e-mail : aisyahwaffa44@gmail.com
Abstrak :
PENDAHULUAN
Ketika membahas multikultural atau studi budaya lainnya, maka konsep ethic dan
emic akan selalu muncul. Kedua istilah antropologi ini dikembangkan oleh Pike
(1967). Pike memakai istilah ini untuk menjelaskan dua sudut pandang dalam
1
Dera Nugraha, “Urgensi Pendidikan Multikultural Di Ndonesia,” Jurnal Pendidikan PKN
(Pancasila dan Kewarganegaraan) 1, no. 2 (2020): 140.
mempelajari perilaku multiKultural. Ethic adalah sudut pandang dalam
mempelajari budaya dari luar sistem budaya itu, dan merupakan pendekatan awal
dalam mempelajari suatu sistem budaya asing. Sementara emic sebagai sudut
pandang merupakan studi perilaku dari dalam sistem budaya tersebut (Segall,
1990). Ethic adalah aspek kehidupan yang muncul konsisten pada semua budaya,
emic adalah aspek kehidupan yang muncul dan benar hanya pada satu budaya
tertentu. Jadi, ethic menjelaskan universalitas suatu konsep kehidupan, sedangkan
emic menjelaskan keunikan dari sebuah konsep budaya.2
Pemahaman kedua konsep ini sangat penting dan menjadi dasar dalam memahami
budaya dalam Pendidikan Multikultural. Pendidikan multikultural lebih
menekankan pada sebuah filosofi pluralisme budaya ke dalam sistem pendidikan
yang didasarkan pada prinsip- prinsip persamaan (equality), saling menghormati
dan menerima adanya komitmen moral untuk sebuah keadilan sosial.
METODE
2
Rossi Iskandar, “Desain Pembelajaran Pendidikan Multikultural Di Sekolah Dasar” (2018): 1–50.
3
Sopiah, “Pendidikan Multikultural Dalam Pendidikan Islam,” Forum Tarbiyah 7, no. 2 (2009):
157–166.
yang relevan, untuk mendapatkan jawaban dan landasan teori mengenai masalah
yang akan diteliti.
4
J Skeel, Dorothy, “Elementary Social Studies, Challenges for Tomorrow’s World,” Harcourt Brace
College Publishers (1995).
mata pelajaran tersendiri, tetapi dapat direalisasikan dalam bentuk pembelajaran
multikultural, yaitu dengan diintegrasikan pada berbagai macam Mata Pelajaran
yang sudah ada seperti PPKN, Bahasa, IPS, Agama termasuk Akidak Akhlak.
Sehingga perlu diketahui ciri atau karakteristik dari pendidikan berbasis
multikultural. Pendidikkan multikulturalisme biasanya mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut:
1. Metode Kontribusi
5
Agus Munadlir, “Strategi Sekolah Dalam Pendidikan Multikultural,” Jurnal Pendidikan Sekolah
Dasar 2 no 2 (2016).
6
Abdul Wahid, “Konsep Pendidikan Multikultural Dan Aplikasinya,” Jurnal Istiqra’ 3 (2016): 287–
294.
Dalam penerapan metode ini peserta didik diajak berpartisipasi dalam
memahami dan mengapresiasi budaya lain. Metode ini antara lain dengan
melibatkan peserta didik dalam memilih buku bacaan bersama, melakukan
aktivitas bersama. Mengapresiasikan kegiatan-kegiatan bidang keagamaan
maupun kebudayaan yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Peserta didik
bisa dilibatkan di dalam pelajaran atau pengalaman yang berkaitan dengan
peristiwa ini. Namun perhatian yang sedikit juga diberikan kepada kelompok-
kelompok etnik baik sebelum dan sesudah event atau signifikan budaya dan
sejarah peristiwa bisa dieksplorasi secara mendalam. Namun metode ini
memiliki banyak keterbatasan karena bersifat individual dan perayaan terlihat
sebagai sebuah tambahan yang kenyataannya tidak penting pada wilayah subjek
inti.
Di Indonesia, lembaga pendidikan yang telah menerapkan metode
kontributif ini salah satunya adalah Global Sevilla School yang berada di Pulo
Mas, Jakarta Timur dan Puri Kembangan, Jakarta Barat. Sekolah ini sejak awal
melibatkan siswa-siswi yang berlatar etnik, budaya, dan agama yang berbeda
untuk saling berkontribusi dalam setiap perayaan keagamaan.
