Anda di halaman 1dari 25

PENERAPAN TEORI HEALTH LOCUS OF CONTROL TERHADAP PENDERITA

DIABETES MELITUS

Kelompok 6:

Ira Saphira M (101911233028)


An Nissa Mutia At Trisna (101911233032)
Rizki Hayyu Lestari (101911233039)
Galuh Amaranggana P. (101911233050)
Anandya Putri R (101911233055)

PRODI S1 GIZI
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan
karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah mengenai isu kesehatan dengan
judul “Penerapan Teori Health Locus of Control terhadap Penderita Diabetes Melitus” tepat pada
waktunya, sebagai pemenuhan tugas pada mata kuliah psikologi .

Kami menyadari bahwa makalah ini tidak dapat terselesaikan tanpa dukungan dari
berbagai pihak. Kami berterima kasih kepada dosen kami yang telah memberikan bimbingan
kepada kami dalam pembuatan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk
menambah wawasan dan pengetahuan, serta menjadi acuan dan pedoman bagi para
pembaca. Kami menyadari bahwa laporan ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu,
kami mengharapkan kritik serta saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan
makalah ini.

Surabaya, 13 November 2020

Penyusun
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Diabetes melitus adalah salah satu penyakit kronis yang menjadi masalah serius di dunia
dan sering dikatakan sebagai silent killer dan mother of all diseases. Berdasarkan data WHO
tahun 2018, menunjukkan bahwa 1,6 juta kematian di dunia pada tahun 2016 dan sebagian
beban penyakit yang cukup serius disebabkan oleh diabetes.
Semakin maju perkembangan zaman dan teknologi saat ini diikuti dengan meningkatnya
angka morbiditas dan mortalitas penyakit tidak menular atau penyakit degenatif secara
global, regional, nasional, dan lokal (Kemenkes RI, 2011). Diabetes melitus merupakan salah
satu penyakit degeneratif dengan karakteristik hiperglikemia, yang terjadi karena kelainan
kerja insulin, sekresi insulin ataupun karena keduanya.
Diabetes melitus dikategorikan menjadi 2 yaitu tipe 1 dan tipe 2. Diabetes melitus tipe 1
yaitu tubuh tidak dapat menghasilkan insulin dengan cukup yang disebabkan oleh genetik.
Diabetes melitus tipe 2 adalah ketidakmampuan tubuh menggunakan insulin yang
dihasilkannya, yang disebabkan oleh gaya hidup yang buruk. Penyandang diabetes di dunia
sebesar 90 % diantaranya menyandang diabetes melitus tipe 2 karena gaya hidup kurang
sehat, sebenarnya 80% diabetes dapat dicegah (Depkes,2016). Berdasarkan data IDF tahun
2017 menunjukkan bahwa wilayah Asia Tenggara menempati peringkat ke 2 jumlah individu
dengan diabetes terbanyak di dunia, yaitu sebesar 82 juta jiwa setelah Pasifik Barat (159 juta
orang) dengan kisaran umur 20-79 tahun.
Meningkatnya jumlah penyandang diabetes menjelaskan bahwa semakin banyak
penyandang diabetes yang memiliki potensi harapan hidup lebih singkat terkait dengan
berbagai macam komplikasi dari penyakit diabetes. Komplikasi-komplikasi yang
mengancam kesehatan dan kehidupan pasien diabetes tidak akan terjadi apabila perawatan
terhadap diabetes dilakukan dengan baik (WHO,2016). Kemampuan pasien diabetes untuk
melaksanakan perawatan diabetes secara rutin dan baik dikenal sebagai manajemen diri.
Manajemen diri adalah suatu pendekatan yang sangat efektif dalam mengelola penyakit
kronis. Jika seseorang mempunyai manajemen diri dengan baik terhadap penyakitnya, maka
akan mempengaruhi pola kontrol gula dalam darah untuk pasien diabetes, terutama jika gaya
hidup dan pola makan tidak tepat. Manajemen diri terdiri dari empat aspek utama yaitu
manajemen nutrisi, olahraga dan aktivitas fisik, pengawasan glukosa darah, pengobatan
medis.
Penerapan teori psikologi yaitu health locus of control memiliki peranan penting untuk
meningkatkan manajemen diri. Terdapat 3 faktor dalam health locus of control yaitu pertama
internal health locus of control atau keyakinan bahwa kesehatan merupakan hasil dari
perbuatan yang telah dilakukan. Kedua, powerful others health locus of control atau
keyakinan bahwa kesehatan tergantung atau dikontrol oleh orang lain. Ketiga chance health
locus of control atau keyakinan bahwa kesehatan ditentukan oleh nasib.
Pasien diabetes melitus tipe 2 dihadapkan dengan kenyataan bahwa penyakit yang
disandangnya tidak dapat disembuhkan dan komplikasi yang mengancamnya tidak dapat
dihindari, Meskipun demikian, pasien diabetes dapat hidup selayaknya individu yang sehat
apabila mampu berperilaku tertentu utnuk mengelola penyakitnya dengan baik. Pasien
diabetes dihadapkan dengan konsekuensi apabila tidak melakukan manajemen diri dengan
baik, Konseuensi tersebut berupa komplikasi yang dapat berdampak juga pada gangguan
psikologis tertentu, seperti gejala depresi.

1.2 Rumusan Masalah


a. Bagaimana maksud arti Health Locus of Control (HLOC)?
b. Bagaimana hubungan Health Locus of Control terhadap manajemen diri penderita
diabetes melitus?
c. Bagaimana penerapan manajemen diri untuk penderita diabetes melitus?
d. Bagaimana keterkaitan faktor Health Locus of Control terhadap penderita diabetes
melitus?
e. Bagaimana prosedur yang dapat dilakukan untuk penanganan pasien diabetes melitus?

1.3 Tujuan
a. Mengetahui maksud dari Health Locus of Control (HLOC).
b. Mengatahui hubungan Health Locus of Control (HLOC) terhadap manajemen diri
penderita diabetes melitus.
c. Mengetahui penerapan manajemen diri untuk penderita diabetes melitus.
d. Menganalisis keterkaitan faktor Health Locus of Control (HLOC) terhadap penderita
diabetes melitus.
e. Mengetahui prosedur ynang dapat dilakukan untuk penanganan pasien diabetes melitus.

