Anda di halaman 1dari 32

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

2.1 Studi Terdahulu


Studi terdahulu yang berkaitan dengan analisis kestabilan lereng
menggunakan metode Slope Mass Rating (SMR) dan Analisi Kinematika di PT
Tanjung Bukit Nunggal Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung adalah sebagai berikut:
1. Swana (2012), dalam Buletin Sumber Daya Geologi Volume 7 Nomor 7 –
12 Teknik Geologi Universitas Padjajaran yang berjudul Desain Lereng
Final Dengan Metode RMR, SMR dan Analisis Kestabilan Lereng Pada
Tambang Batubara Terbuka, di Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan
Selatan. Penelitian ini dilakukan karena dari nilai SMR tidak diketahui
faktor keamanan dari lereng dan metoda penelitian dilakukan dengan
metode geomekanik melalui penentuan nilai RMR. Dari hasil analisis
kestabilan lereng, pada umumnya nilai kemiringan lereng hasil dari nilai
SMR berada pada kondisi tidak stabil sampai stabil sehingga perlu
dilakukan penurunan muka air tanah pada beberapa bagian agar dihasilkan
desain final lereng yang stabil.
2. Tommy (2015), dalam Workshop dan Seminar Nasional Geomekanika III
Teknik Pertambangan Universitas Mulawarman yang berjudul Kajian
Kestabilan Lereng Berdasarkan Slope Mass Rating pada Tambang
Batupasir, Kelurahan Tani Aman, Kecamatan Loa Janan, Samarinda,
Kalimantan Timur. Penelitian ini dilakukan karena tidak adanya informasi
mengenai stabilitas lereng yang menimbulkan kondisi ketidakpastian selama
aktifitas penambangan berlangsung. Penelitian diawali dengan melakukan
klasifikasi massa batuan dengan Metode RMR, dan dikoreksi berdasarkan
pembobotan orientasi kekar dan jenis penggalian dengan Metode SMR. Dari
hasil pengukuran, dinding barat nilai RMR 74 (baik), diding utara nilai
RMR 81 (sangat baik) dan dinding timur nilai RMR 71 (baik). Sedangkan
niali SMR dinding barat 47-85,4 (setengah stabil), dinding utara 90- 94,65

5
6

(sangat stabil) dan dinding timur 36-62 (tidak stabil – stabil).


3. Menurut Endartyanto (2007), hasil analisis kinematika menunjukkan bahwa
pada delapan segmen ditemukan tipe keruntuhan planar hanya pada segmen
1, tipe keruntuhan baji pada segmen 6 dan 8, sedangkan tipe kruntuhan
jungkiran pada segmen 2,3,4,5 dan 7. Nilai RMR pada kesleuruhan lereng
berkisar adalah 66 – 78. Dari nilai tersebut, dapat disimpulkan bahwa
keseluruhan massa batuan penyusun lereng masuk dalam kelas II (good
rock), memiliki kohesi massa batuan sebesar 300 – 400 kPa dan sudut geser
massa batuan 350 – 450. Berdasarkan nilai SMR yang didapatkan, lereng
segmen 1 dengan nilai SMR 38 diklasifikasikan dalam kelas IV (bad)
dengan kondisi lereng tidak stabil. Kemudian lereng segmen 2, 5, 6 dan 7
memiliki kisaran nilai SMR 58 sampai 59,25, merupakan lereng kelas III
(normal), dengan kondisi lereng stabil sebagian (partially stable).
Sedangkan lereng segmen 3, 4 dan 8 memiliki kisaran nilai SMR 61,25
sampai 62,50 dapat dikategorikan sebagai lereng kelas II (good), dengan
kondisi lereng stabil.
4. Hariyadi dan Wahyudhi (2016) dalam jurnal geologi pertambangan
Universitas Kutai Kartanegara vol. 1 No. 19 berjudul “Kajian Stabilitas
Lereng Timbunan Pada PT Kayan Kaltara Coal Job Site PT Nata Energi
Resourses Kabupaten Bulungan Propinsi Kalimantan Utara”. Penelitian
yang dilakukan dengan pengamatan dan pengukuran langsung serta uji
laboratorium yaitu Uji Kuat Tekan Unaksial (UCS), kuat geser (direct
shear), dan Index Propertis Lengkap. Kemudian dilakukan analisis
menggunakan Slide 6.0 dan Phase2. Berdasarkan analisis menggunakan
Slide dan Phase 2 dengan geometri lerengnya sudut 45°, berm 8, tinggi 10.
Diperoleh nilai faktor keamanan yang masing-masing FK = 1,469 untuk
material pasir, FK = 2,449 untuk material lempung, dan FK = 1,492 untuk
material composite. Dari setiap lereng dengan nilai FK rata-rata di atas dari
1.4 maka dapat disimpulkan bahwa kestabilan lereng di katakan dalam
kondisi aman atau stabil. Jarak muka air tanah terhadap bidang dasar
kelongsoran juga dapat mempengaruhi kestabilan suatu lereng, semakin
7

jauh jarak muka air tanah terhadap bidang dasar kelongsoran maka semakin
kecil nilai faktor keamanannya dan begitu sebaliknya.
2.2 Geologi dan Stratigrafi Bangka
2.2.1 Geologi Bangka
Struktur geologi di Pulau Bangka meliputi kelurusan, kekar, lipatan dan
patahan. Lipatan terjadi pada batuan berumur Perm dan Trias (Mangga dan
Djamal, 1994). Lipatan batuan meliputi Formasi Tanjung Genting dan Formasi
Ranggam, mempunyai arah sumbu timurlaut-baratdaya dan kemiringan besar
antara 18o-75o, yang menunjukkan intensitas tektonik besar (Margono dkk, 1995).
Berdasarkan Katili (1967) arah struktur Kepulauan Busur Mesozoikum
memiliki pola bentuk S, dimana perlipatan berhubungan dengan pola struktur S
waktu Jura Akhir. Sebaran batuan plutonik mengikuti arah lipatan dan terletak
pada inti antiklin, Demikian juga bentuk lintasan garis pantai Pulau Bangka
mengikuti arah struktur geologi, khususnya sumbu lipatan. Adapun kehadiran
arah sumbu lipatan acak dimungkinkan hasil deformasi batuan yang lebih tua dari
Masa Mesozoikum.. Struktur lipatan berarah timur laut-barat daya (Orogenesa II)
disebabkan oleh deformasi pada Yura Atas (Katili, 1967). Beberapa jenis granit
Pulau Bangka adalah sebagai berikut :
1. Bagian utara : Granit Klabat, yang berorientasi barat-timur melewati Teluk
Klabat, granit yang ada disekitarnya terdiri atas Granit Pelangas, Granit
Menumbing, Granit Mangkol.
2. Bagian selatan : Tersusun atas pluton yang lebih kecil yaitu, Pluton Koba,
Pluton Bebuluh, Pluton Permis, dan Granit Toboali, serta pluton yang lain
yang berada terletak diantaranya.
Geologi penyusun Pulau Bangka disusun secara dominan dengan batuan
beku sebagai Granit Klabat berupa granit, granodiorit, diorite, dan diorite kuarsa
(Mangga dan Djamal, 1994). Pulau Bangka terdapat beberapa sesar yang
umumnya berarah timurlaut-baratdaya sampai utara-selatan. Sesar utama berarah
N 30⁰ E memotong granit klabat ke selatan sepanjang 3 km. Struktur kekar dan
patahan memiliki banyak orientasi. Arah umum utara-selatan, timurlaut-
baratdaya, dan tenggara-baratlaut. Patahan dan kekar tersebut berkaitan erat
8

terhadap perlipatan (Katili, 1967). Patahannya berupa patahan naik, geser dan
patahan normal. Pola patahan berarah utara-selatan merupakan fase patahan
paling muda (Mangga dan Djamal, 1994). Patahan naik dan normal mempunyai
arah relatif baratlaut-tenggara, serta patahan mendatar dengan arah relatif utara-
selatan memotong patahan lebih tua (Crow, 2005).
2.2.2 Stratigrafi Bangka
Menurut Mangga dan Djamal (1994), Secara stratigrafi Pulau Bangka
disusun oleh urutan satuan batuan Kompleks Malihan Pemali, Diabas
Penyambung, Formasi Tanjung Genting, Formasi Granit Klabat, dan Endapan
Aluvium.
1. Kompleks Malihan Pemali (CPp)
Formasi Kompleks Pemali ini sebagian besar tersebar secara terpisah di
bagian utara Pulau Bangka, dan sedikit tersebar diselatan Pulau Bangka. Formasi
batuan di bagian utara terdiri dari filit dan sekis dengan sisipan kuarsa dan lensa
batugamping, terkekarkan, terlipatkan, tersesarkan dan diterobos oleh Granit
Klabat (TrJkg), dijumpai fosil berumur Perm pada batu gamping. Ditemukan di
dekat Air Duren sebelah selatan hingga ternggara Pemali. Umur satuan ini
diduga Perm dengan lokasi tipe di daerah Pemali. Formasi batuan dibagian
selatan terdiri dari filit, sekis dan kuarsit. Filit berwarna kelabu kecoklatan,
struktur mendaun dan berurat kuarsa. Sekis, kelabu kehijuan, struktur mendaun,
terkekarkan, setempat rekahannya terisi kuarsa atau oksida besi, berselingan
dengan kuarsit. Kuarsit berwarna putih kotor, kecoklatan, keras tersusun oleh
kuarsa dan felspar, halus sedang, perlapisannya mencapai tebal 1 cm. Umur
satuan ini tidak diketahui dengan pasti tetapi diduga Perm atau Karbon.
2. Diabas Penyambung (PTrd)
Formasi batuan terkecil di Pulau Bangka ini hanya terdapat di sebelah timur
Gunung Penyabung, pantai barat laut Pulau Bangka, Formasi ini terdiri dari
diabas yang terkekarkan dan tersesarkan, diterobos oleh Granit Klabat (TrJkg)
dan menerobos Kompleks Malihan Pemali (CPp). Umur diperkirakan Perm. Jadi,
stratigrafi regional Pulau Bangka dibagi enam formasi, berurutan dari berumur
paling maling tua sampai berumur muda yaitu : Formasi Komples Pemali,
9

Formasi Diabas Penyambung, Formasi Tanjung Genting, Formasi Granit Klabat,


Formasi Ranggam dan Endapan Aluvium.
3. Formasi Tanjung Genting (Trt)
Formasi batuan yang terluas ini memanjang dari barat laut hingga tenggara
Pulau Bangka. Pada bagian barat laut atau Peta Geologi Lembar Bangka Utara,
formasi ini terdiri dari perselingan batupasir malihan, batupasir, batupasir
lempungan dan batulempung dengan lensa batugampung, setempat dijumpai
oksida besi. Berlapis baik, terlipat kuat, terkekarkan dan tersesarkan, tebalnya
antara 250 – 1.250 m. Lokasi tipe terdapat di Tanjung Gemping dan dapat
dikorelasikan dengan Formasi Bintan. Dalam lensa batugamping, ditemukan fosil
Montlivaultia molukkana J. Wanner, Peronidella G. Willkens, Entrochus sp., dan
Encrinus sp., yang menunjukan umur Trias. Berdasarkan fosil-fosil tersebut
Formasi Tanjung Genting diduga berumur Trias Awal dan terendapkan di
lingkungan laut dangkal.
4. Formasi Granit Klabat (TrJkg)
Sama seperti Formasi Ranggam, formasi ini terbesar secara terpisah di utara
hingga selatan Pulau Bangka. Pada penyebaran dibagian utara, formasi ini terdiri
dari granit, granodiorit, diorit kuarsa. Pada penyebaran di bagian selatan Pulau
Bangka, formasi ini terdiri dari Granit biotit, Granodiorit dan Granit genesan.
Granit biotit berwarna kelabu, tekstur porfiritik, dengan butiran kristal-kristal
berukuran sedang-kasar, fenokris felspar panjangnya mencapai 4 cm dan
memperlihatkan struktur foliasi. Granodiorit berwarna putih kotor, berbintik
hitam. Granit genesan berwarna kelabu dan berstruktur perdaunan. Nama satuan
ini berasal dari lokasi tipenya di Teluk Klabat, Bangka Utara. Umur satuan Granit
ini adalah Trias Akhir-Yura Awal dan menerobos Formasi Tanjung Genting dan
Kompleks Malihan Pemali.
5. Formasi Ranggam (TQr)
Formasi ini terdapat secara terpisah pada bagian utara dan selatan Pulau
Bangka. Pada bagian utara, Formasi Ranggam merupakan perselingan batu pasir,
batu lempung dan batu lempung tufaan dengan sisipan tipis batu lanau dan bahan
organik; berlapis baik, struktur sedimen berupa perairan sejajar dan perlapisan
10

silang siur, tebal 150 m. Fosil yang dijumpai antara lain moluska, Amonia sp.,
Quinqueloculina sp., dan Trilocullina sp., dan menunjukan umur relatif tidak tua
dari Miosen Akhir. Sementara itu, di bagian selatan Pulau Bangka, formasi ini
terdiri dari perselingan batu pasir, batu lempung dan konglomerat. Batu pasir
berwarna putih kotor, berbutir halus kasar, menyudut-membundar tanggung,
mudah diremas, berlapis baik, struktur sedimen pada batu pasir silang-siur,
perairan sejajar dan perlapisan bersusun, ditemukan lensa-lensa batubara dengan
tebal 0,5 m dan mengandung sisa-sisa tumbuhan dan gambut, Di Desa Nibung
ditemukan fosil vertebrata (Stegodon) terdapat dalam konglomerat.
Dalam batu pasir, ditemukan fosil moluska terdiri dari Tuaritella terebra
(Limonaceous), Olivia tricineta Mart, Cypraeasonderava Mart, Arca cornea
Reeva, tapes minosa Phil, dan Venus squamosa Lam, sedangkan fosil
foraminifera bentos antara lain Celanthus craticulatus, Amoniasp., Brizalinasp.,
Quinqueloculina sp., dan Triloculinasp. Berdasarkan fosil-fosil tersebut Formasi
Ranggam diduga berumur Miosen Akhir-Plistosen Awal dan terendapkan di
lingkungan fluvial.
6. Endapan Aluvium (Qa)
Formasi ini terdiri dari bongkah, kerakal, kerikil, pasir, lempung, lumpur
dan gambut, Pada bagian selatan Pulau Bangka, formasi ini terdapat sebagai
endapan sungai, rawa dan pantai. Formasi Alluvium ini adalah gravel yang kaya
akan timah dengan ketebalan mencapai 2 meter, bentuk butir menyudut tanggung
mengandung fosil kayu, fosil buah-buahan dan fosil cangkang. Formasi ini
diperkirakan berumur Tersier Atas sampai Quarter.
11

Tabel 2.1 Statigrafi Pulau Bangka


Endapan Batuan Batuan Batuan Kala
Zaman Masa
Permukaan Sedimen Malihan Beku Epoch

Qa Holosen

Kuarter
Plistosen
TQr

Kenozoikum
Pliosen
Miosen

Tersie
Oligosen

r
Eosen
Paleosen

Kapur

Mesozoikum
Jura
TrJkg
Trt
Trias
PTrd

CPp Perm Paleozoikum

Karbon

(Sumber : Mangga dan Djamal, 1994)


2.2.3 Tipe Batuan

Menurut Wilson (2010), Batuan adalah bagian terpadat pembentuk bumi


yang tersusun dari mineral. Sedangkan mineral adalah zat padat anorganik yang
terbentuk secara alami yang memiliki komposisi kimia khusus dan struktur kristal
khas. Ada 3 tipe utama jenis batuan, setiap jenis batuan terbentuk dengan cara
yang berbeda. Tipe dari batuan tersebut yaitu Batuan Beku, Batuan Metamorf dan
Batuan Sedimen. Pengelompokan batuan ini didasarkan atas kesamaan bentuk,
komposisi dan proses pembentukan yang sama (Price, 2005).
12

2.2.3.1 Batuan Beku


Menurut Tarbuck (2008) bahwa batuan beku atau igneous rocks (ignis =
fire) adalah batuan yang terbentuk dari magma cair yang membeku dan mengeras.
Batuan beku dapat dikelompokkan berdasarkan tekstur, kandungan mineral dan
sumbernya. Jika magma membeku dibawah permukaan bumi akan membentuk
batuan intrusif sedangkan magma yang mencapai permukaan bumi membenttuk
batuan ekstrusif.
Berdasarkan tempat pembentukannya batuan beku dibedakan menjadi
batuan beku ektrusif dan intrusif. Hal ini pada nantinya akan menyebabkan
perbedaan pada tekstur masing-masing batuan tersebut. Kenampakan dari batuan
beku yang tersingkap merupakan hal pertama yang harus kita perhatikan,
kenampakan inilah yang disebut sebagai struktur batuan beku (Herbert, 1962).
Struktur pada batuan beku dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu :
1. Struktur batuan beku ekstrusif
Batuan beku ektrusif adalah batuan beku yang proses pembekuannya
berlangsung dipermukaan bumi. Struktur ini diantaranya :
a. Massive, yaitu struktur yang memperlihatkan suatu massa batuan
yang terlihat seragam
b. Sheeting joint, yaitu struktur batuan beku yang terlihat sebagai lapisan
c. Columnar joint, yaitu struktur yang memperlihatkan batuan terpisah
poligonal seperti batang pensil
d. Pillow lava, yaitu struktur yang menyerupai bantal yang bergumpal-
gumpal. Hal ini disebabkan oleh proses pembekuan terjadi di lingkungan
air
e. Vesikular, yaitu struktur yang memperlihatkan lubang-lubang pada batuan
f. Amigdaloidal, yaitu struktur vesikular yang kemudian terisi oleh mineral
lain
2. Struktur batuan beku intrusif
Batuan beku intrusif adalah batuan beku yang proses pembekuannya
berlangsung dibawah permukaan bumi. Berdasarkan kedudukannya terhadap
perlapisan batuan yang diterobosnya struktur tubuh batuan beku intrusif terbagi
13

menjadi dua yaitu konkordan dan diskordan. Konkordan yaitu tubuh batuan beku
intrusif yang sejajar dengan perlapisan disekitarnya. Sedangkan diskordan adalah
tubuh batuan beku intrusif yang memotong perlapisan batuan disekitarnya.
Magma merupakan larutan yang kompleks karena terbentuk akibat penurunan
temperatur atau perubahan tekanan. Adanya perubahan komposisi pada saat
pembekuan magma mengakibatkan terbentuknya batuan yang memiliki tekstur
yang berbeda. Berikut ini adalah tekstur yang terdapat pada batuan beku :
1. Tingkat Kristalisasi
a. Holokristalin, yaitu batuan beku yang hampir seluruhnya disusun oleh
kristal
b. Hipokristalin, yaitu batuan tersusun dari percampuran kristal dan gelas
c. Holohyalin, yaitu batuan beku yang hampir seluruhnya tersusun oleh gelas
2. Ukuran butir
a. Phanaritic, yaitu batuan beku yang tersusun oleh kristal berukuran besar
b. Aphanitic, yaitu batuan beku yang tersusun oleh mineral berukuran halus
3. Bentuk Kristal
Bentuk mineral yang terlihat melalui pengamatan mikroskop, yaitu :
a. Euhedral, yaitu bentuk kristal yang sempurna
b. Subhedral, yaitu bentuk kristal yang kurang sempurna
c. Anhedral, yaitu bentuk kristal yang tidak sempurna
4. Berdasarkan keseragaman antar butirnya
a. Equigranular, yaitu ukuran butir penyusun batuannya hampir sama
b. Inequigranular, yaitu ukuran butir penyusun batuannya tidak sama
2.2.3.2 Batuan Sedimen
Batuan sedimen adalah batuan yang terbentuk karena pengendapan sedimen
yang berasal dari hancuran batuan yang disebabkan proses pelapukan.
Berdasarkan genetis secara genetik disimpulkan dua golongan batuan sedimen,
yaitu batuan sedimen klastik (berasal dari hancuran batuan lain) dan batuan
sedimen nonklastik (berasal dari proses kimiawi, seperti batu halit yang berasal
dari hasil evaporasi).
2.2.3.3 Batuan Metamorf
14

Batuan metamorf adalah batuan yang berasal dari suatu batuan induk yang
mengalami perubahan tekstur dan komposisi mineral pada fase padat sebagai
akibat perubahan kondisi fisika (tekanan, temperatur atau tekanan dan
temperatur). Berdasarkan tatanan geologinya, metamorfosa dapat dibedakan
menjadi dua macam, yaitu metamorfosa regional (terjadi pada daerah yang sangat
luas) dan Metamorfosa lokal (terjadi pada daerah yang sempit antara beberapa
meter sampai kilometer saja.
2.2.4 Batuan Granit
Tarbuck (2008) menjelaskan granit adalah batuan beku yang paling banyak
dikenal. Hal ini dikarenakan keindahan alaminya saat dipoles, serta
keberadaannya yang melimpah di kerak samudera. Granit adalah batuan beku
intrusif bertekstur panaritik yang terdiri 25 % kuarsa dan sekitar 65 % feldspar
(Gambar 2.2).

Gambar 2.1 Batu granit (Tarbuck, 2008)


Berikut ini adalah sifat dari batuan granit :
Warna : Merah jambu – abu-abu (felsik/batuan beku asam)
Tekstur :
 Keseragaman bentuk kristal : Equigranular
 Derajat Kristalisasi : Holokristalin
 Ukuran butir : Porfiritik
 Kesempurnaan bentuk kristal : Subhedral
Struktur : Masif (Batuan beku intrusif)
2.2.5 Massa Batuan, Struktur Batuan dan Bidang Diskontinu
15

2.2.5.1 Massa Batuan


Palmstorm (2001) menjelaskan konsep massa batuan yang idealnya
merupakan susunan dari sistem blok - blok dan fragmen - fragmen batuan yang
dipisahkan oleh bidang-bidang diskontinu (Gambar 2.3). Adanya bidang
diskontinu ini membedakan kekuatan massa batuan dengan kekuatan batuan utuh
atau intact rock. Kurang tersedianya data geologi untuk pengkarakterisasian dari
suatu lokasi batuan akan memberikan halangan utama terhadap proses desain,
kontruksi dan operasi penggalian batuan. Pengembangan dari metode dan teknik
pengkarakterisasian suatu lokasi batuan, serta interpretasi data adalah penelitian
utama yang dibutuhkan.

Gambar 2.2 Skematik penyusun massa batuan terdiri dari material


batuan beserta diskontinuitas di dalamnya (Palmstrom, 2001)

2.2.5.2 Struktur Batuan


Struktur batuan adalah gambaran tentang kenampakan atau keadaan batuan,
termasuk di dalamnya bentuk kedudukannya. Berdasarkan keterjadiannya,
struktur batuan dapat dikelompokkan menjadi :
1. Struktur primer, yaitu struktur yang terjadi pada saat proses pembentukan
batuan. Misalnya : bidang perlapisan silang (cross bedding) pada batuan
sedimen atau kekar akibat pendinginan (cooling koint) pada batuan beku.
2. Struktur sekunder, yaitu struktur yang terjadi kemudian setelah batuan
terbentuk akibat adanya proses deformasi atau tektonik. Misalnya : lipatan
(fold), patahan (fault) dan kekar (joint).
2.2.5.3 Bidang Diskontinu
Secara umum bidang diskontinu merupakan bidang yang membagi-bagi
massa batuan menjadi bagian-bagian yang terpisah. Menurut Priest (1993), bidang
16

diskontinu adalah setiap bidang lemah yang terjadi pada bagian yang memiliki
kuat tarik paling lemah dalam batuan. Wyllie dan Mah (1999) mengatakan bahwa
ada beberapa macam tipe diskontinuitas yang perlu diketahui saat kita melakukan
suatu investigasi (Gambar 2.4). Adanya bidang diskontinu pada batuan akan
mempengaruhi banyak hal yang berhubungan dengan aktivitas penambangan
diantaranya adalah pengaruh terhadap kekuatan dari batuan.

