Disusun untuk memenuhi Ujian Akhir Semester mata kuliah Hukum Pidana
Notaris
Disusun Oleh :
Fakultas Hukum
Magister Kenotariatan
Universitas Jember
2021
1
Resume Point-Point Perkuliahan Hukum Pidana di Bidang Kenotariatan :
1. Notaris sebagai manusia biasa, dalam menjalankan tugas jabatannya dapat melakukan
kesalahan atau pelanggaran. Notaris yang terbukti melakukan pelanggaran terhadap
kewajiban dan larangan Notaris sebagaimana diatur dalam Pasal 16 dan 17 UUJN, dapat
dikenakan sanksi baik berupa sanksi perdata, sanksi administratif, sanksi kode etik
bahkan sanksi pidana .1
2. Dalam memenuhi tugasnya dalam melakukan suatu bentuk pengawasan terhadap pejabat
notaris, selanjutnya Menteri Hukum dan HAM membentuk lembaga yang berwenang dan
berhak untuk melakukan pengawasan yaitu Majelis Pengawas atau MPN berdasarkan
pasal 1 angka 6 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris.
3. Bahwa Apabila dalam suatu perbuatan yang dilakukan Notaris terjadi kerugian yang
diakibatkan perbuatan Notaris diluar tugas/atau jabatannya, seperti misalnya terdapat
unsur penipuan atau penggelapan, maka perbuatan ini dapat dilaporkan langsung kepada
pihak kepolisian untuk ditindak lanjuti sebagaimana terjadinya perbuatan melanggar
hukum yang telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan cara
beracaranya2
4. Tanggung jawab notaris secara pidana terhadap kebenaran materil dalam akta yang
dibuatnya. Mengenai ketentuan pidana tidak diatur di dalam UUJN, namun tanggung
jawab notaris secara pidana dikenakan apabila notaris melakukan perbuatan pidana.
5. Berdasarkan teori pembentukan perundang-undangan, apabila di UUJN tidak mengatur
mengenai ketentuan pidana, maka dapat dilakukan analisis terhadap ketentuan umum
yang mengatur seputar hukum kepidanaan. Oleh karena itu dari aspek ketentuan sanksi
pidananya akan mengacu kepada ketentuan diluar UUJN, yaitu KUHP maupun
ketentuan-ketentuan khusus sebagaimana diatur dalam perundang-undangan lain. Dengan
catatan bahwa pemidanaan terhadap notaris diberlakukan dengan adanya batasan.
6. Pemidanaan terhadap notaris dapat dilakukan dengan batasan, antara lain:3
a. Ada tindakan hukum dari notaris terhadap aspek lahiriah, formal, dan materil akta
yang sengaja, penuh kesadaran, dan keinsyafan, serta direncanakan bahwa akta yang
akan dibuat dihadapan notaris atau oleh notaris bersama-sama sepakat (para penghadap)
dijadikan dasar untuk melakukan suatu tindak pidana;
b. Ada tindakan hukum dari notaris dalam membuat akta dihadapan atau oleh notaris
yang apabila diukur berdasarkan UUJN tidak sesuai dengan ketentuan UUJN;
1
Putri A.R. 2011, Perlindungan Hukum Terhadap Notaris (Indikator Tugas-Tugas Jabatan Notaris yang Berimplikasi
Perbuatan Pidana), PT. Softmedia, Jakarta, h.9-10.
2
Sebagaimana pendapat Winanto Wiryomartani dalam
http://medianotaris.com/sudah_pindah_tapi_masih_pasang_papan_nama_berita120.html diakses pada Selasa, 29
April 2014
3
Sjaifurrachman Dan Habib Adjie, op.cit., hlm.208
2
c. Tindakan notaris tersebut juga tidak sesuai menurut instansi yang berwenang
untuk menilai tindakan notaris, dalam hal ini Majelis Pengawas Notaris.
7. Penjatuhan sanksi pidana terhadap notaris dapat dilakukan sepanjang batasan-batasan
sebagaimana tersebut telah secara nyata dilakukan pelanggaran. Artinya, disamping
memenuhi rumusan pelanggaran yang tersebut dalam UUJN, perbuatan notaris tersebut
juga harus memenuhi rumusan yang tercantum dalam KUHP.
8. Pidana erat hubungannya dengan perbuatan sengaja. Kesengajaan (dolus) menurut hukum
pidana merupakan perbuatan yang diinsyafi, dimengerti dan diketahui sebagai demikian,
sehingga tidak ada unsur salah sangka atau salah paham.4
9. Perbuatan yang dikategorikan sebagai perbuatan pidana yang ditegaskan dalam UUJN
dalam UUJN salah satunya ialah mengenai penghilangan akta sebagai arsip Negara.
Bahwa terhadap notaris yang dengan sengaja menghilangkan minuta akta diatur dalam
ketentuan Pasal 86. Menghilangkan dengan sengaja dapat dikategorikan sebagai upaya
pemusnahan arsip negara dimana terhadap setiap orang yang dengan sengaja
memusnahkan arsip di luar prosedur yang benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51
ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta 36 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 43 Tahun 2009, Sedangkan ketentuan Pasal 51 ayat (2) sendiri menyatakan
bahwa pemusnahan arsip wajib dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang benar.
10. Dalam hal seorang Notaris membuat atau bekerja sama dan menandatangani suatu akta
palsu atau akta proforma (akta pura-pura), maka terhadap Notaris tersebut dapat
dikenakan pidana penyertaan pemalsuan akta sebagaimana diatur dalam Pasal 55 ayat
(1) angka 1 jo Pasal 264 ayat (1) KUHP.
11. Jika melihat ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pada
dasarnya telah diatur dalam Pasal 263 KUHP mengenai pemalsuan surat sebagai berikut:
a. Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan
sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai
bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain
memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika
pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan
pidana penjara paling lama enam tahun.
b. Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat
palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat
menimbulkan kerugian.
4
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hlm. 171
3
Nama : Afifah Nur Azizah
NIM. 180720201049
Tugas Susulan : Presentasi Kasus Pidana yang terkait dengan Profesi Notaris (kami
kaitkan dengan Pelanggaran Kode Etik Notaris dan UUJN)
4
Kantor Notaris tersebut adalah kantor milik Notaris Diastuti S.H., Notaris di Kota
Bandung yang alamatnya adalah Jalan Sadakeling No. 9 Bandung. Di kantor Notaris tersebut
Pelapor diminta untuk menandatangani sebuah blangko kosong yang isinya akan dibacakan oleh
Koesmajadi. Awalnya Pelapor keberatan, namun pada akhirnya setuju untuk menandatangai.
Pelapor kemudian meninggalkan tempat tersebut setelah mendapatkan sisa uang pinjaman dari
Koesmajadi.
Setelahnya, pada tanggal 25 september 2006 Pelapor mendapat panggilan dari kepolisian
daerah Jawa Barat unit III sat OPS III/Tripiter dit reskrim. Pelapor dianggap sebagai tersangka
tindak pidana penipuan sebagaimana pasal 378 KUHPidana dan diperiksa untuk diminta
keterangannya. Penyidik kemudian menunjukkan kopi dari salinan Akta No.53 yang berisi
perjanjian pengikatan diri untuk melakukan perbuatan Jual Beli antara Pelapor dan Koesmajadi.
Pelapor yang tidak pernah mengetahui bahkan menandatangani akta tersebut merasa dirugikan
dengan adanya akta No. 53 dan melaporkan Notaris Diastuti sebagai Terlapor.
Berdasarkan Surat putusan tersebut diatas, Pelapor mengajukan tuntutan berupa:
- Mempertemukan Pelapor dan Terlapor dihadapan majelis pengawas Notaris jawa
barat
- Memberikan peringatan keras terhadap Terlapor
- Menyatakan bahwa isi dan akta no 53 adalah tidak benar atau palsu
Berdasarkan pemeriksaan, fakta-fakta yang ditemukan betul dilakukan oleh Terlapor
adalah sebagai berikut:
- Penandatanganan Akta tanpa dibacakan secara patut
- Tindakan yang tidak seksama yaitu persetujuan Suami untuk melakukan tindakan
terbalik dengan persetujuan Istri.
Dalam surat putusan tersebut juga disebutkan hal-hal yang meringakan Terlapor yaitu
bahwa Terlapor kooperatif dalam pemeriksaan. Sedangkan hal-hal yang memberatkan adalah
sebagai berikut:
- Terlapor telah berulangkali diperiksa oleh Majelis Pengawas Wilayah Notaris untuk
kasus-kasus lainnya.