1.4 Manfaat
Sebagai bahan informasi untuk menambah wawasan, pengetahuan, dan menjadi
acuan serta pedoman bagi para pembaca mengenai pentingnya peran manajemen diri
terhadap penderita diabetes melitus. Bagi penulis, dapat mengimplementasikan ilmu
psikologi yang sudah dipelajari dalam menerapkan salah satu teori psikologi yaitu Health
Locus of Control untuk penderita diabetes melitus.
DAFTAR PUSTAKA

Hidayati, A. (2017). Hubungan Health Locus Of Control Dengan Mekanisme Koping Pada
Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Di Wilayah Kerja Puskesmas Patrang Kabupaten jember.
Saibi, Y., Romadhon, R., & Nasir, N. M. (2020). Kepatuhan Terhadap Pengobatan Pasien
Diabetes Melitus Tipe 2 di Puskesmas Jakarta Timur. Jurnal Farmasi Galenika (Galenika
Journal of Pharmacy)(e-Journal), 6(1), 94-103.

Haskas, Y., Suarnianti, S., & Restika, I. (2020). Efek Intervensi Perilaku Terhadap
Manajemen Diri Penderita Diabetes Melitus Tipe 2: Sistematik Review. Jurnal Kesehatan
Andalas, 9(2), 235-244.

Kusristanti, C., & Lubis, D. U. (2017). Intervensi Dengan Pendekatan Cognitive Behavior
Therapy untuk Mengurangi Diabetes-Related Distress pada Lanjut Usia dengan Penyakit
Diabetes Mellitus Tipe 1 dan Tipe 2. Majalah Sainstekes, 4(1).

Sy, E., Afrianti, E., Bahri, N., & Yuniarti, Y. (2012). EFEK HIDROTERAPI PADA
PENURUNAN KADAR GULA DARAH SESAAT (KGDS) TERHADAP PENDERITA
DIABETES MELITUS TIPE 2. Majalah Kedokteran Andalas, 36(2), 202-214.
Katuuk, M., & Gannika, L. (2019). HUBUNGAN HEALTH LOCUS OF CONTROL
DENGAN KEPATUHAN TERAPI INSULIN PADA PASIEN DM TIPE II DI RSU
GMIM PANCARAN KASIH MANADO. JURNAL KEPERAWATAN, 7(1).

Haskas, Y., & Suryanto, S. (2019). LOCUS OF CONTROL: PENGENDALIAN


DIABETES MELITUS PADA PENDERITA DM TIPE 2. Jurnal Riset Kesehatan, 8(1),
13-20.

BAB II

LANDASAN TEORITIK

2.1 Tinjauan Teoritik

2.1.1 Diabetes Mellitus

Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit yang paling sering muncul di
dunia (Sarafino & Smith, 2011). Secara singkat, DM merupakan penyakit yang disebabkan oleh
kelebihan kadar gula dalam darah sebagai akibat dari ketidakmampuan pankreas memproduksi
hormon insulin. Penyakit DM ini terdiri dari dua jenis, yaitu DM tipe 1 (insulin-dependent DM)
dan DM tipe 2 (non-insulin DM). Diabetes Melitus merupakan salah satu penyakit degeneratif
yang akan jumlahnya akan terus meningkat di masa yang akan datang. Diabetes Mellitus
merupakan salah satu ancaman utama bagi kesehatan umat manusia pada abad 21, Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) membuat perkiraan bahwa pada tahun 2025, di seluruh dunia jumlah
penderita Diabetes Melitus di ata Sekitar 3,2 juta kematian berhubungan dengan Diabetes
Melitus tipe 2. Sedikitnya satu di antara 10 kematian orang dewasa (35 - 64 tahun) juga
berhubungan dengan Diabetes Melitus Tipe 2. s umur 20 tahun akan meningkat menjadi 300 juta
orang.

2.1.2 Etiologi Diabetes Melitus


Etiologi diabetes melitus secara umum menurut Riyadi dan Sukarmin (2008), yaitu:

a. Kelainan Genetik

Diabetes melitus dapat menurun dari keluarga atau pasien diabetes melitus, hal ini
diakibatkan karena pada pasien diabetes melitus akan ikut diinformasikan pada gen berikutnya
terkait penurunan produksi insulin.

b. Usia

Manusia mengalami penurunan fungsi fisiologis setelah usia 40 tahun. Penurunan fungsi
tersebut akan berpengaruh terhadap fungsi endokrin pankrean untuk memproduksi insulin.

c. Stres

Stres akan meningkatkan kerja metabolisme tubuh dan kebutuhan energi yang diperlukan
tubuh yang berakibatkan pada kenaikan kerja pankreas. Kerja pankreas yang terlalu berlebih
menyebabkan pankreas mudah rusak yang akan berdampak pada penurunan insulin.

d. Obesitas

Obesitas akan mengakibatkan sel-sel β pankreas mengalami hipertropi yang akan


berpengaruh terhadap produksi insulin. Hipertropi pankreas tersebut diakibatkan oleh
peningkatan beban metabolisme glukosa pada pasien obesitas untuk mencukupi energi sel yang
terlalu banyak.

f. Infeksi

Bakteri atau virus yang masuk ke pankreas akan merusak sel-sel β pankreas sehingga
berakibat pada penurunan fungsi pankreas. Selain itu, infeksi juga dapat disebabkan oleh faktor
lain, yaitu:

1. Kelainan sel β pankreas, yaitu hilangnya sel β sampai kegagalan sel β melepas insulin.

2. Faktor lingkungan yang mengubah sel β antara lain agen yang dapet menimbulkan infeksi, diet
dimana karbohidrat dan gula diproses secara berlebihan, kelebihan berat badan, dan kehamilan.
3. Gangguan sistem imun. Sistem yang dilakukan oleh autoimun yang diikuti dengan
pembentukan sel-sel antibodi anti-pankreas sehingga mengakibatkan kerusakan sel-sel
penyekresi insulin dan kemudian meningkatkan kepekaan sel β terhadap virus.

4. Kelainan insulin. Pada pasien dengan obesitas akan terjadi gangguan kepekaan jaringan
terhadap insulin akibat berkurangnya reseptor insulin yang terdapat pada membran sel yang
responsif terhadap insulin.

2.1.2 Health Locus of Control

Locus of control adalah sebuah konsep yang menggambarkan persepsi seseorang tentang
tanggung jawab atas kejadian dalam kehidupannya (Larsen dan Buss, 2010). Locus of control
mengacu pada kondisi dimana individu mengatribusikan kesuksesan dan kegagalan. Ketika
seseorang mempersepsikan locus of control tersebut berada dalam dirinya makan akan
menghasilkan pencapaian yang lebih besar dalam hidupnya karena potensi tersebut dapat
dimanfaatkan untuk menjadi lebih kreatif dan produktif. Dalam locus of control dibagi menjadi
dua kategori yaitu locus of control internal dan locus of control eksternal. Rotter (1990:489)
menyatakan bahwa internal- eksternal kontrol mengacu pada sejauh mana seseorang
mengharapkan bahwa penguatan atau hasil dari perilaku mereka tergantung pada penilaian
mereka sendiri atau karakteristik pribadi, sebaliknya sejauh mana seseorang mengharapkan
bahwa penguatan atau hasil merupakan fungsi dari kesempatan, keberuntungan, atau nasib,
adalah berada di bawah kendali kekuatan orang lain atau tidak berdaya. Lebih lanjut pendapat
Rotter tersebut telah dikembangkan oleh Levenson (1981) dengan pengelompokan orientasi
locus of control sebagai berikut:

1. Orientasi locus of control internal : internality

2. Orientasi locus of control eksternal: powerful Others (P) dan Chance (C).
Individu yang memiliki keyakinan bahwa peristiwa dalam hidupnya berada dibawah
kontrol dirinya dikatakan sebagai individu yang memiliki internal locus of control, sedangkan
individu yang memiliki keyakinan bahwa lingkungan lah yang memiliki kontrol terhadap
peristiwa atau nasib yang terjadi dalam kehidupannya dikatakan individu tersebut memiliki
external locus of control.

Health locus of control merupakan locus of control pada bidang kesehatan. Keyakinan
individu dalam persepsi terhadap sumber-sumber penyebab peristiwa yang berhubungan dengan
kesehatan. Penggunaannya sendiri untuk mengevaluasi apakah seorang individu menganggap
derajatyang digunakan untuk mengevaluasi apakah seseorang individu menganggap kesehatan
dapat dikontrol atau tidak oleh dirinya sendiri atau mempercayai bahwa ada faktor dari luar yang
memoengaruhi kesehatan individu tersebut.

HloC adalah teori yang menjelaskan tentang bagaimana munculnya perilaku karena


individu menerima penguatan yang rutin dan konsisten. Lalu individu ini akan mengembangkan
sendiri kepercayaan terhadap baik buruknya perlakuan tersebut. Teori ini berkembang dari teori
pembelajaran sosial yang menghasilkan health locus of control internal dan eksternal. HloC
sendiri merupakan keyakinandan kontrol individu atas kondisi kesehatannya sendiri. (Rotter,
1966, dalamConner & Norman, 2005). Gibson, Ivancevich & Donnelly (1995:161) mengatakan
bahwa locus of control merupakan karakteristik kepribadian yang menguraikan orang yang
menganggap bahwa kendali kehidupan mereka datang dari dalam diri mereka sediri sebagai
internalizers. Orang yang yakin bahwa kehidupan mereka dikendalikan oleh faktor eksternal
disebut: externalizer.

Berdasarkan beberapa pengertian yang telah dipaparkan diatas dapat disimpulkan bahwas
locus of control adalah tingkat sejauh mana keyakinan yang dimiliki oleh individu terhadap
sumber penyebab peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya, apakah keberhasilan,
prestasi dan kegagalan dalam hidupnya dikendalikan oleh perilakunya sendiri (faktor internal)
ataukan semua peristiwa- peristiwa yang terjadi dalam hidupnya berupa prestasi, kegagalan dan
keberhasilan dikendalikan oleh kekuatan lain, seperti pengaruh orang lain yang berkuasa,
kesempatan, keberuntungan dan nasib (faktor eksternal).
Rotter (1966, dalam Mushaeri, 2013) lebih lanjut menjelaskan bahwa ada 4 konsep dasar
dalam HloC yaitu:

1) Potensi perilaku yaitu setiap kemungkinan yang secara relatif muncul pada situasi tertentu,
berkaitan dengan hasil yang diinginkan dalam kehidupan seseorang.

2) Harapan, merupakan suatu kemungkinan dari berbagai kejadian yang akan muncul dan
dialami oleh seseorang.

3) Nilai unsur penguat adalah pilihan terhadap berbagai kemungkinan penguatanatas hasil dari
beberapa penguat hasil-hasil lainnya yang dapat muncul pada situasi serupa.

4) Suasana psikologis, adalah bentuk rangsangan baik secara internal maupuneksternal yang
diterima seseorang pada suatu saat tertentu, yang meningkatkan ataumenurunkan harapan
terhadap munculnya hasil yang sangat diharapkan

Pada tahun 1978, Wallston dan DeVellis pada tahun 1978 mengembangkan
Multidimensional Health Locus of Control Scale yang menjelaskan bahwa skala yang dibuat
dapat mengukur tingkat seseorang dalam mempersepsikan dirinya dalam tiga subskala yaitu
internal, powerful others, dan chance sebagai faktor yang memegang kontrol atas kesehatannya.
Multidimensional Health Locus of Control Scale dibagi menjadi 3 subskala sebagai berikut:

a. Internal Health Locus of Control

Merupakan keyakinan bahwa status kesehatan individu dipengaruhi oleh pilihan dan
perilaku mereka sendiri. Seseorang dengan internal health locus of control memiiki keyakinan
bahwa kesehatan tergantung pada dirinya sendiri. Apabila individu jatuh sakit, maka mereka
akan menyalahkan diri sendiri karena tidak menjaga kesehatan serta berusaha untuk kembali
sembuh. Individu yang bertipe ini cenderung akan memiliki pola hidup sehat, seperti
berolahraga, mengatur pola makan, dan memeriksakan diri secara rutin karena menganggap
bahwa kesehatan merupakan hal utama dan hanya dirinya sendiri yang dapat menjaganya.

