JULI 2020
Disusun Oleh:
Pembimbing Residen :
dr. Ullifannuri Rachmi
Supervisor :
Prof. dr. Mansyur Arif, Ph.D., Sp.PK(K)., MARS
i
LEMBAR PENGESAHAN
Residen Pembimbing
Supervisor Pembimbing
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...........................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA........................................................................3
2.1 DefinisiSistem ABO .............................................................................3
2.2 Pengertian Inkompatibilitas Golongan Darah .......................................4
2.3 Penyebab Inkompatibilitas ....................................................................6
2.4 Patofisiologi Inkompatibilitas ...............................................................7
2.4.1 Reaksi Hemolisis Transfusi ........................................................7
2.4.2. Reaksi Imunitas Antigen Antibodi .............................................7
2.5 Diagnosis Inkompatibilitas ...................................................................9
2.5.1. Pemeriksaan Darah Lengkap .....................................................9
2.5.2. Pemeriksaan Urin Lengkap .........................................................9
2.6 Penatalaksanaan Inkompatibilitas ........................................................10
2.7 Prognosis Inkompatibilitas ...................................................................11
BAB III KESIMPULAN .....................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................13
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Pada abad ini kemajuan teknologi dan ilmu biologi molekuler sangat
membantu manusia dalam melangsungkan kehidupannya, khususnya pada
bidang kesehatan.Dampak yang bisa diihat dari kemajuan tersebut adalah
munculnya berbagai sistem pemeriksaan yang menunjang para klinisi untuk
mendapatkan hasil pemeriksaan fisiologi tubuh maupun menentukan diagnosis
yang tepat terhadap suatu kelainan patologis pada tubuh manusia.Salah satu
sistem pemeriksaan yang bernilai vital bagi keberlangsungan hidup pasien
adalah sistem penggolongan darah ABO. Sistem ABO adalah sistem
penggolongan darah yang didasarkan pada keberadaan antigen dan antibodi
pada tubuh manusia.Secara singkat antigen adalah suatu substansi yang ada di
permukaan sel darah merah atau eritrosit yang menjadi penentu golongan
darah. Pada sistem ABO dikenal ada dua antigen yang dapat menentukan
golongan darah, yaitu antigen A dan antigen B. Sementara itu antibodi dapat
ditemukan pada serum darah manusia yang mana pada penggolongan darah
secara ABO tidak mungkin pada suatu tubuh seseorang terdapat antigen dan
antibodi yang sejenis karena dapat berakibat fatal. Dengan adanya sistem
penggolongan darah ABO ini diharapkan dapat memudahkan para klinisi
untuk menentukan darah yang cocok pada pasien jika terjadi suatu keadaan
yang mengharuskan pasien mendapat donor darah dari orang lain.1
Namun pada kenyataannya sistem penggolongan darah ABO tidak
selalu berjalan sesuai yang diharapkan. Masalah yang kerap timbul dalam
sistem ABO adalah inkompatibilitas sistem ABO atau ketidakcocokan sistem
ABO. Inkompatibilitas dapat terjadi karena kesalahan individual yaitu oleh
petugas kesehatan seperti :perawat, plebotomis, atau analis laboratorium.
Disamping itu, inkompatibiliti juga dapat terjadi karena adanya reaksi antigen
terhadap antibodi yang sejenis.Jika terjadi inkompatibiliti akan terjadi hal
yang signifikan secara klinis dan perlu diwaspadai khususnya pada praktisi
1
klinis, mengingat darah merupakan bagian vital pada tubuh manusia.
