Anda di halaman 1dari 9

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-9

PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT


6 - 7 OKTOBER 2016; GRHA SABHA PRAMANA

KARAKTERISTIK CLEAT BATUBARA TERHADAP INTENSITAS STRUKTUR


PADA DESA MERAPI TIMUR, KABUPATEN LAHAT DI FORMASI MUARA
ENIM, CEKUNGAN SUMATERA SELATAN

Avi Krestanu*
Muhammad Iqbal
R Edo Fernando
Herawati
Mitra Puadi
Program Studi Teknik Geologi, Universitas Sriwijaya, Palembang
*Corresponding author : avikrestanu25@gmail.com

SARI
Proses pembentukan batubara pada setiap seam dalam suatu formasi akan mengalami proses geologi
yang berbeda-beda. Secara umum, dalam batubara terdapat rekahan (cleat) yang dapat menunjukan
sejarah geologi pada masa lampau. Pengaruh proses geologi terhadap cleat di batubara dapat
diakibatkan oleh kontrol struktur maupun proses sedimentasi yang berlangsung. Secara khusus, cleat
yang terbentuk memiliki karakteristik berbeda. Pengaruh kontrol struktur dicirikan dengan nilai
aperture relatif besar dan spacing relatif lebih kecil digolongkan kedalam exogenic cleat. Sedangkan
pengaruh sedimentasi (burrial) dengan nilai aperture relatif kecil serta spacing relatif lebih besar
digolongkan sebagai endogenic cleat. Penelitian dilakukan agar mengetahui proses serta sejarah
geologi pada masing-masing seam di Formasi Muara Enim. Metode penelitian dilakukan dengan
metode deskriptif yang dilakukan dengan pengamatan lapangan serta dilanjutkan dengan melakukan
analisis hasil dari data lapangan. Berdasarkan hasil dari analisa cleat sudah dibagi menjadi beberapa
seam diantaranya adalah seam 1A, 2A, 3A, dan 4A. Nilai aperture serta spacing pada seam 1A adalah
0,1 cm-19,5 cm, nilai 2A 0,1 cm-9 cm, nilai pada seam 3A 0,01 cm-7,3 cm, serta seam 4A 0,1 cm-3,5
cm. Selain itu, tebal lapisan batubara pada seam 1A adalah 14 m, seam 2A 20 m, seam 3A 7,08 m, seam
4A 4,30 m. Kemudian, arah tegasan maksimum pembentuk struktur mayor adalah 350°-360° terbentuk
pada Miocene-Recent sehingga membentuk beberapa patahan pada Cekungan Sumatera Selatan.

Kata kunci : cleat, spacing, aperture, kontrol struktur.

I. PENDAHULUAN keterdapatan batubara pada formasi tersebut


relatif besar.
Batubara merupakan batuan sedimen organik
yang mengalami proses peatification serta Cleat yang terbentuk berupa rekahan
coalification dengan berbagai variasi dari terjadi hampir disemua lapisan batubara
penyusunnya berupa carbon, hidrogen, sehingga dapat mengetahui kontrol
nitrogen, oksigen, dan sulfur serta beberapa stabilitas struktur yang terjadi pada
unsur lainnya (van Krevelen, 1961., batubara (Mammat, 1834., Milne, 1839.,
Gluskoster, 1975., Speight, 1994., ASTM D- dikutip dari Kendall dan Briggs, 1933, dalam
121, dalam Speight, 2005). Salah satu Laubach et al. 1997). Cleat merupakan
Cekungan sedimen terbesar di Indonesia rekahan yang biasanya terdapat dua lapisan
merupakan Cekungan Sumatera Selatan yang membentuk secara tegak lurus (butt
sehingga keterdapatan batubara pada cleat) maupun sejajar dengan lapisan (face
cekungan ini relatif besar. Sedimentasi di cleat) (Laubach et al. 1997). Kondisi cleat
Cekungan Sumatera Selatan telah mengalami yang terbentuk sama halnya seperti rekahan
beberapa fase seperti fase regresi yang (fracture) yang terbentuk pada batuan
terjadi pada Formasi Muara Enim sehingga lainnya, selain itu cleat pada lapisan batubara
permukaan umumnya akan terbentuk

211
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-9
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
6 - 7 OKTOBER 2016; GRHA SABHA PRAMANA
aperture kurang lebih sekitar 1 mm (Dron, pola kepayang, pola saka, dan Lampung
1925., Kendall dan Briggs, 1993., Selatan yang terbentuk pada Jura-Kapur
Williamson, 1967., McCulloch et al. 1974, Akhir. Pola Musi dan Pola Lematang
1976., Ting, 1977., Campbell, 1979., memiliki struktur yang berarah N300°E
Kulander dan Dean, 1990., Laubach et al. sebagai sesar geser menganan yang aktif pada
1992, dalam Laubach et al. 1997). Jura Awal-Kapur Akhir. Pola Lematang yang
berarah W-N-W sampai E-S- E dan sesar
Perbedaaan cleat batubara dengan kekar pada
mendatar yang berarah Utara- Selatan pada
batuan beku dapat diketahui dari proses
Pra-Tersier yang diindikasikan sebagai
diagenesanya. Pada batubara cleat terbentuk
adanya sesar normal pada Cekungan
selama ataupun pada saat batubara
Sumatera Selatan dan juga sebagai penanda
mengalami pengendapan seperti terjadinya
dimulainya pembentukan dan perkembangan
proses dewatering. Apabila kekar yang
cekungan pada Zaman Tersier.
terdapat pada batuan beku terjadi setelah
batuan tersebut terbentuk dan mengalami Formasi Muara Enim pada daerah penelitian
proses deformasi. pada saat pembentukannya termasuk
kedalam fase kedua yang dipengaruhi oleh
Secara geografis, Penelitian berada di daerah
kontrol struktur sesar normal sehingga
Kabupaten Lahat, Merapi Timur, Provinsi
menghasilkan karakteristik geometri
Sumatera Selatan. Secara geologi, penelitian
batubara lapisan miring.
berfokus pada lapisan batubara yang masuk
dalam Formasi Muara Enim Cekungan II.2. Stratigrafi Regional
Sumatera Selatan.
Formasi Muara Enim disebut juga sebagai
Penelitian dilakukan untuk mengetahui Formasi Palembang Tengah. Formasi Muara
perbedaan besaran kontrol struktur yang Enim terdiri dari batulempung, serpih,
dapat diamati dari cleat yang terbentuk pada batupasir yang dengan komposisi mineral
masing-masing lapisan batubara. Daerah glaukonit dan batubara. Tersusun atas
penelitian terdapat 4 lapisan batubara yang perselingan antara batupasir tufan dengan
memiliki karakteristik cleat yang berbeda. batulempung tufan, perselingan batupasir
kuarsa dan batulempung kuarsa, bersisipan
II. KONDISI GEOLOGI REGIONAL batubara dan oksida besi. Formasi ini
II.1. Tektonik Cekungan Sumatera berumur Miosen Akhir sampai Pliosen,
Selatan berdasarkan kedudukan stratigrafinya.
Menurut Shell (1978) dalam Sumaatdja
Cekungan Sumatera Selatan merupakan (2001) batubara Formasi Muara Enim dibagi
cekungan belakang busur (Back-arc basin) menjadi empat zona, diantaranya:
yang terbentuk oleh tiga fase tektonik
utama, fase pertama merupakan ekstensional Anggota M1
selama Paleosen Akhir sampai Miosen Awal Merupakan perulangan batupasir, batulanau,
membentuk graben mengarah ke utara yang lempung dengan sisipan batubara. Batupasir
diisi endapan Eosen sampai Miosen awal, berwarna abu-abu sampai abu-abu
fase kedua yaitu sesar normal dari Miosen kecoklatan, berbutir halus hingga sedang,
Awal sampai Pliosen Awal, fase ketiga kompak, terpilah baik, dengan dominan
merupakan kompresional yang melibatkan fragmen kuarsa. Perselingan lempung dan
batuan dasar, inversi cekungan, dan batupasir, berwarna abu-abu, terdapat nodul-
pembalikan sesar normal pada Pliosen nodul gamping, coklat terang, keras.
(Davies, 1984 dalam Sudarmono, 1977). Sedangkan batulanau berwarna abu-abu,
Menurut Pulunggono (1992), pola yang kompak, umumnya berselingan dengan
hadir pada pembentukan Cekungan Sumatera batu lempung. Batubara dijumpai dua lapisan
Selatan diantaranya pola musi, pola lematang, dengan ketebalan antara 0,5 m sampai 1 m.

