Anda di halaman 1dari 9

DIMENSI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

Tiara Oktaviasari1, Dina Lorenza2, Miftah Al-Hanin3, Hisyam Ali Mufti4

Univeraitas Wahid Hasyim Semarang

Abstrak

Multikulturalisme merupakan ideologi yang menekankan kesetaraan dalam


kehidupan perbedaan budaya. Pendidikan multikultural mengakui keanekaragaman
suku dan budaya. Pendidikan yang berorientasi pada kemanusiaan, kebersamaan
dan perdamaian untuk mengembangkan prinsip demokrasi, kesetaraan dan keadilan
dalam kehidupan bermasyarakat, khususnya pada masyarakat yang heterogen,
memerlukan orientasi hidup universal. Pendidikan multikultural adalah pendidikan
yang memberikan pengakuan, penghargaan dan rasa hormat terhadap perbedaan
kesetaraan dalam hal bahasa, ras, etnis, budaya dan agama. Dengan semboyan
Bhinneka Tunggal Ika, pemahaman akan pentingnya perbedaan sebagai sebuah
anugerah merupakan titik tolak pendidikan berbasis multikultural. Setidaknya, ada
lima dimensi pendidikan multikultural yang diperkirakan dapat membantu guru
dalam mengimplementasikan beberapa program yang mampu merespon terhadap
perbedaan pelajar, yaitu: pertama, dimensi integrasi isi atau materi (content
integration). Kedua, dimensi konstruksi pengetahuan (knowledge construction).
Ketiga, dimensi pengurangan prasangka (prejudice ruduction). Keempat, dimensi
pendidikan yang sama (equitable paedagogy), dan kelima, dimensi pemberdayaan
budaya sekolah dan struktur sosial (empowering school culture and social
structure).

Kata Kunci: Pendidikan Multikultural, Dimensi Pendidikan Muktikultural

1
Abstract

Multiculturalism is an ideology that emphasizes equality in the lives of cultural


differences. Multicultural education recognizes ethnic and cultural diversity.
Education that is centered on humanity, togetherness and peace to develop the
principles of democracy, equality and justice in social life, especially in
heterogeneous societies, which require a universal life orientation. Multicultural
education is education that provides recognition, appreciation and respect for
differences, equality in terms of language, race, ethnicity, culture and religion. With
the motto Bhinneka Tunggal Ika, understanding the importance of differences as a
gift is the starting point for multicultural-based education. There are at least five
dimensions of multicultural education which are expected to help teachers
implement several programs that are able to respond to student differences,
namely: first, the dimension of content or material integration (content integration).
Second, the dimension of knowledge construction. Third, reducing the dimensions
of prejudice (ruduction prejudice). Fourth, the same educational dimension (just
pedagogy), and fifth, the empowerment dimension of school culture and social
structure (empowering school culture and social structure).

Keywords: Multicultural Education, Dimensions of Multicultural Education

PENDAHULUAN

Pada hakikatnya manusia berperan ganda, yaitu sebagai makhluk individu


dan makhluk sosial. Dalam berinteraksi dengan sekitar, ada hubungan secara
vertical dan hubungan secara horizontal. Manusia sebagai makhluk sosial artinya
manusia tidak bisa hidup sendirian. Multikulturalisme merupakan sebuah ideologi
yang menekankan kesederajatan dalam perbedaan kebudayaan. Multikulturalisme
menjamin pentingnya saling penghormatan antara berbagai kelompok masyarakat
yang memiliki kebudayaan berbeda. Penghormatan yang memungkinkan setiap
kelompok termasuk kelompok minoritas untuk mengekspresikan kebudayaan
mereka tanpa mengalami prasangka buruk dan permusuhan. Chairul Mahdud

2
menyebutkan multikulturalisme adalah keberagaman budaya. Pengakuan martabat
kehidupan manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaan unik
masing-masing.

Pendidikan multikultural mengakui adanya keberagaman etnik dan budaya


masyarakat suatu bangsa, seperti halnya yang diutarakan oleh R. Stavenhagen:
“Keragaman adalah suatu keadaan pada kehidupan masyarakat. Perbedaan yang
seperti itu terdapat pada suku bangsa, ras, budaya, dan agama. Keragaman
merupakan kekayaan serta keindahan dari suatu bangsa. Pemerintah harus mampu
memberikan dorongan agar keberagaman tersebut mampu menjadi sebuah
kekuatan guna mewujudkan kebersamaan dalam bermasyarakat dan menjaga nilai-
nilai kemanusiaan sehingga dapat tercipatanya hubungan keselarasan yang lebih
baikdan efektif.

METODE PENELITIAN

Metode Penelitian yang digunakan merupakan penelitian dengan metode


studi pustaka. Dalam penelitian ini, penulis menjelaskan fenomena yang terjadi
didasari oleh kajian-kajian ilmiah yang telah dilakukan sebelumnya. Mempelajari
referensi-referensi dalam bentuk buku, artikel jurnal, dan informasi-informasi
faktual yang berhubungan dengan pembahasan. Kami mengumpulkan, menyeleksi,
dan menganalisa informasi-informasi terkait kemudian menyusun gagasannya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dimensi Pendidikan Multikultural

Berbagai tipologi atau model pendidikan multikultural telah


dikembangkan, khususnya di Amerika Serikat yang menjadi episentrum pendidikan
mutikultural sejak awal, namun pada umumnya mengacu pada model yang
dikembangkan oleh Banks serta Sleeter dan Grant. Model yang mereka
kembangkan berbeda namun tidak benar- benar eksklusif. Gary Burnett adalah

3
salah seorang pakar dan pemerhati pendidikan multikultural yang mengembangkan
sebuah tipologi/model alternatif dengan menggabungkan pendekatan Banks dan
Sleeter-Grant. Tipologi yang diusulkannya membagi program pendidikan
multikultural ke dalam tiga kategori sesuai dengan penekanan utama mereka. Yang
pertama mencakup program berorientasi konten (content-oriented program), yang
merupakan pendekatan yang paling umum dan segera dikenal dalam pendidikan
multikultural. Dalam bentuknya yang paling sederhana, program jenis ini
menambahkan kilau multikultural ke kurikulum standar.

James A. Banks dikenal sebagai perintis Pendidikan Multikultur,


penekanan dan perhatiannya difokuskan pada pendidikannya. Banks yakin bahwa
sebagian dari pendidikan lebih mengarah pada mengajari bagaimana berpikir
daripada apa yang dipikirkan. Ia menjelaskan bahwa siswa harus diajar memahami
semua jenis pengetahuan, aktif mendiskusikan konstruksi pengetahuan (knowledge
construction) dan interpretasi yang berbeda-beda. Siswa yang baik adalah siswa
yang selalu mempelajari semua pengetahuan dan turut serta secara aktif dalam
membicarakan konstruksi pengetahuan. Dia juga perlu disadarkan bahwa di dalam
pengetahuan yang dia terima itu terdapat beraneka ragam interpretasi yang sangat
ditentukan oleh kepentingan masing-masing. Bahkan interpretasi itu nampak
bertentangan sesuai dengan sudut pandangnya. Siswa seharusnya diajari juga dalam
menginterpretasikan sejarah masa lalu dan dalam pembentukan sejarah
(interpretations of the history of the past and history in the making) sesuai dengan
sudut pandang mereka sendiri. Mereka perlu diajari bahwa mereka sebenarnya
memiliki interpretasi sendiri tentang peristiwa masa lalu yang mungkin penafsiran
itu berbeda dan bertentangan dengan penafsiran orang lain.

Menurut Banks dalam Rahman untuk menelaah the dimension of


multikultural education. Banks menyebutkan ada lima dimensi Pendidikan
multikultural yang harus ada dalam Pendidikan multikultural, dapat membantu guru
dalam mengimplementasikan beberapa program yang mampu merespon terhadap
perbedaan peserta didik, yaitu:

4
1. Dimensi integrasi isi/materi (content integration). Dimensi ini digunakan
oleh guru untuk memberikan keterangan dengan “poin kunci”
pembelajaran dengan merefleksi materi yang berbeda-beda. Secara
khusus, para guru menggabungkan kandungan materi pembelajaran ke
dalam kurikulum dengan beberapa cara pandang yang beragam. Salah satu
pendekatan umum adalah mengakui kontribusinya, yaitu guru-guru
bekerja ke dalam kurikulum mereka dengan membatasi fakta tentang
semangat kepahlawanan dari berbagai kelompok. Di samping itu,
rancangan pembelajaran dan unit pembelajarannya tidak dirubah. Dengan
beberapa pendekatan, guru menambah beberapa unit atau topik secara
khusus yang berkaitan dengan materi multikultural.

