PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
45, Johnson, 1969 : 262-364). Proses pendidikan tidak bisa dilepaskan dari
budaya itu sendiri (Brameld, 1950 : 12). Demikian juga pendidikan berperan
inovasi serta penyebaran kebudayaan seluas mungkin. Fungsi ini menjadi faktor
didik kesiapan dan kesadaran tentang dunia yang mereka huni. Konsep saling
keterampilan yang perlu dikembangkan oleh sekolah dalam memasuki era global
1
khususnya generasi muda sebagai tulang punggung. Generasi muda selayaknya
warga negara dengan wawasan dan sikap yang benar terhadap pembangunan.
Pendidikan juga perlu menciptakan kondisi yang kondusif agar nation and
character building betul-betul tercapai. Untuk menuju arah ini dalam konsep
akan membentuk citra diri yang berkarakter, sumber daya manusia berkualitas,
serta mempunyai pandangan yang luas dalam berbagai ilmu dan teknologi
bangsa yang cerdas sehingga mampu sejajar dan berkembang dengan bangsa-
Pada abad ke-21 kita berhadapan dengan era pasca industri yaitu abad
informasi dan pengetahuan (Trilling & Hood : 1999). Era informasi dan
terutama dalam lapangan kehidupan dan berimbas pada sikap dunia pendidikan
menjawab tantangan ini. Menurut Ani (2003) perkembangan ini berdampak pada
2
perubahan peran orang tua/guru/dosen, serta perubahan pola hubungan antar
mereka.
Fungsi dan peran sekolah di abad pengetahuan tentunya harus lebih dari
sekolah sebagai lembaga formal dalam sistem pendidikan harus menjadi “agent
of change” dan dapat menggerakkan aturan sosial baru menuju masyarakat yang
Pendidikan juga menurut Suryadi (2000) tidak hanya sebagai sektor pelayanan
publik tetapi menuju perspektif pendidikan sebagai suatu investasi produktif yang
dalam lingkungan kehidupan, dan bahkan pendidikan menjadi faktor yang dapat
memiliki posisi yang sangat penting untuk menangkis setiap persoalan yang
muncul akibat percepatan ini. Jika penulis mencermati posisi pendidikan sejarah
sejarah berada pada posisi dan peran yang strategis. Peran tersebut akan
3
karakter dan mampu membentuk siswa menjadi manusia yang peduli pada
masa depan (Ismaun, 2001 : 97). Menurut Rochiati (2002 : 296), konsekuensi
dari tuntutan tersebut cara-cara belajar sejarah pun perlu didesain sedemikian
generasi muda kita menjadi warga negara yang baik. Dalam pengertian tertentu,
pendidikan sejarah telah kehilangan “jati dirinya” dan hanya sebagai pelengkap
berbagai kritik yang menggugat bahwa studi sejarah tidak cukup tangguh
4
berharga yang terjadi pada masa lampau . Kondisi ini terjadi karena beberapa
alasan. Menurut Hasan (1996 : 129-131) selama ini pendidikan sejarah sebagai
masyarakat, dan sebagai bagian dari komunitas sosial dunia, tidak akan cukup
hakekat peristiwa sejarah sebagai masa yang tidak berdiri sendiri. Kesadaran dan
keberlangsungan, dan kausalitas semata, tetapi bagaimana agar ketiga hal yang
esensial dalam sejarah tersebut menyadarkan siswa sebagai pribadi yang hidup
yang mampu berpikir kritis, analisis, dan memiliki kepekaan sosial, sikap mandiri
didik adalah adanya kultur yang tidak memberi peluang bagi siswa untuk
5
berkreasi dan berapresiasi. Menurut Wiriaatmadja (2002 : 158) selama ini
“budaya diam” dan dominasi guru dalam kelas menyebabkan siswa tidak terlatih
belajar yang terpusat pada guru diperparah oleh luasnya cakupan materi belajar,
tumpang tindihnya bahan dengan pengajaran lain yang sejenis, dan ketersediaan
sejarah yang dipelajari adalah materi yang sudah jadi. Informasi tentang fakta-
fakta sejarah dan interpretasinya bukanlah merupakan hasil dari aktivitas siswa
pada masa lalu untuk kepentingan masa sekarang dan nanti. Menurut Mansilla
(2000, 390-393) hubungan antara masa lalu dengan peristiwa sekarang dalam
sebagai sejarah yang dipelajari oleh siswa dengan persoalan masa kini
waktu yang linier dan berkelanjutan antara masa lalu, sekarang, dan yang akan
6
belajar berpikir kritis terhadap persoalan-persoalan yang muncul dalam
yang aktif dan kritis serta mampu memanfaatkan hakekat dan konsep sejarah
belajar.
