Anda di halaman 1dari 17

PENYEBARAN ISLAM DI TANA LUWU :

Telaah atas Metode Pendidikan Islam Datok Sulaiman

Bulu’
Nuryani
Email:bulu@iainpalopo.ac.id
Email:nuryani@iainpalopo.ac.id
Institut Agama Islam Negeri (IAIN)Palopo

Masyarakat Luwu adalah masyarakat yang religius, mayoritas


penduduknya beragama Islam, mempunyai karakteristik rasa keagamaan yang
kuat dalam berbagai aktivitas hidup kesehariannya. Datok Sulaiman adalah ulama
pembawa Islam pertama ke Tana Luwu, ia dikenal dengan nama Khatib Sulung
Sulaiman berasal dari Minangkabau Sumatera Barat. Pernah menuntut ilmu di
Aceh kemudian bermukim di Johor, Malaysia. Di Tana Luwu dikenal sangat
berperan dan berjasa di dalam penyebaran agama Islam sekitar abad XVI Masehi
tanpa menimbulkan keresahan di kalangan kerajaan Luwu dan masyarakat pada
umumnya. Datok Sulaiman dalam menyebarkan agama Islam di Wilayah Tana
Luwu, ia tunjukkan kesungguhan dan kegigihannya, karena ia tetap berada di
daerah Luwu menyebarkan Islam hingga wafatnya. Datok Sulaiman dalam
mengembangkan ajaran Islam menggunakan metode dialog, pendekatan tasawuf,
dan adu kesaktian. Masyarakat Tana Luwu dan sekitarnya telah mempunyai
kepercayaan kepada “Dewata Sewwa-E” sebelum ajaran Islam diajarkan, dengan
demikian ajaran agama Islam yang dikembangkan di daerah ini yaitu aspek tauhid
dan syariah menyebabkan masyarakat dengan mudah menerimanya. Agama Islam
berkembang dengan cepat ke seluruh wilayah Tana Luwu secara damai tanpa
kekerasan berkat dukumgan Datu Luwu.
Kata Kunci: Datok Sulaiman, Penyebaran Islam, Tana Luwu
PENDAHULUAN
Kata Agama sama dengan peristilahan religi. Pada Kamus An-English-
Reader’s Dictionary, religi dirumuskan sebagai: believe in God as creator and
controller of the universe, kepercayaan pada Tuhan sebagai pencipta dan
pengawas alam, atau system of faith and worship based on such belief, sistem
kepercayaan dan penyembahan berdasarkan atas keyakinan tertentu (Nasruddin
Razak, 1989: 61).
Agama secara etimologis berasal dari bahasa Sangsekerta yang terdiri dari
kata: “a” artinya tidak dan “gama” artinya kacau. Sehingga agama berarti tidak
kacau. Agama adalah suatu peraturan yang mengatur kehidupan manusia agar
tidak kacau. Sebagian yang lain mengartikan a adalah cara, gama adalah jalan.
Agama berarti cara jalan, maksudnya cara menempuh keridhaan Allah swt
(Muhaimin, dkk, 2017: 33).
Pendapat senada dikemukakan Quraish Shihab bahwa makna agama
adalah: 1. Agama merupakan undang-undang, peraturan yang berasal dari Tuhan;
2. Agama merupakan cara dan jalan hidup menurut Tuhan; 3. Agama yang benar

1
berintikan ajaran monoteisme (tauhid) dan penyerahan total (Islam) terhadap
Tuhan (M. Quraish Shihab, 2000: 40). Agama merupakan penerang, dan penjernih
kehidupan manusia baik di dunia dan di akhirat. Manusia membutuhkan agama
dalam mengatur lalu lintas kehidupannya.
Allan Menzies mengemukakan bahwa agama berpengaruh sebagai
motivasi dalam mendorong individu untuk melakukan suatu aktivitas, karena
perbuatan yang dilakukan dengan latar belakang keyakinan agama dinilai
mempunyai unsur kesucian, serta ketaatan. Keterkaitan ini memberi pengaruh
pada diri seseorang untuk berbuat sesuatu. Agama sebagai nilai etik karena dalam
melakukan sesuatu tindakan seseorang akan terikat kepada ketentuan antara mana
yang boleh dan mana yang tidak boleh menurut ajaran agama yang dianutnya
(Allan Menzies, 2014: 321).
Dalam bahasa Arab, terdapat sejumlah kata yang kadang disetarakan
dengan makna agama. Seperti ad-dien, pemaknaan kata ad-dien dapat dilihat
dalam Q.S. al-Fatihah/1;4 .
Terjemahnya: Pemilik hari pembalasan (Departemen Agama RI, 2002 : 1). Hari
pembalasan yaitu hari waktu manusia menerima pembalasan amalnya, baik atau
buruk.
Abdul Muin Salim mengomentari bahwa dalam surah al-Fatihah ayat ke
empat yaitu ِ‫الد ي ن‬
ِّ ‫ك يَ ْو ِم‬
ِ ِ‫ م ال‬.
َ Kalimat ini kemudian diartikan dalam bahasa
Indonesia dengan “Yang Menguasai Hari Pembalasan”. Artinya pembalasan dan
perhitungan terhadap amal perbuatan manusia” (Abd. Muin Salim, 1999: 64). Kata
ad-dien juga kadang diartikan as-syariah dan kewajiban-kewajiban ibadah.
Selanjutnya makna agama juga terdapat dalam Q.S. Āli- Imrān 3/19:
Terjemahnya: Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam… (Departemen
Agama RI, 2002 : 85). Dengan begitu maka ayat ini dapat diartikan sesungguhnya
ketundukan dan kepatuhan di sisi Allah hanyalah Islam.
Islam adalah agama Allah yang diperintahkan-Nya untuk mengajarkan
tentang pokok-pokok serta peraturan-peraturannya kepada Nabi Muhammad saw.,
dan menugaskannya untuk menyampaikan agama tersebut kepada seluruh
manusia dengan mengajak mereka untuk memeluknya (Effendi, 2001: 500) .
Harun Nasution mengungkapkan bahwa Islam menurut istilah adalah
agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada masyarakat manusia
melalui Nabi Muhammad saw., sebagai rasul. Islam pada hakikatnya membawa
ajaran-ajaran yang bukan hanya mengenai satu segi tetapi mengenai berbagai segi
dari kehidupan manusia dan sumber dari ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan Hadis
(Harun Nasution, 1979: 17). Al-Qur’an sumber hukum Islam pertama dan hadis
sumber hukum Islam kedua.
‘Iwadhullah Jaddu Hijazy mengartikan Islam sebagai agama fitrah yang
telah mendapat ridha Allah swt. kepada seluruh hamba-Nya sejak Allah swt.
menciptakan bumi dan seisinya (‘Iwadhullah Jaddu Hijazy, 1996: 4). Islam agama
yang diridhai Allah swt bagi umat Muhammad saw.
Penyebaran Islam di Indonesia terjadi dan dipermudah karena adanya
dukungan dua pihak: orang-orang muslim pendatang yang mengajarkan agama
Islam dan golongan masyarakat Indonesia sendiri yang menerimanya.

