Anda di halaman 1dari 19

LOGIKA DAN HIMPUNAN TEGAS

Disusun untuk Memenuhi Tugas Matakuliah

MATEMATIKA KABUR

DOSEN PENGAMPU
Dr. Muh. Rizal, M.Si

OLEH :
KELOMPOK I

1. Muhammad Rizal (A 232 18 003)


2. Riska Riski (A 232 18 004)
3. Pa yusuf
4. Ibu Dwi
5. Pa baharuddin

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN MATEMATIKA


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS TADULAKO
2019
Bab 2

Logika dan Himpunan Tegas

2.1 Logika

Logika adalah ilmu yang mempelajari secara sistematis kaida-kaidah penalaran yang
absah (valid). Dalam dunia ilmu dikenal dua macam penalaran, yaitu penalaran deduktif dan
penalaran induktif. Penalaran deduktif adalah penalaran untuk menarik kesimpulan berdasarkan
premis-premis yang diandaikan benar dengan mengikuti pola penalaran tertentu. Sedangkan
penalaran induktif adalah penalaran untuk menarik kesimpulan yang berlaku umum berdasarkan
sejumlah premis yang bersifat factual. Penalaran deduktif seringkali juga disebut penalaran
formal, karena penalaran itu didasarkan pada bentuk/pola/susunan premis-premisnya. Kebenaran
kesimpulan dalam penalaran deduktif adalah suatu kepastian (certainty) sejauh premis-premisnya
adalah benar (atau diterima sebagai benar). Contoh penalaran deduktif:

Premis 1: semua mahasiswa mempunyai telpon genggam.


Premis 2: Rudy adalah seorang mahasiswa.
Kesimpulan: Rudy mempunyai telpon genggam.

Kalau kedua premis dalam penalaran tersebut kita anggap benar, maka pastilah
kesimpulannya benar, maka pastilah kesimpulannya benar. Penalaran induktif seringkali juga
disebut penalaran material, karena didasarkan pada fakta/materi yang diungkapkan oleh premis-
premisnya. Kebenaran kesimpulan dalam penalaran induktif adalah suatu kemungkinan
(probability). Contoh penalaran induktif:

Premis 1: bintang 1 beredar dari timur ke barat


Premis 2: bintang 2 beredar dari timur ke barat
Premis 3: bintang 3 beredar dari timur ke barat
:
:

Premis 50: bintang 50 beredar dari timur ke barat


Kesimpulan : semua bintang beredar dari timur ke barat

Kebenaran kesimpulan tersebut bukanlah suatu kepastian melainkan hanyalah suatu


kemungkinan.

2.2 Logika Proposisi


Logika proposisi mempelajari penalaran manusia dengan menggunakan proposisi, yaitu
kalimat yang mempunyai nilai benar atau salah (yang seringkali disebut juga kalimat deklaratif).
Logika yang hanya mengenal dua nilai kebenaran ini juga disebut logika dwinilai. Suatu
2
proposisi disebut proposisi atomik bila proposisi itu tidak memuat proposisi lain sebagai
komponennya, misalnya:

Ir. Soekarno adalah presiden republic Indonesia yang pertama.


Matahari terbit pada pagi hari.
Universitas Sanata Dharma adalah suatu perguruan tinggi swasta.
Bilangan 5 habis dibagi 2.

Sedangkan kalimat-kalimat seperti:


Siapakah presiden Filipina saat ini?
Tolong ambilkan buku itu.
Mudah-mudah anda cepat sembuh.

bukanlah proposisi, karena tidak mempunyai nilai kebenaran.

Proposisi atomik dapat kita sajikan dengan menggunakan lambang huruf kecil, seperti p,
q, r, dst. Apabila lambang-lambang huruf itu menyajikan proposisi yang tidak tertentu, maka
lambang itu disebut variabel proposisi. Dari proposisi-proposisi atomik kita dapat membentuk
proposisi majemuk dengan menggunakan operasi logis (atau perangkai logis). Operasi logis yang
hanya melibatkan satu proposisi atomik disebut operasi uner, sedangkan operasi logis yang
melibatkan dua proposisi atomik disebut operasi biner. Ada lima buah operasi logis yang akan
dibahas, yaitu negasi, konjungsi, disjungsi, implikasi, dan ekivalensi.

Operasi logis yang paling sederhana adalah negasi yang merupakan suatu operasi uner.
Negasi dari suatu proposisi adalah proposisi yang diperoleh dengan menambahkan (atau
menyisipkan) kata “tidak” (atau “bukan”) pada proposisi semula itu. Misalnya, negasi dari
proposisi “Jakarta adalah ibukota Republik Indonesia” adalah “Jakarta bukan ibukota Republik
Indonesia”, sedangkan negasi dari proposisi “Bilangan 5 habis dibagi 2” adalah “Bilangan 5
tidak habis dibagi 2”. Negasi dari suatu proposisi p kita sajikan dengan lambang ¬p. Jika p
bernilai besar, maka ¬p bernilai salah, dan sebaliknya jika p bernilai salah, maka ¬p bernilai
benar. Hal itu dapat kita sajikan dengan table nilai kebenaran (Tabel 2.2.1), dimana nilai
kebenaran proposisi p kita nyatakan dengan lambang τ (p), nilai “benar” dinyatakan dengan
bilangan 1, dan nilai “salah” dengan bilangan 0:

Tabel 2.2.1 Tabel Nilai Kebenaran Negasi


τ (p) τ (¬ p)
1 0
0 1

Dari tabel nilai kebenaran negasi diatas kita dapat menyimpulkan bahwa
τ ( ¬ p )=1−τ ( p)

3
Operasi- operasi logis lainnya (konjungsi, disjungsi, implikasi, dan ekivalensi) adalah
operasi biner. Konjungsi dua buah proposisi atomic adalah proposisi yang diperoleh dengan
menghubungkan kedua proposisi itu dengan menggunakan kata perangkai “dan”. Konjungsi dari
dua buah proposisi p dan q kita sajikan dengan lambang p ∧q, dan bernilai benar hanya apabila
p dan q kedua-duanya bernilai besar. Hal itu dapat disajikan dengan tabel nilai kebenaran (Tabel
2.2.2).

Tabel 2.2.2 Tabel Nilai Kebenaran Konjungsi


τ (p) τ (q) τ (p ∧ q)
1 1 1
1 0 0
0 1 0
0 0 0
Dari tabel nilai kebenaran konjungsi di atas kita dapat menyimpulkan bahwa
τ ( p ∧q )=min {τ ( p ) , τ ( q ) }
atau
τ ( p ∧q )=τ ( p ) τ ( q )
Beberapa contoh kunjungsi:
1. Jakarta adalah ibukota Republik Indonesia dan terletak di pulau Jawa.
2. Bilangan 5 adalah bilangan bulat dan lebih kecil dari 4.
3. Matahari terbit pada pagi hari dan terbenam pada sore hari.
Proposisi (1) dan (3) bernilai benar, sedangkan proposisi (2) bernilai salah.

Disjungsi dua buah proposisi atomik adalah proposisi yang diperoleh dengan
menghubungkan kedua proposisi itu dengan menggunakan kata perangkai “atau”. Disjungsi dari
dua buah proposisi p dan q kita sajikan dengan lambang p ∨q, dan bernilai benar bila sekurang-
kurangnya salah satu dari kedua proposisi itu bernilai benar. Hal itu dapat disajikan dengan tabel
nilai kebenaran berikut:

Tabel 2.2.3 Tabel Nilai Kebenaran Disjungsi


τ (p) τ (q) τ (p ∨ q)
1 1 1
1 0 1
0 1 1
0 0 0
Dari tabel nilai kebenaran disjungsi diatas dapat disimpulkan bahwa
τ ( p ∨q )=max {τ ( p ) , τ ( q ) }
Beberapa contoh disjungsi:
1. Budi adalah seorang pria atau seorang wanita.
2. Bilangan 5 adalah bilangan yang lebih besar 0 atau sama dengan 0.
3. Tokyo terletak di Eropa atau di Amerika.

4
Proposisi (1) dan (2) bernilai benar, sedangkan proposisi (3) bernilai salah.

Proposisi majemuk implikasi disusun dari dua buah proposisi atomic dengan
menggunakan kata perangkai “jika (bila) …., maka ….”. Implikasi dua buah proposisi p dan q,
yaitu “jika p, maka q”, kita sajikan dengan lambang p ⇒ q, dimana p disebut anteseden (atau
premis) dan q disebut konsekuen (atau kesimpulan). Suatu implikasi bernilai salah hanya bila
antesedennya bernilai benar dan konsekuennya bernilai salah, sedangkan untuk kejadian lainnya
implikasi bernilai benar. Dengan perkataan lain, suatu implikasi bernilai benar bila antesedennya
bernilai salah atau konsekuennya bernilai benar. Hal ini dapat disajikan dengan tabel nilai
kebenaran implikasi berikut ini:

Tabel 2.2.4 Tabel Nilai Kebenaran Implikasi


τ (p) τ (q) τ (p ⇒ q)
1 1 1
1 0 0
0 1 1
0 0 1
Dari tabel nilai kebenaran implikasi diatas dapat disimpulkan bahwa
τ ( p ⇒q )=min {1 , 1+ τ ( q ) −τ ( p ) }
Beberapa contoh implikasi:
1. Jika 4 adalah bilangan genap, maka 4 habis dibagi 2.
2. Jika 4 adalah bilangan genap, maka 4 tidak habis dibagi 2.
3. Jika 4 adalah bilangan ganjil, maka 8 adalah bilangan genap.
4. Jika 4 adalah bilangan ganjil, maka 4 tidak habis dibagi 2.
Proposisi (1), (3), dan (4) bernilai benar, sedangkan proposisi (2) bernilai salah.

Implikasi “jika 4 adalah bilangan genap, maka 4 habis dibagi 2” juga dapat dinyatakan
dengan “4 habis dibagi 2 jika 4 adalah bilangan genap”, atau juga dapat dinyatakan “4 adalah
bilangan genap hanya jika 4 habis dibagi 2”. Secara umum , implikasi “jika p, maka q” juga
dapat dinyatakan dengan “q jika p”, atau juga dapat dinyatakan dengan “p hanya jika q”.

Proposisi majemuk ekivalensi disusun dari dua buah proposisi atomic dengan
menggunakan kata perangkai “jika (bila) dan hanya jika (bila)”, yang seringkali disingkat
menjadi “jhj” atau “bhb”. Ekivalensi dua buah proposisi p dan q, yaitu “p jika dan hanya jika q”,
kita sajikan dengan lambang p ⟺ q, dan bernilai benar hanya bila p dan q mempunyai nilai
kebenaran yang sama. Hal itu dapat disajikan dengan tabel nilai kebenaran ekivalensi berikut ini:

Tabel 2.2.5 Tabel Nilai Kebenaran Ekivalensi


τ (p) τ (q) τ (p ⟺ q)
1 1 1
1 0 0
0 1 0

5
0 0 1
Dari tabel nilai kebenaran ekivalensi diatas dapat disimpulkan bahwa
τ ( p ⟺ q ) =1−|τ ( p ) −τ (q )|
Beberapa contoh ekivalensi:
1. Budi adalah seorang pria jika dan hanya jika ia bukan wanita.
2. Bilangan 5 adalah bilangan genap jika dan hanya jika ia tidak habis dibagi 2.
3. Bilangan 5 adalah bilangan genap jika dan hanya jika ia habis dibagi 2.
4. Persamaan kuadrat tidak mempunyai akar real jika dan hanya jika diskriminannya
negatif.
Proposisi (1), (3), dan (4) bernilai benar, sedangkan proposisi (2) bernilai salah.

