PENDAHULUAN
kondisi
bawah
permukaan,
menentukan
lapisan
yang
ini
dimulai dengan
menganalisis
data log
sumur
untuk
Tujuan
Tujuan dari penulisan seminar ini adalah menghitung nilai parameter
petrofisika seperti volume serpih, porositas, saturasi air, resistivitas air formasi,
dan saturasi hidrokarbon.
BAB II
GEOLOGI REGIONAL CEKUNGAN SUMATRA SELATAN
2.1 Kondisi Geologi Regional Cekungan Sumatera Selatan
Cekungan Sumatera Selatan merupakan cekungan busur belakang (Back Arc
Basin) yang terbentuk akibat interaksi antara lempeng Hindia-Australia dengan
lempeng Mikro Sunda. Pulonggono (1984) membagi cekungan ini menjadi 4
(empat) sub cekungan yaitu:
Cekungan ini terdiri dari sedimen Tersier yang terletak tidak selaras (unconformity) di
atas permukaan batuan metamorf dan batuan beku Pra-Tersier.
Gambar 2.1 Letak Geografis Cekungan Sumatera Selatan (PERTAMINA BPPKA, 1997)
Akar
yang
dintepretasikan sebagai
Umur dari Formasi Talang Akar ini adalah Oligosen Atas-Miosen Bawah
dan kemungkinan meliputi N3 (P22), N7 dan bagian N5 berdasarkan zona
foraminifera plangtonik yang ada pada sumur pengeboran pada formasi ini
berhubungan dengan delta plain dan daerah shelf.
5. Formasi Baturaja
Anggota ini dikenal dengan Formasi Baturaja. Diendapkan pada bagian
paparan laut bagian tengah (intermediate shelf) dari Cekungan Sumatera
Selatan, di atas dan di sekitar platform dan tinggian. Kontak pada bagian bawah
dengan Formasi Talang Akar atau dengan batuan Pra Tersier. Komposisi dari
Formasi Baturaja ini terdiri dari Batugamping Bank (Bank Limestone) atau
platform dan reefal. Ketebalan bagian bawah dari formasi ini bervariasi, namun
rata-ratta 200-250 kaki (sekitar 60-75 m). Singkapan dari Formasi Baturaja di
Pegunungan Garba tebalnya sekitar 1700 kaki (sekitar 520 m). Formasi ini
sangat fossiliferous dan dari analisis umur anggota ini berumur Miosen. Fauna
yang ada pada Formasi Baturaja umurnya N6-N7.
6. Formasi Telisa (Gumai)
Formasi Gumai tersebar secara luas dan terjadi pada zaman Tersier, formasi
ini terendapkan selama fase transgresif laut maksimum, (maximum marine
transgressive) ke dalam 2 cekungan. Batuan yang ada di formasi ini terdiri dari
napal yang mempunyai karakteristik fossiliferous, banyak mengandung foram
plankton. Sisipan batugamping dijumpai pada bagian bawah.
Formasi Gumai beda fasies dengan Formasi Talang Akar dan sebagian
berada di atas Formasi Baturaja. Ketebalan dari formasi ini bervariasi
tergantung pada posisi dari cekungan, namun variasi ketebalan untuk Formasi
Gumai ini berkisar dari 6000 9000 kaki (1800-2700 m).
Penentuan umur Formasi Gumai dapat ditentukan dari dating dengan
menggunakan foraminifera plangtonik. Pemeriksaan mikropaleontologi
7
7.
Orbulina
Universa
dOrbigny,
Orbulina
Suturalis
Bronimann,
diendapkan pada lingkungan laut dangkal sampai brackist (pada bagian dasar),
delta plain dan lingkungan non marine.
9. Formasi Upper Palembang (Kasai)
Formasi ini merupakan formasi yang paling muda di Cekungan Sumatera
Selatan. Formasi ini diendapkan selama orogenesa pada Plio-Pleistosen dan
dihasilkan dari proses erosi Pegunungan Barisan dan Tigapuluh. Komposisi dari
formasi ini terdiri dari batupasir tuffan, lempung, dan kerakal dan lapisan tipis
batubara. Umur dari formasi ini tidak dapat dipastikan, tetapi diduga PlioPleistosen. Lingkungan pengendapannya darat.
10
2. Batuan Reservoir
Lapisan batupasir yang terdapat dalam Formasi Lahat, Talang Akar, Gumai,
Air Benakat, dan Muara Enim dapat menjadi batuan reservoir, selain itu
batugamping Formasi Baturaja juga dapat berlaku sebagai batuan reservoir. Pada
Subcekungan Jambi, produksi terbesar terdapat pada batuan reservoir Formasi Air
Benakat. Batupasir pada bagian dasar mempunyai porositas 27%, batupasir delta
porositasnya 20% dan batupasir laut dangkal mempunyai porositas 10%. Batupasir
konglomeratan dari Formasi Talang Akar merupakan reservoir kedua yang
berproduksi minyak dengan porositas 30% dan permeabilitas 12 180 mD.
Batugamping Formasi Baturaja berproduksi minyak hanya dibagian Tenggara
Subcekungan Jambi dengan porositas 19%.
Pada Subcekungan Palembang produksi minyak terbesar terdapat pada batuan
reservoir Formasi Talang Akar dan Formasi Baturaja. Porositas lapisan batupasir
berkisar 15 28%. Reservoir dari Formasi Air Benakat dan Muara Enim
merupakan penghasil minyak kedua setelah kedua formasi tersebut diatas.
Batugamping Formasi Baturaja menghasilkan kondensat dan gas ditepi sebelah
Barat dan Timur dari Subcekungan Palembang.
3. Batuan Tudung
Batuan tudung pada umumnya merupakan lapisan batulempung yang tebal
dari Formasi Gumai, Air Benakat dan Muara Enim. Disamping itu terjadinya
perubahan fasies kearah lateral dai Formasi Talang Akar dan Baturaja.
4. Perangkap dan Migrasi
Pada umumnya perangkap hidrokarbon di Cekungan Sumatera Selatan
merupakan perangkap struktur antiklinal dari suatu antiklinorium yang terbentuk
pada Pleo-Pleistosen. Selain itu terdapat drape batuan sedimen terhadap batuan
dasar disuatu tinggian. Struktur sesar, baik normal maupun geser, dapat bertindak
sebagai perangkap untuk minyak. Perangkap stratigrafi terjadi pada batugamping
11
terumbu, bentuk membaji, bentuk kipas, dan lensa dari batupasir karena perubahan
fasies. Migrasi umumnya terjadi kearah up dip serta melalui sesar-sesar yang
ada.
Gambar 2.3 Hydrocarbon Play Cekungan Sumatera Selatan (PERTAMINA BPPKA, 1997)
12
Gambar 2.4 Kerangka Tektonik Paleogene Cekungan Sumatera Selatan (Pulonggono, 1984)
13
dkk (1986)
14
Fase transgesi terjadi di Akhir Oligosen atau Awal Miosen Formasi ini
tersesarkan dan terlipat berulang kali membentuk jebakan struktur untuk
hidrokarbon.
