Anda di halaman 1dari 25

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori

1. Remaja

a. Pengertian

Menurut WHO, masa remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-

kanak menuju masa deawasa, dimana pada masa itu tejadi pertumbuhan yang

pesat termasuk fungsi reproduksi sehingga mempengaruhi terjadinya perubahan-

perubahan perkembangan, naik fisik, mental, ataupun peran sosial (Surjadi,dkk,

2002)

Remaja adalah tahap umur yang datang setelah masa kanak-kanak

berakhir, ditandai oleh pertumbuhan fisik yang cepat (Sriwahyuni,2007). Remaja

yang sehat dan berkualitas menjadi perhatian yang serius bagi orangtua, praktisi

pendidikan ataupun remaja itu sendiri. Remaja yang sehat adalah remaja yang

produktif dan kreatif sesuai tahap perkembangannya (Tarwoto & dkk, 2012).

Menurut Helen (2012) bahwa, remaja adalah orang yang paling mudah

menerima sesuatu yang baru, unik dan menarik karena remaja mempunyai jiwa

yang ingin tahu akan sesuatu hal dan antusias dalam mengekspresikan dirinya.

Remaja juga mempunyai sifat yang mudah terpengaruh dan labil. Mereka akan

melakukan sesuatu hal yang membuat mereka puas dan merasa tidak akan

ketinggalan dengan tren baru.


1). Fase-fase Masa Remaja

Menurut Namora (2012) membagi masa remaja menjadi tiga fase :

a. Pra-pubertas (kurang lebih 10-12 tahun)

Pada masa ini insting-inting seksual ada dalam keadaan paling lemah,

sedangkan proses perkembangan anak ada dalam keadaan paling kuat (progresif).

Masalah erotik pada seks, yaitu totalitas dari kompleks gejala seksual dan afiksi-

afiksi yang berkaitan dengan masalah cinta, sifatnya belum akut karena memang

belum terdapat kematangan seksual.

b. Masa Pubertas (14-18 tahun)

Proses organis yang penting pada masa ini adalah kematangan seksual.

Kadang-kadang hormon dan fungsi motorik juga terganggu. Lalu, terlihat gejala-

gejala tingkah laku, seperti canggung, kaku, kikuk, tegar, muka tampak kasar,

dan buruk.

c. Adolensi (19-21 tahun)

Pada masa ini anak mulai bersikap kritis terhadap objek-objek yang berkaitan

dengan dirinya, mampu membedakan dan menelaah hal yang terkait dengan

lingkungan internal dan eksternal.

Tahap ini adalah masa konsolidasi menuju periode dewasa yang ditandai

dengan pencapaian lima hal :

1) Minat yang makin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek

2) Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain dan

dalam pengalaman-pengalaman baru

3) Terbentuknya identitas seksual dengan yang tidak akan berubah lagi


4) Egosintrisme (terlalu memusatkan pikiran pada diri sendiri) diganti

dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dan orang lain

5) Tumbuh dinding yang memisahkan dari pribadinya (privat self) dan

masyarakat umum (the public) (Sarwono , 2012)

2). Tantangan dan Masalah Remaja

Masalah penting yang dihadapi oleh remaja cukup banyak, diantaranya

timbul berbagai konflik dalam diri remaja.

a. Konflik antara kebutuhan untuk mengendalikan diri dengan kebutuhan

untuk bebas dan merdeka. Remaja membutuhkan rasa bebas karena

merasa telah besar, deawasa dan tidak kecil lagi. Konflik antar-kebutuhan

itu menyebabkan rusaknya keseimbangan emosi remaja.

b. Konflik antara kebutuhan akan kebebasan dan ketergantungan terhadap

orang tua. Di lain pihak remaja ingin bebas dan mandiri, yang

diperlukannya dalam mencapai kematangan fisik, tetapi membutuhkan

orang tua untuk memberikan materi guna menunjang studi dan

penyesuaian sosialnya.

c. Konflik antara kebutuhan seks dan ketentuan agama serta nilai sosia.

Kematangan seks yang terjadi pada remaja menyebabkan terjadinya

kebutuhan seks yang mendadak. Konflik tersebut bertambah tajam apabila

remaja dihadapkan pada cara ataupun perilaku yang menumbuhkan

rangsangan seks, seperti film, sandiwara, dan gambar.


3). Perkembangan Psikologis Pada Remaja

a. Perkembangan psikososial

Pada usia 12-15 tahun, pencarian identitas diri masih berada pada tahap

permulaan. Dimulai pada pengukuhan kemampuan yang sering diungkapkan

dalam bentuk kemauan yang tidak dapat dikompromikan sehingga mungkin

berlawanan dengan kemauan orang lain. Bila kemauan itu ditentang, mereka akan

memaksa agar kemauannya dipenuhi. Ini bentuk awal yang dapat menjadi

masalah bagi lingkungannya. Penyesuaian terhadap lingkungan baru akan dapat

menjadi masalah bagi remaja karena meninggalkan dunia anak-anak berarti

memasuki dunia baru yang penuh dengan tuntutan-tuntutan baru. Bila tidak

mungkin memasuki dunia barunya, sering timbul perasaan-perasaan tidak mampu

yang mendalam.

b. Emosi

Emosi adalah perasaan yang mendalam yang biasanya menimbulkan

perbuatan atau perilaku. Perasaan dapat dipakai berkaitan dengan keadaan fisik

atau psikis, sedangkan emosi hanya dapat dipakai untuk keadaan psikis. Pada

masa remaja, kepekaan emosi menjadi meningkat sehingga rangsangan sedikit

saja sudah menimbulkan luapan emosi yang besar.

c. Perkembangan kecerdasan

Dalam masa remaja, perkembangan intelegensi masih berlangsung sampai

usia 21 tahun. Berdasarkan perkembangan intelegensi ini, remaja lebih suka

belajar sesuatu yang mengandung logika yang dapat dimengerti hubungan antara

hal yang satu dengan yang lainnya. Imajinasi remaja juga menunjukkan

kemajuan.
2. Perilaku Seksual Pranikah

a. Pengertian

Pengertian seksual secara umum adalah sesuatu yang berkaitan dengan alat

kelamin atau hal-hal yang berhubungan dengan perkara hubungan intim antara

laki-laki dan perempuan. Hurlock (1991) mengemukakan seiring dengan

pertumbuhan primer dan sekunder pada remaja kearah kematangan yang

sempurn, muncul juga hasrat dan dorongan untuk menyalurkan keinginan

seksualnya. Hal ini merupakan sesuatu yang wajar, karena secara alamiah

dorongan seksual memang harus terjadi untuk menyalurkan rasa kasih sayang

antara dua insan.

Perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat

seksual, baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis. Bentuk-betuk tingkah

laku ini dapat beraneka ragam, mulai dari perasaan tertarik hingga tingkah laku

berkencan, bercumbu bahkan bersenggama. Objek seksualnya bisa berupa orang

lain, orang dalam khayalan bahkan diri sendiri (Sarwono,2012)

Perilaku seksual remaja biasanya didorong oleh rasa sayang dan cinta serta

perasaan bergairah yang tinggi kepada pasangannya tanpa disertai komitmen

yang jelas. Perilaku seksual remaja adalah tindakan yang dilakukan oleh remaja

berhubungan dengan dorongan seksual yang datang baik dari dalam dirinya

maupun dari luar dirinya (Notoadmodjo,2007).

Kecenderungan Perilaku seksual pada remaja dipengaruhi oleh banyak

faktor seperti perubahan hormonal, pergaulan bebas, pemahaman yang kurang

mengenai seks, dan kontrol diri. Remaja yang mampu mengatur dirinya akan

berkurang perilaku seksualnya dibandingkan dengan remajayang merasa dirinya


mudah dipengaruhi oleh faktor-faktor dari luar dirinya (Sarwono, 2010). Kontrol

diri remaja yang lemah mengakibatkan terjadinya kecenderungan perilaku

seksual seperti berciuman, memegang alat kelamin, bahkan berhubungan seksual.

Perkembangan hormonal pada diri remaja tanpa disertai dengan pengetahuan

yang memadai tentang seksualitas menyebabkan remaja kurang mampu

mengolah atau mengendalikan diri atas peningkatan libidonya (Dariyo, 2004)

Perilaku seksual adalah suatu bentuk aktifitas fisik antara laki-laki dan
perempuan atau lawan jenis yang dilakukan karena adanya dorongan-dorongan
seksual untuk mengekspresikan perasaan atau emosi dan kesenangan seksual
melalui berbagai perilaku.

Menurut Simanjuntak (2005) perilaku seksual pranikah adalah segala macam


tindakan, seperti bergandengan tangan, berciuman, bercumbu sampaidengan
bersenggama yang dilakukan dengan adanya dorongan hasrat seksual,yang
dilakukan sebelum ada ikatan pernikahan.Sementara itu, Soetjiningsih (2004)
mendefenisikan perilaku seksual pranikah adalah segala tingkah lakuseksual yang
didorong oleh hasrat seksual dengan lawan jenisnyayang dilakukan sebelum
menikah.Berdasarkan penjelasan diatas, perilaku seksual pranikah adalah tingkah
laku yang berhubungan dengan dorongan seksual yang dilakukan dengan lawan
jenis maupun sesama jenis dengan segala macam tindakan seksual sampai dengan
berhubungan badan yang dilakukan sebelum adanya ikatan perkawinan yang sah
secara hukum maupun agama.
b. Jenis-jenis perilaku seksual