2
Ahmad M. Sewang mengungkapkan bahwa penerimaan Islam pada
beberapa tempat di Nusantara memperlihatkan dua pola yang berbeda. Pertama,
Islam diterima terlebih dahulu oleh masyarakat lapisan bawah, kemudian
berkembang dan diterima oleh masyarakat lapisan atas atau elite penguasa
kerajaan. Pola pertama tersebut biasa disebut bottom up. Kedua, Islam diterima
langsung oleh elite penguasa kerajaan, kemudian disosialisasikan dan berkembang
kepada masyarakat bawah. Pola yang terakhir ini biasa disebut top down (Ahmad
M. Sewang, 2005: 87).
Signifikansi penyebaran agama Islam sebagaimana yang dikembangkan
Datok Sulaiman menjadi persoalan yang menarik untuk dibahas secara serius dan
mendalam. Hal ini dikarenakan tantangan yang dihadapi generasi muda Islam
amatlah berat jika tidak mengetahui cara penyebaran ajaran agama Islam, begitu
pula aspek ajaran agama Islam yang dikembangkannya.
Terkait dengan ulasan penyebaran agama Islam di Sulawesi Selatan, ada
dua penelitian ilmiah yang peneliti temukan yaitu;
Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI sampai abad XVII) (Ahmad M.
Sewang, 2005). Dan Metode penyebaran Islam pada awal berkembangnya di
Sulawesi Selatan dan Relevansinya dengan Dawah di Kota Ujungpandang
(Bahaking rama, 1996). Kedua tulisan tersebut terdapat perbedaan fokus
penelitiannya, persamaannya mengkaji masalah penyebaran Islam walaupun dari
sisi yang berbeda. Spesifikasi tulisan ini tentang penyebaran agama Islam pada
awal berkembangnya di Tana Luwu.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Tana Luwu. Tana Luwu meliputi; Kota
Palopo, Kabupaten Luwu, Kabupaten Luwu Utara dan Kabupaten Luwu Timur.
Pengambilan data dilakukan di tiga Kabupaten yaitu; Kabupaten Luwu, yakni di
Kecamatan Bua, Kecamatan Malangke Kabupaten Luwu Utara, dan di Kota
Palopo. Tiga Kabupaten ini sebagai wilayah penyebaran agama Islam di Tana
Luwu. Kecamatan Bua dipilih karena di wilayah inilah Datok Sulaiman pertama
kali berlabuh perahunya dan menginjakkan kakinya di Tana Luwu, bertemu
dengan Maddika Bua Tandipau, tepatnya di La Pandoso. Kecamatan Malangke
Kabupaten Luwu Utara sebagai lokasi untuk mendapatkan data penelitian karena
di wilayah ini menjadi pusat pemerintahan kerajaan Luwu dan Datu Luwu Andi
Patiware masuk Islam. Dan Kota Palopo karena Palopo menjadi tempat kerajaan
Luwu setelah dipindahkan kerajaan Luwu dari Pattimang ke Palopo. Dan
dibangun masjid Jami’ Tua pada tahun 1604 M, setahun setelah Datu Luwu
masuk Islam.
Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Penelitian kualitatif
digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah, dan peneliti sebagai
instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi gabungan
dari wawancara, observasi, dan dokumentasi, analisis data bersifat induktif, dan
hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi
(Sugiyono, 2009: 8).
Mardalis mengungkapkan bahwa penelitian kualitatif berupaya
mendeskripsikan, mencatat, menganalisis dan menginterpretasikan apa yang

3
diteliti melalui observasi, wawancara, dan mempelajari dokumentasi (Mardalis,
2004: 4). Penelitian kualitatif memberikan gambaran sistematis, cermat, dan
akurat mengenai penyebaran Islam pada awal berkembangnya di Tana Luwu.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: pendekatan
historis, dan pendekatan sosiologis.
Sumber data meliputi; sumber data primer. Sumber data primer adalah
data yang otentik atau data yang berasal dari sumber pertama (Hadari Nawawi dan
Mimi Martini, 1996: 216). Diperoleh melalui wawancara yaitu tokoh agama dan
tokoh masyarakat. Data sekunder dari penelusuran berbagai referensi, baik
bersumber dari buku-buku atau sumber referensi lainnya yang berkaitan dengan
tema penelitian ini.
Metode pengumpulan data adalah (1) Observasi yakni pengamatan secara
langsung terhadap fenomena yang diamati betul-betul alami (Robert K, 1997:
112). Pengamatan yang dimaksudkan adalah pengamatan langsung, alamiah,
berpartisipasi dan bebas. Pengamatan berperan serta dalam mengamati dan
mendengarkan secermat mungkin sesuatu yang diteliti sampai pada yang sekecil-
kecilnya sekalipun (Lexy J. Moleong, 1995: 136). (2) Wawancara adalah sebuah
percakapan yang dipandu oleh seseorang dengan tujuan tertentu, biasanya antara
dua pihak atau terkadang lebih, untuk mendapatkan keterangan dari orang lain (
Mohammad Tholchah Hasan, 2002: 151). Wawancara yakni tanya lisan antara
dua orang atau lebih secara langsung (Husaini Usman dan Purnomo, Setiady
Akbar, 2001: 59). (3) Dokumentasi yakni “studi dokumen melalui barang-barang
tertulis” (Suharsini Arikunto, 1995: 200). Proses analisis data mengacu pada
teknik analisis data Miles dan Huberman (Sugiyono, 2009 243). Dilakukan
melalui tiga tahapan yaitu; reduksi data, penyajian data, dan penarikan
kesimpulan.
PEMBAHASAN
METODE PENYEBARAN AJARAN AGAMA ISLAM DATOK SULAIMAN
1. Metode Dialog
Metode merupakan suatu jalan yang harus ditempuh oleh seseorang untuk
mencapai suatu tujuan (Armai Arif, 2002:84). Semakin baik metode yang
digunakan semakin efektif pula pencapaian tujuan.
Peristiwa pengislaman Datu Luwu tampaknya ditandai dengan suatu dialog
terbuka antara Baginda Datu Luwu dengan Datok Sulaiman. Kejadian ini
disaksikan banyak orang terutama para pejabat kerajaan.
M. Sanusi Dg Mattata mengungkapkan bahwa dialog terbuka berlangsung
beberapa hari dalam suasana yang tenang, membahas dan meneliti semua segi-
segi Islam terutama dalam soal ibadah, pemerintahan, ekonomi dan masalah
akidah (M. Sanusi Dg Mattata, 1967: 71). Dialog terbuka dan berakhir dengan
adanya pegakuan yang tulus dari Datu Luwu Andi Patiware” Daeng Parabung dan
para staf kerajaan, akan keindahan Islam dengan adanya kitab (Al-Qur’an) sebagai
pedoman dan pegangan hidup yang tidak ada keragu-raguan di dalamya. Hal
tersebut sebagaimana firman Allah swt. dalam Q.S. al-Baqarah/2:2;

