Anda di halaman 1dari 10

METODE DAN MEDIA PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI

LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM

Waffa Aisyah, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Indonesia

e-mail : aisyahwaffa44@gmail.com

Abstrak :

Pembekalan ilmu teologi di sekolah hanya ditujukan untuk memperkuat keimanan


dan pencapaiannya menuju surga tanpa dibarengi dengan kesadaran dalam
berdialog dengan agama-agama lain. Keadaan inilah yang menjadikan pendidikan
agama sangat eksklusif dan intoleransi. Dengan demikian, Media dan Model
Pendidikan multikultural bisa menjadi suatu alternaatifnya. Karena proses
transformasional, bukan sekedar proses toleransi. Yang artinya pendidikan
multikultural bukan sekedar mengajar tentang kebudayaan yang berbeda-beda
kebudayaan dari berbagai kelompok etnik dan keagamaan dan mendukung
apresiasi, kenyamanan, toleransi terhadap budaya dan agama lain.

Kata Kunci : Pendidikan multikultural, model pembelajaran multikultural, media


pendidkan multikultural

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan bangsa multikultural dengan tingkat pluralisme yang tinggi.


Hal itu dapat menjadi potensi kemajuan bangsa sekaligus kemundurannya,
bergantung pada kualitas pengelolaan heterogenitas tersebut. Hingga saat ini
terbukti konflik yang dilatarbelakangi suku, agama, dan ras antargolongan (SARA)
masih sering terjadi. Hal tersebut menunjukan pentingnya penguatan pendidikan
multikultural di Indonesia.1

Ketika membahas multikultural atau studi budaya lainnya, maka konsep ethic dan
emic akan selalu muncul. Kedua istilah antropologi ini dikembangkan oleh Pike
(1967). Pike memakai istilah ini untuk menjelaskan dua sudut pandang dalam

1
Dera Nugraha, “Urgensi Pendidikan Multikultural Di Ndonesia,” Jurnal Pendidikan PKN
(Pancasila dan Kewarganegaraan) 1, no. 2 (2020): 140.
mempelajari perilaku multiKultural. Ethic adalah sudut pandang dalam
mempelajari budaya dari luar sistem budaya itu, dan merupakan pendekatan awal
dalam mempelajari suatu sistem budaya asing. Sementara emic sebagai sudut
pandang merupakan studi perilaku dari dalam sistem budaya tersebut (Segall,
1990). Ethic adalah aspek kehidupan yang muncul konsisten pada semua budaya,
emic adalah aspek kehidupan yang muncul dan benar hanya pada satu budaya
tertentu. Jadi, ethic menjelaskan universalitas suatu konsep kehidupan, sedangkan
emic menjelaskan keunikan dari sebuah konsep budaya.2

Pemahaman kedua konsep ini sangat penting dan menjadi dasar dalam memahami
budaya dalam Pendidikan Multikultural. Pendidikan multikultural lebih
menekankan pada sebuah filosofi pluralisme budaya ke dalam sistem pendidikan
yang didasarkan pada prinsip- prinsip persamaan (equality), saling menghormati
dan menerima adanya komitmen moral untuk sebuah keadilan sosial.

Konsep multikulturalisme tidak dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman


suku bangsa atau kebudayaan suku bangsa yang menjadi ciri mayarakat majemuk,
karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam
Pendidikan multikultural merupakan proses pengembangan seluruh potensi
manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai konsekuensi
keragaman budaya, etnis, suku, dan aliran (agama). kesederajatan.3
Multikulturalisme merupakan sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan
perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individual maupun secara kebudayaan.
(Parsudi Suparlan, 2002: 1)

METODE

Penelitian ini menggunakan metode studi pustaka (library research) dimana


peneliti dalam pengumpulan informasi dan data secara mendalam melalui berbagai
literatur, buku, catatan, majalah, referensi lainnya, serta hasil penelitian sebelumnya

2
Rossi Iskandar, “Desain Pembelajaran Pendidikan Multikultural Di Sekolah Dasar” (2018): 1–50.
3
Sopiah, “Pendidikan Multikultural Dalam Pendidikan Islam,” Forum Tarbiyah 7, no. 2 (2009):
157–166.
yang relevan, untuk mendapatkan jawaban dan landasan teori mengenai masalah
yang akan diteliti.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Pendidikan Multikultural

Pendidikan dalam wawasan multikultural menurut rumusan James A. Bank


adalah konsep, ide atau falsafah sebagai suatu rangkaian kepercayaan dan
penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis di
dalam membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatan-
kesempatan pendidikan dari individu, kelompok mapun negara (James A. Bank,
2001: 28).

Berdasarkan pendapat Skeel terkait tujuan pendidikan berbasis multikultural adalah


sebagai berikut;

1. Untuk memfungsikan peranan sekolah dalam memandang keberadaan


siswa yang beraneka ragam;
2. Untuk membantu siswa dalam membangun perlakuan yang positif terhadap
perbedaan kultural, ras, etnis, kelompok keagamaan;
3. Memberikan ketahanan siswa dengan cara mengajar mereka dalam
mengambil keputusan dan keterampilan sosialnya;
4. Untuk membantu peserta didik dalam membangun ketergantungan lintas
budaya dan memberi gambaran positif kepada mereka mengenai perbedaan
kelompok.4

Dengan demikian, pendidikan mutikultural merupakan proses penanaman cara


hidup menghormati, tulus dan toleran terhadap keragaman budaya yang hidup di
tengah-tengah masyarakat plural. Baik itu melalui pendidikan formal (sekolah), non
formal (luar sekolah) maupun informal (keluarga). Sehingga dalam
implementasinya pendidikan multikultural di sekolah tidak perlu dalam bentuk

4
J Skeel, Dorothy, “Elementary Social Studies, Challenges for Tomorrow’s World,” Harcourt Brace
College Publishers (1995).
mata pelajaran tersendiri, tetapi dapat direalisasikan dalam bentuk pembelajaran
multikultural, yaitu dengan diintegrasikan pada berbagai macam Mata Pelajaran
yang sudah ada seperti PPKN, Bahasa, IPS, Agama termasuk Akidak Akhlak.
Sehingga perlu diketahui ciri atau karakteristik dari pendidikan berbasis
multikultural. Pendidikkan multikulturalisme biasanya mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut:

1. Tujuannya untuk membentuk “ manusia budaya” dan menciptakan


“manusia berbudaya (berperadaban )”
2. Materinya mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan, nilai-nilai bangsa,
dan nilai- nilai kelompok etnis (kultural)
3. Metodenya demokratis yang menghargai aspek-aspek perbedaan dan
keragaman budaya bangsa dan kelompok etnis (multikulturalis)
4. Evaluasinya ditentukan pada penilaian terhadap tingkah laku anak didik
yang meliputi: persepsi, apresiasi, dan tindakan terhadap budaya lainnya

Strategi yang dilakukan sekolah dalam pendidikan multikultural terintegrasi ke


dalam mata pelajaran dan kegiatan lain sekolah dalam mengelola dan
menyelenggarakan proses pendidikan agar mencapai keberhasilan tujuan sekolah
dan untuk mengembangkan tata kehidupan masyarakat Indonesia yang harmonis,
damai dan sejahtera didasari pada multietnik dan multikultural.5

Metode Pendidikan Multikultural

Sebagai sebuah konsep yang harus dituangkan ke dalam sistem kurikulum,


biasanya pendidikan multikultural secara umum digunakan metode dan pendekatan
(method and approaches) yang beragam.6 Adapun metode yang dapat digunakan
dalam pendidikan multikultural adalah sebagai berikut:

1. Metode Kontribusi

5
Agus Munadlir, “Strategi Sekolah Dalam Pendidikan Multikultural,” Jurnal Pendidikan Sekolah
Dasar 2 no 2 (2016).
6
Abdul Wahid, “Konsep Pendidikan Multikultural Dan Aplikasinya,” Jurnal Istiqra’ 3 (2016): 287–
294.
Dalam penerapan metode ini peserta didik diajak berpartisipasi dalam
memahami dan mengapresiasi budaya lain. Metode ini antara lain dengan
melibatkan peserta didik dalam memilih buku bacaan bersama, melakukan
aktivitas bersama. Mengapresiasikan kegiatan-kegiatan bidang keagamaan
maupun kebudayaan yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Peserta didik
bisa dilibatkan di dalam pelajaran atau pengalaman yang berkaitan dengan
peristiwa ini. Namun perhatian yang sedikit juga diberikan kepada kelompok-
kelompok etnik baik sebelum dan sesudah event atau signifikan budaya dan
sejarah peristiwa bisa dieksplorasi secara mendalam. Namun metode ini
memiliki banyak keterbatasan karena bersifat individual dan perayaan terlihat
sebagai sebuah tambahan yang kenyataannya tidak penting pada wilayah subjek
inti.
Di Indonesia, lembaga pendidikan yang telah menerapkan metode
kontributif ini salah satunya adalah Global Sevilla School yang berada di Pulo
Mas, Jakarta Timur dan Puri Kembangan, Jakarta Barat. Sekolah ini sejak awal
melibatkan siswa-siswi yang berlatar etnik, budaya, dan agama yang berbeda
untuk saling berkontribusi dalam setiap perayaan keagamaan.
Dalam awal-awal implementasinya, sekolah ini tidak sedikit memeroleh
kritik terkait dengan metode kontributif dalam penerapan persepektif
multikulturalisme ini. Namun, seiring berjalannya waktu tidak hanya antar
peserta didik yang terlibat, tapi juga para orang tua dari siswa juga turut
berperan serta setiap ada kegiatan keagamaan di sekolah tersebut. Keterlibatan
orang tua menjadi hal menarik karena mereka tidak hanya hadir menyaksikan,
tetapi juga berkontribusi dalam ragam kegiatan anak-anak mereka. Ini
memungkinkan visi penggunaan pendekatan multikulturalisme tidak hanya
menyentuh siswa/siswi tetapi juga para orang tua.
2. Metode Pengayaan
Metode ini memperkaya kurikulum dengan literatur dari atau tentang
masyarakat yang berbeda kultur, etnis atau agamanya. Penerapan metode ini,
misalnya dengan mengajak peserta didik menilai atau menguji dan kemudian
mengapresiasikan cara pandang masyarakat tetapi peserta didik tidak mengubah
pemahamannya tentang hal itu, seperti tata cara atau ritual ibadah, pernak-
pernik dalam ritual ibadah, pernikahan, dan lain-lain. Metode ini juga
menghadapi masalah sama halnya metode kontributif, yakni materi yang dikaji
biasanya selalu berdasarkan pada perspektif sejarahwan yang mainstream.
Peristiwa, konsep, gagasan dan isu disuguhkan dari perspektif yang dominan.
3. Metode Tranformatif
Metode ini secara fundamental berbeda dengan dua metode
sebelumnya. Metode ini memungkinkan peserta didik melihat konsep-konsep
dari sejumlah perspektif budaya, etnik dan agama secara kritis. Metode ini
memerlukan pemasukan perspektif-perspektif, kerangka-kerangka referensi
dan gagasan-gagasan yang akan memperluas pemahaman peserta didik tentang
sebuah ide.
Metode ini dapat mengubah struktur kurikulum, dan memberanikan
peserta didik untuk memahami isu dan persoalan dari beberapa perspektif etnik
dan agama tertentu. Misalnya, membahas konsep “makanan halal” dari agama
atau kebudayaan tertentu yang berpotensi menimbulkan konflik dalam
masyarakat. Metode ini juga menuntut peserta didik untuk mengolah pemikiran
kritis dan menjadikan prinsip kebhinekaan sebagai premis dasarnya.
4. Metode Pembuatan Keputusan dan Aksi Sosial
Metode ini mengintegrasikan metode transformasi dengan aktivitas
nyata di masyarakat, yang pada gilirannya bisa berdampak terjadinya perubahan
sosial. Peserta didik tidak hanya dituntut untuk memahami dan membahas isu-
isu sosial, tapi juga melakukan sesuatu yang penting berkaitan dengan hal itu.
Artinya, peserta didik tidak hanya berhenti pada penguasaan teori, tapi juga
terjun langsung di masyarakat untuk menerapkan teori-teori yang mereka
peroleh dari ruang pendidikan.
Metode ini memerlukan peserta didik tidak hanya mengeksplorasi dan
memahami dinamika keterbelakangan, ketertindasan, atau ketidakadilan, tetapi
juga berkomitmen untuk membuat keputusan dan mengubah sistem melalui aksi
sosial. Tujuan utama metode ini adalah untuk mengajarkan kepada peserta didik
untuk berpikir dan memiliki kemampuan mengambil keputusan
guna memberdayakan dan membantu mereka mendaptkan sense kesadaran
terhadap dinamika yang berkembang di masyarakat dan turut berperan serta
dengan aksi-aksi nyata.

Dalam praktiknya, tentu tidak semua metode tersebut diterapkan oleh satu lembaga
pendidikan sekaligus. Ada beberapa lembaga yang hanya menerapkan dua atau tiga
metode saja, bahkan ada pula yang hanya satu metode saja. Hal itu terkait dengan
kesiapan sumberdaya manusia dan pra-sarana dan sarananya di masing-masing
lembaga pendidikan.

Model Pendidikan Multikultural

Kata model (Lefudin,2017: 177) merupakan suatu konsepsi untuk mengejar


suatu materi dalam mencapai tujuan tertentu. Dalam model mencakup strategi,
pendekatan, metode maupun teknik, contohnya model pembelajaran kooperatif,
model pembelajaran berbasis masalah, dan termasuk model pendidikan berbasis
multikultural.

Membahas terkait model dalam bidang pendidikan multikultural sebagai


upaya untuk menumbuhkan kesadaran akan cara hidup demokratis, yang intinya
adalah penanaman moral. Melalui pendidikan multikultural, sikap saling
menghargai (mutual respect), saling pengertian (mutual understanding), dan saling
percaya (mutual trust) dalam menyikapi berbagai perbedaan akan terbangun dan
berkembang dengan baik. Dengan demikan, yang dimaksud dengan model
pendidikan multikultural adalan suatu konsep penyelengaraan pendidikan
multikural yang dijadikan sebagai acuan dalam pelaksanaan pendidikan
multikultural.7

Ada banyak model desain pembelajaran yang dikenal dalam sistem


pembelaran di Indonesia dengan orientasi yang berbeda-beda. Misalnya saja model
PPSI, Model Banathy, Model SAFE, Model The Michigan State, dan Model
MINERVA, modelmodel desain pembelajaran ini sudah berkembang di era tahun

7
Junaidi Junaidi, “Model Pendidikan Multikultural,” Al-Insyiroh: Jurnal Studi Keislaman 2, no. 1
(2018): 57–72.
60-an dan 70-an. Bahkan sekarang telah berkembang model Dick dan Carey, model
ASSURE yang dikembang-kan Smaldino dan kawan-kawan, serta model ADDIE
dari Gagne.

Model-model desain pembelajaran sebagaimana terdapat dan berkembang


tersebut tidak cukup memberikan ruang gerak kepada para guru untuk mendesain
secara benar pembelajaran di kelas sesuai dengan karakteristik pembelajaran yang
berkembang di Indonesia. Kesulitan menerjemahkan model-model pembelajaran
tersebut boleh jadi disebabkan oleh rumitnya langkah-langkah pendesainan,
sehingga para guru tersesat untuk memulai dari mana. Pada akhirnya pembelajaran
di kelas menjadi tidak berpola dan hanya mengalir memenuhi rutinitas dan hanya
berorietnasi kepada hasil bukan sistem pembelajaran yang benar. Oleh karena itu,
untuk menata sistem pembelajaran di masa depan yang lebih inovatif, tidak terjebak
pada rutinitas, tetapi bagaimana proses pembelajaran dapat berlangsung dengan
menyenankan dan perubahan perilaku yang positif diperlukan suatu model yang
cocok untuk karakter para guru di Indonesia.

Model 4-D (Four-D) dikembangkan oleh S. Thiagarajan, Dorothy S.


Semmel, dan Melvyn I. Semmel. Menurut Thiagarajan, dkk. Model ini terdiri dari
empat tahap yaitu pendefenisian (define), perancangan (design), pengembangan
(develop), dan penyebaran (disseminate). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
uraian berikut:

a) Tahap pendefenisian (define), bertujuan untuk menetapkan dan


mendefenisikan syarat-syarat pembelajaran yang diawali dengan analisis
tujuan dari batasan materi yang dikembangkan.
b) Tahap perancangan (design), bertujuan untuk menyiapkan perangkat
pembelajaran yang akan dikembangkan.
c) Tahap pengembangan (develop), bertujuan untuk menghasilkan perangkat
pembelajaran yang sudah direvisi berdasarkan hasil validasi oleh para ahli,
simulasi, dan uji coba.
d) Tahap penyebaran (disseminate), bertujuan untuk menguji efektivitas
penggunaan perangkat yang dikembangkan dalam proses pembelajaran.
Dengan demikian, tahap ini merupakan tahap penggunaan perangkat pada skala
yang lebih luas, misalnya di kelas lain atau sekolah lain. Berdasarkan kebutuhan
penulis, maka model pengembangan yang akan dipakai pada makalah ini ini adalah
model 4-D karena model ini dianggap cocok dalam pengembangan perangkat
pembelajaran.

SIMPULAN

Pendidikan multikultural merupakan proses pengembangan seluruh potensi


manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai konsekuensi
keragaman budaya, etnis, suku, dan aliran (agama). Proses penanaman pendidikan
multikultural melalui cara hidup menghormati, tulus dan toleran terhadap
keragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural. Baik itu melalui
pendidikan formal (sekolah), non formal (luar sekolah) maupun informal
(keluarga). Sehingga dalam implementasinya pendidikan multikultural di sekolah
tidak perlu dalam bentuk mata pelajaran tersendiri, tetapi dapat direalisasikan dalam
bentuk pembelajaran multikultural.

DAFTAR PUSTAKA

Iskandar, Rossi. “Desain Pembelajaran Pendidikan Multikultural Di Sekolah


Dasar” (2018): 1–50.

Junaidi, Junaidi. “Model Pendidikan Multikultural.” Al-Insyiroh: Jurnal Studi


Keislaman 2, no. 1 (2018): 57–72.

Munadlir, Agus. “Strategi Sekolah Dalam Pendidikan Multikultural.” Jurnal


Pendidikan Sekolah Dasar 2 no 2 (2016).

Nugraha, Dera. “Urgensi Pendidikan Multikultural Di Ndonesia.” Jurnal


Pendidikan PKN (Pancasila dan Kewarganegaraan) 1, no. 2 (2020): 140.

Skeel, Dorothy, J. “Elementary Social Studies, Challenges for Tomorrow’s World.”


Harcourt Brace College Publishers (1995).

Sopiah. “Pendidikan Multikultural Dalam Pendidikan Islam.” Forum Tarbiyah 7,


no. 2 (2009): 157–166.

Wahid, Abdul. “Konsep Pendidikan Multikultural Dan Aplikasinya.” Jurnal


Istiqra’ 3 (2016): 287–294.

Anda mungkin juga menyukai