siswa sebagai subyek dan pelaku belajar. Sedangkan guru berperan sebagai
7
yang bertanggungjawab berbasis pengalaman. Belajar adalah sesuatu yang
yang timbul karenanya . Pada hakekatnya belajar adalah memberi kondisi pada
menyediakan peluang dan kondisi untuk belajar dan berekspresi, agar siswa
mampu melakukan hal itu. Ketiga, dengan teori ini, maka pembelajaran akan
Kelas adalah masyarakat kecil yang mempersiapkan siswa menjadi individu yang
(Emand & Fraser : 2000). Dalam karyanya yang terkenal “Democracy and
memberi arti yang besar pada pengalaman karena pengalaman dianggap penting
8
lalu dan masa datang (Iman, 2004 : 66). Demikian juga siswa akan
dibutuhkan anak dan masyarakat. Belajar adalah pengalaman tentang hidup dan
masyarakat.
komunitas sosial yang lebih besar, yaitu masyarakat (Eakin : 2000). Karenanya
berbagai solusi, dan belajar dari setiap usaha untuk memperbaiki lingkungan.
Sebagai manusia, siswa adalah bagian dari masyarakat, dan keduanya saling
Salah satu pendekatan belajar yang digunakan oleh Dewey dalam rangka
Problem solving learning (Dewey : 1933). Pendekatan belajar ini berasal dari
konsep metode ilmiah yang kemudian diterapkan untuk tujuan belajar. Dewey
1933). Dalam metode ini, siswa pertama-tama mengenal masalah, dan kemudian
9
Setelah itu siswa melakukan investigasi. Melalui refleksi dan eksperimen,
analitis dan kritis. Metode belajar tersebut melatih siswa bersikap aktif untuk
kecenderungan era teknologi informasi. Saat ini ledakan informasi yang begitu
besar dan cepat menuntut kita terampil dan kritis memilih informasi mana yang
Dari aspek pembelajaran dan asessmen, model problem solving adalah alternatif
merupakan keterampilan utama yang harus dimiliki peserta didik ketika mereka
10
meninggalkan kelas untuk memasuki dan melakukan aktivitas dunia nyata, baik
mulai digunakan sebagai salah satu pilihan model belajar sejarah berdasarkan
aplikasi teori belajar modern (Osborne : 1989). Kesadaran akan perlunya inovasi
kelas. Para pendidik dan sejarawan disudutkan pada posisi pendidikan sejarah
sebagai cabang dari humaniora dan kurangnya sejarah dari aktivitas intelektual.
lainnya, yaitu matematika atau ilmu alam. Seperti yang diungkapkan oleh Martin
(1917 : 225) :
The Student’s task is not merely to know the facts, but understand
them. The study of a series of historical problems throughout a period –
the writing of essay upon them based upon as wide a range of evidence
as posibble – was designed to bring to history the methods long since
taken for granted in scientific subjects. Books are the apparatus; varying
or conflicting views are the reagents; the experiment supplied not by the
awkward manipulation of the students but from the recorded experience
of the past.