4
Terjemahnya: Kitab (A-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi
mereka yang bertakwa (Departemen Agama RI, 2002: 2). Takwa yaitu mengikuti
segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya,
Taufik Abdullah menyatakan bahwa Datok Sulaiman menyebarkan agama
Islam dengan cara mengutamakan ajaran tauhid (akidah) dengan menggunakan
pendekatan kepercayaan lama, kepercayaan Sawerigading, Dewata Sewwa-E
(Taufik Abdullah, 1983: 231).
Senada dengan pendapat tersebut Ritha Ikhsan mengungkapkan bahwa
pada awal Islam disebarkan di Tana Luwu mudah diterima oleh Datu Luwu
karena ajaran yang dibawa oleh Datok Sulaiman adalah ajaran tauhid , sejalan
dengan ajaran Dewata Sewwa-E yang menjadi kepercayaan masyarakat Luwu
sejak lama (Ritha Ikhsan, Tokoh Masyarakat, Wawancara)
Pada masalah tauhid tersebut, Datok Sulaiman menguraikan di dalam
bentuk dialog dengan Datu Luwu dan sejumlah kerabat kerajaan, dengan
bermacam-macam alasan, tamsil atau ibarat-ibarat yang mudah diterima. Metode
pengajaran yang digunakan oleh Datok Sulaiman itu untuk membuka alam pikiran
secara luas.
Datu Luwu dan staf kerajaan, menelaah mengenai persoalan ke Esaan
Allah swt. dengan mengajak mereka untuk menyaksikan sekaligus meneliti segala
yang bergerak.
Metode pengajaran Datok Sulaiman membuka wawasan Datu Luwu untuk
berkelana di atas alam jagat raya yang luas, dan yang tidak terbatas ini,
memperhatikan segala kejadian yang terjadi antara langit dan bumi serta segala
isinya. Semua bukti tersebut tidak dapat disangkal adalah merupakan bukti nyata
tentang adanya Allah Yang Maha Kuasa. Melihat dan meneliti keindahan alam
yang sedemikian rapi ciptaan dan susunannya, dan memperhatikan dengan
seksama seluruh apa yang bergerak, dan sampailah kepada kesimpulan yang
meyakinkan bahwa alam yang indah dan luas ini pastilah ada yang
menciptakannya, dan semua yang bergerak pasti ada yang menggerakkan yaitu
Tuhan seru sekalian alam.
Contoh yang dikemukakan oleh Datok Sulaiman tersebut mempunyai
dasar dan kaitan dalam al-Qur’an. Banyak keterangan Allah swt. dalam al-Qur’an
yang mengajak manusia memperhatikan alam dan ciptaannya. Diantaranya dapat
dilihat dalam Q.S. ali-Imran/31: 190-191;
Terjemahnya: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian
malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal,
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam
keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi
(seraya berkata), “Ya Tuhan kami tidakkah Engkau menciptakan semua ini
dengan sia-sia; Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka
(Departemen Agama RI, 2002: 96).
Demikianlah, akhirnya Andi Patiware bersama pengikutnya menerima
Islam sebagai agamanya pada tanggal 15 Ramdhan 1013 H. atau 1603 M., dan
mereka menerima Islam secara lunak dan damai.

5
2. Metode pendekatan tasawuf
Datok Sulaiman dalam menyebarkan agama Islam menggunakan pendekatan
tasawuf, ia hidup dalam kesederhanaan, mereka selalu berusaha menghayati
kehidupan masyarakatnya dan hidup bersama di tengah-tengah masyarakatnya
dengan mengajarkan nilai-nilai budaya dan nilai ajaran agama Islam sehingga
mudah dimengerti dan diterima masyarakat Tana Luwu (Syarifuddin Daud, Tokoh
Agama dan Ketua MUI Kota Palopo, Wawancara) .
Kaitannya dengan pendekatan Tasawuf Sioja Daeng Mallonjo
mengungkapkan bahwa ketika Maddika Bua Tandipau berdialog dengan Datok
Sulaiman Membicarakan ke-Tuhanan, kemudian Ampu Lembang To Maroa’ lalu
bersyair, “Kedo-kedoi na’-bombang, Menynyai na’-ware Tenra lessangenna”
artinya: “bergerak itulah gelombang, tenang itulah air yang tidak berbeda juga
dengan air”. Kemudian Datok Sulaiman memberikan jawaban dengan cara
pengertian tasawuf: ayat ‫احد‬
ً ‫ العابد ّواملعبو ُدو‬artinya: “Yang disembah dan yang
menyembah adalah bersatu (akrab), sebab ombak/gelombang sama saja air, hanya
sifatnya yang berbeda”. Kemudian menyusul nyanyian Raja/Ketua adat La Tenri
Ajeng: “Cenna dua ronnang segala dua toi Upawerekkengi ale ri abongngorekku,
Abongngoreppa massappa’, Pusapoi Mellolongeng ri masagalae”. Artinya:
“Kapan dua zat Tuhan, dua juga penyerahan kebodohanku kepada-Nya, karena
hanya kebodohan bisa mencari, dan kesesatan dapat memperoleh yang haq
(Tuhan). Datok Sualaiman memberikan jawaban dengan pengertian tasawuf.
Mengenal karena kebodohan dan mengetahui yang sebenarnya hanyalah
keingkaran diri (mengingkari diri)” (Sioja Daeng Mallonjo, 2008: 79).
Sumber-sumber yang dapat dijadikan rujukan dalam menggunakan
pendekatan tersebut dapat dilihat antara lain dalam Q.S. al-Mu’minun/23: 84-90;
Terjemahnya: Katakanlah (Muhammad), “Milik siapakah bumi, dan semua yang
ada di dalamnya, jika kamu mengetahui?”. Mereka akan menjawab, : “Milik
Allah” Katakanlah, “Maka apakah kamu tidak ingat?”. Katakanlah, “Siapakah
Tuhan yang memiliki langit yang tujuh dan yang memiliki ‘Arsy yang agung ?”.
Mereka akan menjawab, “(Milik) Allah”. Katakanlah, “ maka mengapa kamu
tidak bertakwa?”. Katakanlah: “ Siapakah yang ditangan-Nya berada kekuasaan
segala sesuatu. Dia melindungi, dan tidak ada yang dapat dilindungi (dari azab-
Nya), jika kamu mengetahui?”. Mereka akan menjawab, “(milik) Allah”.
Katakanlah, “(kalau demikian), maka bagaimana kamu sampai tertipu?”. Padahal
Kami telah membawa kebenaran kepada mereka, tetapi mereka benar-benar
pendusta. (Departemen Agama RI, 2002: 483-484).
3.Metode adu kesaktian
Ketika perahu Datok Sulaiman berlabuh dimuara Pattimang dan
tampaknya perahu itu dilihat oleh pengawal Datu Luwu (Andi Patiware).
Pengawal Datu Luwu melaporkan bahwa ada tamu, maka Datu Luwu segera
mengambil keputusan untuk menemui Datok dan kawan-kawannya. Datok
Sulaiman bergelar Datok Ri Pattimang bersama Datok Abdul Makmur Khatib
Tunggal dengan gelar Datok Ri Bandang, dan Abdul Jawat Khatib Bungsu dengan
gelar Datok Ri Tiro). Sebagai penghormatan kepada tamu, maka Datu Luwu
meminta kesediaan mereka untuk naik ke istana raja di Pattimang. Setelah mereka

