pendonor.Inkompabilitas ABO dapet disebabkan karena interaksi antara
antigen dan antibodi yang menimbulkan aglutinasi.Aglutinasi berapa
perlekatan antara antigen yang terdapat pada permukaan RBCs dan antibodi
pada plasma sehingga menyebabkan suatu anyaman yang menyebabkan sel-
sel darah terjerat dan mengelompok.Aglutinasi ini terjadi melalui 2 tahap yaitu
perlekatan antigen dan antibodi saat pertama bertemu.Pada tahap ini aglutinasi
belum terjadi, tetapi hanya menyelubungi sel. Tahap kedua berupa
terbentuknya anyaman menimbulkan gumpalan (aglutinasi).Antibodi yang
berperan dalam reaksi antigen dan antibodi ini adalah IgM dan IgG.IgM
ukuranya lebih besar dan dapat mengaglutinasi sel-sel secara
langsung.Sedangkan IgG ukurannya lebih kecil dan tidak dapat secara
langsung mengaglutinasi sel-sel tetapi dapat menyelubungi atau
mensensitisasi sel-seldarah merah. Berdasarkan stadiumnya, aglutinasi yang
merupakan reaksi imunitas antigen antibodi:

1. Sensitasi. Perlekatan antibodi pada RBCs secara fisik. Sebelum


terjadi aglutinasi antibodi akan melakukan perlekatan dengan
antigen sehingga terbentuk kompleks antigen antibodi. Hal ini akan
tampak seperti RBCs dielubungi oleh antibodi.

8
2. Aglutinasi. Pada stadium ini, setelah terjadi sensitasi, akan
terbentuk jembatanjembatan yang antara sel-sel yang telah melekat
sehingga terjadi aglutinasi.11

2.5. Diagnosis Inkompatibilitas


Diagnosis ditegakkan dengan mengamati gejala yang ditunjukkan
pasien. Apabila gejala timbul saat transfusi darah dilakukan, maka segera
hentikan proses transfusi. Sebaiknya dilakukan anamensis terlebih dahulu
untuk menegakkan penyebab dan tingkat keparahan dari hemolisis
intravaskular. Anamnesis yang dianjurkan seperti riwayat anemia pada
keluarga, riwayat penyakit terakhir atau kondisi medis tertentu, konsumsi
obat-obatan, paparan zat kimia, dan penggunaan artificial heart valve atau alat
medis lainnya yang kemungkinan merusak sel darah merah. Setelah
anamnesis, kemudian pemeriksaan fisik dilakukan untuk melihat tanda dan
gejala hemolisis intravascular. Manifestasi klinik yang kemungkinan muncul
seperti :
- Jaundice (kekuningan pada kulit dan mata)
- Tachycardia atau arrhythmia,
- Tachypnea atau pernafasan yang tidak teratur,
- Pembesaran organ spleen, dan
- Pendarahan dalam (internal bleeding).

Setelah itu, diagnosis dapat dilanjutkan dengan melakukan beberapa tes. Beberapa
tes yang digunakan untuk mendiagnosis inkompatibilitas ABO adalah:

1. Pemeriksaan Darah Lengkap


Pemeriksaan darah lengkapdilakukan untuk memeriksa kadar
hemoglobin, hematocrit, sel darah merah, sel darah putih, dan platelet
dalam darah. Hasil yang abnormal menunjukkan kemungkinan hemolisis,
kelainan darah, atau infeksi.Namun perlu diperhatikan bahwa nilai normal
dari komponen darah tersebut bervariasi antara individu yang berbeda ras

9
atau etnik. Pemeriksaan DL juga dilakukan untuk melihat Mean
Corpuscular Volume (MCV) atau rata-rata ukuran sel darah merah sebagai
data penunjang dalam menentukan kemungkinan penyebab anemia.12

2.Pemeriksaan Urin Lengkap


Pemeriksaan urin lengkap dilakukan sebagai pemeriksaan
penunjang dengan menemukan hemoglobin pada sampel urin. Apabila
terjadi lisis sel darah merah intravaskular, hemoglobin yang berada di
plasma darah akan diikat oleh haptoglobin, hemopexin, dan albumin.
Namun apabila kapasitas hemoglobin melebihi protein pengikatnya, maka
hemoglobin bebas akan diabsorbsi di tubulus renalis. Apabila kapasitas
hemoglobin bebas melebihi yang dapat diabsorbsi, maka hemoglobin
dapat ditemukan dalam urine. Hal ini mengindikasikan bahwa telah terjadi
lisis sel darah merah yang sangat banyak sebagai akibat dari
inkompatibilitas ABO pada sel darah merah.7

