Anda di halaman 1dari 84

ABSTRAK

CUPU NARA SUMITA. Penetapan Status Kesehatan Kucing Kampung (Felis


domestica) Melalui Pemeriksaan Leukosit. Dibimbing oleh ANITA
ESFANDIARI dan SUS DERTHI WIDHYARI.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari status kesehatan


kucing kampung (Felis domestica) melalui pemeriksaan jumlah leukosit total dan
diferensiasi leukosit. Sebanyak 12 ekor kucing kampung yang tidak dipelihara
digunakan dalam penelitian ini. Sampel darah diambil melalui vena femoralis,
kemudian dianalisis terhadap jumlah leukosit total, neutrofil, limfosit, monosit,
eosinofil, dan basofil. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa rataan jumlah
leukosit total, neutrofil, limfosit, monosit, eosinofil dan basofil, berturut-turut
adalah 13.50 ± 4.00×103 sel/µl, 4.93± 1.40×103 sel/µl, 6.70± 2.12×103 sel/µl, 1012
± 580 sel/µl, 382 ± 141 sel/µl, dan 109 ± 113 sel/µl. Kesimpulan yang diperoleh,
ditemukan beberapa pola leukogram berupa leukositosis, limfositosis,
monositosis, dan basofilia; limfositosis, monositosis, dan basofilia; monositosis;
basofilia; dan neutropenia pada sembilan ekor kucing. Sebanyak tiga ekor kucing
kampung memiliki jumlah leukosit total, neutrofil, limfosit, eosinofil dan basofil
dalam nilai interval normal.

Kata kunci: leukosit, kucing kampung, status kesehatan


PENETAPAN STATUS KESEHATAN KUCING KAMPUNG
(Felis domestica) MELALUI PEMERIKSAAN LEUKOSIT

CUPU NARA SUMITA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Penetapan Status
Kesehatan Kucing Kampung (Felis domestica) Melalui Pemeriksaan Leukosit
adalah karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir skripsi ini.

Bogor, November 2012

Cupu Nara Sumita


B04080125
ABSTRACT

CUPU NARA SUMITA. Health Status Establishment of Domestic Cat (Felis


domestica) Through Leukocyte Examination. Under supervision of ANITA
ESFANDIARI and SUS DERTHI WIDHYARI.

The objective of this experiment was to study the health status of domestic
cats (Felis domestica) through leukocyte examinations, i.e total leukocyte,
neutrophil, lymphocyte, monocyte, eosinophil, and basophil counts. Twelve
domestic cats were used in this experiment. The blood was taken from femoralis vein to
determine leukocyte, neutrophil, lymphocyte, monocyte, eosinophil, and basophil
counts. Results of this study showed that the total number of leukocyte, neutrophil,
lymphocyte, monocyte, eosinophil, and basophil were 13.50 ± 4.00 × 103 cells/µl,
4.93 ± 1.40 × 103 cells/µl, 6.70 ± 2.12 × 103 cells/µl, 1012 ± 580 cells/µl, 382.00
± 141.00cells/µl, and 109.00 ± 113.00 cells/µl, respectively. In conclusion, there
were several leukogram profiles, i.e leukocytosis, lymphocytosis, monocytosis,
and basophilia; lymphocytosis, monocytosis, and basophilia; monocytosis;
basophilia; and neutropenia in nine cats. The total leukocyte, neutrophil,
lymphocyte, eosinophil, and basophil were in the normal reference range in the
remaining cats.
Keywords: leukocyte, domestic cats, health status
ABSTRAK

CUPU NARA SUMITA. Penetapan Status Kesehatan Kucing Kampung (Felis


domestica) Melalui Pemeriksaan Leukosit. Dibimbing oleh ANITA
ESFANDIARI dan SUS DERTHI WIDHYARI.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari status kesehatan


kucing kampung (Felis domestica) melalui pemeriksaan jumlah leukosit total dan
diferensiasi leukosit. Sebanyak 12 ekor kucing kampung yang tidak dipelihara
digunakan dalam penelitian ini. Sampel darah diambil melalui vena femoralis,
kemudian dianalisis terhadap jumlah leukosit total, neutrofil, limfosit, monosit,
eosinofil, dan basofil. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa rataan jumlah
leukosit total, neutrofil, limfosit, monosit, eosinofil dan basofil, berturut-turut
adalah 13.50 ± 4.00×103 sel/µl, 4.93± 1.40×103 sel/µl, 6.70± 2.12×103 sel/µl, 1012
± 580 sel/µl, 382 ± 141 sel/µl, dan 109 ± 113 sel/µl. Kesimpulan yang diperoleh,
ditemukan beberapa pola leukogram berupa leukositosis, limfositosis,
monositosis, dan basofilia; limfositosis, monositosis, dan basofilia; monositosis;
basofilia; dan neutropenia pada sembilan ekor kucing. Sebanyak tiga ekor kucing
kampung memiliki jumlah leukosit total, neutrofil, limfosit, eosinofil dan basofil
dalam nilai interval normal.

Kata kunci: leukosit, kucing kampung, status kesehatan


PENETAPAN STATUS KESEHATAN KUCING KAMPUNG
(Felis domestica) MELALUI PEMERIKSAAN LEUKOSIT

CUPU NARA SUMITA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Judul Skripsi : Penetapan Status Kesehatan Kucing Kampung (Felis domestica)
Melalui Pemeriksaan Leukosit
Nama : Cupu Nara Sumita
NIM : B04080125

Disetujui,

Dr. drh. Anita Esfandiari, M.Si Dr. drh. Sus Derthi Widhyari, M.Si
Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui,

drh. H. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet


Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

Tanggal Lulus:
PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yesus atas berkat dan
anugerah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Penetapan Status Kesehatan Kucing Kampung (Felis domestica) Melalui
Pemeriksaan Leukosit”.
Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana
Kedokteran Hewan di Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
penulis selama penyusunan skripsi ini, terutama kepada:
1) Dr. drh. Anita Esfandiari, M.Si dan Dr. drh. Sus Derthi Widhyari, M.Si
selaku dosen pembimbing, atas segala bimbingan, pengarahan dan
masukan yang telah diberikan kepada penulis.
2) Dr. drh. Yusuf Ridwan, M.Si dan drh. I Ketut Mudite Adnyane, M.Si
selaku dosen penguji sidang skripsi.
3) Dr. drh. H. Idwan Sudirman selaku pembimbing akedemik, atas bimbingan
dan bantuannya selama penulis menyelesaikan studi di FKH-IPB.
4) Mama, Papa, nenek, Aa, Gama, dan Galuh yang selalu memberi kasih
sayang, doa dan motivasi kepada penulis.
5) Widia, sahabat seperjuangan sampai titik darah penghabisan.
6) Purnomo, Mursyid, dan Azmi atas bantuannya dalam meng-handle
kucing.
7) Paguyuban; Riris, Farah, Juju, Cici, Mutia, Jami, Pea, Aji, Dian, Ridwan,
Caca, dan sahabat-sahabat yang siap sedia memberikan hari-hari
menyenangkan selama di FKH.
8) Nae, Lista, Steffi, Dewi, Devi, Muty dan Nanda atas celotehan, tawa, doa,
semangat, dan waktu 24 jam penuh selama di kosan.
9) Teman-teman Avenzoar atas segala kebersamaan dan dukungannya.
10) Staf Laboratorium Patologi Klinik Bagian Penyakit Dalam, Departemen
Klinik, Reproduksi, dan Patologi FKH-IPB, khususnya Pak Djajat, Pak
Suryono, dan Bu Kusmini.
11) Semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu.
Penulis menyadari bahwa masih ada kekurangan dalam penulisan skripsi
ini. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi yang memerlukan.

Bogor, November 2012

Cupu Nara Sumita


RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada.tanggal 19 November 1989 dan


merupakan anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Yayat Krismulayana
dan Wasirih. Pada tahun 1996, penulis memulai jenjang pendidikan formal di TK
Bakti Puspiptek, kemudian melanjutkan pendidikan di SDN Puspiptek dan lulus
pada tahun 2002. Penulis melanjutkan pendidikan menengah pertama di SMPN 2
Cisauk dan lulus pada tahun 2005. Pendidikan formal selanjutnya ditempuh di
SMAN 5 Bogor pada tahun 2005 dan lulus pada tahun 2008.
Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan, Institut
Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2008.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis turut berpartisipasi dalam beberapa
organisasi dalam kampus.Organisasi dalam kampus yang pernah diikuti oleh
penulis yaitu Himpunan Profesi Satwa Liar (Himpro Satli), dan Persekutuan
Mahasiswa Kristen IPB (PMK IPB).
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ...................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. x
PENDAHULUAN.......................................................................................
Latar Belakang ................................................................................. 1
Tujuan ............................................................................................... 2
Manfaat ............................................................................................. 2
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 3
Taksonomi Kucing .......................................................................... 3
Karakteristik Kucing ........................................................................ 4
Darah ................................................................................................ 6
Leukopoiesis ..................................................................................... 7
Leukosit (Sel Darah Putih) ............................................................... 8
Leukosit Granulosit ......................................................................... 9
Neutrofil…................……………………….............................. 9
Basofil…................……............................................................. 11
Eosinofil...................................................................................... 12
Leukosit Agranulosit ....................................................................... 13
Monosit…..........................…..................................................... 13
Limfosit ……………………………........................................... 14

MATERI DAN METODE .......................................................................... 16


Waktu dan tempat …………............................................................. 16
Materi............................................................................................... 16
Metode.............................................................................................. 16
Pengambilan dan Pemeriksaan Sampel Darah ............................ 16
Pemeriksaan Jumlah LeukositTotal ........................................... 16
Pembuatan Preparat Ulas Darah................................................. 17
Penghitungan Diferensiasi Leukosit ........................................... 17

HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................. 18


Jumlah Leukosit Total .......…........................................................... 18
Jumlah Neutrofil .............................................................................. 21
Jumlah Limfosit ............................................................................... 23
Jumlah Monosit ……….................................................................... 24
Jumlah Eosinofil ....…...................................................................... 26
Jumlah Basofil …............................................................................. 27

SIMPULAN DAN SARAN ......................................................................... 30


Simpulan ......................................................................................... 30
Saran ............................................................................................... 30

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 31


DAFTAR TABEL
Halaman
1 Gambaran normal darah kucing …........................…….............. 6
2 Jumlah leukosit total dan diferensiasi leukosit pada kucing
kampung (Felis domestica)………………….............................. 18
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Felis domestica …..……....................................……………..... 4
2 Pembentukan leukosit.................................................................. 7
3 Neutrofil (dewasa) kucing .................................................…….. 9
4 Basofil kucing.............................................................................. 11
5 Eosinofil kucing........................................................................... 12
6 Monosit kucing............................................................................ 13
7 Limfosit besar pada kucing .......................................................... 14
8 Jumlah leukosit total kucing kampung (Felis domestica)
berdasarkan jenis kelamin ........................................................... 19
9 Jumlah neutrofil kucing kampung (Felis domestica)
berdasarkan jenis kelamin ........................................................... 21
10 Jumlah limfosit kucing kampung (Felis domestica) berdasarkan
jenis kelamin................................................................................ 23
11 Jumlah monosit kucing kampung (Felis domestica) berdasarkan
jenis kelamin................................................................................. 25
12 Jumlah eosinofil kucing kampung (Felis domestica)
berdasarkan jenis kelamin........................................................... 26
13 Jumlah basofil kucing kampung (Felis domestica) berdasarkan
jenis kelamin................................................................................. 28
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Memiliki hewan peliharaan menjadi kebutuhan bagi masyarakat saat ini
dan kucing merupakan salah satu dari sekian jenis hewan peliharaan yang banyak
dipelihara oleh masyarakat di Indonesia. Kucing adalah hewan yang
menyenangkan dan cukup bersahabat dengan manusia. Felis domestica atau yang
biasa disebut kucing kampung merupakan jenis kucing asal Indonesia yang
umumnya dipelihara untuk hiburan, atau sebagai teman bagi sang pemilik.
Berbagai macam alasan memilih kucing kampung sebagai hewan peliharaan
diantaranya adalah pemeliharaan yang cukup mudah, lebih tahan dengan berbagai
macam penyakit dan memiliki daya adaptasi yang cukup tinggi bila dibandingkan
dengan kucing ras (Susanty 2005).
Kucing kampung yang tidak dipelihara atau hidup secara liar
mempertahankan hidupnya dengan cara memburu hewan-hewan kecil, seperti
tikus, burung, dan serangga (Bradshaw 1993). Selama ini belum pernah ada
informasi tentang status kesehatan dari hewan yang hidup secara “liar” (tidak
dipelihara). Menurut Speicher (2008), status kesehatan hewan dapat diketahui dari
data status fisiologis yang tepat dan akurat. Status kesehatan seekor hewan dapat
diperoleh diantaranya dengan melakukan pemeriksaan laboratorium yang
dilakukan melalui prosedur khusus, misalnya melalui pengambilan sampel feses,
urin, dan darah.
Pemeriksaan darah merupakan salah satu cara yang biasa dilakukan untuk
mengetahui status kesehatan. Pemeriksaan hematologi rutin merupakan salah satu
pemeriksaan darah yang umum dilakukan, meliputi pemeriksaan konsentrasi
hemoglobin, nilai hematokrit, jumlah leukosit total, jumlah eritrosit, jumlah
trombosit, hitung jenis leukosit dan laju endap darah (Pusparini 2005).

Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui status kesehatan kucing
kampung (Felis domestica), melalui pemeriksaan jumlah leukosit total, jumlah
neutrofil, eosinofil, basofil, limfosit dan monosit.
2

Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang status
kesehatan kucing kampung (Felis domestica) yang hidup secara liar (tidak
dipelihara) di daerah Lingkar Kampus IPB Dramaga Bogor.
3

TINJAUAN PUSTAKA

Taksonomi Kucing
Kucing termasuk keluarga Felidae, termasuk di dalamnya spesies kucing
besar seperti singa, harimau dan macan. Kucing tersebar secara luas di seluruh
Eropa, Asia Selatan dan Tengah, dan Afrika (RED 2003). Saat ini, kucing
merupakan salah satu hewan peliharaan terpopuler di dunia (Suwed & Budiana
2006). Klasifikasi biologi kucing kampung (Felis domestica) berdasarkan Fowler
(1993) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Mamalia
Ordo : Carnivora
Subordo : Conoidea
Famili : Felidae
Subfamili : Felinae
Genus : Felis
Spesies : Felis domestica

Kucing telah mengalami domestikasi dan hidup dalam simbiosis


mutualistik dengan manusia. Domestikasi pertama yang dilakukan manusia terjadi
pada tahun 4000 SM di Mesir, ketika kucing dimanfaatkan sebagai hewan
penjaga. Namun demikian, hubungan manusia dengan kucing sudah dimulai dari
8000 SM ketika manusia masih hidup nomaden (Susanty 2005).
4

Gambar 1 Felis domestica.


Sumber: Bohdal (2006)

Kucing domestik atau yang biasa disebut dengan kucing kampung


merupakan kucing hasil evolusi kucing liar yang beradaptasi dengan lingkungan,
dekat dengan manusia sepanjang ribuan tahun usia kehidupan. Proses adaptasi ini
menghasilkan jenis kucing yang berbeda di berbagai wilayah (Sulaiman 2010).

Karakteristik Kucing
Perkembangan evolusi keluarga kucing terbagi dalam tiga kelompok, yaitu
Panthera, Acinonyx, dan Felis. Felis adalah sejenis kucing kecil, salah satunya
Felis sylvestris yang kemudian berkembang menjadi kucing modern (Suwed &
Budiana 2006). Selain itu terbentuk juga ras kucing yang terjadi akibat mutasi gen
secara alami ataupun perkawinan silang. Ras kucing dapat dibedakan berdasarkan
kondisi rambut, yaitu kucing short hair, semi-long hair, variasi semi-long hair,
long hair, dan kucing tidak berambut seperti kucing Sphinx (Susanty 2005).
Seekor kucing berbulu pendek biasanya mempunyai panjang sekitar 76
cm. Beratnya sangat bervariasi antara 2.5 – 7 kg. Kucing ini anggun dengan badan
yang kokoh (Gambar 1), wajah yang membulat dengan moncong lebar, telinga
tegak, dan kumis yang baik (RED 2003).
Secara umum kucing memiliki ciri-ciri bertubuh kecil, daun telinga
berbentuk segitiga dan tegak, dan memiliki gigi taring yang sangat jelas karena
kucing merupakan karnivora sejati. Gigi premolar dan molar pertama membentuk
sepasang taring di setiap sisi mulut yang bekerja efektif untuk merobek daging
(Done et al. 2009).
5

Berbeda dengan anjing dan beruang, kucing merupakan karnivora sejati.


