Anda di halaman 1dari 10

PERAN ANTROPOLOGI PENDIDIKAN

DALAM MENGEMBANGKAN KURIKULUM


UNTUK MENGHASILKAN PENDIDIKAN YANG BERMUTU

Oleh:
R. Sugara

A. Pendahuluan

Indonesia terdiri dari ribuan pulau yang dirangkai oleh selat, dan keadaan

geogafisnya tidak merata. Faktor geografis suatu daerah sangat berpengaruh pada

jaringan komunikasi dan transportasi antar daerah maupun pulau. Khususnya di daerah

yang dikelilingi hutan belantara dan pegunungan yang tinggi, yang akan menghambat

proses informasi, sehingga akan berpengaruh pada pengetahuan penduduk di sekitar.

Selain faktor geografisnya, di masing-masing daerah memiliki berbagai macam suku

bangsa, adat istiadat, sistem nilai, budaya yang berbeda. Keragaman budaya tersebut telah

memberikan pengaruh terhadap hubungan sosial masyarakat, sistem pendidikan, mata

pencaharian, dan pola berfikir manusia.

Dengan berbagai macam suku bangsa dan kebudayaan secara alamiah, dari dulu

telah berlangsung upaya pendidikan sebagai proses transmisi dan transformasi

kebudayaan. Untuk itu, pendidikan di masing-masing daerah berbeda dan disesuaikan

dengan budaya daerah tersebut. Proses pendidikan bangsa telah ada sebelum kedatangan

penjajah dan memiliki antropologis yang kuat.

Kurikulum yang sudah diterapkan pada masing-masing daerah berdampak pada 

perkembangan pengetahuan yang berbeda dan mempengaruhi kemajuan masyarakat. Hal

ini tentunya berbeda dengan masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan dengan daerah

pedesaan. Masyarakat perkotaan, memberikan pendidikan anaknya mulai tingkat dasar

sampai perguruan tinggi (Nasution, 2004).

1
Berbeda dengan daerah pedesaan, melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi

merupakan permasalahan. Hal ini dikarenakan tingkat ekonomi penduduk yang masih

minim, kesadaran orang tua akan pendidikan masih kurang, akses lembaga pendidikan

terbatas, dan angka migrasi tinggi. Hal ini menyebabkan angka anak drop out dari

keluarga kurang mampu tersebut tinggi. (Nasution, 2004).

Melihat permasalahan tersebut, maka peranan pendidikan sangat penting

khususnya penyusunan kurikulum oleh satuan pendidikan yang disesuaikan dengan

kondisi dan kebutuhan peserta didik. Salah satu kurikulum berbasis budaya lokal telah

memberikan sumbangan untuk lebih mengenal potensi budaya di masing-masing daerah,

sehingga peserta didik dapat mengenal potensi budayanya sendiri, dapat mengembangkan

potensi budaya, serta dapat bermanfaat bagi kelangsungan hidupnya (berwirausaha).

(Nasution, 2004).

Adapun hal-hal yang harus diperhatikan dalam implikasi antropologi, adalah

sebagai berikut : (Koentjaraningrat, 1990).

1. Identifikasi kebutuhan belajar masyarakat

Identifikasi kebutuhan masayarakat ini bersumber dari informasi masyarakat sekitar.

Hal ini bertujuan untuk memperoleh informasi dan data yang dijadikan bahan

pengembangan kurikulum.

2. Keterlibatan partisipasi masyarakat

Setelah mengidentifikasi kebutuhan belajar, maka masyarakat ikut serta dalam

merancang kurikulum, menyediakan sarana dan prasarana, menentukan narasumber

sebagai fasilitator, dan ikut menilai hasil belajar.

3. Pemberian pendidikan kecakapan hidup

Ini merupakan pendidikan dalam bentuk pemberian keterampilan dan kemampuan

dasar pendukung fungsional, membaca, menulis, berhitung, memecahkan masalah,

2
mengelola sumber daya, bekerja dalam kelompok, dan menggunakan teknologi.

(Koentjaraningrat, 1990).

B. Pembahasan

1. Pengertian Pendidikan, Antropologi Pendidikan dan Kurikulum

a. Pendidikan

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar

dan proses pembelajaran atau pelatihan agar peserta didik secara aktif dapat

mengembangkan potensi dirinya supaya memiliki kekuatan spiritual keagamaan,

emosional, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta

keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.

b. Antropologi Pendidikan

Antropologi adalah studi ilmiah manusia dan banyak budaya yang berbeda-beda.