sejarah dan pengalaman belajar sejarah siswa. Dewey memberikan solusi untuk
menciptakan pembelajaran sejarah yang aktif dan bermakna dengan cara “doing
it”. Implementasinya dalam kelas sejarah adalah bahwa “new teaching history”
11
harus mampu merubah pembelajaran yang bersifat pasif dan hapalan ke arah
Melalui cara inilah diharapkan studi sejarah merupakan sebuah proses belajar
maka setiap masalah akan menuntun siswa untuk “berpikir, menghayati, dan
kemudian melakukan”. Inilah prinsip dasar yang ingin dinyatakan oleh John
Dewey bahwa belajar adalah ketika siswa melakukan sesuatu, maka belajar
sejarah adalah ketika siswa “doing history”. Siswa mengubah kelas seperti
layaknya museum sejarah atau laboratorium sejarah yang dipenuhi oleh karya
baik masalah pribadi maupun masalah sosial. Mereka juga belajar menyadari
kepercayaan kepada siswa untuk memilih dua hal : bersikap pasif dan apatis
terhadap isu-isu sosial yang berpengaruh terhadap dirinya atau terlibat aktif
12
1998). Jika siswa mempunyai pengalaman belajar untuk terampil menyelesaikan
masalah, maka dia dapat belajar mengendalikan hidupnya, mampu tegar dalam
solving ini siswa tidak hanya terampil mencari solusi, tetapi mereka juga belajar
lebih penting yang dapat kita berikan kepada mereka selain kesuksesan,
teori belajar learning by doing ini akan terlihat dalam kegiatan aktivitas belajar-
kualitas belajar siswa. Permasalahan yang ingin dikaji dalam penelitian ini adalah
penelitian yaitu :
13
1. Bagaimana penerapan “learning by doing” dalam perencanaan belajar sejarah
C. Klarifikasi Konsep
tersebut.
a. “Learning By Doing”
anggapan dasar tentang hakekat dan peran anak dalam pendidikan dan
14
bagaimana sebuah proses pendidikan memberikan tempat terhadap hakekat dan
peran tersebut.
sebuah teori belajar dengan menempatkan anak didik sebagai “socially active
human being”. Dewey percaya bahwa anak didik kita memiliki keinginan untuk
menurut Dewey haruslah melibatkan kemampuan akal dan mental siswa dan
sesuatu ketika dia belajar. Artinya dikatakan belajar jika dia secara langsung
terlibat ke dalam apa yang dia pelajari. Belajar artinya mengalami sesuatu. Anak
layaknya sebuah sistem masyarakat yang berhubungan. Dengan cara seperti ini
Salah satu proses belajar yang akan membawa siswa secara langsung
15
sekaligus juga metode mengajar dan belajar yang dianjurkan (Dewey, 1916 : 89-
sebagai masalah yang ingin dijawab siswa. Siswa dihadapkan pada persoalan-
16
pembelajaran dengan menggunakan langkah-langkah desain pemecahan
masalah. Secara garis besar proses belajar berlangsung mulai dari mengenal
solusi, dan evaluasi (pembuatan keputusan) ( diadaptasi dari Beyer, 1987 : 27).
peningkatan kualitas belajar siswa dalam pembelajaran sejarah. Teori belajar ini
Indonesia.
berdasar pada teori “learning by doing” melalui pendekatan problem solving. (3)
sejarah dengan peningkatan kinerja guru dalam kegiatan belajar mengajar (5)
Manfaat umum dari penelitian ini terdiri dari dua bagian, yaitu teoritis dan
17
pengembangan teori pendidikan khususnya teori belajar di Indonesia, sehingga
kajian akademis ini merupakan bagian dari rujukan. Pada tataran praktis,
penelitian ini bisa digunakan khususnya oleh guru, dinas pendidikan, dan
sejarah yang dapat membantu ke arah proses belajar yang berdaya guna dan
tepat guna untuk mengarahkan sekolah sebagai agen perubah sesuai visi misi
pendidikan kontemporer.
problem solving.
2. Menjadi bahan acuan dan model bagi guru yang ingin menerapkan teori
3. Menjadi bahan pertimbangan dan masukan bagi kepala sekolah dan pejabat
lanjutan.
18