Gambar 2.3 Karakteristik diskontinuitas massa batuan (Wyllie &


Mah, 1999)
Berikut ini adalah penjelasan singkat dari parameter-parameter tersebut :
a. Spasi bidang diskontinuitas
Spasi bidang diskontinuitas/kekar adalah jarak tegak lurus antar kekar.
b. Kekasaran kekar (roughness)
Kekasaran kekar adalah tingkat kekasaran dipermukaan bidang kekar
yang berfungsi sebagai pengunci antar blok atau mencegah pergeseran
c. Pemisahan (aperture)
Pemisahan didefinisikan sebagai lebar celah pada permukaan ketidak
menerusan.
d. Pengisi (infilling)
Material pengisi didefinisikan sebagai isian celah antar permukaan
bidang kekar.
17

e. Luahan (seepege)
Suatu keadaan struktur yang stabil dalam keadaan kering akan menjadi
tidak stabil bila kandungan airnya meningkat.
f. Jumlah set diskontinuitas
Menggambarkan jumlah set-set membentuk sistem diskontinuitas dan
saling memotong.
g. Bentuk dan Ukuran blok
Massa batuan terkekarkan dapat menjadi sistem blok-blok yang
dipisahkan bidang diskontinuitas sebagai sistem atau diskontinuitas
tunggal.
h. Pelapukan (weathering)
Pelapukan adalah proses yang menyebabkan alterasi batuan,
disebabkan oleh air, karbon dioksida dan oksigen atau proses eksternal.
2.2.6 Klasifikasi Batuan

Klasifikasi massa batuan sangat berguna pada tahap studi kelayakan dan
desain awal suatu proyek tambang, dimana sangat sedikit informasi yang tersedia
tentang massa batuan dan tegangan serta karakteristik hidrogeologi massa batuan
tersebut. Namun klasifikasi massa batuan tidak dimaksudkan dan tidak dapat
menggantikan desain rinci, sebab untuk desain rinci diperlukan informasi
yang lebih lengkap lagi tentang tegangan insitu, sifat massa batuan dan arah
penggalian yang biasanya belum tersedia pada tahap awal proyek (Hoek dkk,
1995).
Penggunakan klasifikasi massa batuan sangat direkomendasikan untuk tidak
hanya menggunakan satu metode klasifikasi saja, tetapi juga menggunakan
metode klasifikasi lainnya yang dapat digunakan sebagai pembanding atas hasil
yang diperoleh dari tiap metode. Pada dasarnya pembuatan klasifikasi massa
batuan bertujuan (Bieniawski, 1989) :
1. Mengidentifikasi parameter-parameter penting yang mempengaruhi
perilaku massa batuan
2. Membagi formasi massa batuan kedalam group yang mempunyai perilaku
sama menjadi kelas massa batuan
18

3. Memberikan dasar-dasar untuk pengertian karakteristik dari setiap kelas


massa batuan
4. Menghubungkan pengalaman dari kondisi massa batuan di satu lokasi
dengan lokasi lainnya.
5. Mengambil data kuantitatif dan pedoman untuk rancangan rekayasa
(engineering) serta dasar umum komunikasi antara insinyur dan
geologiawan
Agar dapat digunakan dengan baik dan cepat maka klasifikasi massa
batuan harus mempunyai beberapa sifat seperti berikut (Bieniawski, 1989) :
1. Sederhana, mudah diingat dan dimengerti
2. Sifat-sifat massa batuan yang penting harus disertakan
3. Parameter dapat diukur dengan mudah dan murah
4. Pembobotan dilakukan secara relatif
5. Menyediakan data-data kuantitatif
2.2.6.1 Rock Mass Rating (RMR)
Rock Mass Rating (RMR) atau juga dikenal dengan Geomechanics
Classification dikembangkan oleh Bieniawski pada tahun 1972-1973 (Bieniawski,
1979). Metode rating dipergunakan pada klasifikasi ini. Metode ini telah dikenal
luas dan banyak diaplikasikan pada keadaan dan lokasi yang berbeda-beda
seperti tambang pada batuan kuat, terowongan, tambang, batubara, kestabilan
lereng, dan kestabilan pondasi.
M etode klasifikasi RMR merupakan metode yang sederhana dalam
penggunaannya, dan parameter-parameter yang digunakan dalam metode ini
dapat diperoleh baik dari data lubang bor maupun dari pemetaan struktur bawah
tanah. Metode ini dapat diaplikasikan dan disesuaikan untuk situasi yang berbeda-
beda seperti tambang batubara, tambang pada batuan kuat (hard rock) kestabilan
lereng, kestabilan pondasi, dan untuk kasus terowongan.
Tujuan dari sistem RMR adalah untuk mengklasifikasikan kualitas massa
batuan dengan menggunakan data permukaan, dalam rangka untuk memandu
metode penggalian dan juga untuk memberikan rekomendasi pertambangan
mendukung. Dalam mengklasifikasikan massa batuan berdasarkan sistem
19

klasifikasi RMR, Bieniawski menggunakan lima parameter utama dan satu


parameter kondisi, yaitu :
a. Uniaxial Compressive Strenght (UCS) batuan
b. Rock Quality Designation (RQD)
c. Joint spacing atau spasi bidang diskontinu
d. Kondisi kekar (Condition of discontinuities)
e. Kondisi air tanah (Groundwater conditions)
f. Orientasi/arah bidang diskontinu
Pada penggunaan sistem klasifikasi ini, massa batuan dibagi kedalam daerah
struktural yang memiliki sifat berdasarkan 6 parameter diatas dan klasifikasi
massa batuan untuk setiap daerah tersebut dibuat terpisah. Batas dari daerah
stuktur tersebut biasanya disesuaikan dengan kenampakan perubahan struktur
geologi seperti patahan, perubahan kerapatan kekar, dan perubahan jenis batuan.

Pada klasifikasi massa batuan dengan Rock Mass Rating (RMR) sistem, setiap
parameter yang ditinjau mempunyai nilai rating tersendiri. Nilai-nilai dari setiap
parameter tersebut kemudian dijumlahkan untuk memperoleh nilai RMR dan
yang perlu mendapat perhatian pada penggunaan klasifikasi massa batuan dengan
sistem RMR ini adalah pada bagian B yaitu pengaturan nilai untuk orientasi
bidang diskontinu. Pada bagian tersebut penilaian rating dibagi ke dalam 3
bagian, yaitu : untuk terowongan, pondasi, dan lereng. Pada penelitian ini, nilai
rating yang digunakan adalah nilai rating untuk lereng.
Berikut ini adalah penjelasan mengenai kelima parameter yang dipakai
dalam sistem klasifikasi RMR :
1. Uniaxial Compressive Strenght (UCS)
Kuat tekan batuan utuh dapat diperoleh dari Uji Kuat Tekan Uniaksial
(Uniaxial Compressive Strenght, UCS) dan Uji Point Load (Point Load Test,
PLT). UCS menggunakan mesin tekan untuk menekan sampel batuan dari satu
arah (uniaxial).
Cara pendugaan kekuatan kekar dapat dijuga dilakukan dengan
menggunakan alat yang disebut Schimdt Hammer. Alat ini didesain dengan level
impak yang berbeda-beda, tetapi tipe L dan N umumnya digunakan untuk
20

pengujian batuan. Secara umum, Scmidt Hammer tipe N dan tipe L mempunyai
bentuk yang sama. Namun, Scmidt Hammer tipe N memiliki dimensi yang lebih
besar daripada tipe L. Hal ini dikarenakan Scmidt Hammer tipe N mempunyai
energi impak tiga kali lebih besar dari pada tipe L.
Alat ini terdiri dari piston yang dikombinasikan dengan per, dimana piston
ini secara otomatis terlepas dan menumbuk kontak dengan batuan ketika hammer
ditekan ke arah permukaan batuan. Piston tersebut akan segera memantul kembali
ke arah dalam hammer. Jarak pantul piston yang terbaca pada indikator
dinyatakan sebagai nilai pantul Scmidt Hammer. Nilai pantul Schmidth Hammer
adalah rata- rata dari 10 nilai pantulan terbesar untuk setiap pengujian. Nilai hasil
pendugaan Schmidt Hammer dapat dihubungkan dengan pendugaan kekuatan
dengan nilai UCS dan PLI (Tabel 2.2).
Ada begitu banyak persamaan yang dikeluarkan oleh para peneliti untuk
mengkorelasikan antara nilai Scmidt Hammer dengan UCS salah satunya adalah
yang diperkenalkan oleh Kilic & Teymen (2008) dalam Aydin dan Basu (2005).
Persamaan ini dapat digunakan untuk berbagai lithologi batuan dengan
menggunakan Schmidt Hammer tipe N.
UCS (MPa) = 0,0137 N 2,2721 ................................................................................2.1
N= Schmidt Hammer rebound number tipe N
Nilai Scmidth tipe N juga bisa didapatkan dengan mengkonversikannya dari
nilai Scmidth tipe L yang diperkenalkan oleh Aydin dan Basu (2005) :
RN = 0646RL + 6.3673..........................................................................2.2
( r = 0,99 )
Dimana : RN = Nilai kekerasan Rebound tipe ( r = 0,99 )
N RL = Nilai kekerasan Rebound tipe L

Tabel 2.2 Hubungan UCS – PLI – Scmidt Hammer


Terminologi UCS (MPa) PLI (MPa) Schmidt Hardness Rating
(Tipe L)
Sangat Kuat Sekali > 250 > 10 50 – 60 15
Sangat Kuat 100 – 250 10 - 4 40 – 50 12
Kuat 50 – 100 4-2 30 – 40 7
Sedang 25 – 50 2-1 15 – 30 4
Lemah 25 – 5 * < 15 2
Sangat Lemah 5–1 * * 1
21

Sangat Lemah Sekali 0.25 -1 * * 0


(sumber : Bienawski, 1989) *UCS lebih dianjurkan
2. Rock Quality Designation (RQD)
Parameter yang dapat menunjukkan kualitas massa batuan sebelum
penggalian dilakukan adalah RQD yang dikembangkan oleh Deere (1964) yang
mana datanya diperoleh dari pengeboran eksplorasi dalam bentuk inti bor.
RQD dihitung dari persentase bor inti yang diperoleh dengan panjang
minimum 10 cm dan jumlah potongan inti bor tersebut biasanya diukur pada inti
bor sepanjang 2 m. Bila bor inti tidak tersedia, RQD dapat dihitung secara tidak
langsung dengan melakukan pengukuran orientasi dan jarak antar diskontinuitas
pada singkapan batuan. Menurut Palmstrom (1982), RQD dapat diperkirakan dari
jumlah kekar-kekar per unit volum (Jv) dengan persamaan sebagai berikut :
RQD = 115 – 3.3 Jv........................................................................................2.3
Nilai Jv menyatakan total jumlah kekar per kubik meter atau jumlah kekar
volumetrik (Tabel 2.3). Jumlah kekar volumetrik (Jv) telah dijelaskan
oleh Palmstrom (1982, 1985, 1986) dimana itu adalah ukuran jumlah kekar
dalam unit volume massa batuan yang ditetapkan sebagai berikut :
Jv = ∑ij=11/Si..................................................................................................2.4

Jika Jv lebih kecil dari pada 4.5 maka RQD dianggap 100.
Nilai Jv merupakan total jumlah kekar per meter kubik massa batuan
dimana Si rata-rata spasi set kekar dan j jumlah total set kekar. Tabel 2.3
menunjukkan klasifikasi Jv.

Tabel 2.3 Klasifikasi Jumlah Kekar Volumetrik (Jv)


Ukuran Volumetrik
No Tingkatan Kekar Jv Kekar /m3 Ukuran Blok
1 Sangat Rendah < 1.0 <1 Masif
2 Rendah 1–3 1–3 Besar
3 Sedang 3 – 10 3 – 10 Sedang
4 Tinggi 10 – 30 10 – 30 Kecil
5 Sangat Tinggi 30 – 60 > 30 Sangat kecil
6 Crushed > 60 # #
(sumber : Palmstrom, 2005)
22

Pembobotan yang diberikan untuk nilai RQD ditampilkan pada tabel 2.4.
Tabel 2.4 Kualitas RQD
Sifat Kualitatif RQD Bobot
Sangat baik 90-100 20
Baik 75-90 17
Sedang 50-75 13
Buruk 25-50 8
Sangat buruk <25 3
(sumber : Deere, 1967)
3. Spasi Bidang Diskontinu (Joint Spacing)
Bieniawski (1989) dan Giani (1992), spasi merupakan jarak antara
diskontinuitas terdekat yang diukur secara tegak lurus. Diskontinuitas memiliki
frekuensi kemunculan yang menunjukkan jumlah jarak setiap unit berbanding
terbalik terhadap spasi. Spasi dipetakan dari permukaan batuan dan core bor, dan
spasi sebenarnya dihitung dari spasi semu untuk diskontinuitas yang miring
terhadap permukaan (Gambar 2.5). Pengukuran spasi set kekar memberikan
ukuran dan bentuk blok.

Gambar 2.4 Hubungan antara spasi semu (S apparent) dan spasi sebenarnya
(S) dalam satu set diskontinuitas (Wyllie & Mah, 1999)
Pada perhitungan nilai RMR, parameter jarak antar kekar (spasi) diberi
bobot berdasarkan nilai spasi kekar-nya seperti tertera pada Table 2.5.
Tabel 2.5 Jarak antar (spasi) kekar
Deskripsi Spasi Kekar (m) Ratin
g
Sangat lebar (very wide) >2 20
Lebar (wide) 0.6 – 2 15
Sedang (moderate) 0.2 – 0.6 10
Rapat (close) 0.006 – 0.2 8
Sangat rapat (very close) < 0.006 5
(sumber : Bieniawski, 1989)
4. Kondisi Kekar (Condition of discontinuities)
23

Ada lima karakteristik kekar yang masuk dalam pengertian kondisi kekar,
meliputi kemenerusan (persistence), jarak antar permukaan kekar atau celah
(separation/aperture), kekasaran kekar (roughness), material pengisi
(infilling/gouge), dan tingkat kelapukan (weathering).
 Kemenerusan (persistence/continuity)
Giani (1992), Panjang dari suatu kekar dapat dikuantifikasi secara kasar dengan
mengamati panjang jejak kekar pada suatu bukaan. Pengukuran ini masih sangat
kasar dan belum mencerminkan kondisi kemenerusan kekar sesungguhnya.
Seringkali panjang jejak kekar pada suatu bukaan lebih kecil dari panjang kekar
sesungguhnya, sehingga kemenerusan yang sesungguhnya hanya dapat ditebak.
 Jarak antar permukaan kekar atau celah (separation/aperture)
Merupakan jarak tegak lurus antar dinding batuan yang berdekatan pada bidang
diskontinu. Celah tersebut dapat berisi material pengisi (infilling) atau tidak.
ISRM (1981) mendeskripsikan separation (bukaan) dari kekar berdasarkan
ukuran pemisahannya (Tabel 2.6), yaitu :
Tabel 2.6 Pemerian Pemisahan Kekar (aperture)
Jarak Pemisahan Deskripsi Istilah
< 0,1 mm Sangat tertutup
0,1 – 0,25 mm Tertutup Tertutup
0,25 – 0,5 mm Sebagian tertutup

0,5 – 2,5 mm Terbuka


2,5 – 10 mm Sangat terbuka Renggang /
> 10 mm Lebar sedang

1 – 10 cm Sangat lebar
10 – 100 cm Ekstrim lebar Terbuka
>1m Terbuka

(sumber : ISRM, 1981)


 Kekasaran kekar (roughness)
Deskripsi kekasaran kekar menggunakan rujukan yang diberikan oleh ISRM
(1981). Kondisi relatif kekasaran permukaan bidang kekar dinyatakansebagai
berikut :
24

o Sangat kasar, jika jenjang yang terjadi dipermukaan bidang vertikal,


o Kasar, permukaan bergelombang pada beberapa bagian, kekasaran dapat
dilihat dengan jelas dan jika diraba masih terasa agak abrasif.
o Kekasaran rendah, jika kekasaran dipermukaan bidang kekar baru dapat
diketahui dengan jelas jika diraba dengan tangan. Terasa bergelombang jika
disentuh.
o Halus, jika permukaan rekahan menjadi halus dan terasa halus ketika
disentuh.
o Licin, jika permukaan rekahan terlihat seperti poles/mengkilat atau
bergelombang halus.
Dalam perhitungan RMR, parameter-parameter diatas diberi bobot masing-
masing dan kemudian dijumlahkan sebagai bobot total kondisi kekar.
Pemberian bobot berdasarkan pada Tabel 2.7. Masing-masing parameter tersebut
dibobot satu- satu, kemudian digabung untuk mendapatkan bobot total kondisi
diskontinuitas.
Tabel 2.7 Panduan Klasifikasi Kondisi Kekar
Parameter Rating
Panjang Kekar <1 1-3 m 3-10 m 10-20 m >20 m
6 4 2 1 0
(Persistance/Continuity)
Jarak Antar Permukaan Tidak <0.1 0.1 – 1–5 > 5 mm
Kekar ada mm 1.0 mm mm
6 5 4 1 0
Kekasaran Kekar Sangat Kasar Sedikit Halus Slickedsid
(Roughtness) Kasar kasar ed
6 5 3 1 0
Material Pengisi Tidak Keras Lunak
< 5 mm > 5 mm < 5 mm > 5 mm
(Infiling/Gouge) Ada
6 4 2 2 0
Pelapukan (Weathering) Tidak Sedikit Lapuk Sangat Hancur
Lapuk Lapuk Lapuk
6 5 3 1 0
(sumber : Bieniawski, 1989)
5. Kondisi Air Tanah (Groundwater conditions)
Pada perhitungan nilai RMR, parameter kondisi air tanah diberi bobot
berdasarkan Tabel 2.8.
25

Tabel 2.8 Kondisi Air Tanah


Kering Lembab Basah Terdapat Terdapat
Kondisi Umum (Completely (Dump) (Wet) Tetesan Air Aliran Air
Dry) (Dripping) (Flowing)
Debit air tiap 10
m panjang
Tidak ada < 10 10 - 25 25 – 125 > 125
terowongan
(liter/menit)
Tekanan air pada
kekar / tegangan 0 < 0.1 0.1 – 0.2 0.1 – 0.2 > 0.5
prinsipal mayor
Rating 15 10 7 4 0
(sumber : Bieniawski, 1989)
Kondisi air tanah yang ditemukan pada pengukuran kekar
diidentifikasikan sebagai salah satu kondisi berikut : kering, lembab, basah,
terdapat tetesan air, atau terdapat aliran air.
6. Orientasi Diskontinuitas
Orientasi bidang diskontinuitas yaitu kedudukan dari bidang diskontinu
yang meliputi arah dan kemiringan bidang. Parameter ini merupakan penambahan
terhadap kelima parameter sebelumnya. Bobot yang diberikan untuk parameter ini
sangat tergantung pada hubungan antara orientasi kekar-kekar yang ada dengan
metode penggalian yang dilakukan. Arah dan kemiringan dari bidang diskontinu
biasanya dinyatakan dalam (Strike/Dip) atau (Dip Direction/Dip). Strike atau jurus
merupakan arah dari garis horizontal yang terletak pada bidang diskontinu yang
miring, Dip direction merupakan arah penunjaman dari bidang diskontinu dan dip
adalah sudut yang diukur dari bidang horizontal ke arah kemiringan bidang.
2.2.6.2 Rock Mass Rating dasar (RMRdasar)
RMRdasar adalah nilai RMR dengan tidak memasukkan parameter orientasi
kekar dalam perhitungannya. Untuk keperluan analisis kemantapan suatu lereng,
Bieniawski (1989) merekomendasikan untuk memakai sistem Slope Mass Rating
(SMR) sebagai metode koreksi untuk parameter orientasi kekar.
Sementara itu RMRdasar adalah nilai RMRdasar dengan parameter kondisi
air diasumsikan kering. RMRdasar bertujuan untuk melihat kondisi batuan secara
alami tanpa adanya pengaruh air.
26

Tabel 2.9 Kelas massa batuan, kohesi dan sudut geser dalam dari nilai RMR
Profil
Massa Deskripsi
Batuan
Rating 100-81 80-61 60-41 40-21 20-0
Kelas Sangat Sangat
massa Baik Baik Sedang Jelek jelek
batuan
Kohesi >400 kPa 300-400 200-300 100-200 <100 kPa
kPa kPa kPa
Sudut
geser > 450 350 – 450 250 - 350 150-250 < 150
dalam
(sumber : Bieniawski, 1989)
2.2.6.3 Slope Mass Rating (SMR)

Beberapa ahli mengembangkan beberapa pendekatan yang lebih sistematis


untuk analisis kestabilan lereng dengan membuat klasifikasi lereng dengan cara
menggunakan pendekatan Slope Mass Rating (SMR). SMR dapat
memberikan panduan awal dalam analisis kestabilan lereng, memberikan
informasi yang berguna tentang tipe keruntuhan serta hal-hal yang diperlukan
untuk perbaikan lereng. Slope Mass Rating merupakan modifikasi dari sistem
Rock Mass Rating (RMR) yang dikembangkan oleh Bieniawski.
Slope Mass Rating dihasilkan dengan melakukan beberapa faktor koreksi
terhadap nilai yang diperoleh dengan Rock Mass Rating. Nilai SMR dapat
dinyatakan dengan persamaan berikut yaitu :
SMR = RMRdasar + (F1 × F2 × F3) + F4..............................................................................2.9
Besar bobot untuk F1, F2, dan F3 diberikan pada Tabel 2.10.

Tabel 2.10 Bobot pengatur untuk kekar, F1, F2, dan F3


Kasus Kriteria Sangat Menguntun Sedang Tak Sangat Tak
Faktor Menguntu gkan Menguntungkan Menguntungka
Koreksi ngkan n
27

P (Αj-Αs) > 30 30 – 20 20-10 10-5 <6


T (Αj-Αs-
180)
P/T F1 0.15 0.4 0.7 0.85 1
P (Βj) < 20 20 – 30 30-35 35-45 >45
P F2 0.15 0.4 0.7 0.85 1
T F2 1 1 1 1 1
P Βj-Βs >10 10 – 0 0 0 – (-10) < -10
T Βj+Βs <100 110 – 120 > 120
P/T F3 0 -6 - 25 - 50 -60
(sumber : Romana, 1985)
Penyesuaian nilai kekar terdiri dari 4 faktor :
 F1 tergantung kepada kesejajaran antara arah jurus (strike) kekar dan muka
lereng. Nilainya berkisar antara 1.00 hingga 0.15. Nilai tersebut dapat pula
ditampilkan kedalam rumus : F1 = (1-sin A)2, dimana A adalah sudut
antara arah jurus kekar dan muka lereng.
 F2 mengacu kepada kemiringan kekar (dip joint) pada keruntuhan bidang
(planar). Nilainya berkisar antara 1.00 hingga 0.15, dan sesuai dengan
rumus : F2 = tan2Bj, dimana Bj adalah sudut kemiringan kekar. Untuk
keruntuhan guling (toppling) F2 = 1.
 F3 merupakan hubungan antara kemiringan lereng dan kemiringan kekar.
Nilai ini merupakan juga rating RMR untuk arah kekar.
 F4 merupakan faktor metode penggalian yang ditentukan secara empirik.
Keterangan : αj = dip dir. Kekar βj = dip kekar
αs = dip dir. Lereng βs = dip lereng
P = Longsoran bidang T = Longsoran guling
Besar bobot untuk metode penggalian F4 diberikan pada Tabel 2.11
Tabel 2.11 Bobot metode penggalian lereng
Metode Lereng Peledakan Peledakan Peledakan Peledakan
alamiah presplitting smooth mekanis buruk
F4 +15 +10 +8 0 -8
(sumber : Romana, 1985)
Deskripsi kelas-kelas massa batuan berdasarkan nilai Slope Mass Rating
(SMR) diberikan pada Tabel 2.12.
Tabel 2.12 Kelas Massa batuan Slope Mass Rating (SMR)
28