Mengetahui pentingnya penguasaan mengenai sistem penggolongan darah
ABO dan masalah yang dapat timbul, penulis akan membahas secara lebih
rinci pada bab selanjutnya.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
kecuali sistem peredaran darah dari individu-individu ini telah terpapar sel
darah merah D-positif. Antibodi dari Rh sistem ini merupakan Imunoglobulin
G (IgG) yang dapat melewati plasenta, sehingga profilaksis diberikan terhadap
imunisasi Rh menggunakan Ig anti-D untuk ibu hamil Rh-negatif yang telah
melahirkan anak Rh-positif.1,3
Sistem Kell adalah sistem antigen imunogenik paling penting ketiga
setelah ABO dan sistem Rh, dan ditandai oleh antibodi anti-K.Sistem Kell
bereaksi terhadap eritrosit bayi baru lahir yang mengakibatkan reaksi
hemolitik. Sejak itu 25 antigen Kell telah ditemukan. Anti-K antibodi
menyebabkan penyakit hemolitik parah pada janin dan bayi baru lahir
(HDFN) dan reaksi transfusi hemolitik (HTR).3
4
Golongan darah yang berbeda menghasilkan antibodi yang berbeda-
beda.Ketika golongan darah yang berbeda tercampur, suatu respon kekebalan
tubuhterjadi dan antibodi terbentuk untuk menyerang antigen asing di dalam
darah.Inkompatibilitas ABO seringkali terjadi pada ibu dengan golongan
darah O dan bayi dengan golongan darah baik A atau B. Ibu dengan golongan
darah Omenghasilkan antibodi anti-A dan anti-B yang cukup kecil untuk
memasuki sirkulasi tubuh bayi, menghancurkan sel darah merah janin.3
Penghancuran sel darah merah menyebabkan peningkatan
produksibilirubin, yang merupakan produk sisa. Apabila terlalu banyak
bilirubin yangdihasilkan, akan menyebabkan ikterus pada bayi. Bayi dengan
ikterus akanmemerlukan fototerapi atau transfusi ganti untuk kasus berat.
Apabila bayi tidakditangani, bayi akan menderita cerebral palsy. Sampai saat
ini, tidak adapencegahan yang dapat memperkirakan inkompatibilitas ABO.
Tidak sepertiinkompatibilitas Rh, inkompatibilitas ABO dapat terjadi pada
kehamilan pertama dan gejalanya tidak memburuk pada kehamilan
berikutnya.3,4
A A Anti-B
B B Anti-A
AB AB Tidak ada
5
kembalimelalui plasenta ke bayi yang sedang berkembang dan
4
menghancurkan sel-seldarah merah bayi.
Sel-sel darah merah yang dipecah menghasilkan bilirubin. Hal
inimenyebabkan bayi menjadi kuning (ikterus). Tingkat bilirubin dalam aliran
darahbayi bisa berkisar dari ringan sampai sangat tinggi. Karena butuh waktu
bagi ibuuntuk mengembangkan antibodi, bayi sulung jarang yang mengalami
kondisi ini,kecuali ibu mengalami keguguran di masa lalu atau aborsi yang
membuat pekasistem kekebalan tubuhnya. Namun, semua anak-anaknya
yangmemiliki Rh-positif dapat terpengaruh.4
6
tinggi daripada ibu golongan darah B dan mempunyai kadar IgG anti-B lebih
tinggi daripada ibu dengan golongan golongan darah A. Dengan demikian,
penyakit hampir selalu terjadi bila golongan darah O. Penyakit jarang terjadi
bila ibu golongan darah A dan bayi golongan darah B. Kehamilan pertama
sering terkena sensitisasi ibu tejadi sejak awal kehidupan melalui kontak
dengan antigen A dan B. Penyakit tidak memburuk pada kehamilan kedua
atau lebih yang juga terkena dan jika ada penyakitnya cenderung menjjdi lebih
ringan.7
7
2. Reaksi imunitas antigen antibodi
Sistem penggolongan ABO merupakan satu-satunya yang memiliki
