Anda di halaman 1dari 12

Tuna Laras atau Disabilitas Emosi dan Perilaku

Dosen Pengampu : Drs. Tawil, M.Pd.,Kons

Disusun oleh :

Nur Khasanah ( 16.0305.0111)

Aditya Dwi Prasetyo (16.0305.0114)

Dindha Fitria S (16.0305.0121)

Titin Windarti (16.0305.0149)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAGELANG
2019
A. Definisi

Anak tunalaras adalah anak-anak yang mengalami gangguan perilaku, yang ditunjukkan
dalam aktivitas sehari-hari, baik di sekolah maupun dalam lingkungan sosialnya. Pada
hakekatnya, anak-anak tunalaras memiliki kemampuan intelektual yang normal, atau tidak
berada di bawah rata-rata. Adapun klasifikasi anak berkelainan perilaku sosial-emosional
antara lain :

1. Berdasarkan perilakunya mencakup : Anak tunalaras

Beresiko tinggi: hiperaktif suka berkelahi, memukul, menyerang, merusak milik sendiri
maupun orng lain, melawan, sulit konsentrasi, tidak mau bekerja sama, sok aksi, ingin
menguasai orang lain, mengancam, berbohong, tidak bisa diam, tidak dapat dipercaya, suka
mencuri, mengejek, dsb.

Beresiko rendah: autisme, kawatir, cemas, ketakutan, merasa tercekam, tidak mau bergaul,
menarik diri, kurang percaya diri, bimbang, sering menangis, malu, dsb.

Kurang dewasa: suka berfantasi, berangan-angan, mudah dipengaruhi, kaku, pasif, suka
mengantuk, mudah bosan, dsb.

Agresif : memiliki gang jahat, suka mencuri dengan kelompoknya, loyal tehadap teman
jahatnya, sering bolos sekolah, sering pulang larut malam, dan terbiasa minggat dari rumah.

2. Berdasarkan kepribadiannya mencakup

Kekacauan perilaku

Menarik diri (withdrawll)

Ketidakmatangan (immaturity)

Agresi sosial

Pengertian Anak Tunalaras

Adapun karaktristik anak tunalaras secara umum menunjukkan adanya gangguan perilaku,
seperti suka menyerang (agresive), gangguan perhatian dan hiperaktif. Secara akademik anak
tunalaras sering ditemui tidak naik kelas, hal ini dikarenakan ganggun perilakunya bukan
karena kapasitas intelektualnya. Karaktristik emosi-sosial anak tunalaras suka melanggar
norma baik yang berlaku di institusi seperti sekolah maupun masyarakat sehingga anak ini
sering disebut dengan anak maladjusted.

B. Ciri-Ciri Tuna Laras

Ciri-ciri Anak Tuna Laras


Mengalami gangguan perilaku :
1. Berkelahi, memukul menyerang
2. Pemarah
3. Pembangkang
4. Suka merusak
5. Kurang ajar, tidak sopan
6. Penentang, tidak mau bekerjasama
7. Suka menggangu
8. Suka ribut, pembolos
9. Mudah marah, Suka pamer
10. Hiperaktif, pembohong
11. Iri hati, pembantah
12. Ceroboh, pengacau
13. Suka menyalahkan orang lain
14. Mementingkan diri sendiri
Mengalami kecemasan dan menyendiri:
1. Cemas
2. Tegang
3. Tidak punya teman
4. Tertekan
5. Sensitif
6. Rendah diri
7. Mudah frustasi
8. Pendiam
9. Mudah bimbang
Anak yang kurang dewasa
1. Pelamun
2. Kaku
3. Pasif
4. Mudah dipengaruhi
5. Pengantuk
6. Pemborosan
Anak yang agresif bersosialisasi
1. Mempunyai komplotan jahat
2. Berbuat onar bersama komplotannya
3. Membuat genk
4. PSuka diluar rumah sampai larut
5. Bolos sekolah
6. Pergi dari rumah
Selain karakteristik diatas, berikut ini karakteristik yang berkaitan dengan segi akademik,
sosial/ emosional dan fisik/ kesehatan anak tunalaras.