6
sampai ke istana, mereka berdialog, dan menurut kebiasaan raja-raja pada waktu
itu setiap ada tamu, maka tamu tersebut selalu diminta oleh raja untuk
memperlihatkan kesaktiannya. Oleh karena Datok Sulaiman adalah seorang ulama
sekaligus politikus yang diplomatis, maka beliau kembali mempersilakan Datu
Luwu memperlihatkan kesaktiannya, dengan penuh kesatriaan Datu Luwu segera
mengambil 7 butir telur ayam, kemudian beliau menyusun telur-telur itu ke atas
dengan tidak jatuh. Sesudah itu, lalu Datu Luwu mempersilakan Datok Sulaiman
untuk memperlihatkan pula kesaktiannya. Untuk menghargai Datu Luwu, Datok
Sulaiman segera mengambil telur tersebut pada setiap selanya dengan keadaan
telur tetap tidak jatuh, seakan-akan telur itu dalam keadaan tergantung.
Muis Rahmanu mengungkapkan bahwa bahwa secara logika, ketika
diambil diantara telur yang tersusun itu pasti jatuh. Dan ini ternyata tidak jatuh
karena kehendak Allah swt. Di sinilah Datu Luwu semakin bertambah
kepercayaannya akan hakikat ajaran agama Islam, dan kebenaran adanya Allah
swt, yang disebarkan oleh Datok Sulaiman (Muis Rahmanu, Tokoh Agama,
Wawancara).
Adu kesaktian berikutnya, Datu Luwu mengambil sebuah busu (balubu
yang terbuat dari tanah), kemudian diisi dengan air, lalu ditempelkan pada dinding
dengan menghadap ke bawah, busu itu melekat dan airpun yang ada di dalamnya
tidak jatuh bahkan menetespun tidak.
Sebagai jawaban Datok Sulaiman untuk ronde kedua ini, maka ia segera
memecahkan busu yang sedang dalam keadaan melekat di dinding itu, lalu
kemudian busu itupun pecah, tetapi ternyata air yang ada di dalam busu tersebut
membeku dan tetap melekat di dinding tanpa busu lagi.
Jabani mengungkapkan bahwa busu (balubu) dipecahkan diibaratkan
tubuh manusia itu akan hancur (tidak kekal) bila saatnya tiba, tidak ada satupun
yang dapat menghalangi/mencegahnya semua itu terjadi atas kehendak Sang
Pencipta (Jabani, Tokoh Agama, Wawancara) .
Taufik Abdullah mengomentari bahwa Datu Luwu mengakui kesaktian
Datok Sulaiman dan mengajaknya untuk mendampinginya. Oleh karena Datok
Sulaiman membawa misi Islam, maka diajaklah Andi Patiware memeluk agama
Islam, dan akhirnya resmilah Datu Luwu masuk Islam pada tahun 1603 Masehi
(Taufik Abdullah, 1983: 340).
Datu Luwu yang bergelar Payung Luwu XV Andi Patiware Daeng
Parabung, juga bergelar Sultan Muhammad Mudharuddin, pengislamannya terjadi
pada tahun 1603 M. dan bertepatan 15 Ramadhan 1013H. Setelah Datu Luwu
memeluk agama Islam, maka para pembesar dan rakyat Luwu mengikutinya.
Pengislaman Datu Luwu disebarkan dan dipelihara dengan sifat kearifan, bukan
tindakan memaksa. Pelaksanaan ajaran agama Islam dalam kerajaan Luwu di
lakukan bertahap. Nilai-nilai lama yang tidak bertentangan tetap diberlakukan
utamanya di daerah luar Ware’(Pattimang-Malangke).
ASPEK AJARAN AGAMA YANG DIKEMBANGKAN
Aspek ajaran agama Islam yang dikembangkan di Tana Luwu adalah aspek
akidah dan syariah;
1. Aspek Akidah Islam

7
Hakikat yang paling substansif dalam akidah Islam adalah tauhid, yakni
meng-Esakan Allah swt. Semua unsur akidah Islam harus bermuara dari konsep
ini. Keyakinan kepada Allah-lah yang mendasari keislaman seseorang. Sebagai
konsekuensinya, ketauhidan akan menjadi kunci penting dalam aktivitas
keberagamaan.
Akidah atau tauhid, sebagai hal yang paling fundamental dan esensial
dalam ajaran agama Islam, menjadi penentu baik buruknya keislaman seorang
muslim. Sebagai pokok ajaran Islam, akidah maupun tauhid merupakan awal
sekaligus akhir dari seruan ajaran Islam. Hal tersebut dimaksudkan sebagai suatu
kepercayaan atau keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa (Nasaruddin Razak,
2006: 50). Q.S. al-Ikhlas/104:1-4;
Terjemahnya: Katakanlah (Muhammad), “Dialah Allah, Yang Maha Esa, Allah
tempat meminta segala sesuatu, (Allah) tidak beranak dan tidak pula
diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia (Departemen Agama
RI, 2002: 992).
. Tauhid adalah suatu kepercayaan yang menegaskan bahwa hanya
Tuhanlah yang menciptakan, memberi hukum-hukum, mengatur alam semesta
alam ini (tauhid Rububiyah). Sebagai konsukuensinya, hanya Tuhanlah satu-
satunya yang wajib disembah, tempat meminta petunjuk dan pertolongan (tauhid
Uluhiyah).
Doktrin tauhid bagi kehidupan manusia menjadi sumber kehidupan jiwa
dan pendidikan kemanusiaan yang tinggi. Tauhid akan mendidik jiwa manusia
untuk mengikhlaskan seluruh hidup dan kehidupannya hanyalah kepada Allah
semata (Nasaruddin Razak, 2006: 39-40).
Ajaran pokok Islam inilah yang dikembangkan oleh seorang muballigh
yang besar jasanya di kerajaan Luwu, yaitu Datok Sulaiman dengan berhasil
mengislamkan Andi Patiware (Raja Luwu XV) bersama anggota adatnya,
kemudian menyusul rakyatnya sebagai pengikut setia.
2. Aspek Syariah
Nasruddin Razak mengungkapkan bahwa syariah itu dari Allah. Sebab itu,
maka sumber syariah atau hukum datangnya dari Allah sendiri yang disampaikan
Allah swt. kepada manusia dengan perantaraan rasul-Nya (Nasaruddin Razak,
2006: 242). Asas-asas syariah sebagai berikut;
a. Tidak memberatkan. Manusia adalah makhluk dhaif, memiliki kadar
kemampuan yang terbatas. Sebab itu, hukum Tuhan tidak akan memaksa manusia
sampai melampaui kadar kemampuannya.
b. Mengadakan kewajiban secara terperinci. Yaitu “memerintah” dan “melarang”.
Perintah dan larangan itu sangat sedikit. Karena banyak kewajiban berarti
memberi beban dan memberatkan manusia.
c. Syariah datang dengan prinsip berangsur-angsur (graduasi)
Sistem ini secara psikologis sesuai dengan fitrah manusia itu sendiri, dan
adalah sangat sulit dilaksanakan sekiranya hukum-hukum yang datang itu
sekaligus demikian banyak, tentu menimbulkan kesulitan dalam
melaksanakannya. Andaikata ketentuan-ketentuan itu datangnya secara sekaligus
untuk mengubah kepercayaan-kepercayaan lama, tentu akan terasa berat diterima
oleh manusia. Itulah sebabnya, sehingga saat awal berkembangnya agama Islam