15
Gambar 2.9 Model Deformasi Sesar Mendatar di Sumatra (PERTAMINA BPPKA, 1997)
16
BAB III
TEORI DASAR
3.1 Well Logging
Menurut Rider (2002) well logging adalah perekaman secara terus menerus dari
parameter geofisika sepanjang suatu sumur. Angka dari pengukuran tadi
digambarkan dalam bentuk kurva terhadap ke dalaman di sumur. Misalnya, log
resistivitas adalah plot resistivitas formasi dari bawah sampai atas sumur secara
terus menerus terhadap ke dalam sumur. Berdasarkan waktu pelaksanaanya,
Schlumberger (1991) membagi well logging menjadi 2 kelompok yaitu:
a. Drilling operation log meliputi mud logs, MWD (measurement while drilling),
dan LWD (logging while drilling).
b. After drilling/wireline logs meliputi electrical log, acoustic log, radioactive log,
electromagnetic logs, dll.
3.2 Tujuan Well Logging
Well logging adalah pengukuran respon alat terhadap ke dalaman akibat dari
sifat fisik batuan dan fluida yang diukur. Oleh karena itu, well logging digunakan
untuk macam-macam tujuan terutama yaitu:
a. Keberadaan reservoir
b. Litologi penyusun suatu sumur dan litologi reservoir
c. Ketebalan reservoir
d. Sifat fisik reservoir (porositas, Permeabilitas, saturasi air, dan saturasi
hidrokarbon)
e. Distribusi lateral dan vertikal reservoir
f. Jenis fluida yang ada di dalam reservoir
g. Saturasi fluida yang mengisinya
17
18
Pada saat operasi logging, secara teknis sumur seluruhnya diserahkan kepada
perusahaan logging maka, operasi logging hendaknya dilakukan sesingkat
mungkin walaupun kondisi di lapangan seringkali tidak menguntungkan.
Khusus pada operasi logging tahap akhir di ke dalaman total, banyak keputusan
penting akan dibuat atas hasil log yang sering kali menjadi penentu nasib suatu
sumur. Maka, setelah serangkaian proses perekaman data ini, sejumlah interpretasi
harus dilakukan di lapangan.
Di daratan, kabin atau truk logging diatur segaris dengan kepala sumur, kabel
logging dimasukan melalui dua buah roda-katrol. Roda katrol atas diikat pada
sebuah alat pengukur tegangan kabel. Di dalam kabin logging terdapat alat
petunjuk beban yang menunjukkan tegangan kabel atau berat total alat. Rodakatrol bawah diikat pada struktur menara bor dekat dengan mulut sumur. Setelah
alat-alat logging disambungkan menjadi satu diadakan serangkaian pemeriksaan
ulang dan kaliberasi awal alat logging, kemudian rangkaian alat logging
diturunkan ke dasar sumur. Di dasar sumur pemeriksaan dan kaliberasi alat sekali
lagi dilakukan supaya yakin bahwa alat berfungsi dengan baik dan tidak
terpengaruh oleh suhu tinggi atau lumpur. Alat logging kemudian ditarik dengan
kecepatan tetap, maka dimulailah proses perekaman data. Untuk mengumpulkan
semua data yang diperlukan, seringkali diadakan perekaman dengan kombinasi
alat logging yang berbeda.
Untuk operasi di lepas pantai, kabin logging ditinggalkan di kapal atau
anjungan lepas pantai. Biasanya kabin unit dipasang pada suatu poros dan rel untuk
memungkinkannya bergerak kekiri dan kekanan sehingga arah kabin selalu lurus
terhadap kepala sumur. Hal ini juga memudahkan penggulungan kabel logging
apabila letak kabin terlalu dekat dengan kepala sumur (Harsono, 1997).
Kecepatan pengukuran diatur konstan antara 1800 s/d 1900 kaki/jam,
tergantung pada jenis alat logging yang dipakai.
2. LDL-CNL-NGL
3. DLL-MSFL-GR
Untuk lebih menghemat waktu, dapat dilakukan kombinasi alat yang lebih
banyak lagi. Kombinasi alat yang umum adalah Triple-combo. Kombinasi ini terdiri
alat logging gamma ray, porositas densitas-neutron, dan resistivitas.
3.5 Keuntungan dan Batasan Well Logging
Keuntungan dari metode well logging antara lain sebagai berikut:
a. Pengukuran well logging sangat rinci dan menerus
b. Penggunaannya tergolong mudah dan cepat
c. Waktu yang dibutuhkan cukup singkat
d. Resolusinya lebih baik daripada data seismik
e. Tergolong murah sekitar 5% dari total biaya eksplorasi (Harsono, 1997).
Sedangkan metode well logging mempunyai batasan sebagai berikut:
a. Pengukuranya tergolong tidak langsung
b. Keterbatasan kemampuan alat
c. Dipengaruhi kondisi sumur seperti kondisi lubang bor yang buruk dan lumpur
pengeboran yang digunakan
3.6
20
organisme terumbu itu sendiri. Selain batuan sedimen, batuan kristalin juga dapat
berpotensi menjadi reservoir jika terdapat rekahan yang cukup di batuan tersebut.
Batuan kristalin yang menjadi reservoir ini disbeut dengan fractured reservoir
(reservoir rekahan).
Menurut Asquith dan Kyrgowski (2006) sifat fisik batuan yang
mempengaruhi respon kurva log yaitu porositas, litologi atau mineralogi,
permeabilitas, resistivitas, dan kejenuhan. Resistivitas atau Resistivitas
berkorelasi dengan fluida yang terkandung dalam suatu formasi batuan.
1. Porositas
Menurut Asquith dan Krygowski (2006) porositas didefinisikan sebagai rasio
pori-pori terhadap volume total batuan. Dihitung dengan angka fraksi atau
persentase dan biasanya ditulis dengan huruf Yunani phi ().
volume pori-pori
Porositas () =
volume total batuan
. (3.1)
. (3.2)
3. Kejenuhan
Kejenuhan atau saturasi merupakan rasio dari volume yang terisi oleh fluida
tersebut dengan volume porositas batuan. Saturasi air merupakan jumlah
volume air yang terdapat dalam batuan dibandingkan dengan volume
porositas batuan. Saturasi air merupakan bilangan fraksional decimal dan
memiliki symbol S w. Melalui eksperimen di laboratorium, Archie
merumuskan persamaan kejenuhan air yang sampai sekarang populer disebut
Persamaan Archie
R
Sw= X tR
w
Keterangan:
Sw = saturasi air
Sh = saturasi hidrokarbon
Rt = resistivitas dalam formasi
kandung air
Rw= resistivitas air formasi
. (3.3)
a = faktor tortuosity
m = faktor semestasi
= porositas
Meskipun saturasi hidrokarbon adalah hal yang dicari dalam evaluasi formasi,
tetapi kejenuhan air biasa digunakan karena kejenuhan air berhubungan
langsung dengan Persamaan Archie. Ketika reservoir tidak sepernuhnya jenuh
air (Sw <1), maka fluida yang lain hadir dalam reservoir yaitu hidrokarbon.
Dengan kata lain, kejenuhan hidrokarbon dapat dicari dengan rumus Sh= 1Sw.
Saturasi air sisa atau irreducible water saturation (Swiir) merupakan saturasi
air yang tidak dapat digantikan hidrokarbon. Hal ini disebakan sifat air yang
membasahi material padat dan peristiwa kapilaritas dimana air formasi
teradsorbsi pada permukaan butiran penyusun batuan dan ditahan oleh
tekanan kapilaritas. Pada saturasi air sisa, air formasi tidak akan bergerak dan
Permeabilitas relatif air formasi bernilai 0 (nol). Hal yang sama berlaku pada
hidrokarbon, bahwa tidak semua hidrokarbon dapat dialirkan. Hal ini disebut
23
rA
L
. (3.4)
dimana:
R = resistivitas (ohm-m)
r = resistansi (ohms)
A = luas permukaan benda (m2)
L = panjang benda (m)
Resistivitas merupakan pengukuran dasar dalam penentuan saturasi fluida
reservoir. Resistivitas batuan tergantung dari jenis porositas, tipe fluida,
jumlah fluida, dan tipe batuan itu sendiri. Karena batuan dan hidrokarbon
adalah insulator, maka pengukuran resistivitas dapat menjadi indikator
keterdapatan hidrokarbon dan menghitung jumlah porositas batuan reservoir.
24
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1
25
Gambar 4.1 Alat logging Gamma Ray (a). Prinsip pengukuran alat logging gamma ray (b)
(Serra, 2004).
Log Gamma Ray digunakan terutama untuk membedakan lapisan serpih dan
non-serpih. Jika digabungkan dengan log lain seperti SP, neutron, dan densitas
log ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi secara kualtitatif jenis litologi
terutama batupasir dan batulempung. Log ini digunakan secara kuantitatif untuk
menghitung volume serpih.
Secara khusus Log Gamma Ray berguna untuk definisi lapisan permeabel
disaat log SP tidak berfungsi karena formasi yang sangat resistif atau bila kurva
SP kehilangan karakternya (Rmf=Rw). Menurut Harsono (1997) log ini digunakan
26
secara luas untuk tujuan korelasi pada sumur sumur cased-hole, interpretasi
lingkungan pengendapan dan fasies. Selain itu, log ini dapat memberikan kontrol
ke dalaman atau referensi untuk tool lain. Misalnya dalam penempatan alat
perforasi secara akurat di depan lapisan yang akan diperforasi.
4.1.2 Keterbatasan Log Gamma Ray
Log Gamma Ray mempunyai keterbatasan alat beserta variabel penyertanya
yang membatasi interpretasi dan perhitungan petrofisika dalam karakterisasi
reservoir menggunakan log ini. Adapun keterbatasan alat ini antara lain:
1. Standard Gamma Ray Log
a. Kehadiran potassium dalam lumpur KCL menyebabkan bacaan log yang
tinggi. Apabila lumpur ini masuk ke dalam formasi permeabel, maka
pembacaan log GR akan tinggi dan identifikasi litologi reservoir menjadi
kurang tepat
b. Kehadiran barit dalam lumpur menyebabkan pengurangan log GR
c. Evaluasi volume serpih tidak valid apabila terdapat batupasir radioaktif
2. Natural Gamma Ray Spectroscopy (NGS)
a. Kehadiran potassium pada lumpur KCL menyebabkan tingginya nilai SGR
b. Kehadiran barit dalam lumpur KCL menyebabkan pengurangan nilai SGR.
Evaluasi kandungan K,Th, dan U menjadi salah karena terjadi pergesaran
nilai puncak dari ketiga unsur tadi.
4.1.3 Log Spontaneous Potential
Menurut Harsono (1997) log SP adalah rekaman perbedaan potensial antara
elektroda yang bergerak di dalam lubang bor dengan elektroda di permukaan.
Penyimpangan SP disebabkan oleh aliran arus listrik di dalam lumpur. Penyebab
utamanya adalah dari dua kelompok tenaga elektromotif di dalam formasi yaitu
komponen elektrokimia dan elektrokinetik. Keduanya berasal dari pengeboran
27
. (4.1)
28
Potensial ini disebabkan oleh kontak antara filtrasi lumpur dan air formasi
pada daerah rembesan. Ion-ion yang menyebabkan terjadinya arus potensial
adalah ion Na+ dan Cl-. Ion Na+ akan berpindah dari larutan dengan
konsentrasi tinggi menuju ke konsentrasi rendah melalui proses difusi. Karena
memiliki mobilitas yang lebih tinggi daripada ion Na+, maka ion Cl- akan
bergerak dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah. Ini berakibat pada
adanya muatan positif di daerah dengan konsentrasi tinggi dan terjadi beda
potensial (Gambar 4.2).
2. Potensial Membran
Potensial ini muncul dari membran yang bersifat semi permeabel. Dalam
potensial ini konsentrasi dua larutan hampir sama. Mineral lempung yang
terdapat pada serpih memiliki struktur berlapis dengan permukaan yang
bermuatan negatif. Karena konsentrasi larutan yang hampir sama, maka ion
Cl- tidak akan bergerak antara dua larutan tadi. Dengan kata lain, permukaan
lempung merupakan membran semi-permeabel terhadap ion Cl-. Ion Na+ akan
lolos bergerak melewati membran menuju larutan dengan konsentrasi lebih
rendah. Akibatnya terjadi muatan negatif pada larutan yang berkonsentrasi
lebih tinggi dan terjadilah beda potensial (Gambar 4.2).
Gambar 4.2 Potensial liquid junction dan potensial membran (Serra, 2004).
29
Gambar 4.3 Limitasi Log SP untuk lapisan yang resistif (Harsono, 1997).
Gambar 4.4 Limitasi log SP berupa shale baseline shift (Harsono, 1997).
30
Jika tidak terdapat lapisan serpih yang memisahkan dua lapisan permeabel
dengan salinitas berbeda, maka garis dasar serpih tetap akan bergeser.
c. Ketebalan lapisan
Menurut Asquith dan Krygowski (2006) apabila ketebalan lapisan kurang dari
10 feet, maka diperlukan koreksi terhadap nilai SSP.
d. Gangguan (noise)
Noise ini terjadi karena magnetisasi suku cadang dari mesin derek. Noise ini
menimbulkan kenampakan gigi gergaji. Apabila terjadi, kurva SP masih
berlaku karena gejala magnetisasi tadi tidak menambah atau mengurangi nilai
SP pada log. Noise juga dapat terjadi jika terdapat arus listrik yang mengalir
melalui formasi didekat elektroda SP dan mengakibatkan terjadi kesalahan
pembacaan SP. Alat proteksi katodis pada anjungan lepas pantai atau
kebocoran listrik dapat mengakibatkan pembacaan SP menjadi kacau. Pada
dasarnya elektroda SP yang diletakkan pada permukaan harus diletakkan
seksama untuk menghindari kontak dengan benda bertegangan listrik.
4.2
31
32
ma - b
. (4.3)
pb -f
Keterangan:
ma = densitas matrik batuan
b = bulk density (dibaca dari log densitas)
f = densitas fluida
Selain dalam perhitungan porositas log densitas juga digunakan untuk
menghitung impedansi akustik dikombinasikan dengan log sonik. Secara
kualitatif log densitas digunakan untuk interpretasi litologi, identifikasi mineral,
identifikasi overpressure, dan rekahan.
-Ray
W
a
Gambar 4.5 Prinsip pengukuran logging densitas (a) dan alat logging densitas (b) (Serra, 2004).
b. Kandungan serpih
Serpih memenegaruhi pegukuran densitas sebesar jumlah volumenya. Koreksi
terhadap serpih perlu dilakukan untuk memperoleh densitas sesungguhnya.
c. Hidrokarbon
Jika terdapat hidrokarbon maka densitas air (p f) dalam rumus diatas mungkin
perlu dirubah untuk memperoleh porositas densitas. Kehadiran hidrokarbon
terutama gas akan mengurangi densitas formasi yang berakibat terhadap
besarnya nilai porositas.
d. Lumpur barit
Barit dalam lumpur seringkali dapat dideteksi oleh penyimpangan yang tajam
dari defleksi kurva ke kanan. Namun kehadiran barit menjadi adanya indikasi
rekahan dalam batuan karbonat.
4.2.3 Log Neutron
Menurut Rider (2002) log neutron adalah rekaman reaksi formasi batuan
terhadap bombardir neutron berkecepatan tinggi. Neutron memiliki massa yang
hampir sama dengan atom hidrogen dan menurut hukum fisika neutron yang
menumbuk dengan atom lain dengan massa yang sama akan mengalami
penurunan kecepatan. Log neutron ini merekam jumlah neutron yang tertangkap
kembali oleh detektor sehingga berhubungan dengan indeks hidrogen formasi.
Porositas dari log ini berhubungan dengan indeks hidrogen batuan. Jika dalam
batuan terdapat banyak air, maka porositas akan berkurang dan nilai kurva log
neutron akan tinggi. Jika terdapat porositas yang banyak di dalam batuan nilai
kurva log neutron batuan menjadi rendah. Porositas dari log ini dinyatakan dalam
neutron porosity unit.
34
Gambar 4.6 Alat logging Compensated Neutron Logging. Alat ini terdiri atas pendeteksi neutron dual
spacing. Rasio dari counting rate kedua detektor menghasilkan neutron porosity index (Serra, 2004).
Alat logging neutron memiliki sumber zat kimia yang memancarkan neutron
dengan energi 4MeV. Dengan energi sebesar ini, maka kecepatan luncur dari
neutron ini adalah 2800 cm/sec (Gambar 4.6).
Respon alat logging neutron mencerminkan banyaknya atom hidrogen di
dalam formasi batuan. Karenya minyak dan air mempunyai jumlah hidrogen per
unit volume yang hampir sama, maka log neutron akan memberikan respon
porositas fluida dalam formasi bersih. Namun pada formasi lempung yang
mengandung atom-atom hidrogen dalam susunan molekulnya, porositas yang
terukur akan terlihat seolah-oleh lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena alat
logging neutron tidak dapat membedakan atom hidrogen yang terikat pada
mineral batuan.
Log neutron akan memberikan respon porositas yang lebih rendah daripada
porositas formasi sesungguhnya pada daerah gas yang cukup dekat dengan
dinding sumur. Hal ini disebabkan karena gas memiliki atom hidrogen yang lebih
rendah daripada air dan minyak.
35
36
resistivitas
menurut
Harsono
(1997) dapat
digunakan untuk
mengidentifikasi:
1. Lapisan yang impermeabel seperti sedimen evaporit
2. Menghitung resistivitas air (Rw) formasi
3. Menghitung saturasi air (Sw)
4. Menghitung ke dalaman zona invasi dalam lapisan permeabel
Jika dikombinasikan dengan log-log lain seperti log densitas-neutron, maka
kita dapat melakukan interpretasi untuk:
a. Mengidentifikasi zona hidrokarbon dalam reservoir
b. Mengkalkulasi saturasi air
Berikut merupakan alat-alat logging resistivitas:
1. Alat laterolog ganda (dual laterolog)
Alat ini memfokuskan arus listrik secara lateral ke dalam formasi dalam
bentuk lembaran tipis (Gambar 4.7). Ini dicapai dengan menggunakan aruspengawal (bucking current) yang fungsinya untuk mengawal arus utama
(measurent current) masuk ke dalam formasi sedalam-dalamnya. Dengan
mengukur tegangan listrik yang diperlukan untuk menghasilkan arus listrik
utama yang besarnya tetap, maka resistivitas dapat dihitung dengan
menggunakan Hukum Ohm.
37
Sebenarnya alat ini terdiri dari dua bagian yaitu satu bagian mempunyai
elektroda yang berjarak sedemikian rupa untuk memaksa arus utama masuk
sejauh mungkin ke dalam formasi dan mengukur resistivitas laterolog dalam
(LLd). Yang lain mempunyai elekroda berjarak sedemikian rupa membiarkan
lembar arus utama terbuka sedikit dan mengukur resistivitas laterolog dangkal
(LLs). Arus yang dipancarkan adalah arus bolak-balik dengan frekuensi yang
berbeda. Arus LLd menggunakan frekuensi 28 kHz, sedangkan frekuensi arus
LLs sebesar 35 kHz (Harsono, 1997).
2. Alat Induksi Terfokuskan Speris (Spherically Focused Induction Tool)
Sonde terdiri dari dua set kumparan disusun dalam batangan fiberglass
non-konduktif. Suatu rangkaian isolator menghasilkan arus konstan pada
kumparan pemancar.
Sebuah kumparan yang dialiri oleh arus listrik akan menghasilkan medan
magnet dan sebaliknya medan magnet akan menimbulkan arus listrik pada
kumparan sehingga arus listrik yang mengalir dalam kumparan alat induksi
ini menghasilkan medan magnet di sekeliling sonde (Gambar 4.8).
38
Medan magnet ini menghasilkan arus eddy di dalam formasi di sekitar alat
sesuai dengan hukum Faraday.
Formasi konduktif di sekitar alat bereaksi seperti kumparan-kumparan
kecil. Bisa dibayangkan terdapat berjuta-juta kumparan kecil di dalam formasi
yang mengalirkan arus eddy terinduksi. Arus eddy akan menghasilkan medan
magnet sendiri yang dideteksi melalui kumparan penerima. Kekuatan dari
arus pada penerima adalah sebanding dengan kekuatan medan magnet yang
dihasilkan dan sebanding dengan arus eddy dan juga konduktivitas dari
formasi. Oleh sebab itu, alat induksi disebut dengan alat konduktivitas.
Alat SFL mempunyai dua jenis sinyal yang diterima oleh rangkain
penerima. Yang satu berasal dari interaksi dengan formasi disebut dengan
sinyal R dan yang satu lagi merupakan pengaruh langsung dari kumparan
pemancar disebut sinyal X. Alat detektor SFL hanya mendeteksi sinyal R saja.
Pada beberapa alat sinyal X digunakan untuk memperbaiki sinyal R.
Alat induksi dapat digunakan pada lumpur yang tidak konduktif seperti air
tawar dan minyak. Alat ini dapat memberikan hasil yang lebih baik dala
formasi resistifitas rendah atau konduktivitas tinggi.
39
Gambar 4.9 Profil lubang bor yang menunjukkan ketiga zona infiltrasi
(Asquith dan Kyrgowski, 2006).
40
Keterangan:
Rm = resistivitas lumpur
Flushed Zone
Rs
= resistivitas serpih
dh
di
= diameter invasi
= ketebalan lapisan
Sw = saturasi air
41
b. Profil Annulus
Model ini menggambarkan adanya invasi fluida secara temporer dan akan
menghilang seiring waktu. Profil annulus menggambarkan distribusi fluida di
flushed zone dan zona tak terganggu. Profil ini hanya ada ketika hidrokarbon
terdapat dalam formasi.
Pada flushed zone, pori-pori batuan terisi oleh filtrat lumpur dan
hidrokarbon residual. Bacaan nilai resistivitas zona ini menjadi tinggi. Pada
zona transisi pori-pori diisi oleh filtrat lumpur, air formasi, dan hidrokarbon
residual. Zona ini disebut juga dengan zona annulus. Bacaan resistivitas pada
zona ini menjadi lebih rendah daripada flushed zone. Pada zona tak terinvasi,
pori-pori diisi oleh air formasi dan hidrokarbon. Bacaan nilai resistivitas pada
zona ini menjadi lebih tinggi daripada zona transisi atau zona annulus
(Gambar 4.11).
42
No Batuan Reservoir
1
Nilai log GR rendah
2
Terdapat separasi positif kurva
log Densitas dengan Neutron
3
Terbentuk kerak lumpur pada
flushed zone
4
Nilai kurva log SP menjauhi
shale baseline
5
Terdapat separasi positif kurva
microlog
Batuan Impermeabel
Nilai log GR tinggi
Separasi negatif kurva log
Densitas dengan Neutron
Tidak terbentuk kerak
lumpur pada flushed zone
Kurva log SP stabil pada
shale baseline
Separasi negatif pada kurva
microlog
b. Jenis Litologi
Jenis litologi dapat ditentukan dari kenampakan log tanpa melakuan
perhitungan. Adapun kenampakan log dari beberapa jenis litologi yang umum
dijumpai antara lain sebagai berikut:
1. Batupasir
Nilai nilai log GR rendah
Terdapat separasi positif pada kurva resistivitas mikro
Pada flushed zone terbentuk kerak lumpur
43
2. Batugamping
Nilai log GR rendah
Nilai porositas tinggi dibandingkan batupasir
Terdapat separasi positif antara kurva porositas apabila batugamping
bersifat porous dan separasi negatif apabila batugamping tidak
porous.
Kurva log neutron berhimpit dengan kurva log densitas
Lubang bor kadang-kadang membesar dilihat dari kurva log caliper
c. Jenis fluida formasi
Untuk menentukan jenis fluida yang mengisi batuan dapat dilakukan dengan
mengamati log resistivitas dan log porositas. Zona hidrokarbon dicirikan oleh
adanya separasi antara nilai resistivitas flushed zone dan nilai resistivitas
formasi sebenarnya. Separasi dapat bernilai positif atau negatif bergantung dari
jenis filtrat lumpur yang digunakan dalam pengeboran. Nilai perbandingan
resistivitas flushed zone dan resistivitas formasi sesungguhnya akan bernilai
maksimum atau sama dengan nilai perbandingan resistivitas filtrat lumpur dan
resistivitas air di dalam zona air. Nilai perbandingan resistivitas flushed zone
dan resistivitas formasi yang lebih rendah menunjukkan adanya hidrokarbon
pada formasi.
Untuk membedakan antara minyak atau gas pada suatu reservoir dapat
menggunakan log porositas densitas dan log neutron. Zona gas memiliki
separasi positif antara log porositas dan log neutron yang besar. Porositas
neutron zona gas sangat rendah dan porositas densitasnya juga rendah sehingga
terbentuk separasi. Untuk zona minyak separasi antara kedua log ini lebih
sempit. Pada zona shale kedua log ini berhimpit dimana nilai porositas neutron
lebih tinggi daripada nilai porositas densitas.
44
d. Mobilitas Hidrokarbon
Mobilitas
hidrokarbon
dapat
ditentukan
secara
kualitatif
dengan
tf - t
b - f
x 0.01
.. (4.4)
-
b- f
Keterangan:
tf
= interval travel time fluida
t
= interval travel time fluida dari log sonik
b
= bulk density dibaca dari log densitas
f
= densitas fluida ( 1 untuk air tawar dan 1.2 untuk lumpur)
45
Nf
N
b. Plot M-D
Plot ini juga menggunakan ketiga log porositas untuk mengidentifikasi jenis
litologi dari matriks batuan dan porositas sekunder. Pada metode ini M adalah
nilai matrik yang menggambarkan litologi.
Langkah pertama yaitu melakukan perhitungan nilai apparent matrix density
(maa) dan apparent matrix traveltime (tmaa). Ketiga nilai tadi dihitung dengan
menggunakan log neutron, log densitas, dan log sonik menggunakan rumus
berikut:
maa =
( )
.. (4.5)
1
t - ( )
tmaa=
Keterangan:
maa
= apparent matrix density (g/cm3)
b
= densitas batuan dibaca dari log densitas (g/cm3)
Litologi
Batupasir
Batugamping
Dolomit
Anhidrit
Gipsum
maa
tmaa
2.65
2.71
2.87
2.98
2.35
55.5
47.5
43.5
50.0
52.0
46
Ro X m
Rwa =
a
Rt X m
a
.. (4.6)
Keterangan:
Ro
F
a
m
= faktor sementasi
Rw = resistivitas air
Rwa = apparent water resistivity
Pada zona yang mengandung air Ro=Rt dan nilai Rw=Rwa. Dalam zona
hidrokarbon nilai Rt > Ro dan Rwa > Rw.
b. Rw dari test produksi
Nilai Rw ditentukan dengan cara mengukur langsung resistivitas air formasi
c. Rw dari nilai yang sudah diketahui
Pada metode ini, nilai Rw ditentukan dengan cara melihat nilai resistivitas air
formasi dari sumur yang berdekatan letaknya dan sudah diketahui nilai
resistivitas air formasinya.
d. Resistivitas Filtrat Lumpur
Pada metode ini, resistivitas filtrat lumpur digunakan untuk mencari
resistivitas air yang sebenarnya dengan rumus tersendiri.
47
Rw =
R R
.. (4.7)
Keterangan:
Rw = resistivitas air formasi
Rmf = resistivitas filtrat lumpur
Rt = resistivitas dalam formasi
Rxo = resistivitas flushed zone
e. Resistivitas Formasi
Resistivitas formasi diukur pada uninvaded zone yang letaknya cukup jauh
dari lubang bor sehingga tidak terpengaruh oleh invasi lumpur pengeboran. Pada
metode ini, nilai Rt atau resistivitas formasi digunakan untuk mencari nilai Rw.
Nilai Rt dapat langsung dibaca pada log deep resistivity (LLD atau ILD).
3. Porositas
Porositas dapat dicari dengan 3 (tiga) log porositas utama yaitu log neutron, log
densitas, dan log sonik. Metode perhitungan porositas dari ketiga log tadi yaitu
sebagai berikut:
a. Porositas densitas
Untuk formasi bersih dapat digunakan persamaan:
D =
ma - b
.. (4.8)
pb - f
Keterangan:
ma = densitas matrik batuan
b = bulk density (dibaca dari log densitas)
f = densitas fluida (1 untuk fresh water mud dan 1,1 untuk salt mud)
Tabel 4.3 Densitas matriks batuan yang umum digunakan untuk analisis petrofisika.
Litologi
Batupasir
Batugamping
Dolomit
Anhidrit
ma
2,648
2,710
2,876
2,977
b. Porositas Neutron
Untuk formasi bersih nilai porositas dapat dibaca langsung dari log neutron
48
c. Porositas Sonik
Untuk formasi bersih, porositas sonik dapat dihitung menggunakan persamaan
Willey dan Hunt-Raymer
S =
S =
t - tma
tf - tma
t - tma
tf
1
Bcp
.. (4.9)
(Wiley, 1986)
Keterangan:
S
= porositas sonik
t
= interval travel time yang terekam pada log sonik
tma = interval travel time gelombang sonik pada matriks batuan
tf
= interval travel time gelombang sonik pada fluida
Bcp
= koreksi kompaksi
Tabel 4.4 Nilai Vma dan tma pada berbagai litologi
Litologi
Vma (ft/sec)
tma (s/sec)
Batupasir
18000-19500
51-55,5
55,5
Batugamping
21000-23000
43,5-47,6
47,6
Dolomit
23000-26000
38,5-43,5
43,5
Anhidrit
20000
50
50
tma
4. Kejenuhan Air
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa kejenuhan air adalah
volume pori-pori yang terisi oleh air dari volume pori-pori total. Kejenuhan
air (Sw) dapat dihitung dengan menggunakan beberapa metode.
Untuk formasi bersih berlaku persamaan Archie
Sw=
Rt
R
w
.. (4.11)
Keterangan:
Sw = saturasi air
Sh = saturasi hidrokarbon
Rt = resistivitas dalam formasi kandung air
Rw = resistivitas air formasi
a = faktor tortuosity
49
m = faktor sementasi
= porositas
4.6 Interpretasi Formasi Pasir Serpihan
Formasi pasir serpihan (shaly formation) adalah formasi batupasir yang
mengandung serpih dengan jumlah komposisi yang cukup signifikan. Serpih ini
pada umumnya berupa mineral lempung yang berupa kaolinit, illit, atau smektit.
Kehadiran mineral lempung pada pori-pori batuan menyebabkan terjadinya
perubahan nilai yang tercatat pada alat logging seperti porositas, resistivitas, dan
kejenuhan air. Formasi serpihan cenderung memberikan efek negatif antara lain:
1. Mengurangi porositas efektif
2. Mengurangi permeabilitas
3. Memberikan nilai resistivitas yang berbeda dengan resistivitas
4. Memberikan pembacaan log porositas yang tidak sesuai dengan keadaan
yang sebenarnya.
Lempung (clay) terdiri atas partikel-partikel yang sangat kecil dan memiliki
permukaan yang luas sehingga dapat mengikat air formasi dalam jumlah yang
banyak di bagian permukaan. Air yang terikat tidak dapat didorong oleh
hidrokarbon sehingga hidrokarbon tidak dapat mengalir.
Distribusi serpih pada batupasir dibagi menjadi 3 (tiga) macam yaitu:
1. Berlapis (laminated)
2. Tersebar (dispersed)
3. Terstruktur (structural)
Distribusi serpih yang berlapis pada umumnya tipis dan terletak berselangseling dengan pasir. Lapisan serpih ini berasal dari hasil rombakan batuan. Setelah
pengendapan lapisan serpih dan pasir dapat menjadi homogen melalui proses
infiltrasi lempung ke dalam ruang pori-pori atau berbagai macam aktivitas
organisme.
50
.. (4.12)
Keterangan:
e = porositas efektif
s = porositas sonik
Vsh = volume serpih
ssh = porositas sonik lapisan serpih
51
Rw
Rt
s
.. (4.13)
Keterangan:
Sw = saturasi air
Rw = resistivitas air formasi
Rt = resistivitas formasi
s = porositas sonik
2. Metode Dispersed Clay
Metode ini menggunakan 2 (dua) log porositas yaitu porositas sonik dan
porositas densitas untuk menentukan porositas efektif. Perbedaan keduanya
menunjukkan jumlah lempung dalam batuan. Lapisan batuan diperkirakan
tidak mengandung gas dan batupasir memiliki komposisi authigenic clay
yang terdistribusi secara dispersed. Tahapan interpretasi dengan metode ini
sebagai berikut:
a. Menyiapkan data pendukung seperti nilai resistivitas lumpur, resistivitas
kerak lumpur, dan resistivitas filtrat lumpur.
b. Membaca tebal lapisan
c. Membaca defleksi log SP, log resistivitas, dan log porositas pada lapisan
yang bersangkutan dan lapisan serpih di dekatnya.
d. Menentukan nilai resistivitas air formasi dan nilai resistivitas formasi
yang sesungguhnya.
e. Menghitung nilai porositas sonik dan porositas densitas
f. Menentukan volume serpih
g. Menghitung nilai porositas efektif dengan menggunakan rumus
e = D (Vsh x Dsh)
.. (4.14)
Keterangan:
e = porositas efektif
D = porositas densitas
Vsh = volume serpih
Dsh = porositas densitas lapisan serpih
52
Sw= 2 +(
2
2
/(1
))..
(4.15)
Keterangan:
Sw = saturasi air
Rw = resistivitas air formasi
Rt = resistivitas formasi
s = porositas sonik
D = porositas densitas
3. Metode Simandoux
Metode ini menggunakan 2 (dua) log porositas yakni log densitas dan log
neutron. Pada umumnya serpih terdistribusi secara laminated atau
dispersed. Tahapan interpretasi dari metode ini sebagai berikut:
a. Menyiapkan data pendukung seperti nilai resistivitas lumpur, resistivitas
kerak lumpur, dan resistivitas filtrat lumpur.
b. Membaca tebal lapisan
c. Membaca defleksi log SP, log resistivitas, dan log porositas pada lapisan
yang bersangkutan dan lapisan serpih di dekatnya.
d. Menentukan nilai resistivitas air formasi dan nilai resistivitas formasi
e. Menghitung nilai porositas neutron dan porositas densitas pada lapisan
yang akan dievaluasi dan lapisan serpih di dekatnya
f. Menentukan volume serpih
g. Melakukan koreksi porositas densitas dan porositas neutron terhadap
serpih menggunakan rumus:
DC = D (Vsh x Dsh)
.. (4.16)
NC = N (Vsh x Nsh)
.. (4.17)
Keterangan:
DC = porositas densitas terkoreksi
D = porositas densitas
Vsh = volume serpih
Dsh = porositas densitas pada lapisan serpih
NC = porositas neutron terkoreksi
N = porisitas neutron
Nsh = porositas neutron pada lapisan serpih
53
DC 2 + NC 2
.. (4.18)
Keterangan:
e = porositas efektif
DC = porositas densitas terkoreksi
NC = porositas neutron terkoreksi
i. Menghitung nilai saturasi air dengan rumus
Sw =
C x Rw
e
5e 2
sh
+ (Rsh
) - ( Rsh )]
Rw x Rt
sh
.. (4.19)
(1-Vsh)
m
Vsh 2
2
+
.Rt
Rsh
a x Rw
.. (4.20)
Keterangan:
Sw = saturasi air
Rw = resistivitas air formasi
Rt = resisvitas formasi
Rsh = resistivitas serpih
C = konstanta (0,4 untuk batupasir dan 0,45 untuk batugamping)
Vsh = volume serpih
m = faktor sementasi
a = faktor tortuosity
= porositas
n`` = derajat saturasi (pada umumnya 2)
4. Metode Dual Water
Pada tahun 1968 Waxman dan Smits berdasarkan studi teoritis dan
eksperimen di laboratorium memperkenalkan hubungan antara resistivitas
dengan kejenuhan air untuk formasi serpihan. Model ini mengkaitkan
kontribusi resistivitas dari serpih (relatif terhadap resistivitas dari formasi)
terhadap CEC (Cation Exchange Capacity). Pada dasarnya model dual
water menganggap bahwa formasi serpihan adalah formasi bersih dengan
porositas, susunan butiran, dan kandungan fluida yang sama kecuali air yang
terdapat dalam formasi ini lebih konduktif dari salinitas air biasa. Kelebihan
konduktifitas ini disebabkan oleh tambahan ion-ion positif (Na+, K+, Ca2+
dll) yang terikat di permukaan mineral lempung (Harsono, 1997). Pada
54
metode ini formasi berserpih dapat dianggap sebagai formasi bersih yang
mengandung dua jenis air:
1. Air yang berasosiasi dengan lempung disebut air-ikat (bound water)
dengan konduktivitas Cwb. Air ini tidak dapat diproduksikan karena
terikat oleh lempung itu sendiri.
2. Air lain berasosiasi dengan batuan disebut dengan air bebas (free
water)
Secara skematis model dual water dapat digambarkan menggunakan
tabel dibawah ini:
Tabel 4.5 Skema Model Dual Water
Zat padat
Matriks
Lanau
Cairan/fluida
Lempung
kering
Matriks
Air ikat
Air
bebas
Serpih
Hidrokarbon
Porositas efektif
Porositas total
b.
c.
Membaca defleksi log SP, log resistivitas, dan log porositas pada lapisan
yang bersangkutan dan lapisan serpih di dekatnya.
d.
e.
55
f.
g.
.. (4.21)
NC = N (Vsh x Nsh)
.. (4.22)
Keterangan:
DC = porositas densitas terkoreksi
D = porositas densitas
Vsh = volume serpih
Dsh = porositas densitas pada lapisan serpih
NC = porositas neutron terkoreksi
N = porisitas neutron
Nsh = porositas neutron pada lapisan serpih
h. Menghitung nilai porositas efektif dengan menggunakan rumus
Jika terdapat gas e =
DC 2 + NC 2
2
DC + NC
2
.. (4.23)
.. (4.24)
Keterangan:
e = porositas efektif
DC = porositas densitas terkoreksi
NC = porositas neutron terkoreksi
Dsh= porositas densitas pada lapisan serpih
i. Menentukan porositas total pada lapisan serpih menggunakan persamaan:
tsh = Dsh + (1-) Nsh
.. (4.25)
Keterangan:
tsh = porositas total serpih
Nsh = porositas neutron pada lapisan serpih
j. Menghitung nilai porositas total dan saturasi air ikat dalam serpih
menggunakan rumus
t
= e + (Vsh x tsh)
Sb
= Vsh x
tsh
t
.. (4.26)
.. (4.27)
Keterangan:
t = porositas total
Sb = saturasi air ikat dalam serpih (bound water saturation)
tsh = porositas total serpih
56
e = porositas efektif
Vsh = volume serpih
k. Menghitung nilai resistivitas air formasi pasir bersih mengunakan rumus
Rw = Rcl x cl2
.. (4.28)
Keterangan:
Rw = resistivitas air formasi
Rcl = resistivitas formasi pasir bersih
cl = porositas pasir bersih
l. Menghitung nilai resistivitas air ikat serpih menggunakan rumus
Rb = Rsh x tsh2
.. (4.29)
Keterangan:
Rb = resistivitas air terikat dalam serpih
Rsh = resistivitas formasi serpih
tsh = porositas total serpih
m. Menghitung resistivitas air formasi sebenarnya menggunakan rumus
Rwa = Rt x t2
Keterangan:
Rwa = resistivitas water apparent
Rt = resistivitas formasi
t = porositas total
.. (4.30)
R
Sb (1 wR )
b
2
Sb(1
+
2
Rw
R )
b
2
+Rw
wa
.. (4.31)
Keterangan:
Swt = saturasi air total
Sb = saturasi air ikat dalam serpih (bound water saturation)
Rb = resistivitas air terikat dalam serpih
Rw = resistivitas air formasi
Rwa = resistivitas water apparent
o. Menghitung saturasi air efektif menggunakan rumus
Swe =
Swt Sb
1 Sb
.. 4.32
Keterangan:
Swe = saturasi air efektif
Swt = saturasi air total
Sb = saturasi air ikat dalam serpih (bound water saturation)
57
Shale
GR tinggi
GR rendah
Batupasir
Gambar 4.12 Pengamatan Bentuk Kurva Untuk Identifikasi Litologi Berdasarkan Data Log Sumur
Berdasarkan pengamatan terhadap bentuk kurva log densitas dan kurva log
neutron pada sumur tersebut terdapat 2 macam zona hidrokarbon yang
diinterpretasi. Zona gas dicirikan oleh adanya separasi antara kurva log densitas dan
kurva log neutron yang besar dan nilai resistivitas formasi yang sangat tinggi
(Gambar 4.13). Zona gas terdapat pada kedalaman 4665 sampai 4726 feet. Zona
minyak dicirikan oleh separasi kurva log densitas dan kurva log neutron yang kecil
58
dan resistivitas formasi lebih rendah daripada zona gas. Zona minyak berada pada
kedalaman 4751 sampai 4815 feet (Gambar 4.13).
Berdasarkan data yang yang diberikan faktor koreksi lubang bor adalah 1 (satu)
sehingga gamma ray terkoreksi sama dengan pembacaan log GR.
