Anda di halaman 1dari 7

DRAF : MAKALAH

Kelompok 7 (Tujuh)
“TUNALARAS”
Dosen Pengampu ;Andi Citra Pratiwi,SPd.,M.Sc.

Nama Kelompok
1) Yuliani (4520103019)
2) Rindayani (4520103010)
3) Elonora (4520103007)

KELAS A
PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS BOSOWA
2021
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada saat ini banyak anak-anak yang mengalami gangguan emosi dan perilaku
diisolasi dari teman-temannya yang lain bukan karena mereka dikucilkan dari teman-
temannya tapi karena mereka mulai berkelahi dengan kemarahan dan agresi. Mereka
kasar, merusak, tidak terprediksi, tidak bertanggung jawab, mudah marah,
membangkang, dll. Anak-anak tersebut digolongkan dalam anak-anak tunalaras.
Semakin meningkatnya jumlah anak-anak tuna laras membuat para ahli semakin
menggali tentang hal tersebut. Anak-anak dan remaja yang mengalami gangguan emosi
dan perilaku adalah tipe individu yang sulit dalam berteman. Masalah terbesar bagi
mereka adalah untuk membangun keakraban dengan orang lain dan mengikatkan emosi
dengan orang lain yang dapat membantu mereka. Bahkan jika mereka berteman, maka
mereka akan berteman dengan kelompok teman yang salah.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari anak tunalaras?
2. Apa faktor penyebab anak tunalaras?
3. Bagaimana klasifikasi anak tunalaras?
4. Bagaimana karakteristik anak tunalaras?
5. Bagaimana kebutuhan pendidikan anak tunalaras?
6. jenis-jenis layanan bagi anak tunalaras?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari anak tunalaras.
2. Untuk mengetahui faktor penyebab anak tunalaras.
3. mengetahui klasifikasi anak tunalaras.
4. Untuk mengetahui karakteristik anak tunalaras.
5. Untuk mengetahui kebutuhan pendidikan anak tunalaras.
6. Untuk mengetahui jenis-jenis layanan bagi anak tunalaras.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Anak Tunalaras
Istilah tunalaras berasal dari kata “tuna” yang berarti kurang dan “laras” berarti
sesuai. Jadi, anak tunalaras berarti anak yang bertingkah laku yang kurang sesuai
dengan lingkungan. Perilakunya sering bertentangan dengan norma-norma yang
terdapat di dalam masyarakat tempat ia berada.
Dalam peraturan pemerintah No. 72 tahun 1991 disebutkan bahwa tunalaras
adalah gangguan atau hambatan atau kelainan tingkah laku sehingga kurang dapat
menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Sementara itu masyarakat lebih mengenalnya dengan istilah anak nakal. Seperti halnya
istilah, definisi mengenai tunalaras juga beraneka ragam.

B. Faktor Penyebab Anak Tunalaras


Ada beberapa hal yang menjadi penyebab utama seseorang mengalami ketunalarasan.
1. Faktor Biologi
Perilaku dan emosi seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor dalam diri
sendiri. Faktor tersebut yaitu “keturunan (genetik), neurologis, faktor biokimia atau
kombinasi dari faktor-faktor tersebut” (Triyanto Pristiwaluyo, 2005: 70). Faktor biologi
dapat terjadi ketika anak mengalami keadaan kurang gizi, mengidap penyakit, psikotik,
dan trauma atau disfungsi pada otak.
2. Faktor Keluarga
Faktor dari keluarga yang dimaksud adalah adanya patologis hubungan dalam
keluarga. Menurut Triyanto Pristiwaluyo (2005: 73), “tanpa disadari hubungan dalam
keluarga yang sifatnya interaksional dan transaksional sering menjadi penyebab utama
permasalahan emosi dan perilaku pada anak.” Pengaruh dari peraturan, disiplin, dan
kepribadian yang dicontohkan atau ditanamkan dari orangtua sangat memengaruhi
perkembangan emosi dan perilaku anak.
3. Faktor Sekolah
Ada beberapa anak mengalami gangguan emosi dan perilaku ketika mereka mulai
bersekolah. Pengalaman di sekolah mempunyai kesan dan arti penting bagi anak-anak.
Glidewell, dkk (1966) dan Thomas, dkk (1968) dalam Triyanto Pristiwaluyo (2005:
74), mengungkapkan bahwa “kompetensi sosial ketika anak-anak saling berinteraksi
dengan perilaku dari guru dan teman sekelas sangat memberi kontribusi terhadap
permasalahan emosi dan perilaku.” Ketika seorang anak mendapat respon negatif dari
guru dan teman sekelasnya saat mengalami kesulitan dan kurang keterampilan di
sekolah tanpa disadari anak terjerat dalam interaksi negatif. Anak akan berada dalam
keadaan jengkel dan tertekan yang diakibatkan dari tanggapan yang diterimanya baik
dari guru maupun teman sekelasnya.
4. Faktor Budaya
Daniel P. Hallahan, dkk (2009: 274), menuliskan “values and behavioral
standards are communicated to children through a variety of cultural condition,
demands, prohibition, and models.” Yang dimaksudkan adalah standar nilai-nilai
perilaku anak didapat melalui tuntutan-tuntutan maupun larangan-larangan, dan model
yang disajikan oleh kondisi budaya. Beberapa budaya dapat memengaruhi
perkembangan emosi dan perilaku anak misalnya saja contoh tindak kekerasan yang
diekspose media (telivisi, film, maupun internet), penyalahgunaan narkoba yang
seharusnya sebagai obat medis dan penenang, gaya hidup yang menjurus pada
disorientasi seksualitas, tuntutan-tuntutan dalam agama, dan korban kecelakaan nuklir
maupun perang.