Dua buah proposisi (atomic atau majemuk) p dan q dikatakan ekivalen atau setara,
dengan notasi “ p ≡q”, bila proposisi majemuk “ p ⟺ q” bernilai benar. Misalnya, proposisi
( p ⟹ q ) ∧( q ⟹ p) adalah ekivalen dengan proposisi p ⟺ q untuk setiap proposisi p dan q,
sebab proposisi majemuk [ ( p ⟹q ) ∧ ( q ⟹ p ) ] ⟺ ( p ⟺ q) bernilai benar untuk setiap
kemungkinan nilai kebenaran p dan q, seperti terlihat dari tabel nilai kebenaran berikut ini:

Tabel 2.2.6 Tabel Nilai Kebenaran Biimplikasi


τ (p) τ (q) τ (p ⟹ q) τ (q ⟹ p) ( p ⟹ q ) ∧ ( q ⟹ p ) τ (p ⟺ q) [ ( p ⟹q ) ∧ ( q ⟹ p ) ] ⟺ ( p ⟺ q)
1 1 1 1 1 1 1

1 0 0 1 0 0 1

0 1 1 0 0 0 1

0 0 1 1 1 1 1

Jadi ekivalensi p ⟺ q setara dengan konjungsi dua buah implikasi, yaitu p ⟹ q dan
q ⟹ p. Karena itu proposisi majemuk ekivalensi seringkali juga disebut biimplikasi. Karena
implikasi q ⟹ p dapat dibaca “p jika q”, dan implikasi p ⟹ q dapat dibaca “p hanya jika q”,
maka biimplikasi p ⟺ q dibaca “p jika q dan p hanya jika q”, atau secara singkat: “p jika dan
hanya jika q”.
2.3 Bentuk Proposisi

Bila lambang-lambang p,q,r dan seterusnya. adalah variabel proposisi, maka ekspresi
logika yang memuat variabel-variabel itu disebut bentuk proposisi (propositional form).
Misalnya: ( p ∨q)⟹ r adalah suatu bentuk proposisi. Jika semua variabel proposisi dalam suatu
bentuk proposisi disubstitusi dengan suatu proposisi (yang mempunyai nilai kebenaran tertentu),
maka akan dihasilkan suatu nilai kebenaran. Nilai kebenaran yang dihasilkan oleh suatu bentuk
proposisi tergantung dari nilai kebenaran proposisi-proposisi yang disubtitusikan ke dalam setiap
variabel dalam bentuk proposisi itu, dan nilai-nilai kebenaran yang dihasilkan itu dapat disusun
dalam suatu tabel nilai kebenaran. Jika banyaknya variabel proposisi dalam suatu bentuk

6
proposisi adalah n buah, maka banyaknya baris dari tabel nilai kebenaran bentuk proposisi itu
adalah 2n buah. Misalnya tabel nilai kebenaran dari bentuk proposisi ( p ∨q) ⟹ r terdiri dari 8
baris sebagai berikut:

Tabel 2.3.1 Tabel Nilai Kebenaran Bentuk Proposisi ( p ∨q) ⟹ r


τ (p) τ (q) τ (r) τ (p ∨ q) τ (p ∨ q)⟹ r
1 1 1 1 1
1 1 0 1 0
1 0 1 1 1
1 0 0 1 0
0 1 1 1 1
0 1 0 1 0
0 0 1 0 1
0 0 0 0 1

Suatu bentuk proposisi yang menghasilkan nilai benar untuk setiap substitusi yang
mungkin ke dalam variabel-variabelnya disebut tautology, sedangkan suatu bentuk proposisi
yang menghasilkan nilai salah untuk setiap substitusi yang mungkin masuk ke dalam variabel-
variabelnya disebut kontradiksi. Bila substitusi proposisi ke dalam semua variabelnya dapat
menghasilkan nilai yang benar atau nilai yang salah, maka bentuk proposisi itu disebut
kontingensi.

Contoh 2.3.1 Bentuk Proposisi p ∨¬ p adalah suatu tautology seperti dilihat dalam tabel
nilai kebenaran berikut ini:
τ (p) τ (¬ p) τ (p ∨¬ p)
1 0 1
0 1 1
Tautology ini seringkali disebut kaidah ketiadaan jalan tengah.
Bentuk proposisi p ∧¬ p adalah suatu kontradiksi seperti terlihat dalm tabel nilai
kebenaran berikut ini:
τ (p) τ (¬ p) τ (p ∧¬ p)
1 0 0
0 1 0

Kontradiksi ini seringkali disebut kaidah kontradiksi.


Bentuk proposisi ( p ∨q)⟹ r adalah suatu kontingensi seperti terlihat dalam tabel 2.3.1
diatas.
Tautology memegang peranan penting dalam logika proposisi karena berfungsi sebagai
kaidah (teorema) didalamnya. Berikut ini disajikan beberapa tautology lainnya yang penting:
( p ∧q) ⟹ p dan ( p ∧q)⟹ q (Simplifikasi)
p ⟹( p∨ q) dan p ⟹¿) (Adisi)

7
(( p ⟹ q)∧ p)⟹ q (Modus Ponens)
(( p ⟹ q)¬q)⟹ ¬ p (Modus Tollens)
( ( p ⟹ q ) ∧ ( q ⟹ r ) ) ⟹( p ⟹r ) (Silogisme Hipotetis)
¬ ( ¬ p ) ⟺ p (Involusi)
( p ⟺ q ) ⟺ ¿ (Ekivalensi)
( p ⟹ q ) ⟺(¬ p ∨q ) (Implikasi)
( p ⟹ q ) ⟺(¬ q ⟹¬ p) (Kontraposisi)
( p ∧ p)⟺ p dan ( p ∨ p)⟺ p (Idempoten)
( p ∧1)⟺ p dan ( p ∨0) ⟺ p (Identitas)
( p ∧q ) ⟺( q ∧ p) dan ( p ∨q ) ⟺( q ∨ p) (Komutatif)
p ∧ ( q ∧ r ) ⟺( p ∧ q)∧ r dan p ∨ ( q ∨ r ) ⟺( p ∨ q)∨ r (Assosiatif)
p ∧ ( q ∨ r ) ⟺ ( p ∧q ) ∨( p ∧r ) dan p ∨ ( q ∧ r ) ⟺ ( p ∨q ) ∧( p ∨r ) (Distributif)
p ∧ ( p ∨q ) ⟺ p dan p ∨ ( p ∧q ) ⟺ p (Absorbsi)
¬ ( p ∧q ) ⟺(¬ p ∨¬ q) dan ¬ ( p ∨q ) ⟺(¬ p ∧¬ q) (De Morgan)