Antropologi pendidikan adalah cara memeriksa sistem pendidikan dari sudut

pandang antropolog budaya.

c. Kurikulum

Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional sebagaimana dapat dilihat dalam

Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 menyatakan

bahwa: “Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan,

isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman

penyelenggaraan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu”

2. Pendidikan Bermutu dan Strategi Peningkatannya

Pendidikan bermutu adalah pendidikan yang dapat  mengembangkan

kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
3
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Serta mengembangkan potensi peserta didik

agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada tuhan yang maha esa,

berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara

yang demokratis serta bertanggung jawab. pendidikan yang mengandung tiga proses,

yaitu mendengarkan, memperhatikan, dan melakukan.

Misi guru dalam melaksanakan pendidikan berubah dari menciptakan

lulusan hanya untuk dunia industri menjadi lulusan yang siap untuk menghadapi

pekerjaan yang mengutamakan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Hal ini berarti

bahwa guru diharuskan mampu untuk mempersiapkan seluruh siswa agar memiliki

kemampuan berpikir yang meliputi kemampuan menemukan masalah, menemukan,

mengintegrasikan, dan mensintesis informasi, menciptakan solusi baru, dan

menciptakan kemampuan siswa dalam hal belajar mandiri dan bekerja dalam

kelompok.

Selama ini para peserta didik dalam belajar selalu disuapi dan diharuskan

untuk menghapal pelajaran tanpa diberi kesempatan untuk mengembangkan

kemampuan dalam dirinya. Keterpurukan pendidikan bangsa kita saat ini masih dapat

diperbaiki dengan berbagai macam cara yang tentunya harus ada dukungan positif

dari berbagai pihak. Baik itu dari pihak yang paling kecil sampai ke pihak yang lebih

besar, seperti keluarga, lingkungan sekitar sampai dukungan dari pemerintah.

Beberapa contoh peningkatan kualitas pendidikan diantaranya adalah:

a. Membangun Sinergi Antar Pelajaran (integrated-curriculum)

Proses penanaman nilai-nilai akhlak atau budi pekerti di sekolah dasar hingga

sekolah menengah akan berjalan efektif jika ada korelasitas (saling berhubungan),

koneksitas (saling menyapa) dan hubungan sinergis antara pendidikan agama

dengan mata pelajaran lainnya. Ini berarti nilai-nilai akhlak atau budi pekerti tidak

4
harus dibingkai dalam wadah pelajaran Pendidikan Agama maupun PPKn, namun

dapat juga diintegrasikan ke dalam mata pelajaran lain seperti Bahasa Indonesia,

kesenian, olah raga dan lain-lain dengan penekanan, ruang lingkup dan muatan

yang lebih mendalam. 

b. Mencengah Dampak Negatif

TV swasta sangat diharapkan akan memberikan pencerahan budaya sekaligus

pencerdasan melalui sajian informasi yang disampaikan secara tajam, objektif,

dan akurat. Namun tak dapat diingkari kehadiran beberapa TV swasta baru

semakin mempertajam tingkat kompetisi bisnis pertelevisian di Indonesia. Sebagai

konsekuensinya, para awak TV swasta yang ada, baik pemain lama atau baru

harus memutar otak untuk memilih strategi jitu dalam menggaet pemirsa.

Logikanya, jika mereka berhasil merebut simpati penonton secara luas maka

sejumlah iklan akan masuk.

3. Kurikulum dalam Budaya Masa Kini

Budaya sekolah memiliki bentuk-bentuk budaya tertentu dan salah satunya

adalah bentuk budaya guru yang menggambarkan tentang karakeristik pola-pola

hubungan guru di sekolah. Hargreaves (1992) telah mengidentifikasi lima bentuk

budaya guru, yaitu :

a. Individualism. Budaya dalam bentuk ini ditandai dengan adanya sebagian besar

guru bekerja secara sendiri-sendiri (soliter), mereka menjadi tersisolasi dalam

ruang kelasnya, dan hanya sedikit kolaborasi, sehingga kesempatan

pengembangan profesi melalui diskusi atau sharing dengan yang lain menjadi

sangat terbatas.

5
b. Balkanization. Bentuk budaya yang kedua ini ditandai dengan adanya sub-sub

kelompok secara terpisah yang cenderung saling bersaing dan lebih

mementingkan kelompoknya daripada mementingkan sekolah secara keseluruhan.