- Terlapor saat ini sedang dalam pengusulan skorsing berdasarkan putusan Majelis
Pengawas Wilayah Notaris Jawa Barat
- Perbuatan Terlapor dapat menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat kepada akta
Notaris
- Perbuatan Terlapor dapat menimbulkan kerugian pada masyarakat
- Perbuatan Terlapor dapat merusak martabat dan kehormatan Notaris
- Perbuatan Terlapor dapat merupakan perbuatan yang tidak profesional
Kemudian setelah menjalani sidang pemeriksaan, Majelis Pemeriksa Wilayah Notaris
kemudian memberikan putusan sebagai berikut:
5
Mengusulkan kepada majelis pengawas pusat untuk memberhentikan sementara Notaris
yang bersangkutan atau Terlapor dari jabatannya selama 6 bulan vide pasal 9 UU no 30 tahun
2004 tentang jabatan Notaris.
6
B. ANALISIS KASUS
1. Terhadap Alur Pengawasan Pelanggaran Jabatan dan Kode Etik Notaris
Dalam suatu tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh seorang profesi notaris terdapat
beberapa hal yang dicakup didalamnya antara lain yaitu pelanggaran kode etik, pelanggaran
jabatan, dan apabila terdapat unsur tindak pidana. Apabila dalam suatu perbuatan yang dilakukan
Notaris terjadi kerugian yang diakibatkan perbuatan Notaris diluar tugas/atau jabatannya, seperti
misalnya terdapat unsur penipuan atau penggelapan, maka perbuatan ini dapat dilaporkan
langsung kepada pihak kepolisian untuk ditindak lanjuti sebagaimana terjadinya perbuatan
melanggar hukum yang telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan cara
beracaranya5.
Sedangkan apabila perbuatan notaris tersebut merugikan pihak lain seperti misalnya
klien, berkaitan dengan melaksanakan jabatannya (dalam pembuatan akta dan semacamnya yang
menjadi tugas dan kewenangan notaris), maka sesuai dengan pasal 67 ayat (1) Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yang berwenang untuk
melakukan suatu tindakan pengawasan adalah Menteri. Menteri yang kemudian dimaksud adalah
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia6.
Dalam melakukan pengawasan terhadap Notaris dalam ranah pelanggaran jabatan dan
kode etiknya ini terdapat dua lembaga yang dianggap berwenang untuk melakukan pengawasan
dan tindakan selanjutnya yang akan diberikan terhadap tindak lanjut bagi pelanggaran yang
dilakukan oleh notaris tersebut. Lembaga-lembaga tersebut adalah Majelis Pengawas Notaris
(selanjutnya disebut MPN) dan Dewan Kehormatan (selanjutnya disebut DK).
Kewenangan Majelis Pengawas Notaris
Dalam memenuhi tugasnya dalam melakukan suatu bentuk pengawasan terhadap pejabat
notaris, selanjutnya Menteri Hukum dan HAM membentuk lembaga yang berwenang dan berhak
untuk melakukan pengawasan yaitu Majelis Pengawas atau MPN. Berdasarkan pasal 1 angka 6
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya
disebut sebagai UU No 30 tahun 2004) pengertian Majelis Pengawas sebagaimana kutipan isi
dari pasal tersebut adalah:
“Majelis Pengawas adalah suatu badan yang mempunyai kewenangan dan kewajiban
untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap Notaris.”7
Majelis Pengawas ini kemudian terdiri dari:
- Majelis Pengawas Daerah yang dibentuk di Kabupaten atau Kota8
- Majelis Pengawas Wilayah yang dibentuk dan berkedudukan di ibukota Provinsi9
5
Sebagaimana pendapat Winanto Wiryomartani dalam
http://medianotaris.com/sudah_pindah_tapi_masih_pasang_papan_nama_berita120.html diakses pada Selasa, 29
April 2014
6
Loc. Cit.