Karakteristik Akademik:
Kelainan perilaku mengakibatkan penyesuaian sosial dan sekolah yang buruk. Akibatnya,
dalam belajarnya memperlihatkan ciri-ciri sebagai berikut:

 Hasil belajar dibawah rata-rata


 Sering berurusan dengan guru BK
 Tidak naik kelas
 Sering membolos
 Sering melakukan pelanggaran, baik di sekolah maupun di masyarakat, dll.
Karakteristik Sosial/ Emosional:
Karakteristik sosial/emosional tunalaras dapat dijelaskan sebagai berikut:
A.Karakteristik Sosial
1) Masalah yang menimbulkan gangguan bagi orang lain:

 Perilaku itu tidak diterima masyarakat, biasanya melanggar norma budaya


 Perilaku itu bersifat menggangu, dan dapat dikenai sanksi oleh kelompok sosial
2) Perilaku itu ditandai dengan tindakan agresif yaitu:

 Tidak mengikuti aturan


 Bersifat mengganggu
 Bersifat membangkang dan menentang
 Tidak dapat bekerjasama
3) Melakukan tindakan yang melanggar hukum dan kejahatan remaja

 Karakteristik Emosional
 Hal-hal yang menimbulkan penderitaan bagi anak, misalnya tekanan batin dan rasa
cemas
 Ditandai dengan rasa gelisah, rasa malu, rendah diri, ketakutan dan sifat perasa/sensitif
Karakteristik fisik/ kesehatan
Pada anak tuna laras umumnya masalah fisik/ kesehatan yang dialami berupa gangguan
makan, gangguan tidur atau gangguan gerakan. Umumnya mereka merasa ada yang tidak
beres dengan jasmaninya, ia mudah mengalami kecelakaan, merasa cemas pada
kesehatannya, seolah-olah merasa sakit, dll. Kelainan lain yang berupa fisik yaitu gagap,
buang air tidak terkontrol, sering mengompol, dll.

Faktor–faktor penyebab Ketunalarasan:


1. Kondisi / Keadaan Fisik : Disfungsi kelenjar endokrin merupakan salah satu penyebab
timbulnya kejahatan. Kelenjar endokrin ini mengeluarkan hormone yang mempengaruhi
tenaga seseorang. Bila secara terus menerus fungsinya mengalami gangguan, maka dapat
berakibat terganggunya fisik dan mental seseorang sehingga akan berpengaruh terhadap
perkembangan wataknya.
2. Masalah Perkembangan : Di dalam menjalani setiap fase perkembangan individu, sulit
untuk terhindar dari berbagai konflik. Konflik emosi ini terutama terjadi pada masa
kanak–kanak dan masa pubertas. Jiwa anak yang masih labil pada masa ini banyak
mengandung resiko berbahaya, jika kurang mendapat bimbingan dan pengarahan dari
orang dewasa maka akan mudah terjerumus pada tingkah laku menyimpang.
3. Lingkungan Kerja : Keluargalah peletak dasar perasaan aman ( emotional security )
pada anak, dalam keluarga pula anak memperoleh pengalaman pertama mengenai
perasaan dan sikap sosial. Beberapa aspek yang terdapat dalam lingkungan keluarga
yang berkaitan dengan masalah gangguan emosi dan tingkah laku : kasih sayang dan
perhatian, keharmonisan keluarga, kondisi ekonomi.
4. Lingkungan Sekolah : Sekolah merupakan tempat pendidikan yang kedua bagi anak
setelah keluarga. Tanggung-jawab sekolah tidak hanya sekadar membekali anak didik
dengan sejumlah ilmu pengetahuan, akan tetapi sekolah juga bertanggungjawab
membina kepribadian anak didik sehingga menjadi seorang dewasa yang
bertanggungjawab baik terhadap dirinya maupun terhadap lingkungan masyarakat yang
luas. Timbulnya gangguan tingkah laku antara lain berasal dari guru dan fasilitas
pendidikan.
5. Lingkungan Masyarakat : salah satu hal yang nampak mempengaruhi pola perilaku
anak dalam lingkungan sosial adalah keteladanan, yaitu meniru perilaku orang lain. Di
samping pengaruh–pengaruh yang bersifat positif, di dalam lingkungan masyarakat juga
terdapat banyak sumber yang merupakan pengaruh negatif yang dapat memicu
munculnya perilaku menyimpang.
Kelainan tingkah laku yang dialami anak tunalaras mempunyai dampak negatif baik bagi
dirinya sendiri maupun lingkungan sosialnya. Salah satu dampak serius yang mereka alami
adalah tekanan batin berkepanjangan sehingga menimbulkan perasaan merusak diri mereka
sendiri. Menghadapi keadaan diatas, kita hendaknya dapat mempengaruhi lingkungan
mereka, mengajar dan menguatkan keterampilan sosial antar pribadi yang lebih efektif, serta
menghindarkan mereka dari ketergantungan dan penguatan ketakberdayaan. Bahwa perilaku
menyimpang pada anak tunalaras merugikan lingkungannya kiranya sudah jelas dan
seringkali orang tua maupun guru merasa kehabisan akal menghadapi anak dengan gangguan
perilaku seperti ini. Salah satu contoh, kita sering mendengar anak delinkwensi. Sebenarnya
anak delinkwensi merupakan salah satu bagian anak tunalaras dengan gangguan karena social
perbuatannya menimbulkan kegoncangan ketidak-bahagiaan/ketidak-tentraman bagi
masyarakat. Perbuatannya termasuk pelanggaran hukum seperti perbuatan mencuri, menipu,
menganiaya, membunuh, mengeroyok, menodong, mengisap ganja, anak kecanduan
narkotika, dan sebagainya.

C. Penyebab Anak Tunalaras

Ada beberapa hal yang menjadi penyebab utama seseorang mengalami ketunalarasan. Daniel
P. Hallahan, dkk (2009: 270), menuliskan “the causes of emotional or behavioral disorders
have been attributed to four major factors: biological disorders and diseases; pathological
family relationship; undesirable experiences at school; and negative cultural influences.”
Dari keterangan Daniel P. Hallahan, dkk tersebut terdapat empat faktor utama yang menjadi
penyebab ketunalarasan yaitu faktor biologis, patologis hubungan keluarga, pengalaman tidak
menyenangkan di sekolah, dan pengaruh lingkungan atau budaya yang negatif atau buruk.
Berikut ini penjelasan dari keempat faktor-faktor yang menjadi penyebab ketunalarasan
tersebut:

 Faktor Biologi

Perilaku dan emosi seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor dalam diri sendiri.
Faktor tersebut yaitu “keturunan (genetik), neurologis, faktor biokimia atau kombinasi dari
faktor-faktor tersebut” (Triyanto Pristiwaluyo, 2005: 70). Faktor biologi dapat terjadi ketika
anak mengalami keadaan kurang gizi, mengidap penyakit, psikotik, dan trauma atau disfungsi
pada otak.

 Faktor Keluarga

Faktor dari keluarga yang dimaksud adalah adanya patologis hubungan dalam keluarga.
Menurut Triyanto Pristiwaluyo (2005: 73), “tanpa disadari hubungan dalam keluarga yang
sifatnya interaksional dan transaksional sering menjadi penyebab utama permasalahan emosi
dan perilaku pada anak.” Pengaruh dari peraturan, disiplin, dan kepribadian yang dicontohkan
atau ditanamkan dari orangtua sangat memengaruhi perkembangan emosi dan perilaku anak.