3. Pemeriksaan Golongan Darah ABO Rhesus Menggunakan


ABD PAD
Berdasarkan sistem ABO, ada 4 jenis golongan darah sesuai
dengan jenis antigen dan antibodi yang dimiliki masing – masing
golongan. Individu dengan golongan darah A memiliki antigen A pada sel
darah merahnya dan antibodi B dalam plasmanya. Individu dengan
golongan darah B memiliki antigen B dan antibodi A, sedangkan individu
golongan darah AB mempunyai antigen A maupun antigen B dan tidak
memiliki antibodi A dan B dalam plasmanya. Individu dengan golongan
darah O tidak memiliki antigen A maupun B tetapi mempunyai antibodi A
dan B dalam plasmanya (Gambar 2).8-14

10
Gambar 2. Golongan darah ABO9
(Sumber Cooling, L. ABO, H, and Lewis blood groups and structurally related antigens. In: Fung, M.,
Grossman, B.J., Hillyer, C.D., Westhoff, C.M., eds. Technical manual. 18th edition. Bethesda, MD:
AABB. 2014)

Metode pemeriksaan golongan darah ada dua macam yaitu metode


ABO typing (forward grouping) dan ABO serum testing (reverse
grouping). Metode forward grouping bertujuan mendeteksi antigen A, dan
B menggunakan sampel darah. Sedangkan metode reverse grouping
bertujuan mendeteksi antibodi A, B, dan O menggunakan sampel serum
atau plasma. Pemeriksaan ini dapat menggunakan slide, tube, gel,
microplate, dan otomatik. 8,13,14,15,16,17,19
II. TUJUAN
Tujuan pemeriksaan skrining golongan darah adalah mendeteksi antigen
pada permukaan eritrosit menggunakan ABD PAD.

III. METODE
A. Pra Analitik118
1. Persiapan Pasien: Tidak membutuhkan persiapan khusus
2. Persiapan Sampel: Sampel darah EDTA/Heparin, dan darah kapiler
3. Alat dan Bahan
Alat
 Kaset ABD PAD
 Mikropipet

11
Gambar 3. Kaset ABD PAD18
(Sumber : M-TRAP® Technology is also used on ABTest Card® (page 32)

Bahan
a. Sampel darah EDTA/Heparin, darah kapiler
b. Buffer PAD

Gambar 4. Bahan Buffer PAD18


(Sumber : M-TRAP® Technology is also used on ABTest Card® (page 32)

B. Analitik
1. Prinsip Tes19
Prinsip tes metode ABD PAD yaitu sampel darah diteteskan ke
well kaset ABD PAD. Sampel darah yang mengandung antigen A, B,
dan D akan berikatan dengan antibodi monoklonal A, B, dan D
(antisera) yang diimobilisasi pada dasar membran yang menghasilkan
hemaglutinasi yang postif, sebaliknya reaksi aglutinasi yang tidak
terjadi hasilnya negatif.

Gambar 5. Reaksi antigen antibody pada dasr membrane ABD PAD18


(Sumber : M-TRAP® Technology is also used on ABTest Card® (page 32)

12
2. Prosedur Kerja19
a. Teteskan 1 tetes buffer PAD ke well kaset ABD PAD untuk
menghidrasi antisera

b. Teteskan 1 tetes sampel darah ke well ABD PAD

c. Kemudian tambahkan lagi buffer PAD ke well yang telah terisi


buffer PAD dan sampel darah

d. Setelah 30 detik hasil dapat dibac

C. Pasca Analitik19

1. Interpretasi:
Hasil Positif : berwarna merah

13
Hasil Negatif : berwarna hijau

Tabel 1. Interpretasi Golongan Darah8,9,18

A B D Golongan Darah
Positif Negatif Positif A Rhesus D
positif
Negatif Positif Positif B Rhesus D
positif
Positif Positif Positif AB Rhesus D
positif
Negatif Negatif Positif O Rhesus D
positif