7
Lihat Pasal 1 angka 6 Undang-undang RI Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
8
Lihat Pasal 69 Undang-undang RI Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
9
Lihat pasal 72 Undang-undang RI Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
7
- Majelis Pengawas Pusat yang dibentuk berkedudukan di ibukota Negara10
Dalam hal mendapati seorang pejabat notaris melakukan suatu pelanggaran yang
berkaitan dengan jabatan dan kode etiknya (yang bersifat berkaitan dengan jabatannya) alur yang
terjadi adalah sebagai berikut:
a. masyarakat dapat melaporkan pelanggaran jabatan dan kode etik langsung kepada
Majelis Pengawas Daerah yang dibentuk dimasing-masing Kabupaten atau Kota11.
b. Pelanggaran ini dapat pula diketahui melalui Dewan Kehormatan Perkumpulan atau
berdasarkan pemeriksaan Protokol Notaris yang dilakukan secara berkala.
c. Kemudian Majelis Pengawas Daerah akan menyelenggarakan sidang untuk
memeriksa adanya dugaan pelanggaran kode etik Notaris atau pelanggaran
pelaksanaan jabatan Notaris
d. Majelis Pengawas Daerah kemudian wajib untuk memberikan berita acara
pemeriksaan tersebut kepada Majelis Pengawas Wilayah setempat 12 karena yang
berwenang untuk mengambil keputusan terhadap laporan tentang Notaris yang
melakukan pelanggaran kode etik atau pelaksanaan jabatan tersebut adalah Majelis
Pengawas Wilayah.
e. Majelis pengawas Wilayah kemudian berwenang untuk menyelenggarakan sidang
dan mengambil keputusan berdasarkan berita acara dari Majelis Pengawas Daerah
f. Majelis Pengawas Wilayah dapat memanggil Notaris Terlapor untuk dilakukan
pemeriksaan, yang apabila terbukti dapat memberikan sanksi berupa teguran tertulis
ataupun lisan13.
g. Sedangkan untuk sanksi selain sanksi diatas harus melalui Majelis Pengawas Pusat.
Uraian ini membenarkan bahwa Majelis Pengawas Wilayah Notaris Jawa Barat
berwenang untuk memeriksa perkara karena Terlapor merupakan Notaris yang memiliki kantor
yang berkedudukan di Jalan Sadakeling, Bandung, Jawa Barat.
Kewenangan Dewan Kehormatan
Sebenarnya dalam melakukan pengawasan terutama dalam dugaan pelanggaran kode etik
dan jabatan Notaris terdapat suatu lembaga lain yang juga dianggap berwenang yaitu Dewan
Kehormatan sebagaimana yang tertera dalam Kode Etik Notaris Ikatan Notaris Indonesia
(selanjutnya disebut sebagai Kode Etik Notaris) bab I pasal 1. Pelanggaran yang dimaksud
sebagaimana pasal 1 angka 3 Kode Etik Notaris adalah perbuatan yang dilakukan oleh anggota
Perkumpulan yang melanggar ketentuan Kode Etik dan/atau disiplin organisasi.
Dalam kode etik ini disebutkan bahwa terutama dalam pasal 8 disebutkan bahwa DK
merupakan alat perlengkapan Perkumpulan yang berwenang melakukan pemeriksaan atas
pelanggaran terhadap Kode Etik dan menjatuhkan sanksi kepada pelanggarnya 14. DK adalah
10
Lihat Pasal 76 Undang-undang RI Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
11
Lihat Pasal 71 huruf e Undang-undang RI Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
12
Lihat pasal 71 huruf b Undang-undang RI Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
13
Lihat pasal 78 ayat (1) Undang-undang RI Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
14
Lihat Pasal 8 Kode Etik Notaris Ikatan Notaris Indonesia
8
bagian dari perkumpulan yang bersifat mandiri dan bertugas untuk melakukan beberapa hal
mencakup15:
a. pembinaan, bimbingan, pengawasan, maupun pembenahan anggota dalam hal kode
etik.
b. Memeriksa dan mengambil keputusan atas dugaan pelanggaran ketentuan kode etik
yang bersifat internal yang tidak mempunyai kaitan dengan kepentingan masyarakat
secara langsung.
c. memberikan saran dan pendapat kepada Majelis Pengawas atas dugaan pelanggaran
yang dilakukan oleh Notaris.
Sebagaimana MPN yang memiliki jenjang, DK juga memiliki jenjang pranata dengan
fungsi masing-masing yaitu:
a. Dewan Kehormatan Daerah
b. Dewan Kehormatan Wilayah
c. Dewan Kehormatan Pusat
Saat terjadi suatu pelanggaran kode etik, baik karena dugaan DK Daerah sendiri ataupun
karena laporan Pengurus maupun orang lain, maka berdasarkan pasal 9 Kode Etik Notaris, akan
dilakukan hal-hal sebagai berikut16:
a. Selambat-lambatnya dalam waktu tujuh hari kerja DK Daerah wajib mengadakan
sidang untuk membicarakan dugaan terhadap pelanggaran tersebut.