 Faktor Sekolah

Ada beberapa anak mengalami gangguan emosi dan perilaku ketika mereka mulai bersekolah.
Pengalaman di sekolah mempunyai kesan dan arti penting bagi anak-anak. Glidewell, dkk
(1966) dan Thomas, dkk (1968) dalam Triyanto Pristiwaluyo (2005: 74), mengungkapkan
bahwa “kompetensi sosial ketika anak-anak saling berinteraksi dengan perilaku dari guru dan
teman sekelas sangat memberi kontribusi terhadap permasalahan emosi dan perilaku.” Ketika
seorang anak mendapat respon negatif dari guru dan teman sekelasnya saat mengalami
kesulitan dan kurang keterampilan di sekolah tanpa disadari anak terjerat dalam interaksi
negatif. Anak akan berada dalam keadaan jengkel dan tertekan yang diakibatkan dari
tanggapan yang diterimanya baik dari guru maupun teman sekelasnya.

 Faktor Budaya

Daniel P. Hallahan, dkk (2009: 274), menuliskan “values and behavioral standards are
communicated to children through a variety of cultural condition, demands, prohibition, and
models.” Yang dimaksudkan adalah standar nilai-nilai perilaku anak didapat melalui
tuntutan-tuntutan maupun larangan-larangan, dan model yang disajikan oleh kondisi budaya.
Beberapa budaya dapat memengaruhi perkembangan emosi dan perilaku anak misalnya saja
contoh tindak kekerasan yang diekspose media (telivisi, film, maupun internet),
penyalahgunaan narkoba yang seharusnya sebagai obat medis dan penenang, gaya hidup yang
menjurus pada disorientasi seksualitas, tuntutan-tuntutan dalam agama, dan korban
kecelakaan nuklir maupun perang.

D. Macam/Jenis

Penggolongan anak tunalaras dapat ditinjau dari segi gangguan atau hambatan dan
kualifikasi berat ringannya kenakalan, dengan penjelasan sebagai berikut :

1. Menurut jenis gangguan atau hambatan

1. Gangguan Emosi

Anak tunalaras yang mengalami hambatan atau gangguan emosi terwujud dalam tiga
jenis perbuatan, yaitu: senang-sedih, lambat cepat marah, dan releks-tertekan.
Secara umum emosinya menunjukkan sedih, cepat tersinggung atau marah, rasa
tertekandan merasa cemas

2. Gangguan Sosial

Anak ini mengalami gangguan atau merasa kurang senang menghadapi pergaulan.
Mereka tidak dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan hidup bergaul. Gejala-gejala
perbuatan itu adalah seperti sikap bermusuhan, agresif, bercakap kasar, menyakiti hati
orang lain, keras kepala, menentang menghina orang lain, berkelahi, merusak milik
orang lain dan sebagainya. Perbuatan mereka terutama sangat mengganggu
ketenteraman dan kebahagiaan orang lain.
3. Klasifikasi berat-ringannya kenakalan

Ada beberapa kriteria yang dapat dijadikan pedoman untuk menetapkan berat ringan
kriteria itu adalah:

1. Besar kecilnya gangguan emosi, artinya semikin tinggi memiliki perasaan negative
terhadap orang lain. Makin dalam rasa negative semakin berat tingkat kenakalan anak
tersebut.
2. Frekwensi tindakan, artinya frekwensi tindakan semakin sering dan tidak
menunjukkan penyesalan terhadap perbuatan yang kurang baik semakin berat
kenakalannya.
3. Berat ringannya pelanggaran/kejahatan yang dilakukan dapat diketahui dari sanksi
hukum.
4. Tempat/situasi kenalakan yang dilakukan artinya Anak berani berbuat kenakalan di
masyarakat sudah menunjukkan berat, dibandingkan dengan apabila di rumah.
5. Mudah sukarnya dipengaruhi untuk bertingkah laku baik. Para pendidikan atau orang
tua dapat mengetahui sejauh mana dengan segala cara memperbaiki anak. Anak
“bandel” dan “keras kepala” sukar mengikuti petunjuk termasuk kelompok berat.
6. Tunggal atau ganda ketunaan yang dialami. Apabila seorang anak tunalaras juga
mempunyai ketunaan lain maka dia termasuk golongan berat dalam pembinaannya.