Menurut Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI, 2015) jenis-

jenis perilaku seksual anatara lain :

a. Berpegangan Tangan

Aktivitas ini memang tidak terlalu menimbulkan rangsangan seksual

yang kuat, namun biasanya muncul keinginan untuk mencoba aktivitas

seksual lainnya (hingga kepuasan dapat tercapai).

b. Berfantasi

Berfantasi adalah perilaku yang normal dilakukan. Fantasi merujuk

pada citra mental seseorang, objek atau situasi, yang seringkali

meskipun tidak selalu melibatkan komponen seksual. Aktivitas seksual

ini bisa berlanjut ke kegiatan lainnya, seperti masturbasi, berciuman, dan

aktivitas lainnya.

c. Bersentuhan (touching)

Mulai dari berpegangan tangan sampai berpelukan. Perbuatan ini

dapat memunculkan getaran romantis atau perasaan nyaman bagi pasangan

temasuk mencoba aktivitas seksual lainnya hingga kepuasan seksual tercapai.

d. Cium Kering

Biasanya dilakukan pada kening, pipi, tangan, rambut. Pada bibir

biasanya dilakukan dalam waktu singkat. Dampaknya ialah imajinasi atau

fantasi seksual jadi berkembang, menimbulkan keinginan untuk

melanjutkan bentuk aktivitas seksual lainnya yang lebih dapat dinikmati.


e. Cium Basah

Cium basah adalah ciuman yang dilakukan dalam waktu yang

relative lebih lama dan intim. Dampaknya ialah dapat menimbulkan

sensasi seksual yang kuat sehingga membangkitkan dorongan seksual

hingga tak terkendali, tertular virus atau bakteri dari lawan jenis. Mudah

sekali untuk menularkan penyakit TBC, Hepatitis B, Infeksi

Tenggorokan, sariawan dan lain lain.

f. Berpelukan

Berpelukan merupakan suatu ungkapan kasih sayang yang

dilakukan melalui dekapan terhadap pasangan, sehingga menimbulkan

rasa aman, nyaman dan terlindungi.

g. Saling Meraba

Tindakan ini dilakukan pada area sensitif seperti payudara, vagina

dan penis, baik berpakaian maupun tanpa pakaian.

h. Necking

Necking merupakan sentuhan menggunakan mulut pada leher

pasangan yang dapat meninggalkan bekas kemerahan atau tidak.

i. Bercumbuan (petting)

Menyentuh bagian-bagian yang sensitif dari tubuh pasangannya dan

mengarah pada pembangkitan gairah seksual.

j. Seks Oral
Seks oral merupakan perbuatan memasukkan alat kelamin kedalam

mulut, yang mana jika dilakukan oleh laki-laki disebut cunnilungus,

sedangkan oleh perempuan disebut fellatio.

k. Berhubungan kelamin (sexual intercouse)

Hubungan seksual merupakan hubungan badan yang dilakukan

dengan memasukkan alat kelamin laki-laki ke dalam alat kelamin

perempuan.

Berbagai perilaku yang mengarah pada pemuasan dorongan seksual pada

dasarnya menunjukkan tidak berhasilnya seseorang dalam mengendalikan atau

mengalihkan dorongan tersebut ke kegiatan yang sebenarnya masih dapat

dikerjakan. Dorongan atau hasrat untuk melakukan hubungan seksual selalu

muncul pada remaja.

c. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual

Menurut Jusuf (dalam Indriyani,2014) faktor internal yang mempengaruhi adanya

perilaku seksual yaitu sebagai berikut :

a. Faktor internal

1) Krisis identitas

Perubahan biologis dan sosiologis pada diri remaja memungkinkan

terjadinya dua bentuk integrasi. Pertama, terbentuknya perasaan akan

konsistensi dalam kehidupannya. Kedua, tercapainya identitas peran.

Kenakalan remaja terjadi karena remaja gagal mencapai masa integrasi

kedua.

2) Kontrol diri
Remaja yang tidak bisa mempelajari dan membedakan tingkah laku yang

dapat diterima dengan yang tidak dapat diterima akan terseret pada

perilaku nakal. Begitu pula bagi mereka yang telah mengetahui perbedaan

dua tingkah laku tersebut, tetapi tidak bisa mengembangkan kontrol diri

untuk betingkah laku sesuai pengetahuannya.

b. Faktor Eksternal

1) Keluarga

Perceraian orang tua, tidak adanya komunikasi antara anggota

keluarga, perselisihan antar anggota keluarga dan pola asuh yang

salah.

2) Pergaulan bebas

3) Komunikasi / lingkungan tempat tinggal yang kurang baik

4) Gagalnya sosialisasi norma

5) Media massa dan teknologi

Prof.Dr.Singgih (2012) juga mengemukakan bahwa faktor penyebab

terjadinya perilaku seksual beresiko pada remaja adalah kurangnya pengendalian

diri atau kontrol diri remaja. Sexual revolution yang ditandai dengan semakin

bebasnya media menyajikan topik yang berkaitan dengan permasalahan

kehidupan seks, semakin meluasnya penyebaran penyakit-penyakit yang

ditularkan secara seksual serta penyakit AIDS, semakin diterimanya sikap positif

terhadap perilaku seksual (hubungan intim) pranikah, semakin banyaknya

kehamilan diluar nikah. Maka dalam menghadapi sexual revolution, remaja

memerlukan mekanisme kontrol diri yang baik bahwa remaja mampu

mengendalikan hasrat seksual.


d. Dampak-dampak Perilaku Seksual

Adapun dampak dari perilaku seksual pada remaja menurut Kumalasari

(2012) adalah sebagai berikut:

a. Bagi remaja

1) Remaja laki-laki menjadi tidak perjaka, wanita menjadi tidak perawan

2) Risiko tertular penyakit menular seksual (PMS) meningkat, seperti

gonoroe, sifilis, herpes simpleks (genitalis), dan HIV/AIDS

3) Remaja putri terancam kehamilan yang tidak diinginkan, pengguguran

kandungan yang tidak aman, infeksi organ reproduksi, anemia,

kemandulan, dan kematian karena perdarahan atau keracunan kehamilan

4) Trauma kejiwaan (depresi, rendah diri, merasa berdosa, dan hilang

harapan masa depan)

5) Kemungkinan kehilangan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan

dan kesempatan bekerja

6) Melahirkan bayi yang kurang/tidak sehat

b. Bagi keluarga

1) Menimbulkan aib keluarga

2) Menambah beban ekonomi

3) Mempengaruhi kejiwaan bagi anak karena adanya tekanan (ejekan) dari

masyarakat

c. Bagi masyarakat
1) Meningkatkan remaja putus sekolah, sehingga kualitas masyarakat

menurun

2) Meningkatkan angka kematian ibu dan bayi

3) Meningkatkan beban ekonomi masyarakat sehingga derajat kesehatan

masyarakat menurun

e. Cara Mengatasi Perilaku Seksual Pada Remaja

Beberapa para ahli berpendapat bahwa penyimpangan perilaku seksual

remaja ini dapat diatasi. Beberapa cara untuk mengatasi perilaku seksual

remaja menurut Kumalasari (2012) adalah sebagai berikut:

a. Mengikis kemiskinan, sebab kemiskinan membuat banyak orangtua

melacurkan anaknya sendiri

b. Menyediakan informasi tentang kesehatan reproduksi, karena

ketidaktersediaan informasi yang akurat dan benar tentang kesehatan

reproduksi memaksa remaja untuk melakukan eksplorasi sendiri, baik

melalui nedia informasi maupun dari teman sebaya

c. Memperbanyak akses pelayanan kesehatan, yang diiringi dengan saran

konseling

d. Meningkatkan partisipasi remaja dengan menggembangkan pendidikan

sebaya

e. Meninjau ulang segala peraturan yang membuka peluang terjadinya

reduksi atas pernikahan dini

f. Meminimalkan informasi tentang kebebasan seks. Dalam hal ini media

massa dan hiburan sangat berperan penting


g. Menciptakan lingkungan keluarga yang kondusif, kukuh, dan informatif.

Pandangan bahwa seks adalah hal yang tabu yang telah sekian lama

tertanam justru membuat remaja enggan bertanya tentang kesehatan

reproduksinya dengan orang tuanya sendiri.

3. Kontrol Diri

a. Pengertian

Kontrol diri berkaitan dengan bagaimana individu mengendalikan emosi

serta dorongan-dorongan dari dalam dirinya. Menurut konsep ilmiah

pengendalian emosi berarti mengarahkan energi emosi ke saluran ekspresi yang

bermanfaat dan dapat diterima secara sosial. Menurut Berk (dikutip dari Singgih,

2012) kontrol diri adalah kemampuan individu untuk menahan keinginan atau

dorongan sesaat yang bertentangan dengan tingkah laku yang tidak sesuai dengan

norma sosial. Sedangkan menurut Gilliom et al., kontrol diri adalah kemampuan

individu yang terdiri dari tiga aspek, yaitu kemampuan mengendalikan atau

menahan tingkah laku yang bersifat menyakiti atau merugikan orang lain,

kemampuan bekerja sama dengan orang lain dan kemampuan mengikuti

peraturan yang berlaku, serta kemampuan untuk mengungkapkan keinginan atau

perasaan kepada orang lain, tanpa menyakiti atau menyinggung perasaan orang

lain.

Henry dalam Nurfaujiyanti (2010) mendefinisikan kontrol diri sebagai

pengendalian yang dilakukan oleh individu terhadap perasaan-perasaan, impuls-

impuls dan tindakannya sendiri. Sedangkan, menurut Rini (2011) Kontrol diri
merupakan kemampuan individu mengontrol dan mengelola faktor-faktor

perilaku sesuai situasi dan kondisi untuk menampilkan diri dalam melakukan

sosialisasi. Ketika berinteraksi dengan orang lain seseorang akan berusaha

menampilkan perilaku yang paling tepat bagi dirinya. Papalia et al (dikutip dari

Singgih,2012) mengemukakan bahwa kontrol diri adalah kemampuan individu

untuk menahan dorongan-dorongan dan kemampuan individu untuk

mengendalikan tingkah lakunya pada saat tidak adanya kontrol dari lingkungan.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa kontrol diri adalah kemampuan seorang

individu untuk mengatur, membimbing, mengarahkan dirinya baik dari segi fisik,

kognitif, afektif yang mungkin diaplikasikan kearah yang positif.

b. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kontrol Diri

Menurut Gufron (Grace. A. Gaghana, 2012), faktor-faktor yang mempengaruhi

kontrol diri terdiri dari faktor internal dari dalam dan faktor eksternal yaitu

lingkungan individu.

a. Faktor Internal

Faktor internal yang ikut berperan terhadap kontrol diri adalah usia, semakin

bertambahnya usia seseorang maka semakin baik kemampuan mengontrol

dirinya.

b. Faktor Eksternal

Faktor eksternal yang ikut berperan terhadap kontrol diri di antaranya adalah

lingkungan keluarga yaitu orang tua dan teman sebaya yang menentukan

bagaimana kemampuan mengontrol diri seseorang.


c. Jenis-Jenis Kontrol Diri

Menurut Block and Block (dalam Sari, 2006), ada tiga jenis kontrol diri yaitu:

a. Over control, yaitu kontrol yang berlebihan dan menyebabkan seseorang

banyak mengontrol dan menahan diri untuk bereaksi terhadap suatu stimulus

b. Under control, yaitu kecenderungan untuk melepaskan implus yang bebas

tanpa perhitungan yang masak.

c. Approprite control, yaitu kontrol yang memungkinkan individu

mengendalikan implusnya secara tepat.

Menurut Safarino (1990 dalam Sari,2006) kontrol diri yang digunakan

individu dalam menghadapi suatu stimulus meliputi:

a. Behavioral control, yaitu kemampuan dalam mengambil tindakan konkrit

untuk mengurangi akibat dari stressor. Tindakan ini dapat berupa p

engurangan intensitas kejadian atau memperpendek durasi kejadian.

b. Cognitif control, yaitu kemampuan proses berpikir atau strategi untuk

memodifikasi akibat dari stressor. Strateginya dapat berupa penggunaan cara

yang berbeda dalam memikirkan kejadian tersebut atau memfokuskan pada

pemikiran yang menyenangkan atau netral.

c. Decision control, yaitu kesempatan untuk memilih antara prosedur alternatif

atau tindakan yang dilakukan.


d. Informational control, yaitu kesempatan untuk mendapatkan pengetahuan,

mengenai kejadian yang menekan, kapan akan terjadi, mengapa dan apa

konsekuensinya. Kontrol informasional dapat mengurangi stres dengan

meningkatkan kemampuan seseorang untuk memprediksi dan

mempersiapkan apa yang akan terjadi dan mengurangi ketakutan seseorang

dalam menghadapi sesuatu yang tidak diketahuinya.

e. Retrospective control, yaitu kemampuan yang menyinggung kepercayaan

mengenai apa atau siapa yang menyebabkan kejadian yang menekan setelah

kejadian tersebut terjadi.