Dalam awal-awal implementasinya, sekolah ini tidak sedikit memeroleh
kritik terkait dengan metode kontributif dalam penerapan persepektif
multikulturalisme ini. Namun, seiring berjalannya waktu tidak hanya antar
peserta didik yang terlibat, tapi juga para orang tua dari siswa juga turut
berperan serta setiap ada kegiatan keagamaan di sekolah tersebut. Keterlibatan
orang tua menjadi hal menarik karena mereka tidak hanya hadir menyaksikan,
tetapi juga berkontribusi dalam ragam kegiatan anak-anak mereka. Ini
memungkinkan visi penggunaan pendekatan multikulturalisme tidak hanya
menyentuh siswa/siswi tetapi juga para orang tua.
2. Metode Pengayaan
Metode ini memperkaya kurikulum dengan literatur dari atau tentang
masyarakat yang berbeda kultur, etnis atau agamanya. Penerapan metode ini,
misalnya dengan mengajak peserta didik menilai atau menguji dan kemudian
mengapresiasikan cara pandang masyarakat tetapi peserta didik tidak mengubah
pemahamannya tentang hal itu, seperti tata cara atau ritual ibadah, pernak-
pernik dalam ritual ibadah, pernikahan, dan lain-lain. Metode ini juga
menghadapi masalah sama halnya metode kontributif, yakni materi yang dikaji
biasanya selalu berdasarkan pada perspektif sejarahwan yang mainstream.
Peristiwa, konsep, gagasan dan isu disuguhkan dari perspektif yang dominan.
3. Metode Tranformatif
Metode ini secara fundamental berbeda dengan dua metode
sebelumnya. Metode ini memungkinkan peserta didik melihat konsep-konsep
dari sejumlah perspektif budaya, etnik dan agama secara kritis. Metode ini
memerlukan pemasukan perspektif-perspektif, kerangka-kerangka referensi
dan gagasan-gagasan yang akan memperluas pemahaman peserta didik tentang
sebuah ide.
Metode ini dapat mengubah struktur kurikulum, dan memberanikan
peserta didik untuk memahami isu dan persoalan dari beberapa perspektif etnik
dan agama tertentu. Misalnya, membahas konsep “makanan halal” dari agama
atau kebudayaan tertentu yang berpotensi menimbulkan konflik dalam
masyarakat. Metode ini juga menuntut peserta didik untuk mengolah pemikiran
kritis dan menjadikan prinsip kebhinekaan sebagai premis dasarnya.
4. Metode Pembuatan Keputusan dan Aksi Sosial
Metode ini mengintegrasikan metode transformasi dengan aktivitas
nyata di masyarakat, yang pada gilirannya bisa berdampak terjadinya perubahan
sosial. Peserta didik tidak hanya dituntut untuk memahami dan membahas isu-
isu sosial, tapi juga melakukan sesuatu yang penting berkaitan dengan hal itu.
Artinya, peserta didik tidak hanya berhenti pada penguasaan teori, tapi juga
terjun langsung di masyarakat untuk menerapkan teori-teori yang mereka
peroleh dari ruang pendidikan.
Metode ini memerlukan peserta didik tidak hanya mengeksplorasi dan
memahami dinamika keterbelakangan, ketertindasan, atau ketidakadilan, tetapi
juga berkomitmen untuk membuat keputusan dan mengubah sistem melalui aksi
sosial. Tujuan utama metode ini adalah untuk mengajarkan kepada peserta didik
untuk berpikir dan memiliki kemampuan mengambil keputusan
guna memberdayakan dan membantu mereka mendaptkan sense kesadaran
terhadap dinamika yang berkembang di masyarakat dan turut berperan serta
dengan aksi-aksi nyata.
Dalam praktiknya, tentu tidak semua metode tersebut diterapkan oleh satu lembaga
pendidikan sekaligus. Ada beberapa lembaga yang hanya menerapkan dua atau tiga
metode saja, bahkan ada pula yang hanya satu metode saja. Hal itu terkait dengan
kesiapan sumberdaya manusia dan pra-sarana dan sarananya di masing-masing
lembaga pendidikan.
7
Junaidi Junaidi, “Model Pendidikan Multikultural,” Al-Insyiroh: Jurnal Studi Keislaman 2, no. 1
(2018): 57–72.
60-an dan 70-an. Bahkan sekarang telah berkembang model Dick dan Carey, model
ASSURE yang dikembang-kan Smaldino dan kawan-kawan, serta model ADDIE
dari Gagne.
SIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA