Anda di halaman 1dari 13

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10

PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA


13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
BIOSTRATIGRAFI NANNOFOSIL GAMPINGAN PADA SUMUR “SSB” SUB-CEKUNGAN
PALEMBANG SELATAN, CEKUNGAN SUMATERA SELATAN

Angela Prita Ratiwi


Akmaluddin
Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada,
Jl. Grafika No.2 Bulaksumur Yogyakarta
Corresponding author: akmaluddin@ugm.ac.id

ABSTRAK
Pada Sumur “SSB” Sub-Cekungan Palembang Selatan, Cekungan Sumatera Selatan, telah dilakukan
analisis biostratigrafi nanofosil gampingan pada Formasi Lahat, Talang Akar, Gumai, Baturaja, dan
Air Benakat, dengan menggunakan 53 sampel washed cutting dari sumur sedalam 2500m. Sampel
diambil pada interval 10-100m, menyesuaikan pada rentang umur fosil yang ditemukan. Sampel
cutting kemudian di preparasi dengan menggunakan metode quick smear slide. Secara umum
kelimpahan nannofosilnya sedang hingga cukup melimpah, dengan pengawetan yang baik.
Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh 60 spesies nannofosil gampingan dengan jumlah total 1461
spesimen. Data tersebut digunakan sebagai dasar pembagian zona biostratigrafi dan diperoleh 5 zona
biostratigrafi dari yang paling tua hingga paling muda yaitu Zona Sphenolithus ciperoensis (NP 25),
Zona Reticulofenestra bisecta (NN1), Zona Sphenolithus heteromorphus(NN2), Zona Helicosphaera
ampliaperta (NN4), dan Zona Reticulofenestra minuta (NN5). Terdapat satu gap zone (NN3), yang
merupakan penciri sesar. Berdasarkan zonasi tersebut Formasi Lahat berumur NP25-NN1, Formasi
Talang Akar berumur NN1-awal NN2, Formasi Baturaja berumur NN2-NN4, Formasi Gumai berumur
NN4, dan Formasi Air Benakat berumur NN4-NN5 atau lebih muda. Hasil analisis menunjukkan
bahwa umur dari Formasi Lahat-Air Benakat berkisar antara Oligosen akhir-Miosen tengah, hal ini
berbeda dengan beberapa penelitian yang menyebutkan Formasi Lahat-Air Benakat berumur Eosen-
Miosen Tengah.

Kata Kunci :biostratigrafi, nannofosil, Sumatera Selatan

1. Pendahuluan
Cekungan Sumatera Selatan merupakan sebuah cekungan dengan prospek minyak
bumi yang besar. Klett, (2000) dalam Bishop, (2001) menyebutkan bahwa cadangan
minyak di cekungan ini mencapai 4,3 milyar BBOE.
Dalam eksplorasi minyak bumi di Cekungan Sumatera Selatan tentu diperlukan studi
mengenai stratigrafi dari daerah tersebut. Salah satu cabang dari studi stratigrafi adalah
studi biostratigrafi yang berguna dalam penentuan strata batuan berdasarkan kandungan
fosilnya (Sandi Stratigrafi Indonesia, 1996).
Namun, sampai saat ini penelitian mengenai biostratigrafi pada umumnya dan
nannofosil pada khususnya belum banyak dilakukan di cekungan ini.Dilatarbelakangioleh
pentingnya analisis biostratigrafi serta terbatasnya data biostratigrafi dari Formasi Lahat-
Air Benakat, peneliti melakukan penelitian mengenai biostratigrafinannofosil gampingan
di daerah Sub-Cekungan Palembang Selatan, Cekungan Sumatera Selatan, berdasarkan
data drill cutting pada Sumur “SSB” milik PT.Pertamina EP. Pemilihansampel dari bawah
permukaan tersebut dianggap mampu mewakili bagian dari Sub-Cekungan Palembang
Selatan, Cekungan Sumatera Selatan. Selain itu, penggunaan data pemboran bawah
permukaan diharapkan dapat memberikan manfaat dalam eksplorasi minyak dan gas bumi
berupa data umur maupun interpretasi lainnya.

2. Kondisi Geologi Regional

793
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Cekungan Sumatera Selatan dapat dibagi menjadi empat sub cekungan, yakni Sub-
Cekungan Jambi, Palembang Utara, Palembang Tengah dan Palembang Selatan. Daerah
penelitian masuk ke dalam Sub-Cekungan Palembang Selatan, pada Kecamatan Muara
Kelingi, Kabupaten Musi Rawas.
2.1 Struktur Geologi dan Evolusi Cekungan
Sejarah cekungan ini terbagi menjadi tiga megasekuen tektonik menurut Ginger
& Fielding (2005). Megasekuen yang pertama yakni syn-rift megasekuen. Akibat
adanya subduksi pada palung Sumatera bagian Barat, kerak benua pada Sumatera
Selatan mengalami ekstensi pada kala Eosen-Awal Oligosen. Hasil dari ekstensi ini
adalah terbentuknya half-graben yang bentuk dan arahnya tergantung pada
keberagaman batuan dasarnya. Rata-rata, ekstensi pada Sumatera berorientasi Barat-
Timur, sehingga menghasilkan graben Utara-Selatan. Setelah terjadi ekstensi bagian
selatan dari Sumatera mengalami rotasi sekitar 15 searah jarum jam yang
menghasilkan orientasi Pulau Sumatera seperti saat ini.
Megasekuen yang kedua adalah post-rift megasekuen. Terjadinya proses
pemekaran menyebabkan bagian tengah kerak mengalami penipisan dan subsidence
terus berlanjut akibat proses penyeimbangan thermal pada litosfer. Pada megasekuen
ini ketebalan sedimen dapat mencapai hingga 13.000 ft. Besarnya tingkat subsidence
dan tingginya muka air laut relatif menyebabkan terjadinya fase regresi yang panjang
hingga 16 juta tahun yang lalu pada seluruh bagian cekungan. Setelah fase transgresi
yang panjang, terjadilah fase regresi pada 16 hingga 5 juta tahun lang lalu. Fase regresi
ini tidak dipengaruhi oleh event tektonik tertentu.
Megasekuen terakhir adalah Syn-orogenik. Orogenik Barisan terjadi dari 5 juta
tahun lalu hingga saat ini. Lipatan yang memanjang dengan arah barat laut-tenggara
terbentuk pada fase ini. Selain terbentuknya lipatan, penurunan dasar cekungan terus
berlanjut dan terisi oleh sedimen hasil erosi dari Pegunungan Barisan ke arat selatan
dan barat.
2.2 Stratigrafi
Stratigrafi dari Cekungan Sumatera Selatan, menurut Ginger & Fielding (2005),
mulai dari yang paling tua hingga yang paling muda tersusun oleh batuan dasar batuan
metamorf dan batuan beku, Formasi Lahat/Lemat, Formasi Talang akar, Formasi
Baturaja, Formasi Gumai, Formasi Air Benakat, Formasi Muara Enim, Formasi Kasai
dan Endapan alluvium.
Batuan Pre Tersier / Basement
Batuan dasar dari Cekungan Sumatra Selatan terdiri dari kompleks batuan beku
Mesozoik dan batuan metamorf serta karbonat Paleozoik-Mesozoik.
Formasi Lahat/Lemat
Sedimentasi Cekungan Sumatra Selatan diawali pada kala Eosen-Oligosen, yaitu
sedimentasi Formasi Lahat dan Lemat. Formasi Lahat terendapkan secara tidak selaras
yang diawali dengan sedimen terestrial seperti sedimen klastik yang mengandung tuff,
atau klastika dari batuan dasar yang disebut granite wash (disebut juga sebagai Kikim
Member atau Old Lemat). Proses subsidence yang perlahan berlanjut, membentuk
cekungan yang mendalam hingga lingkungannya berubah dari fluvial menjadi
lacustrine. Sedimen hasil pengendapan pada lingkungan transisi ini selanjutnya
disebut Formasi Lemat dengan litologi yang terendapkan adalah batupasir, batulanau,
serpih serta batubara (disebut juga sebagai Benakat Member atau Young Lemat).
Formasi Lahat dan Lemat ini diperkirakan memiliki hubungan disconformity.
Formasi Talang Akar
Selanjutnya pada kala Oligosen- Awal Miosen, Formasi Talang Akar
terendapkan secara tidak selaras diatas Formasi Lemat. Formasi Talang Akar bagian

794
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

bawah terdiri dari batupasir, serpih, batulanau, sisipan batubara, dan bersifat non
karbonat. Pada bagian atas formasi ini mulai mengandung batuan karbonatan.
Formasi Baturaja
Pada Miosen Awal, Formasi Baturaja terendapkan diatas formasi Talang Akar
secara selaras. Formasi ini terdiri dari Serpih, Batupasir, serta Batugamping.
Batugamping pada formasi ini didominasi oleh batugamping klastik, namun terdapat
pula batugamping terumbu pada bagian intrabasinal high.
Formasi Gumai
Setelah Miosen Awal hingga Miosen Tengah, Formasi Gumai terbentuk. Pada
formasi Gumai didominasi oleh serpih laut dalam, batulanau karbonatan, diselingi
batugamping klastik berukuran halus. Pada formasi Gumai sendiri, di bagian atas juga
terdapat batuan berupa batupasir yang tidak karbonatan.
Formasi Air Benakat
Pada Miosen Tengah, Formasi Air Benakat terendapkan secara selaras diatas
Formasi Gumai, dengan litologi berupa batupasir dengan kandungan material vulkanik
serta batulanau.
Formasi Muara Enim
Formasi Muara Enim terendapkan pada kala Miosen Akhir. Batuan yang ada
pada formasi ini hampir sama dengan Formasi Air Benakat namun dibedakan dengan
ketidakhadiran dari serpih laut dalam.
Formasi Kasai
Formasi termuda adalah Formasi Kasai yang terbentuk pada kala Pliosen.
Formasi kasai ini terdiri dari tuff, batulempung, serta batupasir vulkaniklastik.

3. Metode Penelitian
Pengukuran stratigrafi pada sumur dilakukan dengan deskripsi washed cutting pada
Sumur “SSB” dengan kedalaman 2500mMD milik PT.Pertamina EPserta
mempertimbangkan data log pada sumur .
Selanjutnya untuk sampel paleontologi, 53 sampel diambil di sepanjang jalur
pengukuran . Sampel diambil pada litologi yang bersifat karbonatan. Sampel tersebut
dipreparasi menggunakan metode quick smear slide dan diamati menggunakan mikroskop
polarisasi perbesaran 1000x melalui nikol sejajar dan nikol bersilang. Penghitungan
kelimpahan spesies nanofosil gampingan dilakukan dengan metode kuantitatif pada 100-
200 medan pandang setiap smear slide.
Biostratigrafi nanofosil gampingan pada sumur “SSB”, didasarkan pada kemunculan
awal / firstappearance (FA) dan atau kemunculan akhir / lastappearance (LA) spesies
nannofosil gampingan yang diyakini sebagai fosil indeks atau fosil lain yang mewakili.
Zona yang dihasilkan disebandingkan dengan zonasi nanofosil Standar Martini (1970),
Okada & Bukry (1980) dan Backman (2012).

4. Hasil dan Pembahasan


4.1 Hasil
Berdasarkan hasil deskripsi washed cutting dan data log, litologi pada Sumur
“SSB” dapat dibagi menjadi 9 satuan (Gambar 1) sebagai berikut :
Basement
Basement atau batuan dasar tersusun oleh batuan metamorf berupa filit yang
berwarna hitam, memiliki foliasi phylitic.
Satuan tuff sisipan batupasir & serpih (A)
Satuan ini mempunyai tebal 524 m, dijumpai pada kedalaman 2212 m – 1688 m.
Litologi penyusun satuan ini antara lain tuff, lapili tuff, batupasir, serpih, serta sisipan

795
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

batubara. Pada bagian bawah satuan ini terdapat sisipan batubara serta serpih, di
bagian tengah didominasi oleh tuff dan lapili tuff serta sisipan batupasir vulkaniklastik,
dan pada bagian atas didominasi oleh batupasir dan serpih.
Satuan serpih sisipan batupasir (B)
Satuan ini mempunyai tebal 216 m, dijumpai pada kedalaman 1688 m – 1472 m.
Litologi penyusun satuan ini antara lain serpih, batulanau, batupasir, batulempung dan
batugamping. Pada bagian bawah satuan ini didominasi oleh serpih dengan sisipan
batupasir, di bagian tengah mulai didominasi oleh batulanau karbonatan, serpih
karbonatan serta sisipan batupasir, sedangkan di bagian atas mulai didominasi serpih
karbonatan dengan sisipan batugamping.
Satuan perselingan serpih & batupasir (C)
Satuan ini mempunyai tebal 210 m, dijumpai pada kedalaman 1472m – 1262m.
Litologi penyusun satuan ini antara lain serpih, batulanau, batupasir, dan batugamping.
Pada bagian bawah hingga atas satuan ini didominasi oleh perselingan serpih dengan
batupasir dan pada beberapa bagian terdapat sisipan batugamping, di bagian atas
terdapat sisipan batulanau.
Satuan serpih sisipan batulanau & batugamping (D)
Satuan ini mempunyai tebal 190 m, dijumpai pada kedalaman 1262m – 1072m.
Litologi penyusun satuan ini antara lain serpih, batulanau, batupasir, batubara dan
batugamping. Pada bagian bawah hingga atas satuan ini didominasi oleh serpih dengan
sisipan batulanau dan batupasir, sedangkan pada bagian tengah hingga atas didominasi
oleh serpih dengan sisipan batulanau dan batugamping. Pada bagian atas terdapat pula
sisipan batubara.
Satuan perselingan serpih & batulanau (E)
Satuan ini mempunyai tebal 422 m, dijumpai pada kedalaman 1072m – 650m.
Litologi penyusun satuan ini antara lain serpih, batulanau, batupasir, dan batugamping.
Pada bagian bawah hingga atas satuan ini didominasi oleh perselingan serpih dan
batulanau dengan sisipan batugamping dan sedikit batupasir. Komposisi batugamping
semakin intens pada bagian atas dari satuan.

Satuan serpih sisipan batupasir & batugamping (F)


Satuan ini mempunyai tebal 550 m, dijumpai pada kedalaman 650m – 100m.
Litologi penyusun satuan ini antara lain serpih, batulanau, batupasir, batubara dan
batugamping. Pada bagian bawah satuan ini sisipan batupasir batulanau dan
batugamping mendominasi, sementara pada bagian tengah hingga atas didominasi oleh
serpih dengan sedikit sisipan batulanau dan batugamping.

Satuan batulempung (G)


Satuan ini mempunyai tebal 40 m, dijumpai pada kedalaman 100m – 60m.
Litologi penyusun satuan ini antara lain batulempung, serpih, dan batubara. Pada
bagian bawah satuan didominasi oleh batulempung, sementara pada bagian atas
terdapat sisipan serpih dan batubara.
Satuan batupasir sisipan batubara (H)
Satuan ini mempunyai tebal 35 m, dijumpai pada kedalaman 60 m – 25 m.
Litologi penyusun satuan ini antara lain batupasir dan batubara.
Selanjutnya, dari 53 sampel yang dipreparasi, ditemukan 60 spesies nannofosil
gampingan, dengan total kelimpahan sebanyak 1461 spesimen (Tabel 2). Dari tabulasi
data tersebut diperoleh 4 spesies yang digunakan sebagai biodatum yaitu Sphenolithus
ciperoensis, Reticulofenestra bisecta, Sphenolithus heteromorphus, dan Helicosphaera
ampliapertha (Gambar 2). Berdasarkan biodatum tersebut diperoleh 5 zona

796
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

biostratigrafi yakni, Zona Sphenolithus ciperoensis, Zona Reticulofenestra bisecta,


Zona Discoaster druggii, Zona Helicosphaera ampliapertha, dan Zona
Reticulofenestra minuta. Uraian dari masing-masing zona adalah sebagai berikut :
Zona Sphenolithus ciperoensis / NP 25
Zona ini merupakan zona kisaran sebagaian dari Sphenolithus ciperoensis. Batas
bawah dari zona ini tidak diketahui, sedangkan batas atas dari zona ini merupakan
akhir kemunculan dari species Sphenolithus ciperoensis. Ketebalan lapisan batuan
pada zona ini adalah 256 m. Zona ini berada pada kedalaman 1926 – 2182 mMD.
Zona Sphenolithus ciperoensis ini sebanding dengan Zona Sphenolithus
ciperoensis / NP 25 (Martini, 1971). Zona ini juga sebanding dengan Zona
Cyclycargolithus abisectus / CN 1a (Okada dan Bukry, 1980).
Fosil penyerta yang dijumpai pada zona ini antara lain Coccolithus pelagicus,
Cyclicargolithus floridanus, Ericsonia cava, Reticulofenestra minuta, dll. Pada zona
ini dijumpai fosil rombakan antara lain, Reticulofenestra dictyoda dan Sphenolithus
compactus, dll
Zona Reticulofenestra bisecta / NN1
Zona ini merupakan zona selang dengan batas bawah dari zona merupakan akhir
kemunculan/last appearance (LA) dari Sphenolithus ciperoensis dan batas atas dari
zona merupakan LA dari Reticulofenestra bisecta. Zona ini berada pada kedalaman
1106 – 1926 mMD.
Zona ini sebanding dengan Zona Triquetrorhabdulus Carinatus / NN1
(Martini,1971). Zona ini juga sebanding dengan Zona Discoaster deflandrei / CN 1b
(Okada dan Bukry, 1980) dan Zona Sphenolithus conicus / CNM 1 (Backman et al.,
2012).
Fosil penyerta yang dijumpai pada zona ini antara lain Coccolithus orangensis,
Coccolithus pelagicus, Cyclicargolithus floridanus, Ericsonia cava, Reticulofenestra
minuta, dll. Pada zona ini dijumpai juga fosil rombakan antara lain, Reticulofenestra
haqii, Reticulofenestra dictyoda.
Zona Discoaster druggii / NN2
Zona ini merupakan zona selang dengan batas bawah dari zona ini merupakan
akhir kemunculan/last appearance (LA) dari Reticulofenestra bisecta dan batas atas
zona merupakan awal kemunculan/first appearance (FA) dari Sphenolithus
heteromorphus. Dinamakan zona Discoaster druggi karena spesies tersebut dianggap
lebih mewakili bagian dari zona. Ketebalan zona ini adalah 260 m. Zona ini berada
pada kedalaman 832 -1092 mMD.
Zona ini sebanding dengan Zona Discoaster druggii / NN2 (Martini,1971). Zona
ini juga sebanding dengan Zona Discoaster druggii / CN 1c (Okada dan Bukry, 1980)
dan Zona Sphenolithus disbelemnos / CNM 2 sampai dengan Zona Helicosphaera
carteri / CNM 4 (Backman et al., 2012).
Fosil penyerta pada zona ini antara lain Coccolithus pelagicu, Discoaster
druggii, Reticulofenestra minuta, dll. Pada zona ini ditemukan juga fosil rombakan
antara lain, Cyclicargolithus luminis, Discoaster kugleri, dll.
Zona Helicosphaera ampliapertha / NN4
Zona ini merupakan zona selang dengan batas bawah zona merupakan awal
kemunculan/first appearance (FA) dari Sphenolithus heteromorphus dan batas atas
zona merupakan LA dari Helicosphaera ampliapertha. Ketebalan dari zona ini adalah
610 m. Zona ini berada pada kedalaman 130-740 mMD.
Zona ini sebanding dengan Zona Sphenolithus belemnos / NN3 (Martini,1971).
Zona ini juga sebanding dengan Zona Sphenolithus belemnos / CN 2 (Okada dan
Bukry, 1980) dan Zona Sphenolithus belemnos / CNM 5 (Backman et al.,2012).

797
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Fosil penyerta pada zona ini antara lain Coccolithus pelagicus, Cyclicargolithus
floridanus, Helicosphaera ampliaperta, Reticulofenestra haqqii, Reticulofenestra
minuta, Sphenolithus heteromorphus, dll. Pada zona ini juga ditemukan fosil
rombakan antara lain, Cyclicargolithus luminis, Sphenolithus delphix, dll.
Zona Reticulofenestra minuta / NN5
Zona ini merupakan zona kumpulan dengan keberadaan species Reticulofenestra
minuta. Batas bawah dari zona merupakan akhir kemunculan/last appearance (LA)
dari Helicosphaera ampliaperta sedangkan batas atas dari zona ini tidak ditemukan.
Zona ini berada pada kedalaman 50-130 mMD.
Zona ini sebanding dengan Zona Sphenolithus heteromorphus / NN5
(Martini,1971). Zona ini juga sebanding dengan Zona Sphenolithus heteromorphus /
CN 4 (Okada dan Bukry, 1980) dan Zona Discoaster signus / CNM7 (Backman et
al.,2012)
Fosil penyerta pada zona ini antara lain Reticulofenestra minuta, dan Ericsonia
cava. Pada zona ini juga ditemukan fosil rombakan antara lain Helicosphaera
ampliapertha.

4.2 Pembahasan
4.2.1 Biodatum
Akhir kemunculan (LA) Sphenolithus ciperoensis dipilih sebagai biodatum
pembatas antara Zona NP 25 dan NN 1 karena spesies tersebut merupakan fosil
indeks. Hal tersebut didukung pula oleh hasil penelitian dari Fornaciari & Rio
(1996) yang menyatakan bahwa tingkat kepercayaan LA Sphenolithus
ciperoensis sebagai biodatum untuk batas Oligosen dan Miosen adalah bagus
(good). Peneliti lain seperti Okada & Bukry (1980), Fornaciari & Rio (1996),
dan Shafik dkk. (1998), Bown & Jones (2012) juga memilih akhir kemunculan
(LA) Sphenolithus ciperoensis sebagai biodatum untuk waktu tersebut.
Akhir kemunculan (LA) Reticulofenestra bisecta dipilih sebagai biodatum
pembatas antara Zona NN1 dan NN2 karena spesies tersebut memiliki kisaran
hidup pada NP 17 – NN 1, sehingga akhir kemunculannya dianggap sama
dengan berakhirnya umur NN 1. Pada sampel ditemui pula species indeks yaitu
Discoaster druggii yang biasa digunakan oleh Martini (1970) dan Okada &
Bukry (1980) sebagai biodatum untuk waktu tersebut. Akan tetapi hasil
penelitian yang dilakukan oleh Fornaciari & Rio (1996) menyatakan bahwa
tingkat keyakinan awal kemunculan spesies ini sebagai biodatum adalah buruk
(poor). Hal tersebut dikarenakan spesies tersebut pada umumnya merupakan
spesies yang jarang dijumpai pada campuran fosil nannofosil gampingan
(Fornaciari & Rio, 1996). Oleh karena itu, penulis memilih tidak menggunakan
Discoaster druggii ini sebagai biodatum. Selain itu pemilihan akhir kemunculan
Reticulofenestra bisecta sebagai biodatum sesuai dengan data biostratigrafi
foraminifera pada sumur yang sama.
Awal kemunculan (FA) Spenolithus heteromorphus dipilih sebagai biodatum
pembatas antara Zona NP NN 2 dan NN 4 karena spesies tersebut merupakan
spesies indeks. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Fornaciari & Rio
(1996) dinyatakan bahwa tingkat keyakinan awal kemunculan spesies ini sebagai
biodatum adalah baik, namun dalam penelitiannya digunakan sebagai awal dari
puncak kelimpahan. Selain itu peneliti lain seperti Müller (1978), Okada &
Bukry (1980), Theodoridis (1984), Fornaciari & Rio (1996) juga memilih awal
kemunculan Awal kemunculan (FA) Spenolithus heteromorphus sebagai
biodatum untuk umur tersebut.

798
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Akhir kemunculan (LA) Helicosphaera ampliaperta dipilih sebagai biodatum


pembatas antara Zona NP NN 4 dan NN 5 karena spesies tersebut merupakan
spesies indeks. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Fornaciari & Rio
(1996) dinyatakan bahwa tingkat keyakinan akhir kemunculan spesies ini
sebagai biodatum adalah baik, namun dalam penelitiannya digunakan sebagai
akhir dari puncak kelimpahan. Selain itu peneliti lain seperti Müller (1978),
Okada & Bukry (1980), Fornaciari & Rio (1996), Backman (2012), juga
memilih akhir kemunculan (LA) Helicosphaera ampliapertha sebagai biodatum
untuk umur tersebut.
Pada sumur ini juga terlihat adanya struktur sesar turun, yang ditunjukkan
dengan adanya loncatan umur dari NN2 ke NN4 , terdapat gap yaitu pada NN3,
diperkirakan terdapat sesar yang melalui sumur dengan offside yang cukup besar

4.2.2 Korelasi
Dalam penelitian ini diperoleh bahwa umur dari Formasi Lahat-Air Benakat
adalah Oligosen Akhir – Miosen Tengah (NP 25 – NN 5). Namun, pada
beberapa penelitian terdahulu, memperlihatkan hasil yang berbeda dengan
penelitian (Gambar 3). Ginger & Fielding pada tahun 2005 melakukan penelitian
dan menyatakan bahwa umur dari Formasi Lahat tidak dapat diidentifikasi
namun diperkirakan Eosen-Oligosen, kemudian umur Formasi Talang Akar-Air
Benakat ini berkisar antara Oligosen Akhir (NP 25) – Miosen Tengah (NN 6).
Selanjutnya, Marpaung et al. pada tahun 2007 melakukan studi biostratigrafi
kuantitatif pada Sub-Cekungan Jambi, Cekungan Sumatera Selatan, yang
lokasinya berada di Barat Laut dari sumur. Dalam penelitiannya, Marpaung et al.
mengungkapkan bahwa umur dari Formasi Lahat-Air Benakat berkisar antara
Eosen Tengah – awal Miosen Akhir (NP 16 – NN 9)
Kemudian LEMIGAS pada tahun 2011 melakukan analisis biostratigrafi pada
Sub-Cekungan Palembang Selatan, dalam penelitiannya dihasilkan kisaran umur
Formasi Lahat-Air Benakat adalah Eosen Akhir -Miosen Tengah (NP 18 - NN 5).

Perbedaan hasil pada penelitian disebabkan oleh berbagai macam faktor,


antara lain :
1.Adanya perbedaan lokasi penelitian
Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya mengambil lokasi yang berbeda
dengan Sumur SSB Sub-Cekungan Palembang Selatan. Perbedaan lokasi
penelitian tentu akan menyebabkan perbedaan dalam korelasi. Sebagai contoh
apabila pengambilan sampel dilakukan pada geometri cekungan yang berbeda
atau pada bagian cekungan yang berbeda.
2.Adanya perbedaan interval sampling
Perbedaan interval dalam sampling tentu akan menghasilkan posisi biodatum
yang berbeda, sehingga rentang umurnya juga akan berbeda.

5. Kesimpulan
Pada Sumur “SSB” diperoleh 5 zona biostratigrafi dari yang paling tua hingga paling
muda yaitu Zona Sphenolithus ciperoensis (NP 25), Zona Reticulofenestra bisecta (NN1),
Zona Sphenolithus heteromorphus(NN2), Zona Helicosphaera ampliaperta (NN4), dan
Zona Reticulofenestra minuta (NN5). Terdapat satu gap zone (NN3), yang merupakan
penanda sesar. Berdasarkan zonasi tersebut Formasi Lahat berumur NP25-NN1 (25,20-
24,26 Ma), Formasi Talang Akar berumur NN1-awal NN2 (24,26-23,86 Ma), Formasi

799
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Baturaja berumur NN2-NN4 (23,86-17,58 Ma), Formasi Gumai berumur NN4-awal NN5
(17,58-14,86 Ma), dan Formasi Air Benakat berumur NN5 (14,86-14,72Ma) atau lebih
muda.

Acknowledgement
Penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada PT. Pertamina EP yang telah memberikan
ijin untuk melakukan penelitian.

Daftar Pustaka
Amier, Rubianto I. 1991. Coals, Source Rock and Hydrocarbon in the South Palembang Sub-Basin,
South Sumatra, Indonesia. Thesis Department of Geology, University of Wollongong.
Armstrong, H.A. danBrasier, M.D. 2005.Microfossils 2nd Edition.Blackwell Publishing, Malden,
Oxford, Carlton.
Backman, J., Raffi, I., Rio, D., Fornaciari, E., Palike, H. 2012. Biozonation and Biochronology of
Miocene Through Pleistocene Calcareous Nannofossilsfrom low and middle latitudes Newsletters
on Stratigraphy, Vol. 45/3, Hal. 221–244.Stuutgart :GebrüderBorntraeger Germany
Bemmelen, R.W. 1949. The Geology of Indonesia Vol I A. Amsterdam :Government Printing Office.
Bishop, M.G. 2011.South sumatra Basin Province, Indonesia : The Lahat/Talangakar-Cenozoic Total
Petroleum System. USA : USGS
Bown, P.R., Jones, T.D. 2012. Calcareous nannofossils from the Paleogene equatorial Pacific (IODP
Expedition 320 Sites U1331-1334). JournalNannoplankton Research 32 (2).
Bown, P.R. 2005. Palaeogene Calcareous Nannfossils from Kilwa and Indi Areas of Coastal Tanzania
(Tanzania Drilling Project 2003 – 4). JournalNannoplankton Research 27 (1).
Bukry, D. 1973. Low latitude coccolithbiostratigraphic Zonation.Edgar N.T. et al., Init.Rep. of the
DSDP, Vol. 15.Washington D.C.
De Coster, GL. 1974. The Geology of Central and South Sumatra Basin Proccedings, Indonesia
Petroleum Association 3 rdAnnual Convention and Exhibition.Jakarta
DivisiEksplorasi Region Sumatra PT. PertaminaEP .Geological Well Report , Sumatra Selatan.(tidak
dipublikasikan)
Fornaciari, E., Backman, J., dan Rio, D. 1996. Latest Oligocene to Early MiddleMiocene Quantitative
Calcareous Nannofossil Biostratigraphy in theMediterranean Region, Micropaleontology Vol. 42.
No. 1.
Fornaciari, E. dan Rio, D. 1993. Quantitative Distribution patterns of SelectedLower to Middle
Miocene Calcareous Nannofosil from the Ontong JavaPlateau. Proceedings of the Ocean Drilling
Program, Scientific Results,Vol. 345.
Fornaciari, E., Raffi, I., Rio, D., Villa, G., Backman, J., dan Olafsson, G. 1990.Quantitative
Distribution Patterns of Oligocene and Miocene CalcareousNannofossils from the Western
Equatorial Indian Oean.
Ginger, D., dan Fielding, K. 2005.The Petroleum Systems and Future Potential of The South Sumatra
Basin. Proccedings, Indonesia Petroleum Association 30 thAnnual Convention and Exhibition.
Jakarta
Hidayat, Feri. 2010. GeologidanEndapan Batubara di Daerah Kecamatan Semidang Adji dan
Pengadonan dan Sekitarnya, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan.
Bandung :Tidakdipublikasikan
Jones, R. W. 1959. Applied Palaeontology.Cambridge :Cambridge University Press.
Kapid, Rubiyanto. 2003. NannofosilGampingan :PengenalandanAplikasiBiostratigrafi. Bandung:
ITB,.