Kucing tidak makan apapun yang mengandung tumbuhan, sedangkan anjing dan
beruang kadang mengkonsumsi buah dan madu (Turner & Bateson 2000).
Kucing memiliki indera penciuman yang tajam karena dilengkapi dengan
alat khusus yaitu organ vomeronasal atau organ jacobson yang membantunya
mendeteksi bau (Meadows & Flint 2006). Selain dilengkapi dengan indera
penciuman yang tajam, kucing juga sensitif pada bunyi berfrekuensi tinggi yaitu
60 kHz sehingga dapat mendengar pekikan ultrasonik bangsa rodensia (RED
2003).
Indera penglihatan kucing dilengkapi dengan tapetum lucidum sehingga
kucing tetap dapat melihat dalam kondisi lingkungan gelap (Turner & Bateson
2000). Selain itu kucing dapat menggunakan kumisnya untuk menentukan arah
dan dapat mendeteksi perubahan angin yang amat kecil (Meadows & Flint 2006).
Kucing domestik dalam kehidupannya sangat bergantung pada
keahliannya dalam memburu mangsa. Oleh karena itulah kucing domestik
memiliki struktur tulang yang ramping dengan ukuran panjang dan lebar tubuh
yang seimbang dan proporsional, dan juga ditunjang oleh tulang yang kuat
sehingga membuat gerakannya semakin lincah dan mampu berlari kencang
(Suwed & Budiana 2006).
Kucing dikenal sebagai hewan penyendiri. Kucing jarang sekali
membentuk koloni dalam menjalankan kehidupannya. Setiap kucing memiliki
daerah tersendiri. Kucing jantan yang dianggap memiliki kemampuan kawin
tinggi akan memiliki daerah kekuasaan terbesar, sedangkan jantan steril memiliki
daerah paling kecil. Namun demikian tetap terdapat daerah netral, dimana kucing-
kucing dapat saling bertemu tanpa adanya konflik teritorial (Turner & Bateson
2000).
Masa kebuntingan kucing sekitar 63 hari, dengan kondisi anak yang
dilahirkan belum mampu berjalan dan kelopak mata masih tertutup. Mata mereka
baru terbuka pada 8-10 hari kemudian. Anak kucing sangat bergantung pada
induknya selama 6-7 minggu di awal kehidupannya, dan akhirnya dapat hidup
mandiri pada umur 10-15 bulan (RED 2003).
6

Perilaku kucing yang sangat mencolok adalah seringnya merawat diri


(grooming) dengan cara menjilat bulu mereka sendiri. Kucing termasuk hewan
yang bersih. Saliva kucing merupakan agen pembersih yang kuat. Akan tetapi,
akibat perilaku ini, dapat menimbulkan hairball atau gumpalan rambut yang bisa
menyebabkan gangguan yang bersifat patologis (Turner & Bateson 2000).

Darah
Darah merupakan cairan tubuh yang beredar dalam sistem pembuluh darah
yang tertutup, tersusun atas cairan ekstraseluler (cairan plasma) dan cairan
intraseluler (cairan dalam sel darah) (Vander et al. 2001). Marieb (1988)
menyatakan bahwa sel darah dibentuk oleh tiga elemen, yaitu sel darah merah
(eritrosit), sel darah putih (leukosit) dan keping darah (trombosit).
Volume darah kucing berkisar antara 4.7 - 6.9% berat badan. Faktor-faktor
yang mempengaruhi volume darah meliputi umur, status kesehatan, makanan,
ukuran tubuh, derajat aktivitas dan lingkungan (Mitruka & Rawnsley 1977).
Darah bersirkulasi di dalam sistem vaskuler dan melaksanakan fungsinya
sebagai sistem transportasi nutrisi, oksigen, sisa-sisa metabolisme, dan hormon.
Darah berperan sebagai alat pertahanan tubuh terhadap benda-benda asing yang
bersifat patogen, seperti bakteri atau virus. Selain itu,darah berfungsi pula dalam
menjaga hemostasis pada proses pembekuan darah dan persembuhan luka
(Guyton 1997). Gambaran darah kucing kampung normal dapat dilihat pada Tabel
1.
Tabel 1 Gambaran normal darah kucing
Nilai rata-rata Wassmuth et al.
Parameter Jain (1993)
(Jain 1993) (2011)
Eritrosit (x 106/µl) 5.00 – 10.00 7.50 7.00 – 10.70
Hemoglobin (g/dl) 8.00 – 15.00 12.00 11.30 – 15.50
Hematokrit (%) 24.00 – 45.00 37.00 33.00 – 45.00
MCV (fl) 39.00 – 55.00 45.00 41.00 – 49.00
MCH (pg) 13.50 – 17.50 15.50 14.00 – 17.00
MCHC (%) 30.00 – 36.00 33.20 3.00 – 36.00
Leukosit (x103/µl) 5.50 – 19.50 12.50 4.60 – 12.80
Neutrofil (x103/µl) 2.50 – 12.50 7.50 2.32 – 10.01
Limfosit (x103/µl) 1.50 – 7.00 4.00 1.05 – 6.00
Monosit (/µl) 0 – 850 350 46 – 678
Eosinofil (/µl) 0 – 1500 650 100 – 600
Basofil (/µl) 0 – 143 0 0 – 143
7

Leukopoiesis
Leukopoiesis merupakan pembentukan leukosit atau sel darah putih. Sel-
sel darah ini dibentuk dari sel stem hemopoietik pluripotensial yang berasal dari
sumsum tulang. Sel stem hemopoietik pluripotensial akan berdifereniasi menjadi
berbagai tipe sel stem committed, dimana sel-sel committed ini akan membentuk
eritrosit dan cell lineages utama leukosit, yaitu mielositik yang dimulai dari
mieloblas dan limfositik yang dimulai dari limfoblas (Shier et al. 2002).
Hormon yang mengatur dan merangsang pembentukan eritrosit dan
leukosit disebut Colony Stimulating Factor (CSF). Proses pembentukan sel
granulosit dipengaruhi oleh interleukin-3 (IL-3) dan Granulocyte Colony
Stimulating Factor (G-CSF), sedangkan pembentukan monosit dipengaruhi oleh
Granulocyte Monocyte Colony Stimulating Factor (GM-CSF) (Guyton 1997).

Gambar 2 Pembentukan leukosit.


Sumber: Vander et al. (2001)

Mieloblas kemudian berkembang menjadi promielosit, lalu mielosit,


dimana mielosit ini masing-masing akan berdiferensiasi menjadi mielosit
neutrofil, mielosit eosinosil, dan mielosit basofil. Mielosit kemudian berkembang
lagi menjadi metamielosit, sel muda dan kemudian sel dewasa. Tahap
perkembangan monosit adalah monoblas, promonosit, monosit, dan selanjutnya
akan menjadi makrofag di dalam jaringan (Ganong 1996).
8

Limfosit berasal dari sel stem dalam folikel limfatik pada nodus limfe,
limpa, timus, kemudian berkembang menjadi limfoblas, prolimfosit, hingga tahap
limfosit. Faktor yang merangsang produksi, diferensiasi, dan multiplikasi sel
progenitor limfoid sangat kompleks, diantaranya adalah pengaruh
microenvironmental seperti, interleukin, dan antigen (Vander et al. 2001).

Leukosit (Sel Darah Putih)


Leukosit dibentuk di sumsum tulang dan sebagian lagi dibentuk di
jaringan limfe. Leukosit merupakan sel yang berperan dalam respon kekebalan
tubuh, dan bertugas untuk memusnahkan benda-benda yang dianggap asing dan
berbahaya oleh tubuh seperti virus atau bakteri (Guyton 1997). Leukosit mampu
keluar dari pembuluh darah pada saat menjalankan fungsinya untuk menuju ke
jaringan yang membutuhkan (Dellmann & Brown 1989; Ganong 1996).
Leukosit dibagi dalam dua kelompok besar yaitu leukosit granulosit dan
leukosit agranulosit. Jenis leukosit granulosit memiliki granula khas yang terdapat
di dalam sitoplasmanya. Termasuk ke dalam jenis ini adalah neutrofil, eosinofil
dan basofil. Leukosit agranulosit terdiri dari limfosit dan monosit, dimana jenis
sel ini tidak memiliki granula dalam sitoplasmanya (Ganong 1996).
Jumlah leukosit total jauh di bawah jumlah eritrosit, dan jumlah dari
masing-masing jenisnya bervariasi tergantung dari spesies hewan. Fluktuasi
jumlah leukosit total pada tiap individu cukup besar dan dipengaruhi oleh kondisi
tertentu misalnya stres, aktivitas fisiologis, gizi dan umur (Dellmann & Brown
1989).
Respons leukosit merefleksikan adanya suatu proses fisiologis atau adanya
penyakit di dalam sistem/organ lain. Manifestasi respons lekosit berupa
peningkatan atau penurunan pada satu atau lebih jenis lekosit di dalam sirkulasi
darah (Stockham & Scott 2008).
Menurut Meyer & Harvey (2004), suatu keadaan dimana jumlah leukosit
total di dalam sirkulasi darah meningkat melebihi batas atas normal untuk spesies
tersebut disebut sebagai leukositosis. Leukositosis bisa bersifat fisiologis ataupun
patologis.
Leukositosis yang dihasilkan oleh adanya suatu aktifitas yang bersifat
psikologis dan/atau fisik disebut sebagai leukositosis fisiologis. Keadaan ini
9

sering terjadi pada kondisi stres (akut) fisik, emosi atau penyakit, dan biasanya
bersifat temporer (Jain 1993).
Menurut Stockham & Scott (2008), leukositosis yang bersifat patologis
muncul sebagai respons terhadap adanya penyakit akibat meningkatnya neutrofil
yang bersirkulasi (relatif, absolut, atau keduanya), bisa dengan atau tanpa left
shift. Peningkatan jumlah leukosit total lebih nyata terutama pada infeksi yang
bersifat lokal oleh bakteri piogenik (misalnya piometra, abses).
Leukopenia merupakan suatu keadaan dimana jumlah leukosit total yang
bersirkulasi menurun dibawah nilai referensi normal untuk spesies tersebut.
Biasanya disebabkan karena kebutuhan terhadap leukosit yang meningkat,
penurunan produksi sumsum tulang akibat penggunaan obat-obatan tertentu,
infeksi virus, dan penurunan produksi sel limfoid (Stockham & Scott 2008).

Leukosit Granulosit
Neutrofil
Neutrofil berkembang dalam sumsum tulang dan dikeluarkan ke dalam
sirkulasi darah. Persentase di dalam sirkulasi darah berkisar antara 60–70% dari
jumlah leukosit total yang beredar. Memiliki granula halus berwarna ungu dalam
sitoplasma yang beraspek kelabu pucat dan inti bergelambir (Gambar 3). Granula
pada neutrofil ada dua jenis yaitu azurofilik yang merupakan granula yang
mengandung enzim lisosom dan peroksidase dan granula spesifik yang lebih
kecil, mengandung fosfatase alkali dan zat-zat bakterisidal (protein kationik)
yang dinamakan fagositin (Dellmann & Brown 1989).

Gambar 3 Neutrofil (dewasa) kucing.


Sumber: Schalm (2010)
10

Neutrofil merupakan garis pertahanan tubuh pertama terhadap infeksi


bakteri. Selain itu neutrofil juga mampu melawan agen patogen lain seperti jamur
dan protozoa (Tortora & Bryan 2006). Sel ini mampu mencari, memakan, dan
membunuh bakteri yang menginfeksi tubuh inangnya (Ganong 1996; Guyton
1997).
Neutrofil mampu bertahan hidup selama 4-10 jam di dalam sirkulasi, dan
selama 1-2 hari di dalam jaringan (Metcalf 2006). Neutrofil dalam menjalankan
fungsinya akan mengalami proses diapedesis, dimana neutrofil memasuki
jaringan, melekat pada endotelium dan kemudian menyusup melalui dinding
kapiler diantara sel-sel endotel (Ganong 1996).
Neutrofil matang/dewasa (neutrofil segmen) berada dalam peredaran darah
perifer, memiliki bentuk inti yang terdiri dari 2-5 segmen, sedangkan neutrofil
yang belum matang (band neutrophil) memiliki bentuk inti seperti ladam kuda.
Band neutrophil dapat dijumpai di dalam darah dalam jumlah yang meningkat
akibat adanya kebutuhan terhadap neutrofil yang meningkat dan cadangan
neutrofil matang berkurang. Keadaan dimana jumlah band neutrophil di dalam
sirkulasi darah meningkat disebut sebagai left shift. Jika dalam sirkulasi darah
banyak ditemukan neutrofil multi-segmen, maka keadaan ini disebut sebagai right
shift (Colville & Bassert 2008).
Menurut Jain (1993), meningkatnya jumlah neutrofil di dalam sirkulasi
darah diatas nilai referensi normal disebut neutrofilia. Meningkatnya jumlah
neutrofil disebabkan karena meningkatnya pergeseran sel-sel neutrofil dari pool
marginal ke dalam pool sirkulasi (demarginasi) dan/atau meningkatnya pelepasan
neutrofil dari sumsum tulang. Beberapa faktor yang mempengaruhi demarginasi
neutrofil misalnya glukokortikoid eksogen/endogen dan epinefrin
endogen/eksogen.
Menurut Stockham & Scott (2008), jumlah neutrofil dalam sirkulasi darah
bisa juga meningkat akibat meningkatnya proses granulopoiesis & meningkatnya
pelepasan neutrofil dari pool penyimpanan. Kondisi ini bisa ditemukan pada
kasus-kasus inflamasi, infeksi oleh bakteri, Feline Infectious Peritonitis, nekrosis,
hemolisis immune- mediated.
11

Basofil
Basofil diproduksi di dalam sumsum tulang dan hampir tidak memiliki
kemampuan untuk memfagosit (Swenson 1997). Persentase basofil di dalam
sirkulasi darah berkisar antara 0.5 - 1.5% dari jumlah leukosit total. Diameter sel
antara 10-12 µm, dan memiliki inti dua gelambir (Gambar 4). Granula berwarna
biru tua sampai ungu yang sering menutup inti yang berwarna cerah dengan
ukuran antara 0.5 - 1.5 µm (Dellmann & Brown 1989).
Basofil sulit ditemukan di dalam sirkulasi darah pada hewan anjing dan
kucing. Granula basofil kucing berwarna biru ungu dan memiliki selaput yang
berbentuk bulat atau lonjong besar. Granula tersebut bersifat metakromatik pada
pH rendah yang disebabkan oleh proteoglikan dan heparin (Dellmann&Brown
1989).

Gambar 4 Basofil kucing.


Sumber: Hoffbrand et al. (2006)

Guyton (1997) menyatakan bahwa basofil di dalam sirkulasi darah mirip


dengan sel mast. Kedua sel tersebut melepaskan heparin yang berfungsi mencegah
pembekuan darah. Selain heparin, sel mast dan basofil juga melepaskan histamin
dan sedikit bradikinin dan serotinin. Meskipun berkembang sebagai sistem yang
terpisah, namun keduanya sama-sama berperan pada kondisi alergi (Meyer &
Harvey 2004). Basofil dan sel mast dapat melepaskan isi granulanya melalui
proses kemotaksis dan secara fungsional mampu untuk meresintesis isi granula
(Dellmann & Eurell 2006). Masa hidup basofil hanya beberapa hari, sedangkan
sel mast bisa berminggu-minggu bahkan sampai berbulan-bulan (Jain 1993).
12

Basofil juga berperan dalam metabolisme trigliserida dan memiliki


reseptor untuk IgE yang menyebabkan degranulasi melalui eksositosis. Adanya
reseptor tersebut mengakibatkan basofil dapat membangkitkan reaksi
hipersensitifitas dengan mensekresikan mediator vasoaktif, sehingga dapat
menyebabkan peradangan akut pada tempat antigen berada (Tizard 1988).
Granula basofil mengandung heparin, histamin, asam hialuronat, kondroitin sulfat,
serotonin dan beberapa faktor kemotaktik lainnya (Dellmann&Brown 1989).

Eosinofil
Eosinofil berdiameter antara 10-15 µm dengan inti bergelambir dua dan
dikelilingi granula-granula asidofil yang cukup besar, berukuran antara 0,5-1,0
µm (Gambar 5). Masa hidup sel berkisar antara 3-5 hari. Eosinofil kucing
memiliki banyak granula berbentuk batang yang tidak refraktil (Dellmann
&Brown 1989).

Gambar 5 Eosinofil kucing.


Sumber: Hoffbrand et al. (2006)

Persentase eosinofil di dalam sirkulasi darah berkisar antara 2-8% dari


jumlah leukosit total (Dellmann & Brown 1989). Menurut Tizard (1988), eosinofil
diproduksi dalam jumlah besar ketika terjadi infeksi parasit, dimana eosinofil
langsung bermigrasi ke jaringan yang terinfeksi. Mekanismenya dengan cara
melekatkan diri pada parasit melalui molekul permukaan khusus dan melepaskan
bahan-bahan yang dapat membunuh parasit.
Menurut Tizard (1988), terdapat dua fungsi istimewa eosinofil. Pertama,
eosinofil secara unik cocok untuk menyerang dan menghancurkan larva cacing
yang menyusup. Kedua, enzim yang dihasilkan eosinofil mampu menetralkan
faktor radang yang dilepaskan oleh sel mast dan basofil.
13

Leukosit Agranulosit
Monosit
Monosit merupakan jenis leukosit dengan ukuran sel terbesar, berdiameter
antara 15-20 µm. Persentase monosit di dalam sirkulasi darah berkisar antara 3-
9% dari jumlah leukosit total. Secara umum sitoplasma monosit lebih banyak dan
berwarna biru abu-abu pucat dibandingkan dengan limfosit. Sering tampak adanya
granula azurofil halus seperti debu, inti berbentuk lonjong seperti ginjal atau
mirip tapal kuda (Gambar 6) (Dellmann & Brown 1989).
Monosit merupakan fagosit aktif, dimobilisasi sebagai bagian dari respon
peradangan dan membentuk garis pertahanan setelah neutrofil (Ganong 1996).
Apabila monosit masuk ke dalam jaringan tubuh maka akan berubah menjadi
makrofag (Tizard 1988).

Gambar 6 Monosit kucing.


Sumber: Hoffbrand et al. (2006)

Menurut Colville & Bassert (2008), monosit memiliki tiga fungsi.