Perhatikan bahwa pada tautology-tautologi tertentu berlaku prinsip dualitas, yaitu untuk
tautology itu terdapat tautology dualnya, yang diperoleh dengan mengganti ∨ dengan ∧ dan
sebaliknya, dan mengganti 0 dengan 1 dan sebaliknya. Kalau suatu bentuk proposisi terbukti
adalah suatu tautology, maka dualnya juga merupakan tautology.

2.4 Kaidah Inferensi

Logika adalah ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah penalaran yang abash (valid).
Penalaran deduktif adalah abash bila tidak mungkin menghasilkan kesimpulan yang salah dari
premis-premis yang benar (atau diterima sebagai benar). Kaidah penalaran yang absah seringkali
juga disebut kaidah inferensi. Suatu penalaran terdiri dari premis-premis dan kesimpulan. Baik
premis maupun kesimpulan dapat dinyatakan dengan suatu bentuk proposisi. Suatu penalaran
deduktif adalah absah bila dari premis-premis yang benar hanya dapat dihasilkan kesimpulan
yang benar pula. Dengan perkataan lain, suatu penalaran deduktif merupakan kaidah inferensi
bila implikasi dengan antesedennya adalah konjungsi dari semua premis dan konsekuennya
adalah kesimpulan dari penalaran itu merupakan suatu tautology.

Suatu penalaran yang terdiri dari premis-premis p1, p2, …, pn dan kesimpulan q dapat
disajikan dengan skema sebagai berikut:
Premis1: p1
Premis 2: p2
:
Premis n : pn
Kesimpulan : q

8
Penalaran tersebut merupakan kaidah inferensi apabila implikasi
( p1 ∧ p2 ∧ … ∧ pn )⇒ q
adalah suatu tautology.

Contoh 2.4.1 Penalaran dengan skema sebagai berikut:


Premis1:
Premis 2: p
Kesimpulan : q

merupakan suatu kaidah inferensi, sebab implikasi ( ( p ⇒ q ) ∧ p)⇒ q adalah suatu tautology
seperti terlihat dalam table nilai kebenaran berikut ini:

τ (p) τ (q) τ (p ⇒ q) τ ( ( p ⇒ q ) ∧ p) τ ((( p ⇒ q)∧ p) ⇒q)


1 1 1 1 1
1 0 0 0 1
0 1 1 0 1
0 0 1 0 1
Kaidah inferensi ini disebut kaidah modus ponens.
Demikian pula halnya dengan penalaran dengan skema sebagai berikut:

Premis 1 :
Premis 2 :
Kesimpulan :

merupakan suatu kaidah inferensi, sebab implikasi (( p ⇒ q)∧ ¬q)⇒ ¬ p adalah suatu tautology.
Kaidah inferensi ini disebut kaidah modus tollens.
Beberapa kaidah inferensi penting lainnya adalah sebagai berikut:
1. Silogisme hipotetis:

Premis 1 :
Premis 2 :
Kesimpulan :

2. Silogisme disjungtif:
Premis 1 :
Premis 2 : 9
Kesimpulan :
3. Dilema konstruktif:
Premis 1 :
Premis 2 :
Kesimpulan :

4. Dilema destruktif:
Premis 1 :
Premis 2 :
Kesimpulan :

2. 5 LOGIKA PREDIKAT

Dalam logika proposisi, penalaran yang absah dilakukan berdasarkan susunan proposisi-
proposisinya, di mana proposisi atomik dipandang sebagai suatu unit tanpa memperhatikan
susunan internalnya. Tetapi seringkali kita melakukan suatu penalaran yang jelas absah, namun
tidak dapat dijelaskan dengan logika proposisi. Misalnya, perhatikan penalaran deduktif berikut
ini:

Presmis 1 : semua mahasiswa mempunyai telpon genggam.


Premis 2 : Rudy adalah seorang mahasiswa
Kesimpulan : Rudi mempunyai telpon genggam.

Jelas bahwa penalaran tersebut adalah absah. Kalau kedua premis dan kesimpulan dari
penalaran tersebut kita pandang sebagai preposisi dan berturut-turut kita nyatakan dengan
lambang p, q, dan r, maka penalaran tersebut dapat kita sajikan dengan skema sebagai berikut:

Premis 1 : p

Premis 2 : q

10
Kesimpulan : r

Dengan tabel nilai kebenaran , mudah diperlihatkan bahwa implikasi (p ^ q) => r bukalah
suatu tautology. Jadi dengan logika preposisi kita dapat menjelaskan mengapa penalaran tersebut
absah. Contoh tersebut memperlihatkan bahwa logika preposisi ternyata tidak mencukupi untuk
menjelaskan penalaran-penalran yang absah. Hal itu disebabkan karena dalam logika preposisi
semua premis diperlakukan sebagai proposisi dan proposisi atomiknya dipandang sebagai unit
dasar tanpa memperhatikan struktur internalnya. Sedangkan dalam contoh penalaran yang
diberikan di atas, keabsahanya justru ditentukan oleh struktur internal dari premis-premisnya.
Pertama-tama, kedua premis dalam contoh penalaran tersebut berbeda ditinjau dari segi struktur
internalnya: premis 1 adalah suatu preposisi yang bersifat umum (“semua mahasiswa
mempunyai telpon genggam”), sedangkan premis 2 adalah suatu preposisi yang bersifat khusus
(“Rudi adalah seorang mahasiswa”). Selanjutnya, dari segi struktur internal premis 1 terdiri atas
dari dua bagian, yaitu bagain subyek (“mahasiswa”) dan bagian predikat (“mempunyai telpon
genggam”). Keabsahan penalaran macam itu hanya dapat dijelaskan dengan memperhatikan
kedua hal tersebut, yaitu perbedaan antara proposisi umum dan proposisi khusus, serta adanya
dua bagian pokok dari suatu proposisi yakni bagian subyek dan bagian predikat. Logika yang
mengakomodasikan struktur internal dari proposisi-proposisi itulah yang disebut logika predikat.

