Anda di halaman 1dari 5

Indonesia merupakan negara kepulauan yang di dalamnya terdapat berbagai macam

suku bangsa dan budaya, akibatnya pendidikan dalam keluarga mempunyai


kekhasannya masing-masing. Misalnya ada keluarga dari suku tertentu yang
mengajarkan anak-anaknya untuk membungkuk saat berjalan melewati orang yang
lebih dewasa, atau tidak boleh menimbulkan bunyi saat mengunyah makanan.

Perbedaan kebudayaan ini pada akhirnya membentuk karakteristik pribadi yang unik
pada peserta didik. Oleh karena itu, sebagai Guru yang ingin menciptakan
pembelajaran yang menyenangkan, kita harus mempertimbangkan latar belakang
budaya peserta didik saat merancang pembelajaran dan asesmen.

Pendekatan pembelajaran Culturally Responsive Teaching (CRT) atau juga dikenal


dengan pengajaran responsif budaya adalah model pendidikan teoritis dan praktik
yang tidak hanya bertujuan meningkatkan prestasi peserta didik, tetapi juga
membantu peserta didik menerima dan memperkokoh identitas budayanya. Menurut
Ladson-Billing (1995: 164) terdapat tiga proposisi pendidikan tanggap budaya, yakni:
pertama, peserta didik mencapai kesuksesan akademis; kedua, peserta didik mampu
mengembangkan, dan memiliki kompetensi budaya (cultural competence), dan
peserta didik membangun kesadaran kritis (critical consciousness) sehingga mereka
dapat berpartisipasi dalam merombak tatanan sosial yang tidak adil. Sehingga
pendidikan responsive budaya juga merupakan pembelajaran konstruktivistik (Alexon
2010:14)

Pendekatan ini mengintegrasikan prinsip dan karakteristik peserta didik, terutama


latar belakang budaya dalam proses pembelajaran, sehingga berbagai metode
pembelajaran, digunakan dalam pembelajaran (Rahmawati, 2018). Menurut Gay
(2000), Culturally Responsive Teaching (CRT) diintegrasikan melalui sejauh mana
pengetahuan budaya yang dimiliki oleh peserta didik, pengalaman peserta didik, dan
gaya belajar yang beragam agar memberikan pengalaman belajar yang lebih
bermakna.

Sementara itu menurut Gay (2000) karakteristik dari pendekatan pembelajaran


Culturally Responsive Teaching (CRT), antara lain:

a. mengakui adanya warisan budaya dari berbagai kelompok etnis yang berbeda,

b. membangun hubungan yang bermakna antar peserta didik,

Prinsip Pengajaran dan Asesmen II | 52


c. menggunakan berbagai strategi pembelajaran yang terkait dengan berbagai
macam gaya belajar yang berbeda,

d. mengajarkan peserta didik untuk mengetahui dan mencintai warisan budaya


mereka sendiri serta menghargai kebudayaan orang lain,

e. menggabungkan informasi multikultural, sumber daya, serta keterampilan untuk


diajarkan di sekolah.

Menurut Ladson & Billings (1995) tujuh karakteristik dari Culturally Responsive
Teaching (CRT) antara lain:

1) positive perspectives on parents and families, Guru membangun hubungan


yang baik dengan orangtua serta keluarga peserta didik,

2) communication of high expectation, Guru memberikan pujian terhadap


prestasi peserta didik, dan memberikan simpati jika peserta didik gagal dalam
proses akademiknya,

3) learning within the context of culture, adanya keberagaman budaya yang


dimiliki setiap peserta didik yang ada di sekolah, serta adanya proses
globalisasi yang mengharuskan kita untuk mengembangkan pemahaman
mendalam tentang budaya kita di antara populasi yang beragam,

4) student-centered instruction, pembelajaran yang tercipta harus dapat


membuat peserta didik aktif. Peran Guru sebagai perencana pembelajaran di
kelas diperlukan agar dapat terjadi aktivitas dan komunikasi yang positif antar
peserta didik. Kegiatan pembelajaran yang memahami peserta didik sebagai
individu yang dapat mengkonstruksi pengetahuannya berdasarkan
pengetahuan sebelumnya,

5) culturally mediated instruction, kegiatan multikultural yang sedang


berlangsung dalam ruang kelas menimbulkan kesadaran akan keberagaman
budaya. Hal ini terkait pembahasan mengenai macam-macam aplikasi konten
pelajaran dalam adat yang berbeda-beda,

Prinsip Pengajaran dan Asesmen II | 53


6) reshaping the curriculum, sekolah harus membuat kurikulum yang dapat
membangun karakter peserta didik dan tidak hanya terfokus pada hasil
akademik, dan

7) teacher as facilitator, dalam pembelajaran ini Guru bertindak sebagai


fasilitator. Guru harus dapat memfasilitasi peserta didik selama proses
pembelajaran berlangsung. Dalam hal ini Guru juga berperan sebagai
konsultan dan mediator di dalam kelas.