2. Kelebihan dan Kekurangan19


A. Kelebihan
a) Cepat
b) Aman
c) Terstandarisasi
d) Dapat dibawa dan digunakan di mana saja
e) Penyimpanan pada suhu 250C – 40 0C
f) Tes dapat dilakukan sebanyak 150 sampel dalam waktu 1 jam
B. Kekurangan
a) Efektifitas hasil tes sangat dipengaruhi oleh kondisi
penyimpanan kit
b) Hasil error bisa terjadi karena kesalahan teknik dan prosedur

14
4. Skrining Antibodi dengan Metode Manual

Skrining antibodi adalah suatu pemeriksaan yang dilakukan untuk


mendeteksi antibodi donor yaitu antibodi ireguler atau unexpected
antibodies(antibodi donor yang tak terduga)selain antibodi dalam sistem
ABO. .Pada keadaan normal, dalam serum atau plasma hanya terdapat anti
A dan anti B, tergantung pada antigen yang dimiliki individu. Selain
antibodi A, B merupakan Unexpected Antibodies yang terdiri dari dua
jenis, yaitu alloantibodi dan autoantibodi. Alloantibodi adalah antibodi
yang di produksi terhadap alloantigen yang masuk ke dalam tubuh melalui
transfusi atau kehamilan. Autoantibodi adalah antibodi yang bekerja
melawan antigen tubuh seseorang. Dengan kata lain, autoantibodi
merupakan antibodi yang menyerang antigennya sendiri. Oleh karena itu,
autoantibodi merupakan antibodi berbahaya yang tidak dapat membedakan
antigen dirinya sendiri dan antigen luar. Autoantibodi merupakan
penyebab penyakit autoimun.20-23
Skrining antibodi dapat dilakukan dengan metode manual atau
dengan menggunakan alat otomatis. Skrining antibodi secara otomatis
memiliki keuntungan hasil yang cepat, dan tidak membutuhkan alat dan
bahan habis pakai yang banyak. Untuk skrining metode manual juga
memiliki keuntungan dan kekurangan. Salah satu kekurangannya adalah
membutuhkan waktu yang lebih lama daripada metode automatis. Serta
membutuhkan alat dan bahan habis pakai yang lebih banyak. 20-24
skrining antibodi menggunakan metode manual, yaitu dengan
metode tabung. Skrining antibodi dilakukan dengan cara melakukan
pengujian serum resipien terhadap dua atau tiga set sel skrining. Sel
skrining merupakan golongan darah O yang sudah diketahui profil antigen
atau fenotip sel darah merahnya. Golongan darah O digunakan karena
secara alami tidak mengandung anti-A dan anti-B yang dapat mengganggu
deteksi Unexpected Antibodies.20-24
Skrining antibodi umumnya dilakukan dalam tiga fase, yaitu fase
medium salin (Immediate Spin), fase enzim (pada suhu 37C) dan fase
Anti Human Globulin (AHG). Bila ditemukan hasil skrining antibodi

15
positif harus dilanjutkan dengan identifikasi antibodi untuk memastikan
antibodi yang terdapat dalam serum/plasma pasien/donor.20-24

II. TUJUAN
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mendeteksi antibodi sel darah merah
selain antibody anti-A atau anti-B atau“Unexpected Antibodies”
METODE
A. Pra analitik20,21
1. Persiapan pasien
Tidak perlu persiapan khusus
2. Persiapan sampel
Sampel yang digunakan pada pemeriksaan ini adalah sampel serum atau
plasma.
3. Alat dan bahan
a. Tabung reaksi
b. Pipet
c. Sentrifus
d. Inkubator
e. Sampel serum/plasma
f. Reagen Anti Human Globulin(AHG), larutan salin,
g. Sel panel

B. Analitik19, 20
1. Prinsip tes
Skrining antibodi akan mengetes serum atau plasma pasien dengan
2 atau 3 jenis sel panel yang sudah diketahui komposisi antigennya.
Pemeriksaan dilakukan pada beberapa fase, antara lain fase medium salin

atau immediate spin, fase enzim pada suhu 37 oC dan fase Anti Human
Globulin (AHG). Apabila serum pasien mengandung antibodi yang sesuai
dengan antigen yang terdapat pada sel panel, maka akan terjadi aglutinasi
atau hemolisis yang mengindikasikan hasil tes positif. Reaksi positif pada
setiap fase menunjukkan adanya alloantibody atau autoantibody dalam

16
serum. Fase salin akan mengidentifikasi cold antibodies (anti-M, anti-N,

anti-Lea, anti-Leb, anti-P). Fase enzim akan mendeteksi anti-Rh, Lewis


dan Kidd. Fase AHG mengidentifikasi antibodi jenis IgG dan komplemen.

