Anda di halaman 1dari 9

Nama : Jonni Lastua Sitorus

NIM : 21003987

Mata kuliah : Bina Pribadi dan Sosial


Semester : Juli-Desember 2021
Sks : 3 SKS
Tugaske : 5
Tujuantugas : Resume
Waktu Pelaksanaan : Setiap Pertemuan
tugas
Waktu penyerahan : Setiap Pertemuan
tugas
Uraian tugas : 1.Pengertian Anak Dengan Hambatan Emosi Dan Perilaku
Tunalaras adalah individu yang mengalami hambatan dalam
mengendalikan emosi dan kontrol sosial. Definisi anak
tunalaras atau emotionally handicapped atau behavioral
disorder lebih terarah berdasarkan definisi dari Eli M Bower
(Bandi Delphie, 2006: 17) bahwa anak dengan hambatan
emosional atau kelainan perilaku, apabila menunjukkan
adanya satu atau lebih dari lima komponen berikut ini: tidak
mampu belajar bukan disebabkan karena faktor intelektual,
sensori atau kesehatan; tidak mampu untuk melakukan
hubungan baik dengan temanteman dan guru-guru; bertingkah
laku atau berperasaan tidak pada tempatnya; secara umum
mereka selalu dalam keadaan tidak gembira atau depresi; dan
bertendensi ke arah simptom fisik seperti merasa sakit atau
ketakutan yang berkaitan dengan orang atau permasalahan di
sekolah .
Menurut Tamsik Udin dan Tejaningsih (1998: 111) anak yang
mengalami hambatan dalam perkembangan sosial atau
emosinya sehingga dimanifastikan lewat tingkah laku norma
hukum, sosial, agama yang berlaku di lingkungannya dengan
frekuensi yang cukup tinggi. Akibat perbuatannya dapat
merugikan diri sendiri dan lingkungan sekitarnya. Sehingga
mereka memerlukan layanan pendidikan khusus untuk

1
mengembangkan potensinya seoptimal mungkin dan dapat
hidup di tengah-tengah masyarakat dengan baik. Sutjihati
Somantri (2007: 139) menjelaskan bahwa anak tunalaras
adalah anak yang mengalami gangguan atau hambatan emosi
dan berkelainan tingkah laku, sehingga kurang dapat
menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungan keluarga,
sekolah dan masyarakat. Anak tunalaras kadang-kadang
tingkah laku tidak mencerminkan kedewasaan dan suka
menarik diri dari lingkungan, sehingga merugikan dirinya
sendiri dan orang lain dan bahkan kadang merugikan di segi
pendidikannya. Anak tunalaras juga sering disebut anak
tunasosial karena tingkah laku anak tunalaras menunjukkan
penentangan terhadap norma-norma sosial masyarakat yang
berwujud seperti mencuri, menganggu dan menyakiti orang
lain.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat dijelaskan
bahwa anak tunalaras adalah anak yang mengalami gangguan
emosi dan penyimpangan tingkah laku serta kurang dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungannya, baik di dalam
keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Anak tunalaras juga
mempunyai kebiasaan melanggar norma dan nilai kesusilaan
maupun sopan santun yang berlaku dalam kehidupan
seharihari, termasuk sopan santun dalam berbicara maupun
bersosialisasi dengan orang lain.
2. Mengidentifikasi Anak Dengan Hambatan Emosi Dan
Perilaku
Secara definitif anak dengan gangguan emosi dan perilaku
adalah anak yang mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri
dan bertingkah laku tidak sesuai dengan norma-norma yang
berlaku dalam lingkungan kelompok usia maupun masyarakat
pada umumnya, sehingga merugikan dirinya maupun orang
lain, dan karenanya memerlukan pelayanan pendidikan khusus
demi kesejahteraan dirinya maupun lingkungannya
(ditjenPLB.com, 2006). Heward & Orlansky (1988) dalam
2
Sunardi (1996) mengatakan seseorang dikatakan mengalami
gangguan perilaku apabila memiliki satu atau lebih dari lima
karakteristik berikut dalam kurun waktu yang lama, yaitu: 1.
ketidakmampuan untuk belajar yang bukan disebabkan oleh
faktor intelektualitas, alat indra maupun kesehatan.
2. ketidakmampuan untuk membangun atau memelihara
kepuasan dalam menjalin hubungan dengan teman sebaya dan
pendidik. 3. tipe perilaku yang tidak sesuai atau perasaan yang
di bawah keadaan normal. 4. mudah terbawa suasana hati
(emosi labil), ketidakbahagiaan, atau depresi. 5.
kecenderungan untuk mengembangkan simtom-simtom fisik
atau ketakutan-ketakutan yang diasosiasikan dengan
permasalahanpermasalahan pribadi atau sekolah. Simptom
gangguan emosi dan perilaku biasanya dibagi menjadi dua
macam, yaitu externalizing behavior dan internalizing
behavior. Externalizing behavior memiliki dampak langsung
atau tidak langsung terhadap orang lain, contohnya perilaku
agresif, membangkang, tidak patuh, berbohong, mencuri, dan
kurangnya kendali diri. Internalizing behavior mempengaruhi
siswa dengan berbagai macam gangguan seperti kecemasan,
depresi, menarik diri dari interaksi sosial, gangguan makan,
dan kecenderungan untuk bunuh diri. Kedua tipe tersebut
memiliki pengaruh yang sama buruknya terhadap kegagalan
dalam belajar di sekolah (Hallahan & Kauffman, 1988; Eggen
& Kauchak, 1997). Lebih lanjut, Hallahan & Kauffman (1988)
menjelaskan tentang karakteristik anak dengan gangguan
perilaku dan emosi, sebagai berikut: a. Inteligensi dan Prestasi
Belajar Beberapa ahli, seperti dikutip oleh Hallahan dan
Kauffman, 1988. menemukan bahwa anak-anak dengan
gangguan ini memiliki inteligensi di bawah normal (sekitar
90) dan beberapa di atas bright normal. b. Karakteristik Sosial
dan Emosi. Agresif, acting-out behavior (externalizing)
Conduct disorder (gangguan perilaku) merupakan
permasalahan yang paling sering ditunjukkan oleh anak
3
dengan gangguan emosi atau perilaku. Perilaku-perilaku
tersebut seperti: memukul, berkelahi, mengejek, berteriak,
menolak untuk menuruti permintaan orang lain, menangis,
merusak, vandalisme, memeras, yang apabila terjadi dengan
frekuensi tinggi maka anak dapat dikatakan mengalami
gangguan. Anak normal lain mungkin juga melakukan
perilaku- perilaku tersebut tetapi tidak secara impulsif dan
sesering anak dengan conduct disorder. c. Immature,
withdrawl behavior (internalizing) Anak dengan gangguan ini,