Berdasarkan pendapat kedua tokoh di atas tentang jenis-jenis kontrol diri

maka dapat disimpulkan bahwa jenis-jenis kontrol diri sebagai berikut:

a. Mengontrol perilaku yaitu: kemampuan dalam mengambil tindakan konkrit

untuk mengurangi akibat dari penyebab.

b. Kontrol kognitif yaitu: kemampuan proses berpikir untuk mencari cara atau

strategi akibat dari penyebab/stessor.

c. Kontrol keputusan yaitu; kesempatan individu dalam memilih suatu tindakan

yang akan dilakukan.

d. Kontrol informasi yaitu: kesempatan individu dalam memperoleh pengetahuan

atau informasi untuk mengurangi stres dengan meningkatkan kemampuan

seseorang dalam memprediksi dan mempersiapkan apa yang akan terjadi dan

mengurangi ketakutan seseorang dalam menghadapi sesuatu yang tidak

diketahuinya
e. Retrospective control yaitu: kemampuan yang menyinggung kepercayaan

mengenai apa atau siapa yang menyebabkan kejadian yang menekan setelah

kejadian tersebut terjadi.

d. Teknik Kontrol Diri

B.F. Skinner (dalam Sari, 2006) mengemukakan beberapa teknik yang dapat

digunakan untuk melaksanakan kontrol diri yaitu:

a. Pengendalian dan pertolongan fisik, proses di mana seseorang individu dapat

mengontrol tingkah laku dengan pengendalian fisiknya.

b. Perubahan stimulus, selain membuat respon yang mungkin dan tidak

mungkin, juga dapat membuat atau menghapus peluang.

c. Penggunaan stimulus aversif, seseorang dapat mengontrol diri sendiri dengan

menciptakan stimulus verbal yang mempengaruhi pada diri. Pernyataan yang

sederhana yaitu stimulus aversif, memelihara tindakan spesifik yang akan

membawa pada perilaku yang tidak diinginkan.

Cormier & Cormier mengemukakan terdapat tiga teknik kontrol diri yaitu:

a. Self monitoring, merupakan suatu proses dimana individu mengamati dan

peka terhadap segala sesuatu tentang dirinya dan interaksinya dengan l

ingkungan. Self monitoring dapat juga digunakan untuk alat ukur tingkat

produktifitas suatu keadaan atau tingkah laku seseorang dan akan menjadi
efektif sebagai alat dalam pengubahan suatu tingkah laku. Self monitoring

bersifat reaktif, yaitu tindakan yang selalu mencatat perilaku yang dapat

menyebabkan perubahan, meskipun tidak ada keinginan ataunkeinginan

berusaha sendiri untuk mengadakan perubahan. Dalam self monitoring,

individu dapat memberi dirinya sendiri dengan penguatan internal yang

otomatis.

b. Self reward, merupakan suatu teknik dimana individu mengatur dan

memperkuat perilakunya dengan segala akibat yang dihasilkan. Self reward

ialah cara mengubah tingkah laku yang dapat dilakukan dengan memberi

hadiah atau hal-hal yang menyenangkan apabila perilaku yang diinginkan

berhasil.

Berdasarkan paparan kedua pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa

teknik kontrol diri sebagai berikut:

a. Pengendalian dan pertolongan fisik, proses dimana seseorang individu dapat

mengontrol tingkah laku dengan pengendalian fisiknya.

b. Perubahan stimulus, selain membuat respon yang mungkin dan tidak

mungkin, juga dapat membuat atau menghapus peluang.

c. Self reward yaitu dimana individu dapat mengatur dan memperkuat

perilakunya dengan segala akibat yang dihasilkan. Cara ini dapat dilakukan

dengan memberi hadiahatau hal-hal yang menyenangkan apabila perilaku

yang diinginkan berhasil.


e. Kontrol Diri Pada Remaja

Menurut Rice (Singgih D. Gunarsa, 2006 ) remaja adalah masa peralihan, ketika

individu tumbuh dari masa kanak-kanak ke masa remaja. Pada masa tersebut ada

dua poin penting yang menyebabkan remaja melakukan kontrol diri. Pertama, hal

yang bersifat eksternal, yaitu adanya perubahan lingkungan. kedua, hal yang

bersifat internal yaitu karakteristik di dalam diri remaja yang membuat remaja

lebih bergejolak dibandingkan masa perkembangan lainnya. Anna Freud (Linda

Yarni, 2005) mendefinisikan masa remaja adalah masa yang meliputi proses

perkembangan dan terjadi perubahan perubahan dalam hal motivasi seksual,

organisasi dari ego, dalam hubungan dengan orang tua, orang lain, dan cita-

citanya. Boyke Dian Nugraha (Linda Yarni, 2005) berpendapat bahwa masa

remaja adalah masa yang ditandai dengan perubahan fisik secara cepat,

ketertariakan pada lawan jenis, dan keinginan untuk memberontak. Dengan

adanya perubahan yang terjadi pada tubuh remaja, hal ini dapat membuat mereka

tidak bisa menerima keadaan fisik mereka sehingga mereka mengalami emosi

yang tidak stabil.