antigen dan antibodi sekaligus. Setiap individu mempunyai antibodi
(isohemagglutinins) dalam plasma darahnya dan antigen pada sel darah
merahnya (RBCs).11Golongan darah A memiliki antigen A dan antibodi anti-
B, golongan darah B memiliki antigen B dan antibodi anti-A. Golongan darah
AB memiliki antigen A dan antigen B tetapi tidak memiliki antibodi pada
serumnya. Golongan darah O tidah memiliki antigen pada permukaan
eritrositnya tapi memiliki antibodies anti-A dan antibodi anti-B.12
8
2. Aglutinasi. Pada stadium ini, setelah terjadi sensitasi, akan
terbentuk jembatanjembatan yang antara sel-sel yang telah melekat
sehingga terjadi aglutinasi.11
Setelah itu, diagnosis dapat dilanjutkan dengan melakukan beberapa tes. Beberapa
tes yang digunakan untuk mendiagnosis inkompatibilitas ABO adalah:
9
atau etnik. Pemeriksaan DL juga dilakukan untuk melihat Mean
Corpuscular Volume (MCV) atau rata-rata ukuran sel darah merah sebagai
data penunjang dalam menentukan kemungkinan penyebab anemia.12
10
Gambar 2. Golongan darah ABO9
(Sumber Cooling, L. ABO, H, and Lewis blood groups and structurally related antigens. In: Fung, M.,
Grossman, B.J., Hillyer, C.D., Westhoff, C.M., eds. Technical manual. 18th edition. Bethesda, MD:
AABB. 2014)
III. METODE
A. Pra Analitik118
1. Persiapan Pasien: Tidak membutuhkan persiapan khusus
2. Persiapan Sampel: Sampel darah EDTA/Heparin, dan darah kapiler
3. Alat dan Bahan
Alat
Kaset ABD PAD
Mikropipet
11
Gambar 3. Kaset ABD PAD18
(Sumber : M-TRAP® Technology is also used on ABTest Card® (page 32)
Bahan
a. Sampel darah EDTA/Heparin, darah kapiler
b. Buffer PAD
B. Analitik
1. Prinsip Tes19
Prinsip tes metode ABD PAD yaitu sampel darah diteteskan ke
well kaset ABD PAD. Sampel darah yang mengandung antigen A, B,
dan D akan berikatan dengan antibodi monoklonal A, B, dan D
(antisera) yang diimobilisasi pada dasar membran yang menghasilkan
hemaglutinasi yang postif, sebaliknya reaksi aglutinasi yang tidak
terjadi hasilnya negatif.
12
2. Prosedur Kerja19
a. Teteskan 1 tetes buffer PAD ke well kaset ABD PAD untuk
menghidrasi antisera
C. Pasca Analitik19
1. Interpretasi:
Hasil Positif : berwarna merah
13
Hasil Negatif : berwarna hijau
A B D Golongan Darah
Positif Negatif Positif A Rhesus D
positif
Negatif Positif Positif B Rhesus D
positif
Positif Positif Positif AB Rhesus D
positif
Negatif Negatif Positif O Rhesus D
positif
14
4. Skrining Antibodi dengan Metode Manual
15
positif harus dilanjutkan dengan identifikasi antibodi untuk memastikan
antibodi yang terdapat dalam serum/plasma pasien/donor.20-24
II. TUJUAN
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mendeteksi antibodi sel darah merah
selain antibody anti-A atau anti-B atau“Unexpected Antibodies”
METODE
A. Pra analitik20,21
1. Persiapan pasien
Tidak perlu persiapan khusus
2. Persiapan sampel
Sampel yang digunakan pada pemeriksaan ini adalah sampel serum atau
plasma.
3. Alat dan bahan
a. Tabung reaksi
b. Pipet
c. Sentrifus
d. Inkubator
e. Sampel serum/plasma
f. Reagen Anti Human Globulin(AHG), larutan salin,
g. Sel panel
B. Analitik19, 20
1. Prinsip tes
Skrining antibodi akan mengetes serum atau plasma pasien dengan
2 atau 3 jenis sel panel yang sudah diketahui komposisi antigennya.
