Anda di halaman 1dari 2

Kontekstualisasi Pendidikan

Antropologi Di Indonesia

Di era globalisasi ini, pendidikan di Indonesia berada pada kondisi yang bertentangan jauh
dengan nilai-nilai dan unsur kebudayaan yang ada di dalam masyarakat saat ini. Pendidikan
seharusnya membekali manusia tersebut dengan pengetahuan yang positif dan berguna bagi
keberlangsungan hidupnya baik secara praktis maupun substantif. Namun, disisi lain terdapat
berbagai macam kendala dalam dunia pendidikan akibat pengaruh dari kepentingan-
kepentingan ekonomi, sosial, politik dan lain-lain yang selalu mengalami perubahan dari
masa ke masa. Maka dari itu pendidikan antropologi di Indonesia sangat
dibutuhkan guna mengarahkan program pendidikan ke arah yang lebih baik. Pendidikan
antropologi di Indonesia sebagai upaya dalam hal menanamkan rasa nasionalisme kenegaraan
terhadap para peserta didik untuk menghadapi perubahan dari dampak krisis akulturasi
budaya dalam lingkungan masyarakat(Laksono, 2013).

Pada dasarnya pendidikan antropologi mengarahkan manusia pada usaha-usaha


pengembangan ke arah sasaran-sasaran yang lebih substansial dikarenakan adanya konflik-
konflik internal dalam dunia pendidikan yang saat ini berjalan tidak seimbang. Kepentingan
sementara untuk melayani pasar, kekuasaan dan globalisasi cenderung menunda, bahkan
mengabaikan perlunya pendidikan antropologi untuk membimbing manusia berkembang ke
arah hidup yang lebih bermartabat secara utuh. Dalam praktek pendidikan saat ini,
pendidikan belum mampu berwawasan kemanusiaan, belum mengarah pada keutuhan
antropologi peserta didik (Bernas, 21 Februari 1997: 2).
pemaksaan pendidikan terjadi bukan hanya lewat kurikulum tetapi juga dalam kehidupan
keluarga, sehingga lahir gejala kekerasan yang juga meluas.Peserta didik diarahkan dan
diberi kesempatan untuk mengembangkan daya apresiasi, empatik dan pengetahuannya
dengan berbagai hal yang dipelajari dari pengalaman hidupnya, dengan cara awal yaitu
melakukan pendekatan partisipatoris kepada peserta didik agar dapat menjangkau
pengetahuannya dan identitasnya yang sedang mengalami perubahan, sehingga mendapatkan
hasil yang lebih baik bersifat apresiatif yaitu penemuan eksistensi manusia itu sendiri.

Dengan demikian pendidikan itu arahnya tidak hanya pada ilmu pengetahuan dan teknologi
saja, tetapi juga pada usaha pemahaman atas diri sendiri dalam konteks historisnya.
Secara praktis Sastrapratedja menyarankan tiga hal.
1. Pengetahuan manusia itu bersifat historis, maka sikap dogmatis bertentangan dengan
sikap historis manusia itu.
2. perlu tekanan dalam pendidikan pada “proses” bukan hanya dalam “produk”.
3. perlunya menghidupkan kesadaran historis dengan membiasakan peserta didik
melihat “akar-akar” sejarah dari masalah-masalah masa kini yang kita hadapi (Bernas,
21 Februari 1997: 2.).”
Pendidikan seperti inilah yang berwawasan kemanusian, jadi juga berwawasan antropologi.

Dari beberapa kajian dipaparkan bahwa kontekstualisasi pendidikan antropologi di Indonesia


menjadi upaya serius yang harus diintegrasikan dalam rumusan kurikulum pembelajaran.
Sementara itu, falsafah antropologi dalam pengembangan kurikulum pendidikan hendaknya
memberikan muatan bagi peserta didik sebagai individu religius, unik dan bernilai,
melakukan perbuatan-perbuatan yang positif, memiliki rasa solidaritas dan pengabdian
kepada masyarakat (Karnawati & Widodo, 2019). Dengan demikian, landasan antropologi
diupayakan agar terkoneksi dalam konstruksi kurikulum agar dapat mendukung peserta didik
dalam pembentukan karakter dan pemahaman multikulturalisme dalam proses pembelajaran,
sehingga menciptakan output peserta didik yang memiliki integritas dalam pembangunan
bangsa Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai