5
6
jauh jarak muka air tanah terhadap bidang dasar kelongsoran maka semakin
kecil nilai faktor keamanannya dan begitu sebaliknya.
2.2 Geologi dan Stratigrafi Bangka
2.2.1 Geologi Bangka
Struktur geologi di Pulau Bangka meliputi kelurusan, kekar, lipatan dan
patahan. Lipatan terjadi pada batuan berumur Perm dan Trias (Mangga dan
Djamal, 1994). Lipatan batuan meliputi Formasi Tanjung Genting dan Formasi
Ranggam, mempunyai arah sumbu timurlaut-baratdaya dan kemiringan besar
antara 18o-75o, yang menunjukkan intensitas tektonik besar (Margono dkk, 1995).
Berdasarkan Katili (1967) arah struktur Kepulauan Busur Mesozoikum
memiliki pola bentuk S, dimana perlipatan berhubungan dengan pola struktur S
waktu Jura Akhir. Sebaran batuan plutonik mengikuti arah lipatan dan terletak
pada inti antiklin, Demikian juga bentuk lintasan garis pantai Pulau Bangka
mengikuti arah struktur geologi, khususnya sumbu lipatan. Adapun kehadiran
arah sumbu lipatan acak dimungkinkan hasil deformasi batuan yang lebih tua dari
Masa Mesozoikum.. Struktur lipatan berarah timur laut-barat daya (Orogenesa II)
disebabkan oleh deformasi pada Yura Atas (Katili, 1967). Beberapa jenis granit
Pulau Bangka adalah sebagai berikut :
1. Bagian utara : Granit Klabat, yang berorientasi barat-timur melewati Teluk
Klabat, granit yang ada disekitarnya terdiri atas Granit Pelangas, Granit
Menumbing, Granit Mangkol.
2. Bagian selatan : Tersusun atas pluton yang lebih kecil yaitu, Pluton Koba,
Pluton Bebuluh, Pluton Permis, dan Granit Toboali, serta pluton yang lain
yang berada terletak diantaranya.
Geologi penyusun Pulau Bangka disusun secara dominan dengan batuan
beku sebagai Granit Klabat berupa granit, granodiorit, diorite, dan diorite kuarsa
(Mangga dan Djamal, 1994). Pulau Bangka terdapat beberapa sesar yang
umumnya berarah timurlaut-baratdaya sampai utara-selatan. Sesar utama berarah
N 30⁰ E memotong granit klabat ke selatan sepanjang 3 km. Struktur kekar dan
patahan memiliki banyak orientasi. Arah umum utara-selatan, timurlaut-
baratdaya, dan tenggara-baratlaut. Patahan dan kekar tersebut berkaitan erat
8
terhadap perlipatan (Katili, 1967). Patahannya berupa patahan naik, geser dan
patahan normal. Pola patahan berarah utara-selatan merupakan fase patahan
paling muda (Mangga dan Djamal, 1994). Patahan naik dan normal mempunyai
arah relatif baratlaut-tenggara, serta patahan mendatar dengan arah relatif utara-
selatan memotong patahan lebih tua (Crow, 2005).
2.2.2 Stratigrafi Bangka
Menurut Mangga dan Djamal (1994), Secara stratigrafi Pulau Bangka
disusun oleh urutan satuan batuan Kompleks Malihan Pemali, Diabas
Penyambung, Formasi Tanjung Genting, Formasi Granit Klabat, dan Endapan
Aluvium.
1. Kompleks Malihan Pemali (CPp)
Formasi Kompleks Pemali ini sebagian besar tersebar secara terpisah di
bagian utara Pulau Bangka, dan sedikit tersebar diselatan Pulau Bangka. Formasi
batuan di bagian utara terdiri dari filit dan sekis dengan sisipan kuarsa dan lensa
batugamping, terkekarkan, terlipatkan, tersesarkan dan diterobos oleh Granit
Klabat (TrJkg), dijumpai fosil berumur Perm pada batu gamping. Ditemukan di
dekat Air Duren sebelah selatan hingga ternggara Pemali. Umur satuan ini
diduga Perm dengan lokasi tipe di daerah Pemali. Formasi batuan dibagian
selatan terdiri dari filit, sekis dan kuarsit. Filit berwarna kelabu kecoklatan,
struktur mendaun dan berurat kuarsa. Sekis, kelabu kehijuan, struktur mendaun,
terkekarkan, setempat rekahannya terisi kuarsa atau oksida besi, berselingan
dengan kuarsit. Kuarsit berwarna putih kotor, kecoklatan, keras tersusun oleh
kuarsa dan felspar, halus sedang, perlapisannya mencapai tebal 1 cm. Umur
satuan ini tidak diketahui dengan pasti tetapi diduga Perm atau Karbon.
2. Diabas Penyambung (PTrd)
Formasi batuan terkecil di Pulau Bangka ini hanya terdapat di sebelah timur
Gunung Penyabung, pantai barat laut Pulau Bangka, Formasi ini terdiri dari
diabas yang terkekarkan dan tersesarkan, diterobos oleh Granit Klabat (TrJkg)
dan menerobos Kompleks Malihan Pemali (CPp). Umur diperkirakan Perm. Jadi,
stratigrafi regional Pulau Bangka dibagi enam formasi, berurutan dari berumur
paling maling tua sampai berumur muda yaitu : Formasi Komples Pemali,
9
silang siur, tebal 150 m. Fosil yang dijumpai antara lain moluska, Amonia sp.,
Quinqueloculina sp., dan Trilocullina sp., dan menunjukan umur relatif tidak tua
dari Miosen Akhir. Sementara itu, di bagian selatan Pulau Bangka, formasi ini
terdiri dari perselingan batu pasir, batu lempung dan konglomerat. Batu pasir
berwarna putih kotor, berbutir halus kasar, menyudut-membundar tanggung,
mudah diremas, berlapis baik, struktur sedimen pada batu pasir silang-siur,
perairan sejajar dan perlapisan bersusun, ditemukan lensa-lensa batubara dengan
tebal 0,5 m dan mengandung sisa-sisa tumbuhan dan gambut, Di Desa Nibung
ditemukan fosil vertebrata (Stegodon) terdapat dalam konglomerat.
Dalam batu pasir, ditemukan fosil moluska terdiri dari Tuaritella terebra
(Limonaceous), Olivia tricineta Mart, Cypraeasonderava Mart, Arca cornea
Reeva, tapes minosa Phil, dan Venus squamosa Lam, sedangkan fosil
foraminifera bentos antara lain Celanthus craticulatus, Amoniasp., Brizalinasp.,
Quinqueloculina sp., dan Triloculinasp. Berdasarkan fosil-fosil tersebut Formasi
Ranggam diduga berumur Miosen Akhir-Plistosen Awal dan terendapkan di
lingkungan fluvial.
6. Endapan Aluvium (Qa)
Formasi ini terdiri dari bongkah, kerakal, kerikil, pasir, lempung, lumpur
dan gambut, Pada bagian selatan Pulau Bangka, formasi ini terdapat sebagai
endapan sungai, rawa dan pantai. Formasi Alluvium ini adalah gravel yang kaya
akan timah dengan ketebalan mencapai 2 meter, bentuk butir menyudut tanggung
mengandung fosil kayu, fosil buah-buahan dan fosil cangkang. Formasi ini
diperkirakan berumur Tersier Atas sampai Quarter.
11
Qa Holosen
Kuarter
Plistosen
TQr
Kenozoikum
Pliosen
Miosen
Tersie
Oligosen
r
Eosen
Paleosen
Kapur
Mesozoikum
Jura
TrJkg
Trt
Trias
PTrd
Karbon
menjadi dua yaitu konkordan dan diskordan. Konkordan yaitu tubuh batuan beku
intrusif yang sejajar dengan perlapisan disekitarnya. Sedangkan diskordan adalah
tubuh batuan beku intrusif yang memotong perlapisan batuan disekitarnya.
Magma merupakan larutan yang kompleks karena terbentuk akibat penurunan
temperatur atau perubahan tekanan. Adanya perubahan komposisi pada saat
pembekuan magma mengakibatkan terbentuknya batuan yang memiliki tekstur
yang berbeda. Berikut ini adalah tekstur yang terdapat pada batuan beku :
1. Tingkat Kristalisasi
a. Holokristalin, yaitu batuan beku yang hampir seluruhnya disusun oleh
kristal
b. Hipokristalin, yaitu batuan tersusun dari percampuran kristal dan gelas
c. Holohyalin, yaitu batuan beku yang hampir seluruhnya tersusun oleh gelas
2. Ukuran butir
a. Phanaritic, yaitu batuan beku yang tersusun oleh kristal berukuran besar
b. Aphanitic, yaitu batuan beku yang tersusun oleh mineral berukuran halus
3. Bentuk Kristal
Bentuk mineral yang terlihat melalui pengamatan mikroskop, yaitu :
a. Euhedral, yaitu bentuk kristal yang sempurna
b. Subhedral, yaitu bentuk kristal yang kurang sempurna
c. Anhedral, yaitu bentuk kristal yang tidak sempurna
4. Berdasarkan keseragaman antar butirnya
a. Equigranular, yaitu ukuran butir penyusun batuannya hampir sama
b. Inequigranular, yaitu ukuran butir penyusun batuannya tidak sama
2.2.3.2 Batuan Sedimen
Batuan sedimen adalah batuan yang terbentuk karena pengendapan sedimen
yang berasal dari hancuran batuan yang disebabkan proses pelapukan.
Berdasarkan genetis secara genetik disimpulkan dua golongan batuan sedimen,
yaitu batuan sedimen klastik (berasal dari hancuran batuan lain) dan batuan
sedimen nonklastik (berasal dari proses kimiawi, seperti batu halit yang berasal
dari hasil evaporasi).
2.2.3.3 Batuan Metamorf
14
Batuan metamorf adalah batuan yang berasal dari suatu batuan induk yang
mengalami perubahan tekstur dan komposisi mineral pada fase padat sebagai
akibat perubahan kondisi fisika (tekanan, temperatur atau tekanan dan
temperatur). Berdasarkan tatanan geologinya, metamorfosa dapat dibedakan
menjadi dua macam, yaitu metamorfosa regional (terjadi pada daerah yang sangat
luas) dan Metamorfosa lokal (terjadi pada daerah yang sempit antara beberapa
meter sampai kilometer saja.
2.2.4 Batuan Granit
Tarbuck (2008) menjelaskan granit adalah batuan beku yang paling banyak
dikenal. Hal ini dikarenakan keindahan alaminya saat dipoles, serta
keberadaannya yang melimpah di kerak samudera. Granit adalah batuan beku
intrusif bertekstur panaritik yang terdiri 25 % kuarsa dan sekitar 65 % feldspar
(Gambar 2.2).
diskontinu adalah setiap bidang lemah yang terjadi pada bagian yang memiliki
kuat tarik paling lemah dalam batuan. Wyllie dan Mah (1999) mengatakan bahwa
ada beberapa macam tipe diskontinuitas yang perlu diketahui saat kita melakukan
suatu investigasi (Gambar 2.4). Adanya bidang diskontinu pada batuan akan
mempengaruhi banyak hal yang berhubungan dengan aktivitas penambangan
diantaranya adalah pengaruh terhadap kekuatan dari batuan.
e. Luahan (seepege)
Suatu keadaan struktur yang stabil dalam keadaan kering akan menjadi
tidak stabil bila kandungan airnya meningkat.
f. Jumlah set diskontinuitas
Menggambarkan jumlah set-set membentuk sistem diskontinuitas dan
saling memotong.
g. Bentuk dan Ukuran blok
Massa batuan terkekarkan dapat menjadi sistem blok-blok yang
dipisahkan bidang diskontinuitas sebagai sistem atau diskontinuitas
tunggal.
h. Pelapukan (weathering)
Pelapukan adalah proses yang menyebabkan alterasi batuan,
disebabkan oleh air, karbon dioksida dan oksigen atau proses eksternal.
2.2.6 Klasifikasi Batuan
Klasifikasi massa batuan sangat berguna pada tahap studi kelayakan dan
desain awal suatu proyek tambang, dimana sangat sedikit informasi yang tersedia
tentang massa batuan dan tegangan serta karakteristik hidrogeologi massa batuan
tersebut. Namun klasifikasi massa batuan tidak dimaksudkan dan tidak dapat
menggantikan desain rinci, sebab untuk desain rinci diperlukan informasi
yang lebih lengkap lagi tentang tegangan insitu, sifat massa batuan dan arah
penggalian yang biasanya belum tersedia pada tahap awal proyek (Hoek dkk,
1995).
Penggunakan klasifikasi massa batuan sangat direkomendasikan untuk tidak
hanya menggunakan satu metode klasifikasi saja, tetapi juga menggunakan
metode klasifikasi lainnya yang dapat digunakan sebagai pembanding atas hasil
yang diperoleh dari tiap metode. Pada dasarnya pembuatan klasifikasi massa
batuan bertujuan (Bieniawski, 1989) :
1. Mengidentifikasi parameter-parameter penting yang mempengaruhi
perilaku massa batuan
2. Membagi formasi massa batuan kedalam group yang mempunyai perilaku
sama menjadi kelas massa batuan
18
Pada klasifikasi massa batuan dengan Rock Mass Rating (RMR) sistem, setiap
parameter yang ditinjau mempunyai nilai rating tersendiri. Nilai-nilai dari setiap
parameter tersebut kemudian dijumlahkan untuk memperoleh nilai RMR dan
yang perlu mendapat perhatian pada penggunaan klasifikasi massa batuan dengan
sistem RMR ini adalah pada bagian B yaitu pengaturan nilai untuk orientasi
bidang diskontinu. Pada bagian tersebut penilaian rating dibagi ke dalam 3
bagian, yaitu : untuk terowongan, pondasi, dan lereng. Pada penelitian ini, nilai
rating yang digunakan adalah nilai rating untuk lereng.
Berikut ini adalah penjelasan mengenai kelima parameter yang dipakai
dalam sistem klasifikasi RMR :
1. Uniaxial Compressive Strenght (UCS)
Kuat tekan batuan utuh dapat diperoleh dari Uji Kuat Tekan Uniaksial
(Uniaxial Compressive Strenght, UCS) dan Uji Point Load (Point Load Test,
PLT). UCS menggunakan mesin tekan untuk menekan sampel batuan dari satu
arah (uniaxial).
Cara pendugaan kekuatan kekar dapat dijuga dilakukan dengan
menggunakan alat yang disebut Schimdt Hammer. Alat ini didesain dengan level
impak yang berbeda-beda, tetapi tipe L dan N umumnya digunakan untuk
20
pengujian batuan. Secara umum, Scmidt Hammer tipe N dan tipe L mempunyai
bentuk yang sama. Namun, Scmidt Hammer tipe N memiliki dimensi yang lebih
besar daripada tipe L. Hal ini dikarenakan Scmidt Hammer tipe N mempunyai
energi impak tiga kali lebih besar dari pada tipe L.
Alat ini terdiri dari piston yang dikombinasikan dengan per, dimana piston
ini secara otomatis terlepas dan menumbuk kontak dengan batuan ketika hammer
ditekan ke arah permukaan batuan. Piston tersebut akan segera memantul kembali
ke arah dalam hammer. Jarak pantul piston yang terbaca pada indikator
dinyatakan sebagai nilai pantul Scmidt Hammer. Nilai pantul Schmidth Hammer
adalah rata- rata dari 10 nilai pantulan terbesar untuk setiap pengujian. Nilai hasil
pendugaan Schmidt Hammer dapat dihubungkan dengan pendugaan kekuatan
dengan nilai UCS dan PLI (Tabel 2.2).
