Anda di halaman 1dari 18

TEST UJIAN KODE ETIK NOTARIS (UKEN) TANGGAL 17 – 18 OKTOBER 2014

A. Tata Tertib
Setelah saya melihat berdasarkan pengalaman di test UKEN 2013 dengan
mengadakan cek dan ricek yang tidak lulus tahun-tahun sebelum 2013 kepada peserta
, maka saya berkesimpulan, bahwa tata tertib memang harus diperhatikan, yaitu :
a. Baju peserta ujian, putih bersih/panjang tangan untuk baju atasan baik berupa
blouse atau kemeja, untuk bawahan adalah rok pendek sebatas lutut/panjang atau
celana berbahan kain/drill berwarna hitam.
b. Sepatu berwarna hitam,alangkah baiknya tidak terlalu tinggi max 5 cm.
c. Semua perlengkapan yang diserahkan pada pembekalan pada hari pertama ujian
yaitu pada tanggal 17 dibawa serta,serta papan nama selalu dikenakan pada saat
ujian.
d. Pada saat ujian dari tanggal 17 sd 18, absensi jangan lupa baik memulai
ujian,istirahat dan selesai ujian. Tahun lalu absensi yang digunakan dengan alat
fingerprint.
e. Bentuk ujian tahun 2013 terbagi atas 2 yaitu
1. Tulisan berupa pertanyaan yang berjumlah 50, yang berdasarkan Peraturan
Kode Etik,AD RT Notaris dan UUJN No 30 Tahun 2004, akan tetapi Tahun
2014 ini, yang berubah hanya di UU No 2 Tahun 2014.
2. Lisan, dengan teknik wawancara, 1 notaris yang berasal dari seluruh Indonesia
sebagai penguji, dan 3 orang peserta ujian, dengan batas waktu 10 menit.
Karena ujian diadakan di satu tempat yaitu Jakarta,dan tahun 2014 di 6 tempat
sekaligus. Dan ini berarti kemungkinan penguji yaitu notaries yang domisili
Jakarta.
f. Penuhi semua tata tertib, dari baju sampai sepatu serta penampilan diperhatikan
panitia yang mengambil absensi tanda tangan ujian pada saat ujian tanggal 18,
karena panitia tidak memberitahukan secara langsung kepada peserta letak
kesalahan. Dan pada saat menjawab pertanyaan wawancara, jawablah dengan
sopan, jangan gugup.

1
B. Ujian Tulisan
1. Sumber jawaban terdapat pada :
a. Kode Etik yang dihapal pasal 3 sd pasal 5
b. AD/RT Notaris
c. UU No 40 Tahun 2004, yang dihapal mengenai Kewenangan,Kewajiban dan
Larangan yaitu pasal 15 sd 19, serta harus ingat hampir sama dengan sub a, yang
mana letak soal akan hampir mirip apakah kode etik atau UUJN
d. UU No 2 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No 40 Tahun 2004 tentang UUJN.
e. Hal-hal lain yang berkaitan masalah-masalah yang terjadi terhadap kedudukan
INI. Pada tahun 2013, masalah yang paling dominan yaitu adanya 2 kubu di INI,
yaitu INI Roxy dan Hangtuah. Serta masalah Pasal 66 yang di judicial review oleh
MK atas kasus keterlibatan notaris dengan kasus pidana. Dan untuk tahun 2014 ini
adalah tentang UUJN no 4 Tahun 2014 yang dirubah dengan UU No 2 Tahun
2014.

2. Bentuk Soal
1) ADRT INI
a. Sebutkan keanggotaan INI di Indonesia :
Jawab :

1. Anggota Biasa;
2. Anggota Luar Biasa;
3. Anggota Kehormatan.

b. Sebutkan Perkumpulan mempunyai alat perlengkapan berupa :


a. Rapat anggota :
- Kongres/Kongres Luar Biasa;
- Konferensi Wilayah/ Konferensi Wilayah Luar Biasa;
- Konferensi Daerah/ Konferensi Daerah Luar Biasa.
b. Kepengurusan:
- Pengurus Pusat;
- Pengurus Wilayah
- Pengurus Daerah
c. Dewan Kehormatan :
- Dewan Kehormatan Pusat
- Dewan Kehormatan Wilayah
- Dewan Kehormatan Daerah

2) Kode Etik INI


2
a. Pasal 3 sd 5

b. Sanksi yang diberikan kepada notaries yang melanggar aturan


berdasarkan kode etik
Jawab :
Pasal 6 yang menyatakan bahwa sanksi yang dikenakan terhadap
anggota yang melakukan pelanggaran kode etik dapat berupa teguran,
peringatan, skorsing (pemecatan sementara) dari keanggotaan
perkumpulan, onzetting (pemecatan) dari keanggotaan perkumpulan
dan pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan
perkumpulan.

3) UUJN No.30 Tahun 2004

a. Sebutkan sanksi yang dijatuhkan kepada notaris sebagai pribadi menurut


Pasal 85 UUJN dapat berupa :

1. Teguran lisan;

2. Teguran tertentu;

3. Pemberhentian sementara;

4. Pemberhentian dengan hormat;

5. Pemberhentian dengan tidak hormat

b. pasal 15 sd 19

4) UU No 2 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No 40 Tahun 2004 tentang


UUJN

a. Pada tanggal 15 Januari 2014 akhirnya Perubahan Undang-Undang Jabatan


Notaris diundangkan dengan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Undang-Undang
Jabatan Notaris (UU Perubahan UUJN). Dengan diundangkannnya UU
Perubahan UUJN tersebut maka ketentuan yang diatur di dalam UU tersebut
telah berlaku dan mengikat khususnya bagi kita para notaris.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengesahkan UU No. 2 Tahun


2014 tentang perubahan UU No.30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
Rampungnya revisi undang-undang ini disambut baik oleh para notaris yang
tergabung dalam Ikatan Notaris Indonesia (INI).