Pemeriksaan dilakukan pada beberapa fase, antara lain fase medium salin
atau immediate spin, fase enzim pada suhu 37 oC dan fase Anti Human
Globulin (AHG). Apabila serum pasien mengandung antibodi yang sesuai
dengan antigen yang terdapat pada sel panel, maka akan terjadi aglutinasi
atau hemolisis yang mengindikasikan hasil tes positif. Reaksi positif pada
setiap fase menunjukkan adanya alloantibody atau autoantibody dalam
16
serum. Fase salin akan mengidentifikasi cold antibodies (anti-M, anti-N,
17
2. Campur dengan baik dan inkubasi pada suhu 37 selama 1 jam
3. Lakukan sentrifugasi dengan kecepatan 1000 rpm selama 1 menit
4. Goyangkan tabung dan baca ada tidaknya hemolysis atau aglutinasi
5. Catat hasil yang didapat pada kartu sel panel yang sudah disiapkan
c. Fase Anti Human Globulin(AHG)
1. Lakukan pencucian 3x dengan normal salin pada kedua belas
tabung yang digunakan pada fase enzim.
2. Tambahkan 2 tetes reagen AHG, eritrosit yang tersentisasi akan
diikat oleh antibodi pada AHG
3. Lakukan sentrifugasi dengan kecepatan 1000 rpm selama 1 menit
4. Goyangkan tabung dan baca ada tidaknya hemolisis atau aglutinasi
5. Catat hasil yang didapat pada kartu sel panel yang sudah disiapkan
18
C. Pasca analitik20,21
1. Interpretasi Hasil
Aglutinasi atau hemolisis pada pemeriksaan skrining antibodi
menyatakan hasil positif (Gambar 4). Antibodi kelas IgM umumnya
bereaksi pada suhu kamar atau suhu yang lebih rendah dan mampu
menyebabkan aglutinasi pada eritrosit yang disuspensi pada medium salin
(fase salin/ Immediate Spin). Antibodi kelas IgG bereaksi baik pada fase
AHG dan menyebabkan aglutinasi. Pada fase inkubasi, umumnya IgG dan
IgM yang mengaktivasi komplemen. (Tabel 1)
+4 +3 +2 +1 0
19
M, N Beberapa warm Duffy
P1 antibodies; jika Kidd
Lua titernya tinggi S,s
(missal: D,E,K) Lu
Xg
Kelas IgM Umumnya IgG, IgG
immunoglobin IGM yang
mengaktivasi
komplemen
Bermakna secara Tidak Ya Ya
klinis
Keterangan gambar :
A. 4+: Aglutinasi sel darah merah membentuk garis di atas
microtube gel.
B. 3+: Aglutinasi sel darah merah kebanyakan berada diatas
setengah dari microtube gel.
20
C. 2+: Agutinasi sel darah merah terlihat di sepanjang microtube
gel.
D. 1+: Aglutinasi sel darah merah berada di bawah setengah dari
microtube gel
E.-:Aglutinasi semua sel darah merah lolos dibagian bawah
microtube gel.Metoda gel merupakan metode untuk mendeteksi reaksi sel
darah merah dengan antibodi. Metode gel akan lebih cepat dan
mempunyai akurasi tinggi dibandingkan dengan metode tabung. 26
21
(aglutinasi). Globulin merupakan antibodi penghalang (blocking antibodies) atau
antibodi tak lengkap (incomplete antibodies). Pada konsentrasi tinggi antibodi ini
melapisi eritrosit tetapi tidak dapat mengaglutinasikannya dalam larutan salin.
Anti human globulin akan bereaksi dengan setiap globulin manusia. Karena
itu penting bahwa semua globulin bebas harus dibuang dari sel darah merah
dengan pencucian yang bersih sebelum penambahan anti human globulin. Sisa
globulin serum dalam larutan akan bergabung dengan anti human globulin
mengakibatkan anti human globulin tidak mampu lagi mengaglutinasi sel yang
telah disensitisasi, dan menyebabkan suatu tes Coombs negatif yang salah (false
negative).