Proposisi-proposisi umum dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu, yaitu proposisi
universal dan proposisi eksistensial. Proposisi universal adalah proposisi yang menyatakan
bahwa semua anggota (subyek) dari semesta wacananya mempunyai sifat seperti yang
dinyatakan oleh predikat dari proposisi itu. Contoh proposisi universal:

“semua mahasiswa mempunyai telpon genggam”

Sedangkan proposisi eksistensial adalah proposisi yang menyatakan bahwa dalam


semesta wacananya terdapat sekurang-kurangnya satu anggota (subyek) yang mempunyai sifat
seperti yang dinyatakan oleh predikat dari proposisi itu. Contoh proposisi eksistensial:

“Ada mahasiswa yang mempunyai telpon genggam”

Pada dasarnya kedua macam proposisi itu menegaskan suatu kuantitas tertentu (yaitu
“semua” atau “sekurang-kurangnya satu”) dari anggota-anggota semesta wacananya memenuhi
sifat yang dinyatakan oleh predikatnya. Maka diperkenalkan konsep kuantor universal (universal
quantifier), dengan lambang “∀ untuk proposisi universal dan kuantor eksistensial (existential
quantifier), dengan lambang “ ”, untuk proposisi eksistensial. Misalnya predikat “mempunyai
telpon genggam” kita nyatakan dengan lambang “P”, dan “x mempunyai telon genggam” kita
nyatakan dengan lambang “P(x)”. bentuk “P(x)” itu disebut fungsi proposisi, karena bentuk itu
akan menghasilkan suatu proposisi apabila variable x dalam bentuk itu disubsitusi dengan
subyek tertentu dari semestinya. Dalam semesta wacana himpunan semua mahasiswa proposisi

11
universal “semua mahasiswa mempunyai telpon genggam” dapat kita nyatakan secara simbolis
dengan

( ∀ x ¿ P( x )

Sedangkan proposisi eksistensial “Ada mahasiswa yang mempunyai telpon genggam” dapat kita
nyatakan secara simbolis dengan

(∃ x ¿ P (x) .

Kalau kita berwacana dalam semesta yang lebih luas, misalnya himpunan semua manusia
(di mana tidak semua anggotanya adalah mahasiswa), maka “mahasiswa” menjadi suatu
predikat. Misalnya predikat “mahasiswa” kita nyatakan dengan lambang “M”, dan fungsi proposi
“x adalah mahasiswa” kita nytakan dengan lambang “M(x)”, maka dalam semesta wacana
himpunan semua manusia itu proposisi universal “semua mahasiswa mempunyai telpon
genggam” dapat dinyatakan secara simbolis dengan

( ∀ x ¿(M ( x )=¿ P( x))

Sedangkan proposisi eksistensial “Ada mahasiswa yang mempunyai telpon genggam” dapat kita
nyatakan secara simbolis dengan

(∃ x ¿( M (x) ∧ P( x ))

Kalau variabel x dalam fungsi proposisi “x adalah mahasiswa” kita ganti (substitusi)
dengan subyek tertentu (khusus), misalnya “Rudy”, maka diperoleh proposisi khusus “Rudy
adalah mahasiswa”, yang dapat dinyatakan dengan lambang “M(Rudy)”.

Sekarang kita kembali ke contoh penalaran di atas untuk menjelaskan keabsahannya


dalam kerangka logika predikat. Dalam logika predikat penalaran di atas dapat kita sajikan
dengan skema simbolis sebagai berikut:

Premis 1: (∀ x ¿(M ( x )=¿ P( x))

Premis 2: M (Rudy)

Kesimpulan : P (Rudy)

Keabsahan penalaran tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: Karena premis 1 adalah
proposisi universal, yang dipredikatnya dipenuhi oleh setiap anggota dalam semesta wacananya,
maka predikat itu juga dipenuhi oleh anggota tertentu dari semestinya, yaitu Rudy. Maka

12
diperoleh: M (Rudy) => P(Rudy). Selanjutnya, dari implikasi yang terakhir ini dan premis 2,
dengan menggunakan kaidah inferensi modus ponens, akan diperoleh kesimpulan: P(Rudy).

Negasi dari proposisi universal “Semua mahasiswa mempunyai telpon genggam” adalah
“Tidak semua mahasiswa mempunyai telpon genggam” dengan lambang (dalam semesta
himpunan semua mahasiswa).

¬ ( ∀ x ) P(x )

Tetapi proposisi “tidak semua mahasiswa mempunyai telpon genggam” adalah ekivalen
dengan proposisi eksistensial “Ada mahasiswa yang tidak mempunyai telpon genggam “ yang
dapat disajikan dengan lambang:

(∃ x ¿ ¬ P( x)

Jadi

¬ ( ∀ x ) P(x )≡(∃ x)¬ P(x)

Maka ¬ ( ∀ x ) ( M ( x )=¿ P ( x ) ) ekivalen dengan ( ∃ x ) ¬ ( M ( x ) =¿ P ( x ) )

Yang ekivalen dengan ( ∃ x ) ( M ( x ) ∧ ¬ P ( x ) ) .