8
disebarkan di Tana Luwu masih ada beberapa adat kebiasaan yang dibiarkan bagi
yang dianggap tidak membahayakan tertib masyarakat ramai. Ada yang perlu
diubah, dan pengubahannya dilakukan secara berangsur-angsur. Diubahnya
dengan jalan menerangkan hikmah-hikmahnya atau penjelasan-penjelasan yang
bijaksana terhadap masyarakat.
Syariah Islam sangat penting diketahui oleh manusia sebagai rambu -rambu
dalam ajaran agama Islam, maka menetapkan syariah Islam di Tana Luwu dapat
dilihat pada lembaga adat 12, di mana kadi didudukkan sebagai salah satu anggota
dan sekaligus sebagai penasehat Datu Luwu.
Penunjukan kadi sebagai salah satu anggota adat 12 adalah dimaksudkan
untuk mengontrol dan menjaga agar setiap keputusan lembaga tersebut harus
disesuaikan dengan syariah Islam. Dengan demikian, orang yang menjadi kadi
harus betul-betul mengetahui ajaran Islam dan meresapi hukum-hukum di
dalamnya. Selain itu, dimaksudkan pula agar tindakan Datu Luwu dapat dikontrol
dari penyimpangan-penyimpangan hukum Islam. Kadi adalah pemegang
kebijaksanaan dalam menjalankan syariah Islam. Untuk itu dibuatlah suatu hukum
dasar yang menjamin tentang hal tersebut yang berbunyi:
Pattupui riada, pasanrae risare, muattangnga’ rirappangnge, mupattaratei
riwarie, mualai pepegau ripobiasangnge (sendikan kepada adat, sandarkan
kepada syara’, perhatikan keadaan masyarakat dan bandingkan kepada kebiasaan)
(M. Sanusi Dg Mattata, 1967:91).

PERAN DATOK SULAIMAN DALAM PENYEBARAN AGAMA ISLAM

Dalam penyebaran agama Islam di Tana Luwu, terdapat tiga


wilayah/kecamatan yaitu; Kecamatan Bua, Kecamatan Malangke, dan Kota
Palopo sebagai wilayah penyebaran agama Islam pertama di Tana Luwu Sulawesi
Selatan (Syarifuddin Daud, Tokoh Agama dan Ketua MUI Kota Palopo,
Wawancara) .
Ketiga kecamatan tersebut hingga kini masih terdapat bukti-bukti
peninggalan Datok Sulaiman sebagai penyebar agama Islam pertama kali di Tana
Luwu.
1. Wilayah Kecamatan Bua
Agama Islam mula-mula masuk di daerah Bua ( tepatnya di La Pandoso’
Desa Pabbarasseng Kecamatan Bua Kabupaten Luwu saat ini ), yang dibawah
oleh tiga missi Islam yang berasal dari Minang Kabau yakni Sulaiman (Khatib
Sulung) sebagai pimpinan, Abdul Makmur (Khatib Tunggal) dan Abdul Jawat
(Khatib Bungsu). Sebelum menuju ke Luwu, ketiganya terlebih dahulu singgah di
Makassar, kemudian meneruskan perjalanan ke Luwu. Di Luwu ketiganya tiba di
La Pandoso, muara sungai Pabbarasseng, daerah Bua dengan menggunakan
perahu layar yang bernama Qimara ( Idwar Anwar, 2010 : 128).
Pendapat senada dikemukakan Siodja Daeng Mallondjo bahwa sebelum
datangnya penyebar Islam tersebut, suatu malam Maddika Bua bermimpi melihat
tiga (3) buah matahari terbit sebelah Timur Bua. Sinarnya begitu terang, hingga
sudut-sudut yang biasanya tak terjangkau oleh penglihatan mata terlihat jelas.
Namun, tatkala pandangannya memutar kesekelilingnya, pada saat itu pula ia

9
terjaga dari mimpinya (Siodja Daeng Mallondjo, 2008: 69) . Mimpi inilah yang
kemudian diyakini oleh Maddika Bua sebagai suatu pertanda yang baik bagi
dirinya sendiri maupun rakyatnya.
Setibanya di Bua, mereka bertemu dengan nelayan setempat yang bernama
Latiwajo. Atas informasi Latiwajo, Maddika Bua mengirimkan utusannya yang
bernama Langkai Bukubuku untuk menemui Abdul Makmur, Khatib Sulaiman
dan Khatib Bungsu dengan menggunakan perahu perang yang bernama La Uli
Bue, atau perahu kulit kacang.
Idwar Anwar mengungkapkan bahwa hadir dalam pertemuan dengan
Abdul Makmur, Khatib Sulaiman dan Khatib Bungsu yakni beberapa perangkat
adat Bua terdiri dari: Maddika Bua sebagai Ketua Adat, Pabbicara, Anri Guru To
Magawe atau sakti, Pabunture atau Pati, Opu To Malompom, Ampu Lembang To
Maroa, dan Tomakaka Posi. Pada pertemuan itu Maddika Bua bersama beberapa
rombongannya melakukan Singkarume (Dialog) dengan Abdul Makmur, Khatib
Sulaiman dan Khatib Bungsu. Mereka berdialog, tentang berbagai hal khususnya
tentang ajaran Islam. Selain itu, Maddika Bua dan Datok Sulaiman melakukan
pula adu kesaktian. Dalam adu kesaktian ini, Maddika Bua dan Datok Sulaiman
masing-masing memperlihatkan kemampuannya memahami makna dan hakikat
kehidupan. Akhirnya, setelah benar-benar yakin akan kebenaran agama Islam,
Maddika Bua (Tandipau) dan para pemangku adatnya pun dengan penuh
keikhlasan memeluk agama Islam (Idwar Anwar, 2010 : 131).
Nurman Said mengungkapkan bahwa dengan memeluknya agama Islam
Maddika Bua dan beberapa pemangku adatnya membuat langkah awal Datok
Sulaiman mendapat peluang besar mudah mengembangkan agama Islam di Tana
Luwu (Nurman Said, Tokoh Agama, Wawancara).
Selanjutnya Idwar Anwar mengungkapkan bahwa setelah agama Islam
diterima dengan baik oleh Maddika Bua dan para pemangku adatnya, maka Islam
perlahan berkembang di Bua. Daerah ini kemudian menjadi basis awal dari
perkembangan Islam di Tana Luwu. Dan ketika masyarakat Bua telah banyak
yang memeluk Islam, termasuk beberapa daerah di sekitarnya dalam masa itu
pulalah didirikan sebuah rumah ibadah dalam bentuk yang sederhana pada tanggal
1 Rajab 1013 H yang bertempat di Dusun Tanarigella. Arsitektur bangunan mesjid
itu sangat sederhana (Idwar Anwar, 2010 : 136).
Agar aktivitas keagamaan di masjid tersebut berjalan dengan baik, maka
setelah pembangunan masjid rampung, Datok Sulaiman membentuk pengurus
masjid yang dikenal nama Parewa syara’. Lembaga tersebut diharapkan dapat
membantu proses penyebaran agama Islam di Tana Luwu, khususnya di Bua.
Nurhidayat Said mengungkapkan bahwa susunan Parewa Syara’ terdiri
dari:
1. Kadi (Hakim Agama). Orang yang menjabat tugas ini, diharuskan
memiliki pengetahuan yang luas mengenai Hukum Syara’.
2. Imam Masjid (Pemimpin Sholat).
3. Khatib (Pembaca Khutbah) harus memiliki pengetahuan mengenai
hukum Syara’.
4. Bilala’ (Menyuarakan Adzan).
5. Addoja/Doja (Pemelihara Masjid) mereka bertugas menjaga