E. DIKLAT YANG DIPERLUKAN

) TERAPI TINGKAH LAKU BAGI TUNALARAS


1. Konsep Terapi Tingkah Laku
Terapi tingkah laku merupakan penerapan berbagai teknik dan prosedur yang ada dalam
bernagai teori belajar. Terapi tingkah laku sudah dimulai sejak tahun 1950-an, namun tidak
begitu populerdibandingkan kemajuan yang dialami saat ini. Kini modifikasi tingkah laku
dan terapi tingkah laku menduduki tempat penting dibidang psikoterapi dan dalam banyak hal
dibidang pendidikan, psikologi klinis dan konseling dengan menggunakan metode-metode
behavioral. Modifikasi memberi pengaruh besar di bidang pendidikan, terutama pendidikan
khusus yang mengkaji anak berkesulitan belajar dan masalah tingkah laku.

Terapi tingkah laku berusaha menghilangkan atau meniadakan masalah-masalah tingkah laku
dan berusaha memunculkan tingkah laku yang diharapkan. Menurut B.F Skinner (Nafsiah
Ibrahim, 1996:114), ada tiga cara mengubah tingkah laku manusia:

a. Tingkah laku dapat diubah dengan mengubah peristiwa-peristiwa yang mendahului yang
membangkitkan tingkah laku khusus, contoh: anak hiperaktif tidak bisa tenang jika belajar
dalam kelas yang terdapat banyak rangsangan.

b. Suatu jenis tingkah laku yang timbul dalam suatu keadaan tertentu dapat diubah dan
dimodifikasi, misal dalam keluarga anak kurang mendapat perhatian, maka dalam sekolah
guru harus memberi perhatian lebih.

c. Akibat dari suatu tingkah laku tertentu dapat diubah; dengan demikian tingkah laku bisa
dimodifikasi, misalkan seorang anak mencuriia dihukum akibat dari perbuatannya.
2. Tujuan Terapi Tingkah Laku
Setiap kegiatan terapi mempunyai tujuan seperti halnya terapi tingkah laku, berikut ini adalah
tujuan terapi tingkah laku menurut (Nafsiah Ibrahim, 1995:115) :

a. Mengubah pola-pola perilaku maladaptip dan membantu klien (anak tunalaras) untuk
mempelajari tingkah laku yang konstruktif.

b. Tujuan-tujuan spesifik dipilih oleh klien

c. Tujuan-tujuan yang luas dipecah kedalam sub tujuan sub tujuan yang tepat.

Tujuan utama terapi tingkah laku adalah menciptakan kondisi-kondisi yang baru dalam
proses belajar. Hal ini didasarkan bahwa segenap tingkah laku itu dipelajari, termasuk
tingkah laku yang maladaptip jika suatu tingkah laku juga dapat dihilangkan dan tingkah laku
yang lebih efektif diperoleh.

3. Ciri-Ciri Terapi Tingkah Laku


Menurut Gerald Corey (Nafsiah Ibrahim, 1995:117), terapi tingkah laku ditandai oleh :

a. Pemusatan perhatian kepada tingkah laku yang tampak dan spesifik.

b. Kecermatan dan penguraian tujuan-tujuan tretmen.

c. Perumusan Prosedur tretmen yang spesifik yang sesuai dengan masalah

e. Penilaian objektif atas hasil-hasil terapi.