Pertama, membersihkan sel debris yang dihasilkan oleh proses peradangan atau
infeksi. Kedua, memproses beberapa antigen yang menempel pada membran sel
limfosit menjadi lebih antigenik sehingga dapat mudah dicerna oleh monosit dan
makrofag. Ketiga, monosit memiliki kemampuan yang sama dengan neutrofil,
yaitu untuk menghancurkan zat asing yang masuk ke dalam tubuh.
Sel monosit merupakan sel makrofag yang belum matang dan memiliki
kemampuan yang lemah untuk mengeliminasi benda asing yang menyebabkan
infeksi. Ukuran sel monosit mulai membesar saat masuk ke dalam jaringan,
dengan diameter bisa mencapai lima kali lipat. Monosit pada tahap ini disebut
sebagai makrofag yang memiliki kemampuan untuk memfagosit (Guyton 1997).
14

Mekanisme monosit dalam menjalankan tugasnya terdiri dari beberapa


tahap. Tahap-tahap tersebut yaitu, monosit masuk ke dalam jaringan melalui
proses kemotaksis yang dihasilkan oleh proses kerusakan jaringan akibat trauma
atau serangan mikroorganisme (Colville & Bassert 2008). Kemudian luka pada
jaringan melepaskan substansi seperti histamin, bradikinin, serotonin,
prostaglandin, beberapa macam reaksi komplemen dan substansi hormonal yang
disebut limfokin (Guyton 1997). Limfokin merupakan substansi hormonal yang
dihasilkan oleh leukosit yang berperan dalam aktivasi makrofag, transformasi
limfosit, dan kekebalan berperantara sel (Haen 1995). Selain itu, monosit juga
mensekresikan kolagenase, elastase, dan aktivator plasminogen yang berguna
dalam proses penyembuhan luka dan fagositosis (Tizard 1988).

Limfosit
Limfosit dibentuk dalam sumsum tulang, tetapi sebagian besar dibentuk
dalam kelenjar limfe, timus dan limpa dari sel prekusor yang mula-mula berasal
dari sumsum tulang itu sendiri (Ganong 1996). Sel limfosit memiliki dua bentuk,
yaitu limfosit besar dan limfosit kecil. Limfosit besar merupakan sel limfosit yang
belum dewasa, sedangkan limfosit kecil adalah sel limfosit yang sudah dewasa.
Limfosit besar (Gambar 7) memiliki inti yang besar dengan sitoplasma yang lebih
banyak dibandingkan dengan limfosit kecil. Limfosit kecil memiliki nukleus lebih
kecil dan kuat mengambil zat warna, dan dikelilingi oleh sitoplasma berwarna
biru pucat (Dellmann & Brown 1989).

Gambar 7 Limfosit besar pada kucing.


Sumber: Hoffbrand et al. (2006)
Ukuran limfosit secara umum berkisar antara 7-8 µm, dengan diameter
antara 9-15 µm untuk limfosit besar dan 6-9 µm untuk limfosit kecil (Dellmann &
15

Brown 1989). Menurut fungsinya limfosit dibagi menjadi dua jenis, yaitu limfosit
B sebagai penghasil antibodi dan limfosit T yang dapat menimbulkan kekebalan
berperantara sel (Ganong 1996).
Limfosit merupakan unsur yang penting dalam sistem kekebalan tubuh.
Sistem ini sangat mampu menghasilkan antibodi melawan agen asing yang
menginvasi tubuh inang (Ganong 1996). Dalam perjalanannya, limfosit terus-
menerus memasuki sistem sirkulasi bersama dengan aliran limfe dari nodus limfe
dan jaringan limfoid lainnya. Setelah beberapa jam kemudian, limfosit berjalan
kembali ke jaringan dengan cara diapedesis dan selanjutnya kembali memasuki
jaringan limfoid atau ke sirkulasi darah (Guyton 1997). Persentase limfosit di
dalam sirkulasi darah berkisar antara 20-25% dari jumlah leukosit total (Dellmann
& Brown 1989).
Peningkatan jumlah limfosit dapat terjadi pada kondisi fisiologis maupun
patologis. Limfositosis fisiologis terjadi terutama pada hewan muda dan bersifat
sementara. Kucing berumur muda cenderung memiliki jumlah limfosit yang lebih
tinggi bila dibandingkan dengan kucing dewasa. Kucing berumur muda masih
sangat responsif terhadap rasa senang dan rasa takut, dimana hal ini cenderung
akan mengakibatkan terjadinya limfositosis fisiologis (Schalm 2010). Selain itu,
kucing yang berumur muda masih memiliki timus, dimana timus berfungsi untuk
menghasilkan limfosit sehingga secara tidak langsung jumlah limfosit akan lebih
besar. Limfositosis patologis terjadi pada peradangan kronis yang disertai dengan
neutrofilia dan monositosis (Schalm 2010).
Keadaan dimana jumlah limfosit yang bersirkulasi dalam darah berada
dibawah nilai interval normal disebut limfopenia. Limfopenia dapat disebabkan
oleh faktor stres. Kondisi stres akan menyebabkan kadar kortisol dalam darah
meningkat. Kortisol dapat menyebabkan limfopenia dengan cara mengurangi
mitosis atau pembentukan limfosit. Hormon ini juga berpengaruh terhadap
berkurangnya limfosit dalam sirkulasi darah karena terjadi redistribusi limfosit ke
sumsum tulang (Chastai & Ganjam 1986).
16

MATERI DAN METODE

Waktu dan Tempat


Penelitian dilaksanakan mulai dari Juli 2011 sampai dengan Januari 2012.
Analisis sampel darah dilakukan di Laboratorium Patologi Klinik Bagian Penyakit
Dalam, Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi, Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Materi
Hewan yang digunakan adalah 12 ekor kucing kampung (Felis domestica)
yang hidup secara liar (tidak dipelihara) di daerah Lingkar Kampus IPB
Dramaga. Bahan yang digunakan adalah metanol, alkohol 70%, Giemsa 10%,
larutan Turk, kapas, kertas tisu dan minyak imersi.
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini meliputi tabung vacutainer
berantikoagulan EDTA (Ethylene Diamine Tetra Acetic Acid), dysposable syringe
3 ml, gelas obyek, gelas penutup, pipet leukosit, kamar hitung Neubauer, hand
counter dan mikroskop.

Metode
Pengambilan dan Pemeriksaan Sampel Darah
Darah diambil dari vena femoralis sebanyak 1 ml menggunakan
dysposable syringe 3 ml. Sampel darah kemudian dimasukkan ke dalam
vacutainer berantikoagulan EDTA untuk dianalisis terhadap jumlah leukosit total,
jumlah neutrofil, limfosit, monosit, eosinofil, dan basofil.

Pemeriksaan Jumlah Leukosit Total


Jumlah leukosit total dihitung menggunakan metode hemositometer
(Schalm 1986). Darah dihisap melalui pipet pengencer leukosit dan aspiratornya
sampai batas garis 0,5, kemudian dilanjutkan dengan penambahan larutan
pengencer Turk sampai batas garis 11. Campuran di dalam pipet ini kemudian
dihomogenkan dengan memutar pipet membentuk angka delapan. Sebelum
diteteskan ke dalam kamar hitung, campuran di ujung pipet dibuang dahulu
beberapa tetes menggunakan kertas tisu. Leukosit yang dihitung adalah leukosit
17

yang terdapat pada empat sudut kamar hitung yang masing-masing memiliki 16
kotak kecil (ruang hitung untuk leukosit). Hasilnya dikalikan 50, menjadi χ x 50
butir/ul darah.

Pembuatan Preparat Ulas Darah


Pembuatan preparat ulas darah diawali dengan meneteskan satu tetes darah
di ujung gelas obyek, lalu gelas obyek kedua diletakkan di sepanjang tepi tetesan
gelas obyek pertama dengan sudut kemiringan 300-450. Setelah itu, gelas obyek
kedua didorong di sepanjang gelas obyek pertama sehingga terbentuk suatu
apusan darah yang tipis. Kemudian apusan darah tersebut dikeringkan dengan cara
dibiarkan atau dikeringkan secara alami. Preparat ulas darah kemudian difiksasi
dengan metanol selama 5 menit, dilanjutkan dengan proses pewarnaan
menggunakan Giemsa 10% selama 30 menit. Preparat ulas kemudian dicuci
dengan air mengalir, setelah itu dikeringkan di udara.

Penghitungan Diferensiasi Leukosit


Penghitungan diferensiasi leukosit dilakukan menggunakan mikroskop
dengan pembesaran 10×100, dan dihitung dalam 100 sel leukosit. Nilai yang
diperoleh dalam bentuk persentase (nilai relatif) dari masing-masing jenis
leukosit. Nilai absolut diperoleh dengan cara mengalikan persentase masing-
masing jenis leukosit dengan jumlah leukosit total.
18

HASIL DAN PEMBAHASAN

Jumlah LeukositTotal
Leukosit merupakan unit darah yang aktif dari sistem pertahanan tubuh
dalam menghadapi serangan agen-agen patogen, zat racun, dan menyingkirkan
sel-sel rusak dan abnormal (Kelly 1984; Guyton 1997). Fluktuasi jumlah leukosit
total pada tiap individu cukup besar dan dipengaruhi oleh banyak faktor
(Dellmann & Brown 1989).

Tabel 2 Jumlah leukosit total dan diferensiasi leukosit pada kucing


kampung (Felis domestica)

Leukosit
Jenis Neutrofil Limfosit Monosit Eosinofil Basofil
Nomor Total
Kelamin (×103/µl) (×103/µl) (/µl) (/µl) (/µl)
(×103/µl)
1 ♀ 14.30 7.72 4.43 1716* 286 143
2 ♀ 10.90 5.09 5.09 542 542 0
3 ♀ 24.80* 6.24 11.44* 2288* 416 208*
4 ♀ 17.20 4.98 10.13* 1374* 515 171*
5 ♀ 14.70 5.87 7.19 1174* 293 0
6 ♀ 12.60 4.02 6.53 1257* 503 0
7 ♀ 11.50 3.91 6.33 345 576 115
8 ♂ 10.40 2.27** 6.72 828 310 103
9 ♂ 11.00 4.52 5.29 992* 220 0
10 ♂ 11.90 5.96 5.12 596 119 238*
11 ♂ 12.00 3.95 6.94 479 359 0
12 ♂ 11.20 4.59 5.15 560 448 336*
13.50 ± 4.93 ± 6.70 ± 1012 ± 382 ± 109 ±
Rata-rata±SD
4.00 1.40 2.12 580 141 113
10.40 – 2.27 – 4.34 – 345-
Kisaran 119 - 576 0 - 336
24.80 7.72 11.44 2288
*) 5.50 - 2.50 - 1.50 –
Referensi 0 - 850 0 - 1500 0 - 143
19.50 12.50 7.00
*
diatas nilai interval normal
**
dibawah nilai interval normal
*)
Jain (1993)

Rataan jumlah leukosit total dan diferensiasi leukosit pada kucing


kampung (Felis domestica) dapat dilihat pada Tabel 2. Hasil pengamatan
menunjukan rataan jumlah leukosit total sebesar 13.50 ± 4.00 ×103/µl (kisaran
10.40 – 24.80 ×103/µl). Jumlah leukosit total pada kucing normal menurut Jain
(1993) berkisar antara 5.50 – 19.50×103/µl. Secara umum, dari 12 ekor kucing
kampung yang diamati, 11 ekor diantaranya memiliki jumlah leukosit total yang
masih berada dalam interval normal. Sebanyak satu ekor kucing kampung
19

memiliki jumlah leukosit total diatas nilai interval normal (24.80×103/µl; kisaran
nilai interval normal 5.50 – 19.50×103/µl).

16 15.10

Jumlah leukosit total


14
11.30
(×103/µl)
12
10
8
6
4
2
0
Jantan Betina

Gambar 8 Jumlah leukosit total kucing kampung (Felis domestica)


berdasarkan jenis kelamin.

Apabila diamati berdasarkan jenis kelamin, rataan jumlah leukosit total


pada kucing kampung jantan cenderung lebih rendah dibandingkan dengan kucing
kampung betina(Gambar 8). Rataan jumlah leukosit total pada kucing kampung
betina adalah 15.10 ± 4.80×103/µl (kisaran 10.90 – 24.80×103/µl), dan pada
kucing kampung jantan sebesar 11.30 ± 0.70×103/µl (kisaran 10.40 –
12.00×103/µl).
Jumlah leukosit total pada penelitian ini menunjukan hasil yang lebih
tinggi bila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Triastuty (2006), dimana rataan jumlah leukosit total pada kucing kampung betina
adalah 10.27 ± 3.79×103/µl dan kucing kampung jantan 10.13 ± 4.24×103/µl.
Triastuty (2006) melakukan penelitian pada kucing kampung yang dipelihara,
sedangkan pada pengamatan ini menggunakan kucing kampung yang tidak
dipelihara (hidup liar). Jumlah leukosit total di dalam sirkulasi darah pada
umumnya dipengaruhi oleh jumlah neutrofil atau limfosit di dalam sirkulasi darah
(Schalm 2010).
Jumlah leukosit total dipengaruhi oleh beberapa faktor fisiologis, seperti
jenis ras, kebuntingan, musim, sedikit dipengaruhi jenis kelamin, dan sangat
dipengaruhi oleh umur hewan. Jumlah leukosit total akan meningkat pada masa
kebuntingan. Faktor umur juga sangat berpengaruh, dimana hewan yang berumur
20

muda akan memiliki jumlah leukosit total yang lebih tinggi dibandingkan dengan
hewan dewasa. Seiring dengan bertambahnya umur, jumlah leukosit total akan
semakin stabil. Hal ini disebabkan karena organ pembentuk sel darah, seperti
limpa dan sumsum tulang akan terus berkembang seiring bertambahnya umur
hewan (Jain 1993).
Berbeda dengan eritrosit yang sangat dipengaruhi oleh jenis kelamin,
jumlah leukosit total tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin. Alasan utama
keberadaan leukosit dalam darah adalah karena sel-sel darah putih ini diangkut
dari sumsum tulang atau jaringan limfoid ke area tubuh yang memerlukan. Dalam
proses pembentukannya, jenis kelamin tidak menjadi faktor penginduksi
pertumbuhan, melainkan adanya faktor lain seperti penyakit infeksius. Penyakit
infeksius akan menyebabkan terjadinya pertumbuhan, diferensiasi, dan akhirnya
pembentukan leukosit jenis spesifik yang diperlukan untuk menghadapi infeksi
tersebut (Guyton 1997).
Hasil pengamatan secara umum menunjukkan bahwa rataan jumlah leukosit
total pada kucing kampung masih berada dalam interval normal. Namun
demikian, secara individu terdapat satu ekor kucing dengan jumlah leukosit total
diatas nilai interval normal (leukositosis). Respon leukosit yang tinggi
merefleksikan adanya suatu proses fisiologis (leukositosis fisiologis) atau adanya
proses patologis atau penyakit di dalam sistem atau organ lain (leukositosis
patologis) (Dellmann & Brown 1989).
Leukositosis fisiologis terjadi akibat adanya aktifitas psikologis dan/atau
fisik. Keadaan ini sering terjadi pada kondisi stres (akut). Apabila hewan
mengalami stres, tubuh akan melepaskan hormon kortisol dan epineprin. Hormon
kortisol akan merangsang sumsum tulang untuk melepaskan neutrofil matang,
sehingga jumlah neutrofil di dalam sirkulasi darah meningkat. Hormon epineprin
bekerja dengan meningkatkan sirkulasi darah dan limfe serta menyebabkan
demarginasi leukosit dari dinding pembuluh darah (Jain 1993).
Leukositosis patologis timbul sebagai respon terhadap adanya penyakit.
Peningkatan jumlah leukosit total yang nyata terutama terjadi pada kondisi infeksi
lokal oleh bakteri piogenik, misalnya pada piometra dan abses (Hoffbrand et al.
2006). Leukositosis yang disertai dengan meningkatnya jumlah neutrofil
21

(neutrofilia), limfosit (limfositosis) dan monosit (monositosis) dapat dijumpai


pada inflamasi yang bersifat kronis (Jain 1993; Stockham & Scott 2008).

Jumlah Neutrofil
Neutrofil merupakan garis pertahanan tubuh pertama (first line of defense)
terhadap infeksi bakteri (Junqueira & Caneiro 2005). Fungsi utama neutrofil
adalah menghancurkan bahan asing melalui proses fagositosis, yaitu kemotaksis
dengan cara sel bermigrasi menuju agen patogen atau perlekatan oleh sel dan
penghancuran agen patogen oleh enzim lisosim (Abbas et al. 2010).
Tabel 2 memperlihatkan rataan jumlah neutrofil sebesar 4.93 ±
1.40×103/µl (kisaran 2.27 - 7.72×103/µl), dengan nilai relatif berkisar antara 22-
54%. Menurut Jain (1993), jumlah neutrofil pada kucing normal berkisar antara
2.50 - 12.50×103/µl, sedangkan menurut Wassmuth et al. (2011) antara 2.32 -
10.01×103/µl, dengan nilai relatif menurut Effendi (2003) berkisar antara 60-70%.

6 5.40
Jumlah neutrofil

5 4.26
(×103/µl)

4
3
2
1
0
Jantan Betina

Gambar 9 Jumlah neutrofil kucing kampung (Felis domestica)


berdasarkan jenis kelamin.

Jika diamati berdasarkan jenis kelamin, jumlah neutrofil diantara kedua


jenis kelamin cenderung hampir sama (Gambar 9). Jumlah netrofil pada kucing
jantan yaitu 4.26 ± 1.33×103/µl (kisaran 2.27 - 5.96×103/µl), sedangkan pada
kucing betina sebesar 5.40 ± 1.34×103/µl (kisaran 3.91 - 7.72×103/µl). Nilai ini
masih berada dalam kisaran normal menurut Wassmuth et al. (2011), yaitu 2.32 –
10.01×103/µl.
Jumlah neutrofil di dalam sirkulasi darah dipengaruhi oleh banyak faktor.
Faktor-faktor tersebut yaitu keseimbangan permintaan jaringan ekstravaskular,
22

tingkat granulopoiesis, laju pelepasan darah dari sumsum tulang, masa hidup di
dalam sirkulasi darah, laju aliran sirkulasi darah dan tingkat aktivitas sumsum
tulang (Jain 1993).
Keadaan dimana jumlah neutrofil meningkat diatas nilai interval normal
disebut sebagai neutrofilia. Neutrofilia dapat disebabkan karena adanya infeksi,
peradangan, atau stres. Peradangan atau infeksi akan menstimulasi pengeluaran
neutrofil untuk menghancurkan benda asing yang masuk ke dalam tubuh. Kondisi
stres akibat adanya kortisol juga mempengaruhi pelepasan neutrofil dari sumsum
tulang (Samuelson 2007).
Sebaliknya, keadaan dimana jumlah neutrofil lebih rendah dari nilai
interval normal disebut sebagai neutropenia. Kondisi neutropenia jarang terjadi.
Neutropenia dapat terjadi karena meningkatnya penggunaan neutrofil oleh
jaringan, proses penghancuran neutrofil yang berlebihan, menurunnya fungsi
sumsum tulang, dan terganggunya pendistribusian neutrofil (Schalm 2010). Meyer
et al. (1992) dan Macer (2003) mengemukakan bahwa penurunan jumlah neutrofil
di dalam sirkulasi darah dapat terjadi akibat adanya infeksi bakteri, terutama
bakteri gram negatif. Endotoksin yang dihasilkan bakteri tersebut akan
menyebabkan neutrofil bermigrasi dalam jumlah yang besar ke jaringan, dan
sumsum tulang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan jaringan terhadap
neutrofil sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan jumlah neutrofil di dalam
sirkulasi darah.
Hasil pengamatan secara umum menunjukkan bahwa rataan jumlah
neutrofil pada kucing kampung masih berada dalam kisaran normal. Namun
demikian, secara individu terdapat satu ekor kucing dengan jumlah neutrofil
dibawah nilai interval normal yaitu 2,27×103/µl. Jumlah neutrofil tersebut lebih
rendah 9,2 % dari nilai normal. Rendahnya jumlah neutrofil di dalam sirkulasi
darah harus jadi perhatian, terutama jika disertai pula dengan jumlah leukosit total
yang rendah. Jumlah neutrofil yang rendah mengindikasikan kucing tersebut
beresiko rentan terhadap adanya infeksi. Namun demikian, jumlah neutrofil pada
kucing tersebut lebih besar dari 1500/ul, masih berada jauh diatas “jumlah
neutrofil dengan kategori memiliki resiko rentan terhadap infeksi (< 1500
leukosit/ul)”.
23

Jumlah Limfosit
Limfosit memiliki diameter berkisar antara 8 - 12 µm. Sitoplasma
berwarna biru pucat, inti berbentuk bulat hingga oval, lebih sering berbentuk tidak
beraturan, serta berisi vakuola kecil dan granula azurofilik (Abbas et al 2010).
Tabel 2 memperlihatkan rataan jumlah limfosit pada kucing kampung
adalah 6.70 ± 2.12×103/µl (kisaran 4.43 – 11.44×103/µl). Menurut Jain (1993),
kisaran jumlah limfosit kucing normal berkisar antara 1.50 - 7.00 ×103/µl, dan
menurut Wassmuth et al. (2011) antara 1.10 - 6.00×103/µl.
Berdasarkan Tabel 2, dari 12 ekor kucing kampung yang diamati,
sebanyak 10 ekor memiliki jumlah limfosit yang berada dalam interval normal
menurut Jain (1993). Sebanyak dua ekor lainnya memiliki jumlah limfosit diatas
nilai interval normal (masing-masing sebesar 11.44 ×103/µl dan 10.13×103/µl).

8 7.31
5.84
Jumlah limfosit

6
(×103/µl)

0
Jantan Betina

Gambar 10 Jumlah limfosit kucing kampung (Felis domestica)


berdasarkan jenis kelamin.

Gambar 10 memperlihatkan rataan jumlah limfosit kucing kampung jantan


lebih rendah dibandingkan dengan kucing kampung betina, masing-masing
sebesar 5.84 ± 0.91×103/µl(kisaran 5.15 - 6.94 ×103/µl) dan 7.31 ± 2.58 ×103/µl
(kisaran 4.43 - 11.44×103/µl). Hasil penelitian yang dilakukan Triastuty (2006)
menunjukkan hasil yang berbeda, dimana rataan jumlah limfosit kucing kampung
jantan adalah 9.60 ± 4.01×103/µl, dan pada kucing kampung betina sebesar 9.57 ±
3.48×103/µl.
Hasil pengamatan secara umum menunjukkan bahwa rataan jumlah
limfosit pada kucing kampung masih berada dalam interval normal menurut Jain
(1993). Namun demikian, secara individu ditemukan dua ekor kucing kampung
pengamatan memiliki jumlah limfosit diatas nilai interval normal (limfositosis).
Tingginya jumlah limfosit tersebut diikuti pula dengan jumlah leukosit total yang
24

tinggi dan jumlah neutrofil yang cenderung berada pada nilai interval “normal
atas” (Tabel 2).
Limfositosis merupakan keadaan dimana jumlah limfosit di dalam
sirkulasi darah meningkat diatas nilai interval normal. Peningkatan jumlah
limfosit dapat terjadi pada kondisi fisiologis maupun patologis. Kausa limfositosis
fisiologis meliputi exercise, stres fisik maupun emosi, excitement (pada kucing),
dan kondisi takut (Jain 1993).
Limfositosis fisiologis sering terjadi terutama pada hewan muda dan
bersifat sementara. Kucing berumur muda cenderung memiliki jumlah limfosit
yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kucing dewasa. Kucing berumur
muda masih sangat responsif terhadap rasa senang dan rasa takut, dimana hal ini
cenderung akan mengakibatkan terjadinya limfositosis fisiologis. Selain itu,
kucing yang berumur muda masih memiliki timus, dimana menjelang dewasa
kelamin timus berangsur-angsur mengecil namun sisa timus akan tetap ada sampai
tua. Timus berfungsi untuk menghasilkan limfosit sehingga secara tidak langsung
jumlah limfosit akan lebih besar dibandingkan dengan kucing dewasa (Schalm
2010).
Limfositosis patologis bersifat persisten. Limfositosis patologis terjadi
akibat adanya stimulasi antigenik (misalnya peradangan kronis, vaksinasi).
Limfositosis patologis merupakan gambaran umum penyakit inflamasi yang
bersifat kronis. Biasanya disertai pula dengan neutrofilia dan monositosis
(Stockham and Scott 2008).

Jumlah Monosit
Monosit merupakan jenis leukosit dengan ukuran paling besar
dibandingkan dengan jenis leukosit lainnya (Haen 1995). Menurut Dellmann &
Eurell (2006), monosit merupakan prekursor makrofag jaringan yang memiliki
inti pleomorfik, yaitu intinya bisa terlihat panjang, berbentuk tidak teratur, padat,
berlekuk, berbentuk seperti tapal kuda, dan kadang agak berlobus.
25

1400 1242.29

Jumlah monosit (/µl)


1200
1000
800 691
600
400
200
0
Jantan Betina

Gambar 11 Jumlah monosit kucing kampung (Felis domestica)


berdasarkan jenis kelamin.

Rataan jumlah monosit kucing kampung hasil pengamatan bisa dilihat


pada Tabel 2. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa rataan jumlah monosit pada
kucing kampung adalah 1012±580/µl. Jumlah monosit pada kucing normal
berkisar antara 0 - 850/µl (Jain 1993), dan menurut Wassmuth et al. (2011) antara
46 – 678/µl. Berdasarkan Gambar 11, rataan jumlah monosit pada kucing
kampung betina dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah monosit kucing
kampung jantan, masing-masing yaitu 1242.29 ± 662.78/µl dan 691± 212.43/µl.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sebanyak enam ekor kucing dari
12 ekor kucing kampung yang diamati memiliki jumlah monosit diatas nilai
interval normal (monositosis). Sebanyak satu ekor dengan jumlah monosit 992/µl
dan lima ekor lainnya dengan jumlah monosit lebih dari 1000/µl (Tabel 2).
Pola leukogram pada keenam kucing kampung dengan kondisi
monositosis bervariasi. Ditemukan beberapa macam pola leukogram, yaitu
1) monositosis yang disertai dengan leukositosis, limfositosis, dan jumlah
neutrofil pada nilai interval “normal atas” (1 ekor); 2) monositosis yang disertai
dengan jumlah leukosit total pada nilai interval “normal atas” dan limfositosis
(1 ekor); 3) monositosis disertai dengan jumlah leukosit total dan limfosit pada
nilai interval “normal atas” (1 ekor); 4) monositosis yang disertai dengan jumlah
leukosit total dan jumlah neutrofil pada nilai interval “normal atas” (1 ekor);
5) monositosis tanpa disertai dengan perubahan pada jumlah leukosit total,
jumlah limfosit dan jumlah neutrofil (1 ekor); dan 6) monositosis yang disertai
dengan jumlah limfosit yang cenderung pada nilai interval “normal atas”.
26

Menurut Schalm (2010), monositosis merupakan kondisi dimana jumlah


monosit tinggi di dalam sirkulasi darah diatas nilai interval normal. Monositosis
bisa terjadi sebagai respons terhadap peradangan. Kondisi monositosis disebabkan
karena meningkatnya produksi di dalam sumsum tulang (karena tidak ada
cadangan monosit di dalam sumsum tulang), baik pada infeksi akut maupun
kronis. Monositosis pada hewan anjing merupakan bagian dari stres leukogram.
Beberapa faktor sebagai kausa monositosis diantaranya yaitu semua proses yang
merangsang keadaan netrofilia, glukokortikoid, respons imun,dan infeksi kronis.

Jumlah Eosinofil
Eosinofil berdiameter antara 12-17 µm (Young et al. 2006), memiliki
nukleus polimorfik yang sedikit padat dan bersegmen (Dellmann & Eurell 2006).
Eosinofil merupakan sel utama kedua dari sistem mieloid. Sel ini tidak seefisien
neutrofil dalam memfagosit (Tizard 1988), tetapi lebih selektif dibandingkan
dengan neutrofil (Effendi 2003). Eosinofil berfungsi sebagai detoksikasi protein
sebelum dapat menyebabkan kerusakan dalam tubuh. Sel ini masuk ke dalam
darah dalam jumlah besar bila ada benda asing masuk (Bijanti 2005).
Tabel 2 memperlihatkan rataan jumlah eosinofil kucing kampung. Rataan
jumlah eosinofil pada kucing kampung pengamatan adalah 382 ± 141/µl (kisaran
119 – 576/ µl). Menurut Jain (1993), kisaran jumlah eosinofil pada kucing normal
berkisa antara 0 - 1500/µl dan menurut Wassmuth et al. (2011) antara 100-600/µl.

500 447.29
Jumlah eosinofil (/µl)

400
291.20
300
200
100
0
Jantan Betina

Gambar 12 Jumlah eosinofil kucing kampung (Felis domestica)


berdasarkan jenis kelamin.
27

Jika diamati terhadap jenis kelamin, rataan jumlah eosinofil pada kucing
kampung betina lebih tinggi dibandingkan dengan kucing kampung jantan,
masing-masing 447.29± 118.34/µl (betina, dengan kisaran 286-576/µl) dan
291.20 ± 126.75/µl (jantan, dengan kisaran 119-448/µl). Secara umum, jumlah
eosinofil pada ke-12 ekor kucing kampung pengamatan masih dalam nilai interval
normal.
Menurut Schalm (2010), peningkatan jumlah eosinofil di dalam sirkulasi
darah diatas nilai interval normal disebut sebagai eosinofilia. Eosinofilia bisa
terjadi karena meningkatnya produksi dalam sumsum tulang, meningkatnya
pelepasan cadangan dari sumsum tulang, redistribusi sel-sel dari pool marginal,
daya hidup intravaskuler diperpanjang. Beberapa kausa eosinofilia diantaranya
adalah penyakit parasitik (ektoparasit, endoparasit) dan respons alergik
(alergen).
Sebaliknya, kondisi menurunnya jumlah eosinofil dalam sirkulasi di
bawah nilai interval normal disebut sebagai eosinopenia. Eosinopenia terjadi
karena menurunnya pelepasan dari sumsum tulang, adanya lisis intravaskuler,
meningkatnya migrasi ke dalam jaringan. Kondisi eosinopenia biasa terlihat pada
stres leukogram. Namun demikian, relevansi klinis keadaan eosinopenia sangat
sedikit (Stockham & Scott 2008).
Menurut Chastain & Ganjam (1986), eosinopenia dapat terjadi karena
hewan mengalami infeksi atau peradangan akut, atau hewan mengalami stres. Saat
terjadi infeksi atau peradangan akut, keadaan tersebut akan memicu dilepaskannya
kortikosteroid dan catecholamine. Jumlah kortikosteroid yang berlebih dalam
tubuh merupakan faktor utama terjadinya eosinopenia.

Jumlah Basofil
Basofil merupakan jenis leukosit granulosit dengan jumlah yang paling
sedikit, berkisar antara 0.5 – 1.5%, dari jumlah leukosit total. Basofil memiliki
granula yang homogen, memiliki rER (rough endoplasmic reticulum),
mitokondria, dan kompleks golgi (Dellmann & Eurell 2006).
Rataan jumlah basofil pada kucing kampung hasil pengamatan dapat
dilihat pada Tabel 2. Hasil pengamatan menunjukkan rataan jumlah basofil
28

sebesar 109 ± 113/µl (kisaran 0 - 336/µl). Menurut Jain (1993) dan Wassmuth et
al. (2011), jumlah basofil kucing normal berkisar antara 0 – 143/µl.

160
135.40

Jumlah basofil (/µl)


140
120
100 91
80
60
40
20
0
Jantan Betina

Gambar 13 Jumlah basofil kucing kampung (Felis domestica)


berdasarkan jenis kelamin.

Gambar 13 memperlihatkan perbandingan antara rataan jumlah basofil


pada kucing jantan dan kucing betina. Rataan jumlah basofil pada kucing
kampung jantan sebesar 135.40 ± 148.73/µl (kisaran 0-336/µl), sedangkan pada
kucing kampung betina sebesar 91 ± 89.64 (kisaran 0-208/µl).
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sebanyak empat ekor kucing dari
12 ekor kucing yang diamati memiliki jumlah basofil diatas nilai interval normal
(basofilia), dengan peningkatan masing-masing sebesar 19.58%, 45.45%, 66.43,
dan 134.97% (Tabel 2). Pola leukogram pada keempat kucing kampung tersebut
bervariasi. Sebanyak satu ekor kucing, peningkatan jumlah basofil tersebut
disertai dengan leukositosis, limfositosis, dan monositosis; satu ekor kucing
lainnya disertai dengan limfositosis dan monositosis; dan dua ekor kucing sisanya
menunjukkan bahwa peningkatan jumlah basofil tidak disertai dengan perubahan
pada jumlah leukosit total maupun jenis leukosit lainnya.
Keadaan dengan jumlah basofil di dalam sirkulasi darah melebihi nilai
interval normal disebut sebagai basofilia. Jumlah basofil cenderung meningkat di
dalam darah perifer pada keadaan dimana terdapat juga eosinofilia. Beberapa
kausa basofilia diantaranya reaksi hipersensitifitas terhadap parasit dan allergen
(Schalm 2010). Nordenson (2002) dan Schalm (2010) melaporkan bahwa
basofilia dapat terjadi akibat respon tubuh terhadap infeksi virus, ektoparsit,
alergi atau peradangan, dan myeloid leukemia.
29

Sebaliknya, penurunan jumlah basofil di dalam sirkulasi darah dibawah


nilai interval normal disebut sebagai basopenia. Basopenia merupakan suatu
kondisi yang sulit untuk dideteksi karena jumlah basofil di dalam sirkulasi darah
sangat sedikit. Menurut Schalm (2010), jumlah basofil sangat sedikit di dalam
sirkulasi darah perifer, terutama pada hewan anjing dan kucing. Keadaan
basopenia pada hewan anjing dan kucing tidak memiliki relevansi klinis.
30

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap 12 ekor kucing kampung (Felis
domestica) di daerah Lingkar Kampus Dramaga, dapat disimpulkan bahwa :
1. Ditemukan beberapa pola leukogram, berupa leukositosis, limfositosis,
monositosis, dan basofilia (satu ekor); limfositosis, monositosis, dan
basofilia (satu ekor); monositosis (empat ekor); basofilia (dua ekor); dan
neutropenia (satu ekor) pada sembilan ekor kucing,
2. Sebanyak tiga ekor kucing memiliki jumlah leukosit total, neutrofil,
limfosit, eosinofil dan basofil dalam nilai interval normal.

Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan status
kesehatan kucing kampung (Felis domestica) di Lingkar Kampus IPB Dramaga
dengan menggunakan jumlah sampel kucing yang bisa mewakili kelompok atau
wilayah tertentu.
31

DAFTAR PUSTAKA

Abbas AK, Licthman AH, Pillai S. 2010. Cellular and Molecular Immunology. Ed
ke-6. Philadelphia: WB Saunders Company.

Bijanti R. 2005. Hematologi Ikan Teknik Pengambilan Darah dan Pemeriksaan


Hematologi Ikan. Surabaya: Bagian Ilmu Kedokteran Dasar Veteriner
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga.

Bohdal J. 2006. Domestic cat. [terhubung berkala]. http://naturephoto-


cz.com/domestic-cat-photo-1505.html [12 Juli 2012].

Bradshaw J. 1993. The True Nature Of The Cat. London: Boxtree Limited,
Broadwall House.

Chastain CB, Ganjam VK. 1986. Clinical Endocrinology of Companion Animals.


Philadelphia: Lea & Febiger.

Colville T, Bassert JM. 2008. Clinical Anatomy & Physiology for Veterinary
Technician. Missouri: Elsevier.

Dellmann HD, Brown EM. 1989. Histologi Veteriner. Ed ke-3. Jakarta: UI Pr.

Dellmann HD, Eurell JO. 2006. Textbook of Veterinary Histology. Ed ke-6.


Oxford: Blackwell Publishing.

Done SH, Goody PC, Evans SA, Stickland NC. 2009. Color Atlas of Veterinary
Anatomy, The Dog and Cat. Ed ke-3. Missouri: Elsevier.

Effendi Z. 2003. Peranan Leukosit Sebagai Anti Inflamasi Alergik dalam Tubuh.
Sumatera Utara: Bagian Histologi Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara.

Fowler ME. 1993. Wild Life Medicine Caurse. USA: Directorate General of
Livestock Services.

Ganong WF. 1996. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-8. Jakarta: EGC.

Guyton AC, Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-9. Jakarta: EGC.

Haen PJ. 1995. Principles of Hematology. Chicago: Loyola Marymont University


Wm C Brown Publisher.

Hoffbrand AV, Moss PAH, Pettit JE. 2006. Essential Haematology. Ed ke-5.
Massachusetts: Blackwell Science.

Jain NC. 1993. Essential of Veterinary Hematology. Philadelphia: Lea & Febiger.
32

Junqueira LC, Caneiro J. 2005. Basic Histology Text & Atlas. Ed ke-11. USA:
The Mc Graw-Hill Companies Inc.

Kelly WR. 1984. Veterinary Clinical Diagnosis. Ed ke-3. London: Bailliere


Tindall.

Macer VJ. 2003. Veterinary clinical laboratory technique. [terhubung berkala].


http://www.medaille.edu/vmacer/204_lec5_wbca_study.htm [11 Juli
2012].

Marco I, Fernando M, Josep P, Santiago L. 2000. Hematologic and serum


chemistry values of the captive european wildcat. J Wildlife Diseases
36(3):445-449.

Marieb EN. 1988. Essentials of Human Anatomy and Physiology. Ed ke-2.


California: Cummings Publishing Company.

Meadows G, Flint E. 2006. Buku Pegangan bagi Pemilik Kucing. Batam :


Karisma Publishing Group.

Metcalf D. 2006. Leukosit. [terhubung berkala]. http://en.wikipedia.org [25


Januari 2012].

Meyer DJ, Coles EH, Rich LJ. 1992. Veterinary Laboratory Interpretation and
Diagnosis. Philadelphia: WB Saunders Company.

Meyer DJ, Harvey JW. 2004. Veterinary Laboratory Interpretation and


Diagnosis. Ed ke-3. Philadelphia: WB Saunders Company.

Mitruka BM, Rawnsley. 1977. Clinical Biochemical and Hematology Refference


Values in Normal Experimental Animal. USA: Mason Publishing.

Nordenson NJ. 2002. White blood cell count and differential. [terhubung berkala].
http://www.lifesteps.com/gm.Atoz/ency/white_blood_cell_count_and_diff
erential.jsp [11 Juli 2012].

Pusparini. 2005. Pemeriksaan laboratorium berkala sebagai deteksi dini penyakit


kronis pada lansia. Univ Medicina 24(1): 43-50.

[RED] Redaksi Ensiklopedi Indonesia.2003. Ensiklopedi Indonesia Seri Fauna.


Jakarta: PT Ikrar Mandiriabadi.

Samuelson DA. 2007. Textbook of Veterinary Histology. Missouri: Elsevier.

Schalm OW. 1986. Veterinary Hematology. Ed ke-4. USA: Wiley-Blackwell.

Schalm OW. 2010. Veterinary Hematology. Ed ke-6. USA: Wiley-Blackwell.


33

Shier D, Butler J, Lewis R. 2002.Holes’s Human Anatomy and Physiology. Ed ke-


9. USA: The Mc Graw-Hill Companies Inc.

Speicher CE. 2008. Pemilihan Uji Laboratorium yang Efektif. Ed ke-1. Jakarta:
EGC.

Stockham SL, Scott MA. 2008. Fundamentals of Veterinary Clinical Pathology.


Oxford: Blackwell Publishing.

Sulaiman. 2010. Berbisnis Pembibitan Kucing. Yogyakarta: Lily Publisher.

Susanty Y. 2005. Memilih dan Merawat Kucing Kesayangan. Jakarta: Agro


Media Pustaka.

Suwed MA, Budiana NS. 2006. Membiakan Kucing Ras. Jakarta: Penebar
Swadaya.

Swenson MJ. 1997. Duke’s Physiology of Domestic Animal. Ed ke-10. London:


Cornell Univ Pr.

Tizard, I. 1988. Pengantar Imunologi Veteriner. Surabaya: Airlangga Univ Pr.

Tortora GJ, Bryan D. 2006. Principles of Anatomy and Physiology. Ed ke-11.


USA: John Wiley & Sons Inc.

Triastuty FN. 2006. Gambaran darah kucing kampung (Felis domestica) di daerah
Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Departemen Klinik,
Reproduksi, dan Patologi, Institut Pertanian Bogor.

Turner DC, Bateson P. 2000. The Domestic Cat, The Biology of Its Behaviour.
Cambridge: Cambridge University Pr.

Vander A, Sherman J, Luciano D. 2001. Human Physiology: The Mechanisms of


Body Function. Ed ke-8. USA: The Mc Graw-Hill Companies Inc.

Young B, Lowe JS, Stevens A, Heath JW. 2006. Wheater’s Functional Histology.
Ed ke-5. Missouri: Elsevier.
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Memiliki hewan peliharaan menjadi kebutuhan bagi masyarakat saat ini
dan kucing merupakan salah satu dari sekian jenis hewan peliharaan yang banyak
dipelihara oleh masyarakat di Indonesia. Kucing adalah hewan yang
menyenangkan dan cukup bersahabat dengan manusia. Felis domestica atau yang
biasa disebut kucing kampung merupakan jenis kucing asal Indonesia yang
umumnya dipelihara untuk hiburan, atau sebagai teman bagi sang pemilik.
Berbagai macam alasan memilih kucing kampung sebagai hewan peliharaan
diantaranya adalah pemeliharaan yang cukup mudah, lebih tahan dengan berbagai
macam penyakit dan memiliki daya adaptasi yang cukup tinggi bila dibandingkan
dengan kucing ras (Susanty 2005).
Kucing kampung yang tidak dipelihara atau hidup secara liar
mempertahankan hidupnya dengan cara memburu hewan-hewan kecil, seperti
tikus, burung, dan serangga (Bradshaw 1993). Selama ini belum pernah ada
informasi tentang status kesehatan dari hewan yang hidup secara “liar” (tidak
dipelihara). Menurut Speicher (2008), status kesehatan hewan dapat diketahui dari
data status fisiologis yang tepat dan akurat. Status kesehatan seekor hewan dapat
diperoleh diantaranya dengan melakukan pemeriksaan laboratorium yang
dilakukan melalui prosedur khusus, misalnya melalui pengambilan sampel feses,
urin, dan darah.
Pemeriksaan darah merupakan salah satu cara yang biasa dilakukan untuk
mengetahui status kesehatan. Pemeriksaan hematologi rutin merupakan salah satu
pemeriksaan darah yang umum dilakukan, meliputi pemeriksaan konsentrasi
hemoglobin, nilai hematokrit, jumlah leukosit total, jumlah eritrosit, jumlah
trombosit, hitung jenis leukosit dan laju endap darah (Pusparini 2005).

Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui status kesehatan kucing
kampung (Felis domestica), melalui pemeriksaan jumlah leukosit total, jumlah
neutrofil, eosinofil, basofil, limfosit dan monosit.
2

Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang status
kesehatan kucing kampung (Felis domestica) yang hidup secara liar (tidak
dipelihara) di daerah Lingkar Kampus IPB Dramaga Bogor.
3

TINJAUAN PUSTAKA

Taksonomi Kucing
Kucing termasuk keluarga Felidae, termasuk di dalamnya spesies kucing
besar seperti singa, harimau dan macan. Kucing tersebar secara luas di seluruh
Eropa, Asia Selatan dan Tengah, dan Afrika (RED 2003). Saat ini, kucing
merupakan salah satu hewan peliharaan terpopuler di dunia (Suwed & Budiana
2006). Klasifikasi biologi kucing kampung (Felis domestica) berdasarkan Fowler
(1993) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Mamalia
Ordo : Carnivora
Subordo : Conoidea
Famili : Felidae
Subfamili : Felinae
Genus : Felis
Spesies : Felis domestica

Kucing telah mengalami domestikasi dan hidup dalam simbiosis


mutualistik dengan manusia. Domestikasi pertama yang dilakukan manusia terjadi
pada tahun 4000 SM di Mesir, ketika kucing dimanfaatkan sebagai hewan
penjaga. Namun demikian, hubungan manusia dengan kucing sudah dimulai dari
8000 SM ketika manusia masih hidup nomaden (Susanty 2005).
4

Gambar 1 Felis domestica.


Sumber: Bohdal (2006)

Kucing domestik atau yang biasa disebut dengan kucing kampung


merupakan kucing hasil evolusi kucing liar yang beradaptasi dengan lingkungan,
dekat dengan manusia sepanjang ribuan tahun usia kehidupan. Proses adaptasi ini
menghasilkan jenis kucing yang berbeda di berbagai wilayah (Sulaiman 2010).

Karakteristik Kucing
Perkembangan evolusi keluarga kucing terbagi dalam tiga kelompok, yaitu
Panthera, Acinonyx, dan Felis. Felis adalah sejenis kucing kecil, salah satunya
Felis sylvestris yang kemudian berkembang menjadi kucing modern (Suwed &
Budiana 2006). Selain itu terbentuk juga ras kucing yang terjadi akibat mutasi gen
secara alami ataupun perkawinan silang. Ras kucing dapat dibedakan berdasarkan
kondisi rambut, yaitu kucing short hair, semi-long hair, variasi semi-long hair,
long hair, dan kucing tidak berambut seperti kucing Sphinx (Susanty 2005).
Seekor kucing berbulu pendek biasanya mempunyai panjang sekitar 76
cm. Beratnya sangat bervariasi antara 2.5 – 7 kg. Kucing ini anggun dengan badan
yang kokoh (Gambar 1), wajah yang membulat dengan moncong lebar, telinga
tegak, dan kumis yang baik (RED 2003).
Secara umum kucing memiliki ciri-ciri bertubuh kecil, daun telinga
berbentuk segitiga dan tegak, dan memiliki gigi taring yang sangat jelas karena
kucing merupakan karnivora sejati. Gigi premolar dan molar pertama membentuk
sepasang taring di setiap sisi mulut yang bekerja efektif untuk merobek daging
(Done et al. 2009).
5

Berbeda dengan anjing dan beruang, kucing merupakan karnivora sejati.


Kucing tidak makan apapun yang mengandung tumbuhan, sedangkan anjing dan
beruang kadang mengkonsumsi buah dan madu (Turner & Bateson 2000).
Kucing memiliki indera penciuman yang tajam karena dilengkapi dengan
alat khusus yaitu organ vomeronasal atau organ jacobson yang membantunya
mendeteksi bau (Meadows & Flint 2006). Selain dilengkapi dengan indera
penciuman yang tajam, kucing juga sensitif pada bunyi berfrekuensi tinggi yaitu
60 kHz sehingga dapat mendengar pekikan ultrasonik bangsa rodensia (RED
2003).
Indera penglihatan kucing dilengkapi dengan tapetum lucidum sehingga
kucing tetap dapat melihat dalam kondisi lingkungan gelap (Turner & Bateson
2000). Selain itu kucing dapat menggunakan kumisnya untuk menentukan arah
dan dapat mendeteksi perubahan angin yang amat kecil (Meadows & Flint 2006).
Kucing domestik dalam kehidupannya sangat bergantung pada
keahliannya dalam memburu mangsa. Oleh karena itulah kucing domestik
memiliki struktur tulang yang ramping dengan ukuran panjang dan lebar tubuh
yang seimbang dan proporsional, dan juga ditunjang oleh tulang yang kuat
sehingga membuat gerakannya semakin lincah dan mampu berlari kencang
(Suwed & Budiana 2006).
Kucing dikenal sebagai hewan penyendiri. Kucing jarang sekali
membentuk koloni dalam menjalankan kehidupannya. Setiap kucing memiliki
daerah tersendiri. Kucing jantan yang dianggap memiliki kemampuan kawin
tinggi akan memiliki daerah kekuasaan terbesar, sedangkan jantan steril memiliki
daerah paling kecil. Namun demikian tetap terdapat daerah netral, dimana kucing-
kucing dapat saling bertemu tanpa adanya konflik teritorial (Turner & Bateson
2000).
Masa kebuntingan kucing sekitar 63 hari, dengan kondisi anak yang
dilahirkan belum mampu berjalan dan kelopak mata masih tertutup. Mata mereka
baru terbuka pada 8-10 hari kemudian. Anak kucing sangat bergantung pada
induknya selama 6-7 minggu di awal kehidupannya, dan akhirnya dapat hidup
mandiri pada umur 10-15 bulan (RED 2003).
6

Perilaku kucing yang sangat mencolok adalah seringnya merawat diri


(grooming) dengan cara menjilat bulu mereka sendiri. Kucing termasuk hewan
yang bersih. Saliva kucing merupakan agen pembersih yang kuat. Akan tetapi,
akibat perilaku ini, dapat menimbulkan hairball atau gumpalan rambut yang bisa
menyebabkan gangguan yang bersifat patologis (Turner & Bateson 2000).

Darah
Darah merupakan cairan tubuh yang beredar dalam sistem pembuluh darah
yang tertutup, tersusun atas cairan ekstraseluler (cairan plasma) dan cairan
intraseluler (cairan dalam sel darah) (Vander et al. 2001). Marieb (1988)
menyatakan bahwa sel darah dibentuk oleh tiga elemen, yaitu sel darah merah
(eritrosit), sel darah putih (leukosit) dan keping darah (trombosit).
Volume darah kucing berkisar antara 4.7 - 6.9% berat badan. Faktor-faktor
yang mempengaruhi volume darah meliputi umur, status kesehatan, makanan,
ukuran tubuh, derajat aktivitas dan lingkungan (Mitruka & Rawnsley 1977).
Darah bersirkulasi di dalam sistem vaskuler dan melaksanakan fungsinya
sebagai sistem transportasi nutrisi, oksigen, sisa-sisa metabolisme, dan hormon.
Darah berperan sebagai alat pertahanan tubuh terhadap benda-benda asing yang
bersifat patogen, seperti bakteri atau virus. Selain itu,darah berfungsi pula dalam
menjaga hemostasis pada proses pembekuan darah dan persembuhan luka
(Guyton 1997). Gambaran darah kucing kampung normal dapat dilihat pada Tabel
1.
Tabel 1 Gambaran normal darah kucing
Nilai rata-rata Wassmuth et al.
Parameter Jain (1993)
(Jain 1993) (2011)
Eritrosit (x 106/µl) 5.00 – 10.00 7.50 7.00 – 10.70
Hemoglobin (g/dl) 8.00 – 15.00 12.00 11.30 – 15.50
Hematokrit (%) 24.00 – 45.00 37.00 33.00 – 45.00
MCV (fl) 39.00 – 55.00 45.00 41.00 – 49.00
MCH (pg) 13.50 – 17.50 15.50 14.00 – 17.00
MCHC (%) 30.00 – 36.00 33.20 3.00 – 36.00
Leukosit (x103/µl) 5.50 – 19.50 12.50 4.60 – 12.80
Neutrofil (x103/µl) 2.50 – 12.50 7.50 2.32 – 10.01
Limfosit (x103/µl) 1.50 – 7.00 4.00 1.05 – 6.00
Monosit (/µl) 0 – 850 350 46 – 678
Eosinofil (/µl) 0 – 1500 650 100 – 600
Basofil (/µl) 0 – 143 0 0 – 143
7

Leukopoiesis
Leukopoiesis merupakan pembentukan leukosit atau sel darah putih. Sel-
sel darah ini dibentuk dari sel stem hemopoietik pluripotensial yang berasal dari
sumsum tulang. Sel stem hemopoietik pluripotensial akan berdifereniasi menjadi
berbagai tipe sel stem committed, dimana sel-sel committed ini akan membentuk
eritrosit dan cell lineages utama leukosit, yaitu mielositik yang dimulai dari
mieloblas dan limfositik yang dimulai dari limfoblas (Shier et al. 2002).
Hormon yang mengatur dan merangsang pembentukan eritrosit dan
leukosit disebut Colony Stimulating Factor (CSF). Proses pembentukan sel
granulosit dipengaruhi oleh interleukin-3 (IL-3) dan Granulocyte Colony
Stimulating Factor (G-CSF), sedangkan pembentukan monosit dipengaruhi oleh
Granulocyte Monocyte Colony Stimulating Factor (GM-CSF) (Guyton 1997).

Gambar 2 Pembentukan leukosit.


Sumber: Vander et al. (2001)

Mieloblas kemudian berkembang menjadi promielosit, lalu mielosit,


dimana mielosit ini masing-masing akan berdiferensiasi menjadi mielosit
neutrofil, mielosit eosinosil, dan mielosit basofil. Mielosit kemudian berkembang
lagi menjadi metamielosit, sel muda dan kemudian sel dewasa. Tahap
perkembangan monosit adalah monoblas, promonosit, monosit, dan selanjutnya
akan menjadi makrofag di dalam jaringan (Ganong 1996).
8

Limfosit berasal dari sel stem dalam folikel limfatik pada nodus limfe,
limpa, timus, kemudian berkembang menjadi limfoblas, prolimfosit, hingga tahap
limfosit. Faktor yang merangsang produksi, diferensiasi, dan multiplikasi sel
progenitor limfoid sangat kompleks, diantaranya adalah pengaruh
microenvironmental seperti, interleukin, dan antigen (Vander et al. 2001).