b. Powerful Others Health Locus of Control

merupakan keyakinan bahwa status kesehatan tergantung pada kompetensi dokter,


perilaku keluarga, teman. Seseorang yang bertipe ini cenderung bergantung pada orang lain.
Apabila jatuh sakit, maka akan menyalahkan orang lain atas penyakitnya. Sementara orang lain
pun belum tentu mengerti mengenai kondisi yang terjadi pada dirinya dan hal yang
dibutuhkannya.

c. Chance Health Locus of Control

merupakan keyakinan bahwa status kesehatan yang dipengaruhi oleh nasib dan
keberuntungan. Apabila jatuh sakit, maka akan berfikir bahwa memang sudah waktunya sakit.
Seseorang yang bertipe ini cenderung acuh tak acuh sehingga menyebabkan gaya hidup yang
tidak sehat.

BAB III

TARGET SASARAN

Diabetes Mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh


peningkatan glukosa dalam darah atau hiperglikemi (Smeltzer & Bare, 2004). Hiperglikemi
terjadi akibat penurunan kemampuan tubuh untuk berespon terhadap insulin dan penurunan atau
kegagalan pankreas dalam pembentukan insulin (Smeltzer & Bare, 2004). Diabetes Melitus
adalah ibu dari segala penyakit yang bisa menyerang kepada siapapun. Banyaknya faktor yang
dapat menyebabkan penyakit ini dimulai dari karena kurangnya kesadaran diri sendiri, atau juga
karena faktor keturunan. Target sasaran kami dari puskesmas yang berada di Jakarta Timur,
sampel terdiri dari 175 pasien yang telah di diagnosa Diabetes melitus tipe 2 berikut adalah data
pasien:
No Karakteristik Jumlah (orang) Persentase (%)
JENIS KELAMIN
1 Laki-laki 63 36
2 Perempuan 112 64
UMUR
1 21-35 tahun 1 0,6
2 36-50 tahun 26 14,9
3 51-59 tahun 32 18,3
4 ≥60 tahun 116 66,3

Dapat dilihat pada tabel bahwa responden 64% berjenis kelamin perempuan, dengan usia
lebih atau sama dengan 60 tahun mendominasi jumlah responden yakni sebanyak 66,3%. Hasil
ini juga selaras dengan hasil RISKESDAS 2018 yang menyatakan prevalensi diabetes melitus
berdasarkan diagnosis dokter lebih banyak pada penderita yang berjenis kelamin perempuan
(1,8%) dibandingkan penderita yang berjenis kelamin laki-laki (1,2%) (Kementerian Kesehatan
RI, 2018). Beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab wanita lebih berisiko terkena DM tipe
2 antara lain: perempuan cenderung mengalami resiko stres yang cukup meningkat sehingga
dapat memicu kenaikan kadar gula darah; riwayat kehamilan; obesitas; penggunaan kontrasepsi
oral dan tingkat stres yang cukup tinggi(Willer, Herreiter, & Pacini, 2016). Hasil ini pun sejalan
dengan data Kementerian Kesehatan yang menyatakan prevalensi diabetes melitus berdasarkan
diagnosis dokter lebih banyak pada penderita yang berumur ≥60 tahun (12,45%) (Kementerian
Kesehatan RI, 2018). Intoleransi glukosa terganggu dikaitkan dengan penuaan dan hiperglikemia
postprandial adalah karakteristik yang menonjol dari diabetes tipe 2 pada orang dewasa yang
lebih tua. Resistensi insulin yang berhubungan dengan usia dikaitkan dengan perubahan
komposisi tubuh dan aktivitas fisik(Kalyani, Golden, & Cefalu, 2017).

1"
"
Bab I
SEJARAH

Individu yang memiliki kebiasaan sehat dengan menganggap


kesehatan individu tersebut berada dibawah kendali pribadi lebih baik
daripada individu yang menganggap kesehatan mereka hanya sebagai
kebetulan saja. Skala health locus of control dari Wallston, Wallston, &
DeVellis, (1978) mengukur sejauh mana orang memandang kesehatan mereka
berada di bawah kendali pribadi, kontrol oleh praktisi kesehatan, atau
kesempatan (Taylor, 2018).
Health Locus of Control (HLoC) berasal dari konsep social learning.
Social learning theory ini dikemukakan oleh Rotter (1966). Teori ini
menjelaskan bahwa dalam proses belajar, individu belajar atas dasar
pengalamannya. Individu akan mengembangkan harapan-harapan umum dan
khusus. Melalui proses pembelajaran, individu akan mengembangkan
keyakinan bahwa hasil tertentu adalah hasil atas tindakan sendiri (
1"
"
Bab I
SEJARAH

Individu yang memiliki kebiasaan sehat dengan menganggap


kesehatan individu tersebut berada dibawah kendali pribadi lebih baik
daripada individu yang menganggap kesehatan mereka hanya sebagai
kebetulan saja. Skala health locus of control dari Wallston, Wallston, &
DeVellis, (1978) mengukur sejauh mana orang memandang kesehatan mereka
berada di bawah kendali pribadi, kontrol oleh praktisi kesehatan, atau
kesempatan (Taylor, 2018).
Health Locus of Control (HLoC) berasal dari konsep social learning.
Social learning theory ini dikemukakan oleh Rotter (1966). Teori ini
menjelaskan bahwa dalam proses belajar, individu belajar atas dasar
pengalamannya. Individu akan mengembangkan harapan-harapan umum dan
khusus. Melalui proses pembelajaran, individu akan mengembangkan
keyakinan bahwa hasil tertentu adalah hasil atas tindakan sendiri (
DAFTAR PUSTAKA

Kementerian Kesehatan RI. Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas (2016). indonesia.