800
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
Komisi Sandi Stratigrafi Indonesia.1996. Sandi Stratigrafi Indonesia.IkatanAhliGeologi Indonesia,
Jakarta.
Martini, E. 1970.Standard Tertiary and Quartenary Calcareous Nannoplankton Zonation,
EdizioniTecnoscienza, Rome, Italy.
Marpaung, L. P., Maryunani,K. A., Suta,I N., Irawan,C. 2007. Quantitative Biostratigraphy of Jabung
Block, South Sumatra Basin : A Probabilistic Approach for Biozonation and Correlation.
Proccedings, Indonesia Petroleum Association 31 stAnnual Convention and Exhibition.Jakarta
Muller, C. 1978. Neogene calcareous nannofossils from the Mediterranean. Leg 42A of the Deep Sea
Drilling Project. IRDSDP, 42
Okada, H. danBukry, D. 1980.Supplementary Modification and Introduction of Code Numbers to the
Low-Latitude Coccolith Biostratigraphic Zonation, Elsevier Scientific Publishing Company, USA.
Pusat penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS”. 2011.
Biostratigraphic Analyses of TheGinaya Well South Sumatra Basin Interval 130M-2202M. Jakarta
(Tidakdipublikasikan)
Romein, AJT. 1979. Utrecht Micropaleontological Bulletins 22nd “Lineages in Early Paleongene
Calcareous Nannoplankton” . Belanda: Loonzetterij Abe, Hoogeveen
Sato , T., Rendy, Syavitri, D., Widianto ,E., Priambodo, D., Burhannudinnur, M. , Prasetyo,A. 2016.
Unconformities detected by high-resolution Calcareous Nannofossil biostratigraphy and its effect
on Petroleum System inNortheast Java Basin. Proceedings Geosea XIV and 45th IAGI annual
Convention 2016 (GIC 2016) Bandung.
Setyaningsih, C.A., Lelono, E.B., Firdaus.I. 2015. Palynological Study of the Jambi Sub-Basin, South
Sumatra.Scientific Contribiution Oil & Gas Vol.38. Jakarta : LEMIGAS
Shafik, S., Watkins, D.K., dan Shin, I.C. 1998. Calcareous Nannofossil Paleogene Biostratigraphy,
Cote D’ Ivoire – Ghana Marginal Ridge, Eastern Equatorial Atlantic. Proceedings of the Ocean
Drilling Program, ScientificResults, Vol. 159.
Theodoridis, S. 1984. Calcareous nannofossil biozonation of the Miocene and revision of the
He1icoliths and Discoasters. Utrecht Micropaleont. Bull. , 32

801
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 1. Kolom deskripsi litologi dan lokasi sampel pada Sumur “SSB” Sub-Cekungan
Palembang Selatan Cekungan Sumatera Selatan

802
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 2. Kisaran umur biodatum dan biozonasi pada Sumur “SSB” Sub-Cekungan Palembang
Selatan Cekungan Sumatera Selatan

803
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 3. Korelasi hasil penelitian dengan penelitian terdahulu

804
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
Tabel 2. Distribusi dan biozonasi nanofosil gampingan pada Sumur “SSB” Sub-Cekungan Palembang Selatan Cekungan Sumatera Selatan

805

Anda mungkin juga menyukai