Misalnya, hadirnya kelompok guru senior dan guru junior atau kelompok-

kelompok guru berdasarkan mata pelajaran. Pada budaya ini, komunikasi jarang

terjadi dan kurang adanya kesinambungan dalam memantau perkembangan

perilaku siswa, bahkan cenderung mengabaikannya.

c. Contrived Collegiality. Bentuk budaya yang ketiga ini sudah terjadi kolaborasi

yang ditentukan oleh manajemen, misalnya menentukan prosedur perencanaan

bersama, konsultasi dan pengambilan keputusan, serta pandangan tentang hasil-

hasil yang diharapkan. Bentuk budaya ini sangat bermanfaat untuk masa-masa

awal dalam membangun hubungan kolaboratif para guru. Kendati demikian, pada

buaya ini belum bisa menjamin ketercapaian hasil, karena untuk membangun

budaya kolaboratif memang tidak bisa melalui paksaan.

d. Collaboration. Pada budaya inilah guru dapat memilih secara bebas dan saling

mendukung dengan didasari saling percaya dan keterbukaan. Dalam budaya

kolaboratif terdapat saling keterpaduan (intermixing) antara kehidupan pribadi

dengan tugas-tugas profesional, saling menghargai, dan adanya toleransi atas

perbedaan. Moving Mosaic. Pada model ini sekolah sudah menunjukkan

karakteristik seperti apa yang disampaikan oleh Senge (1990) tentang “learning

organisation”. Para guru sangat fleksibel dan adaptif, semua guru mengambil

peran, bekerja secara kolaboratif dan reflektif, serta memiliki komitmen untuk

melakukan perbaikan secara berkesinambungan.

4. Kurikulum untuk Suatu Kebudayaan yang Berubah

6
Kurikulum tidak dapat berubah terlalu banyak, karena perubahan yang

terlalu radikal akan melemahkan hubungan antara berbagai kelompok umur yang

dididik dengan mata kajian/mata pelajaran yang berbeda. Sekarang satu dari kekuatan

utama yang mendorong perubahan kebudayaan dan selanjutnya mendorong perubahan

kurikulum adalah sain dan penggunaannya dalam teknologi. Sekolah sekarang mesti

mendidik siswa-siswanya sehingga mereka dapat menyesuaikan diri terhadap

kejadian-kejadian di masa depan yang tidak dapat diramalkan yang pasti akan terjadi

dalam masa hidup meraka. Sebagaimana dikatakan Margaret Mead, ”Tidak

seorangpun akan menjalani semua kehidupannya di dunia seperti waktu ia dilahirkan,

dan tidak seorangpun akan mati di dunia seperti waktu ia bekerja ketika ia dewasa”.

a. Kurikulum Menurut Kaum Progresif

Usul golongan progresif ialah dengan menggunakan pendekatan sekolah

dasar yang lebih umum sampai ke tingkat lanjutan melalui penggunaan kurikulum

inti dalam pendidikan umum. Theodore Brameld, telah mengusulkan, bahwa

kurikulum harus difokuskan kepada hubungan-hubungan manusia dalam tiga

bidang budaya yaitu yang pertama famili, sex, dan hubungan orang demi orang.

Yang kedua, agama, kelas, kasta, dan kelompok-kelompok status, dan yang

ketiga, kawasan daerah, bangsa-bangsa dan sistem-sistem dan keseluruhan

kebudayaan. Jika sebuah program harus lebih terintegrasi daripada kurikulum

akademis tradisional, program tersebut harus memadukan elemen-elemen yang

beragam dalam bentuk konfigurasi yang luas dari kebudayaan.

b. Kurikulum Menurut Kaum Konservatif

Menurut kaum konservatif, menyelaraskan anak terhadap perubahan

dengan menggunakan sebuah fokus pada masalah-masalah masa kini mempunyai

7
kelemahan–kelemahan antara lain hal tersebut bersifat selektis, menguntungkan

kurikulum pada keadaan kebudayaan dan bukan para prinsip-prinsip bagi

menentukan apa yang berharga dipelajari dari kebudayaan. Akhirnya dengan

menjadikan sekolah sebagai ”sebuah forum bagi diskusi isu-isu masa kini”,

sekolah akan membuka dirinya bagi tekanan-tekanan kelompok-kelompok

kepentingan yang bersaingan.