Gambar 1. Prinsip tes skrining metode capture


2. Cara kerja
Cara kerja atau prosedur pemeriksaan dibagi menjadi tiga fase, yaitu;
a. Fase salin atau Immediate Spin
1. Siapkan 12 tabung (untuk 11 sel panel, 1 tabung untuk
autokontrol), kemudian beri label pada masing-masing tabung
2. Teteskan 2 tetes serum pasien ke dalam tabung
3. Tambahkan masing-masing 1 tetes sel panel pada 11 tabung,
tambahkan 1 tetes suspense sel pasien ke dalam tabung nomor 12
4. Campur dengan baik dan inkubasi pada suhu ruang selama 1 jam
5. Lakukan sentrifugasi dengan kecepatan 1000 rpm selama 1 menit
6. Goyangkan tabung dan baca ada tidaknya hemolysis atau aglutinasi
7. Catat hasil yang didapat pada kartu sel panel yang sudah disiapkan
b. Fase inkubasi pada suhu 37C
1. Tambahkan 1 tetes enzim papain pada masing-masing tabung fase
salin

17
2. Campur dengan baik dan inkubasi pada suhu 37 selama 1 jam
3. Lakukan sentrifugasi dengan kecepatan 1000 rpm selama 1 menit
4. Goyangkan tabung dan baca ada tidaknya hemolysis atau aglutinasi
5. Catat hasil yang didapat pada kartu sel panel yang sudah disiapkan
c. Fase Anti Human Globulin(AHG)
1. Lakukan pencucian 3x dengan normal salin pada kedua belas
tabung yang digunakan pada fase enzim.
2. Tambahkan 2 tetes reagen AHG, eritrosit yang tersentisasi akan
diikat oleh antibodi pada AHG
3. Lakukan sentrifugasi dengan kecepatan 1000 rpm selama 1 menit
4. Goyangkan tabung dan baca ada tidaknya hemolisis atau aglutinasi
5. Catat hasil yang didapat pada kartu sel panel yang sudah disiapkan

Gambar 2.Prosedur pemeriksaan skrining dan identifikasi antibodi21

18
C. Pasca analitik20,21
1. Interpretasi Hasil
Aglutinasi atau hemolisis pada pemeriksaan skrining antibodi
menyatakan hasil positif (Gambar 4). Antibodi kelas IgM umumnya
bereaksi pada suhu kamar atau suhu yang lebih rendah dan mampu
menyebabkan aglutinasi pada eritrosit yang disuspensi pada medium salin
(fase salin/ Immediate Spin). Antibodi kelas IgG bereaksi baik pada fase
AHG dan menyebabkan aglutinasi. Pada fase inkubasi, umumnya IgG dan
IgM yang mengaktivasi komplemen. (Tabel 1)

+4 +3 +2 +1 0

Gambar 3. Derajat positif pada pemeriksaan skrining antibody metode


tabung21

Tabel 1. Jenis Antibodi yang bereaksi optimal pada masing-masing fase


pemeriksaan skrining antibodi.21

Fase Immediate Spin Inkubasi 37C AHG

Cold auto Potent cold Antibodi


antibodies (I, antibodies Rhesus
H, IH) (khususnya yang
menyebabkan
Jenis antibodi Lea, Leb hemolysis) Kell

19
M, N Beberapa warm Duffy
P1 antibodies; jika Kidd
Lua titernya tinggi S,s
(missal: D,E,K) Lu
Xg
Kelas IgM Umumnya IgG, IgG
immunoglobin IGM yang
mengaktivasi
komplemen
Bermakna secara Tidak Ya Ya
klinis

5. Pemeriksaan cross match metode gel

Prinsip pemeriksaan cross match metode gel adalah penambahan


suspensi sel dan serum atau plasma dalam microtube yang berisi gel di
dalam buffer berisi reagen (Anti-A, Anti-B, Anti-D, enzim, Anti-Ig G,
Anti komplement). Microtube selanjutnya diinkubasi selama 15 menit
pada suhu 37C dan disentrifus. Aglutinasi yang terbentuk akan
terperangkap di atas permukaan gel. Aglutinasi tidak terbentuk apabila
eritrosit melewati pori-pori gel, dan akan mengendap di dasar microtube.24

Keterangan gambar :
A. 4+: Aglutinasi sel darah merah membentuk garis di atas
microtube gel.
B. 3+: Aglutinasi sel darah merah kebanyakan berada diatas
setengah dari microtube gel.