Buah perjuangan ini tentu tidak dapat memuaskan seluruh anggota. Adrian
Sutedi ketua INI hasil Konggres Luar Biasa INI sempat meminta untuk tidak
melihat kekurangan undang-undang ini. Kendati demikian, pro kontra atas
3
undang-undang jabatan notaris yang baru tak terelakkan. Berbagai rasa tumpah
ruah. Ada yang suka, ada yang tidak. Ada yang puas dan ada yang harus
menelan rasa kecewa dan bingung. Masuk akal memang jika timbul pro kontra
sebab tak mungkin semua keinginan para anggota ditampung dalam satu
undang-undang.

Salah satu pasal yang dianggap mengecewakan adalah soal jangka waktu
magang notaris. Para calon notaris sebagian tak menyukai masa magang
menjadi 24 bulan. Calon notaris berpikir tak ada guna magang selama 2 tahun.
Hingga muncullah pemikiran bahwa perpanjangan masa magang adalah salah
satu bentuk moratorium terselubung.

Pasal lain yang sempat menyedot perhatian adalah ketentuan mengenai sidik
jari. Terdengar sederhana, tetapi tidak dalam praktiknya. Para notaris
kebingungan jari-jari mana saja yang harus diambil sidik jarinya dan
bagaimana mekanisme penggunaan sidik jari secara elektronik. Bahkan sempat
terlontar jika notaris disamakan dengan pemeriksa para kriminal.

Selain pasal-pasal tersebut, banyak pasal yang berbeda antara ketentuan yang
baru dengan yang lama. Berdasarkan pengamatan hukumonline, ada 44 pasal
yang mengalami amandemen, baik berupa perubahan, penambahan, maupun
penghapusan. Hal ini juga patut diperhatikan sebab implikasi hukumnya
menjadi berbeda.

Perbedaan UU No 30 Tahun UU No 2 Tahun Implikasi


2004 2014
Notaris Pengganti Diatur di Pasal 1 Dihapus Tugas Notaris
Khusus angka 4. Pengganti Khusus
adalah membuat akta
tertentu sebagaimana
yang disebutkan
dalam surat
penetapannya
sebagai notaris
karena hanya ada
seorang notaris di
satu kabupaten
tersebut. Sementara
itu, UUJN melarang
notaris yang
bersangkutan untuk
membuat akta yang
dimaksud dalam
surat penetapan itu.
Sehingga
berdasarkan UUJN
yang baru tidak ada
lagi notaris yang
membuat akta

4
tertentu untuk
dirinya sendiri
dengan alasan hanya
satu notaris yang ada
di wilayah
jabatannya.

Masa Magang Pasal 3 huruf f Berubah menjadi 24 Baru bisa diangkat


Notaris menyatakan masa bulan menjadi notaris
magang hanya 12 setelah magang
bulan berturut-turut selama 2 tahun
pada kantor notaris. berturut-turut.

Perpanjangan masa Mulai dilaksanakan Dalam jangka waktu Jika tidak


memulai menjalani dalam jangka waktu 60 hari sejak dilaksanakan, Pasal 7
kewajiban notaris 30 hari sejak pengambilan ayat (2) UUJN yang
sebagaimana diatur pengambilan sumpah. baru dengan tegas
dalam Pasal 7 ayat sumpah. mengenakan sanksi
(1) seperti kepada notaris
menyampaikan berupa peringatan
alamat kantor, tertulis;
contoh tanda tangan, pemberhentian
dan stempel, serta sementara;
menyampaikan pemberhentian
berita acara sumpah. dengan hormat; atau
pemberhentian
dengan tidak hormat.

Pelekatan Sidik Jari Tidak diatur Diatur dalam Pasal Notaris wajib
di Minuta Akta 16 ayat (1) huruf c melekatkan sidik jari
para penghadap di
minuta akta dengan
alasan keamanan.
Sidik jari yang
diambil cukup
menggunakan
jempol kanan atau
kiri.

Larangan rangkap Rangkap jabatan Rangkap jabatan Kewenangan Notaris


jabatan sebagai yang di larang adalah yang di larang melakukan pekerjaan
PPAT atau Pejabat di luar wilayah adalah di luar jabatan PPAT dan
Lelang Kelas II jabatan Notaris tempat kedudukan Pejabat Lelang Kelas
(Pasal 17 huruf g). Notaris II hanya boleh
(Pasal 17 ayat (1) dilakukan di
huruf g). kabupaten atau kota
tempat Notaris
berkantor, tidak
boleh lagi dilakukan

5
untuk satu Provinsi.
Masalah ini semakin
diperkuat dengan
pasal berikutnya,
yaitu Pasal 19 angka
2, yaitu tempat
kedudukan PPAT
wajib mengikuti
tempat kedudukan
Notaris. Artinya,
notaris tidak boleh
membuka kantor
PPAT berbeda
dengan tempat
kedudukan kantor
notarisnya.
Apabila dilanggar,
Notaris mendapatkan
sanksi.

Bentuk usaha yang Pasal 20 ayat (1) Diubah menjadi, Dengan perubahan
dijalankan notaris mengatur bahwa notaris dapat dari perserikatan
Notaris dapat menjalankan perdata ke
menjalankan jabatannya dalam persekutuan perdata,
jabatannya dalam bentuk persekutuan artinya seorang
bentuk perserikatan perdata. notaris dapat
perdata. bergabung dengan
beberapa notaris
membentuk satu
badan usaha dan
mengelolanya secara
bersama-sama secara
terus menerus dan
bertujuan mencari
keuntungan.

Revisi UU Nomor 5
Tahun 1999 tentang
Larangan Praktik
Monopoli dan
Persaingan Usaha
Tidak Sehat
berupaya juga
mengatur hal ini.