10
/ mengurus masjid dan yang berkaitan dengan agama Islam dan bukan tergolong
hamba sahaya (Nurhidayat Said, Tokoh Agama, Wawancara). Pembentukan
parewa syara’ (Pegawai Syara’) ini menjadi cikal bakal dari perangkat syara’ di
seluruh wilayah Tana Luwu.
Nasrul Sioja dalam suatu wawancara memberi penjelasan bahwa pegawai
syara’ yang diangkat itu adalah yang sudah pandai di bidang agama utamanya
membaca al-Qur’an, turunan raja atas usul anggota adat Bua (Nasrul Sioja,
Tokoh Masyarakat, Wawancara).
Di sisi lain Annas Sioja menjelaskan bahwa Datok Sulaiman sebagai
seorang missi Islam telah berusaha mengajarkan agama Islam tanpa mengenal
lelah. Ketika mereka merasa yakin bahwa rakyat Bua sudah dapat melaksanakan
ajaran agama Islam, maka Datok Sulaiman berkeinginan lagi untuk menemui
Pajung atau Datu Luwu. Usul itu diterima oleh masyarakat setempat dan Maddika
Bua (Tandipau) sendiri dengan ketentuan kiranya Datok Sulaiman dapat
menyimpan buku atau suatu pedoman atau pegangan yang dapat dijadikan sebagai
pedoman dalam pelaksanaan ajaran agama Islam (Annas Sioja, Tokoh
Masyarakat, Wawancara). Harapan Maddika Bua itu dikabulkan oleh Datok
Sulaiman dengan mempersembahkan sebuah buku untuk mendalami ajaran Islam.
Pendapat senada diungkapkan bahwa suatu bukti yang meyakinkan
tentang masuk Islam pertama kali di Bua adalah dengan adanya tulisan tangan
Datok Sulaiman sendiri yang di tinggalkan di Bua tentang ajaran tauhid, fikhi,
akhlak dan lain-lain yang berhubungan dengan ajaran Islam. Buku tersebut ditulis
dengan huruf Arab berbahasa melayu (Sitti Ana, Tokoh Masyarakat, Wawancara).
Buku tersebut masih tersimpan dan terpelihara baik oleh orang-orang tua di Bua.
Muhammad Arafah juga mengungkapkan bahwa setelah penyerahan
buku kepada Maddika Bua (Tandipau), berangkatlah ketiga missi tersebut
bersama dengan Maddika Bua, Kadi Langkai dan pengawal-pengawalnya menuju
pusat pemerintahan kerajaan Luwu yang berkedudukan di Malangke untuk
menemui Datu Luwu. Mereka dengan menggunakan perahu Qimara (Perahu
ketiga missi) dan Lauli Bue’ (Perahu perang Maddika Bua) (Muhammad Arafah,
Tokoh Agama, Wawancara). Dalam perjalanan laut dengan naik perahu dari Bua
ke Malangke ditempuh dalam waktu yang tidak terlalu lama.
2. Wilayah Kecamatan Malangke
Muhammad Idris mengungkapkan bahwa sebelum memasukki kerajaan
Luwu, Datok Sulaiman dan kawan-kawannya terlebih dahulu mempelajari situasi
dan keadaan Raja Luwu yang sakti itu, yakni mereka mendapatkan informasi dari
Maddika Bua untuk melengkapi informasi yang telah dipelajari sebelumnya
sewaktu masih di Johor (Muhammad Idris, Tokoh Agama, Wawancara).
Informasi awal yang diterima di Johor adalah informasi melalui orang-orang
Luwu yang mengembara di sana jauh sebelum Datok Sulaiman datang ke Tana
Luwu.
Idwar Anwar mengungkapkan bahwa karena Andi Patiware telah menaruh
simpatik atas perilaku Datok Sulaiman yang sangat alim dan ramah, maka setiap
saat selalu terjadi diskusi antara Datok Sulaiman dengan Andi Patiware. Akhirnya
Datu Luwu (Andi Patiware) memeluk agama Islam pada hari Jumat tanggal 15
Ramadhan 1013 H/ 5 Februari 1603 M (Idwar Anwar, 2010: 132). Ia kemudian

11
diberi gelar Sultan Muhammad Mudharuddin, dan ketika mangkat diberi gelar
Matinroe ri Ware’.
Sioja Daeng Mallondjo menyatakan pendapatnya bahwa setelah masuknya
agama Islam di Kedatuan Luwu telah memberikan warna lain dalam kehidupan
masyarakat. Hal ini dapat dilihat dengan semakin bertambahnya norma -norma
yang menjadi tuntunan masyarakat. Norma-norma ini berimplikasi pada aktivitas
sehari-hari masyarakat, utamanya pada berbagai pelaksanaan kegiatan keagamaan.
Misalnya dengan adanya salat Jumat dan berbagai ritual keagamaan lainnya yang
sebelumnya beliau pernah dilaksanakan (Sioja Daeng Mallondjo, 2008: 106).
Agama Islam pun berkembang dengan cepat ke seluruh bagian kekuasaan
Kerajaan Luwu. Masyarakat dapat menerima dengan baik berbagai ajaran yang
terdapat dalam agama Islam.
Ketika Baginda Pajung/Datu (Andi Patiware) menerima Islam sebagai
agama kepercayaannya, segera diumumkan peristiwa membahagiakan tersebut ke
seluruh wilayah Kerajaan Luwu dengan harapan agar seluruh rakyat mengikuti
jejak dan langkah Datu Luwu yang telah memeluk agama yang membawa
kebahagiaan yang sesungguhnya.
Berdasarkan keputusan ´Ade’ Seppulu Dua, agama Islam pun kemudian
dijadikan sebagai agama resmi Kedatuan Luwu.
Nidal Waje mengungkapkan dalam suatu wawancara bahwa Ade’ Seppulu
Dua adalah; 1. Pajung/Datu, Cenning (sebagai pengganti Pajung/Datu jika
berhalangan, 2. Penghulu Sara’, 3. Pakkatenni Ade’, 4. Makole Baebunta, 5.
Maddika Bua, 6. Maddika Ponrang, 7. Anre’ Guru Anakarung, 8. Anre’ Guru
Attoriolong, 9. Anre’ Guru Pampawa Epu, 10. Matoa Wage, 11. Matoa Cenrana,
dan 12. Matoa Laleng Tonro (Nidal Waje, Tokoh Masyarakat, Wawancara). Ade;
Seppulu Dua, bertugas seebagai badan pelaksana pemerintah yang membantu
pajung/datu dalam menjalankan pemerintahan.
Setelah Islam sebagai agama resmi kedatuan, maka pelaksanaan ajaran
Islam dalam kedatuan Luwu mulai diterapkan secara bertahap. Nilai-nilai lama
yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam tetap diberlakukan. Sedangkan
kebiasaan-kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran Islam mulai ditinggalkan.
Agama Islam mudah diterima oleh masyarakat Luwu, Jabani
mengungkapkan bahwa diantara sebabnya adalah;
1. Konsep ajaran (ketuhanan) yang dibawa agama Islam diyakini hampir sama
dengan konsep nilai-nilai (ketuhanan) dalam ajaran kuno masyarakat Luwu,.
2. Masyarakat Luwu menganggap bahwa agama Islam yang dibawa oleh Nabi
Muhammad sama dengan yang diajarkan oleh Sawerigading. Pemahaman
masyarakat Luwu bahwa Sawerigading dan Muhammad: …iya muto,…iya muto
(dia juga,…itu juga).
3. Agama Islam telah diterima oleh Datu Luwu (Andi Patiware) dan dijadikan
sebagai agama resmi Kedatuan Luwu.
4. Kepatuhan dan kepercayaan masyarakat Luwu terhadap Datu Luwu (Andi
Patiware) yang sangat besar (Jabani, Tokoh Agama, Wawancara). Dalam
menjalankan roda pemerintahan, Datu Luwu juga mulai menerapkan sistem
hukum yang sesuai dengan ajaran Islam.