Sofyan S Willis (Minda Puspita dkk, 2013) mengatakan bahwa remaja yang tidak

mampu mengontrol diri akan melahirkan keingingan dan cita-cita yang tinggi

tetapi kemampuan untuk mencapainya sangat kurang, sehingga menimbulkan

kegelisahan yang akan berakibat tidak dapat memusatkan perhatian, kurang

bersemangat, berbuat sesuka hatinya dan lain sebagainya, dimana gejala tersebut

di awali oleh lemahnya kontrol diri dari remaja tersebut.


Menurut Arnett (Singgih D. Gunarsa, 2006) pada masa badai tersebut remaja

cenderung bertingkah laku yang beresiko. Bertingkah laku yang beresiko tersebut

diartikan sebagai tingkah laku yang secara potensial dapat menyebabkan celaka

atau kesulitan pada orang lain maupun pada diri sendiri. Tingkah laku beresiko

yang paling sering muncul pada masa remaja adalah penyalahgunaan obat-

obatan, keselamatan mengemudi, dan permasalahan yang berkaitan dengan

kehidupan seks remaja. Akan tetapi perlu diingat, bahwa tidak semua remaja mau

mencoba perilaku yang beresiko seperti itu. Zuckerman (Singgih D. Gunarsa,

2006) mengatakan bahwa remaja yang kemungkinan besar mencoba tingkah laku

yang beresiko merupakan remaja yang memiliki kesenangan untuk mencari

sensasi dan remaja yang cenderung menuruti keinginan sesaatnya.

f. Aspek-aspek Kontrol Diri

Menurut Averill (dikutip dari Syamsul Bachri Thalib, 2010) ada tiga aspek

kontrol diri, yaitu :

a. Kontrol Perilaku (behavior control)

Merupakan tersedianya suatu respon yang dapat secara langsung

mempengaruhi atau memodifikasi suatu keadaan yang tidak menyenangkan.

Aspek ini terdiri dari dua komponen, yaitu : mengatur pelaksanaan (regulated

administration) dan memodifikasi stimulus (stimulus modifiability). Individu

yang mempunyai kemampuan mengontrol diri yang baik akan mampu mengatur

perilaku dengan menggunakan kemampuan dirinya dan jika dia tudaj mampu

individu akan menggunakan sumber eksternal.


b. Kontrol Kognitif (cognitive control),

Merupakan kemampuan individu dalam mengolah informasi yang tidak

diinginkan dengan cara menginterpretasi, menilai, atau menghubungkan suatu

kejadian dalam suatu kerangka kognitif sebagai adaptasi psikologis atau

mengurangi tekanan. Aspek ini terdiri dari dua komponen, yaitu : memperoleh

informasi (information gain) dan melakukan penilaian (apparsial). Dengan

informasi yang dimiliki oleh individu mengenai suatu keadaan yang tidak

menyenangkan, individu dapat mengantisipasi keadaan tersebut dengan berbagai

pertimbangan. Melakukan penilaian berarti individu berusaha menilai dan

menafsirkan suatu keadaan atau peristiwa dengan cara memperhatikan segi-segi

positif secara subjektif.

c. Mengontrol Keputusan (desicional control)

Merupakan kemampuan seseorang untuk memilih hasil atau suatu tindakan

berdasarkan pada sesuatu yang diyakini atau disetujuinya. Kontrol diri dalam

menentukan pilihan akan berfungsi baik dengan adanya suatu kesempatan,

kebebasan atau kemungkinan pada diri individu untuk memilih berbagia

kemungkinan tindakan. Aspek ini terdiri dari dua komponen, yaitu :

mengantisipasi peristiwa dan menafsirkan peristiwa, yaitu kemampuan menahan

diri.

Aspek ini merujuk pada kemampuan individu dalam membuat pertimbangan

dan menilai situasi terlebih dahulu sebelum melakukan tindakan. Kemampuan

mengontrol diri terletak pada kekuatan dari ketiga aspek tersebut. Kemampuan
mengontrol diri ditentukan oleh seberapa jauh salah satu aspek mendominasi atau

kombinasi tertentu dari berbagai aspek dalam mengontrol diri.

g. Manfaat Kontrol Diri

Messina dan Messina (dikutip dari Singgih, 2012) mengembangkan

manfaat kontrol diri, yang meliputi :

a. Membatasi perhatian individu kepada orang lain

Dengan adanya kontrol diri, individu akan memberikan perhatian pada

kebutuhan pribadinya pula, tidak sekedar berfokus pada kebutuhan, kepentingan,

atau keinginan orang lain di lingkungannya.

b. Membatasi individu untuk bertingkah laku negatif

Individu yang memiliki kontrol diri akan terhindar dari berbagai tingkah

laku negatif. Kontrol diri memiliki arti sebagai kemampuan individu untuk

menahan dorongan atau keinginan untuk bertingkah laku negatif yang tidak

sesuai dengan norma sosial.