Bahasa Akta Bahasa akta yang Bahasa akta yang Penggunaan bahasa
sebagaimana diatur digunakan adalah digunakan adalah Indonesia dalam
dalam Pasal 43. bahasa Indonesia. wajib Bahasa ketentuan baru
Bahasa asing dapat Indonesia. Jika para semakin dipertegas
digunakan jika para pihak menghendaki, dengan kata

6
pihak akta dapat dibuat “wajib”. Akan
menghendakinya dalam bahasa asing. tetapi, kewajiban ini
sepanjang undang- sedikit melunak
undang tidak dengan
menentukan lain. diperbolehkannya
penggunaan bahasa
asing jika para pihak
menghendakinya.
Terlebih lagi, untuk
pembuatan akta yang
menggunakan bahasa
asing ini tidak lagi
dibatasi dengan
koridor “sepanjang
undang-undang
tidak menentukan
lain”. Sehingga, akta
apa saja sepanjang
para pihak
menghendaki dapat
menggunakan bahasa
asing.

Berhati-hatilah
dengan UU Nomor
24 Tahun 2009
tentang Bendera,
Bahasa, Lambang
Negara dan Lagu
Kebangsaan. Bisa
jadi kontrak yang
dibuat secara notaril
dimintakan
pembatalannya di
muka hakim.

Wewenang suatu Wewenang untuk Kewenangan Untuk kepentingan


badan dalam memberikan tersebut berada di proses peradilan,
memberikan persetujuan kepada tangan Majelis penyidik, penuntut
persetujuan kepada Penyidik, penuntut Kehormatan umum, atau hakim
penyidik dalam due umum, atau hakim ketika ingin
process untuk due process mengambil fotokopi
Sebagaimana diatur berada di tangan minuta akta notaris
dalam Pasal 66 Majelis Pengawas atau memanggil
Daerah. notaris itu sendiri
harus dengan
persetujuan Majelis
Pengawas Daerah
(MPD). Namun,
frasa “dengan

7
persetujuan MPD”
ini telah dibatalkan
Mahkamah
Konstitusi melalui
putusan MK No.
49/PUU-X/2012.

Akan tetapi, UUJN


yang baru
memasukkan
kembali
“perlindungan”
notaris ini melalui
frasa “dengan
persetujuan Majelis
Kehormatan”.

Wadah Tunggal Pasal 82 hanya Tertulis dengan jelas Organisasi di luar


menyebutkan notaris wadah tunggal yang INI tidak diakui
berhimpun dalam dimaksud adalah eksistensinya.
satu wadah Ikatan Notaris
organisasi. Indonesia (INI).

Ketentuan lain yang sempat menjadi perdebatan hangat di kalangan notaris


adalah mengenai Pasal 15 ayat (2) huruf f, yaitu notaris memiliki kewenangan
untuk membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan. Isu ini sedikit panas
karena terjadi “perebutan kewenangan” antara Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT) dengan Notaris. Sebab, klausula ini dianggap dapat mematikan profesi
PPAT.

Terhadap persoalan ini, Mantan Ketua Pengurus Wilayah IPPAT Jawa Barat,
Pieter A Latumeten menganggap hal ini tidak perlu dipersoalkan. Pieter
mengatakan notaris memang berwenang untuk membuat akta di bidang
pertanahan. Hal ini dimungkinkan sebab kewenangan notaris itu tidak hanya
bersumber pada Pasal 1868 KUHPerdata, teatpi juga bersumber dari UU
Jabatan Notaris itu sendiri.

Ia menjelaskan, untuk kewenangan yang bersumber pada Pasal 1868


KUHPerdata diejawantahkan pada Pasal 15 ayat (1) UUJN, sedangkan
kewenangan notaris yang berasal dari UUJN adalah kewenangan-kewenangan
yang tercantum dalam Pasal 15 ayat (2) termasuk kewenangan untuk membuat
akta di bidang pertahanahan tersebut.

Pengajar di Magister Kenotariatan di FHUI ini pun mencontohkan kewenangan


dalam membuat suatu akta yang juga dimiliki instansi lain selain notaris, yaitu
akta pengakuan terhadap anak luar kawin sebagaimana diatur dalam Pasal 281
KUHPerdata. Kewenangan membuat akta pengakuan terhadap anak luar kawin
ini juga dimiliki oleh Kantor Catatan Sipil.

8
Banyak Sanksi Intai Notaris

Aturan main tentu tak lengkap jika tidak diikuti dengan sebuah hukuman.
Tampaknya, UUJN yang baru memberikan perhatian yang penuh atas terhadap
sanksi. Kita mencatat setidaknya ada sembilan pasal yang mengatur dengan
tegas sanksi yang diancam kepada notaris yang melakukan kesalahan
sebagaimana diatur dalam pasal-pasal tersebut.

Pasal-pasal yang memuat sanksi itu adalah Pasal 7 ayat (2); Pasal 16 ayat (11),
ayat (12), ayat (13); Pasal 17 ayat (2), Pasal 19 ayat (2); Pasal 32 ayat (4); Pasal
37 ayat (2); Pasal 54 ayat (2), dan Pasal 65A. Pelanggaran terhadap pasal-pasal
tersebut dikenakan sanksi yang dimulai dari peringatan tertulis hingga
pemberhentian tidak hormat.

Sementara itu, terhadap notaris yang melakukan kesalahan sehingga


menyebabkan kekuatan pembuktian akta berubah menjadi akta di bawah
tangan, para pihak dapat meminta ganti rugi kepada notaris yang bersangkutan.
Hal itu dapat terjadi apabila notaris melanggar Pasal 41 yaitu tidak
melaksanakan Pasal 38, 39, dan 40; Pasal 44 ayat (5); Pasal 48 ayat (3), Pasal
49 ayat (4), Pasal 50 ayat (5), dan 51 ayat (4).

Jika dibandingkan dengan ketentuan yang lama, ketentuan mengenai sanksi


diatur dalam bab tersendiri, bukan pasal per pasal. Untuk sanksi berupa
peringatan tertulis hingga pemberhentian tidak hormat, dijerat kepada notaris
yang melanggar Pasal 7, Pasal 16, 17, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 27, Pasal 37,
Pasal 54, Pasal 58, dan Pasal 63.