212
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-9
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
6 - 7 OKTOBER 2016; GRHA SABHA PRAMANA
Anggota M2 anggota M4 ditemukan dua lapisan dengan
ketebalan berkisar antara 1,0 m sampai 3,7 m.
Merupakan satuan batuan yang terdiri atas
batulempung, batulempung karbonan, III. METODE PENELITIAN
batupasir, batulanau dan batubara.
Batulempung umumnya berwarna abu-abu Pengumpulan data dilakukan dengan
gelap, masif, sering ditemukan struktur melakukan pengukuran pada zona-zona
sedimen laminasi paralel, jejak tumbuhan singkapan batubara. Data yang didapatkan
serta fragmen batubara. Batulempung berupa data primer dan data sekunder. Data
karbonan, berwarna abu-abu kecoklatan, primer mencakup kedudukan batuan, dan
umumnya agak lunak dan biasanya bertindak pengukuran cleat berupa spacing dan
sebagai batuan pengapit batubara. Batu pasir aperture pada face cleat dan butt cleat.
berwarna abu-abu terang sampai abu-abu Sedangkan data tambahan berupa peta
kehijauan, berbutir halus sampai sedang, topografi daerah penelitian. Kajian ini
membulat sedang, terpilah buruk, mudah bermaksud untuk membandingkan intensitas
terurai, fragmen kuarsa dominan. Batu lanau cleat pada masing-masing seam batubara
berwarna abu- abu kehijauan hingga abu-abu tegasan umum yang dipengaruhi dari struktur
kecoklatan, kompak, umumnya ditemukan geologi pada singkapan batubara.
struktur sedimen laminasi paralel. Batubara Pengolahan data analisis kontrol struktur
yang ditemukan pada anggota M2 ini dilakukan dengan pemodelan arah tegasan
berjumlah tiga lapisan dengan tebal antara umum diwujudkan dalam bentuk rose
0,3 m sampai 6,6 m diagram. Sedangkan analisis quantitative
Anggota M3 cleat dengan membandingan data orientasi,
spacing dan aperture cleat pada masing-
Merupakan satuan batuan yang terdiri atas masing outcrop seam batubara.
batupasir, batulanau, batulempung, dan
batubara. Batupasir berwarna abu-abu, IV. DATA DAN ANALISIS
berbutir halus, terpilah baik, mineral kuarsa
Daerah penelitian termasuk kedalam Formasi
dominan. Batulanau, abu-abu terang Muara Enim seam M2, Cekungan Sumatera
kehijauan sampai kecoklatan, kompak, Selatan yang terbentuk pada Late Miocene-
struktur sedimen laminasi paralel, Early Pliocene. Wilayah ini dipengaruhi oleh
mengandung jejak tumbuhan. Batulempung kontrol struktur sesar yang mempengaruhi
berwarna abu-abu kecoklatan, kompak, masif, pembentukan fracture pada lapisan batubara.
banyak dijumpai jejak tumbuhan. Batubara
yang ditemukan dua lapisan dengan tebal Analisa cleat yang diambil dari data
antara 1,0 m sampai 8,1 m. singkapan (outcrop) dilakukan dalam 4 titik
lokasi pengamatan (gambar 1). Pengambilan
Anggota M4 data cleat difokuskan pada outcrop seam 1A,
Terdiri atas batupasir, batulanau, seam 2A, seam 3A dan seam 4A. Dari
batulempung, dan batubara. Batupasir keempat lokasi pengambilan data,
berwarna abu-abu terang, berbutir halus, karakteristik arah tegasan maksimum pada
terpilah baik, tufan dan mineral kuarsa masing-masing seam berbeda. Dari data
banyak dijumpai. Batulanau, abu-abu terang, analisa tersebut didapatkan hasil berupa:
kompak, mengandung jejak tumbuhan, 1. Lokasi seam 1A memiliki orientasi
struktur tumbuhan, struktur sedimen laminasi umum pada face cleat N 355°E dan butt
paralel. Batulempung berwarna abu-abu, cleat N 295°E dengan tegasan
kecokelatan, lunak, kompak, struktur maksimum berada di N 240°E dan
sedimen laminasi, paralel dan jejak tegasan minimum N 70°E. Dari hasil
tumbuhan banyak ditemukan. Batubara pada tersebut dapat diasumsikan bahwa fase
cleat yang terbentuk pada seam 1A
213
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-9
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
6 - 7 OKTOBER 2016; GRHA SABHA PRAMANA
merupakan fase eksogenic dengan arah yang terjadi tidak signifikan. grafik (gambar
tegasan maksimum mengikuti pola 6) menjelaskan bahwa spacing relatif
tektonik regional Cekungan Sumatera dominan berada pada rentang bagian atas
Selatan pada orde pertama(gambar 2). sehingga dapat dikategorikan kontrol struktur
2. Lokasi seam 2A orientasi umum yang geologi yang terjadi belum dominan. Seam
didapatkan dari analisa face cleat adalah 2A nilai korelasi pada aperture serta spacing
N 25°E dan butt cleat N 275°E dengan seam A2 lebih besar bila dibandingkan
arah tegasan maksimum pada N 30°E dengan seam lainnya yaitu 0,3524 cm, hal ini
diikuti oleh tegasan minimum N 300°E. dapat diasumsikan bahwa aperture serta
Fase pada seam 2A dikategorikan spacing yang terbentuk dipengaruhi oleh
sebagai fase endogenic cleat (gambar 3). struktur geologi sangat signifikan. Grafik
3. Lokasi seam 3A memiliki arah orientasi seam A2 (gambar 7) menggambarkan bahwa
umum pada face cleat N 85°E dan butt nilai aperture serta spacing relatif lebih
cleat N 75°E dengan arah tegasan dominan pada bagian bawah dengan nilai x
maksimum N 80°E dan tegasan rata-rata dibawah 4 sehingga dapat
minimum N 280°E. Dari hasil tersebut dikategorikan pembentukan cleat pada seam
dapat dikategorikan bahwa fase 2A dipengaruhi oleh kontrol struktur geologi
pembentukan cleat yang terbentuk pada lokal relatif besar. Data korelasi aperture dan
seam 3A merupakan fase endogenic, hal spacing seam 3A bernilai 0,2599 cm lebih
ini dapat dilihat bahwa tegasan rendah bila dibandingkan dengan seam 2A
maksimum mengikuti pola tektonik membuktikan bahwa kontrol struktur geologi
regional Cekungan Sumatera Selatan lokal yang berperan pada lapisan ini relatif
pada orde ketiga (gambar 4). stabil. Grafik aperture serta spacing dominan
4. Lokasi seam 4A orientasi umum yang pada bagian tengah (gambar 8). Kondisi pada
didapatkan dari analisa face cleat adalah seam 4A menunjukan data korelasi aperture
N 355°E dan butt cleat N 335°E dengan serta spacing 0,2626 cm. Grafik aperture
arah tegasan maksimum pada N 345°E serta spacing relatif kearah dari atas sampai
diikuti oleh tegasan minimum N 75°E. bawah sehinga dapat diasumsikan bahwa
Fase pada seam 4A dikategorikan kejadian tektonik lokal yang terjadi pada
sebagai fase eksogenic cleat (gambar 5). seam 4A sudah mulai mengalami
peningkatan (gambar 9).
Selain itu, data analisa cleat yang telah
ditunjukan dengan arah tegasan maksimum
VI. KESIMPULAN
agar dapat mengetahui orientasi cleat yang
terbentuk telah didukung juga dengan data 1. Apabila tegasan maksimum berada di
orientasi cleat berupa spacing dan aperture NW-SE orde pertama tektonik Cekungan
(tabel 1). Secara umum, bidang cleat yang Sumatera Selatan, maka cleat yang
terbentuk pada keempat seam batubara terbentuk termasuk eksogenic cleat.
dominan berarah SW-NE. Aperture yang 2. Tegasan maksimum berada di NE-SW
terbentuk memiliki rentang relatif 0,1 cm-0,2 orde ketiga tektonik Cekungan Sumatera
cm dengan pengisi amber serta mineral pirit. Selatan, maka cleat yang terbentuk
termasuk endogenic cleat.
V. DISKUSI 3. Semakin besar nilai kuantitatif dari data
korelasi aperture serta spacing, maka
Kondisi geologi lokal yang berperan pada
kejadian tektonik pada seam tersebut
saat pembentukan aperture serta spacing di
semakin besar.
masing-masing lapisan batubara akan
4. Kejadian tektonik lokal yang paling besar
tergambarkan pada grafik dengan nilai
terjadi pada seam A2.
kuantitatif yang mendukungnya. Seam A1
5. Kejadian tektonik lokal yang tidak
menghasilkan data korelasi aperture serta
signifikan terjadi pada seam A1 dengan
spacing bernilai 0,2144 cm. Dari nilai
korelasi maka kontrol struktur geologi lokal
214
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-9
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
6 - 7 OKTOBER 2016; GRHA SABHA PRAMANA
data korelasi aperture serta spacing VII. ACKNOWLEDGEMENT
0,2144 cm.
1. Kepada seluruh civitas akademika
6. Grafik aperture serta spacing apabila
Program Studi Teknik Geologi,
dominan pada bagian bawah, maka
Universitas Sriwijaya.
kejadian tektonik lokal terjadi signifikan.
2. Kepada Bapak Steve Nalendra ST., MT.