2. Dimensi konstruksi pengetahuan (knowledge construction). Suatu dimensi


dimana para guru membantu siswa untuk memahami beberapa perspektif
dan merumuskan kesimpulan yang dipengaruhi oleh disiplin pengetahuan
yang mereka miliki. Dimensi ini juga berhubungan dengan pemahaman
para pelajar terhadap perubahan pengetahuan yang ada pada diri mereka
sendiri.

3. Dimensi pengurangan prasangka (prejudice ruduction). Guru melakukan


banyak usaha untuk membantu siswa dalam mengembangkan perilaku
positif tentang perbedaan kelompok. Sebagai contoh, ketika anak-anak
masuk sekolah dengan perilaku negatif dan memiliki kesalahpahaman
terhadap ras atau etnik yang berbeda dan kelompok etnik lainnya,
pendidikan dapat membantu siswa mengembangkan perilaku intergroup
yang lebih positif, penyediaan kondisi yang mapan dan pasti. Dua kondisi
yang dimaksud adalah bahan pembelajaran yang memiliki citra yang
positif tentang perbedaan kelompok dan menggunakan bahan
pembelajaran tersebut secara konsisten dan terus-menerus. Penelitian
menunjukkan bahwa para pelajar yang datang ke sekolah dengan banyak
stereotipe, cenderung berperilaku negatif dan banyak melakukan
kesalahpahaman terhadap kelompok etnik dan ras dari luar kelompoknya.

5
Penelitian juga menunjukkan bahwa penggunaan teksbook multikultural
atau bahan pengajaran lain dan strategi pembelajaran yang kooperatif
dapat membantu para pelajar untuk mengembangkan perilaku dan persepsi
terhadap ras yang lebih positif. Jenis strategi dan bahan dapat
menghasilkan pilihan para pelajar untuk lebih bersahabat dengan ras luar,
etnik dan kelompok budaya lain.

4. Dimensi pendidikan yang sama/adil (equitable paedagogy). Dimensi ini


memperhatikan cara-cara dalam mengubah fasilitas pembelajaran
sehingga mempermudah pencapaian hasil belajar pada sejumlah siswa dari
berbagai kelompok. Strategi dan aktivitas belajar yang dapat digunakan
sebagai upaya memperlakukan pendidikan secara adil, antara lain dengan
bentuk kerjasama (cooperative learning), dan bukan dengan cara-cara yang
kompetitif (competition learning). Dimensi ini juga menyangkut
pendidikan yang dirancang untuk membentuk lingkungan sekolah,
menjadi banyak jenis kelompok, termasuk kelompok etnik, wanita, dan
para pelajar dengan kebutuhan khusus yang akan memberikan pengalaman
pendidikan persamaan hak dan persamaan memperoleh kesempatan
belajar.

5. Dimensi pemberdayaan budaya sekolah dan struktur sosial (empowering


school culture and social structure). Dimensi ini penting dalam
memperdayakan budaya siswa yang dibawa ke sekolah yang berasal dari
kelompok yang berbeda. Di samping itu, dapat digunakan untuk menyusun
struktur sosial (sekolah) yang memanfaatkan potensi budaya siswa yang
beranekaragam sebagai karakteristik struktur sekolah setempat, misalnya
berkaitan dengan praktik kelompok, iklim sosial, latihan-latihan,
partisipasi ekstra kurikuler dan penghargaan staff dalam merespon
berbagai perbedaan yang ada di sekolah.

Tujuan utama dari pembelajaran multikultural sebenarnya adalah untuk


membantu siswa dalam memahami dan mengerti bagaimana suatu
pengetahuan itu terbentuk. Siswa juga diberi kesempatan untuk melakukan

6
pengamatan dan bagaimana menentukan asumsi tentang suatu budaya.
Selanjutnya siswa juga diberikan kesempatan untuk mengkreasikan
pengetahuan mereka sendiri dan mengidentifikasi cara-cara dimana dengan
keterbatasan mereka mampu mengkonstruksi tentang pengalaman pribadi
mereka sendiri.

James A. Banks juga menawarkan empat pendekatan dalam pendidikan


multikultural, yaitu: kontributif, adiktif, aksi sosial, dan transformatif.

