Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

“PENERAPAN PANCASILA DARI MASA KE MASA”

D
I
S
U
S
U
N
OLEH:

NAMA : Adventia Merlin Eklesya Saija


KELAS : IX SENI
TUGAS : PKN

SMP N 1 MASOHI
2021/2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pancasila adalah sebagai ideologi dasar bangsa Indonesia. Yaitu sebagai nilai-nilai yang
mendasari segala aspek kehidupan bermasyarakat rakyat Indonesia. Terdiri dari lima sendi
utama yaitu, Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan
Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh khidmat kebijaksaan dalam permusyawaratan dan
perwakilan, dan yang terakhir keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.Pancasila yang
lahir pada tanggal 1 Juni 1945 ini resmi ditetapkan sebagai dasar Negara Indonesia ini masih
terus digunakan hingga saat ini.
Penerapannya pun berbeda sesuai dengan masa yang ada. Di setiap masa, pancasila
mengalami perkembangan terutama dalam mengartikan Pancasila itu sendiri. Dalam
makalah ini kita akan membahas tentang pancasila dalam kajian sejarah bangsa indonesia
Era Orde Lama, Orde Baru dan Masa Reformasi yang tentunya memiliki penerapan yang
berbeda beda antara satu sama lainnya. Masa Orde Lama yaitu di masa pemerintahan
presiden Soekarno, Masa Orde Baru yaitu di masa pemerintahan presiden Soeharto, dan
Masa Reformasi yaitu di masa runtuhnya pemerintahan presiden Soeharto. Dalam masa-
masa tersebut terdapat banyak hal-hal yang belum relevan dalam penerapan pancasila
tersebut. Banyak penyelewengan yang terjadi di masa-masa ini.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah penerapan pancasila di masa orde lama?
2. Bagaimanakah penerapan pancasila di masa orde baru?
3. Bagaimanakah penerapan pancasila di era reformasi?

C. Tujuan
1. Mengetahui penerapan pancasila di masa orde lama.
2. Mengetahui penerapan pancasila di masa orde baru.
3. Mengetahui penerapan pancasila di era reformasi.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Era Orde Lama


Pada masa Orde lama, Pancasila dipahami berdasarkan paradigma yang berkembang pada
situasi dunia yang diliputi oleh tajamnya konflik ideologi. Pada saat itu kondisi politik dan
keamanan dalam negeri diliputi oleh kekacauan dan kondisi sosial-budaya berada dalam
suasana transisional dari masyarakat terjajah (inlander) menjadi masyarakat merdeka. Masa
orde lama adalah masa pencarian bentuk implementasi Pancasila terutama dalam sistem
kenegaraan. Pancasila diimplementasikan dalam bentuk yang berbeda-beda pada masa
orde lama. Terdapat 3 periode implementasi Pancasila yang berbeda, yaitu:

1. Periode 1945-1950.
Konstitusi yang digunakan adalah pancasila dan UUD 1995 yang presidensil, namun dalam
praktek kenegaraan sistem presidensil tak dapat diwujudkan. Setelah penjajah dapat diusir,
persatuan mulai mendapat tantangan. Upaya–upaya untuk menggati pancasila sebagai
dasar negara dengan faham komunis oleh PKI mulai memberontak di madium tahun 1948
dan oleh DI/TII yang yang akan mendirikan negara dasar islam.

2. Periode 1950-1959
Penerapan pancasila selama priode ini adalah pancasila diarahkan sebagai ideology liberal
yang ternyata tidak menjamin stabilitas pemerintahan. Walaupun dasar negara tetap
pancasila, tetapi rumusan sila keempat bukan berjiwa musyawarah mufakat, melaikan suara
terbanyak (voting). Dalam bidang politik, demokrasi berjalan dengan baik dengan
terlaksananya pemilu 1955 yang dianggap paling demokratis.

3. Priode 1956-1965
Dikenal sebagai priode demokrasi terpimpin. Demokrasi bukan berada pada kekuasaan
rakyat sehingga yang memimpin adalah nilai-nilai pancasila tetapi berada pada kekuasaan
pribadi presiden soekarno. Terjadilah berbagai penyimpangan penafsiran terhadap
pancasila dalam konstitusi. Akibanya soekarno menjadi otoriter, diangkat menjadi persiden
seumur hidup, politik konfrontasi, dan menggabungkan nasionalis, agama, dan komunis,
yang ternyata tidak cocok bagi NKRI. Terbukti adanya kemerosotan moral di berbagai
masyarakat yang tidak lagi hidup bersendikan nila-nilai pancasila, dan berusaha untuk
menggatikan pancasila dengan ideologi yang lain. Dalam mengimplentasikan pancasila,
bungkarno melakukan pemahaman pancasila dengan paradikma yanga disebut USDK. Untuk
memberi arah perjalanan bangsa, beliau menekankan pentingnya memegang teguh UUD 45,
sosialisme ala indonesia, demokrasi terpinpin, ekonomi terpinpin, dan kepribadian nasional.
Hasilnya terjadi kudeta PKI dan kondisi ekonomi yang memprihatinkan.
Era orde lama ditandai dengan dikeluarkannya dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959.
Pada masa itu berlaku demokrasi terpimpin. Setelah menetapkan berlakunya kembali UUD
1945, Presiden Soekarno meletakkan dasar kepemimpinannya. Yang dinamakan demokrasi
terimpin yaitu demokrasi khas Indonesia yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan. Demokrasi terpimpin dalam prakteknya tidak sesuai dengan
makna yang terkandung didalamnya dan bahkan terkenal menyimpang. Dimana demokrasi
dipimpin oleh kepentingan-kepentingan tertetnu.
Pada masa pemerintahan Orde Lama, kehidupan politik dan pemerintah sering terjadi
penyimpangan yang dilakukan Presiden dan juga MPRS yang bertentangan dengan pancasila
dan UUD 1945. Artinya pelaksanaan UUD1945 pada masa itu belum dilaksanakan
sebagaimana mestinya. Hal ini terjadi karena penyelenggaraan pemerintahan terpusat pada
kekuasaan seorang presiden dan lemahnya control yang seharusnya dilakukan DPR terhadap
kebijakan-kebijakan.
Selain itu, muncul pertentangan politik dan konflik lainnya yang berkepanjangan sehingga
situasi politik, keamanaan dan kehidupan ekonomi makin memburuk puncak dari situasi
tersebut adalah munculnya pemberontakan G30S/PKI yang sangat membahayakan
keselamatan bangsa dan Negara.
Mengingat keadaan makin membahayakan Ir. Soekarno selaku presiden RI memberikan
perintah kepada Letjen Soeharto melalui Surat Perintah 11 Maret 1969 (Supersemar) untuk
mengambil segala tindakan yang diperlukan bagi terjaminnya keamanaan, ketertiban dan
ketenangan serta kesetabilan jalannya pemerintah. Lahirnya Supersemar tersebut dianggap
sebagai awal masa Orde Baru.
Kajian Kesimpulan Pada Era Orde Lama
1. Kelebihan
a. Munculnya aksi-aksi positif dari masyarakat sebagai bentuk demokrasi.

2. Kekurangan
a. Munculnya komunisme dan liberalisme.
b. Meletusnya pemberontakkan G 30 S/PKI.
c. Sering jatuhnya kabinet.
d. Penyimpangan terhadap UUD dan Pancasila yang ironisnya dilakukan oleh Presiden
Indonesia sendiri.

4. Kesimpulan dan solusi


Pada masa orde lama ini banyak terjadi penyimpangan dalam badan UUD dan Pancasila.
Juga terjadi hal-hal yang tidak sesuai dengan harapan seperti munculnya liberlaisme dan
komunisme. Puncaknya yaitu saat G 30 S/PKI dan pemeritah dinilai tidak mampu
mengatasinya sehingga Presiden Soekarno memberikan mandat kepada Jenderal Soeharto
untuk mengambil tindakan.

B. Era Orde Baru


Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde
Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde
Baru hadir dengan semangat “koreksi total” atas penyimpangan yang dilakukan oleh
Soekarno pada masa Orde Lama.
Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut,
ekonomi Indonesia berkembang pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan praktik
korupsi yang merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan
miskin juga semakin melebar.

Latar belakang munculnya Gerakan 30 September 1965 antara lain :


a. Adanya krisis sosial politik dan ekonomi nasional yang memprihatinkan
b. Pemberlakuan doktrin Nasakom yang memperkukuh kedudukan PKI dalam peraruran
politik RI yang hanya dapat di imbangi oleh AD
c. Gagasan PKI untuk mewujudkan angkatan kelima.
d. Adanya perseteruan antara PKI dan AD.

PKI merupakan organisasi politik kelanjutan dari ISDV yang didirikan oleh H. Sneevliet pada
tahun 1914. Aktivitas PKI menekan tindakan revolusioner untuk mencapai tujuannya.
Misalnya :
a. Pada tahun 1926-1927 mengadakan pemberontakan di beberapa daerah tetapi di
gagalkan oleh pemerintah Hindia Belanda.
b.Pada tahun1948 mengadakan pemberontakan di Madiun,