Deskripsi
Profil Massa
Batuan
No Kelas I II III IV V
Rating 100 - 81 80 - 61 60 - 41 40 - 21 20 - 0
Kelas Massa Sangat Baik Sedang Jelek Sangat
Batuan Baik Jelek
Beberapa Bidang
Longsoran Tidak Beberapa Bidang
Kekar Atau Besar Atau
Ada Blok Atau
Banyak Seperti
Baji
Baji Tanah
Besar
Penyanggaa Tidak Ada Sewaktu- Sistematis Sangat Perlu Reexcavati
n Waktu Perbaikan on
(sumber : Romana, 1985)

2.2.7 Kestabilan Lereng


Gerakan tanah merupakan suatu gerakan menuruni lereng oleh massa tanah
dan atau batuan penyusun lereng akibat terganggunya kestabilan tanah atau batuan
penyusun lereng tersebut (Cheng, 2008). Definisi ini menunjukkan bahwa massa
yang bergerak dapat berupa massa tanah, massa batuan atau percampuran antara
massa tanah dan batuan penyusun lereng. Analisis lereng sangat diperlukan untuk
mengetahui tingkat kestabilan lereng. Berikut ini adalah tujuan analisis lereng :
1. Memahami perkembangan dan bentuk lereng alami dan proses yang
terjadi pada kondisi alam yang berbeda
2. Menentukan stabilitas lereng pada kondisi jangka pendek dan
jangka panjang
3. Menentukan kemungkinan terjadinya keruntuhan pada lereng
4. Menganalisa keruntuhan dan pengaruhnya terhadap faktor
lingkungan
5. Dapat melakukan desain ulang pada lereng yang telah runtuh dan
merencanakan serta melakukan desain pencegahan serta perhitungan
perbaikan yang diperlukan mempelajari pengaruh beban gempa
pada lereng dan timbunan.

Ada beberapa jenis longsoran yang umum dijumpai pada massa batuan di
tambang terbuka, yaitu :
 Longsoran Bidang (Plane Failure)
29

 Longsoran Baji (Wedge Failure)


 Longsoran Guling (Toppling Failure)
2.2.7.1 Analisis Kinematika Lereng
Wyllie (2004), Jenis longsoran blok telah diidentifikasi pada stereonet,
diagram yang sama juga bisa digunakan untuk memeriksa arah dimana blok akan
longsor dan mengindikasikan kondisi kestabilan. Prosedur ini dikenal sebagai
analisis kinematika. Penggunaan analisis kinematika adalah untuk muka lereng
dimana 2 bidang kekar membentuk baji yang meluncur ke muka dan menuju
depan. Jika muka lereng lebih kecil kecuramannya dibanding garis perpotongan
antara dua bidang atau memiliki nilai strike 900 terhadap strike sebenarnya, lalu
meskipun dua bidang membentuk baji, hal ini tidak akan terjadi longsor pada
muka lereng. Hubungan antara arah ini dimana blok batuan akan longsor dan
orientasi muka lereng adalah bersifat semu pada stereonet. Namun, meskipun
analisis stereonet memberikan indikasi yang bagus pada kondisi kestabilan, akan
tetapi adanya gaya luar seperti tekanan air atau penguatan dari tegangan rock bolt
akan mempengaruhi pengaruh pada kestabilan. Prosedur desain yang biasanya
digunakan adalah analisis kinematik untuk mengidentifikasi blok yang berpotensi
tidak stabil.
Contoh analisis kinematik seperti ditampilkan pada Gambar 2.6 dimana
lereng batuan mengandung 3 set diskontinuitas. Potensi terjadinya longsoran
akibat adanya diskontinuitas tergantung pada nilai dip dan arah dipnya terhadap
muka lereng.

Gambar 2.5 Analisis kinematik blok batuan pada lereng,


set diskontinuitas pada lereng dimana ψA, ψB, ψC dan ψf adalah
kemiringan bidang A, B, C dan lereng (Wyllie & Mah, 2004)
1. Analisis Longsoran Bidang
Longsoran jenis ini (Gambar 2.7) akan terjadi jika kondisi di bawah ini
30

terpenuhi :
a. Jurus (strike) bidang luncur mendekati paralel terhadap jurus bidang
permukaan lereng (perbedaan maksimum 200)
b. Kemiringan bidang luncur (ψp) harus lebih kecil daripada
kemiringan bidang permukaan lereng (ψf)
c. Kemiringan bidang luncur (ψp) lebih besar daripada sudut geser dalam
(ϕ)
d. Terdapat bidang bebas yang merupakan batas lateral dari massa batuan
atau tanah yang longsor.

Gambar 2.6 Longsoran bidang (Hoek & Bray, 1981)


Pada gambar 2.6 blok planar yang berpotensi tidak stabil dibentuk oleh
bidang AA dimana sudut atau dipnya lebih kecil dari pada muka lereng (ψ A < ψf)
dan ini disebut “daylight” pada muka lereng. Namun, sliding tidak akan mungkin
terjadi pada bidang BB dimana dipnya lebih besar dibandingkan muka lereng (ψB
> ψf) dan tidak terjadi daylight. Sama seperti itu, dip set diskontinuitas CC searah
lereng dan sliding tidak akan terjadi pada bidang ini, meskipun toppling mungkin
terjadi. Kutub pada muka lereng dan set diskontinuitas (simbol P) diplotkan pada
stereonet pada Gambar 2.8 dengan mengansumsikan bahwa semua strike
diskontinuitas paralel terhadap muka lereng.
Posisi kutub-kutub ini berhubungan dengan muka lereng yang
menunjukkan bahwa kutub semua bidang yang berada di daerah daylight
berpotensi tidak stabil yang terletak didalam kutub muka lereng. Area ini
dinamakan daylight envelope dan bisa digunakan untuk mengidentifikasi dengan
31

cepat potensi blok yang tidak stabil.


Arah dip set diskontinuitas juga akan mempengaruhi kestabilan. Longsoran
bidang tidak mungkin terjadi jika arah dip diskontinuitas berbeda dari arah dip
muka lereng lebih dari 200. Jadi, blok akan stabil jika [αA - αB] > 200 karena
dibawah kondisi ini akan terjadi penambahan ketebalan batuan induk pada akhir
blok yang memiliki kekuatan yang cukup menahan longsoran. Pada stereonet
batasan pada arah dip bidang ditunjukkan dengan 2 garis yang membentuk arah
dip (αf + 200) dan (αf – 200). Dua garis ini menandakan daylight envelope pada
Gambar 2.8.