C. Karakteristik Anak Tunalaras


Karakteristik yang dikemukakan oleh Hallahan & Kauffmann (1986),
berdasarkan dimensi tingkah laku anak tunalaras adalah sebagai berikut:
1. Anak yang mengalami kekacauan tingkah laku memeperlihatkan ciri-ciri: suka
berkelahi, memukul, menyerang, mengamuk, membangkang, menantang, merusak
milik sendiri atau milik orang lain, kurang ajar, lancang, melawan, tidak mau bekerja
sama, tidak mau memperahtikan, memecah belah, ribut, tidak bisa diam, menolak
arahan, cepat arah, menganggap enteng, sok aksi, ingin menguasai orang lain,
mengancam, pembohong, tidak dapat dipercaya, suka berbicara kotor, cemburu, suka
bersoal jawab, mencuri, mengejek, menyangkal berbuat salah, egois, dan mudah
terpengaruh untuk berbuat salah.
2. Anak yang sering merasa cemas dan menarik diri, dengan ciri-ciri khawatir, cemas,
ketakutan, kaku, pemalu, segan, menarik diri, terasing, tak berteman, rasa tertekan,
sedih, terganggu, rendah diri, dingin, malu, kurang percaya diri, mudah bimbang,
sering menangis, pendiam, suka berahasia.
3. Anak yang kurang dewasa, dengan ciri-ciri, yaitu pelamun, kaku, berangan-angan,
pasif, mudah dipengaruhi, pengantuk, pembosan, dan kotor.
4. Anak yang agresif bersosialisasi, dengan ciri-ciri, yaitu mempunyai komplotan jahat,
mencuri bersama kelompoknya, loyal terhadap teman nakal, berkelompok dengan
geng, suka di luar rumah sampai larut malam, bolos sekolah, dan minggat dari rumah.
D. Kebutuhan Pendidikan Anak Tunalaras
Yang menjadi sasaran pokok dalam pengembangan adalah usaha pemerataan dan
perluasan kesempatan belajar dalam rangka penuntasan wajib belajar pendidikan dasar.
Biasanya anak tunalaras itu segera saja dikeluarkan dari sekolah karena dianggap
membahayakan. Dengan usaha pengembangan sekolah bagi anak tunalaras ini berarti
kita memberi wadah seluas-luasnya atau tempat mereka memperoleh berbaikan
kepribadiannya. Dengan adanya sekolah bagi anak tunalaras berarti membantu para
orangtua anak yang sudah kewalahan mendidik puteranya, membantu para guru yang
selalu diganggu apabila sedang mengajar dan mengamankan kawan-kawannya terhadap
gangguan anak nakal. Pengembangan pendidikan bagi anak tunalaras sebaiknya paralel
atau dikaitkan dengan mengintensifkan usaha Bimbingan Penyuluhan di sekolah
reguler. Sehingga apabila anak itu tidak mengalami perbaikan dari usaha bimbingan
dan penyuluhan dari kelas khusus maka mereka dikirim ke Sekolah Luar Biasa bagian
Tunalaras. Sesuai dengan karakteristik anak tunalaras yang telah dikemukakan maka
kebutuhan pendidikan anak tunalaras diharapkan dapat mengatasi problem perilaku
anak tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka perlu dilakukan hal-hal
sebagai berikut.

E. Jenis-jenis Layanan Anak Tunalaras


1) Lingkungan fisik yang kurang memenuhi persyaratan, seperti bangunan sekolah
dan fasilitas yang tidak memadai, seperti ukuran kelas yang kecil dan sanitasi
yang buruk. Tidak jarang hal ini akan menjadikan anak merasa bosan dan tidak
betah berada di sekolah.
2) sekolah yang kaku dan tidak konsisten, seperti peraturan sekolah yang memberi
hukuman tanpa memperhatikan berat dan ringannya pelanggaran siswa. Keadaan
ini akan membuat anak merasa tidak puas terhadap sekolah.
3) yang tidak simpatik sehingga situasi belajar tidak menarik. Akibatnya, murid
sering membolos berkeliaran di luar sekolah pada jam-jam belajar, kadang-
kadang digunakan untuk merokok, tawuran, dan lain-lain.
4) Kurikulum yang digunakan tidak berdasarkan kebutuhan anak. Akibatnya, anak
harus mengikuti kurikulum bagi semua anak walaupun hal itu tidak sesuai dengan
bakatnya. Demikian pula kurikulum yang berubah-ubah menjadikan anak merasa
jenuh, dan melelahkan.
5) Metode dan teknik mengajar yang kurang mengaktifkan anak dapat
mengakibatkan anak bosan dan merasa lelah.

BAB III
KESIMPULAN
Secara definitif anak dengan gangguan emosi dan perilaku adalah anak yang mengalami
kesulitan dalam penyesuaian diri dan bertingkah laku tidak sesuai dengan norma-norma yang
berlaku dalam lingkungan kelompok usiamaupun masyarakat pada umumnya, sehingga
merugikan dirinya maupunorang lain, dan karenanya memerlukan pelayanan pendidikan
khusus demikesejahteraan dirinya maupun lingkungannya.

Anda mungkin juga menyukai