Era Orde Baru dalam sejarah republik ini merupakan masa pemerintahan yang terlama, dan
bisa juga dikatakan sebagai masa pemerintahan yang paling stabil. Stabil dalam artian tidak
banyak gejolak yang mengemuka, layaknya keadaan dewasa ini. Stabilitas yang diiringi
dengan maraknya pembangunan di segala bidang. Era pembangunan, era penuh kestabilan,
menimbulkan romantisme dari banyak kalangan.
Di era Orde Baru, yakni stabilitas dan pembangunan, serta merta tidak lepas dari
keberadaan Pancasila. Pancasila menjadi alat bagi pemerintah untuk semakin menancapkan
kekuasaan di Indonesia. Pancasila begitu diagung-agungkan; Pancasila begitu gencar
ditanamkan nilai dan hakikatnya kepada rakyat; dan rakyat tidak memandang hal tersebut
sebagai sesuatu yang mengganjal.
Menurut Hendro Muhaimin bahwa Pemerintah di era Orde Baru sendiri terkesan
“menunggangi” Pancasila, karena dianggap menggunakan dasar negara sebagai alat politik
untuk memperoleh kekuasaan. Disamping hal tersebut, penanaman nilai-nilai Pancasila di
era Orde Baru juga dibarengi dengan praktik dalam kehidupan sosial rakyat Indonesia.
Kepedulian antarwarga sangat kental, toleransi di kalangan masyarakat cukup baik, dan
budaya gotong-royong sangat dijunjung tinggi. Selain penanaman nilai-nilai tersebut dapat
dilihat dari penggunaan Pancasila sebagai asas tunggal dalam kehidupan berorganisasi, yang
menyatakan bahwa semua organisasi, apapun bentuknya, baik itu organisasi masyarakat,
komunitas, perkumpulan, dan sebagainya haruslah mengunakan Pancasila sebagai asas
utamanya.
Di era Orde Baru, terdapat kebijakan Pemerintah terkait penanaman nilai-nilai Pancasila,
yaitu Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Materi penataran P4 bukan
hanya Pancasila, terdapat juga materi lain seperti UUD 1945, Garis-Garis Besar Haluan
Negara (GBHN), Wawasan Nusantara, dan materi lain yang berkaitan dengan kebangsaan,
nasionalisme dan patriotisme. Kebijakan tersebut disosialisaikan pada seluruh komponen
bangsa sampai level bawah termasuk penataran P4 untuk siswa baru Sekolah Dasar (SD)
sampai dengan Sekolah Menengah Atas (SMA), yang lalu dilanjutkan di perguruan tinggi
hingga di wilayah kerja. Pelaksanaannya dilakukan secara menyeluruh melalui Badan
Penyelenggara Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) dengan
metode indoktrinasi.
Visi Orde Baru pada saat itu adalah untuk mewujudkan tatanan kehidupan masyarakat,
bangsa, dan negara yang melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen.
Sejalan dengan semakin dominannya kekuatan negara, nasib Pancasila dan UUD 1945
menjadi semacam senjata bagi pemerintahan Orde Baru dalam hal mengontrol perilaku
masyarakat. Seakan-akan ukurannya hanya satu: sesuatu dianggap benar kalau hal tersebut
sesuai dengan keinginan penguasa, sebaliknya dianggap salah kalau bertentangan dengan
kehendaknya. Sikap politik masyarakat yang kritis dan berbeda pendapat dengan negara
dalam prakteknya malah dengan mudahnya dikriminalisasi.
Penanaman nilai-nilai Pancasila pada saat itu dilakukan tanpa sejalan dengan fakta yang
terjadi di masyarakat, berdasarkan perbuatan pemerintah. Akibatnya, bukan nilai-nilai
Pancasila yang meresap ke dalam kehidupan masyarakat, tetapi kemunafikan yang tumbuh
subur dalam masyarakat. Sebab setiap ungkapan para pemimpin mengenai nilai-nilai
kehidupan tidak disertai dengan keteladanan serta tindakan yang nyata, sehingga banyak
masyarakat pun tidak menerima adanya penataran yang tidak dibarengi dengan perbuatan
pemerintah yang benar-benar pro-rakyat.
Pada era Orde Baru sebagai era “dimanis-maniskannya” Pancasila. Secara pribadi, Soeharto
sendiri seringkali menyatakan pendapatnya mengenai keberadaan Pancasila, yang
kesemuanya memberikan penilaian setinggi-tingginya terhadap Pancasila. Ketika Soeharto
memberikan pidato dalam Peringatan Hari Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1967. Soeharto
mendeklarasikan Pancasila sebagai suatu force yang dikemas dalam berbagai frase bernada
angkuh, elegan, begitu superior. Dalam pidato tersebut, Soeharto menyatakan Pancasila
sebagai “tuntunan hidup”, menjadi “sumber tertib sosial” dan “sumber tertib seluruh
perikehidupan”, serta merupakan “sumber tertib negara” dan “sumber tertib hukum”.
Kepada pemuda Indonesia dalam Kongres Pemuda tanggal 28 Oktober 1974, Soeharto
menyatakan, “Pancasila janganlah hendaknya hanya dimiliki, akan tetapi harus dipahami
dan dihayati!” Dapat dikatakan tidak ada yang lebih kuat maknanya selain Pancasila di
Indonesia, pada saat itu, dan dalam era Orde Baru.
Meskipun dianggap Panccasila hal yang paling luhur dan diagung-agungkan, pada tahun-
tahun akhir pemerintahan Presiden Soeharto malah banyak timbul KKN dan meningkatnyta
inflasi. Hutang Indonesia semakin banyak dan ekonomi pun terpuruk. Puncaknya yaitu Mei
1998 yang akhirnya menyebabkan Presiden Soeharto mengundurkan diri dan digantikan
oleh wakilnya B.J. Habibie
Setelah lengsernnya Ir. Soekarno sebagai presiden, selanjutnnya jenderal Soeharto yang
memegang kendali terhadap negeri ini. Dengan berpindahnya kursi kepresidenan tersebut,
arah pemahaman terhadap Pancasila pun mulai diperbaiki.
Pada peringatan hari lahir Pancasila, 1 juni 1967 Presiden Soeharto mengatakan, “Pancasila
makin banyak mengalami ujian zaman dan makin bulat tekad kita mempertahankan
Pancasila”. Selain itu, Presiden Soeharto juga mengatakan, “Pancasila sama sekali bukan
sekedar semboyan untuk dikumandangkan, Pancasila bukan dasar falsafah negara yang
sekedar dikeramatkan dalam naskah UUD melainkan Pancasila harus diamalkan (Setiardja,
1994: 5).
Jadi, Pancasila dijadikan sebagai political forcre di samping sebagai kekuatan ritual. Begitu
kuatnya Pancasila digunakan sebagai dasar negara, maka pada 1 juni 1968 Presiden
Soeharto mengatakan bahwa Pancasila sebagai pegangan hidup bangsa akan membuat
bangsa Indonesia tidak loyo, bahkan jika ada pihak-pihak tertentu mau mengganti, merubah
Pancasila dan menyimpang dari Pancasila pasti digagalkan (Pranoto dalam Dodo dan Endah
(ed), 2010: 42).
Selanjutnya pada tahun 1968 Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden nomor 12
tahun 1968 yang menjadi panduan dalam mengucapkan Pancasila sebagai dasar negara,
yaitu:
Satu :Ke-Tuhan-an yang Maha esa
Dua :Kemanusiaan yang adil dan beradab
Tiga :Persatuan Indonesia
Empat :Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/ perwakilan
Lima :Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Instruksi Presiden tersebut mulai berlaku pada tanggal 13 Aril 1968.