Pieter tak setuju dengan banyaknya aturan mengenai sanksi dalam UU Jabatan
Notaris ini. Menurutnya, ada beberapa aturan yang tidak perlu diatur secara
tegas mengenai pemberian sanksinya. Contohnya adalah pencantuman
mengenai ganti rugi. Kendati demikian, hal ini juga dapat memudahkan pihak
yang dirugikan dalam hal pembuktian. Penggugat dinilai menjadi mudah dalam
membuktikan unsur kesalahan si notaris ketika melakukan kesalahan.

b. Mengenai Sidik Jari

Sidik jari (finger print) adalah hasil reproduksi tapak jari baik yang sengaja
diambil, dicapkan dengan tinta maupun bekas yang ditinggalkan pada benda
karena pernah tersentuh kulit telapak tangan atau kaki. Kulit telapak adalah
kulit pada bagian telapak tangan mulai dari pangkal pergelangan sampai
kesemua ujung jari, dan kulit bagian dari telapak kaki mulai dari tumit sampai
ke ujung jari yang mana pada daerah tersebut terdapat garis halus menonjol
yang keluar satu sama lain yang dipisahkan oleh celah atau alur yang
membentuk struktur tertentu.
Dari pengertian tersebut dan juga dari tulisan-tulisan yang penulis baca baik
yang berkaitan dengan sidik jari menurut penulis kata “sidik jari” dapat berarti
tapak dari salah satu jari pada tangan atau kaki atau dapat juga berarti

9
keseluruhan tapak dari jari-jari tangan maupun jari-jari kaki atau tapak dari
kulit tangan kanan dan/atau kiri, atau tapak dari bagian telapak tangan mulai
dari pangkal pergelangan sampai kesemua ujung jari dan atau tapak dari bagian
kulit dati telapak kaki mulai dari tumit sa,pai ke ujung jari. Jadi bisa bersifat
tunggal maupun jamak.

1)Maksud ditetapkannya pasal mengenai sidik jari


Penulis belum memperoleh data atau informasi yang jelas apa yang menjadi
latar belakang atau maksud ditetapkannya pasal 16 ayat 1 huruf c yang
mewajibkan notaris untuk melekatkan sidik jari penghadap pada minuta akta
tersebut. Namun dari pendapat atau komentar yang disampaikan rekan Syafran
Sofian dan rekan Firdhonal yang dikemukakan di salah satu jejaring sosial
mungkin mendekati kebenaran bahwa pasal tersebut dicantumkan karena
banyak penyangkalan yang dilakukan oleh penghadap terhadap keberadaan
tandatangan yang betrsangkutan pada minuta akta Notaris serta sudah mulai
hilangnya kepecayaan kepada Notaris.
Jika hal tersebut yang menjadi alasan maka menurut penulis makud dan tujuan
dicantumkannya kewajiban untuk melekatkan sidik jari pada minuta akta
tersebut adalah agar dapat dilakukan pembuktian di kemudian hari apakah
seorang penghadap tersebut benar hadir secara fisik dihadapan Notaris untuk
menandatangani suatu akta atau tidak. Dalam hal ini jika penghadap yang
bersangkutan menyangkal perihal kehadirannya dihadapan Notaris atau
menyangkal tandatangannya yang ada pada minuta akta maka sidik jari tersebut
akan dipakai untuk membantah sanggahan yang dilakukan oleh penghadap.

2) Sidik jari yang mana yang wajib dilekatkan oleh Notaris


UUJN tidak menyebutkan secara tegas sidik jari yang mana yang wajib
dilekatkan pada minuta akta.Karena UUJN tidak menyebutkan hal tersebut
maka banyak pendapat yang bermunculan mengenai hal ini ada yang
berpendapat yang dilekatkan adalah 10 (sepuluh) jari tangan, ada yang
berpendapat 5 (lima) jari tangan kanan atau tangan kirin, ada yang berpendapat
cukup cap ibu jari kanan/kiri saja.
Untuk mengatasi perbedaan pendapat tersebut tentunya diharapkan pemerintah
segera mengeluarkan peraturan yang mengatur hal tersebut agar terjadi
keseragaman di dalam praktek pengambilan sidik jari penghadap sehingga
tidak akan menimbulkan penolakan-penolakan dari penghadap berkaitan
dengan hal tersebut.dan juga pilihan penggunaan sidik jari yang mana menjadi
mem;punyai dasar hukum yang jelas.
Memang untuk sementara PP INI dalam rapat PP ini telah mengeluarkan
kesatuan sikap yang menyatakan bahwa yang digunakan adalah cap ibu jari
kanan saja. Tapi ternyata adanya pendapat dari PP INI tersebut belum juga
mengakhiri perbedaan pendapat mengenai sidik jari yang akan digunakan
dalam memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam UU Perubahan UUJN.
Bahkan banyak rekan-rekan notaris yang masih bingung berkaitan dengan

10
ketentuan tersebut. Hal ini terlihat dari komentar-momentar yang ada di
jejaring sosial.

Maka berdasarkan Hasil Rapat Pleno Pengurus Pusat INI pada tanggal 24-26
Maret 2014 yang menjadi sidik jari yang di pakai adalah jempol kanan atau kiri