Kementerian Kesehatan RI. (2018). Hasil Utama Riset Kesehata Dasar(RISKESDAS). Journal of
Physics A: Mathematical and Theoretical, 44(8), 1–200. https://doi.org/10.1088/1751-
8113/44/8/085201

Kalyani, R. R., Golden, S. H., & Cefalu, W. T. (2017). Diabetes and aging: Unique
considerations and goals of care. Diabetes Care, 40(4), 440–443. https://doi.org/10.2337/dci17-
0005

Fatimah, R. N. (2015). Diabetes Melitus Tipe 2. Jurnal Majority

Haskas, Y. (2018). Variabilitas Locus Of Control Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe II. Jurnal
Ilmiah Kesehatan Diagnosis, 12(4), 358- 361

BAB IV

INTERVENSI
Pasien diabetes yang memiliki locus of control khususnya internal yang tinggi meyakini
bahwa hasil usaha sendirilah yang dapat mencapai keberhasilan dalam mengelola diabetes
(Oktarinda dan Surjaningrum, 2014). Kunci dari pengelolaan diabetes adalah keteraturan
penyandangnya dalam melakukan serangkaian engobatan berkaitan dengan diabetes. Dapat
diketahui juga bahwa penyandang diabetes kadang tergoda mengonsumsi makanan dan minuman
tertentu yang seharusnya dihindari sehingga mengakibatkan komplikasi. Meskipun demikian,
pengalaman tidak menyenangkan terkait diabetes membuat seseorang memiliki tekad untuk
sehat. Selain itu, penyandang diabetes melitus lain memiliki anggapan bahwa faktor eksternal
juga memegang andil dalam konsumsi makanan penyandang diabetes. Locus of control pastinya
memilki andil dalam perilaku tersebut.

Teori belajar sosial menyebutkan bahwa individu akan berperilaku sehat apabila individu
tersebut prihatin terhadap kesehatannya dan memandang bahwa dirinya dapat mengendalikan
kesehatannya (Tillotson dan Smith, 1996). Locus of control yang dimiliki penyandang diabetes
melitus membuatnya teratur untuk menjalani serangkaian pengobatan atau perilaku sehat
sehingga kondisinya membaik dan gula darah menjadi stabil (Safitri, 2013). Health Locus of
Control memiliki peran yang penting untuk meningkatkan manajemen diri dan juga merupakan
tingkatan yang dipakai untuk mengevaluasi bahwa kesehatan individu dapat atau tidaknya
dikontrol oleh dirinya sendiri atau meyakini kesehatan mereka dipengaruhi oleh faktor luar. Ada
tiga dimensi dalam Health Locus of Control, Internal Health Locus of Control atau keyakinan
bahwa kesehata merupakan hasil dari perbuatan yang telah dialakukan, kedua powerful Other
Health Locus of Control atau keyakinan bahwa kesehatan tergantung atau dikontrol oleh orang
lain. Yang ketiga Change Health Locus of Control atau keyakinan bahwa kesehatan ditentukan
oleh nasib. Doctor Health Locus of Control berarti keyakinanan bahwa hasil kesehatan individu
ditentukan oleh dokter. Sedangkan untuk Other Health Locus of Control berarti kesehatan
ditentunkan oleh orang. Penelitian Popova (2012) menghasilkan bahwa Health Locus of Control
memiliki peran penting bagi kesehatan dan kesejahteraan subjektif. Individu yang memilkiki
Health Locus of Control khususnya inernal yang tinggi akan mewujudkan perilaku gaya hidup
sehat yang terencana dengan baik yang membuatnya lebih sehat, bahagia, dan memiliki kepuasan
hidup yang lebih tinggi. sedangkan individu yang memiliki powerful Other Health Locus of
Control dan Change Health Locus of Control yang rendah lebih cenderung tidak peduli terhadap
kesehatan yang berdampak pada stres, buruknya pola makan, kurang tidur, dan merokok. Dengan
demikian, kaitan Locus of Control meyakinkan bahwa individu mampu memiliki kesehatan yang
lebih baik dan kesejahteraan subjektif apabila memilki orientasi internal, seperti tanggung jawab
terhadap diri sendiri.

Diabetes Melitus (DM) merupakan salah satu penyakit degeneratif yang paling sering
diderita masyarakat sekarang ini (Safitri, 2013). Sekitar 425 juta orang dewasa di dunia dengan
rentang usia 20 sampai 79 tahun menderita DM dan diperkirakan pada tahun 2045 terdapat 629
juta orang (IDF:diabtes atlas, 2017). Di wilayah Asia Tenggara sendiri tahun 2015 terdapat 415
juta orang dewasa dengan DM (WHO, 2016). Tahun 2015 Indonesia menempati peringkat
ketujuh prevalensi penderita DM tertinggi di dunia dengan jumlah estimasi 10 juta orang yang
tersebar di seluruh wilayah indonesia (WHO, 2016). Secara spesifik jumlah penderita DM di
wilayah Sulawesi Utara sekitar 61.140 orang (InfoDATIN: situasi dan analisis Diabetes, 2014).
DM termasuk dalam masalah kesehatan yang belum dapat disembuhkan, hal yang mungkin
dapat dilakukan oleh penderita DM adalah mengontrol dan mengendalikan penyakitnya agar
dapat mempertahankan kualitas hidup (Haskas, 2018) lewat pengelolaan DM yang tepat terdiri
dari edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan intervensi farmakologi berupa pemberian
obat anti hiperglikemi oral dan terapi insulin (PERKENI, 2011).

4.1 Strategi

Definisi operasional dari manajemen diri pada pasien Diabetes Melitus tipe 2 adalah
kemampuan pasien Diabetes Melitus tipe 2 untuk mengubah gaya hidup yang berkaitan dengan
diabetes demi mengelola diabetes yang disandangnya. Manajemen diri diukur menggunakan
Diabetes Self-Management Questionnaire (DSMQ) milik Schmitt, Reimer, Hermans, Huber,
Ehrmann, Schall, dan Kulzer (2013) berdasarkan aspek- aspek dari manajemen diri pada pasien
Diabetes Melitus tipe 2 meliputi diet, kepatuhan pengobatan, pemantauan kadar glukosa dalam
darah, aktivitas fisik, dan kontrol rutin ke dokter.

Manajemen diri diabetes terdiri dari empat aspek utama yaitu pengobatan, diet, olahraga,
dan pengecekan kadar glukosa dalam darah (Cox & Gonder- Frederick, 1992). Auerbach, Clore,
Kiesler, Orr, Pegg, Quick, dan Wagner (2002) menyatakan bahwa manajemen diri yang aktif
sebagai kunci keefektifan dalam mengelola diabetes. Sejalan dengan hal itu, Hunter (2016)
menerangkan bahwa pengelolaan diabetes yang baik mengurangi jumlah waktu yang dihabiskan
dengan glukosa darah yang tinggi sekaligus menjaga glukosa darah terlalu rendah. Manajemen
diri diabetes yang dilakukan dengan rutin dapat membantu mengurangi atau mencegah
komplikasi akut dan jangka panjang dari penyakit diabetes (Norris, Engelgau, Venkat Narayan,
& Narayan, 2001; Sousa, Zauszniewski, Musil, Price Lea, & Davis, 2005).

Manajemen diri itu sangat penting bagi pasien yang menyandang penyakit kronis karena
pasien merupakan satu-satunya penanggung jawab atas perawatan seumur hidup terkait
penyakitnya yang disandangnya (Lorig & Holman, 2003). Sejalan dengan hal itu, manajemen
diri pada pasien diabetes itu berharga karena penyakit diabetes tidak dapat disembuhkan
(Sutedjo, 2010). Bandura (2005) mengibaratkan manajemen diri sebagai obat yang baik karena
melalui pengelolaan gaya hidup sehat yang dilakukan individu, menjadikan individu berumur
panjang, sehat dan awet muda. Selain menjaga individu tetap sehat selama hidup, manajemen
diri juga membuat individu lebih produktif (Bandura, 2005; Bandura, dalam Bandura 2001).
Manajemen diri yang baik juga menghalangi timbulnya penyakit lain yang menjadi faktor risiko
dan meningkatkan kualitas hidup (Barley & Lawson, 2016). Dengan demikian, pasien diabetes
dapat hidup seperti individu yang sehat, berumur panjang, dan produktif melalui manajemen diri
yang baik (Sutedjo, 2010).

Sebaliknya, manajemen diri buruk pada pasien diabetes dapat mengakibatkan komplikasi
yang terjadi karena tidak terkendalinya kadar gula dalam darah dalam rentang waktu tertentu
(Sutedjo, 2010). Krisnatuti, Yenrina, dan Rasjmida (2014) menyebutkan bahwa komplikasi
diabetes meliputi jangka pendek dan jangka panjang. Komplikasi jangka pendek memerlukan
pertolongan yang cepat, misalnya koma ketoadiasis diabetika, koma hiperglikemia, koma
hipoglikemia, infeksi, dan gangguan pencernaan. Komplikasi jangka panjang terjadi 5 hingga 10
tahun atau lebih yaitu komplikasi mikrovaskular dan komplikasi makrovaskuler.

Berdasarkan paragraf di atas, maka dapat disimpulkan bahwa manajemen diri pada pasien
diabetes adalah kemampuan pasien diabetes untuk mengelola gaya hidup sehat sesuai tuntutan
dari menyandang diabetes agar tidak mengalami komplikasi, meningkatkan kualitas hidup, dan
menghindarkan dari gangguan psikologis.