12
Idwar Anwar mengungkapkan bahwa Datu Luwu menerapkan ajaran
Islam dalam menjalankan pemerintahan dengan mengacu pada nasehat Datok
Sulaiman sebagai berikut;
1. Seorang Pajung/Datu harus selalu bertindak adil, jujur, dan berperilaku
benar;
2. Sehari saja Pajung/Datu berbuat adil, nilainya sama dengan salat 40 hari
40 malam
3. Pajung/Datu hanya boleh mengatur perdagangan, tetapi tidak boleh ikut
berdagang, dan
4. Kedatuan harus mengawasi pelaku pasar untuk berperilaku jujur dalam
berdagang (Idwar Anwar, 2016: 62).
Peran penting yang dilakukan oleh Datok Sulaiman yang didukung oleh
pihak Kedatuan Luwu dalam menyebarkan ajaran Islam, khususnya di wilayah
Kedatuan Luwu di antaranya:
1. Menerapkan ajaran Islam dalam sistem pemerintahan dan hukum di
Kedatuan Luwu.
2. Memasukkan unsur Islam (Pagulu syara’/Datunna syara’/kadi) dalam
struktur Kedatuan Luwu sebagai salah satu unsur Ade’ Seppulo Dua
(Hadat 12).
3. Menjadikan istana sebagai pusat penyebaran agama Islam.
4. Mendidik calon-calon ulama yang akan bertugas sebagai penyiar
agama Islam
5. Mengirim utusan ke berbagai pelosok wilayah Kedatuan Luwu untuk
menyiarkan agama Islam.
6. Membentuk kelompok-kelompok pengajian, membangun rumah-
rumah ibadah (Idwar Anwar, 2016: 135).
Datok Sulaiman mendapat dukungan Kedatuan Luwu dalam menyebarkan
agama Islam, membuat agama Islam dengan cepat menyebar dan diterima dengan
baik dihampir seluruh wilayah kekuasaan Datu Luwu.
3. Wilayah Kota Palopo
Pesatnya perkembangan agama Islam di kerajaan Luwu mencapai
puncaknya pada masa pemerintahan Datu Luwu atau Pajung Luwu XVI Pati
Pasaung Toampanangi, Sultan Abdullah Matinroe Ri Malangke yang
menggantikan ayahandanya pada awal tahun 1604.
Abdul Muin Razmal menjelaskan bahwa pada awal pemerintahan Sultan
Abdullah beliau memindahkan ibu kota kerajaan Luwu dari Patimang ke Ware
Palopo. Pertimbangan perpindahan ini berdasarkan pada teknis strategis
pemerintahan dan pengembangan ajaran agama Islam. Untuk mendukung
perkembangan agama Islam, maka Datok Sulaiman berhasil mendirikan sebuah
masjid permanen pada tahun 1604 M di tengah Kota Palopo tidak jauh dari istana
(Abdul Muin Razmal, Tokoh Masyarakat, Wawancara). Masjid yang dibangun
itu diberi nama masjid Tua Palopo.
Masjid Tua Palopo tumbuh pada zaman madya Indonesia yang berfungsi
sebagai masjid kerajaan atau masjid istana, maka dari itu letaknya berada di
sebelah barat alun-alun, dan masjid ini pun merupakan gambaran struktur
perkotaan pada awal masa Islam di Indonesia.

13
Harisal A. Latief mengungkapkan bahwa perpindahan pusat kerajaan
Luwu ke Palopo dilanjutkan dengan pendirian sebuah masjid megah.
Bangunannya amat kokoh dan memiliki bentuk yang unik yang diberi nama
masjid Jami’ (Tua) Palopo. Memiliki tiang agung terbuat dari kayu yang kuat dan
keras. Konon tukang pahat kayu pekerjanya ada empat puluh orang. Setiap tukang
pahat dibantu oleh tukang asah sebanyak empat puluh orang. Tidak kurang dari
seribu orang setiap harinya terlibat dalam penyelesaian bangunan masjid Jami’
(tua) Palopo (Harisal A. Latief, 2018: 311).
Pembangunan masjid jami’ (tua) Palopo, ditandai dengan pemancangan
tiang soko guru tunggal yang berfungsi sebagai penopang puncak atap tumpang
paling atas. Penempatan tiang soko guru yag dipasang lebih awal, tepat di tengah
bangunan masjid merupakan penyesuaian dengan tradisi pembuatan bangunan
masyarakat Luwu.
Idwar Anwar mengemukakan bahwa selain pandangan tasawuf, unsur
tauhid juga menjadi dasar dalam pembangunan masjid Jami’ (tua) Palopo. Unsur
tauhid terkait dengan perlambangan atap tiga tingkat masjid Jami’ (tua) Palopo
yang terdiri dari; Islam, Iman dan ihsan. Hubungan antara ketiga unsur tauhid
tersebut dengan struktur perlambangan atap masjid Jami’ adalah:
1. Islam (yang berarti yang berserah diri) dilambangkan dengan atap paling
bawah beserta badan bangunan. Dalam konteks simbolisme kebudayaan Luwu
bagian ini dapat diartikan lempu (jujur).
2. Iman (yang berarti percaya atau pembenaran) dilambangkan dengan atap
tingkat dua (tengah). Dalam konteks simbolisme kebudayaan Luwu bagian ini
dapat diartikan tongeng (benar).
3. Ihsan (yang berarti kebaikan yang luhur atau sebuah perbuatan yang sungguh-
sungguh untuk mengabdikan diri kepada Allah swt) dilambangkan dengan atap
tingkat tiga. Dalam konteks simbolisme kebudayaan Luwu bagian ini dapat
diartikan getteng (tegas dan keteguhan hati).
4. Pada tingkat puncak masjid (mustaka) melambangkan “kedudukan” Allah yaitu
mengenal Tuhan Yang Maha Tinggi. Dalam konteks simbolisme kebudayaan
Luwu bagian ini dapat diartikan adele’ (keadilan) (Idwar Anwar, 2016: 142-143)
.
Golongan Raja dan anggota adatnya dengan mudah menerima Islam
sebagai agama mereka, bahkan Islam bukanlah suatu yang baru melainkan
hanyalah sebagai penyempurnaan dari segala-galanya. Itulah sebabnya dengan
mudah Islam berkembang ke seluruh pelosok Tana Luwu dan wilayah sekitarnya.
Hal ini dapat dilihat pada kepercayaan mereka sebelum datangnya Islam, yaitu
menyembah Tuhan “Dewata Sewwa-E” yang dianggapnya menciptakan dan
mengatur seluruh isi alam jagat raya ini.
Datok Sulaiman menjelaskan bahwa yang dimaksud Tuhan “Dewata
Sewwa-E” adalah Allah swt., yang menciptakan alam semesta ini bersama seluruh
isinya. Mendengar penjelasan Datok Sulaiman itu, maka Datu Luwu bersama
seluruh anggota adatnya memutuskan untuk memeluk Islam secara menyeluruh
serta penuh kesadaran akan melaksanakan seluruh kewajiban agama sebagai
konsekuensi dari pengakuan mereka. Hal ini dapat dilihat pada sistem
pangngadareng yang mana ajaran agama Islam dimasukkan di dalamnya.