Leukosit (Sel Darah Putih)


Leukosit dibentuk di sumsum tulang dan sebagian lagi dibentuk di
jaringan limfe. Leukosit merupakan sel yang berperan dalam respon kekebalan
tubuh, dan bertugas untuk memusnahkan benda-benda yang dianggap asing dan
berbahaya oleh tubuh seperti virus atau bakteri (Guyton 1997). Leukosit mampu
keluar dari pembuluh darah pada saat menjalankan fungsinya untuk menuju ke
jaringan yang membutuhkan (Dellmann & Brown 1989; Ganong 1996).
Leukosit dibagi dalam dua kelompok besar yaitu leukosit granulosit dan
leukosit agranulosit. Jenis leukosit granulosit memiliki granula khas yang terdapat
di dalam sitoplasmanya. Termasuk ke dalam jenis ini adalah neutrofil, eosinofil
dan basofil. Leukosit agranulosit terdiri dari limfosit dan monosit, dimana jenis
sel ini tidak memiliki granula dalam sitoplasmanya (Ganong 1996).
Jumlah leukosit total jauh di bawah jumlah eritrosit, dan jumlah dari
masing-masing jenisnya bervariasi tergantung dari spesies hewan. Fluktuasi
jumlah leukosit total pada tiap individu cukup besar dan dipengaruhi oleh kondisi
tertentu misalnya stres, aktivitas fisiologis, gizi dan umur (Dellmann & Brown
1989).
Respons leukosit merefleksikan adanya suatu proses fisiologis atau adanya
penyakit di dalam sistem/organ lain. Manifestasi respons lekosit berupa
peningkatan atau penurunan pada satu atau lebih jenis lekosit di dalam sirkulasi
darah (Stockham & Scott 2008).
Menurut Meyer & Harvey (2004), suatu keadaan dimana jumlah leukosit
total di dalam sirkulasi darah meningkat melebihi batas atas normal untuk spesies
tersebut disebut sebagai leukositosis. Leukositosis bisa bersifat fisiologis ataupun
patologis.
Leukositosis yang dihasilkan oleh adanya suatu aktifitas yang bersifat
psikologis dan/atau fisik disebut sebagai leukositosis fisiologis. Keadaan ini
9

sering terjadi pada kondisi stres (akut) fisik, emosi atau penyakit, dan biasanya
bersifat temporer (Jain 1993).
Menurut Stockham & Scott (2008), leukositosis yang bersifat patologis
muncul sebagai respons terhadap adanya penyakit akibat meningkatnya neutrofil
yang bersirkulasi (relatif, absolut, atau keduanya), bisa dengan atau tanpa left
shift. Peningkatan jumlah leukosit total lebih nyata terutama pada infeksi yang
bersifat lokal oleh bakteri piogenik (misalnya piometra, abses).
Leukopenia merupakan suatu keadaan dimana jumlah leukosit total yang
bersirkulasi menurun dibawah nilai referensi normal untuk spesies tersebut.
Biasanya disebabkan karena kebutuhan terhadap leukosit yang meningkat,
penurunan produksi sumsum tulang akibat penggunaan obat-obatan tertentu,
infeksi virus, dan penurunan produksi sel limfoid (Stockham & Scott 2008).

Leukosit Granulosit
Neutrofil
Neutrofil berkembang dalam sumsum tulang dan dikeluarkan ke dalam
sirkulasi darah. Persentase di dalam sirkulasi darah berkisar antara 60–70% dari
jumlah leukosit total yang beredar. Memiliki granula halus berwarna ungu dalam
sitoplasma yang beraspek kelabu pucat dan inti bergelambir (Gambar 3). Granula
pada neutrofil ada dua jenis yaitu azurofilik yang merupakan granula yang
mengandung enzim lisosom dan peroksidase dan granula spesifik yang lebih
kecil, mengandung fosfatase alkali dan zat-zat bakterisidal (protein kationik)
yang dinamakan fagositin (Dellmann & Brown 1989).

Gambar 3 Neutrofil (dewasa) kucing.


Sumber: Schalm (2010)
10

Neutrofil merupakan garis pertahanan tubuh pertama terhadap infeksi


bakteri. Selain itu neutrofil juga mampu melawan agen patogen lain seperti jamur
dan protozoa (Tortora & Bryan 2006). Sel ini mampu mencari, memakan, dan
membunuh bakteri yang menginfeksi tubuh inangnya (Ganong 1996; Guyton
1997).
Neutrofil mampu bertahan hidup selama 4-10 jam di dalam sirkulasi, dan
selama 1-2 hari di dalam jaringan (Metcalf 2006). Neutrofil dalam menjalankan
fungsinya akan mengalami proses diapedesis, dimana neutrofil memasuki
jaringan, melekat pada endotelium dan kemudian menyusup melalui dinding
kapiler diantara sel-sel endotel (Ganong 1996).
Neutrofil matang/dewasa (neutrofil segmen) berada dalam peredaran darah
perifer, memiliki bentuk inti yang terdiri dari 2-5 segmen, sedangkan neutrofil
yang belum matang (band neutrophil) memiliki bentuk inti seperti ladam kuda.
Band neutrophil dapat dijumpai di dalam darah dalam jumlah yang meningkat
akibat adanya kebutuhan terhadap neutrofil yang meningkat dan cadangan
neutrofil matang berkurang. Keadaan dimana jumlah band neutrophil di dalam
sirkulasi darah meningkat disebut sebagai left shift. Jika dalam sirkulasi darah
banyak ditemukan neutrofil multi-segmen, maka keadaan ini disebut sebagai right
shift (Colville & Bassert 2008).
Menurut Jain (1993), meningkatnya jumlah neutrofil di dalam sirkulasi
darah diatas nilai referensi normal disebut neutrofilia. Meningkatnya jumlah
neutrofil disebabkan karena meningkatnya pergeseran sel-sel neutrofil dari pool
marginal ke dalam pool sirkulasi (demarginasi) dan/atau meningkatnya pelepasan
neutrofil dari sumsum tulang. Beberapa faktor yang mempengaruhi demarginasi
neutrofil misalnya glukokortikoid eksogen/endogen dan epinefrin
endogen/eksogen.
Menurut Stockham & Scott (2008), jumlah neutrofil dalam sirkulasi darah
bisa juga meningkat akibat meningkatnya proses granulopoiesis & meningkatnya
pelepasan neutrofil dari pool penyimpanan. Kondisi ini bisa ditemukan pada
kasus-kasus inflamasi, infeksi oleh bakteri, Feline Infectious Peritonitis, nekrosis,
hemolisis immune- mediated.
11

Basofil
Basofil diproduksi di dalam sumsum tulang dan hampir tidak memiliki
kemampuan untuk memfagosit (Swenson 1997). Persentase basofil di dalam
sirkulasi darah berkisar antara 0.5 - 1.5% dari jumlah leukosit total. Diameter sel
antara 10-12 µm, dan memiliki inti dua gelambir (Gambar 4). Granula berwarna
biru tua sampai ungu yang sering menutup inti yang berwarna cerah dengan
ukuran antara 0.5 - 1.5 µm (Dellmann & Brown 1989).
Basofil sulit ditemukan di dalam sirkulasi darah pada hewan anjing dan
kucing. Granula basofil kucing berwarna biru ungu dan memiliki selaput yang
berbentuk bulat atau lonjong besar. Granula tersebut bersifat metakromatik pada
pH rendah yang disebabkan oleh proteoglikan dan heparin (Dellmann&Brown
1989).

Gambar 4 Basofil kucing.


Sumber: Hoffbrand et al. (2006)

Guyton (1997) menyatakan bahwa basofil di dalam sirkulasi darah mirip


dengan sel mast. Kedua sel tersebut melepaskan heparin yang berfungsi mencegah
pembekuan darah. Selain heparin, sel mast dan basofil juga melepaskan histamin
dan sedikit bradikinin dan serotinin. Meskipun berkembang sebagai sistem yang
terpisah, namun keduanya sama-sama berperan pada kondisi alergi (Meyer &
Harvey 2004). Basofil dan sel mast dapat melepaskan isi granulanya melalui
proses kemotaksis dan secara fungsional mampu untuk meresintesis isi granula
(Dellmann & Eurell 2006). Masa hidup basofil hanya beberapa hari, sedangkan
sel mast bisa berminggu-minggu bahkan sampai berbulan-bulan (Jain 1993).
12

Basofil juga berperan dalam metabolisme trigliserida dan memiliki


reseptor untuk IgE yang menyebabkan degranulasi melalui eksositosis. Adanya
reseptor tersebut mengakibatkan basofil dapat membangkitkan reaksi
hipersensitifitas dengan mensekresikan mediator vasoaktif, sehingga dapat
menyebabkan peradangan akut pada tempat antigen berada (Tizard 1988).
Granula basofil mengandung heparin, histamin, asam hialuronat, kondroitin sulfat,
serotonin dan beberapa faktor kemotaktik lainnya (Dellmann&Brown 1989).

Eosinofil
Eosinofil berdiameter antara 10-15 µm dengan inti bergelambir dua dan
dikelilingi granula-granula asidofil yang cukup besar, berukuran antara 0,5-1,0
µm (Gambar 5). Masa hidup sel berkisar antara 3-5 hari. Eosinofil kucing
memiliki banyak granula berbentuk batang yang tidak refraktil (Dellmann
&Brown 1989).

Gambar 5 Eosinofil kucing.


Sumber: Hoffbrand et al. (2006)

Persentase eosinofil di dalam sirkulasi darah berkisar antara 2-8% dari


jumlah leukosit total (Dellmann & Brown 1989). Menurut Tizard (1988), eosinofil
diproduksi dalam jumlah besar ketika terjadi infeksi parasit, dimana eosinofil
langsung bermigrasi ke jaringan yang terinfeksi. Mekanismenya dengan cara
melekatkan diri pada parasit melalui molekul permukaan khusus dan melepaskan
bahan-bahan yang dapat membunuh parasit.
Menurut Tizard (1988), terdapat dua fungsi istimewa eosinofil. Pertama,
eosinofil secara unik cocok untuk menyerang dan menghancurkan larva cacing
yang menyusup. Kedua, enzim yang dihasilkan eosinofil mampu menetralkan
faktor radang yang dilepaskan oleh sel mast dan basofil.
13

Leukosit Agranulosit
Monosit
Monosit merupakan jenis leukosit dengan ukuran sel terbesar, berdiameter
antara 15-20 µm. Persentase monosit di dalam sirkulasi darah berkisar antara 3-
9% dari jumlah leukosit total. Secara umum sitoplasma monosit lebih banyak dan
berwarna biru abu-abu pucat dibandingkan dengan limfosit. Sering tampak adanya
granula azurofil halus seperti debu, inti berbentuk lonjong seperti ginjal atau
mirip tapal kuda (Gambar 6) (Dellmann & Brown 1989).
Monosit merupakan fagosit aktif, dimobilisasi sebagai bagian dari respon
peradangan dan membentuk garis pertahanan setelah neutrofil (Ganong 1996).
Apabila monosit masuk ke dalam jaringan tubuh maka akan berubah menjadi
makrofag (Tizard 1988).

Gambar 6 Monosit kucing.


Sumber: Hoffbrand et al. (2006)

Menurut Colville & Bassert (2008), monosit memiliki tiga fungsi.


Pertama, membersihkan sel debris yang dihasilkan oleh proses peradangan atau
infeksi. Kedua, memproses beberapa antigen yang menempel pada membran sel
limfosit menjadi lebih antigenik sehingga dapat mudah dicerna oleh monosit dan
makrofag. Ketiga, monosit memiliki kemampuan yang sama dengan neutrofil,
yaitu untuk menghancurkan zat asing yang masuk ke dalam tubuh.
Sel monosit merupakan sel makrofag yang belum matang dan memiliki
kemampuan yang lemah untuk mengeliminasi benda asing yang menyebabkan
infeksi. Ukuran sel monosit mulai membesar saat masuk ke dalam jaringan,
dengan diameter bisa mencapai lima kali lipat. Monosit pada tahap ini disebut
sebagai makrofag yang memiliki kemampuan untuk memfagosit (Guyton 1997).
14

Mekanisme monosit dalam menjalankan tugasnya terdiri dari beberapa


tahap. Tahap-tahap tersebut yaitu, monosit masuk ke dalam jaringan melalui
proses kemotaksis yang dihasilkan oleh proses kerusakan jaringan akibat trauma
atau serangan mikroorganisme (Colville & Bassert 2008). Kemudian luka pada
jaringan melepaskan substansi seperti histamin, bradikinin, serotonin,
prostaglandin, beberapa macam reaksi komplemen dan substansi hormonal yang
disebut limfokin (Guyton 1997). Limfokin merupakan substansi hormonal yang
dihasilkan oleh leukosit yang berperan dalam aktivasi makrofag, transformasi
limfosit, dan kekebalan berperantara sel (Haen 1995). Selain itu, monosit juga
mensekresikan kolagenase, elastase, dan aktivator plasminogen yang berguna
dalam proses penyembuhan luka dan fagositosis (Tizard 1988).

Limfosit
Limfosit dibentuk dalam sumsum tulang, tetapi sebagian besar dibentuk
dalam kelenjar limfe, timus dan limpa dari sel prekusor yang mula-mula berasal
dari sumsum tulang itu sendiri (Ganong 1996). Sel limfosit memiliki dua bentuk,
yaitu limfosit besar dan limfosit kecil. Limfosit besar merupakan sel limfosit yang
belum dewasa, sedangkan limfosit kecil adalah sel limfosit yang sudah dewasa.
Limfosit besar (Gambar 7) memiliki inti yang besar dengan sitoplasma yang lebih
banyak dibandingkan dengan limfosit kecil. Limfosit kecil memiliki nukleus lebih
kecil dan kuat mengambil zat warna, dan dikelilingi oleh sitoplasma berwarna
biru pucat (Dellmann & Brown 1989).

Gambar 7 Limfosit besar pada kucing.


Sumber: Hoffbrand et al. (2006)
Ukuran limfosit secara umum berkisar antara 7-8 µm, dengan diameter
antara 9-15 µm untuk limfosit besar dan 6-9 µm untuk limfosit kecil (Dellmann &
15

Brown 1989). Menurut fungsinya limfosit dibagi menjadi dua jenis, yaitu limfosit
B sebagai penghasil antibodi dan limfosit T yang dapat menimbulkan kekebalan
berperantara sel (Ganong 1996).
Limfosit merupakan unsur yang penting dalam sistem kekebalan tubuh.
Sistem ini sangat mampu menghasilkan antibodi melawan agen asing yang
menginvasi tubuh inang (Ganong 1996). Dalam perjalanannya, limfosit terus-
menerus memasuki sistem sirkulasi bersama dengan aliran limfe dari nodus limfe
dan jaringan limfoid lainnya. Setelah beberapa jam kemudian, limfosit berjalan
kembali ke jaringan dengan cara diapedesis dan selanjutnya kembali memasuki
jaringan limfoid atau ke sirkulasi darah (Guyton 1997). Persentase limfosit di
dalam sirkulasi darah berkisar antara 20-25% dari jumlah leukosit total (Dellmann
& Brown 1989).
Peningkatan jumlah limfosit dapat terjadi pada kondisi fisiologis maupun
patologis. Limfositosis fisiologis terjadi terutama pada hewan muda dan bersifat
sementara. Kucing berumur muda cenderung memiliki jumlah limfosit yang lebih
tinggi bila dibandingkan dengan kucing dewasa. Kucing berumur muda masih
sangat responsif terhadap rasa senang dan rasa takut, dimana hal ini cenderung
akan mengakibatkan terjadinya limfositosis fisiologis (Schalm 2010). Selain itu,
kucing yang berumur muda masih memiliki timus, dimana timus berfungsi untuk
menghasilkan limfosit sehingga secara tidak langsung jumlah limfosit akan lebih
besar. Limfositosis patologis terjadi pada peradangan kronis yang disertai dengan
neutrofilia dan monositosis (Schalm 2010).
Keadaan dimana jumlah limfosit yang bersirkulasi dalam darah berada
dibawah nilai interval normal disebut limfopenia. Limfopenia dapat disebabkan
oleh faktor stres. Kondisi stres akan menyebabkan kadar kortisol dalam darah
meningkat. Kortisol dapat menyebabkan limfopenia dengan cara mengurangi
mitosis atau pembentukan limfosit. Hormon ini juga berpengaruh terhadap
berkurangnya limfosit dalam sirkulasi darah karena terjadi redistribusi limfosit ke
sumsum tulang (Chastai & Ganjam 1986).
16

MATERI DAN METODE

Waktu dan Tempat


Penelitian dilaksanakan mulai dari Juli 2011 sampai dengan Januari 2012.
Analisis sampel darah dilakukan di Laboratorium Patologi Klinik Bagian Penyakit
Dalam, Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi, Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Materi
Hewan yang digunakan adalah 12 ekor kucing kampung (Felis domestica)
yang hidup secara liar (tidak dipelihara) di daerah Lingkar Kampus IPB
Dramaga. Bahan yang digunakan adalah metanol, alkohol 70%, Giemsa 10%,
larutan Turk, kapas, kertas tisu dan minyak imersi.
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini meliputi tabung vacutainer
berantikoagulan EDTA (Ethylene Diamine Tetra Acetic Acid), dysposable syringe
3 ml, gelas obyek, gelas penutup, pipet leukosit, kamar hitung Neubauer, hand
counter dan mikroskop.

Metode
Pengambilan dan Pemeriksaan Sampel Darah
Darah diambil dari vena femoralis sebanyak 1 ml menggunakan
dysposable syringe 3 ml. Sampel darah kemudian dimasukkan ke dalam
vacutainer berantikoagulan EDTA untuk dianalisis terhadap jumlah leukosit total,
jumlah neutrofil, limfosit, monosit, eosinofil, dan basofil.

Pemeriksaan Jumlah Leukosit Total


Jumlah leukosit total dihitung menggunakan metode hemositometer
(Schalm 1986). Darah dihisap melalui pipet pengencer leukosit dan aspiratornya
sampai batas garis 0,5, kemudian dilanjutkan dengan penambahan larutan
pengencer Turk sampai batas garis 11. Campuran di dalam pipet ini kemudian
dihomogenkan dengan memutar pipet membentuk angka delapan. Sebelum
diteteskan ke dalam kamar hitung, campuran di ujung pipet dibuang dahulu
beberapa tetes menggunakan kertas tisu. Leukosit yang dihitung adalah leukosit
17

yang terdapat pada empat sudut kamar hitung yang masing-masing memiliki 16
kotak kecil (ruang hitung untuk leukosit). Hasilnya dikalikan 50, menjadi χ x 50
butir/ul darah.

Pembuatan Preparat Ulas Darah


Pembuatan preparat ulas darah diawali dengan meneteskan satu tetes darah
di ujung gelas obyek, lalu gelas obyek kedua diletakkan di sepanjang tepi tetesan
gelas obyek pertama dengan sudut kemiringan 300-450. Setelah itu, gelas obyek
kedua didorong di sepanjang gelas obyek pertama sehingga terbentuk suatu
apusan darah yang tipis. Kemudian apusan darah tersebut dikeringkan dengan cara
dibiarkan atau dikeringkan secara alami. Preparat ulas darah kemudian difiksasi
dengan metanol selama 5 menit, dilanjutkan dengan proses pewarnaan
menggunakan Giemsa 10% selama 30 menit. Preparat ulas kemudian dicuci
dengan air mengalir, setelah itu dikeringkan di udara.

Penghitungan Diferensiasi Leukosit


Penghitungan diferensiasi leukosit dilakukan menggunakan mikroskop
dengan pembesaran 10×100, dan dihitung dalam 100 sel leukosit. Nilai yang
diperoleh dalam bentuk persentase (nilai relatif) dari masing-masing jenis
leukosit. Nilai absolut diperoleh dengan cara mengalikan persentase masing-
masing jenis leukosit dengan jumlah leukosit total.
18

HASIL DAN PEMBAHASAN

Jumlah LeukositTotal
Leukosit merupakan unit darah yang aktif dari sistem pertahanan tubuh
dalam menghadapi serangan agen-agen patogen, zat racun, dan menyingkirkan
sel-sel rusak dan abnormal (Kelly 1984; Guyton 1997). Fluktuasi jumlah leukosit
total pada tiap individu cukup besar dan dipengaruhi oleh banyak faktor
(Dellmann & Brown 1989).

Tabel 2 Jumlah leukosit total dan diferensiasi leukosit pada kucing


kampung (Felis domestica)

Leukosit
Jenis Neutrofil Limfosit Monosit Eosinofil Basofil
Nomor Total
Kelamin (×103/µl) (×103/µl) (/µl) (/µl) (/µl)
(×103/µl)
1 ♀ 14.30 7.72 4.43 1716* 286 143
2 ♀ 10.90 5.09 5.09 542 542 0
3 ♀ 24.80* 6.24 11.44* 2288* 416 208*
4 ♀ 17.20 4.98 10.13* 1374* 515 171*
5 ♀ 14.70 5.87 7.19 1174* 293 0
6 ♀ 12.60 4.02 6.53 1257* 503 0
7 ♀ 11.50 3.91 6.33 345 576 115
8 ♂ 10.40 2.27** 6.72 828 310 103
9 ♂ 11.00 4.52 5.29 992* 220 0
10 ♂ 11.90 5.96 5.12 596 119 238*
11 ♂ 12.00 3.95 6.94 479 359 0
12 ♂ 11.20 4.59 5.15 560 448 336*
13.50 ± 4.93 ± 6.70 ± 1012 ± 382 ± 109 ±
Rata-rata±SD
4.00 1.40 2.12 580 141 113
10.40 – 2.27 – 4.34 – 345-
Kisaran 119 - 576 0 - 336
24.80 7.72 11.44 2288
*) 5.50 - 2.50 - 1.50 –
Referensi 0 - 850 0 - 1500 0 - 143
19.50 12.50 7.00
*
diatas nilai interval normal
**
dibawah nilai interval normal
*)
Jain (1993)

Rataan jumlah leukosit total dan diferensiasi leukosit pada kucing


kampung (Felis domestica) dapat dilihat pada Tabel 2. Hasil pengamatan
menunjukan rataan jumlah leukosit total sebesar 13.50 ± 4.00 ×103/µl (kisaran
10.40 – 24.80 ×103/µl). Jumlah leukosit total pada kucing normal menurut Jain
(1993) berkisar antara 5.50 – 19.50×103/µl. Secara umum, dari 12 ekor kucing
kampung yang diamati, 11 ekor diantaranya memiliki jumlah leukosit total yang
masih berada dalam interval normal. Sebanyak satu ekor kucing kampung
19

memiliki jumlah leukosit total diatas nilai interval normal (24.80×103/µl; kisaran
nilai interval normal 5.50 – 19.50×103/µl).

16 15.10

Jumlah leukosit total


14
11.30
(×103/µl)
12
10
8
6
4
2
0
Jantan Betina

Gambar 8 Jumlah leukosit total kucing kampung (Felis domestica)


berdasarkan jenis kelamin.

Apabila diamati berdasarkan jenis kelamin, rataan jumlah leukosit total


pada kucing kampung jantan cenderung lebih rendah dibandingkan dengan kucing
kampung betina(Gambar 8). Rataan jumlah leukosit total pada kucing kampung
betina adalah 15.10 ± 4.80×103/µl (kisaran 10.90 – 24.80×103/µl), dan pada
kucing kampung jantan sebesar 11.30 ± 0.70×103/µl (kisaran 10.40 –
12.00×103/µl).
Jumlah leukosit total pada penelitian ini menunjukan hasil yang lebih
tinggi bila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Triastuty (2006), dimana rataan jumlah leukosit total pada kucing kampung betina
adalah 10.27 ± 3.79×103/µl dan kucing kampung jantan 10.13 ± 4.24×103/µl.
Triastuty (2006) melakukan penelitian pada kucing kampung yang dipelihara,
sedangkan pada pengamatan ini menggunakan kucing kampung yang tidak
dipelihara (hidup liar). Jumlah leukosit total di dalam sirkulasi darah pada
umumnya dipengaruhi oleh jumlah neutrofil atau limfosit di dalam sirkulasi darah
(Schalm 2010).
Jumlah leukosit total dipengaruhi oleh beberapa faktor fisiologis, seperti
jenis ras, kebuntingan, musim, sedikit dipengaruhi jenis kelamin, dan sangat
dipengaruhi oleh umur hewan. Jumlah leukosit total akan meningkat pada masa
kebuntingan. Faktor umur juga sangat berpengaruh, dimana hewan yang berumur
20

muda akan memiliki jumlah leukosit total yang lebih tinggi dibandingkan dengan
hewan dewasa. Seiring dengan bertambahnya umur, jumlah leukosit total akan
semakin stabil. Hal ini disebabkan karena organ pembentuk sel darah, seperti
limpa dan sumsum tulang akan terus berkembang seiring bertambahnya umur
hewan (Jain 1993).
Berbeda dengan eritrosit yang sangat dipengaruhi oleh jenis kelamin,
jumlah leukosit total tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin. Alasan utama
keberadaan leukosit dalam darah adalah karena sel-sel darah putih ini diangkut
dari sumsum tulang atau jaringan limfoid ke area tubuh yang memerlukan. Dalam
proses pembentukannya, jenis kelamin tidak menjadi faktor penginduksi
pertumbuhan, melainkan adanya faktor lain seperti penyakit infeksius. Penyakit
infeksius akan menyebabkan terjadinya pertumbuhan, diferensiasi, dan akhirnya
pembentukan leukosit jenis spesifik yang diperlukan untuk menghadapi infeksi
tersebut (Guyton 1997).
Hasil pengamatan secara umum menunjukkan bahwa rataan jumlah leukosit
total pada kucing kampung masih berada dalam interval normal. Namun
demikian, secara individu terdapat satu ekor kucing dengan jumlah leukosit total
diatas nilai interval normal (leukositosis). Respon leukosit yang tinggi
merefleksikan adanya suatu proses fisiologis (leukositosis fisiologis) atau adanya
proses patologis atau penyakit di dalam sistem atau organ lain (leukositosis
patologis) (Dellmann & Brown 1989).
Leukositosis fisiologis terjadi akibat adanya aktifitas psikologis dan/atau
fisik. Keadaan ini sering terjadi pada kondisi stres (akut). Apabila hewan
mengalami stres, tubuh akan melepaskan hormon kortisol dan epineprin. Hormon
kortisol akan merangsang sumsum tulang untuk melepaskan neutrofil matang,
sehingga jumlah neutrofil di dalam sirkulasi darah meningkat. Hormon epineprin
bekerja dengan meningkatkan sirkulasi darah dan limfe serta menyebabkan
demarginasi leukosit dari dinding pembuluh darah (Jain 1993).
Leukositosis patologis timbul sebagai respon terhadap adanya penyakit.
Peningkatan jumlah leukosit total yang nyata terutama terjadi pada kondisi infeksi
lokal oleh bakteri piogenik, misalnya pada piometra dan abses (Hoffbrand et al.
2006). Leukositosis yang disertai dengan meningkatnya jumlah neutrofil
21

(neutrofilia), limfosit (limfositosis) dan monosit (monositosis) dapat dijumpai


pada inflamasi yang bersifat kronis (Jain 1993; Stockham & Scott 2008).

Jumlah Neutrofil
Neutrofil merupakan garis pertahanan tubuh pertama (first line of defense)
terhadap infeksi bakteri (Junqueira & Caneiro 2005). Fungsi utama neutrofil
adalah menghancurkan bahan asing melalui proses fagositosis, yaitu kemotaksis
dengan cara sel bermigrasi menuju agen patogen atau perlekatan oleh sel dan
penghancuran agen patogen oleh enzim lisosim (Abbas et al. 2010).
Tabel 2 memperlihatkan rataan jumlah neutrofil sebesar 4.93 ±
1.40×103/µl (kisaran 2.27 - 7.72×103/µl), dengan nilai relatif berkisar antara 22-
54%. Menurut Jain (1993), jumlah neutrofil pada kucing normal berkisar antara
2.50 - 12.50×103/µl, sedangkan menurut Wassmuth et al. (2011) antara 2.32 -
10.01×103/µl, dengan nilai relatif menurut Effendi (2003) berkisar antara 60-70%.

6 5.40
Jumlah neutrofil

5 4.26
(×103/µl)

4
3
2
1
0
Jantan Betina

Gambar 9 Jumlah neutrofil kucing kampung (Felis domestica)


berdasarkan jenis kelamin.

Jika diamati berdasarkan jenis kelamin, jumlah neutrofil diantara kedua


jenis kelamin cenderung hampir sama (Gambar 9). Jumlah netrofil pada kucing
jantan yaitu 4.26 ± 1.33×103/µl (kisaran 2.27 - 5.96×103/µl), sedangkan pada
kucing betina sebesar 5.40 ± 1.34×103/µl (kisaran 3.91 - 7.72×103/µl). Nilai ini
masih berada dalam kisaran normal menurut Wassmuth et al. (2011), yaitu 2.32 –
10.01×103/µl.
Jumlah neutrofil di dalam sirkulasi darah dipengaruhi oleh banyak faktor.
Faktor-faktor tersebut yaitu keseimbangan permintaan jaringan ekstravaskular,
22

tingkat granulopoiesis, laju pelepasan darah dari sumsum tulang, masa hidup di
dalam sirkulasi darah, laju aliran sirkulasi darah dan tingkat aktivitas sumsum
tulang (Jain 1993).
Keadaan dimana jumlah neutrofil meningkat diatas nilai interval normal
disebut sebagai neutrofilia. Neutrofilia dapat disebabkan karena adanya infeksi,
peradangan, atau stres. Peradangan atau infeksi akan menstimulasi pengeluaran
neutrofil untuk menghancurkan benda asing yang masuk ke dalam tubuh. Kondisi
stres akibat adanya kortisol juga mempengaruhi pelepasan neutrofil dari sumsum
tulang (Samuelson 2007).
Sebaliknya, keadaan dimana jumlah neutrofil lebih rendah dari nilai
interval normal disebut sebagai neutropenia. Kondisi neutropenia jarang terjadi.
Neutropenia dapat terjadi karena meningkatnya penggunaan neutrofil oleh
jaringan, proses penghancuran neutrofil yang berlebihan, menurunnya fungsi
sumsum tulang, dan terganggunya pendistribusian neutrofil (Schalm 2010). Meyer
et al. (1992) dan Macer (2003) mengemukakan bahwa penurunan jumlah neutrofil
di dalam sirkulasi darah dapat terjadi akibat adanya infeksi bakteri, terutama
bakteri gram negatif. Endotoksin yang dihasilkan bakteri tersebut akan
menyebabkan neutrofil bermigrasi dalam jumlah yang besar ke jaringan, dan
sumsum tulang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan jaringan terhadap
neutrofil sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan jumlah neutrofil di dalam
sirkulasi darah.
Hasil pengamatan secara umum menunjukkan bahwa rataan jumlah
neutrofil pada kucing kampung masih berada dalam kisaran normal. Namun
demikian, secara individu terdapat satu ekor kucing dengan jumlah neutrofil
dibawah nilai interval normal yaitu 2,27×103/µl. Jumlah neutrofil tersebut lebih
rendah 9,2 % dari nilai normal. Rendahnya jumlah neutrofil di dalam sirkulasi
darah harus jadi perhatian, terutama jika disertai pula dengan jumlah leukosit total
yang rendah. Jumlah neutrofil yang rendah mengindikasikan kucing tersebut
beresiko rentan terhadap adanya infeksi. Namun demikian, jumlah neutrofil pada
kucing tersebut lebih besar dari 1500/ul, masih berada jauh diatas “jumlah
neutrofil dengan kategori memiliki resiko rentan terhadap infeksi (< 1500
leukosit/ul)”.
23

Jumlah Limfosit
Limfosit memiliki diameter berkisar antara 8 - 12 µm. Sitoplasma
berwarna biru pucat, inti berbentuk bulat hingga oval, lebih sering berbentuk tidak
beraturan, serta berisi vakuola kecil dan granula azurofilik (Abbas et al 2010).
Tabel 2 memperlihatkan rataan jumlah limfosit pada kucing kampung
adalah 6.70 ± 2.12×103/µl (kisaran 4.43 – 11.44×103/µl). Menurut Jain (1993),
kisaran jumlah limfosit kucing normal berkisar antara 1.50 - 7.00 ×103/µl, dan
menurut Wassmuth et al. (2011) antara 1.10 - 6.00×103/µl.
Berdasarkan Tabel 2, dari 12 ekor kucing kampung yang diamati,
sebanyak 10 ekor memiliki jumlah limfosit yang berada dalam interval normal
menurut Jain (1993). Sebanyak dua ekor lainnya memiliki jumlah limfosit diatas
nilai interval normal (masing-masing sebesar 11.44 ×103/µl dan 10.13×103/µl).

8 7.31
5.84
Jumlah limfosit

6
(×103/µl)

0
Jantan Betina

Gambar 10 Jumlah limfosit kucing kampung (Felis domestica)


berdasarkan jenis kelamin.

Gambar 10 memperlihatkan rataan jumlah limfosit kucing kampung jantan


lebih rendah dibandingkan dengan kucing kampung betina, masing-masing
sebesar 5.84 ± 0.91×103/µl(kisaran 5.15 - 6.94 ×103/µl) dan 7.31 ± 2.58 ×103/µl
(kisaran 4.43 - 11.44×103/µl). Hasil penelitian yang dilakukan Triastuty (2006)
menunjukkan hasil yang berbeda, dimana rataan jumlah limfosit kucing kampung
jantan adalah 9.60 ± 4.01×103/µl, dan pada kucing kampung betina sebesar 9.57 ±
3.48×103/µl.
Hasil pengamatan secara umum menunjukkan bahwa rataan jumlah
limfosit pada kucing kampung masih berada dalam interval normal menurut Jain
(1993). Namun demikian, secara individu ditemukan dua ekor kucing kampung
pengamatan memiliki jumlah limfosit diatas nilai interval normal (limfositosis).
Tingginya jumlah limfosit tersebut diikuti pula dengan jumlah leukosit total yang
24

tinggi dan jumlah neutrofil yang cenderung berada pada nilai interval “normal
atas” (Tabel 2).
Limfositosis merupakan keadaan dimana jumlah limfosit di dalam
sirkulasi darah meningkat diatas nilai interval normal. Peningkatan jumlah
limfosit dapat terjadi pada kondisi fisiologis maupun patologis. Kausa limfositosis
fisiologis meliputi exercise, stres fisik maupun emosi, excitement (pada kucing),
dan kondisi takut (Jain 1993).
Limfositosis fisiologis sering terjadi terutama pada hewan muda dan
bersifat sementara. Kucing berumur muda cenderung memiliki jumlah limfosit
yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kucing dewasa. Kucing berumur
muda masih sangat responsif terhadap rasa senang dan rasa takut, dimana hal ini
cenderung akan mengakibatkan terjadinya limfositosis fisiologis. Selain itu,
kucing yang berumur muda masih memiliki timus, dimana menjelang dewasa
kelamin timus berangsur-angsur mengecil namun sisa timus akan tetap ada sampai
tua. Timus berfungsi untuk menghasilkan limfosit sehingga secara tidak langsung
jumlah limfosit akan lebih besar dibandingkan dengan kucing dewasa (Schalm
2010).
Limfositosis patologis bersifat persisten. Limfositosis patologis terjadi
akibat adanya stimulasi antigenik (misalnya peradangan kronis, vaksinasi).
Limfositosis patologis merupakan gambaran umum penyakit inflamasi yang
bersifat kronis. Biasanya disertai pula dengan neutrofilia dan monositosis
(Stockham and Scott 2008).