Gambar 2.7 Daylight envelope pada equal net stereonet (Wyllie & Mah, 2004)
2. Analisis Longsoran Baji (Wedge Failure)
Longsoran baji terjadi bila terdapat dua bidang lemah atau lebih
berpotongan sedemikian rupa sehingga membentuk baji terhadap lereng (Gambar
2.9). Longsoran baji ini dapat dibedakan menjadi dua tipe longsoran yaitu
longsoran tunggal (single sliding) dan longsoran ganda (double sliding). Untuk
longsoran tunggal, luncuran terjadi pada salah satu bidang, sedangkan untuk
longsoran ganda luncuran terjadi pada perpotongan kedua bidang.
32

Gambar 2.8 Longsoran baji (Hoek & Bray, 1981)


a. Kemiringan lereng lebih besar daripada kemiringan garis potong kedua bidang
lemah (ψfi > ψi)
b. Sudut garis potong kedua bidang lemah lebih besar daripada sudut geser
dalamnya (ψfi > ϕ)
Analisis kinematik longsoran baji dapat dilakukan dengan cara yang sama
pada longsoran bidang. Pada kasus ini kutub garis perpotongan dua bidang
diskontinuitas diplotkan pada stereonet dan sliding mungkin bisa terjadi jika kutub
daylight berada pada muka lereng dimana (ψi < ψf). Arah sliding baji secara
kinematik kurang terbatas dari pada longsoran bidang karena ada dua bidang yang
membentuk bidang bebas. Daylighting envelope untuk garis perpotongan
ditampilkan pada Gambar 2.8 dimana lebih lebar dari envelope pada longsoran
bidang. Daylight envelope baji terletak pada semua kutub yang mewakili garis
perpotongan yang arah dipnya terletak pada bidang muka lereng.
3. Analisis Longsoran Guling (Toppling Failure)
Longsoran guling umumnya terjadi pada lereng yang terjal dan pada batuan
yang keras dimana struktur bidang lemahnya berbentuk kolom (Gambar 2.10).
Longsoran jenis ini terjadi apabila bidang-bidang lemah yang ada berlawanan
dengan kemiringan lereng.
33

Gambar 2.9 Longsoran guling (Hoek & Bray, 1981)


Longsoran guling pada blok fleksibel terjadi jika :

a. β > 900 + ϕ – α, dimana β = kemiringan bidang lemah, ϕ = sudut geser


dalam dan α = kemiringan lereng
b. Perbedaan maksimal jurus (strike) dari kekar (joint) dengan jurus lereng
(slope) adalah 300
Longsoran guling yang terjadi memiliki arah dip diskontinuitas miring
terhadap lereng harus kurang dari 100 terhadap arah dip muka lereng sehingga
serangkaian slab terbentuk paralel terhadap muka lereng. Selain itu, dip bidang
harus cukup curam untuk terjadi slip. Jika muka lereng memiliki sudut friksi ϕ j
maka slip hanya akan terjadi jika arah tekanan kompresif yang ada berada pada
sudut lebih besar dari ϕj dan normal terhadap lapisan. Arah tekanan utama pada
potongan lereng paralel terhadap muka potong lereng (sudut dip ψf), jadi
interlayer slip dan longsoran guling akan terjadi pada bidang dengan dip ψp dan
mengikuti kondisi yang ditemui oleh (Goodman & Bray, 1976) :
(900 – ψf) + ϕj < ψp........................................................................................2.8
2.2.7.2 Penguatan Lereng
Penguatan lereng menggunakan sejumlah elemen yang dapat dijadikan
metode yang efektif dalam pencegahan untuk menahan pergerakan lereng pada
batuan atau tanah yang lemah dimana drainase yang bagus tidak mampu membuat
stabil lereng. Untuk memberi perencana tambang kriteria desain yang fleksibel
dapat dengan mudah diadaptasi dari kondisi geologi yang berubah, rangkaian
konsep lereng telah berkembang (Wyllie & Mah, 2002). Setiap konsep dapat
34

diterapkan dalam daerah yang tersedia melebihi rentang yang diterapkan dari
kondisi geologinya. Tabel 2.13 meringkaskan berbagai macam konsep desain
lereng yang berhubungan dengan tipe lereng dasar, jaraknya yang dapat
diterapkan, dan jenis keruntuhan yang mengendalikan desain lereng dan uraian
yang berkaitan.
Pada pengembangan konsep desain lereng, ada beberapa parameter lereng
dasar pertama harus di tetapkan perundingan dengan perencana tambang. Hal ini
menyangkut kriteria yang tepat, seperti penambahan ketinggian jenjang dan lebar
tanggul minimum yang didasarkan pada ukuran peralatan penambangan dan
persyaratan yang wajib seperti safety factor desain secara keseluruhan dan
tingkatan resiko yang masih bisa diterima. Sejumlah metode yang diadopsi untuk
menstabilkan lereng, setiap metode tersebut harus sesuai dengan kondisi tertentu,
seperti penggunaan lereng, tujuan kestabilan, waktu yang tersedia, tipe peralatan
kontruksi dan biaya perbaikan.
Tindakan penguatan pada lereng harus memperhatikan jenis longsoran yang
akan terjadi. Salah satu dasar yang menjadi acuan dalam penguatan lereng
tersebut adalah dengan cara memperhatikan nilai SMR seperti yang diperkenalkan
oleh Romana (1985) seperti Tabel 2.13.
Tabel 2.13 Pendukung Yang Direkomendasikan Untuk Setiap Kelas
No Kelas V IV III II I
SMR 0-20 21-40 41-60 61-80 81-100
Deskripsi Sangat Buruk Buruk Normal Baik Sangat Baik
Sangat Stabil
Stabilitas Tidak Stabil Stabil Sangat Stabil
Tidak Stabil Sebagian
Planar Beberapa
Planar/Baji Beberapa
Runtuhan besar/seperti kekar / Banyak Tidak ada
Besar Blok
tanah Baji
Penggalian Kadang-
Penyangga Penting Sistematis Tidak ada
Ulang kadang
(sumber : Romana, 1989)
Ada begitu banyak tindakan perbaikan yang dapat dilakukan untuk
penguatan lereng. Baik itu penelitian detail dan insting keteknikan yang baik
sangatlah perlu dalam menstabilkan lereng. Sistem klasifikasi hanya bisa
mencoba menunjuk teknik normal untuk setiap kelas pendukung yang berbeda.
35

Pada pengembangan yang lebih luas, rentang nilai SMR untuk setiap
kelompok ukuran pendukung adalah sebagai berikut :
Tabel 2.14 Rentang nilai SMR
SMR 65 – 100 None, scaling
SMR 30 – 75 Bolting, anchoring
SMR 20 – 60 Shortcrete, concrete
SMR 10 – 30 Wall erection, re-excavation
(sumber : Romana, 1989)
2.2.8 Metode Scanline
Metode Scanline adalah suatu metode penentuan kondisi diskontinuitas
dengan menggunakan tali atau pita ukur yang dibentangkan pada suatu permukaan
lereng yang hampir memiliki arah muka lereng yang sama. Metode ini dapat
digunakan untuk mengetahui orientasi bidang diskontinuitas pada permukaan
lereng yang dianggap mewakili orientasi bidang diskontinuitas batuan secara
keseluruhan. Peralatan yang dipakai berupa pita ukur, kompas geologi, clip board,
penggaris dan comparator. Pengukuran yang dilakukan adalah diskontinuitas
yang melalui atau memotong tali bentangan.

Gambar 2.10 Sketsa pengambilan data diskontinuitas menggunakan metode


scanline, BB’ adalah scanline, A adalah tebal bukaan, S adalah spasi rekahan dan
L adalah panjang rekahan (Endartyanto, 2007)
2.2.9 Program Dips
Dips adalah suatu program rancangan untuk menganalisa orientasi secara
interaktif dengan mendasarkan data yang berhubungan dengan data-data geologi.
Program ini adalah suatu alat bantu yang mampu diterapkan pada banyak aplikasi
36

yang berbeda untuk analisis proyeksi stereografi data geologi (Anonim, 2002).
Dips memungkinkan pemakai untuk meneliti dan memvisualisasikan data
struktural geologi baik kekar, sesar serta struktur-struktur lainnya. Program ini
dirancang untuk analisis data yang berhubungan dengan analisa rancangan
struktur batuan, sehingga format yang dipakai Dips data file memungkinkan
menganalisa segala bentuk orientasi basis data. Penggunaan aplikasi Dips antara
lain untuk geologi, tambang dan teknik sipil. Pengenalan aplikasi Dips disini
terbatas pada penggunaan Dips untuk penentuan arah umum diskontinuitas pada
struktur-struktur geologi, dan penentuan jenis longsoran yang terbentuk dengan
data sudut geser dalamnya. Data – data yang digunakan dalam program ini adalah
nilai Dip, Apparant dip, Strike dan Dip direction.

Anda mungkin juga menyukai