Ada begitu banyak persamaan yang dikeluarkan oleh para peneliti untuk
mengkorelasikan antara nilai Scmidt Hammer dengan UCS salah satunya adalah
yang diperkenalkan oleh Kilic & Teymen (2008) dalam Aydin dan Basu (2005).
Persamaan ini dapat digunakan untuk berbagai lithologi batuan dengan
menggunakan Schmidt Hammer tipe N.
UCS (MPa) = 0,0137 N 2,2721 ................................................................................2.1
N= Schmidt Hammer rebound number tipe N
Nilai Scmidth tipe N juga bisa didapatkan dengan mengkonversikannya dari
nilai Scmidth tipe L yang diperkenalkan oleh Aydin dan Basu (2005) :
RN = 0646RL + 6.3673..........................................................................2.2
( r = 0,99 )
Dimana : RN = Nilai kekerasan Rebound tipe ( r = 0,99 )
N RL = Nilai kekerasan Rebound tipe L
Jika Jv lebih kecil dari pada 4.5 maka RQD dianggap 100.
Nilai Jv merupakan total jumlah kekar per meter kubik massa batuan
dimana Si rata-rata spasi set kekar dan j jumlah total set kekar. Tabel 2.3
menunjukkan klasifikasi Jv.
Pembobotan yang diberikan untuk nilai RQD ditampilkan pada tabel 2.4.
Tabel 2.4 Kualitas RQD
Sifat Kualitatif RQD Bobot
Sangat baik 90-100 20
Baik 75-90 17
Sedang 50-75 13
Buruk 25-50 8
Sangat buruk <25 3
(sumber : Deere, 1967)
3. Spasi Bidang Diskontinu (Joint Spacing)
Bieniawski (1989) dan Giani (1992), spasi merupakan jarak antara
diskontinuitas terdekat yang diukur secara tegak lurus. Diskontinuitas memiliki
frekuensi kemunculan yang menunjukkan jumlah jarak setiap unit berbanding
terbalik terhadap spasi. Spasi dipetakan dari permukaan batuan dan core bor, dan
spasi sebenarnya dihitung dari spasi semu untuk diskontinuitas yang miring
terhadap permukaan (Gambar 2.5). Pengukuran spasi set kekar memberikan
ukuran dan bentuk blok.
Gambar 2.4 Hubungan antara spasi semu (S apparent) dan spasi sebenarnya
(S) dalam satu set diskontinuitas (Wyllie & Mah, 1999)
Pada perhitungan nilai RMR, parameter jarak antar kekar (spasi) diberi
bobot berdasarkan nilai spasi kekar-nya seperti tertera pada Table 2.5.
Tabel 2.5 Jarak antar (spasi) kekar
Deskripsi Spasi Kekar (m) Ratin
g
Sangat lebar (very wide) >2 20
Lebar (wide) 0.6 – 2 15
Sedang (moderate) 0.2 – 0.6 10
Rapat (close) 0.006 – 0.2 8
Sangat rapat (very close) < 0.006 5
(sumber : Bieniawski, 1989)
4. Kondisi Kekar (Condition of discontinuities)
23
Ada lima karakteristik kekar yang masuk dalam pengertian kondisi kekar,
meliputi kemenerusan (persistence), jarak antar permukaan kekar atau celah
(separation/aperture), kekasaran kekar (roughness), material pengisi
(infilling/gouge), dan tingkat kelapukan (weathering).
Kemenerusan (persistence/continuity)
Giani (1992), Panjang dari suatu kekar dapat dikuantifikasi secara kasar dengan
mengamati panjang jejak kekar pada suatu bukaan. Pengukuran ini masih sangat
kasar dan belum mencerminkan kondisi kemenerusan kekar sesungguhnya.
Seringkali panjang jejak kekar pada suatu bukaan lebih kecil dari panjang kekar
sesungguhnya, sehingga kemenerusan yang sesungguhnya hanya dapat ditebak.
Jarak antar permukaan kekar atau celah (separation/aperture)
Merupakan jarak tegak lurus antar dinding batuan yang berdekatan pada bidang
diskontinu. Celah tersebut dapat berisi material pengisi (infilling) atau tidak.
ISRM (1981) mendeskripsikan separation (bukaan) dari kekar berdasarkan
ukuran pemisahannya (Tabel 2.6), yaitu :
Tabel 2.6 Pemerian Pemisahan Kekar (aperture)
Jarak Pemisahan Deskripsi Istilah
< 0,1 mm Sangat tertutup
0,1 – 0,25 mm Tertutup Tertutup
0,25 – 0,5 mm Sebagian tertutup
1 – 10 cm Sangat lebar
10 – 100 cm Ekstrim lebar Terbuka
>1m Terbuka
Tabel 2.9 Kelas massa batuan, kohesi dan sudut geser dalam dari nilai RMR
Profil
Massa Deskripsi
Batuan
Rating 100-81 80-61 60-41 40-21 20-0
Kelas Sangat Sangat
massa Baik Baik Sedang Jelek jelek
batuan
Kohesi >400 kPa 300-400 200-300 100-200 <100 kPa
kPa kPa kPa
Sudut
geser > 450 350 – 450 250 - 350 150-250 < 150
dalam
(sumber : Bieniawski, 1989)
2.2.6.3 Slope Mass Rating (SMR)
Deskripsi
Profil Massa
Batuan
No Kelas I II III IV V
Rating 100 - 81 80 - 61 60 - 41 40 - 21 20 - 0
Kelas Massa Sangat Baik Sedang Jelek Sangat
Batuan Baik Jelek
Beberapa Bidang
Longsoran Tidak Beberapa Bidang
Kekar Atau Besar Atau
Ada Blok Atau
Banyak Seperti
Baji
Baji Tanah
Besar
Penyanggaa Tidak Ada Sewaktu- Sistematis Sangat Perlu Reexcavati
n Waktu Perbaikan on
(sumber : Romana, 1985)
Ada beberapa jenis longsoran yang umum dijumpai pada massa batuan di
tambang terbuka, yaitu :
Longsoran Bidang (Plane Failure)
29
terpenuhi :
a. Jurus (strike) bidang luncur mendekati paralel terhadap jurus bidang
permukaan lereng (perbedaan maksimum 200)
b. Kemiringan bidang luncur (ψp) harus lebih kecil daripada
kemiringan bidang permukaan lereng (ψf)
c. Kemiringan bidang luncur (ψp) lebih besar daripada sudut geser dalam
(ϕ)
d. Terdapat bidang bebas yang merupakan batas lateral dari massa batuan
atau tanah yang longsor.
Gambar 2.7 Daylight envelope pada equal net stereonet (Wyllie & Mah, 2004)
2. Analisis Longsoran Baji (Wedge Failure)
Longsoran baji terjadi bila terdapat dua bidang lemah atau lebih
berpotongan sedemikian rupa sehingga membentuk baji terhadap lereng (Gambar
2.9). Longsoran baji ini dapat dibedakan menjadi dua tipe longsoran yaitu
longsoran tunggal (single sliding) dan longsoran ganda (double sliding). Untuk
longsoran tunggal, luncuran terjadi pada salah satu bidang, sedangkan untuk
longsoran ganda luncuran terjadi pada perpotongan kedua bidang.
32
diterapkan dalam daerah yang tersedia melebihi rentang yang diterapkan dari
kondisi geologinya. Tabel 2.13 meringkaskan berbagai macam konsep desain
lereng yang berhubungan dengan tipe lereng dasar, jaraknya yang dapat
diterapkan, dan jenis keruntuhan yang mengendalikan desain lereng dan uraian
yang berkaitan.
