NIM : 202121038
Kelas : HKI 6C
Matkul : ETIKA DAN TANGGUNG JAWAB PROFESI HUKUM
Dosen Pengampu : Yusuf Mustofa, S.H.,M.H.
Kantor Notaris tersebut adalah kantor milik Notaris Diastuti S.H., Notaris di Kota
Bandung yang alamatnya adalah Jalan Sadakeling No. 9 Bandung. Di kantor Notaris
tersebut Pelapor diminta untuk menandatangani sebuah blangko kosong yang isinya
akan dibacakan oleh Koesmajadi. Awalnya Pelapor keberatan, namun pada akhirnya
setuju untuk menandatangai. Pelapor kemudian meninggalkan tempat tersebut setelah
mendapatkan sisa uang pinjaman dari Koesmajadi.
Setelahnya, pada tanggal 25 september 2006 Pelapor mendapat panggilan dari
kepolisian daerah Jawa Barat unit III sat OPS III/Tripiter dit reskrim. Pelapor dianggap
sebagai tersangka tindak pidana penipuan sebagaimana pasal 378 KUHPidana dan
diperiksa untuk diminta keterangannya. Penyidik kemudian menunjukkan kopi dari
salinan Akta No.53 yang berisi perjanjian pengikatan diri untuk melakukan perbuatan
Jual Beli antara Pelapor dan Koesmajadi. Pelapor yang tidak pernah mengetahui
bahkan menandatangani akta tersebut merasa dirugikan dengan adanya akta No. 53 dan
melaporkan Notaris Diastuti sebagai Terlapor.
Berdasarkan Surat putusan tersebut diatas, Pelapor mengajukan tuntutan berupa:
a) Mempertemukan Pelapor dan Terlapor dihadapan majelis pengawas Notaris jawa barat
b) Memberikan peringatan keras terhadap Terlapor
c) Menyatakan bahwa isi dan akta no 53 adalah tidak benar atau palsu
Dalam surat putusan tersebut juga disebutkan hal-hal yang meringakan Terlapor
yaitu bahwa Terlapor kooperatif dalam pemeriksaan. Sedangkan hal-hal yang
memberatkan adalah sebagai berikut:
Terlapor telah berulangkali diperiksa oleh Majelis Pengawas Wilayah Notaris untuk
kasus-kasus lainnya.
1. Terlapor saat ini sedang dalam pengusulan skorsing berdasarkan putusan
Majelis Pengawas Wilayah Notaris Jawa Barat
2. Perbuatan Terlapor dapat menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat kepada
akta Notaris
3. Perbuatan Terlapor dapat menimbulkan kerugian pada masyarakat
4. Perbuatan Terlapor dapat merusak martabat dan kehormatan Notaris
B. ANALISIS KASUS
a) Terhadap Alur Pengawasan Pelanggaran Jabatan dan Kode Etik Notaris
Dalam suatu tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh seorang profesi notaris
terdapat beberapa hal yang dicakup didalamnya antara lain yaitu pelanggaran kode etik,
pelanggaran jabatan, dan apabila terdapat unsur tindak pidana. Apabila dalam suatu
perbuatan yang dilakukan Notaris terjadi kerugian yang diakibatkan perbuatan Notaris
diluar tugas/atau jabatannya, seperti misalnya terdapat unsur penipuan atau
penggelapan, maka perbuatan ini dapat dilaporkan langsung kepada pihak kepolisian
untuk ditindak lanjuti sebagaimana terjadinya perbuatan melanggar hukum yang telah
diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan cara beracaranya.1
Sedangkan apabila perbuatan notaris tersebut merugikan pihak lain seperti
misalnya klien, berkaitan dengan melaksanakan jabatannya (dalam pembuatan akta dan
semacamnya yang menjadi tugas dan kewenangan notaris), maka sesuai dengan pasal
67 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris, yang berwenang untuk melakukan suatu tindakan pengawasan adalah Menteri.
Menteri yang kemudian dimaksud adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.2
Dalam melakukan pengawasan terhadap Notaris dalam ranah pelanggaran jabatan
dan kode etiknya ini terdapat dua lembaga yang dianggap berwenang untuk melakukan
pengawasan dan tindakan selanjutnya yang akan diberikan terhadap tindak lanjut bagi
pelanggaran yang dilakukan oleh notaris tersebut. Lembaga-lembaga tersebut adalah
Majelis Pengawas Notaris (selanjutnya disebut MPN) dan Dewan Kehormatan
(selanjutnya disebut DK).
1
Sebagaimana pendapat Winanto Wiryomartani dalam
http://medianotaris.com/sudah_pindah_tapi_masih_pasang_papan_nama_berita120.html diakses pada
Kamis, 6 April 2023
2
Loc. Cit.
b) Terhadap Pelanggaran yang Dilakukan oleh Notaris Terlapor
Dalam UU No. 30 Tahun 2004 telah dijabarkan dengan rinci tentang sanksi yang
dapat dijatuhkan oleh terhadap pelanggaran jabatan dan kode etik. Sanksi-sanksi ini
dijelaskan pada BAB XI tentang Ketentuan Sanksi. Terdapat dua pasal dalam
penentuan sanksi di bab ini.
Pasal pertama yaitu pasal 84 menyebutkan bahwa sanksi dapat berupa suatu akta
tersebut yang dibuat oleh Notaris Terlapor dianggap batal demi hukum sehingga turun
derajat menjadi akta dibawah tangan. Disebutkan pula, apabila terdapat pihak yang
dirugikan dengan hal ini, dapat menuntut penggantian biaya, ganti rugi maupun bunga
kepada Notaris. Sanksi ini hanya mencakup tindakan pelanggaran notaris yang diatur
dalam pasal-pasal berikut:3 Pasal 16 ayat (1) huruf i; Pasal 16 ayat (1) huruf k; Pasal
41; Pasal 44; Pasal 48; Pasal 49; Pasal 50; Pasal 51, atau; Pasal 52.
Pasal berikutnya adalah pasal 85 yang menyebutkan sanksi-sanksi berupa:
• Teguran lisan
• Teguran tertulis
• Pemberhentian sementara
• Pemberhentian dengan hormat; atau
• Pemberhentian dengan tidak hormat
3
Lihat Pasal 84 Undang-undang RI Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
4
Lihat Pasal 85 Undang-undang RI Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
Dalam Kode Etik Notaris juga diatur tentang sanksi yang dapat dijatuhkan apabila
terjadi pelanggaran terhadap kode etik yang telah diatur. Sanksi tersebut diatur dalam
pasal 6 ayat (1) BAB IV tentang Sanksi, berikut kutipannya;
“ Sanksi yang dikenakan terhadap anggota yang melakukan pelanggaran Kode
Etik dapat berupa
a. Teguran;
b. Peringatan;
c. Schorsing (pemecatan sementara) dari keanggotaan Perkumpulan;
d. Onzetting (pemecatan) dari keanggotaan Perkumpulan;
e. Pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan Perkumpulan.”5
Sanksi tersebut berlaku bagi setiap anggota Ikatan Notaris Indonesia yang
melanggar kode etik disesuaikan dengan kuantitas dan kualitas pelanggarannya.6
Dalam kasus pelanggaran jabatan dan kode etik diatas, Notaris Terlapor melanggar
pasal 16 ayat (1) huruf a yang sanksinya diatur dalam pasal 85 diatas dan pasal 44 yang
sanksinya diatur dalam pasal 84. Sehingga mengakibatkan akta yang diperkarakan
(akta No. 53) tentang perjanjian jual beli antara Pelapor dengan pihak Koesmajadi
menjadi batal demi hukum dan turun derajat menjadi akta bawah tangan. Dalam hal
ini, apabila Pelapor menyatakan tidak sepakat dengan isi perjanjian, maka akta
perjanjian tersebut tidak perlu dilanjutkan kecuali bagi pihak Koesmajadi untuk
memperkarakan dengan dalih wanprestasi. Kemudian Notaris Terlapor juga dapat
dikenai sanksi sebagaimana yang diatur dalam pasal 85.
Dalam hal memberikan atau menjatuhkan sanksi-sanksi diatas dapat dilakukan
oleh:
1. Majelis Pengawas Wilayah, yaitu dalam pasal 73 ayat (1) huruf e
berwenang untuk memberikan sanksi berupa sanksi teguran lisan ataupun
tertulis. Selanjutnya dalam huruf f dapat mengusulkan pemberian sanksi
kepada Majelis Pengawas Pusat
2. Majelis Pengawas Pusat, yaitu dalam pasal 77 huruf c berwenang untuk
menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara dan pada huruf d
mengusulkan sanksi kepada Menteri.
3. Menteri Hukum dan HAM; melakukan sanksi pemberhentian tidak
hormat.
5
Lihat Pasal 6 Kode Etik Notaris
6
Lihat Pasal 6 ayat (2) Kode Etik Notaris
palsu maka setelah dijatuhi sanksi administratif/kode etik profesi jabatan notaris dan
sanksi keperdataan kemudian dapat ditarik dan dikualifikasikan sebagai suatu tindak
pidana yang dilakukan oleh Notaris yang menerangkan adanya bukti keterlibatan
secara sengaja melakukan kejahatan pemalsuan akta otentik.