1. Pendekatan kontributif, adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara


menyeleksi buku-buku teks wajib atau anjuran dan aktifitas-aktifitas
tertentu seperti hari-hari besar kenegaraan dengan hari kepahlawanan
nasional. Pendekatan ini paling sedikit keterlibatannya dalam reformasi
pendidikan multikultural.

2. Pendekatan aditif merupakan bentuk penambahan muatan-muatan,


tema-tema, dan prespektif-prespektif kedalam kurikulum tanpa
mengubah struktur dasarnya. Artinya pendekatan ini melibatkan upaya
memasukkan literatur oleh dan tentang masyarakat dari berbagai
kebudayaan ke dalam mainstream kurikulum. Misalnya, memanfaatkan
muatan khas multikultural seperti tema-tema tentang ko-eksistensi, pro-
eksistensi, saling menghargai, saling memahami sebagai pemerkaya
bahan ajar.

3. Pendekatan aksi sosial, yaitu mengkombinasikan pendekatan


transformatif dengan berbagai aktifitas untuk melakukan perubahan
sosial. Pendekatan in bertujuan untuk memperkaya keterampilan
peserta didik daam melakukan aksi sosial seperti resolusi konflik,
rekonsiliasi keberagaman, dan perbedaan budaya.

4. Pendekatan transformative, yaitu pendekatan yang menekankan pada


aksi sosial dan politik untuk memecahkan masalah secara logis,
melampaui konteks kelas tradisional. Dari sini diharapkan muncul
perubahan pedagogik yang mengakui bahwa kelas-kelas tradisional

7
lebih menakankan pada pengajaran teks-teks yang sering memaparkan
kategori-kategori tradisional dalam wacana dan evaluasi. Oleh karena
itu, perlu mengganti model-model lama untu setidaknya merevisi dan
menciptakan model-model baru.

KESIMPULAN

Pada intinya pendidikan multikultural yaitu sebagai sebuah ide atau


konsep, gerakan pembaruan pendidikan dan sebagai sebuah proses. Maksudnya
adalah pendidikan multikultural sebagai sebuah ide diartikan bahwa bagi semua
siswa dengan tanpa melihat gender, kelas sosial, etnik, ras dan karakteristik budaya
harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk belajar disekolah. Sebagai sebuah
gerakan, pendidikan multikultural sebagai suatu pendidikan yang menuntut kita
untuk membuka visi pada cakrawala yang semakin luas, mampu melintasi batas
kelompok etnis atau tradisi budaya dan agama kita sehingga mampu melihat
kemanusiaan sebagai sebuah keluarga yang memiliki baik perbedaan maupun
kesamaan cita-cita pendidikan akan dasar-dasar kemanuasiaan untuk perdamaian,
kemerdekaan dan solidaritas.

Ada lima dimensi pendidikan multikultural yang diperkirakan dapat


membantu guru dalam mengimplementasikan beberapa program yang mampu
merespon terhadap perbedaan pelajar, yaitu: pertama, dimensi integrasi isi/materi
(content integration). Kedua, dimensi konstruksi pengetahuan (knowledge
construction). Ketiga, dimensi pengurangan prasangka (prejudice ruduction).
Keempat, dimensi pendidikan yang sama/adil (equitable paedagogy); dan kelima,
dimensi pemberdayaan budaya sekolah dan struktur sosial (empowering school
culture and social structure).

DAFTAR PUSTAKA

8
Indrawan, Irjus, Hadion Wijoyo, Hermawan Winditya, I Wayan Budi Utama,
Christian Siregar, and Suherman. Filsafat Pendidikan Multikultural. Edited
by Editor: and M.Pd Prof. Dr. H. Mukhtar Latif. Pertama. Jawa Tengah: CV.
Pena Persada, 2020.

Khairiah. Multikultural Dalam Pendidikan Islam. Bengkulu, 2020.

Sinta Utami, Prihma. “Pengembangan Pemikiran James a. Banks Dalam Konteks


Pembelajaran.” Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan 2, no. 2 (2017): 68–
76.

Banks, J. A.“Multicultural Educatian: Historical Development, Dimentions and


Practrice” In Review of Research in Education, 1993.

Banks, J. A. An Introduction to Multicultural Education, Needham Heights. 1994.

Gay. Geneva. Bridging Multicultural Theory and Practice. 1999.

Anda mungkin juga menyukai