Tes Coombs langsung (Direct Coombs Test / DCT) digunakan untuk
mendeteksi antibodi atau komplemen pada permukaan sel darah merah dimana
sensitisasi telah terjadi secara invivo. Reagen anti human globulin ditambahkan
pada sel darah merah yang telah dicuci dan aglutinasi menunjukkan tes positif.
Tes Coombs tidak langsung (Indirect Coombs Test / ICT) digunakan untuk
mencari adanya antibodi irregular (inkomplit) dalam serum. Terlebih dahulu
dilakukan pelapisan eritrosit-eritrosit normal bergolongan O (atau eritrosit-
eritrosit yang golongannya sesuai dengan serum yang diperiksa) dengan serum
yang diketahui atau tersangka mengandung antibodi penghalang. Langkah
berikutnya ialah membuktikan adanya antibodi tersebut dengan menggunakan
Serum Coombs.
22
a. Tabung Serologi
b. Pipet Tetes
c. Sentrifuge
d. Kaca Objek
e. Mikroskop
f. Medium Salin (NaCl 0,9 %)
g. Serum Coombs (Anti Human Globulin)
h. Contoh Darah Pasien
B. ANALITIK
Cara Kerja :
a. Siapkan suspensi eritrosit 5 % dalam salin dari contoh darah pasien.
b. Sediakan 2 buah tabung, isi masing-masing tabung dengan 1 tetes suspensi
eritrosit 5 % (pasien).
c. Lakukan pencucian dengan salin sebanyak 3 kali.
d. Pada tabung I (tes) tambahkan 2 tetes Serum Coombs, pada tabung II (kontrol)
tambahkan 2 tetes salin. Kemudian sentrifuge dengan kecepatan 3000 rpm selama
15 detik.
e. Baca secara makroskopis dan mikroskopis.
C. PASCA ANALITIK
Interpretasi :
Direct Coombs Test (DCT) positif (+), artinya terdapat sel coated secara
invivo pada eritrosit pasien. Biasanya terjadi pada penderita AIHA (Auto-
Immune Haemolytic Anemia), HDN (Haemolytic Disease of Newborn),
dan orang yang mendapat transfusi darah dengan Rhesus yang berbeda.
Direct Coombs Test (DCT) negatif (-), artinya tidak terdapat sel coated
secara invivo.
23
Antigen + Antibodi Inkomplit (pada serum donor / pasien) + Serum
Coombs → Aglutinasi (+).
II. TUJUAN
Untuk mendeteksi antibodi yang coated (melekat / menyelimuti) pada
eritrosit dan terjadi secara invitro (di luar tubuh).
III. METODE
A. PRA ANALITIK
Alat dan Bahan :
a. Tabung Serologi
b. Pipet Tetes
c. Sentrifuge
d. Kaca Objek
e. Mikroskop
f. Larutan Salin (NaCl 0,85 % - 0,9 %)
g. Serum Coombs (Anti Human Globulin)
h. Contoh Darah
B. ANALITIK
Cara Kerja :
a. Siapkan serum dari contoh darah yang akan di periksa.
b. Siapkan pula suspensi eritrosit 5 % dalam salin dari contoh darah dan suspensi
sel darah O. − Siapkan 2 tabung, isi masing masing tabung 2 tetes plasma/serum.
c. Tabung I teteskan 1 tetes susp sel O, tabung II suspensi sampel. − Putar 3000
rpm selama 15 detik baca reaksi.
d. Apabila negatif lanjutkan, tambahkan bovine albumin 22% sebanyak 2 tetes ke
masing-masing tabung.
e. Inkubasi pada suhu 37⁰C selama 15 menit.
f. Putar 3000 rpm selama 15 detik baca reaksi.
g. Bila negative lakuakan pencucian dengan saline 3x.
h. Tambahkan ke masing-masing tabung 2 tetes AHG.
i. Putar 3000 rpm selama 15 detik baca reaksi secara makroskpis dan mikroskopis.
j. Bila negatif, validasi dengan CCC.