3)Dimana sidik jari tersebut harus dilekatkan


Pasal 16 ayat (1) huruf c yang menentukan “Dalam menjalankan jabatannya,
Notaris wajib: ...c. melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap
pada Minuta Akta.”
Penulis bukan ahli bahasa yang dapat menafsirkan arti kata “melekatkan” pada
ketentuan pasal 16 ayat 1 huruf c UUJN. Namun dengan melihat bahwa
kewajiban melakatkan sidik jari tersebut ditempatkan pada satu kalimat yang
sama dengan kewajiban untuk melekatkan surat dan dokumen ini menunjukkan
bahwa pengertaian “melekatkan surat dan dokukmen” adalah sama maknanya
dengan “melakatkan sidik jari”. Melekatkan surat dan dokumen artinya adalah
surat dan dokuemn tersebut telah ada terlebih dahulu baru kemudian dilekatkan
pada minuta akta. Paralel dengan maknah “melekatkan surat dan dokumen”
tersebut maka “melekatkan sidik jari” adalah sidik jari tersebut telah ada
terlebih dahulu dalam suatu lembar tersendiri dan kemudian notaris wajib
melekatkan lembar tersemdiri yang memuat sidik jari penghadap tersebut pada
minuta akta.
Jadi sidik jari harus dilekatkan pada minuta akta setelah sebelumnya sidik jari
tersebut dibubuhi pada lembar tersendiri dihadapan notaris dan saksi-saksi.
Apakah untuk akta yang dibuat secara originali notaris juga wajib melekatkan
sidik jari tersebut?
Dengan membaca ketentuan pasal 16 ayat 1 huruf c UUJN tersebut jelas bahwa
kewajiban untuk melekatkan sidik jari hanya ada pada akta yang dibuat dalam
bentuk “minuta” akta, sedangkan pada akta yang dibuat dalam bentuk
“originali” hal tersebut tidak diwajibkan dan juga tidak diperlukian. Namun
demikian menurut penulis itu semua terpulangb kepada masing-masing notaris
ynag membuat akta tersebut.

4) Pengambilan sidik jari penghadap yang membuat beberapa akta


Dengan melihat bahwa pasal 16 ayat (1) huruf c UUJN yang menentukan
bahwa Notaris wajib melekatkan sidik jari penghadap pada Minuta Akta maka
berarti kewajiban Notaris untuk melekatkan sidik jari penghadap berlaku untuk
setiap pembuatan minuta akta, baik untuk akta yang pertama dibuat maupun
untuk akta-akta berikutnya, baik untuk akta yang dibuat pada hari yang sama
maupun untuk akta yang dibuat pada hari berbeda.
Sidik jari yang dilekatkan tersebut adalah sidik jari setiap penghadap, siapapun
yang menjadi penghadap dalam pembuatan akta tersebut, baik penghadap
bertindak untuk diri sendiri, selaku kuasa atau dalam jabatan atau kedudukan
tertentu, termasuk sidik jari dari Direksi bank maupun pejabat lainnya, tanpa
terkecuali semuanya berlaku sama.

5) Cara pengambilan sidik jari


Pada umumnya sidik jari yangh sengaja diambil untuk keperluan tertentu
diambil dengan menggunakan tinta basah yang kemudian dicapkan pada

11
kertas/media tertentu dan diambil dengan cara-cara tertentu sehingga alur-alur
yang terdapat pada sidik jari tersebut mudah terlihat/terbaca. Namun dengan
perkembangan jaman sidik jari juga dapat diambil secara elektronik seperti
yang digunakan pada sistem absensi secara elektronik.
Yang menjadi pertanyaan apakah pengambilan sidik jari yang dimaksud di
dalam UUJN juga dapat dilakukan secara elektronik?. Jika kita berpegang
kepada tidak adanya larangan mengenai hal tersebut di dalam UUJN serta
dalam rangka mengikuti perkembangan jaman dan ilmu pengetahuan menurut
penulis hal itu diperbolehkan. Namun untuk kepastiannya tentunya perlu ada
peraturan yang mengatur hal tersebut.

6) Warna tinta yang digunakan


Penulis tidak menemukan peraturan yang mengatur mengenai warna tinta yang
wajib digunakan dalam pengambilan sidik jari tersebut. Yang sering digunakan
di dalam praktek pengambilan sidik jari adalah warna hitam. Sehubungan
dengan hal tersebut untuk keseragaman warna tinta mungkin bisa disamakan
saja dengan warna tinta yang digunakan pada stempel notaris.

7) Apakah sidik jari tersebut perlu dilegalisasi oleh Notaris?


UUJN tidak menentukan bagaimana bentuk dan tatacara pembubuhan sidik jari
yang akan dilekatkan pada minuta akta tersebut. Oleh karena UUJN tidak
mengharuskannya maka memang tidak ada kewajiban untuk melegalisasai
sidik jari tersebut sebagaimana ketentuan mengenai pengambilan sidik jari
yang diatur di dalam pasal 1874 KUHPerdata. Pengambilan sidik jari
sebagaimana dimaksud di dalam pasal 16 ayat 1 huruf c UUJN berbeda dengan
dan tidak berkaitan sama sekali dengan pengambilan sidik jari yang diatur di
dalam pasal 1874 KUHPerdata maupun ketentuan peraturan perundang-
undangan lainnya yang menagtur perihal sidik jari tersebut.
Pengaturan sidik jari yang diatur didalam pasal 1874 KUHPerdata adalah
menyangkut kekuatan pembuktian surat yang dibuat dibawah tangan apabila
pembuatanya tidak dapat menandatangani surat yang bersangkutan dan
membubuhkan cap jempolnya pada surat tersebut sebagai pengganti
tandatangannya. Pasal 1874 KUHPerdata mengatur cap jempol sebagai
pengganti tandatangan untuk surat-surat dibawah tangan, sehingga ketentuan
tersebut tidak berlaku untuk penggantian tandatangan dalam suatu akta
otentik.Untuk akta otentik penggantian tandatangan cukup dilakukan dengan
“Surrogat” tandatangan yang berisikan keterangan notaris yang dikonstantir
oleh notaris dari keterangan penghadap yang bersangkutan perihal
keinginannya untuk menandatangani akta akan tetap tidak dapat melakukannya
karena alasan tertentu, serta keterangan tersebut dicantumkan pada akhir akta.
Keterangan tersebut sebagai pengganti tandatangan karena keterangan tersebut
berasal dari seorang Notaris yang dipercaya dan yang merupakan hakekat dari
jabatan Notaris. Memberlakukan ketentuan pasal 1874 KUHPerdata pada suatu
akta otentik adalah merupakan pengingkaran terhadap kepercayaan yang
diberikan oleh masyarakat dan UU kepada Notaris serta mendegredasi jabatan
Notaris..
Oleh karena sidik jari dibubuhkan pada lembaran tersendiri yang merupakan
surat dibawah tangan (karena juga ditandatangani oelh penghadap) maka
terpulang kepada notaris yang bersangkutan apakah dalam pengambilan
tersebut notaris melegalisasi sidik jari tersebut atau tidak.