DAFTAR PUSTAKA
Laubach, S. E., Marret, R. A., Olson, J. E., Scott, A. R., 1998. Characteristics and origins of coal cleat:
A review. International Journal of Coal Geology 35 (1998) 175-207.
Speight, James. G., 2005. Handbook of coal analysis. John Wiley & Sons, Chichester, West Sussex;
Hoboken, NJ, 238 p.
Sudarmono,. T, Suherman., Eza, Benny., 1997. Paleogene basin development in sundaland an itd role
to time petroleum system in Western Indonesia. Petroleum system of SE Asia and Australia
conference, May 1997. IPA 97-OR-38.
Sumaatmadja, Eddy. R., Iskandar., 2011. Penyelidikan batubara bersistem dalam Cekungan Sumatera
Selatan di Daerah Nibung dan Sekitarnya, Batangharileko dan Musi Rawas Provinsi Sumatera
Selatan. Doc player info. 286440.
Pulunggono, A., S, Agus Haryo., Kosuma, Christine. G., 1992. Pre-tertiary and tertiary fault system as
a framework of the South Sumatra Basin: A study of SAR-MAPS. Proceedings Indonesian
Petroleum Associations Twenty First Annual Convention, IPA 92-11. 37.

215
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-9
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
6 - 7 OKTOBER 2016; GRHA SABHA PRAMANA

TABEL
Tabel 1. Perbandingan variasi cleat pada masing-masing seam

GAMBAR

Gambar 1. Lokasi Penelitian dan Pengamatan Cleat

216
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-9
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
6 - 7 OKTOBER 2016; GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 2. Diagram Roset Seam 1A Gambar 3. Diagram Roset Seam 2A

Gambar 3. Diagram Roset Seam 3A Gambar 4. Diagram Roset Seam

217
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-9
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
6 - 7 OKTOBER 2016; GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 5. Grafik Korelasi Aperture dan Spacing Seam 1A

Gambar 6. Grafik Korelasi Aperture dan Spacing Seam 2A

218
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-9
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
6 - 7 OKTOBER 2016; GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 7. Grafik Korelasi Aperture dan Spacing Seam 3A

Gambar 8. Grafik Korelasi Aperture dan Spacing Seam 4A

219

Anda mungkin juga menyukai