24
C. PASCA ANALITIK
Interprestasi hasil :
Apabila hasil ICT positif : adanya antibody yang coated pada sel darah
merah secara invitro.
Apabila hasil ICT negatif : tidak adanya antibody yang coated pada sel
darah merah secara invitro.27
25
secara ekstensif. Penatalaksanaan non farmakologi yaitu menggunakan
fototerapi. Fototerapi saat ini masih menjadi modalitas terapeutik pada
bayi dengan ikterus dan merupakan terapi primer pada neonatus dengan
hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi.29
26
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
27
DAFTAR PUSTAKA
28
12. Geoff Daniels. ABO, H, and Lewis Systems. In : Human Blood Groups. 3th
edition. USA. 2013
13. Dariush F. H & Marjan Z. Y. A Brief History of Human Blood Groups.
Iranian Journal of Public Health. 2013 : 1 – 6
14. Perwitasari E, dkk. Gambaran Hasil Screening Alloantibodi pada Pasien
Transfussion Dependent Thalasemia di RSUP Dr. Hasan Sadikin,
Bandung. Bandung ; Departemen Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran
Universitas Padjajaran RSUP Dr. Hasan Sadikin. Oktober 2017
15. Duguid, JKM. Use of Column Technology in Blood Transfussion. The
Academic Harwood Publisher Group. Malaysia, 2016
16. Dzieczkpwski JS, Tiberghien P, Anderson KC. Transfusion Biology and
Therapy. In ; Harison‟s Principle of Internal Medicine. 20th ed. United
States : Mc Graw Hill. 2018 ; 16 – 809
17. Jaime-Pérez JC, Almaguer-Gaona C. 2016. Rediscovering the Coombs
Test. In : Medicina Universitaria Journal. Med Univ. 2016;18(72): 185-6.
Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.rmu.2016.07.001
18. Sanguin Blood Supply. User Instruction Blood group serology products,
2016
19. Diagast. ABD PAD Procedure. 2018 ; 4 – 5
20. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.. Skrining dan Identifikasi
Antibodi. Imunohematologi dan Bank Darah. 2018. Jakarta: Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia
21. Mulyantari, N. K. Pemeriksaan skrining dan identifikasi antibodi.
Laboratorium pratransfusi update. Udayana University Press. 2016.
22. Friedman, M. T., West, K. A., Bizargity, P. Basic Single Antibody
Identification: How Hard Can It Be?. Immunohematology and Transfusion
Medicine A Case Study Approach. Switzerland : Springer International
Publishing. 2016;1-4.
23. Klein, H. G., Anstee, D. J. Blood Grouping Techniques. Mollison‟s Blood
29
24. Trudell, K.S. Detection and Identification of Antibodies. In: Harmening,
D.M.Modern Blood Banking & Transfusion Practices Sixh Edition. United
States of America: F. A. Davis Company. 2014; 216-240.
25. MJAFI. Comparive study of blood crossmatching using convensional and
gel method. 2008
26. Setyati J, Soemantri A, Transfusi Darah Yang Rasional. Pelita Insani
Semarang. 2010; 1,24-27,115-131
27. Maharani Eva A, Noviar G. Bahan Ajar Teknologi Laboratorium Medik
(TLM) Imunohematologi dan Bank Darah. Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia. 2018; 297-01
28. Todd G. ABO incompatibility. 2015. [diakses pada 11 Maret 2017]
Tersedia di https://medlineplus.gov/ency/article/001306.htm
29. David C. Times health guide: ABO incompatibility. 2012. [diakses pada
11 Maret 2017] Tersedia di http://www.nytimes.com/health/guides/
disease/abo-incompatibility/overview.html
30. Wagle S. Hemolytic disease of newborn. Medscape 2013 May 2.
Available from URL http://emedicine.medscape.com/article/974349-
overview
30