1. Diet
Mengonsumsi makanan menyebabkan kadar gula dalam darah meningkat. Diet
diabetes bertujuan untuk mempertahankan kadar gula dalam darah berada dalam
keadaan normal dan pasien diabetes tetap memperoleh nutrisi yang optimal (Putri &
Isfandiari, 2013). Diet pada pasien diabetes berupa mengatur pengonsumsian gula dan
karbohidrat (Taylor, 2015). Pasien diabetes juga terlebih dahulu mencermati jumlah
protein dan lemak dalam makanan yang dikonsumsi (Lanywati, 2001). Pasien
diabetes mengagendakan pengonsumsian makanan dengan mempertimbangkan
makanan dan camilan yang diperbolehkan untuk dikonsumsi (Brannon dkk., 2014).
Pasien diabetes juga perlu memerhatikan jumlah makanan, jadwal makanan, dan jenis
makanan yang dikonsumsi (Lanywati, 2001). Pasien diabetes terlebih dahulu
mendiskusikan dengan ahli gizi dalam melakukan diet untuk mengelola diabetes
(Cahyono, 2008).
2. Pengobatan
Pengobatan diabetes bertujuan untuk menjaga keseimbangan kadar gula dalam
darah yang diberikan melalui dua cara, yaitu suntikan insulin atau tablet yang
diminum. Dosis dan aturan obat pada pasien diabetes diresepkan oleh dokter
(Cahyono, 2008). Pengobatan didasarkan pada kondisi kadar gula dalam darah pasien
diabetes agar mendekati normal yaitu sebelum makan berada dalam rentang 90-130
mg/dl dan 2 jam setelah makan kurang dari 180 mg/dl (American Diabetes
Association, 2005).
Terapi insulin digunakan sebagai terapi farmakologi yang paling efektif
(Mamahit, 2018). Sebagian besar penderita DM memulai usaha terapi secara antusias,
namun pada tahun-tahun selanjutnya antusiasme tersebut menjadi luntur dan mereka
mungkin tidak menyadari kontrol mereka sudah tidak sebaik sebelumnya (Safitri,
2013). Untuk itulah pentingnya perilaku patuh guna menurunkan resiko
berkembangnya masalah kesehatan atau memperburuk penyakit yang sedang diderita
(Safitri, 2013). Health locus of control (HLoC) sebagai seperangkat keyakinan
seseorang mengenai apa yang baik dan buruk yang memiliki pengaruh terhadap status
kesehatannya, dibedakan menjadi dua kategori, yaitu internal health locus of control
(IHLC)dan eksternal health locus of control (EHLC) (Safitri, 2013). Seseorang yang
memiliki HLoC yang tinggi akan memiliki dorongan menjadi lebih baik dalam
mengambil keputusan untuk meningkatkan kualitas status kesehatannya (Sujadi &
Setioningsih, 2018).
Penderita DM yang menjalani terapi insulin, mutlak harus patuh pada penggunaan
terapi dengan mengingat tujuan pelaksanaan terapi untuk mengontrol kadar gula
dalam darah mendekati rentang normal (Alfian, 2016). Health locus of control
merupakan suatu keyakinan yang dimiliki oleh individu bahwa status kesehatannya
dapat dikontrol, baik oleh diri sendiri (internal) maupun oleh orang lain dan nasib
atau takdir (eksternal) (Nuraini, 2013). Beberapa variabel yang terbukti dapat
mempengaruhi pembentukan HLoC secara umum seperti faktor sosial, faktor budaya,
kondisi demografis, dan kondisi psikologis (Nuraini, 2013). Individu dengan internal
HLoC yakin bahwa kondisi kesehatan mereka baik sehat ataupun sakit dapat
dikendalikan oleh diri mereka sendiri akibat dari perilaku mereka sendiri (Wijayanti,
2018). Mereka akan cenderung belajar dari pengalaman hidup yang pernah dialami,
ketika merasakan adanya keluhan atas kondisi kesehatan mereka yang belum
dipahami, mereka berupaya untuk mencari tahu, mencoba menganalisis hal-hal yang
terjadi sebelumnya dan berdisukusi untuk mengupayakan hal terbaik yang dapat
dilakukan untuk mengusahakan status kesehatannya (Wijayanti, 2018).
3. Aktivitas fisik
Aktivitas fisik merupakan gerakan tubuh secara terus-menerus melalui kontraksi otot
rangka yang menghasilkan peningkatan pengeluaran energi (Hamasaki, 2016).
Aktivitas fisik pasien diabetes bertujuan menjaga dari gula darah tinggi dan kelebihan
lemak dalam tubuh serta mencegah komplikasi pada kardiovaskular (Thomas, Elliot,
& Naughton, 2006). Pasien diabetes terlebih dahulu mengkonsultasikan dengan
dokter untuk menentukan jenis olahraga dan durasi yang tidak membahayakan tubuh
(Cahyono, 2008). Aktivitas fisik umum yang dapat dilakukan pasien diabetes adalah
berjalan (Hamasaki, 2016). Pasien diabetes dianjurkan berjalan kaki selama 30-40
menit setiap hari, bersepeda 30 menit di waktu luang dan menggunakan tangga
daripada lift atau eskalator (Hamasaki, 2016).
4. Pemantauan kadar glukosa dalam darah
Pemantauan kadar glukosa dalam darah bertujuan agar pasien diabetes mengetahui
kondisi glukosa dalam darah yang dicapai sesuai atau tidaknya dengan target
(American Diabetes Association, 2018). Pasien diabetes dapat memantau kadar gula
dalam darah melalui beberapa alat, seperti test strips, blood glucose meters,
continuous glucose monitors, dan ketone test (American Diabetes Association, 2011).
Pemantauan kadar glukosa dalam darah dapat menjadi panduan pasien diabetes untuk
meninjau makanan yang dikonsumsi (American Diabetes Association, 2011). Selain
itu, memantau kadar glukosa dalam darah merupakan cara umum untuk menilai hasil
pengelolaan kadar glukosa dalam darah (Schmitt dkk., 2016). Durasi pemantauan
kadar glukosa dalam darah menyesuaikan pengobatan yang diberikan dokter pada
pasien diabetes (American Diabetes Association, 2011).
5. Kontrol ke dokter
Pasien diabetes wajib melakukan kontrol rutin ke dokter maupun praktisi kesehatan
demi terkendalinya kondisi diabetes pasien (Fox & Kilvert, 2010). Pasien diabetes
kontrol secara teratur ke dokter untuk memperoleh gambaran diabetes yang
disandangnya, seperti kondisi glukosa dalam darah dan gambaran komplikasi yang
sudah terjadi atau yang dapat timbul serta upaya pengendaliannya (Tandra, 2008).

Individu dengan kecenderungan internal HLoC lebih mungkin untuk berpartisipasi dalam
berbagai upaya pemeliharaan kesehatan meskipun terdapat perbedaan lintas budaya (Haskas,
2018). Individu dengan internal HLoC seringkali dikaitkan dengan status kesehatan yang baik
karena mereka cenderung aktif dalam mengambil tindakan untuk mengusahakan status
kesehatannya (Adnyani, 2012 dalam Wijayati, 2018). Individu dengan eksternal HLoC akan
memiliki perilaku yang berbanding terbalik dengan invidu yang memiliki internal HLoC.
Individu dengan eksternal HLoC akan cenderung lebih pasif, kurang memiliki inisiatif, kurang
dalam hal mencari informasi dalam mengusahakan status kesehatannya karena mereka meyakini
bahwa faktor dari luarlah yang dapat mempengaruhi status kesehatannya seperti keterlibatan
orang lain (keluarga dan petugas kesehatan), bahkan hal nasib, ketidakberuntungan dan takdir
(Adnyani, 2015).

Berdasarkan hal-hal tersebut kita dapat meningkatkan kemauan untuk segera sembuh dari
penyakit diabetes. Karena dengan adanya kemauan dan juga keyakinan pasti seseorang akan
pulih dengan sendirinya dan juga meningkatkan kesehatan mentalnya. Selain itu juga terdapat
hal-hal yang memengaruhi manajemen diri seorang penyadap diabetes melitus, yaitu individu,
sosial dan lingkungan. Hal tersebut tentunya sangat berpengaruh terhadap kesehatan mental
seseorang maka dari itu perlu dijaga agar tetap stabil dan tetap pada keyakinan untuk dapat
sembuh. Sehingga strategi yang kami ambil adalah meningkatkan kemauan dan keyakinan diri
dengan terus memberikan sisi positif.