menunjukkan perilaku immature (tidak matang atau kekanak-
kanakan) dan menarik diri. Mereka mengalami keterasingan
sosial, hanya mempunyai beberapa orang teman, jarang
bermain dengan anak seusianya, dan kurang memiliki
ketrampilan sosial yang dibutuhkan untuk bersenang-senang.
Beberapa di antara mereka mengasingkan diri untuk berkhayal
atau melamun, merasakan ketakutan yang melampaui keadaan
sebenarnya, mengeluhkan rasa sakit yang sedikit dan
membiarkan “penyakit” mereka terlibat dalam aktivitas
normal. Ada diantara mereka mengalami regresi yaitu kembali
pada tahap-tahap awal perkembangan dan selalu meminta
bantuan dan perhatian, dan beberapa diantara mereka menjadi
tertekan (depresi) tanpa alasan yang jelas (Hallahan dan
Kauffman, 1988).
3.Karakteristik Anak Dengan Hambatan Emosi Dan Perilaku.
Karakteristik Anak dengan Gangguan Emosi, Perilaku, dan
Sosial yang dikemukakan oleh Hallahan dan Kauffman (1986)
berdasarkan dengan dimensi tingkah laku pada Anak dengan
Gangguan Emosi, Perilaku, dan Sosial, yang meliputi: 1. Anak
yang saat mengalami masalah kekacauan sikap perilaku
memiliki karakteristik sebagai berikut: suka berkelahi,
memukul orang , menyerang orang, sering membikin
kegaduhan, melawan terhadap lawannya, tidak mau bekerja
sama, merusak sesuatu milik sendiri atau orang lain, lancang,
melawan, tidak ingin bekerja sama dan juga tidak mau
4
memperhatikan, tidak ingin memperhatikan sesuatu, memecah
belah, selalu ingin bergerak, menolak pemerintah yang
diberikan yang diberikan, lebih cepat ada respon marah, anak
lebih menganngap masalah semuanya terlalu enteng atau
mudah, suke beraksi, memiliki rasa egois, mengencam, suka
berdusta, tidak bisa dipercaya orang lain, lebih sering berkata
kotor, rasa inggin diperhatikan, tidak bisa dalam berdikari,
mengambil milik orang lain, membully, mengelak sesuatu,
melakukan kesalahan, tidak mau mengalah, dan suka
terpengaruh orang lain untuk melakukan sesuatu yang salah. 2.
Anak yang lebih cenderung mengalami rasa khawatir dan
mengurung diri sebagai berikut: cemas terhadap segala hal,
ketakutan, kaku, pemalu, segan, menarik diri, merasa
terasingkan, tidak mempunyai teman atau tidak dapat
membawa diri untuk berteman, memiliki rasa tertekan yang
lebih banyak, sering menangis, terusik, tidak selalu ingin
dipuji, cuek, pemalu, lebih suka menyendiri tanpa ada teman,
sensitif, gampang untuk mengalami frustasi, mudah binggung
terhadap segala hal, sering cengeng, tidak berbicara, dan tidak
mau diketahui orang lain. 3. Anak yang mengalami kurang
dewasa sering kali memiliki karakteristik sebagai berikut: suka
melamun, diam, suka berimajinasi sendiri, diam terhadap
sesuatu, mudah dibujuk, cepat mengantuk, pembosan, serta
kotor. 4. Anak yang mengalami perilaku agresif dalam
sosialisasi terhadap orang lain memiliki ciri-ciri sebagai
berikut: memiliki komplotan yang bersifat nakal, mengambil
milik orang lain bersama-sama teman kelompoknya, sering
kali loyal terhadap teman yang nakal, berkelompok dengan
suatu anak-anak geng lainnya, lebih menyukai di luar rumah
sampai larut malam, sering kali membos, dan bahkan sering
kabur dari rumahnya sendiri.
4.Faktor Penyebab Hambatan Emosi Dan Perilaku.
Secara tepat (beberapa) penyebab dari gangguan emosi dan
perilaku dalam individu biasanya tidak diketahui karena
5
sejumlah variabel yang terlibat. Kita jarang mampu melacak
setiap satu variabel dengan kepastian sebagai penyebab
gangguan emosi dan perilaku. Namun demikian, empat area
umum diidentifikasi turut berperan untuk terjadinya gangguan
emotioal dan perilaku: biologis, lingkungan atau keluarga,
sekolah, dan masyarakat.
Faktor biologis Beberapa penyebab biologis telah ditemukan
berhubungan dengan gangguan emosi dan perilaku tertentu.
Contohnya termasuk anak-anak yang lahir dengan sindrom
alkohol janin, yang menunjukkan masalah dalam pengendalian
impuls dan hubungan interpersonal yang dihasilkan dari
kerusakan otak. Malnutrisi dapat juga menyebabkan
perubahan perilaku dalam penalaran dan berpikir (Ashem dan
Janes, 1978). Selain itu, kelainan seperti skizofrenia mungkin
memiliki dasar genetik. Faktor lingkungan atau keluarga
Keluarga sangat penting dalam perkembangan anak-anak.
Interaksi negatif atau tidak sehat di dalam keluarga seperti
pelecehan dan penelantaran, kurangnya pengawasan, minat,
dan perhatian, dapat mengakibatkan atau memperburuk
kesulitan emosional yang ada dan/ atau kesulitan perilaku. Di
sisi lain, interaksi yang sehat seperti kehangatan dan responsif,
disiplin konsisten dengan panutan, dan perilaku yang
mengharapkan penghargaan dapat sangat meningkatkan
perilaku positif pada anak-anak (Anderson, 1981). Faktor
Sekolah Guru memiliki pengaruh yang sangat besar dalam
interaksi dengan siswa. Interaksi positif dan produktif guru-
murid dapat meningkatkan pembelajaran siswa dan perilaku
sekolah yang sesuai serta memberikan dukungan ketika siswa
mengalami masa-masa sulit. Lingkungan akademik yang tidak
sehat dengan guru yang tidak terampil atau tidak sensitif dapat
menyebabkan atau memperburuk perilaku atau gangguan
emosi yang sudah ada. Faktor Masyarakat Masalah
masyarakat, seperti kemiskinan ekstrim disertai dengan gizi
buruk, keluarga yang tidak berfungsi, berbahaya dan
6
lingkungan yang penuh kekerasan, dan perasaan putus asa,
dapat mengakibatkan atau memperburuk gangguan emosi atau
perilaku. Kita tidak boleh melupakan contoh anak muda yang
telah selamat dari situasi yang mengerikan dan tumbuh
menjadi orang dewasa yang sehat. Kita belajar dari individual
yang ulet ini bahwa lingkungan yang merugikan tidak tak
terhindarkan untuk menyebabkan kesulitan emosional atau
perilaku.
5.Klasifikasi Dan Jenis-Jenis Anak Dengan Hambatan Emosi
Dan Perilaku.
Pengertian Anak Tunalaras Tunalaras adalah individu yang
mengalami hambatan dalam mengendalikan emosi dan kontrol
sosial. Definisi anak tunalaras atau emotionally handicapped
atau behavioral disorder lebih terarah berdasarkan definisi dari
Eli M Bower (Bandi Delphie, 2006: 17) bahwa anak dengan
hambatan emosional atau kelainan perilaku, apabila
menunjukkan adanya satu atau lebih dari lima komponen
berikut ini: tidak mampu belajar bukan disebabkan karena
faktor intelektual, sensori atau kesehatan; tidak mampu untuk
melakukan hubungan baik dengan temanteman dan guru-guru;
bertingkah laku atau berperasaan tidak pada tempatnya; secara
umum mereka selalu dalam keadaan tidak gembira atau
depresi; dan bertendensi ke arah simptom fisik seperti merasa
sakit atau ketakutan yang berkaitan dengan orang atau
permasalahan di sekolah . Anak tunalaras secara umum
dikatakan sebagai anak yang mengalami gangguan emosi dan
penyimpangan tingkah laku. Menurut pendapat Yulia Putri
(2010) anak tunalaras adalah anak yang mempunyai tingkah
laku berlainan, tidak memiliki sikap yang dewasa, melakukan
pelanggaran norma-norma sosial dengan frekuensi yang cukup
besar, tidak/kurang mempunyai toleransi kepada orang
lain/kelompok, serta mudah terpengaruh oleh suasana,
sehingga menimbulkan kesulitan bagi dirinya sendiri serta
orang lain.
7
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat dijelaskan
bahwa anak tunalaras adalah anak yang mengalami gangguan
emosi dan penyimpangan tingkah laku serta kurang dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungannya, baik di dalam
keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Anak tunalaras juga
mempunyai kebiasaan melanggar norma dan nilai kesusilaan
maupun sopan santun yang berlaku dalam kehidupan
seharihari, termasuk sopan santun dalam berbicara maupun
bersosialisasi dengan orang lain. 2. Sebab-sebab Anak
Menjadi Tunalaras Sebab-sebab anak menjadi tunalaras secara
garis besarnya dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok
(Rusli Ibrahim, 2005: 48), di antaranya: a. Faktor Psychologis
Gangguan tingkah laku yang disebabkan terganggunya faktor
psycologis. Terganggunya faktor psycologis biasanya
diwujudkan dalam bentuk tingkah laku yang menyimpang,
seperti: abnormal fixation, agresif, regresif, resignation, dan
concept of discrepancy. b. Faktor Psychososial Gangguan
tingkah laku yang tidak hanya disebabkan oleh adanya
frustrasi, melainkan juga ada pengaruh dari faktor lain, seperti
pengalaman masa kecil yang tidak atau kurang
menguntungkan perkembangan anak. c. Faktor Physiologis
Gangguan tingkah laku yang disebabkan terganggunya proses
aktivitas organ-organ tubuh, sehingga tidak atau kurang
berfungsi sebagaimana mestinya, seperti terganggu atau
adanya kelainan pada otak, hyper thyroid dan kelainan syaraf
motoris.

6.Prevalensi Anak Dengan Hambatan Emosi Dan Perilaku.

8
9

Anda mungkin juga menyukai