Pada tanggal 22 Maret 1978 ditetapkan ketetapan (disingkat TAP) MPR nomor II/MPR/1978
tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) yang
salah satu pasalnya yaitu, Pasal 4 menjelaskan,
“Pedoman Penghayatan dan Pengamalan pancasila merupakan penuntun dan pegangan
hidup dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara bagi setiap warga negara
Indonesia, setiap penyelenggara negara serta setiap lembaga kenegaraan dan lembaga
kemasyarakatan, baik Pusat maupun di Daerah dan dilaksanakan secara bulat dan utuh”.
Adapun nilai dan norma-norma yang terkandung dalam Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) berdasarkan ketetapan tersebut meliputi
34 butir, yaitu:
1. Sila Ketuhanan yang Maha Esa
a. Percaya dan takwa kepada Tuhan yang Maha Esa sesuai dengan agama dan
kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
b. Hormat-menghormati dan bekerja sama antara pemeluk agama dan penganut-
penganut kepercayaan yang berbeda-beda, sehingga terbina kerukunan hidup.
c. Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadat sesuai dengan agama dan
kepercayaannya. D.Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain.

2. Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab


a. Mengakui persamaan derajat. Persamaan hak dan persamaan kewajiban antara
sesama manusia.
b. Saling mencintai sesama manusia.
c. Mengembangkan sikap tenggang rasa dan tepo seliro.
d. Tidak semena-mena terhadap orang lain.
e. Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
f. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
g. Berani membela kebenaran dan keadilan.
h. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia, karena itu
dikembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain.
3. Sila Persatuan Indonesia
a. Menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara
di atas kepentingan pribadi dan golongan.
b. Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara.
c. Cinta tanah air dan bangsa.
d. Bangga sebagai bangsa Indonesia dan bertanah air Indonesia.
e. Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhinneka
Tunggal Ika.

4. Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan


perwakilan.
a. Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat.
b. Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.
c. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan
bersama.
d. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan.
e. Dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil
keputusan musyawarah.
f. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
g. Keputusan yang diambil harus dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan
yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran
dan keadilan.

5. Sila Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia


a. Mengembangkan perbuatan-perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap suasana
kekeluargaan dan kegotong-royongan.
b. Bersikap adil.
c. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
d. Menghormati hak-hak orang lain.
e. Suka memberi pertolongan kepada orang lain.
f. Menjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain.
g. Tidak bersifat botos.
h. Tidak bergaya hidup mewah.
i. Tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum.
j. Suka bekerja keras.
k. Menghargai hasil karya orang lain.
l. Bersama-sama mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.