Di sisi lain, pesatnya kemajuan teknologi informasi serta komunikasi di masa Revolusi
Industri keempat mengubah teknik berpikir dan bekerja warga. Riset sebelumnya
sudah menampilkan bagaimana budaya sosial telah berkembang karena
meningkatnya pemanfaatan teknologi digital. Hal ini bisa menjadi kesempatan
sekaligus tantangan yang wajib dijawab dengan mempersiapkan generasi penerus.
Sekolah perlu ditransformasikan guna memungkinkan generasi mendatang
mendapatkan keahlian, teknologi, dan nilai-nilai budaya daerah yang perlu
dilestarikan di abad ke-21 ini.

Dalam konteks Indonesia dengan keragaman nilai, keyakinan, suku bangsa serta
latar belakang budaya yang bermacam- macam, hal ini mempengaruhi nilai serta
perilaku peserta didik, dan interaksi Guru-peserta didik (Rahmawati et al., 2019). Oleh
sebab itu, perlu adanya pendekatan Culturally Responsive Teaching (CRT) yang bisa
memasukkan budaya Indonesia ke dalam pembelajaran. Pembelajaran jadi lebih
bermakna untuk peserta didik dengan memperkenalkan mereka pada budaya
kehidupan sehari-hari mereka di dalam kelas (Abramova & Greer, 2013).

Budaya serta pembelajaran saling terpaut serta tidak bisa dipisahkan. Adalah baik
untuk mempertahankan budaya asli, akan tetapi perlu dilakukan perubahan dengan
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi sebab pemakaian serta
pelaksanaan teknologi komunikasi bisa mempengaruhi mikrokultur kelas (Chen & Lin,
2018; McLoughlin, 1999). Beberapa riset sudah mengombinasikan Culturally
Responsive Teaching (CRT) dengan pemakaian teknologi, semacam pendidikan
CRTT dengan multimedia (Maaruf & Siraj, 2013), memanfaatkan komunitas online
dalam pembelajaran CRT (McLoughlin, 1999) serta memanfaatkan kelas robotika
(Chen & Lin, 2018).

Prinsip Pengajaran dan Asesmen II | 54


Setiap peserta didik unik. Artinya, mereka berbeda satu sama lain antara peserta didik
satu dengan peserta didik yang lain. Oleh sebab itu, walaupun terdapat Guru yang
sama di kelas yang sama, pengetahuan yang dikumpulkan oleh satu siswa berbeda
dengan pengetahuan peserta didik yang lain. Seperti yang dinyatakan oleh Sutton,
Cafarelli, Lund, serta Schurdell (1996), “Belajar adalah kegiatan individu dan, oleh
karena itu, tidak ada dua peserta didik yang akan meninggalkan kelas dengan
pemahaman yang sama persis”. Gunstone (1995, p.9) menyatakan, “― sifat makna
yang dibangun secara pribadi individu sangat dipengaruhi oleh ide-ide dan
keyakinannya yang ada”. Dengan demikian, pembangunan pengetahuan pembelajar
dipengaruhi oleh pemikiran pribadinya tentang apa yang ia pelajari. Oleh sebab itu,
penting bagi pendidik untuk memperhitungkan pengetahuan serta pengalaman
belajar yang sudah dipunyai oleh setiap peserta didik yang mereka kelola lebih
dahulu. Kedua perihal tersebut bisa dijadikan dasar bagi peserta didik untuk
menguasai apa yang dipelajarinya dalam aktivitas belajarnya.

Tidak hanya itu, penting untuk dicatat bahwa seluruh pendidik wajib senantiasa
berupaya untuk menyediakan lingkungan belajar yang memenuhi kebutuhan tiap
peserta didik. Menurut Piaget (dalam McLeod, 2009), peserta didik meningkatkan
konsep belajar lewat interaksi dengan lingkungan belajar sebagai media budaya yang
diciptakan oleh kerja sama sosial antara peserta didik dengan lingkungan belajarnya.
Hal ini menegaskan jika terdapat keterkaitan antara interaksi antara aspek sosial,
pembelajaran serta budaya sebagai dasar untuk mendapatkan pengetahuan serta
keahlian lewat proses pembelajaran. Oleh sebab itu, tidak berlebihan bila Crawford
serta Adler (1996) menyatakan statement bahwa, “ada hubungan antara orang-orang
dan konteks budaya di mana mereka bertindak dan berinteraksi dalam pengalaman
bersama”. Dari sini, pendidikan, atau lebih tepatnya aktivitas belajar, sesungguhnya
ialah aktivitas budaya yang membagi pengalaman serta pengetahuan yang dipunyai
seorang peserta didik lebih dahulu dengan siswa lain serta mengaitkannya dengan
pengetahuan yang dipelajarinya.

Beberapa contoh budaya yang dapat diintegrasikan ke dalam materi pembelajaran:

1. penggunaan jenis-jenis makanan tradisional dalam pembelajaran matematika


materi sistem persamaan linear dua variabel,

Prinsip Pengajaran dan Asesmen II | 55


2. tradisi nginang (makan sirih dan tembakau) di Sekaten dalam pembelajaran Kimia
materi Koloid,

3. seni Reog Ponorogo dalam Pembelajaran IPS materi keragaman budaya


Indonesia, dan

4. jamu di Weru Sukoharjo Jawa Tengah dalam pembelajaran IPA materi unsur,
senyawa, dan campuran.

Prinsip Pengajaran dan Asesmen II | 56

Anda mungkin juga menyukai