Demikian pula negasi dari proposisi eksistensial “Ada mahasiswa yang mempunyai
telpon genggam” adalah “Tidak ada mahasiswa yang mempunyai telpon genggam” dengan
lambang (dalam semesta himpunan semua mahasiswa):

¬ (∃ x) P ( x ) .

Proposisi “Tidak ada mahasiswa yang mempunyai telpon genggam” ekivalen dengan
proposisi universal “semua mahasiswa tidak mempunyai telpon genggam” yang dapat disajikan
dengan lambang:

(∀ x ¿ ¬ P(x ).

Jadi

¬ ( ∃ x ) P(x) ≡(∀ x)¬ P(x)

Maka ¬ ( ∃ x ) M ( x ) ∧ P ( x ) ekivalen dengan ( ∀ x ) ¬ ( M ( x ) ∧ P ( x ) ) yang ekivalen

Dengan ( ∀ x ¿(M ( x )=¿ ¬ P( x )).

13
Predikat dalam suatu proposisi (baik yang umum maupun khusu) tidak hanya berupa
suatu sifat ( yang berkaitan dengan subyeknya) saja, tetapi juga dapat berupa suatu relasi antara
subyek-subyek dalam semesta wacananya, misalnya:

Rudy adalah teman seangkatan Susi

Vektor ú tegak lurus vektor v́

2<3

Y=x+1

Maka predikat yang dikuatifikasikan (dengan kuantor universal atau eksistensial) juga
dapat berupa suatu relasi. Kalau misalnya fungsi proposisi dengan dua variabel “x adalah teman
seangkatannya y” kita nyatakan dengan lambang R(x,y), maka proposisi-proposisi yang dapat
dihasilkannya (dalam semesta himpunan semua mahasiswa) antara lain adalah:

a. Dengan substitusi (menghasilkan proposisi khusus):


R(Rudy, Susi)
R(Ida, Ferry)
b. Dengan kuantifikasi (menghasilkan proposisi umum):
(∃ x ) (∃ y ) R ( x , y )
( ∀ x )( ∃ y ) R ( x , y )
(∃ x ) (∀ y ) R ( x , y )
( ∀ x )( ∀ y ) R( x , y)

Perhatikan bahwa dalam suatu ekspresi berkuantor setiap kuantor menguantifikasikan


suatu variabel dalam fungsi proposisinya. Variabel yang terkuantifikasi oleh suatu kuantor
disebut variabel terikat, sedangkan variabel yang tidak terkuantifikasi oleh suatu kuantor disebut
variabel bebas. Suatu ekspresi berkuantor yang semua variabelnya terikat adalah suatu proposisi,
sedangakan ekspresi yang memuat variabel bebas adalah suatu fungsi proposisi.

Contoh 2.5.1 Misalnya diberikan fungsi proposisi dengan dua variabel “x ≤ y” dalam semesta X
= {1,2,3,4,5}. Maka dengan substitusi semua variabelnya akan diperoleh proposisi-proposisi,
misalnya 1 ≤ 2 (yang bernilai benar), 3 ≤ 2 (yang bernilai salah), dst. Dengan kuantifikasi semua
variabelnya juga akan diperoleh proposisi-proposisi berkuantor, misalnya: (
∃ x ¿(∃ y ) x ≤ y (benar ),(∀ x )(∃ y) x ≤ y (benar ) ,(∃ x )(∀ y )x ≤ y (benar ),(∀ x )( ∀ y ) x ≤ y (salah).
Perhatikan bahwa substitusi yang tidak menyangkut semua variabelnya tidak akan menghasilkan
proposisi melaikan fungsi proposisi, misalnya : 1 ≤ y, x ≤ 2, dst. Yang dengan substitusi atau
kuantifikasi dapat diubah menjadi proposisi. Demikian pula kuantifikasi yang tidak menyangkut
semua variabelnya tidak akan menghasilkan proposisi melainkan fungsi proposisi karena
memuat variabel bebas misalnya: (∃ x ¿ x ≤ y , dimana x adalah variabel terikat dan y adalah
variabel bebas: atau ( ∀ y ) x ≤ y , dimana y adalah variabel terikat dan x adalah variabel bebas.

14
Contoh 2.5.2 banyak proposisi dalam matematika dapat disajikan dalam bentuk proposisi
berkuantor. Misalnya, proposisi: “dalam grup (G,*) dengan elemen identitas e setiap elemen
mempunyai invers” dapat disajikan dalam bentuk proposisi berkuantor “
( ∀ x ∈G )( ∃ y ∈G ) x∗y=e . Demikian pula proposisi: “Himpunan semua bilang bulat Z tidak
memuat elemen yang terkecil” dapat disajikan secara simbolik dengan “
¬ ( ∃ x ∈ Z )( ∀ y ∈ Z ) x ≤ y atau secara ekivalen ( ∀ x ∈ Z )( ∃ y ∈ Z )x > y . Dan proposisi:
“pemetaan f : A → B adalah pemetaan yang suryektif” dapat disajikan sebagai proposisi
berkuantor “( ∀ y ¿ ( y ∈ B=¿( ∃ x)(x ∈ A ∧ y=f ( x ))) atau secara lebih singkat “(
∀ y ∈ B ¿ (∃ x ∈ A ) y=f ( x )

2.6 HIMPUNAN

Kita mengenal dan mempergunakan konsep himpunan dalam kehidupan sehari-hari,


misalnya Himpuanan Mahasiswa Juruasan Matematika, Himpunan Wanita Karya, Himpunan
Pengusahan Muda Indonesia (HIPMI), Himpunan Kerukunan Tani Indonesisa (HKTI),
Perhimpunan Bang Swasta Nasional (Perbanas) dan Lain-lain. Konsep himpunan itu tidak hanya
dipergunakan secara intuitif dalam kehidupan sehari-hari tetapi telah pula dikembangkan
menjadi konsep dewasa ini menjadi konsep yang paling mendasar dalam matematika. Konsep-
konsep dasar lainnya dalam matematika (seperti relasi, fungsi, operasi dan sebagainya)
didefinisikan dengan menggunakan konsep himpunan itu.