Nilai-nilai Pancasila yang terdiri atas 34 butir tersebut, kemudian pada tahun 1998
disarikan/dijabarkan kembali oleh BP-7 Pusat menjadi 45 butir P4. Perbedaan yang dapat
digambarkan yaitu: Sila Kesatu, menjadi 7 (tujuh) butir; Sila Kedua, menjadi 10 (sepuluh)
butir; Sila Ketiga, menjadi 7 (tujuh) butir; Sila Keempat; menjadi 10 (sepuluh) butir; dan Sila
Kelima, menjadi 11 (sebelas) butir.
Sumber hukum dan tata urutan peraturan perundang-undangan di negara Indonesia diatur
dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966. Ketetapan ini menegaskan, “amanat
penderitaan rakyat hanya dapat diberikan dengan pengamalan Pancasila secara paripurna
dalam segala segi kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan dan dengan pelaksanaan
secara murni dan konsekuen jiwa serta ketentuan-ketentuan UUD 1945, untuk menegakkan
Republik Indonesia sebagai suatu negara hukum yang konstitusionil sebagaimana yang
dinyatakan dalam pembukaan UUD 1945” (ALI, 2009: 37).
. Ketika itu, sebagian golongan Islam menolak reinforcing oleh pemerintah dengan
menyatakan bahwa pemerintah akan mengagamakan Pancasila. Kemarahan Pemerintah
tidak dapat dibendung sehingga Presiden Soeharto bicara keras pada Rapim ABRI di
Pekanbaru 27 Maret 1980. Intinya Orba tidak akan mengubah Pancasila dan UUD 1945,
malahan diperkuat sebagai comparatist ideology. Jelas sekali bagaimana pemerintah Orde
Baru merasa perlu membentengi Pancasila dan TAP itu meski dengan gaya militer. Tak
seorang pun warga negara berani keluar dari Pancasila (Pranoto dalam Dodo dan Endah
(ed), 2010: 43). Selanjutnya pada bulan Agustus 1982 Pemerintahan Orde Baru menjalankan
“Azas Tunggal” yaitu pengakuan terhadap Pancasila sebagai Azas Tunggal, bahwa setiap
partai politik harus mengakui posisi Pancasila sebagai pemersatu bangsa (Pranoto dalam
Dodo dan Endah (ed.), 2010: 43-44).
Dengan semakin terbukanya informasi dunia, pada akhirnya pengaruh luar masuk Indonesia
pada akhir 1990-an yang secara tidak langsung mengancam aplikasi Pancasila yang
dilakukan oleh pemerintah Orde Baru. Demikian pula demokrasi semakin santer mengkritik
praktek pemerintah Orde Baru yang tidak transparan dan otoriter, represif, korup dan
manipulasi politik yang sekaligus mengkritik praktek Pancasila. Meski demikian kondisi ini
bertahan sampaidengan lengsernya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998<(Pranoto dalam
Dodo dan Endah (ed.), 2010: 45).
Kajian Kesimpulan Pada Era Orde Baru
1. Kelebihan
a. Pancasila betul-betul dilaksanakan secara nyata
b. Pada awal-awal, ekonomi Indonesia sangat kuat.
c. Membangun irigasi
d. Membentuk badan PPL

2. Kekurangan
a. Pancasila hanya dijadikan kedok untuk “pembenaran” pembangunan yang dilakukan
b. Adanya politisasi Pancasila
c. Semaraknya KKN
d. Tidak mampu menguasai pimpinan Negara
e. Terbatasnya kebebasan berpendapat (pers)

3. Kesimpulan dan Solusi


Meskipun pada awalnya Pancasila begitu diagung-agungkan, dan masa Orde Baru ini
menunjukkan kinerja positif, tetapi lama kelamaan hanya menjadi alat untuk orang yang
berkepentingan. Sehingga Indonesia mencapai masa terburuk pada tahun 1998. Peristiwa
lengsernya Soeharto membawa Indonesia pada era reformasi.

C. Era Reformasi

Secara harfiah reformasi memiliki arti suatu gerakan untuk memformat ulang, menata ulang
atau menata kembali hal-hal yang menyimpang untuk dikembalikan pada format atau
bentuk semula sesuai dengan nilai-nilai ideal yang dicita-citakan rakyat. Oleh karena itu
suatu gerakan reformasi memiliki kondisi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Suatu gerakan reformasi dilakukan karena adanya suatu penyimpangan penyimpangan.
2. Suatu gerakan reformasi dilakukan harus dengan suatu cita-cita yang jelas (landasan
ideologis) tertentu.
3. Suatu gerakan reformasi dilakukan dengan berdasarkan pada suatu kerangka structural
tertentu (dalam hal ini UUD) sebagai kerangka acuan reformasi.
4. Reformasi dilakukan ke arah suatu perubahan kondisi serta keadaan yang lebih baik
dalam segala aspek antara lain bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, serta kehidupan
keagamaan.

Memahami peran Pancasila di era reformasi, khususnya dalam konteks sebagai dasar negara
dan ideologi nasional, merupakan tuntutan hakiki agar setiap warga negara Indonesia
memiliki pemahaman yang sama dan akhirnya memiliki persepsi dan sikap yang sama
terhadap kedudukan, peranan dan fungsi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
Pancasila sebagai paradigma ketatanegaraan artinya pancasila menjadi kerangka berpikir
atau pola berpikir bangsa Indonesia, khususnya sebagai dasar negara ia sebagai landasan
kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai negara hukum, setiap perbuatan baik dari
warga masyarakat maupun dari pejabat-pejabat harus berdasarkan hukum, baik yang
tertulis maupun yang tidak tertulis. Dalam kaitannya dalam pengembangan hukum,
Pancasila harus menjadi landasannya. Artinya hukum yang akan dibentuk tidak dapat dan
tidak boleh bertentangan dengan sila-sila Pancasila. Substansi produk hukumnya tidak
bertentangan dengan sila-sila pancasila.
Pancasila sebagai paradigma pembangunan bidang sosial politik mengandung arti bahwa
nilai-nilai Pancasila sebagai wujud cita-cita Indonesia merdeka di implementasikan sebagai
berikut :
1. Penerapan dan pelaksanaan keadilaan sosial mencakup keadilan politik, agama, dan
ekonomi dalam kehidupan sehari-hari.
2. Mementingkan kepentingan rakyat / demokrasi dalam pengambilan keputusan.
3. Melaksanakan keadilaan sosial dan penentuan prioritas kerakyatan berdasarkan
konsep mempertahankan kesatuan.
4. Dalam pelaksanaan pencapaian tujuan keadilan menggunakan pendekatan
kemanusiaan yang adil dan beradab.
5. Nilai-nilai keadilan, kejujuran, dan toleransi bersumber pada nilai ke Tuhanan Yang
Maha Esa.

Pancasila sebagai paradigma nasional bidang ekonomi mengandung pengertian bagaimana