Zona gas
Zona minyak
Gambar 4.13 Pengamatan Bentuk Kurva Log Untuk Identifikasi Jenis Fluida Formasi pada
reservoir Berdasarkan Data Log Sumur
59
Ish
Ish
= 0,119
Vsh
= 0,083 [2(3,70,119) 1]
Vsh
= 0,03
166-22
Berdasarkan metode log neutron, volume serpih pada kedalaman 4680 feet sebesar:
Pembacaan log neutron = 0,217
Pembacaan log neutron pada serpih di dekat lapisan = 0,36
Vsh
= (0,2170,36)
Vsh
= 0,603
0,306- 0,217
0,36-0,1
Vsh = 0,34
Dari ketiga metode tadi didapat nilai sebesar 0,03, 0,603, dan 0,34 maka nilai
kandungan serpih yang dipilih adalah 0.03 sebagai nilai terendah.
Contoh perhitungan porositas densitas pada kedalaman 4681 feet adalah:
Densitas bulk formasi dari pembacaan log = 2,145
Densitas matriks = 2,65
Densitas fluida = 1
D =
ma - b
pb - f
60
2,65-2,145
2,65-1
D = 0,306
Karena formasi mengandung serpih, maka porositas densitas harus dikoreksi
terhadap keberadaan serpih. Untuk mendapatkan nilai porositas densitas yang
terkoreksi nilai dari densitas porositas serpih harus dihitung terlebih dahulu
Dsh =
2,652,46
2,65- 1
Dsh = 0,115
DC = 0,306 - (0,115 x 0,03)
DC = 0,302
Harga porositas neutron pada lapisan ini dapat dibaca langsung dari log neutron.
Karena formasi memiliki komposisi serpih, maka porositas neutron harus dikoreksi
terhadap serpih. Harga porositas neutron serpih dibaca dari log neutron yang
memiliki harga GR maksimum
N = 0,217
Nsh= 0,36
NC = 0,217 (0,36 x 0,03)
NC = 0,2062
Porositas efektif pada lapisan di kedalaman 4681 feet adalah:
e =
0,3022 +0.2062
2
e = 0,26
Setelah mendapatkan nilai porositas, maka dilanjutkan dengan mencari nilai
saturasi air. Untuk mencari nilai saturasi air membutuhkan nilai resistivitas formasi,
resistivitas air, dan resistivitas filtrat lumpur. Umumnya nilai resistivitas formasi
dapat dibaca langsung dari log resistivitas dalam (ILD atau LLD). Nilai resistivitas
harus dikoreksi terhadap suhu formasi karena harga Resistivitas berbeda sesuai
dengan suhu formasi.
61
Karena log sumur hanya memiliki data resistivitas ILD dan ILM, maka koreksi
resistivitas dalam tidak dapat dilakukan. Pembacaan induction log dalam (ILD)
dianggap mewakili nilai resistivitas formasi yang sesungguhnya.
Untuk mencari nilai saturasi air pada lapisan di kedalaman 4680 feet
menggunakan metode SP tahapannya sebagai berikut:
a. Lapisan pada kedalaman 4736 feet dianggap sebagai zona bersih. Hal ini
ditunjukan dengan defleksi kurva SP yang maksimum. Defleksi pada kedalaman
ini bernilai negatif (-). Tanda negatif menunjukkan defleksi menuju ke kiri. Pada
kedalaman ini nilai SP sebesar -55.
b. Menghitung gradien temperatur
Dari informasi kepala log diketahui bahwa Bottom Hole Temperature sebesar
1950 F dan suhu permukaan 920 F. Total kedalaman sumur
Gradien temperatur =
195 F-92 F
4980 feet
= 0,020 F/feet
c. Menentukan temperatur formasi pada lapisan yang dievaluasi dan pada lapisan
4736 feet
Tf pada kedalaman 4680 feet = 0,02 (4680) + 92 = 185,60 F
Tf pada kedalaman 4736 feet = 0,02 (4736) + 92 = 186,720 F
d. Menentukan nilai resistivitas filtrat lumpur pada lapisan di kedalaman 4680 feet
dan 4736 feet dengan mengunakan nilai resistivitas filtrat lumpur (Rmf) pada
temperatur yang diketahui di kepala log
Rmf @ 4680 feet dengan suhu 185,6 = 0,128 x
92 + 6,77
185,6 + 6,77
92 + 6,77
186,72 + 6,77
62
= 10 (SSP)/K
Rmfe/ Rwe
= 10 (55)/84,83
Rmfe/ Rwe
= 4,45
R mfe
Rasio R /R
mfe we
(186,72+6,77)
(185,6+6,77)
Rw @ 185,6 = 0.0112 m
2.6 Perhitungan Saturasi Air (S w) dan Saturasi Hidrokarbon (Sh)
Nilai resistivitas formasi serpih = 2,85 m
Nilai resistivitas formasi di kedalaman 4680 feet = 107 m
Nilai saturasi air pada lapisan di kedalaman 4680 feet dapat dihitung sebagai
berikut:
=
1
(1-0,03)
0.03 2
2,85
2,15
0,26 2
0,62 x 0,0112
. 107
63
Sw = 0,58
Sh = 1- 0,58
Sh = 0,42
Jadi nilai kejenuhan air pada kedalaman 4680 feet sebesar 58% sedangkan nilai
kejenuhan hidrokarbonnya sebesar 42%.
64
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
1. Perhitungan petrofisika akan lebih akurat dengan koreksi log menggunakan
microlog dan menggunakan metode selain metode kurva SP.
65
DAFTAR PUSTAKA
Asquith dan Kyrgowski. 2006. Basic Well Log Interpretation 2nd Edition. Tulsa
Oklahoma: The American Association of Petroleum Geologists.
De Coster, G.L. 1974. The geology of the Central and South Sumatra Basins,
Proceedings of the 3rd Indonesian Petroleum Association Annual
Convention, hal. 77-110.
Harsono, Adi. 1997. Evaluasi Formasi dan Aplikasi Well Log. Jakarta:
Schlumberger SIS.
Pertamina-BPPKA. 1997. Petroleum geology of Indonesian basins: principles,
methods and applications, volume X, South Sumatra Basin. Jakarta:
Pertamina BPPKA.
Pulunggono, A. dan Cameron, N.R. 1984, Sumatran microplates, their
characteristics and their role in the evolution of the Central and South
Sumatra Basins. Proceedings of the 13th Indonesian Petroleum Association
Annual Convention, hal. 121-143.
Rider, Malcolm. 2002. The Geological Interpretation of Well Log. Scotland:
Whittless Publishing.
Schlumberger, 1991. Log Interpretation Principle and Aplication. Schlumberger
Wireline and Testing: Texas
Serra, Oberto dan Serra, L. 2004. Well Logging Data Acquisition and Applications.
Mry Corbon: Serralog Publishing.
Tapponnier. P, Peltzer, dan Armijo, R. 1986. On the mechanics between the
collision of India and Asia: Collision Tectonics. Geological Society of
London, Special Publications 19. Geological Society of London: London.
66