Perbedaan kebudayaan ini pada akhirnya membentuk karakteristik pribadi yang unik
pada peserta didik. Oleh karena itu, sebagai Guru yang ingin menciptakan
pembelajaran yang menyenangkan, kita harus mempertimbangkan latar belakang
budaya peserta didik saat merancang pembelajaran dan asesmen.
a. mengakui adanya warisan budaya dari berbagai kelompok etnis yang berbeda,
Menurut Ladson & Billings (1995) tujuh karakteristik dari Culturally Responsive
Teaching (CRT) antara lain:
Di sisi lain, pesatnya kemajuan teknologi informasi serta komunikasi di masa Revolusi
Industri keempat mengubah teknik berpikir dan bekerja warga. Riset sebelumnya
sudah menampilkan bagaimana budaya sosial telah berkembang karena
meningkatnya pemanfaatan teknologi digital. Hal ini bisa menjadi kesempatan
sekaligus tantangan yang wajib dijawab dengan mempersiapkan generasi penerus.
Sekolah perlu ditransformasikan guna memungkinkan generasi mendatang
mendapatkan keahlian, teknologi, dan nilai-nilai budaya daerah yang perlu
dilestarikan di abad ke-21 ini.
Dalam konteks Indonesia dengan keragaman nilai, keyakinan, suku bangsa serta
latar belakang budaya yang bermacam- macam, hal ini mempengaruhi nilai serta
perilaku peserta didik, dan interaksi Guru-peserta didik (Rahmawati et al., 2019). Oleh
sebab itu, perlu adanya pendekatan Culturally Responsive Teaching (CRT) yang bisa
memasukkan budaya Indonesia ke dalam pembelajaran. Pembelajaran jadi lebih
bermakna untuk peserta didik dengan memperkenalkan mereka pada budaya
kehidupan sehari-hari mereka di dalam kelas (Abramova & Greer, 2013).
Budaya serta pembelajaran saling terpaut serta tidak bisa dipisahkan. Adalah baik
untuk mempertahankan budaya asli, akan tetapi perlu dilakukan perubahan dengan
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi sebab pemakaian serta
pelaksanaan teknologi komunikasi bisa mempengaruhi mikrokultur kelas (Chen & Lin,
2018; McLoughlin, 1999). Beberapa riset sudah mengombinasikan Culturally
Responsive Teaching (CRT) dengan pemakaian teknologi, semacam pendidikan
CRTT dengan multimedia (Maaruf & Siraj, 2013), memanfaatkan komunitas online
dalam pembelajaran CRT (McLoughlin, 1999) serta memanfaatkan kelas robotika
(Chen & Lin, 2018).
Tidak hanya itu, penting untuk dicatat bahwa seluruh pendidik wajib senantiasa
berupaya untuk menyediakan lingkungan belajar yang memenuhi kebutuhan tiap
peserta didik. Menurut Piaget (dalam McLeod, 2009), peserta didik meningkatkan
konsep belajar lewat interaksi dengan lingkungan belajar sebagai media budaya yang
diciptakan oleh kerja sama sosial antara peserta didik dengan lingkungan belajarnya.
Hal ini menegaskan jika terdapat keterkaitan antara interaksi antara aspek sosial,
pembelajaran serta budaya sebagai dasar untuk mendapatkan pengetahuan serta
keahlian lewat proses pembelajaran. Oleh sebab itu, tidak berlebihan bila Crawford
serta Adler (1996) menyatakan statement bahwa, “ada hubungan antara orang-orang
dan konteks budaya di mana mereka bertindak dan berinteraksi dalam pengalaman
bersama”. Dari sini, pendidikan, atau lebih tepatnya aktivitas belajar, sesungguhnya
ialah aktivitas budaya yang membagi pengalaman serta pengetahuan yang dipunyai
seorang peserta didik lebih dahulu dengan siswa lain serta mengaitkannya dengan
pengetahuan yang dipelajarinya.
4. jamu di Weru Sukoharjo Jawa Tengah dalam pembelajaran IPA materi unsur,
senyawa, dan campuran.