Secara intuitif kita memahami himpunan sebagai suatu kumpulan atau koleksi obyek-
obyek (konkrit maupun abstrak) yang mempunyai kesamaan sifat tertentu. Suatu himpunan
haruslah terdefinisi secara tegas, dalam arti bahwa untuk setiap obyek selalu dapat ditentukan
secara tegas apakah obyek tersebut merupakan anggota himpunan itu atau tidak. Dengan
perkataan lain, untuk setiap himpunan terdapat batas yang tegas antara obyek-byek yang
merupakan anggota obyek-obyek yang tidak merupakan anggota dari himpunan itu. Oleh
karenanya himpunan semacam itu seringkali juga disebut himpunan tegas (crisp set). Teori
himpunan secara formal mulai dikembangkan oleh matematikawan Georg Cantor (1845-1918)
pada akhir abad ke-19, dan saat ini telah menjadi salah satu unsur pokok dalam landasan
matematika modern. Himpunan tegas seringkali juga disebut himpunan Cantor.

Suatu himpunan biasanya dilambangkan dengan huruf besar misalnya A, B, C, dst.


Obyek-obyek yang merupakan anggota dari suatu himpunan disebut anggota atau elemen dari
himpunan itu dan dilambangkan dengan huruf kecil, misalnya a, b, x, y, dst. Himpunan semua
obyek yang termasuk lingkup pembicaraan disebut himpunan semesta atau semesta wacana,
yang dilambangkan dengan U atau X. untuk setiap obyek dalam semesta wacana dari suatu
himpunan hanya ada dua kemungkinan, yaitu merupakan anggota dari himpunan itu atau tidak
merupakan anggota dari himpunan itu. Apabila suatu obyek x merupakan anggota dari himpunan

15
A, maka hal itu kita nyatakan dengan notasi “x ϵ A”, dan bila obyek y bukan anggota dari
himpunan A, maka hal itu kita nyatakan dengan notasi “y ∉ A ” .

Ada beberapa cara untuk menyatakan suatu himpuanan. Yang paling sederhana ialah cara
daftar, yaitu menyatakan suatu himpunan dengan menuliskan satu per satu lambang anggota-
anggotanya di antara tanda kurung kurawal. Cara ini biasanya dipakai untuk himpunan-
himpunan yang diskret, misalnya
A = {a, b, c, d, e}
B = {Jakarta, Tokyo, Melborene, London New York}
C = {Rina, Adi, Toni, Dewi, Agnes, Budi, Vera}
N = {1, 2, 3, 4, 5, … }

Kita juga dapat menyatakan suatu himpunan dengan cara aturan yaitu dengan memberikan aturan
yang harus dipenuhi untuk menjadi anggota himpunan itu (yang juga disebut syarat keanggotaan
dari himpunan itu), misalnya:
A = {x|x adalah salah satu dari lima huruf pertama dalam abjad}
D = {x|x adalah mahasiswa jurusan matematika}
N = {x|x adalah bilang bulat positif}

Dapat terjadi bahwa suatu himpunan sama sekali tidak memuat anggota, misalnya himpunan
bilangan real yang kuadratnya adalah bilangan negatif. Himpuanan semacam itu disebut
himpunan kosong dan dilambangkan dengan ∅ .

Cara lain untuk menyatakan suatu himpunan ialah dengan menggunakan apa yang disebut
fungsi karakteristik, yaitu fungsi dari himpunan semesta X ke himpunan {0,1}. Suatu himpunan
A dalam semesta X dapat dinyatakan dengan fungsi karakteristik XA: X →{0,1} yang
didefinisikan aturan
XA(x) = ¿10 jika x∈ A
jika x∉ A ¿

Untuk setiap x ϵ X .Misalnya dalam semesta himpunan semua huruf dalam abjad, himpunan A
dalam contoh di atas dapat dinyatakan dengan menggunakan fungsi karakteristiknya, yaitu

XA(x) = ¿10 jika xadala h sala h satu darilima huruf pertama dalam abjad
jikalainnya ¿

Suatu himpunan A dikatakan merupakan himpuanan bagian (subhimpunan) dari


himpunan B, dengan notasi A⊆ B, jika setiap anggota dari himpunan A juga merupakan anggota
dari himpunan B. Misalnya Z = {x| x adalah bilangan bulat} dan R = {x|x adalah bilangan real}
maka Z ⊆ R . Perhatikan bahwa setiap himpunan merupakan himpunan bagian dari himpunan
semestinya dan himpunan bagian dari himpunan itu sendiri. Perhatikan pula bahwa himpunan
kosong merupakan himpunan bagian dari setiap himpunan. Dua buah himpunan A dan B
dikatakan sama, dengan notasi A = B, jika setiap anggota himpunan A adalah anggota himpunan
B dan setiap anggota himpunan B adalah anggota himpunan A. dengan perkataan lain, A = B jika

16
A ⊆ B dan jika B ⊆ A. Misalnya, jika A={x|X2 – 5x + 6 = 0} dan B = {2,3}, maka A = B. jika A

⊆B
dan A=B, maka A disebut himpunan bagian sejati dari B dengan notasi A B.

Suatu himpunan yang anggota-anggotanya juga merupakan himpunan biasnya disebut


keluarga (kelas) himpunan. Misalnya K = {A i | i ∈ I ) adalah keluarga terdiri dari himpunan-
himpunan Ai, di mana I adalah indeks dalam himpunan indeks I. jika A adalah suatu himpunan,
maka himpunan kuasa dari himpunan A, yang dilambangkan dengan P(A), adalah keluarga
semua himpunan bagian dari A, yaitu
P(A) = {X | X A}.