suatu falsafah itu diimplementasikan secara riil dan sistematis dalam kehidupan nyata.
Pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional bidang kebudayaan mengandung
pengertian bahwa Pancasila adalah etos budaya persatuan, dimana pembangunan
kebudayaan sebagai sarana pengikat persatuan dalam masyarakat majemuk. Oleh karena
itu smeboyan Bhinneka Tunggal Ika dan pelaksanaan UUD 1945 yang menyangkut
pembangunan kebudayaan bangsa hendaknyamenjadi prioritas, karena kebudayaan
nasional sangat diperlukan sebagai landasan media sosial yang memperkuat persatuan.
Dalam hal ini bahasa Indonesia adalah sebagai bahasa persatuan.
Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Nasional Bidang Hankam, maka paradigma baru
TNI terus diaktualisasikan untuk menegaskan, bahwa TNI telah meninggalkan peran sosial
politiknya atau mengakhiri dwifungsinya dan menempatkan dirinya sebagai bagian dari
sistem nasional.
Pancasila sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan, dengan memasuki kawasan filsafat ilmu
(philosophy of science) ilmu pengetahuan yang diletakkan diatas pancasila sebagai
paradigmanya perlu difahami dasar dan arah penerapannya, yaitu pada aspek ontologis,
epistomologis, dan aksiologis. Ontologis, yaitu bahwa hakikat ilmu pengetahuan aktivitas
manusia yang tidak mengenal titik henti dalam upayanya untuk mencari dan menemukan
kebenaran dan kenyataan. Ilmu pengetahuan harus dipandang secara utuh, dalam
dimensinya sebagai proses menggambarkan suatu aktivitas warga masyarakat ilmiah yang
melalui abstraksi, spekulasi, imajinasi, refleksi, observasi, eksperimentasi, komparasi dan
eksplorasi mencari dan menemukan kebenaran dan kenyataan. Sebagai produk, adanya
hasil yang diperoleh melalui proses, yang berwujud karya-karya ilmiah beserta aplikasinya
yang berwujud fisik ataupun non fisik. Epistimologi, yaitu bahwa Pancasila dengan nilai-nilai
yang terkandung didalamnya dijadikan metode berpikir, dalam arti dijadikan dasar dan arah
didalam pengembangan ilmu pengetahuan yang parameter kebenaran serta kemanfaatan
hasil-hasil yang dicapainya adalah nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila itu sendiri.
Aksilogis, yaitu bahwa dengan menggunakan epistemologi tersebut diatas, pemanfaatan
dan efek pengembangan ilmu pengetahuan secara negatif tidak bertentangan dengan
Pancasila dan secara positif mendukung atau mewujudkan nilai-nilai ideal Pancasila.
Dunia masa kini sedang dihadapi kepada gelombang perubahan secara cepat, mendasar,
spektakuler, sebagai implikasi arus globalisasi yang melanda seluruh penjuru dunia,
khususnya di abad XXI sekarang ini, bersamaan arus reformasi yang sedang dilakukan oleh
bangsa Indonesia. Reformasi telah merombak semua segi kehidupan secara mendasar,
maka semakin terasa orgensinya untuk menjadi Pancasila sebagai dasar negara dalam
kerangka mempertahankan jatidiri bangsa dan persatuan dan kesatuan nasional, lebih-lebih
kehidupan perpolitikan nasional yang tidak menentu di era reformasi ini. Berdasarkan hal
tersebut diatas perlunya reposisi Pancasila yaitu reposisi Pancasila sebagai dasar negara
yang mengandung makna Pancasila harus diletakkan dalam keutuhannya dengan
Pembukaan UUD 1945, dieksplorasikan pada dimensi-dimensi yang melekat padanya.
Realitasnya bahwa nilai-nilai yang terkandung didalamnya dikonkritisasikan sebagai ceminan
kondisi obyektif yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, suatu rangkaian nilai-
nilai yang bersifat “sein im sollen dan sollen im sein”.
Idealitasnya bahwa idealisme yang terkandung didalamnya bukanlah sekedar utopi tanpa
makna, melainkan diobyektifitasikan sebagai akta kerja untuk membangkitkan gairah dan
optimisme para warga masyarakat guna melihat hari depan secara prospektif.
Fleksibilitasnya dalam arti bahwa Pancasila bukanlah barang jadi yang sudah selesai dan
dalam kebekuan dogmatis dan normatif, melainkan terbuka bagi tafsi-tafsir baru untuk
memenuhi kebutuhan zaman yang terus menerus berkembang, dengan demikian tanpa
kehilangan nilai hakikinya Pancasila menjadi tetap aktual, relevan serta fungsional sebagai
penyangga bagi kehidupan bangsa dan negara.
Di era reformasi ini, Pancasila seakan tidak memiliki kekuatan mempengaruhi dan
menuntun masyarakat. Pancasila tidak lagi populer seperti pada masa lalu. Elit politik dan
masyarakat terkesan masa bodoh dalam melakukan implementasi nilai-nilai pancasila dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila memang sedang kehilangan legitimasi,
rujukan dan elan vitalnya. Sebab utamannya karena rejim Orde Lama dan Orde Baru
menempatkan Pancasila sebagai alat kekuasaan yang otoriter.
Terlepas dari kelemahan masa lalu, sebagai konsensus dasar dari berdirinya bangsa ini, yang
diperlukan dalam konteks era reformasi adalah pendekatan-pendekatan yang lebih
konseptual, komprehensif, konsisten, integratif, sederhana dan relevan dengan perubahan-
perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.
Pancasila yang seharusnya sebagai nilai, dasar moral etik bagi negara dan aparat pelaksana
Pegara, dalam kenyataannya digunakan sebagai alat legitimasi politik. Puncak dari keadaan
tersebut ditandai dengan hancurnya ekonomi nasional, maka timbullah berbagai gerakan
masyarakat yang dipelopori oleh mahasiswa, cendekiayan dan masyarakat sebagai gerakan
moral politik yang menuntut adanya “Reformasi” di segala bidang politik, ekonomi dan
hukum (Kaelan, 2000: 245). Saat Orde Baru tumbang, muncul fobia terhadap Pancasila.
Dasar negara itu untuk sementara waktu seolah dilupakan karena hampir selalu identik
dengan rezim Orde Baru. Dasar negara itu berubah menjadi ideologi tunggal dan satu-
satunya sumber nilai serta kebenaran. Negara menjadi maha tahu mana yang benar dan
mana yang salah. Nilai-nilai itu selalu ditanam ke benak masyarakat melalui indoktrinasi (Ali,
2009: 50).
Dengan seolah-olah “dikesampingkannya” Pancasila pada Era Reformasi ini, pada awalnya
memang tidak napak suatu dampak negatif yang berarti, namun semakin hari dampaknya
makin terasa dan berdampak sangat fatal terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara
Indonesia. Dalam kehidupan sosial, masyarakat kehilangan kendali atas dirinya, akibatnya
terjadi konflik-konflik horisontal dan vertikal secara masif dan pada akhirnya melemahkan
sendi-sendi persatuan dan kesatuan bangsa dan negara Indonesia. Dalam bidang budaya,
kesadaran masyarakat atas keluhuran budaya bangsa Indonesia mulai luntur, yang pada
akhirnya terjadi disorientasi kepribadian bangsa yang diikuti dengan rusaknya moral
generasi muda. Dalam bidang ekonomi, terjadi ketimpangan-ketimpangan di berbagai
sektor diperparah lagi dengan cengkeraman modal asing dalam perekonomian Indonesia.
Dalam bidang politik, terjadi disorientasi politik kebangsaan, seluruh aktivitas politik seolah-
olah hanya tertuju pada kepentingan kelompok dan golongan. Lebih dari itu, aktivitas politik
hanya sekedar merupakanlibido dominandi atas hasrat untuk berkuasa, bukannya sebagai
suatu aktivitas memperjuangkan kepentingan nasional yang pada akhirnya menimbulkan
carutmarut kehidupan bernegara seperti dewasa ini (Hidayat, 2012).
Namun demikian, kesepakatan Pancasila menjadi dasar Negara Republik Indonesia secara
normatif, tercantum dalam ketetapan MPR. Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998. Pasal 1
menyebutkan bahwa “Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945
adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dilaksanakan secara
konsisten dalam kehidupan bernegara” (MD. 2011). Ketetapan ini terus dipertahankan,
meskipunketika itu Indonesia akan menghadapi Amandeman Undang-Undang Dasar Negara
Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945.
Selain kesepakatan Pancasila sebagai dasar negara, Pancasila pun menjadi sumber hukum
yang ditetapkan dalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000
Pasal 1 Ayat (3) yang menyebutkan,
“Sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila sebagaimana yang tertulis dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan
yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan, perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu
Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia, dan batang tubuh Undang-Undang Dasar
1945”.

Kajian Kesimpulan Pada Era Reformasi

1. Kelebihan
a. Munculnya kebebasan pers
b. Kembalinya jati diri bangsa Indonesia

2. Kekurangan
a. Masih banyak system yang berantakan
b. Kurangnya penanaman nilai-nilai Pancasila.
c. Menjamurnya globalisasi
d. Kurangnya kepedulian akan Indonesia ini

3. Kesimpulan dan Solusi


Seiring berjalannya waktu hingga kini, demokrasi di Indonesia masih juga diwarnai dengan
politisasi uang. Sehingga percuma ada demokrasi. Demokrasi sudah hamper mati.
Kurangnya juga penanaman nilai- nilai pancasila dalam diri anak, sehingga tidak ada rasa
cinta pada tanah air. Solusinya, kita sebagai generasi muda harus berjuang memajukan
Negara ini dengan Pancasila sebagai pedoman dan pembimbing kita.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Setelah di atas telah banyak di jelaskan mengenai pelaksanaan Pancasila mulai dari orde
lama, orde baru sampai reformasi, telah terlihat jelas mengenai penerapan Pancasila dari
waktu ke waktu ini erat kaitannya dengan kesadaran setiap warga negara. Kesadaran untuk
melaksanakan pancasila adalah buah dari akal pikiran manusia, apabila akalnya telah
tertanam Pancasila maka untuk mengimplementasikannya akan lebih mudah dan terlaksana
dengan baik. Dan kesadaran itu akan mencapai tingkat yang sebaiknya, apabila keadaan
terdorong dan taat itu selalu ada pada kita, sehingga lambat laun melekat pada diri pribadi
kita, menjadi sifat kita, lahir batin, melekat pada akal kita, melekat pada kehendak kita, baik
didalam hidup kita pribadi maupun didalam hidup kita bersama dengan sesama warga
keluarga, sesama warga masyarakat, sesama warga negara, sesama manusia. Terdorong
dan taat untuk melaksanakan Pancasila itu juga meliputi seluruh lingkungan hidup
kemanusiaan, baik badaniah maupun yang rohaniah, yang sosial-ekonomis, sosial-politik,
kebudayaan, mental, kesusilaan, keagamaan, serta kepercayaan.
B. Saran
Perjalanan kehidupan birokrasi di Indonesia selalu dipengaruhi oleh kondisi sebelumnya.
Budaya birokrasi yang telah ditanamkan sejak jaman kolonialisme berakar kuat hingga
reformasi saat ini. Paradigma yang dibangun dalam birokrasi Indonesia lebih cenderung
untuk kepentingan kekuasaan. Struktur, norma, nilai, dan regulasi birokrasi yang demikian
diwarnai dengan orientasi pemenuhan kepentingan penguasa daripada pemenuhan hak sipil
warga negara. Budaya birokrasi yang korup semakin menjadi sorotan publik saat ini.
Banyaknya kasus KKN menjadi cermin buruknya mentalitas birokrasi secara institusional
maupun individu.
Sejak orde lama hingga reformasi, birokrasi selalu menjadi alat politik yang efisien dalam
melanggengkan kekuasaan. Bahkan masa orde baru, birokrasi sipil maupun militer secara
terang-terangan mendukung pemerintah dalam mobilisai dukungan dan finansial. Hal
serupa juga masih terjadi pada masa reformasi, namun hanya di beberapa daerah. Beberapa
kasus dalam Pilkada yang sempat terekam oleh media menjadi salah satu bukti nyata masih
adanya penggunaan birokrasi untuk suksesi. Sebenarnya penguatan atau ”penaklukan”
birokrasi bisa saja dilakukan dengan catatan bahwa penaklukan tersebut didasarkan atas
itikad baik untuk merealisasikan program-program yang telah ditetapkan pemerintah.
Namun sayangnya, penaklukan ini hanya dipahami para pelaku politik adalah untuk
memenuhi ambisi dalam memupuk kekuasaan. Mungkin dalam hal ini, kita sebagai penerus
bangsa harus mampu dan terus bersaing dalam mewujudkan Indonesia yang lebih baik dari
sebelumnya , harga diri bangsa Indonesia adalah mencintai dan menjaga aset Negara untuk
dijadikan simpanan buat anak cucu kelak. Dalam proses pembangunan bangsa ini harus bisa
menyatukan pendapat demi kesejahteraan masyarakat umumnya.
DAFTAR PUSTAKA

Fitri,deniarti.2016.pancasila dalam kajian bangsa


Indonesia.www.academia.edu.23september2017
Wahyuni,sri.2014.pancasila dalam kajian sejarah bangsa
Indonesia.sriwahyunii.blogspot.co.id.23september2017

Anda mungkin juga menyukai