b. Apabila menurut hasil sidang ada dugaan kuat terhadap pelanggaran Kode Etik, maka
dalam waktu tujuh hari kerja setelah sidang tersebut, DK Daerah berkewajiban
memanggil anggota yang diduga melanggar tersebut untuk didengar keterangannya
dan diberi kesempatan untuk membela diri.
c. Dalam hal anggota yang dipanggil tidak datang atau tidak memberi kabar apapun
dalam waktu tujuh hari kerja setelah dipanggil, maka DK Daerah akan mengulangi
panggilannya sebanyak 2 kali dengan jarak waktu tujuh hari kerja, dan apabila masih
belum memenuhi panggilan tersebut, sidang akan tetap dilanjutkan tanpa
mendengarkan pembelaan diri anggota yag dipanggil
d. DK Daerah kemudian akan menentukan putusannya mengenai terbukti atau tidaknya
pelanggaran kode etik serta penjatuhan sanksi selambat-lambatnya dalam waktu 15
hari kerja.
e. Bila dalam putusan sidang DK Daerah dinyatakan terbukti ada pelanggaran terhadap
Kode Etik, maka sidang sekaligus menentukan sanksi terhadap pelanggarnya.
f. Putusan sidang DK Daerah wajib dikirim kepada anggota yang melanggar dengan
surat tercatat atau dengan ekspedisi dan tembusannya kepada Pengurus Cabang,
Pengurus Daerah, Pengurus Pusat dan DK Pusat dalam waktu tujuh hari kerja,
setelah dijatuhkan putusan oleh sidang DK Daerah.
15
Lihat Bab I pasal 1 angka 8 Kode Etik Notaris Ikatan Notaris Indonesia
16
Lihat Pasal 9 angka 1 sampai 10 Kode Etik Ikatan Notaris Indonesia
9
Dalam putusan yang dijatuhkan oleh DK Daerah tersebut dapat dimintai banding yang
diajukan kepada DK Wilayah. Putusan banding tersebut juga dapat dimintai pemeriksaan tingkat
akhir yang diajukan atau dimohonkan kepada DK Pusat.
Perbedaan Kewenangan Pengawasan MPN dan DK
Bagaimanapun dalam pelaksanaan tugasnya, terdapat sedikit perbedaan antara Majelis
Pengawas dan DK. T. Muzakkar dalam tesis yang disusunnya untuk memperoleh Gelar Magister
Kenotariatan Universitas Sumatera Utara yang berjudul “Perbandingan Peranan Dewan
Kehormatan dengan Majelis Pengawas Notaris dalam Melakukan Pengawasan Setelah
Keluarnya Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004” menyimpulkan terdapat perbedaan antara
pengawasan terhadap Notaris yang dilakukan oleh DK dan Majelis Pengawas Notaris. Bahwa
pengawasan yang dilakukan oleh DK hanyalah mengenai pelanggaran kode etik. Pelanggaran ini
pula haruslah hanya mengenai dan menyangkut Notaris itu sendiri tanpa menyangkut orang lain.
Sedangkan pengawasan yang dilakukan oleh Majelis Pengawas Notaris lebih luas mencakup
pengawasan terhadap pelanggaran UU No 30 Tahun 2004 dan terhadap pelanggaran jabatan
Notaris17.
Unsur Tindak Pidana atau Kriminalitas
Sebagaimana telah disinggung diatas, Apabila dalam suatu perbuatan yang dilakukan
Notaris terjadi kerugian yang diakibatkan perbuatan Notaris diluar tugas/atau jabatannya, seperti
misalnya terdapat unsur penipuan atau penggelapan, maka perbuatan ini dapat dilaporkan
langsung kepada pihak kepolisian untuk ditindak lanjuti sebagaimana terjadinya perbuatan
melanggar hukum yang telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan cara
beracaranya18
MPN juga memiliki suatu bentuk kewenangan yang diberikan jika menemukan sesuatu
tindak pidana. MPN dapat bertindak sebagai pelapor tindak pidana sebagaimana substansi pasal
32 ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor
M.02.PR.08.10 Tahun 2004 (selanjutnya disebut sebagai Permen M.02.PR.08.10)19.
Laporan menurut Pasal 1 angka 24 KUHPidana adalah pemberitahuan yang disampaikan
oleh seseorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang
berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana20.
Namun berdasarkan pasal KUHPidana tersebut, yang berhak untuk menjadi pelapor
adalah perseorangan. Badan hukum tidak memiliki legal standing untuk menjadi pelapor. Hal ini
menjadikan Majelis Pengawas yang merupakan suatu badan hukum tidak dapat menjadi pelapor
tindak pidana sehingga bertentangan dengan tugas yang diberikan oleh peraturan menteri diatas.
17
T. Muzakkar, 2009, Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan dengan Majelis Pengawas Notaris dalam
Melakukan Pengawasan Setelah Keluarnya Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004, Tesis yang diajukan untuk
memperoleh Gelar Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, hlm.141
18
Sebagaimana pendapat Winanto Wiryomartani dalam
http://medianotaris.com/sudah_pindah_tapi_masih_pasang_papan_nama_berita120.html diakses pada Selasa, 29
April 2014
19
T. Muzakkar, Op.Cit., hlm. 114-115
20
Ibid.
10
Terlebih berdasarkan pengertian KUHPidana tersebut, pelapor dapat mengajukan laporan hanya
apabila mempunyai hak dan kewajiban yang diberikan oleh undang-undang, sedangkan Majelis
Pengawas hanyalah diberikan wewenang oleh peraturan Menteri21.
Hal ini memberikan ketidaksinkronan antara peraturan yang lebih tinggi dengan yang
lebih rendah sehingga harus lebih diperhatikan dimasa mendatang. Dalam hal ini yang akan
digunakan adalah lex superiori derogat lex inferiori dimana peraturan yang lebih tinggi
mengesampingkan peraturan yang lebih rendah. Sehingga Majelis Pengawas tidak dapat menjadi
pelapor tindak pidana kepada penyidik dan penyelidik ataupun jaksa sebagai sebuah badan
hukum. Alternatif yang dapat dilakukan adalah pihak yang merasa dirugikan oleh tindak pidana
yang dilakukan oleh Notaris tersebut melaporkannya langsung kepada kepolisian.
Menurut Peraturan Menteri ini, yang memegang prinsip bahwa MPN memiliki
kewenangan untuk melaporkan tindak pidana yang dilakukan notaris kepada pihak berwenang,
apabila ditemukan unsur tindak pidana maka Ikatan Notaris Indonesia dan kepolisisan membuat
nota kesepahaman tentang pemanggilan notaris ke kepolisian. Pemanggilan notaris harus
dilakukan tertulis dan ditandatangani penyidik. Surat panggilan harus mencantumkan dengan
jelas status sang notaris, alasan pemanggilan, dan polisi harus tepat waktu. Pada hakekatnya,
notaris harus hadir memenuhi panggilan yang sah. Tetapi jika notaris yang bersangkutan
berhalangan dan tidak bisa hadir, polisi bisa datang ke kantor notaris bersangkutan. Nota
kesepahaman ini memperkuat aturan pemanggilan notaris dalam Pasal 6 UU No 30 Tahun 2004
yang menentukan, jika polisi hendak memanggil notaris atau mengambil minuta akta harus
mendapat persetujuan dari MPN Daerah22.
25
Lihat Pasal 16 ayat (1) huruf l Undang-undang RI Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
26
Lihat pasal 44 ayat (1) Undang-undang RI Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
27
Munir Fuady, 2005, Profesi Mulia (Etika Profesi Hukum bagi Hakim, Jaksa, Advokat, Notaris, Kurator, dan
Pengurus), Bandung, PT Citra Aditya Bakti, hlm. 133
13
didalamnya pars Pejabat Sementara Notaris, Notaris Pengganti dan Notaris Pengganti
Khusus.”28
Kode etik ini dikeluarkan oleh ikatan profesi Notaris yang ada di Indonesia yaitu Ikatan
Notaris Indonesia yang ditetapkan pada tanggal 27 Januari 2005. Kode etik notaris ini mencakup
Ketentuan Umum, Ruang Lingkup, Kewajiban, Larangan, pengecualian, Sanksi, Tata cara
Penegakkannya, Pemecatan sementara, kewajiban pengurus pusat dan ketentuan umum yang
dihimpun dalam delapan bab dan lima belas pasal.