Fungsi sekolah yang sebenarnya adalah untuk menolong orang muda

untuk sementara berdiri terpisah dari sebuah komplek masalah ketika ia

menganalisanya dan menyusun strategi untuk menghadapi berbagai elemen-

elemennya. Mereka membagi-bagi masalah hidup yang ada menjadi problem-

problem yang terpisah-pisah yang dapat diselesaikan oleh metode-metode khusus

yang tepat. Pengikut konservatif percaya bahwa pendidikan harus melalui tahap-

tahap yang berbeda.

5. Pengaruh Antropologi Pendidikan terhadap Pendidikan yang Bermutu

Mutu dan relevansi pendidikan memang masalah terbesar pendidikan

indonesia. Lamanya waktu belajar tidak serta merta akan membuat seseorang

memahami apa yang telah dipelajarinya. Manusia merupakan makhluk yang sangat

kreatif dalam segala hal dan memiliki pemikiran serta tingkah laku yang senantiasa

dilakukan dalam rangka mencapai tujuan yang diinginkannya. Oleh karena itu,

antropologi  manusia atau kebiasaan manusia yang baik akan sangat memberikan

pengaruh yang positif terhadap peningkatan mutu pendidikan di Indonesia khususnya.

8
C. KESIMPULAN

Tujuan pendidikan sejati tidaklah hanya mengisi ruang-ruang imajinasi dan

intelektual anak, mengasah kepekaan sosialnya, ataupun memperkenalkan mereka pada

aspek kecerdasan emosi, tapi lebih kepada mempersiapkan mereka untuk mengenal

Tuhan dan sesama untuk pencapaian yang lebih besar bagi kekekalan.

Berhasil tidaknya pelaksanaan kurikulum sangat bergantung pada guru, sebab di

tangan gurulah kompetensi minimal yang telah ditetapkan harus dijabarkan ke dalam

bentuk silabus dan bahan ajar. Kurikulum yang dilaksanakan di sekolah berpengaruh pada

intelegensi siswanya, jadi apabila kurikulum di suatu lembaga pendidikan sesuai dengan

keadaan siswa, lingkungan sekitar dan segala aspek yang terkait, maka minimal siswa-

siswanya akan menjadi lebih kritis dalam menghadapi suatu masalah dan pendidikan di

sekolah tersebut juga akan lebih bermutu.

Peran antropologi dalam mengembangkan kurikulum untuk menghasilkan

pendidikan yang bermutu seperti misalnya di dalam keluarga anak diajarkan atau

dijelaskan ketika ingin pergi hendaknya bersalaman atau izin terlebih dahulu dengan

orangtua, disini peran antropologi sudah terlihat dengan memberikan penjelasan tentang

kebiasaan yang positif kepada anak. Disekolah dalam pelajaran agama seorang guru

mengajarkan kepada siswanya tentang sopan santun terhadap orangtua salah satu

contohnya yaitu bersalaman dengan orangtua ketika ingin berangkat sekolah. Di

kehidupan sehari-hari anak sudah mulai terbiasa bersalaman dan meminta izin ketika ia

ingin pergi. Disini terlihat pendidikan yang bermutu yaitu mendengarkan,

memperhatikan, dan melakukan.  

9
DAFTAR PUSTAKA

Media Cetak:

Manan, Imran. 1989. Antropologi Pendidikan Suatu Pengantar. Jakarta: Depdikbud.

Zubaedi. 2005. Pendidikan Berbasis Masyarakat : Upaya Menawarkan Solusi


terhadap Berbagai Problem Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hasojo. 1984. Pengantar Antropologi. Bandung : Bina Cipta.

Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Rineka Cipta.

Nasution. 2004. Antropologi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara.

Media Omline

http://sabre0805.wordpress.com/2010/05/10/pentingnya-mempertahankan-nilai-nilai-

budaya-sendiri/

http://tentangkomputerkita.blogspot.com/2010/01/antropologi-pendidikan-dan-

kebudayaan.html

http://lzamzami.multiply.com/reviews/item/3

http://id.shvoong.com/social-sciences/anthropology/1644470-antropologi-dan-

konsep-kebudayaan/

http://www.anneahira.com/artikel-pendidikan/pengertian-pendidikan.htm

http://www.dikti.go.id/index.php?

option=com_content&task=view&id=231&Itemid=54

10

Anda mungkin juga menyukai