Jumlah Monosit
Monosit merupakan jenis leukosit dengan ukuran paling besar
dibandingkan dengan jenis leukosit lainnya (Haen 1995). Menurut Dellmann &
Eurell (2006), monosit merupakan prekursor makrofag jaringan yang memiliki
inti pleomorfik, yaitu intinya bisa terlihat panjang, berbentuk tidak teratur, padat,
berlekuk, berbentuk seperti tapal kuda, dan kadang agak berlobus.
25

1400 1242.29

Jumlah monosit (/µl)


1200
1000
800 691
600
400
200
0
Jantan Betina

Gambar 11 Jumlah monosit kucing kampung (Felis domestica)


berdasarkan jenis kelamin.

Rataan jumlah monosit kucing kampung hasil pengamatan bisa dilihat


pada Tabel 2. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa rataan jumlah monosit pada
kucing kampung adalah 1012±580/µl. Jumlah monosit pada kucing normal
berkisar antara 0 - 850/µl (Jain 1993), dan menurut Wassmuth et al. (2011) antara
46 – 678/µl. Berdasarkan Gambar 11, rataan jumlah monosit pada kucing
kampung betina dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah monosit kucing
kampung jantan, masing-masing yaitu 1242.29 ± 662.78/µl dan 691± 212.43/µl.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sebanyak enam ekor kucing dari
12 ekor kucing kampung yang diamati memiliki jumlah monosit diatas nilai
interval normal (monositosis). Sebanyak satu ekor dengan jumlah monosit 992/µl
dan lima ekor lainnya dengan jumlah monosit lebih dari 1000/µl (Tabel 2).
Pola leukogram pada keenam kucing kampung dengan kondisi
monositosis bervariasi. Ditemukan beberapa macam pola leukogram, yaitu
1) monositosis yang disertai dengan leukositosis, limfositosis, dan jumlah
neutrofil pada nilai interval “normal atas” (1 ekor); 2) monositosis yang disertai
dengan jumlah leukosit total pada nilai interval “normal atas” dan limfositosis
(1 ekor); 3) monositosis disertai dengan jumlah leukosit total dan limfosit pada
nilai interval “normal atas” (1 ekor); 4) monositosis yang disertai dengan jumlah
leukosit total dan jumlah neutrofil pada nilai interval “normal atas” (1 ekor);
5) monositosis tanpa disertai dengan perubahan pada jumlah leukosit total,
jumlah limfosit dan jumlah neutrofil (1 ekor); dan 6) monositosis yang disertai
dengan jumlah limfosit yang cenderung pada nilai interval “normal atas”.
26

Menurut Schalm (2010), monositosis merupakan kondisi dimana jumlah


monosit tinggi di dalam sirkulasi darah diatas nilai interval normal. Monositosis
bisa terjadi sebagai respons terhadap peradangan. Kondisi monositosis disebabkan
karena meningkatnya produksi di dalam sumsum tulang (karena tidak ada
cadangan monosit di dalam sumsum tulang), baik pada infeksi akut maupun
kronis. Monositosis pada hewan anjing merupakan bagian dari stres leukogram.
Beberapa faktor sebagai kausa monositosis diantaranya yaitu semua proses yang
merangsang keadaan netrofilia, glukokortikoid, respons imun,dan infeksi kronis.

Jumlah Eosinofil
Eosinofil berdiameter antara 12-17 µm (Young et al. 2006), memiliki
nukleus polimorfik yang sedikit padat dan bersegmen (Dellmann & Eurell 2006).
Eosinofil merupakan sel utama kedua dari sistem mieloid. Sel ini tidak seefisien
neutrofil dalam memfagosit (Tizard 1988), tetapi lebih selektif dibandingkan
dengan neutrofil (Effendi 2003). Eosinofil berfungsi sebagai detoksikasi protein
sebelum dapat menyebabkan kerusakan dalam tubuh. Sel ini masuk ke dalam
darah dalam jumlah besar bila ada benda asing masuk (Bijanti 2005).
Tabel 2 memperlihatkan rataan jumlah eosinofil kucing kampung. Rataan
jumlah eosinofil pada kucing kampung pengamatan adalah 382 ± 141/µl (kisaran
119 – 576/ µl). Menurut Jain (1993), kisaran jumlah eosinofil pada kucing normal
berkisa antara 0 - 1500/µl dan menurut Wassmuth et al. (2011) antara 100-600/µl.

500 447.29
Jumlah eosinofil (/µl)

400
291.20
300
200
100
0
Jantan Betina

Gambar 12 Jumlah eosinofil kucing kampung (Felis domestica)


berdasarkan jenis kelamin.
27

Jika diamati terhadap jenis kelamin, rataan jumlah eosinofil pada kucing
kampung betina lebih tinggi dibandingkan dengan kucing kampung jantan,
masing-masing 447.29± 118.34/µl (betina, dengan kisaran 286-576/µl) dan
291.20 ± 126.75/µl (jantan, dengan kisaran 119-448/µl). Secara umum, jumlah
eosinofil pada ke-12 ekor kucing kampung pengamatan masih dalam nilai interval
normal.
Menurut Schalm (2010), peningkatan jumlah eosinofil di dalam sirkulasi
darah diatas nilai interval normal disebut sebagai eosinofilia. Eosinofilia bisa
terjadi karena meningkatnya produksi dalam sumsum tulang, meningkatnya
pelepasan cadangan dari sumsum tulang, redistribusi sel-sel dari pool marginal,
daya hidup intravaskuler diperpanjang. Beberapa kausa eosinofilia diantaranya
adalah penyakit parasitik (ektoparasit, endoparasit) dan respons alergik
(alergen).
Sebaliknya, kondisi menurunnya jumlah eosinofil dalam sirkulasi di
bawah nilai interval normal disebut sebagai eosinopenia. Eosinopenia terjadi
karena menurunnya pelepasan dari sumsum tulang, adanya lisis intravaskuler,
meningkatnya migrasi ke dalam jaringan. Kondisi eosinopenia biasa terlihat pada
stres leukogram. Namun demikian, relevansi klinis keadaan eosinopenia sangat
sedikit (Stockham & Scott 2008).
Menurut Chastain & Ganjam (1986), eosinopenia dapat terjadi karena
hewan mengalami infeksi atau peradangan akut, atau hewan mengalami stres. Saat
terjadi infeksi atau peradangan akut, keadaan tersebut akan memicu dilepaskannya
kortikosteroid dan catecholamine. Jumlah kortikosteroid yang berlebih dalam
tubuh merupakan faktor utama terjadinya eosinopenia.

Jumlah Basofil
Basofil merupakan jenis leukosit granulosit dengan jumlah yang paling
sedikit, berkisar antara 0.5 – 1.5%, dari jumlah leukosit total. Basofil memiliki
granula yang homogen, memiliki rER (rough endoplasmic reticulum),
mitokondria, dan kompleks golgi (Dellmann & Eurell 2006).
Rataan jumlah basofil pada kucing kampung hasil pengamatan dapat
dilihat pada Tabel 2. Hasil pengamatan menunjukkan rataan jumlah basofil
28

sebesar 109 ± 113/µl (kisaran 0 - 336/µl). Menurut Jain (1993) dan Wassmuth et
al. (2011), jumlah basofil kucing normal berkisar antara 0 – 143/µl.

160
135.40

Jumlah basofil (/µl)


140
120
100 91
80
60
40
20
0
Jantan Betina

Gambar 13 Jumlah basofil kucing kampung (Felis domestica)


berdasarkan jenis kelamin.

Gambar 13 memperlihatkan perbandingan antara rataan jumlah basofil


pada kucing jantan dan kucing betina. Rataan jumlah basofil pada kucing
kampung jantan sebesar 135.40 ± 148.73/µl (kisaran 0-336/µl), sedangkan pada
kucing kampung betina sebesar 91 ± 89.64 (kisaran 0-208/µl).
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sebanyak empat ekor kucing dari
12 ekor kucing yang diamati memiliki jumlah basofil diatas nilai interval normal
(basofilia), dengan peningkatan masing-masing sebesar 19.58%, 45.45%, 66.43,
dan 134.97% (Tabel 2). Pola leukogram pada keempat kucing kampung tersebut
bervariasi. Sebanyak satu ekor kucing, peningkatan jumlah basofil tersebut
disertai dengan leukositosis, limfositosis, dan monositosis; satu ekor kucing
lainnya disertai dengan limfositosis dan monositosis; dan dua ekor kucing sisanya
menunjukkan bahwa peningkatan jumlah basofil tidak disertai dengan perubahan
pada jumlah leukosit total maupun jenis leukosit lainnya.
Keadaan dengan jumlah basofil di dalam sirkulasi darah melebihi nilai
interval normal disebut sebagai basofilia. Jumlah basofil cenderung meningkat di
dalam darah perifer pada keadaan dimana terdapat juga eosinofilia. Beberapa
kausa basofilia diantaranya reaksi hipersensitifitas terhadap parasit dan allergen
(Schalm 2010). Nordenson (2002) dan Schalm (2010) melaporkan bahwa
basofilia dapat terjadi akibat respon tubuh terhadap infeksi virus, ektoparsit,
alergi atau peradangan, dan myeloid leukemia.
29

Sebaliknya, penurunan jumlah basofil di dalam sirkulasi darah dibawah


nilai interval normal disebut sebagai basopenia. Basopenia merupakan suatu
kondisi yang sulit untuk dideteksi karena jumlah basofil di dalam sirkulasi darah
sangat sedikit. Menurut Schalm (2010), jumlah basofil sangat sedikit di dalam
sirkulasi darah perifer, terutama pada hewan anjing dan kucing. Keadaan
basopenia pada hewan anjing dan kucing tidak memiliki relevansi klinis.
30

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap 12 ekor kucing kampung (Felis
domestica) di daerah Lingkar Kampus Dramaga, dapat disimpulkan bahwa :
1. Ditemukan beberapa pola leukogram, berupa leukositosis, limfositosis,
monositosis, dan basofilia (satu ekor); limfositosis, monositosis, dan
basofilia (satu ekor); monositosis (empat ekor); basofilia (dua ekor); dan
neutropenia (satu ekor) pada sembilan ekor kucing,
2. Sebanyak tiga ekor kucing memiliki jumlah leukosit total, neutrofil,
limfosit, eosinofil dan basofil dalam nilai interval normal.

Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan status
kesehatan kucing kampung (Felis domestica) di Lingkar Kampus IPB Dramaga
dengan menggunakan jumlah sampel kucing yang bisa mewakili kelompok atau
wilayah tertentu.
PENETAPAN STATUS KESEHATAN KUCING KAMPUNG
(Felis domestica) MELALUI PEMERIKSAAN LEUKOSIT

CUPU NARA SUMITA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
31

DAFTAR PUSTAKA

Abbas AK, Licthman AH, Pillai S. 2010. Cellular and Molecular Immunology. Ed
ke-6. Philadelphia: WB Saunders Company.

Bijanti R. 2005. Hematologi Ikan Teknik Pengambilan Darah dan Pemeriksaan


Hematologi Ikan. Surabaya: Bagian Ilmu Kedokteran Dasar Veteriner
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga.

Bohdal J. 2006. Domestic cat. [terhubung berkala]. http://naturephoto-


cz.com/domestic-cat-photo-1505.html [12 Juli 2012].

Bradshaw J. 1993. The True Nature Of The Cat. London: Boxtree Limited,
Broadwall House.

Chastain CB, Ganjam VK. 1986. Clinical Endocrinology of Companion Animals.


Philadelphia: Lea & Febiger.

Colville T, Bassert JM. 2008. Clinical Anatomy & Physiology for Veterinary
Technician. Missouri: Elsevier.

Dellmann HD, Brown EM. 1989. Histologi Veteriner. Ed ke-3. Jakarta: UI Pr.

Dellmann HD, Eurell JO. 2006. Textbook of Veterinary Histology. Ed ke-6.


Oxford: Blackwell Publishing.

Done SH, Goody PC, Evans SA, Stickland NC. 2009. Color Atlas of Veterinary
Anatomy, The Dog and Cat. Ed ke-3. Missouri: Elsevier.

Effendi Z. 2003. Peranan Leukosit Sebagai Anti Inflamasi Alergik dalam Tubuh.
Sumatera Utara: Bagian Histologi Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara.

Fowler ME. 1993. Wild Life Medicine Caurse. USA: Directorate General of
Livestock Services.

Ganong WF. 1996. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-8. Jakarta: EGC.

Guyton AC, Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-9. Jakarta: EGC.

Haen PJ. 1995. Principles of Hematology. Chicago: Loyola Marymont University


Wm C Brown Publisher.

Hoffbrand AV, Moss PAH, Pettit JE. 2006. Essential Haematology. Ed ke-5.
Massachusetts: Blackwell Science.

Jain NC. 1993. Essential of Veterinary Hematology. Philadelphia: Lea & Febiger.
32

Junqueira LC, Caneiro J. 2005. Basic Histology Text & Atlas. Ed ke-11. USA:
The Mc Graw-Hill Companies Inc.

Kelly WR. 1984. Veterinary Clinical Diagnosis. Ed ke-3. London: Bailliere


Tindall.

Macer VJ. 2003. Veterinary clinical laboratory technique. [terhubung berkala].


http://www.medaille.edu/vmacer/204_lec5_wbca_study.htm [11 Juli
2012].

Marco I, Fernando M, Josep P, Santiago L. 2000. Hematologic and serum


chemistry values of the captive european wildcat. J Wildlife Diseases
36(3):445-449.

Marieb EN. 1988. Essentials of Human Anatomy and Physiology. Ed ke-2.


California: Cummings Publishing Company.

Meadows G, Flint E. 2006. Buku Pegangan bagi Pemilik Kucing. Batam :


Karisma Publishing Group.

Metcalf D. 2006. Leukosit. [terhubung berkala]. http://en.wikipedia.org [25


Januari 2012].

Meyer DJ, Coles EH, Rich LJ. 1992. Veterinary Laboratory Interpretation and
Diagnosis. Philadelphia: WB Saunders Company.

Meyer DJ, Harvey JW. 2004. Veterinary Laboratory Interpretation and


Diagnosis. Ed ke-3. Philadelphia: WB Saunders Company.

Mitruka BM, Rawnsley. 1977. Clinical Biochemical and Hematology Refference


Values in Normal Experimental Animal. USA: Mason Publishing.

Nordenson NJ. 2002. White blood cell count and differential. [terhubung berkala].
http://www.lifesteps.com/gm.Atoz/ency/white_blood_cell_count_and_diff
erential.jsp [11 Juli 2012].

Pusparini. 2005. Pemeriksaan laboratorium berkala sebagai deteksi dini penyakit


kronis pada lansia. Univ Medicina 24(1): 43-50.

[RED] Redaksi Ensiklopedi Indonesia.2003. Ensiklopedi Indonesia Seri Fauna.


Jakarta: PT Ikrar Mandiriabadi.

Samuelson DA. 2007. Textbook of Veterinary Histology. Missouri: Elsevier.

Schalm OW. 1986. Veterinary Hematology. Ed ke-4. USA: Wiley-Blackwell.

Schalm OW. 2010. Veterinary Hematology. Ed ke-6. USA: Wiley-Blackwell.


33

Shier D, Butler J, Lewis R. 2002.Holes’s Human Anatomy and Physiology. Ed ke-


9. USA: The Mc Graw-Hill Companies Inc.

Speicher CE. 2008. Pemilihan Uji Laboratorium yang Efektif. Ed ke-1. Jakarta:
EGC.

Stockham SL, Scott MA. 2008. Fundamentals of Veterinary Clinical Pathology.


Oxford: Blackwell Publishing.

Sulaiman. 2010. Berbisnis Pembibitan Kucing. Yogyakarta: Lily Publisher.

Susanty Y. 2005. Memilih dan Merawat Kucing Kesayangan. Jakarta: Agro


Media Pustaka.

Suwed MA, Budiana NS. 2006. Membiakan Kucing Ras. Jakarta: Penebar
Swadaya.

Swenson MJ. 1997. Duke’s Physiology of Domestic Animal. Ed ke-10. London:


Cornell Univ Pr.

Tizard, I. 1988. Pengantar Imunologi Veteriner. Surabaya: Airlangga Univ Pr.

Tortora GJ, Bryan D. 2006. Principles of Anatomy and Physiology. Ed ke-11.


USA: John Wiley & Sons Inc.

Triastuty FN. 2006. Gambaran darah kucing kampung (Felis domestica) di daerah
Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Departemen Klinik,
Reproduksi, dan Patologi, Institut Pertanian Bogor.

Turner DC, Bateson P. 2000. The Domestic Cat, The Biology of Its Behaviour.
Cambridge: Cambridge University Pr.

Vander A, Sherman J, Luciano D. 2001. Human Physiology: The Mechanisms of


Body Function. Ed ke-8. USA: The Mc Graw-Hill Companies Inc.

Young B, Lowe JS, Stevens A, Heath JW. 2006. Wheater’s Functional Histology.
Ed ke-5. Missouri: Elsevier.

Anda mungkin juga menyukai