14
Berkaitan dengan itu Mattulada mengemukakan sebagai berikut; Eppami
uangena pedecengie tana, iami nagenne’lamampuangeng, manapi nani
asellengeng naripattama tona sara’e seunai adee, maduanna rapance, matelunna
ware’e, maeppa’na bicarae, malimanna sara’e… artinya: Empat macam segi
yang memperbaiki negara, barulah dicukupkan lima macamnya, ketika sampai
kepada keislaman dan dimasukkan juga syara’ Islam pertama Ade, kedua rapang,
ketiga wari, kempat bicara (Mattulada, 1975: 21).
Diterimanya agama Islam dan dijadikannya syariah Islam sebagai integral
dari pangngadareng, maka pranata-pranata sosial budaya orang Bugis pada
umumnya, khususnya masyarakat Luwu memperoleh warna baru karena syara’
(syariah) memberikan peranannya dalam berbagai tingkah laku kehidupan sosial
budaya, konsep mereka tentang nilai-nilai Islam tidak banyak mengubah nilai-
nilai kemasyarakatan dan kebudayaan yang telah ada.
KESIMPULAN
Metode penyebaran ajaran agama Islam yang digunakan Datok Sulaiman
di Tana Luwu meliputi; Metode dialog, metode pendekatan tasawuf, dan metode
adu kesaktian. Ketiga metode digunakan untuk meyakinkan Datu Luwu kebenaan
ajaran Islam sebagai agama yang membawa kemajuan, memberi keselamatan
dunia dan akhirat.
Aspek ajaran agama Islam yang dikembangkan Datok Sulaiman adalah
aspek akidah atau tauhid dan aspek syariah. Datok Sulaiman mengembangkan
aspek akidah dan syariah karena masyarakat Tana Luwu telah memiliki
kepercayaan kepada “Dewata Sewwa-E” sebelum ajaran Islam diajarkan.
Datok Sulaiman sangat berperan dan gigih menyebarkan ajaran agama
Islam. Kegigihan Datok Sulaiman dalam menyebarkan ajaran agama Islam
tampak ia tunjukkan, karena ia tetap berada di Tana Luwu menyebarkan ajaran
agama Islam hingga wafatnya. Ia wafat dan di makamkan di Pattimang
Kecamatan Malangke (saat ini Kabupaten Luwu Utara). Hingga kini makamnya
banyak di ziarahi baik oleh penduduk yang berasal dari Tana Luwu, maupun dari
daerah kabupaten lain.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik. Agama dan Perubahan Sosial. Jakarta: CV. Rajawali, 1983 .

Anwar, Idwar. Jejak-Jejak Suara Rakyat: Menelusuri Sejarah DPRD Kota


Palopo. Cet. II; Palopo: Komunitas Sawerigading, 2008.

------------------. Sejarah dan Kebudayaan Luwu. Cet. III; Palopo: Pustaka


Sawerigading Arung, 2016.

-----------------. Sejarah Luwu: Mengurai Catatan Ringkas Sejarah Luwu sebelum


Kemerdekaan. Cet. I; Kota Palopo: Pustaka Sawerigading, 2010.

Arif, Armai. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat
Press, 2002.

15
Arikunto, Suharsini. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Ed. Revisi.
Jakarta: Rineka Cipta, 1992.

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya . Semarang: Toha Putra,


2002.

Effendi. Ensiklopedi Agama dan Filsafat. Cet. III; Palembang; Universitas


Brawijaya, 2001.

Hasan, Mohammad Tholchah. Metode Penelitian Kualitatif . Malang: Lembaga


Penelitian Universitas Negeri Malang, 2002.

Hijazy, ‘Iwadhullah Jaddu. Dirasat al-‘aqidah fi-al-Islam , Kairo: Dar at-


Thaba’ah al-Muhammadiyah, 1996.

Latief, Harisal A. Kedatuan Luwu: Dalam Lintasan Sejarah dan Budaya. Cet. II;
Palopo: Pustaka Sawerigading, 2018.

Mallondjo, Siodja Daeng. Kedatuan Luwu: Catatan Tentang Sawerigading,


Sistem Pemerintahan dan Masuknya Islam. Cet. II; Kota Palopo:
Komunitas Sawerigading, 2008.

Mardalis. Metode Penelitian; Suatu Pendekatan Proposal. Cet. VII; Jakarta: Bumi
Aksara, 2004.

Mattata, M. Sanusi Dg. Luwu dalam Revolusi. Ujungpandang: Bakti Baru, 1967.

Mattulada. Islam di Sulawesi Selatan, dalam Taufik Abdullah (ed). Agama dan
Perubahan Sosial (Jakarta: CV. Rajawali, 1983.

Menzies, Allan. Sejarah Agama-Agama. Yogyakarta: Forum, 2014.

Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Cet. VIII; Bandung: Remaja


Rosdakarya, 1995.

Muhaimin, dkk. Studi Islam. Cet. V; Jakarta: Kencana, 2017.

Nasution, Harun. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Cet. V: Jakarta: UI


Press, 1979.

Nawawi, Hadari dan Mimi Martini, Penelitian Terapan . Yogyakarta: Gajah


Mada University Press, 1996.

Rama, Bahaking. Metode Penyebaran Islam Pada Awal Berkembangnya di


Sulawesi Selatan dan Relevansinya dengan Dakwah Islam di Kota Madya
Ujung Pandang. Ujung Pandang: Pusat Penelitian IAIN Ujung Pandang,
1996.

Razak, Nasruddin. Dienul Islam. Cet. XVII; Bandung: PT. Ma’arif, 2006.

Robert, K. Studi Kasus:Desain dan Metode. Jakarta: Raja Grafindo, 1997.

Salim, Abd. Muin. Jalan Lurus Menuju Hati Sejahtera. Jakarta: Kalimah, 1999.

16
Sewang, Ahmad M. Islamisasi Kerajaan Gowa: Abad XVI Sampai Abad XVII.
Cet. II; Yogyakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005.

Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan Keserasian Al-Qur’an, Vol.


I. Jakarta : Lentera Hati, 2000.

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D . Cet. VI;


Bandung: Alfabeta, 2009.

Usman, Husaini dan Purnomo Setiadi Akbar. Metode Penelitian Sosial. Jakarta:
Bumi Aksara, 2001.

17

Anda mungkin juga menyukai