12
8) Hal-hal yang harus diperhatikan agar maksud diterapkannya
ketentuaan menganai sidik jari dapat dipenuhi

Jika melihat latar belakang atau maksud diadakannya ketentuan mengenai


sidik jari di dalam UUJN seperti yang diuarikan di atas maka untuk tercapainya
maksud tersebut menurut penulis sekurang-kurangnya harus ada 4 (empat) hal
yang harus dipastikan berkaitan dengan pelekatan sidik jari tersebut, yatiu:
1) Sidik jari tersebut benar beralas dari jari penghadap yang bersangkutan;
2) Sidik jari tersebut bersumber langsung dari jari tangan penghadap, dalam
arti tidak melalui prantara media lainnya;
3) Sidik jari tersebut diambil berkaitan dengan pembuatan akta tertentu
(diambil pada setiap pembuatan akta yang dibuat dalam bentuk minuta
akta ), yang diambil pada lembaran tersendiri dengan memuat uraian yang
jelas judul akta, tanggal akta, nomor akta, nama penghadap dan bial diras
perlu dikuatkan dengan tandatangan dari penghadap;
4) Sidik jari tersebut diambil pada hari dan tanggal yang sama dihadapan
notaris dan saksi-saksi pada saat berlangsungnya proses pembuatan akta
dan sebelum penandatanganan akta.
Keempat hal ini harus dipenuhi agar penghadap tidak dapat menyangkal atau
sekurang-kurangnya dapat meminimlisir penyangkalan penghadap berkaitan
kehadirannya dihadapan notaris untuk pembuatan akta yang bersangkutan.
Nah siapa yang dapat menerangkan bahwa keempat hal tersebut telah
dipenuhi.Tentunya Notaris karena kewajiban pelekatan tersebut berkaitan
dengan pembuatan akta notaris. Keterangan tersebut menurut penulis akan
menjadi alat bukti yang kuat jika diterangkan didalam minuta akta, khususnya
pada bagian akhir akta.
Memang ada yang berpendapat hal tersebut tidak perlu diterangkan pada
minuta akta, ya semua kita kembalikan kepada rekan-rekan Notaris.

9) Pendapat notaris berkaitan dengan ketentuan Pasal 16 ayat 1 c UUJN


Dari semula ada sebagian notaris tidak setuju adanya ketentuan mengenai
kewajiban notaris untuk melekatkan sidik jari pada minuta akta karena
ketentuan tersebut menurut penulis telah mengurangi kepercayaan yang
diberikan oleh UU atau masyarakat kepada notaris sebagai pejabat yang
berwenang untuk membuat akta autentik. Akta autentik yang dibuat oleh atau
dihadapan Notaris merupakan alat bukti yang sempurna, apa yang diterangkan
oleh notaris dalam akta yang bersangkutan harus diterima sebagai hal yang
benar, karena akta autentik mempunyai kekuatan lahiriah, formal maupun
materiel.
Adanya kehadiran para penghadap dihadapan notaris yang diterangkan di
dalam akta adalah keterangan yang benar yang tidak perlu diperkuat dengan
bukti lain, baik berupa sidik jari, foto rekaman dll. Adanya ketentuan ;pasal 16
ayat 1 huruf c UUJN tentunya mengurangi atau mendegredasi kepercayan yang
diberikan oleh masyarakat maupun UU kepada Notaris maupun produknya
berupa akta autentik sebagai alat bukti yang sempurna.

5). Hal-hal lain yang berkaitan masalah-masalah yang terjadi terhadap


kedudukan INI. Pada tahun 2013, masalah yang paling dominan yaitu
adanya 2 kubu di INI, yaitu INI Roxy dan Hangtuah. Serta masalah Pasal 66
yang di judicial review oleh MK atas kasus keterlibatan notaris dengan kasus

13
pidana. Dan untuk tahun 2014 ini adalah tentang UUJN no 4 Tahun 2014
yang dirubah dengan UU No 2 Tahun 2014.

a. Adanya kubu INI ROXY dan HANGTUAH berawal dari Kongres INI Ke
XXI di Yogyakarta pada tanggal 27-28 tahun 2012, hasil kongres memutuskan
sebagai Ketua INI adalah Sri Rachma Candrawati (SRC)yang sebagai Ketua
IPPAT. Keinginan dari SRC untuk membuat Notaris juga PPAT, apabila
sudah notaries maka akan PPAT juga. Sebagian Notaris tidak setuju hasil
kongres tersebut karena adanya ditemukan suap meyuap bahwa notaries yang
memilih SRC dibayari hotel maupun pesawatnya ketika konggres diadakan
dan banyak lagi kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh SRC. Karena hal
inilah, dibuat Kongres Luar Biasa INI di Bali pada tanggal 23-24 mei 2014 di
Bali, akhirnya yang terpilih adalah Adrian Sutedi periode 2013-2016. Kubu
Adrian Sutedi di ROXY sedangkan SRC di Hangtuah.Polemic ini membuat
SRC mengajukan gugatan di pengadilan, dan kasus ini dimenangkan oleh
kubu ROXY. Sampai pada saat ini, INI yang sebenarnya adalah hasil putusan
pengadilan yaitu INI ROXY.