Misalnya A = {1, 2, 3}, maka


P(A) = { ∅ , { 1 } , { 2 } , {3 } , { 1,2 } , {1,3 } , { 2,3 } , A }.

Perhatikan bahwa jika himpunan A memuat n elemen, maka himpunan kuasa dari A memuat 2 n
elemen.

2.7 OPERASI HIMPUNAN

Operasi himpunan adalah aturan untuk menghasilkan himpunan dari satu atau lebih
himpunan yang diketahui. Operasi dengan satu himpunan disebut operasi uner, sedangkan
operasi dengan 2 himpunan disebut operasi biner. Operasi komplemen adalh operasi uner,
sedangkan gabungan, irisan, selisih, selisih simetrik, dan darab Cartesius adalah operasi biner.

Komplemen dari himpunan A dalam semesta X, dengan notasi A’, adalah himpunan
semua anggota semesta yang bukan anggota himpunan A, yaitu
A’ = {x ∈ X∨x ∉ A}
Kalau A adalah himpunan semua bilangan positif dalam semesta himpunan semua bilangan
bulat, maka A’ adalah himpunan semua bilangan negatif atau nol.

Gabungan dua buah himpunan A dan B, dengan notasi A B, adalah himpunan semua
elemen dalam semesta yang merupakan anggota himpunan A atau anggota himpunan B yaitu
A ∪ B { x| x ∈ A ∨ x ∈ B }

Irisan dua buah himpunan A dan B, dengan notasi A ∩ B , adalah himpunan semua
elemen dalam semesta yang merupakan anggota himpunan A dan sekaligus anggota himpunan B
yaitu
A ∩ B { x| x ∈ A ∧ x ∈ B }.
Bila A ∩ B=∅ , maka A dan B disebut dua buah himpunan yang lepas, misalnya Himpuanan A

∩ A'
dan komplemennya adalah lepas, sebab A = .

17
Selisih dua buah himpunan A dan B, dengan notasi A – B adalah himpunan semua
elemen dalam semesta yang merupakan anggota himpunan A tetapi bukan anggota himpunan B,
Yaitu
A – B = {x | x ∈ A ∧ x ∉ B }.
Pada umumnya, A – B tidak sama dengan B – A. perhatiakan bahwa A’ = X – A.

Selisih simetrik dua buah himpunan A dan B, dengan notasi A ⊝ B , adalah himpunan
semua elemen dalam semesta yang merupakan anggota himpunan A – B atau B – A, yaitu
A ⊝ B = (A – B) ∪( B−A ).

Darab Cartesius dua buah himpunan A dan B, dengan notasi A x B, adalah himpunan
semua himpunan semua pasangan berurut (x,y) dengan x A dan y ∈ B ,yaitu
A x B {(x,y) | x ∈ A ∧ y ∈ B }.

Secara umum, darab Cartesius n buah himpunan A 1, A2, … , An, yang disajikan dengan
notasi A1 x A2 x … x An, adalah himpunan semua rangkap-n (x1, x2, … , xn) dengan xi ∈ A i
untuk i = 1, 2, … , n, yaitu
A1 x A2 x … x An = {x1, x2, … , xn) | xi ∈ A i ,i=1, 2 , … , n}.

Contoh 2.7.1 Misalnya A = {1, 2, 3, 4, 6}; A ∩ B = {2, 4, 6}. Maka


A ∪ B = {1, 2, 3, 4, 6}; A ∩ B={2 , 4 }
A – B = {1, 3}; B – A = {6}
A B = {1, 3, 6} = B ⊝ A
A x B = {(1, 2), (1,4), (1,6), (2, 2), (2, 4), (2, 6), (3, 2), (3, 4), (3, 6), (4, 2), (4, 4), (4, 6)}

Suatu cara grafis yang sering digunakan untuk menggambarkan himpunan dan operasi-
operasi himpunan adalah apa yang disebut diagram Venn, yang mengabadikan nama logikawan
Ingris John Veen (1834-1923). Dalam suatu diagram Veen, himpunan semesta digambarkan
dengan suatu persegi panjang dan himpunan dalam semesta itu digambarkan dengan suatu
lingkaran dalam persegi-panjang itu. Gambar di bawah ini adalah diagram Veen dari operasi-
operasi himpunan yang dibahas di atas dalam semesta X.

18
2.8 BEBERAPA SIFAT DASAR OPERASI HIMPUNAN

Operasi-operasi komplemen, gabungan, dan irisan memenuhi beberapa sifat dasar sebagai
berikut untuk setiap himpunan A, B, C dalam semesta X:
(A’)’ = A (Involusi)
A ∪ A=A dan A ∩ A= A (Idempoten)
A ∩ X = A dan A ∪ ∅= A(identitas)
A ∪ B=B ∪ A dan A ∩ B=B ∩ A (komutatif )
A ∪ ( B∪C )=( A ∪ B ) ∪ C dan A ∩ ( B ∩C )=( A ∩ B ) ∩ C ( asosiatif )
A ∪ ( B∩C )= ( A ∪ B ) ∩ ( A ∪C ) dan
A∩ ( B ∪C )= ( A ∩ B ) ∪ ( A ∩C ) ( distributif )
A ∪ A' = X ( Ketiadaan JalanTengah ) ; A ∩ A ' =∅ (Kontradiksi)
A∪ ( A ∩ B )= A dan A ∩ ( A ∪B )= A( Absorbsi)
(A∪ B ¿' = A ' ∩ B ' dan( A ∩ B)' = A ' ∪ B' ¿rgan)

Perhatikan bahwa pada sifat-sifat dasar tersebut berlaku prinsip dualitas, yaitu untuk
suatu sifat terdapat sifat dualnya, yang diperoleh dengan mengganti ∪ dengan ∩ dan sebaliknya,
dan mengganti dengan X dan sebaliknya. Kalau suatu sifat adalah benar, maka dualnya juga
benar.

19

Anda mungkin juga menyukai