Kewenangan Ikatan Notaris Indonesia atau I.N.I dalam membentuk kode etik ini terdapat
dalam pasal 83 ayat (2) UU No 30 Tahun 2004. Dalam pasal ini, yang kemudian menetapkan dan
menegakkan Kode Etik Notaris adalah Organisasi Notaris dimana para Notaris kemudian
berhimpun. Kemudian pada pasal berikutnya yaitu pasal 89 undang-undang tersebut ditegaskan
bahwa Kode Etik notaris yang ditetapkan akan berlaku dan mengikat hingga kode etik notaris
yang baru ditetapkan.
Isi dari pasal 3 kode etik notaris adalah tentang kewajiban Notaris yaitu sebagai berikut29:
1) Memiliki moral, akhlak serta kepribadian yang balk.
2) Menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat jabatan Notaris.
3) Menjaga dan membela kehormatan Perkumpulan.
4) Bertindak jujur, mandiri, tidak berpihak, penuh rasa tanggung jawab, berdasarkan
peraturan perundang-undangan dan isi sumpah jabatan Notaris.
5) Meningkatkan ilmu pengetahuan yang telah dimiliki tidak terbatas pada ilmu
pengetahuan hukum dan kenotariatan.
6) Mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat dan Negara;
7) Memberikan jasa pembuatan akta dan jasa keNotarisan lainnya untuk masyarakat
yang tidak mampu tanpa memungut honorarium.
8) Menetapkan satu kantor di tempat kedudukan dan kantor tersebut merupakan
satu-satunya kantor bagi Notaris yang bersangkutan dalam melaksanakan tugas
jabatan sehari-hari.
9) Memasang 1 (satu) buah papan nama di depan / di lingkungan kantornya dengan
pilihan ukuran yaitu 100 cm x 40 cm, 150 cm x 60 cm atau 200 cm x 80 cm, yang
memuat :
a. Nama lengkap dan gelar yang sah;
b. Tanggal dan nomor Surat Keputusan pengangkatan yang terakhir sebagai
Notaris.
c. Tempat kedudukan;
d. Alamat kantor dan nomor telepon/fax. Dasar papan nama berwarna putih
dengan huruf berwarna hitam dan tulisan di papan nama harus ielas dan
28
Lihat Pasal 1 angka 2 Kode Etik Notaris Ikatan Notaris Indonesia
29
Lihat pasal 3 Kode Etik Notaris Ikatan Notaris Indonesia
14
mudah dibaca. Kecuali di lingkungan kantor tersebut tidak dimungkinkan
untuk pemasangan papan nama dimaksud.
10) Hadir, mengikuti dan berpartisipasi aktif dalam setiap kegiatan yang
diselenggarakan oleh Perkumpulan; menghormati, mematuhi, melaksanakan
setiap dan seluruh keputusan Perkumpulan.
11) Membayar uang iuran Perkumpulan secara tertib.
12) Membayar uang duka untuk membantu ahli waris teman sejawat yang meninggal
dunia.
13) Melaksanakan dan mematuhi semua ketentuan tentang honorarium ditetapkan
Perkumpulan.
14) Menjalankan jabatan Notaris terutama dalam pembuatan, pembacaan dan
penandatanganan akta
15) dilakukan di kantornya, kecuali alasan-alasan yang sah.
16) Menciptakan suasana kekeluargaan dan kebersamaan dalam melaksanakan tugas
jabatan dan kegiatan sehari-hari serta saling memperlakukan rekan sejawat secara
baik, saling menghormati, saling menghargai, saling membantu serta selalu
berusaha menjalin komunikasi dan tali silaturahmi.
17) Memperlakukan setiap klien yang datang dengan baik, tidak membedakan status
ekonomi dan/atau status sosialnya.
18) Melakukan perbuatan-perbuatan yang secara umum disebut sebagai kewajiban
untuk ditaati dan dilaksanakan antara lain namun tidak terbatas pada ketentuan
yang tercantum dalam :
a. UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris;
b. Penjelasan Pasal 19 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris;
c. Isi Sumpah Jabatan Notaris;
d. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Ikatan Notaris Indonesia.
Maka berdasarkan kasus pelanggaran diatas, Notaris Terlapor telah melakukan
pelanggaran terhadap kewajiban yang harusnya dilakukannya. Pelanggaran ini terutama pada
poin 14, yaitu melakukan jabatan notarisnya terutama dalam pembuatan, pembacaan, dan
penandatanganan akta yang dilakukan di kantornya. Notaris pelapor melanggar pasal 3 angka 14
ini sebagaimana dikemukakan dalam kasus posisi diatas yaitu dengan tidak membacakan secara
patut akta yang dibuat dihadapannya.
Berikutnya, Notaris Terlapor melakukan pelanggaran terhadap pasal 4 kode etik notaris
tentang Larangan, terutama terkait dengan poin 15 yang kutipannya adalah sebagai berikut30:
30
Lihat pasal 4 Kode Etik
15
“Melakukan perbuatan-perbuatan lain yang secara umum disebut sebagai pelanggaran
terhadap Kode Etik Notaris, antara lain namun tidak terbatas pada pelanggaran-pelanggaran
terhadap :
a. Ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris;
b. Penjelasan pasal 19 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris;
c. Isi sumpah jabatan Notaris;
d. Hal-hal yang menurut ketentuan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga
dan/atau
e. Keputusan-Keputusan lain yang telah ditetapkan oleh organisasi Ikatan Notaris
Indonesia tidak boleh dilakukan oleh anggota.”
31
Lihat Pasal 84 Undang-undang RI Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
32
Lihat Pasal 85 Undang-undang RI Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
16
Dalam Kode Etik Notaris juga diatur tentang sanksi yang dapat dijatuhkan apabila terjadi
pelanggaran terhadap kode etik yang telah diatur. Sanksi tersebut diatur dalam pasal 6 ayat (1)
BAB IV tentang Sanksi, berikut kutipannya;
“ Sanksi yang dikenakan terhadap anggota yang melakukan pelanggaran Kode Etik dapat
berupa
a. Teguran;
b. Peringatan;
c. Schorsing (pemecatan sementara) dari keanggotaan Perkumpulan;
d. Onzetting (pemecatan) dari keanggotaan Perkumpulan;
e. Pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan Perkumpulan.”33
Sanksi tersebut berlaku bagi setiap anggota Ikatan Notaris Indonesia yang melanggar
kode etik disesuaikan dengan kuantitas dan kualitas pelanggarannya.34
Dalam kasus pelanggaran jabatan dan kode etik diatas, Notaris Terlapor melanggar pasal
16 ayat (1) huruf a yang sanksinya diatur dalam pasal 85 diatas dan pasal 44 yang sanksinya
diatur dalam pasal 84. Sehingga mengakibatkan akta yang diperkarakan (akta No. 53) tentang
perjanjian jual beli antara Pelapor dengan pihak Koesmajadi menjadi batal demi hukum dan
turun derajat menjadi akta bawah tangan. Dalam hal ini, apabila Pelapor menyatakan tidak
sepakat dengan isi perjanjian, maka akta perjanjian tersebut tidak perlu dilanjutkan kecuali bagi
pihak Koesmajadi untuk memperkarakan dengan dalih wanprestasi. Kemudian Notaris Terlapor
juga dapat dikenai sanksi sebagaimana yang diatur dalam pasal 85.
Dalam hal memberikan atau menjatuhkan sanksi-sanksi diatas dapat dilakukan oleh:
a. Majelis Pengawas Wilayah, yaitu dalam pasal 73 ayat (1) huruf e berwenang untuk
memberikan sanksi berupa sanksi teguran lisan ataupun tertulis. Selanjutnya dalam
huruf f dapat mengusulkan pemberian sanksi kepada Majelis Pengawas Pusat
b. Majelis Pengawas Pusat, yaitu dalam pasal 77 huruf c berwenang untuk menjatuhkan
sanksi pemberhentian sementara dan pada huruf d mengusulkan sanksi kepada
Menteri.
c. Menteri Hukum dan HAM; melakukan sanksi pemberhentian tidak hormat.
Dalam UU No. 30 Tahun 2004 tidak menyebutkan adanya penerapan sanksi pemidanaan
tetapi tindakan hukum terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris apabila mengandung
suatu undur tindak pidana seperti pemalsuan atas kesengajaan/kelalaian dalam pembuatan
surat/akta otentik yang keterangan isinya palsu maka setelah dijatuhi sanksi administratif/kode
etik profesi jabatan notaris dan sanksi keperdataan kemudian dapat ditarik dan dikualifikasikan
sebagai suatu tindak pidana yang dilakukan oleh Notaris yang menerangkan adanya bukti
keterlibatan secara sengaja melakukan kejahatan pemalsuan akta otentik.
33
Lihat Pasal 6 Kode Etik Notaris
34
Lihat Pasal 6 ayat (2) Kode Etik Notaris
17