Soal-soal yang berkaitan di sini adalah, mengenai pendapat kita yang


seharusnya, kalau dilihat cara yang dilakukan oleh SRC dengan cara-cara tidak
benar. Jawaban kita kaitkan dengan Kode Etik Notaris yaitu selalu melakukan
hal-hal jujur, bekerjasama dengan tindakan jujur,baik berdasarkan sumpah
jabatan notaries.

b. Hapal sumpah jabatan notaries yang ada di UUJN

c. Pasal 66 UUJN yang di judicial review oleh MK

Selasa tanggal 23 Maret 2013 dengan Putusan nomor 49/PUU-X/2012,


Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia membuat suatu putusan yang
mengagetkan para notaris di Indonesia. Saya katakan mengagetkan karena
dengan keluarnya putusan tersebut banyak notaris merasa kehilangan “senjata
pamungkas” untuk melakukan penolakan dalam kaitan dengan pemanggilan
dirinya sebagai saksi maupun tersangka.
Putusan tersebut mengagetkan karena putusan tersebut berkaitan dengan
ketentuan pasal 66 ayat 1 UUJN yang mensyaratkan terlebih dahulu harus ada
persetujuan Majelis Pengawas Daerah (MPD) jika penyidik, penuntut umum
atau hakim akan memanggil notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang
berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau protokol notaris yang berada
dalam penyimpanan notaris.
Bunyi ketentuan pasal 66 ayat 1 UUJN tersebut selngkapnya dalah sebagai
berikut:

“(1) Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau


hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang:
a. mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan

14
pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; dan
b. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan
dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam
penyimpanan Notaris.”

Harus adanya persetujuan dari MPD memang dirasakan oleh banyak pihak
termasuk pihak kepolisian “menghambat” proses perkara yang berkaitan
dengan notaris, termasuk yang dirasakan oleh Kant Kamal yang kemudian
melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan frasa “ dengan
persetujuan Majelis Pengawas Daerah” yang terdapat dalam pasal 66 ayat 1
UUJN tersebut, yag akhirnya melahirkan putusan tersebut.

Putusan Mahkamah Konstitusi telah dikeluarkan, putusan tersebut sesuai


ketentuan pasal 10 ayat 1 UU Mahkamah Konstitusi merupakan keputusan
yang bersifat final. Karena keputusan tersebut bersifat final maka tidak
terdapat lagi upaya hukum yang dapat dilakukan atas putusan tersebut baik
upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa. Bagi notaris yang
terikat pada sumpah jabatan notaris maka kita wajib menghormati dan
mematuhi keputusan tersebut, namun demikian bagaimana kita dapat
mematuhi keputusan tersebut dengan sekaligus pada saat yang sama kita
dapat memenuhi kewajiban jabatan kita berdasarkan UUJN serta peraturan
perundang-undangan yang berlaku, bagaimana kita mematuhi putusan
tersebut dan sekaligus tidak melanggar sumpah jabatan kita khususnya yang
berkaitan dengan kalimat “bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan
keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya”.
Berkaitan dengan pertanyaan tersebut maka saya mencoba membuat tulisan ini
agar dapat menjadi renungan kita bersama sehingga kita dapat mengambil
langkah-langkah yang tepat dan bijak sesuai harkat dan martabat jabatan kita,
notaris Indonesia.

1.Hak Ingkar atau Kewajiban Ingkar Notaris

Hak ingkar (verschoningsrecht) atau kewajiban ingkar (verschoning splicht)


dari seorang notaris berkaitan dengan adanya ketentuan yang berkaitan
dengan rahasia jabatan notaris. Ketentuan mengenai rahasia jabatan notaris
dapat diketemukan di dalam pasal 4 UUJN yang mengatur mengenai sumpah
jabatan notaris, yang berbunyi “Saya bersumpah/berjanji:...bahwa saya
bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam
pelaksanaan jabatan saya.”, pasal 16 ayat 1 huruf e yang berbunyi “Dalam
menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban ... merahasiakan segala sesuatu
mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna
pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan ...”, dan pasal 54 UUJN
yang berbunyi “ Notaris hanya dapat memberikan, memperlihatkan, atau
memberitahukan isi akta, Grosse Akta, Salinan Akta atau Kutipan Akta,
kepada orang yang berkepentingan langsung pada akta, ahli waris, atau orang
yang memperoleh hak, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-
undangan.”

15
Perihal hak ingkar (verschoningsrecht) maka seseorang baik karena
pekerajaan, harkat martabatnya atau jabatannya diwajibkan untuk menyimpan
rahasia dapat menggunakan haknya untuk minta dibebaskan sebagai sebagai
saksi baik dalam suatu perkara perdata maupun dalam perkara pidana. Untuk
perkara perdata diatur dalam pasal 1909 KUHPerdata yang menentukan “
Semua orang yang cakap untuk menjadi saksi, siharuskan memberikan
kesaksian di muka hakim. Namun dapatlah meminta dibebaskan dari
kewajibannya memberikan kesaksian: ... segala siapa yang karena
kedudukannya, pekerjaannya atau jabatannya menurut undang-undang
diwajibkan merahasikan sesuatu, namun hanyalah semata-mata mengenai hal-
hal yang pengetahuannya dipercayakan kepadanya sebagai demikian.” Untuk
perkara pidana diatur dalam pasal 170 KUHAP yang menentukan :

“ 1) Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya


diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban
untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan
kepada mereka;
2) Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan
tersebut.”