20
C. 2+: Agutinasi sel darah merah terlihat di sepanjang microtube
gel.
D. 1+: Aglutinasi sel darah merah berada di bawah setengah dari
microtube gel
E.-:Aglutinasi semua sel darah merah lolos dibagian bawah
microtube gel.Metoda gel merupakan metode untuk mendeteksi reaksi sel
darah merah dengan antibodi. Metode gel akan lebih cepat dan
mempunyai akurasi tinggi dibandingkan dengan metode tabung. 26

No Mayor Minor AC / DCT Kesimpulan

1. - - - Darah dapat disalurkan

Periksa sekali lagi golongan darah


pasien, apakah sudah sama dengan
2. + - - donor, apabila golongan darah sudah
sama, berarti terdapat antibodi ireguler
pada serum pasien  Ganti darah donor

3. - + - Ganti Darah Donor

Apabila derajat positif pada minor ≤


derajat positif pada AC / DCT  Darah
4. - + +
boleh disalurkan  INFORMED
CONCENT

 Periksa ulang golongan darah


pasien maupun donor,
bandingkan derajat positif AC
5. + + + dengan minor

 Positif Mayor  Ganti darah


donor

6. Pemeriksaan Coomb’s Test


Percobaan Coombs mencari adanya antiglobulin. Jika semacam antibodi
melekat pada eritrosit yang mengandung antigen, maka antibodi yang spesifik
terhadap antigen itu mungkin menyebabkan eritrosit-eritrosit bergumpal

21
(aglutinasi). Globulin merupakan antibodi penghalang (blocking antibodies) atau
antibodi tak lengkap (incomplete antibodies). Pada konsentrasi tinggi antibodi ini
melapisi eritrosit tetapi tidak dapat mengaglutinasikannya dalam larutan salin.
Anti human globulin akan bereaksi dengan setiap globulin manusia. Karena
itu penting bahwa semua globulin bebas harus dibuang dari sel darah merah
dengan pencucian yang bersih sebelum penambahan anti human globulin. Sisa
globulin serum dalam larutan akan bergabung dengan anti human globulin
mengakibatkan anti human globulin tidak mampu lagi mengaglutinasi sel yang
telah disensitisasi, dan menyebabkan suatu tes Coombs negatif yang salah (false
negative).
Tes Coombs langsung (Direct Coombs Test / DCT) digunakan untuk
mendeteksi antibodi atau komplemen pada permukaan sel darah merah dimana
sensitisasi telah terjadi secara invivo. Reagen anti human globulin ditambahkan
pada sel darah merah yang telah dicuci dan aglutinasi menunjukkan tes positif.
Tes Coombs tidak langsung (Indirect Coombs Test / ICT) digunakan untuk
mencari adanya antibodi irregular (inkomplit) dalam serum. Terlebih dahulu
dilakukan pelapisan eritrosit-eritrosit normal bergolongan O (atau eritrosit-
eritrosit yang golongannya sesuai dengan serum yang diperiksa) dengan serum
yang diketahui atau tersangka mengandung antibodi penghalang. Langkah
berikutnya ialah membuktikan adanya antibodi tersebut dengan menggunakan
Serum Coombs.

A. TES COOMBS LANGSUNG (DIRECT COOMBS TEST)


I. PRINSIP
Antigen + Antibodi Inkomplit (pada eritrosit pasien) + Serum Coombs
serum → Aglutinasi (+).
II. TUJUAN
Untuk mendeteksi antibodi yang coated (melekat / menyelimuti) pada
eritrosit pasien dan terjadi secara invivo (di dalam tubuh).
III. METODE
A. PRA ANALITIK
Alat dan Bahan :

22
a. Tabung Serologi
b. Pipet Tetes
c. Sentrifuge
d. Kaca Objek
e. Mikroskop
f. Medium Salin (NaCl 0,9 %)
g. Serum Coombs (Anti Human Globulin)
h. Contoh Darah Pasien

B. ANALITIK
Cara Kerja :
a. Siapkan suspensi eritrosit 5 % dalam salin dari contoh darah pasien.
b. Sediakan 2 buah tabung, isi masing-masing tabung dengan 1 tetes suspensi
eritrosit 5 % (pasien).
c. Lakukan pencucian dengan salin sebanyak 3 kali.
d. Pada tabung I (tes) tambahkan 2 tetes Serum Coombs, pada tabung II (kontrol)
tambahkan 2 tetes salin. Kemudian sentrifuge dengan kecepatan 3000 rpm selama
15 detik.
e. Baca secara makroskopis dan mikroskopis.