4.2 Prosedur

Gejala yang biasanya ada pada orang yang terkena diabetes melitus ini diantaranya adalah sering
buang air kecil, memiliki rasa haus yang berlebihan, dan lapar yang berlebihan. Berikut prosedur
untuk penanganan yang harus dilakukan kepada seorang pasien diabetes melitus:

1. Melakukan Terapi Non Farmakologis


a. Perubahan Gaya Hidup, hal pertama yang harus dilakukan adalah dengan
melakukan perubahan pada gaya hidup, caranya dengan berolahraga dengan
teratur karena resistensi insulin pada tubuh bisa pada pasien Diabetes bisa diatasi
dengan olahraga rutin. Di tahap awal, olahraga ini bisa dibantu dengan tambahan
terapi farmakologis.
b. Diet, kebanyakan pasien Diabetes Melitus dengan tipe 2 adalah pasien obesitas
atau pasien dengan berat badan berlebih. Maka terapi berikutnya yang dilakukan
adalah konsultasi pada ahli gizi, dengan target seperti berikut menurunkan berat
badan dalam waktu 1 tahun, menurunkan kadar gula darah, menurunkan kadar
kolesterol dan lain sebagainya.
2. Medikamentosa
a. Metformin, obat antidiabetes yang satu ini termasuk jenis obat oral golongan
biguanid, yang biasanya akan digunakan sebagai jenis terapi lini yang paling
pertama untuk penderita Diabetes Melitus. Di tahap awal pemberian obat ini yaitu
dengan dosis 500 mg setiap 2 x sehari. Dosis maksimalnya yaitu 2550 mg setiap
harinya. Pemakaian metformin ini juga bisa dikombinasikan dengan jenis obat
lainnya dan insulin.
b. Sulfonilurea, obat yang satu ini juga biasa diberikan pada penderita Diabetes
Melitus dengan tipe 2, yang dikonsumsi 1 kali setiap hari serta bisa
dikombinasikan dengan jenis obat antidiabetes lainnya atau dengan insulin.
c. Obat Antidiabetes Lainnya, pada umumnya obat antidiabetes yang diberikan pada
pasien Diabetes Melitus adalah obat golongan sulfonilurea yaitu Derivat
meglitinide seperti repaglinide dan nateglinide. Fungsi dari obat ini adalah
menurunkan kadar gula darah, dan mampu menghambat progresi pada penyakit
Diabetes tersebut. Namun efek samping dari pemakaian obat ini adalah
meningkatnya berat badan dan edema, apalagi jika dikombinasikan dengan obat
insulin.
d. Insulin, pemberian insulin pada penderita Diabetes Melitus tipe 2 harus secara
individual saja.

Menjaga kesehatan, rajin olahraga dan juga menjaga pola makan harus selalu dilakukan
oleh pasien Diabetes Melitus tipe 2. Jika Anda sudah memiliki tanda atau gejala diabetes jenis
ini, ada baiknya jika langsung melakukan konsultasi dengan ahli kesehatan yaitu dokter. Dengan
begitu penanganan pertama terhadap diabetes ini bisa didapatkan sesegera mungkin.

4.3 Durasi

Kegiatan ini dilaksanakan dengan durasi selama 4 bulan.

4.4 Alat dan Bahan

1. Relaksasi Otogenik, kami menggunakan alat pengumpul data lembaran instrument


pengkajian yang dirancang sendiri oleh peneliti mengacu pada teori yang ada (Wilson,
2006). Instrument penelitian tersebut berupa buku panduan petunjuk teknis pelaksanaan
relaksasi otogenik, lembar observasi relaksasi otogenik, format data responden.serta
perawat terlatih untuk memandu relaksasi otogenik.. Dalam penelitian ini kami
menggunakan instrumen untuk metode observasi pelaksanaan relaksasi otogenik. Kami
memberi tanda pada item-item format observasi setelah peneliti melakukan relaksasi
otogenik pada responden dan melakukan wawancara untuk mengkaji data-data yang
berhubungan dengan karakteristik penderita. Tanda tersebut berupa Check list (√) pada
tempat yang telah tersedia.
2. Kadar Gula darah, kami menggunakan alat ukur kadar gula darah glukometer yang telah
terkalibrasi internasional secara mandiri Easy Touch GU dengan merk Acrilyc, prosedur
tetap pelaksanaan pengukuran kadar gula darah serta lembar observasi pemeriksaan gula
darah.

4.5 Persiapan

1. Persiapan instrument, pada tahap ini peneliti menyiapkan instrument untuk pengumpulan
data berupa buku panduan, kuesioner karakteristik responden, lembar observasi gula
darah, lembar observasi pelaksanaan relaksasi otogenik, peralatan glukometer.
2. Persiapan administrasi, pada tahap ini peneliti mengurus perizinan tempat penelitian
dengan mengajukan surat permohonan izin penelitian dari pimpinan fakultas kepada
puskesmas sasaran.

4.6 Lokasi

Puskesmas merupakan bentuk pelayanan dan fasilitas kesehatan yang penting dan
terjangkau bagi seluruh kalangan masyarakat, khususnya bagi masyarakat ekonomi menengah ke
bawah. Faktor biaya periksa dan obat yang lebih murah, serta lokasinya yang mudah dijangkau
(berada di tiap kelurahan ataupun kecamatan) merupakan alasan utama masyarakat memilih
Puskesmas sebagai tempat untuk berobat (Radito, 2014)

4.7 Metode Evaluasi

1. Analisa Univariat, analisa univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan


karakteristik setiap variabel penelitian. Bentuk analisa univariat tergantung dari jenis data
nya.Pada umumnya dalam analisa ini hanya menghasilkan distribusi frekuensi dan
persentase dari tiap variabel. Misalnya distribusi frekuensi responden berdasarkan
umur,jenis kelamin, pekerjaan dan sebagainya (Notoatmojo 2012). Analisa univariat
dilakukan untuk melihat distribusi karakteristik responden.
2. Analisis bivariat, analisa bivariat digunakan untuk menilai hubungan antara variabel
independen (relaksasi otogenik) dengan variabel dependen (penurunan kadar gula darah)
pada penderita DM tipe 2 yaitu dengan menggunakan uji T dependent. Dengan cara
membandingkan variabel kategorik dengan variabel numerik untuk mengetahui pengaruh
kedua variabel. Batas derajat kemaknaan 95% (p< 0,05). Apabila dari uji statistik di
dapatkan standar deviasi kurang dari 0,05, maka dapat disimpulkan ada pengaruh yang
signifikan antara variabel independen dengan responden.

Anda mungkin juga menyukai