Pada pengembangan konsep desain lereng, ada beberapa parameter lereng
dasar pertama harus di tetapkan perundingan dengan perencana tambang. Hal ini
menyangkut kriteria yang tepat, seperti penambahan ketinggian jenjang dan lebar
tanggul minimum yang didasarkan pada ukuran peralatan penambangan dan
persyaratan yang wajib seperti safety factor desain secara keseluruhan dan
tingkatan resiko yang masih bisa diterima. Sejumlah metode yang diadopsi untuk
menstabilkan lereng, setiap metode tersebut harus sesuai dengan kondisi tertentu,
seperti penggunaan lereng, tujuan kestabilan, waktu yang tersedia, tipe peralatan
kontruksi dan biaya perbaikan.
Tindakan penguatan pada lereng harus memperhatikan jenis longsoran yang
akan terjadi. Salah satu dasar yang menjadi acuan dalam penguatan lereng
tersebut adalah dengan cara memperhatikan nilai SMR seperti yang diperkenalkan
oleh Romana (1985) seperti Tabel 2.13.
Tabel 2.13 Pendukung Yang Direkomendasikan Untuk Setiap Kelas
No Kelas V IV III II I
SMR 0-20 21-40 41-60 61-80 81-100
Deskripsi Sangat Buruk Buruk Normal Baik Sangat Baik
Sangat Stabil
Stabilitas Tidak Stabil Stabil Sangat Stabil
Tidak Stabil Sebagian
Planar Beberapa
Planar/Baji Beberapa
Runtuhan besar/seperti kekar / Banyak Tidak ada
Besar Blok
tanah Baji
Penggalian Kadang-
Penyangga Penting Sistematis Tidak ada
Ulang kadang
(sumber : Romana, 1989)
Ada begitu banyak tindakan perbaikan yang dapat dilakukan untuk
penguatan lereng. Baik itu penelitian detail dan insting keteknikan yang baik
sangatlah perlu dalam menstabilkan lereng. Sistem klasifikasi hanya bisa
mencoba menunjuk teknik normal untuk setiap kelas pendukung yang berbeda.
35
Pada pengembangan yang lebih luas, rentang nilai SMR untuk setiap
kelompok ukuran pendukung adalah sebagai berikut :
Tabel 2.14 Rentang nilai SMR
SMR 65 – 100 None, scaling
SMR 30 – 75 Bolting, anchoring
SMR 20 – 60 Shortcrete, concrete
SMR 10 – 30 Wall erection, re-excavation
(sumber : Romana, 1989)
2.2.8 Metode Scanline
Metode Scanline adalah suatu metode penentuan kondisi diskontinuitas
dengan menggunakan tali atau pita ukur yang dibentangkan pada suatu permukaan
lereng yang hampir memiliki arah muka lereng yang sama. Metode ini dapat
digunakan untuk mengetahui orientasi bidang diskontinuitas pada permukaan
lereng yang dianggap mewakili orientasi bidang diskontinuitas batuan secara
keseluruhan. Peralatan yang dipakai berupa pita ukur, kompas geologi, clip board,
penggaris dan comparator. Pengukuran yang dilakukan adalah diskontinuitas
yang melalui atau memotong tali bentangan.
yang berbeda untuk analisis proyeksi stereografi data geologi (Anonim, 2002).
Dips memungkinkan pemakai untuk meneliti dan memvisualisasikan data
struktural geologi baik kekar, sesar serta struktur-struktur lainnya. Program ini
dirancang untuk analisis data yang berhubungan dengan analisa rancangan
struktur batuan, sehingga format yang dipakai Dips data file memungkinkan
menganalisa segala bentuk orientasi basis data. Penggunaan aplikasi Dips antara
lain untuk geologi, tambang dan teknik sipil. Pengenalan aplikasi Dips disini
terbatas pada penggunaan Dips untuk penentuan arah umum diskontinuitas pada
struktur-struktur geologi, dan penentuan jenis longsoran yang terbentuk dengan
data sudut geser dalamnya. Data – data yang digunakan dalam program ini adalah
nilai Dip, Apparant dip, Strike dan Dip direction.