Orang-orang yang mempunyai hak ingkar ini antara lain pendeta, dokter dan
notaris. Orang-orang ini dapat menolak untuk memberikan kesaksiannya
berdasarkan hak ingkar (verschoningsrecht) yang dimilikinya tersebut.
Berkaitan dengan masalah rahasia jabatan notaris, dalam pembahasan
mengenai pasal 17 dan 40 UUJN yang pada intinya berisikan kewajiban
notaris merahasiakan isi akta, GHSL Tobing menyatakan sebagai berikut:

a. Bahwa para notaris wajib untuk merahasiakan, tidak hanya apa yang
dicantumkan dalam akta-aktanya, akan tetapi juga semua apa yang
diberitahukan atau disampaikan kepadanya dalam kedudukannya sebagai
notaris, sekalipun itu tidak dicantumkan dalam akta-aktanya;
b. Bahwa hak ingkar dari para notaris tidak hanya merupakan hak
(verschoningsrecht), akan tetapi meruapakan kewajiban
(verschoningspicht), notaris wajib untuk tidak bicara. Hal ini tidak
didasarkan kepada pasal 1909n sub 3 KUHPerdata, yang hanay
membeikan kepadanya hak untuk mengundurkan diri sebagai saksi, akan
tetapi didasarkan kepada pasal 17 dan pasal 40 PJN.
c. Bahwa di dalam menentukan sampai seberapa jauh jangkauan hak ingkar
dari para notaris, harus bertitik tolak dari kewajiban bagi para notaris
untuk tidak bicara mengenai isi akta-aktanya, dalam arti baik mengenai
yang tercantum dalam akta-aktanya maupun mengenai yang diberitahukan
atau disampaikan kepadanya dalam kedudukannya sebagai notaris,
sekalipun dimuka pengadilan, kecuali hal-hal dimana terdapat kepentingan
yang lebih tinggi atau dalam hal-hal simana untuk itu notaris oleh sesuatu
peraturan perundang-undangan yang berlaku membebaskannya secara
tegas dari sumpah rahasia jabatannya.

16
Sehubungan dengan penjelasan GHSL Tobing tersebut maka jika dikaitkan
dengan ketentuan pasal 4, 16 dan 54 UUJN maka jelas bahwa untuk
merahasiakan isi akta beserta hal-hal yang diberitahukan kepada notaris
sehubungan dengan pembuatan akta tersebut adalah merupakan suatu
kewajiban jabatan notaris, sehingga dengan demikian untuk mengundurkan
diri sebagai saksi atau menolak untuk memebrikan keterangan sebagai saksi
bukan hanya meruapakan hak tai juga meruapakan suatu kewajiban bagi
notaris. Jadi notaris tidak hanya mempunyai hak ingkar (verschongsrecht)
akan tetapi juga mempunyai kewajiban ingkar (verschoningssplicht).

2.Akibat putusan Mahkamah Konstitusi terhadap berlakunya pasal 66


UUJN

Putusan Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan gugatan yang diajukan oleh


Kant Kamal yang diputus pada hari Selasa tanggal 23 Maret 2013 dengan
Putusan nomor 49/PUU-X/2012 telah memutuskan :

“1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya:

1.1 Menyatakan frasa “dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah”


dalam Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;

1.2 Menyatakan frasa “dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah”


dalam Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432) tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat;”

Putusan tersebut jelas menyatakan bahwa frasa “ dengan persetujuan Majelis


Pengawas Daerah” dalam pasal 66 UUJN dinyatakan bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan mengikat. Dengan putusan tersebut yang menjadi
pertanyaan adalah apakah frasa “dengan persetujuan Majelis Pengawas
Daerah” dalam pasal 66 UUJN tersebut dianggap tidak ada atau tidak tertulis
atau frasa tersebut tetap dianggap ada sekalipun frasa tersebut dinayatakan
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekauatan hukum mengikat.
Jika frasa “dengan persetujuan Pengawas Daerah” dianggap tidak ada atau
dianggap tidak tertulis menurut saya, notaris wajib memenuhi panggilan
penyidik, penuntut umum maupun hakim jika diminta untuk menjadi saksi
sebagaimana dimaksud dalam pasal 66 ayat 1 UUJN tersebut. Notaris yang
semula dapat menolak sebelum adanya persetujuan MPD tidak lagi dapat
menolak hal tersebut karena hal tersebut menjadi kewajiban yang diatur
dalam UUJN (dengan adanya putusan tersebut makna pasal 66 ayat 1 UUJN
berubah 180 derajat dari maknanya semula).

17
Jika frasa tersebut tetap dianggap ada sekalipun frasa tersebut dinyatakan
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat maka dalam
rangka pemanggilan terhadap notaris dalam suatu perkara sekalipun tidak
diperlukan adanya persetujuan dari MPD akan tetapi secara prosedur
pemanggilan tersebut tetap harus diberitahukan kepada MPD sebagai
pengawas Notaris. Untuk hal yang terkahir ini hendaknya segera dikeluarkan
peraturan Menteri Hukum dan Ham perihal pemanggilan notaris sehubugan
dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut agar tidak terjadi
kesemena-menaan dalam pemaggilan notaris.

3.Tindakan yang dapat kita lakukan kedepan

Berkaitan dengan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut maka hal-hal yang


dapat dilakukan kedepan untuk menjaga harkat martabat jabatan notaris
adalah sebagi berikut:

a. Meningkatkan profesionlisme notaris serta harkat martabat jabatan notaris;


b. Meningkatkan kekuatan lembaga organisasi INI sebagai satu-satunya
perkumpulan notaris, dengan menjaga kehormatan dan kewibawaan
lemabag INI;
c. Memperkuat lembaga pengayoman pada setiap tingkatan agar dapat
melindungi semua anggota perkumpulan tanpa kecuali;
d. Menjaga komunikasi dan hubungan yang lebih baik dengan semua instansi
atau lembaga;
e. Mendorong PP INI agar mendesak Menkumham segera menerbitkan
peraturan mengenai tatacara pemanggilan notaris dengan memasukan
produr pemanggilan dengan cara adanya pemberitahuan kepada MPD;
f. Memasukan ketentuan dalam UUJN perihal pengawasan notaris
dikembalikan kepada Mahkamah Agung dan pemanggilan terhadap notaris
harus ada persetujuan dari Ketua Pengadilan Negeri;
g. Jika huruf f tidak berhasil maka dalam RUUJN dimasukan ketentuan
bahwa untuk pemanggilan Notaris harus diberitahukan kepada MPD.

4. Wawancara

Berkaitan dengan :

-Jarak kantor notaries

-ukuran papan nama dan warna

-cara berpakaian notaries

-pergaulan notaries

-perilaku notaris

18

Anda mungkin juga menyukai