C. PASCA ANALITIK
Interpretasi :
 Direct Coombs Test (DCT) positif (+), artinya terdapat sel coated secara
invivo pada eritrosit pasien. Biasanya terjadi pada penderita AIHA (Auto-
Immune Haemolytic Anemia), HDN (Haemolytic Disease of Newborn),
dan orang yang mendapat transfusi darah dengan Rhesus yang berbeda.
 Direct Coombs Test (DCT) negatif (-), artinya tidak terdapat sel coated
secara invivo.

B. TES COOMBS TIDAK LANGSUNG (INDIRECT COOMBS TEST)


I. PRINSIP

23
Antigen + Antibodi Inkomplit (pada serum donor / pasien) + Serum
Coombs → Aglutinasi (+).
II. TUJUAN
Untuk mendeteksi antibodi yang coated (melekat / menyelimuti) pada
eritrosit dan terjadi secara invitro (di luar tubuh).
III. METODE
A. PRA ANALITIK
Alat dan Bahan :
a. Tabung Serologi
b. Pipet Tetes
c. Sentrifuge
d. Kaca Objek
e. Mikroskop
f. Larutan Salin (NaCl 0,85 % - 0,9 %)
g. Serum Coombs (Anti Human Globulin)
h. Contoh Darah

B. ANALITIK
Cara Kerja :
a. Siapkan serum dari contoh darah yang akan di periksa.
b. Siapkan pula suspensi eritrosit 5 % dalam salin dari contoh darah dan suspensi
sel darah O. − Siapkan 2 tabung, isi masing masing tabung 2 tetes plasma/serum.
c. Tabung I teteskan 1 tetes susp sel O, tabung II suspensi sampel. − Putar 3000
rpm selama 15 detik baca reaksi.
d. Apabila negatif lanjutkan, tambahkan bovine albumin 22% sebanyak 2 tetes ke
masing-masing tabung.
e. Inkubasi pada suhu 37⁰C selama 15 menit.
f. Putar 3000 rpm selama 15 detik baca reaksi.
g. Bila negative lakuakan pencucian dengan saline 3x.
h. Tambahkan ke masing-masing tabung 2 tetes AHG.
i. Putar 3000 rpm selama 15 detik baca reaksi secara makroskpis dan mikroskopis.
j. Bila negatif, validasi dengan CCC.

24
C. PASCA ANALITIK
Interprestasi hasil :
 Apabila hasil ICT positif : adanya antibody yang coated pada sel darah
merah secara invitro.
 Apabila hasil ICT negatif : tidak adanya antibody yang coated pada sel
darah merah secara invitro.27

5.6. Penatalaksanaan Inkompatibilitas


Secara umum, penatalaksanaan yang perlu dilakukan pada kasus
inkompatibilitas ABO adalah pemberian obat yang bersifat meredakan
reaksi alergi, seperti antihistamin; obat yang menurunkan reaksi inflamasi
seperti steroid; pemberian cairan fisiologis secara intravena; serta
pemberian obat yang menaikkan tekanan darah seperti epinefrin apabila
penurunan tekanan darah terjadi secara drastis.28,29
Pada kasus inkompatibilitas ABO yang terjadi pada transfusi
darah, hal pertama yang perlu dilakukan tenaga kesehatan adalah
menghentikan transfusi secepatnya lalu memberikan infus cairan salin
yang bertujuan menghindarkan penderita mengalami kegagalan ginjal,
pembekuan darah berkepanjangan, dan penurunan tekanan darah yang
drastic. Selain itu, perlu juga dilakukan pemberian oksigen yang cukup
untuk penderita dan juga obat yang dapat menstimulasi pengeluaran urine.
Apabila penderita memiliki kecenderungan untuk mengalami pembekuan
darah yang menyebar, sebaiknya mendapatkan transfusi plasma atau
trombosit.28
Pada inkompatibilitas ABO yang terjadi pada neonatus,
penatalaksanaan secara umum dibagi menjadi 2 yakni farmakologi dan
non farmakologi. Penatalaksanaan farmakologi adalah pemberian obat
pengikat bilirubin. Pemberian oral arang aktif atau agar menurunkan
secara bermakna kadar bilirubin rata-rata selama 5 hari pertama setelah
lahir pada bayi sehat, tetapi potensi terapeutik modalitas ini belum diteliti

25
secara ekstensif. Penatalaksanaan non farmakologi yaitu menggunakan
fototerapi. Fototerapi saat ini masih menjadi modalitas terapeutik pada
bayi dengan ikterus dan merupakan terapi primer pada neonatus dengan
hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi.29

2.7. Prognosis Inkompatibilitas


Secara keseluruhan angka survival dapat mencapai 85-90%, namun
dapat berkurang sebanyak 15% pada janin yang mengalami hidrops
fetus.Kebanyakan janin yang bertahan hidup dari gestasi allo-imunisasi,
tetap memiliki keutuhan fungsi neurologis. Walau begitu, abnormalitas
neurologis telah dilaporkan berkaitan denganderajat beratnya anemia dan
asfiksia perinatal.30

26
BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Sistem golongan darah ABO merupakan sistem golongan darah


yangterpenting dalam transfusi.Sistem penggolongan darah ini adalah
yang palingimunogenik dari semua antigen golongan darah3.Secara umum,
ketidaksesuian atau inkompatibilitas dalam konteksgolongan darah ini
disebabkan oleh pengikatan antibodi plasma dengan antigensel darah
merah, sehingga menyebabkan reaksi. Dalam tes laboratorium reaksi
iniadalah yang paling umumnya divisualisasikan dengan aglutinasi dari
sel-selmerah.Inkompatibilitas dapat dibedakan menjadi dua yaitu
inkompatibilitas ABOdan inkompatibilitas Rhesus.Inkompatibilitas ABO
adalah kondisi medis dimanagolongan darah antara ibu dan bayi berbeda
sewaktu masa kehamilan. Terdapat 4 jenis golongan darah, yaitu A, B, AB
dan O. Golongan darah ditentukan melaluitipe molekul (antigen) pada
permukaan sel darah merah4. Penyebab dari Inkompatibilitas ini
disebabkan karena Ketidakcocokan atau inkompatibilitas golongan darah
ABO saat melakukan transfusi sehingga terjadi reaksi hemolisis
intravaskular akut5 dan Reaksi imunitas antara antigen dan antibodi pada
ibu dan janin yang dikandungnya7
Inkompatibilitas dapat ditegakkan diagnosisnya dengan melihat
gejala klinis, dan melalui pemeriksaan lab seperti darah lengkap dan
pemeriksaan urin.Pada pemeriksaan urin nantinya jika didapatkan adanya
hemoglobin bebas Hal ini mengindikasikan bahwa telah terjadi lisis sel
darah merah yang sangat banyak sebagai akibat dari inkompatibilitas ABO
pada sel darah merah.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Harmening DM, Forneris G, Tubby BJ. Modern Blood Banking and


Transfusion Practise. FA Davis. 2012;6: 119-120.
2. Engla Merizla, Herlina, Meri Suzane. Kesadaran Pengetahuan Terhadap
Golongan Darah Berdasarkan Status Ekonomi Keluarga Di SMA
Muhammadiyah 23 Dan Smun 44 Jakarta. 2019 April : Vol. 02, No.1, pp.
62-68
3. Mitra R, Mishra N, Rath GR. Blood Groups System. 2014 Sep. [diakses
tanggal 10 Maret 2017]. Tersedia:
https://www.ncbI.nlm.nIh.gov/pmc/articles/ PMC4260296/
4. Joyce Poole, International Blood, and Group Reference, „Blood Group
Incompatibility‟, 2010.
5. Khusna N. Faktor Risiko Neonatus Bergologan Darah A atau B Dari Ibu
Bergolongan Darah O Terhadap Kejadian Hiperbilirubinemia. 2013.
Hal:4-6.
6. Nartono K. Inflamasi plasenta sebagai faktor ikterogenik neonatal pada
inkompatibilitas golongan darah ABO ibu-janin. Jakarta: Universitas
indonesia. 2013.
7. Ozcan M, Sevinç S, Erkan VB. Hyperbilirubinemia Due To Minor Blood
Group Incompatibility In New Born: A Case Report. Turkish Pediatric
Association. 2017. Turki.
8. Ni Kadek M, I Wayan P.S.Y. Pemeriksaan Golongan Darah ABO. Dalam :
Laboratorium Pra Transfusi Up Date. 2016 ; 24 – 26
9. Cooling, L. ABO, H, and Lewis blood groups and structurally related
antigens. In: Fung, M., Grossman, B.J., Hillyer, C.D., Westhoff, C.M.,
eds. Technical manual. 18th edition. Bethesda, MD: AABB. 2014 :291-
315
10. Najwa Zamalek D. Dasar – Dasar Imunohematologi Transfusi Darah.
Dalam : Dasar – Dasar Transfusi Darah. 2014 ; 1 – 32
11. Nina Susana D. Golongan Darah, Pemeriksaan dan Permasalahannya.
Dalam : Dasar – Dasar Transfusi Darah. 2014 ; 33 – 56