Pada dasarnya terapi tingkah laku diarahkan pada tujuan-tujuan untuk memperoleh tingkah
laku baru, penghapusan tingkah laku yang maladadapted, serta memperkuat dan
mempertahankan tingkah laku yang diinginkan. Pernyataan yang tepat tentang tujuan-tujuan
tretmen dispesifikasi, sedangkan pernyataan yang bersifat umum ditolak

4. Teknik-teknik Terapi Tingkah Laku


a. Teknik Desensitisasi Sistematik

Desentisasi sistematik adalah suatu teknik yang banyak digunakan dalam terapi tingkah laku,
teknik ini digunakan untuk menghapus tingkah laku yang diperkuat secara negatif, dan
menyertakan pemunculan tingkah laku atau respon yang berlawanan dengan tingkah laku
yang hendak dihapuskan itu. Desensitisasi diarahkan kepada mengajar klien untuk
menampilkan suatu respon yang tidak konsisten dengan kecemasan. Teknik ini
dikembangkan oleh Wolve yang berargumen bahwa segenap tingkah laku neurotik adalah
ungkapan dari kecemasan dan bahwa respon kecemasan bisa dihapus oleh penemuan respon-
respon yang secara inheren berlawanan dengan respon tersebut. Dengan pengkondisian
klasik, kekuatan stimulus penghasilan kecemasan bisa dilemahkan dan segala kecemasan bisa
dikendalikan dan dihapus melalui pergantian stimulus, Gerald Corey (Nafsiah Ibrahim,
1996:118)
Desensitisasi juga melibatkan teknik-teknik relaksasi. Klien dilatih santai dan
mengasosiasikan keadaan santai dengan pengalaman-pengalaman pembangkit kecemasan
yang dibayangkan atau dievaluasi (Nafsiah Ibrahim, 1995:118).

b. Teknik Inplosif dan Pembanjiran

Teknik yang dikembangkan oleh Stamfel disebut terapi inplosif. Terapi inplosif berasumsi
bahwa tingkah laku neurotik melibatkan penghindaran terkondisi atas stimulus penghasilan
kecemasan, Geald Corey (Nafsiah Ibrahim, 1996:118). Teknik ini berlandasakan kepada
paradigma penghapusan eksperimental. Teknik ini terdiri atas pemunculan stimulus dalam
kondisi berulang-ulang tanpa memberikan penguatan. Tenik pembanjiran tidak menggunakan
agen pengkondisian balik walaupun tingkatan kecemasan. Terapis memunculkan stimulus-
stimulus penghasil kecemasan yang berulang- ulang dalam satu rangkaian seting terapi
dimana konsekwensi-konsekwensi yang diharapkan dan menakutkan tidak muncul, stimulus
yang mengancam, kehilangan daya menghasilkan kecemasannya dan neurotikpun terhapus.

c. Teknik Latihan Asertif

Teknik ini diterapkan pada individu yang mengalami kesulitan menerima kenyataan bahwa
menegaskan diri adalah tindakan yang layak benar. Latihan atau teknik ini membantu orang
yang :

– Tidak mampu mengungkapkan kemarahan atau perasaan tersinggung

– Memiliki kesulitan untuk mengatakan tidak

– Dan bentuk lainnya

d. Teknik Aversi (Hukuman)

Teknik ini paling kontroversial yang digunakan oleh para behavioris, meskipun secara luas
digunakan untuk mengubah tingkah laku maladapted kepada tingkah laku yang diinginkan.
Dalam seting formal teknik ini biasanya digunakan untuk pemakai narkoba, peminum
alkohol, perokok keras. Anak tidak dilarang merokok dan meminum minuman yang sudah
diberi ramuan yang membuat mual dan membuatnya muntah. Karena menimbulkan rasa tidak
enak, lama-lama keinginan untuk merokok dan meminum alkohol akan berkurang dan hilang.

e. Teknik Pengkondisian Peran

Menurut Skinner (Nafsiah Ibrahim, 1996:121), jika suatu tingkah laku diganjar kemungkinan
muncul kembali tingkah laku tersebut akan tinggi. Prinsip perkuatan yang menerangkan
pembentukan, pemeliharaan atau penghapusan pola-pola tingkah laku, merupakan inti dari
pengkondisian peran.

5. Kegunaan Terapi Tingkah Laku


Terapi tigkah laku dapat digunakan dalam menyembuhkan berbagai gangguan tingkah laku
dari yang sederhana hingga yang kompleks, baik individu atau kelompok. Di samping itu
terapi tingkah laku dapat dilaksanakan oleh guru, pelatih, orang tua atau pasien itu sendiri.
F. SARPRAS

a. Asesmen Gangguan perilaku


Asesmen dilakukan pada anak tunalaras untuk mengetahui penyimpangan perilaku anak. Alat
yang digunakan untuk assesmen anak tunalaras seperti berikut ini:
1) Adaptive Behavior Inventory for Children
2) AAMD Adaptive Behavior Scale
b. Alat Terapi Perilaku
Perilaku menyimpang yang dilakukan anak tunalaras cenderung untuk merugikan diri sendiri
dan orang lain. Untuk mereduksi perilaku yang menyimpang, maka dibutuhkan peralatan
khusus. Alat-alat tersebut dapat berupa:
1) Pretend Game (untuk membantu anak dalam bersosialisasi dengan orang lain)
2) Hide-Way (untuk bermain sembunyi-sembunyian)
3) Put me a tune (untuk latihan menuangkan air ke cangkir)
4) Copy cats (untuk menjalin interaksi dengan orang lain)
5) Jig-saw puzzle (teka-teki untuk melatih memecahkan masalah)
6) Puppen house (untuk melatih bermain peran)
7) Hunt the Timble (permainan sulap untuk mengingatkan kembali permainan yang telah
lalu)
8) Sarung tinju (terbuat dari kulit untuk menyalurkan rasa emosional)
9) Hoopla (untuk latihan koordinasi mata dan tangan)
10) Sand Pits (untuk melatih gerakan tangan dengan menggunakan tangan atau memasukan
jari kakinya)
11) Animal Matching Games (untuk latihan mencocokan gambar binatang)
12) Organ (untuk melatih kepekaan, kesenian dan mengapresiasikan musik)
13) Tambur dengan Stick dan Tripod (untuk melatih kepekaan, kesenian dan
mengapresiasikan musik)
14) Rebana (untuk melatih kepekaan, kesenian dan mengapresiasikan musik)
15) Flute (untuk melatih kepekaan, kesenian dan mengapresiasikan musik)
16) Torso (untuk mengenal organ tubuh manusia)
17) Constructive Puzzle (melatih kemampuan pemecahan masalah)
18) Animal Puzzle (untuk mengenal berbagai jenis binatang)
19) Fruits Puzzle (untuk mengenal berbagai jenis buah-buahan)
c. Alat Terapi Fisik
Untuk mengembangkan kemampuan motorik/fisik anak tunalaras, alat yang dapat digunakan
seperti berikut ini:
1) Matras
2) Straight-Type Staircase
3) Bola Sepak
4) Bola, Net Volley
5) Meja Pingpong
6) Power Rider
7) Strickleiter
8) Trecketsando (5 flat)
9) Rope Lader

DAFTAR PUSTAKA
Dra. Ellah Siti Chalidah (2005), Terapi Permainan Bagi Anak Yang Memerlukan
Layanan Pendidikan
Khusus. Jakarta : Depdikbud

Msc; Sunardi : Dr , ortopedogogik anak tunalaras

Munandar, Utami, S.C (1987), Mengembangkan Bakat dan Kreatifitas Anak Sekolah,
Jakarta : Gramedia.

Rini Hildayani, dkk. (2013)Penanganan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), Jakarta:


Universitas Terbuka

Tarmansyah, (1985), Pedoman Guru Terapi Okupasional Untuk Anak Tunadaksa,


Jakarta : Proyek PSLB Depdiknas.

Syamsi, Ibnu. 1996. Orthopedagogik Tunalaras I. Yogyakarta: FKIP IKIP

Ibrahim, Nafsiah & Aldy, Rohaba. 1996. Etiologi dan Terapi Anak
Tunalaras. Jakarta: FIP IKIP

Rogers, Bill. 2004. Behavior Recovery.Jakarta: PT Grasindo Anggota Ikapi.

Anda mungkin juga menyukai