c. Membatasi keinginan individu untuk mengendalikan orang lain di

lingkungannya

Individu akan membatasi ruang bagi aspirasi dirinya dan memberikan ruang

bagi aspirasi orang lain supaya dapat terakomodasi secara bersama-sama.

a. Dalam beberapa situasi, kemampuan kontrol diri yang kuat sangat diperlukan

supaya kita dapat bertahan, beradaptasi dan mampu dalam menghadapi

perubahan dan kekurang beruntungan.

b, Kontrol diri menjadi faktor pendukung mencapai kesuksesan dan

menghambat kegagalan. Oleh karena itu, individu memerlukan tingkat kontrol

diri yang berbeda untuk menghadapi persoalan didalam kehidupannya.


h. Pengaruh Kontrol Diri Terhadap Perilaku

Calhoun dan Acocella dalam Nurfaujiyanti (2010), menyatakan bahwa

kontrol diri dapat dijadikan sebagai kekuatan seseorang dalam mempengaruhi

diri, pengaturan terhadap fisik, sikap, dan proses-proses yang bersifat psikologis

dengan kata lain, pengaturan terhadap segala proses yang menentukan diri

seseorang. Dengan begitu, individu dengan kontrol diri yang tinggi akan sangat

memperhatikan cara-cara yang tepat untuk bagaimana berperilaku dalam situasi

yang bervariasi.

Selain itu, perilakunya lebih responsif terhadap petunjuk situasional, lebih

fleksibel, berusaha untuk memperlancar interaksi sosial, bersikap hangat dan

terbuka dengan orang lain. Seseorang akan berusaha menampilkan perilaku yang

dianggap paling tepat bagi dirinya yaitu perilaku yang dapat menyelamatkan

interaksinya dari akibat negatif yang disebabkan karena respon yang

dilakukannya.

Calhoun dan Acocella dalam Nurfaujiyanti (2010) mengemukakan dua

alasan yang mengaharuskan individu untuk mengontrol diri secara kontinyu,

yaitu:

a. Pertama, individu hidup bersama kelompok sehingga dalam

memuaskan keinginannya individu harus mengontrol perilakunya agar

tidak mengganggu kenyamanan orang lain.

b. Kedua, masyarakat mendorong individu untuk secara konstan

menyusun standar yang lebih baik lagibagi dirinya. Sehingga dalam


rangka memenuhi tuntutan tersebut dibutuhkan pengontrolan diri agar

dalam proses pencapaian standar tersebut individu tidak melakukan hal-

hal menyimpang.

4. Kerangka Konsep

a. Kerangka Teori

Peneliti akan meneliti, apakah terdapat hubungan kontrol diri dengan

perilaku seksual pranikah pada remaja, dan dijelaskan lebih singkat dengan bagan

di bawah ini

Kontrol diri Perilaku seksual


Remaja Pranikah
1. Kontrol perilaku
1. Pengertian 1. Berfantasi
Remaja adalah 2. Kontrol kognitif
2. Bersentuhan
tahap umur yang
3. Kontrol keputusan
datang setelah 3. Ciuman kering
masa kanak-
kanak berakhir, 4. Ciuman Basah
ditandai oleh
pertumbuhan fisik 5. Berpegangan tangan
yang cepat
6. Berpelukkan

7. Meraba

8. Oral sex

9. Berhungan intim
Gambar 2.1

Bagan kerangka Teori

(Sumber : Sriwahyuni,2007. Tarwoto & dkk, 2012. Averill dikutip dari Syamsul

Bachri Thalib, 2010. PKBI, 2015.Sarwono, 2010. Dariyo, 2004)


b. Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian yaitu suatu diagram sederhana yang

menunjukkan variabel dan hubungan antar variabel (Dahlan, Ms, 2013). Variabel

yang akan dilihat hubungannya yaitu kontrol diri dan perilaku seksual beresiko

pada remaja. Menurut Jusuf (dalam Indriyani, 2014) salah satu faktor yang

mempengaruhi tindakan perilaku seksual pranikah adalah kontrol diri.

Dari uraian di atas dapat digambarkan kerangka konsep sebagai berikut :

Variabel Independen

Variabel Dependen

Kontrol diri Perilaku Seksual


Pranikah
1. Baik
1. Resiko Rendah
2. Kurang baik

Gambar 2.2

c. Hipotesa

Berdasarkan kajian teori dan paradigma diatas maka pengajuan hipotesis dalam

penelitian ini adalah

Ha : Ada hubungan kontrol diri dengan perilaku seksual pranikh pada remaja di

SMA 9 pekanbaru.

Anda mungkin juga menyukai