28
12. Geoff Daniels. ABO, H, and Lewis Systems. In : Human Blood Groups. 3th
edition. USA. 2013
13. Dariush F. H & Marjan Z. Y. A Brief History of Human Blood Groups.
Iranian Journal of Public Health. 2013 : 1 – 6
14. Perwitasari E, dkk. Gambaran Hasil Screening Alloantibodi pada Pasien
Transfussion Dependent Thalasemia di RSUP Dr. Hasan Sadikin,
Bandung. Bandung ; Departemen Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran
Universitas Padjajaran RSUP Dr. Hasan Sadikin. Oktober 2017
15. Duguid, JKM. Use of Column Technology in Blood Transfussion. The
Academic Harwood Publisher Group. Malaysia, 2016
16. Dzieczkpwski JS, Tiberghien P, Anderson KC. Transfusion Biology and
Therapy. In ; Harison‟s Principle of Internal Medicine. 20th ed. United
States : Mc Graw Hill. 2018 ; 16 – 809
17. Jaime-Pérez JC, Almaguer-Gaona C. 2016. Rediscovering the Coombs
Test. In : Medicina Universitaria Journal. Med Univ. 2016;18(72): 185-6.
Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.rmu.2016.07.001
18. Sanguin Blood Supply. User Instruction Blood group serology products,
2016
19. Diagast. ABD PAD Procedure. 2018 ; 4 – 5
20. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.. Skrining dan Identifikasi
Antibodi. Imunohematologi dan Bank Darah. 2018. Jakarta: Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia
21. Mulyantari, N. K. Pemeriksaan skrining dan identifikasi antibodi.
Laboratorium pratransfusi update. Udayana University Press. 2016.
22. Friedman, M. T., West, K. A., Bizargity, P. Basic Single Antibody
Identification: How Hard Can It Be?. Immunohematology and Transfusion
Medicine A Case Study Approach. Switzerland : Springer International
Publishing. 2016;1-4.
23. Klein, H. G., Anstee, D. J. Blood Grouping Techniques. Mollison‟s Blood

Transfusion in Clinical Medicine 12th Edition. UK: Wiley- Blackwell.


2014; 303-347

29
24. Trudell, K.S. Detection and Identification of Antibodies. In: Harmening,
D.M.Modern Blood Banking & Transfusion Practices Sixh Edition. United
States of America: F. A. Davis Company. 2014; 216-240.
25. MJAFI. Comparive study of blood crossmatching using convensional and
gel method. 2008
26. Setyati J, Soemantri A, Transfusi Darah Yang Rasional. Pelita Insani
Semarang. 2010; 1,24-27,115-131
27. Maharani Eva A, Noviar G. Bahan Ajar Teknologi Laboratorium Medik
(TLM) Imunohematologi dan Bank Darah. Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia. 2018; 297-01
28. Todd G. ABO incompatibility. 2015. [diakses pada 11 Maret 2017]
Tersedia di https://medlineplus.gov/ency/article/001306.htm
29. David C. Times health guide: ABO incompatibility. 2012. [diakses pada
11 Maret 2017] Tersedia di http://www.nytimes.com/health/guides/
disease/abo-incompatibility/overview.html
30. Wagle S. Hemolytic disease of newborn. Medscape 2013 May 2.
Available from URL http://emedicine.medscape.com/article/974349-
overview

30

Anda mungkin juga menyukai