TINJAUAN UMUM
1. Pulau Sumatera sebagai model jalur subduksi yang berkembang semakin muda
ke baratdaya-selatan dan ke arah utara.
Dari ketiga teori di atas, yang paling banyak diterima ialah teori ketiga
yaitu Pulau Sumatera merupakan produk amalgamasi unsur Asia dan Gondwana.
Pada Kala Tersier, aktivitas tektonik dapat dibagi menjadi tiga kelompok
yaitu Pre-Miosen, Miosen dan Post Miosen. Aktivitas tektonik pada saat Pre-
Miosen menghasilkan pola struktural dengan arah Utara – Selatan. Sedangkan
pada saat Miosen dan Post-Miosen memiliki pola struktural dengan arah Barat
Analisis biostrtigrafi berdasarkan foraminifera planktonik dari sumur X di cekungan Sumatera Utara
Romy Setiawan
Laut – Tenggara. Kedua gaya struktural tersebutlah yang menyebabkan
terbentuknya Bukit Barisan. Dan pada Kala Tersier juga terjadinya proses
penurunan (subsidence) yang membentuk Cekungan Sumatera Utara yang juga
menyebabkan pengendapan dengan tebal lebih dari 5500 meter. Proses orogenesa
pada saat itu masih sangat aktif hingga memiliki gradient temperature sebesar
2,7oF/100 feet, lebih besar dibandingkan nilai rata- rata nilai gradient temperature
di dunia yang sebesar 1o-1,5oF/100 feet (Fitriandi, 2006).
Pada masa kini salah satu proses aktif yang masih berlangsung pada Pulau
Sumatera ialah proses subduksi Lempeng Indo-Australia ke bawah Lempeng
Eurasia. Subduksi ini memiliki kecepatan diantara 6 hingga 7 cm per tahun dan
berarah N20ºE. Beberapa tatanan tektonik terbentuk akibat proses subduksi ini,
yaitu: Palung Sunda, Busur luar Mentawai, Cekungan depan busur Sumatera,
Jalur magmatik Bukit Barisan, dan Cekungan belakang busur. Proses subduksi
Lempeng Indo-Australia juga mempengaruhi kondisi di daerah Cekungan
Sumatera Utara akibat gempa tektonik. Gempa tektonik itu sendiri terjadi karena
pemampatan batuan akibat proses subduksi dan ketika elastisitas batuan telah
melampaui batas, batuan tersebut akan patah, pematahan tersebut menyebabkan
terjadinya gempa tektonik yang merupakan salah satu penyebab dapat terjadinya
caving.
Pulau Sumatera sudah banyak diteliti dan dipetakan oleh peneliti – peneliti
lain. Salah satunya adalah oleh Crow dan Barber (2005). Hasil pemetaan dari
Crow dan Barber menghasilkan sebuah peta geologi dengan pembagian daerah
berdasarkan umurnya. Peta geologi itu sendiri mencakup keseluruhan Pulau
Sumatera, dimana Cekungan Sumatera Utara juga termasuk di peta tersebut
(Gambar 2.1)
Analisis biostrtigrafi berdasarkan foraminifera planktonik dari sumur X di cekungan Sumatera Utara
Romy Setiawan
Gambar 2.1 Peta geologi regional Sumatera (Crow and Barber, 2005).
Analisis biostrtigrafi berdasarkan foraminifera planktonik dari sumur X di cekungan Sumatera Utara
Romy Setiawan
bagian timur, Lengkungan Asahan di bagian selatan, Laut Andaman di bagian
Utara (Gambar 2.2).
Analisis biostrtigrafi berdasarkan foraminifera planktonik dari sumur X di cekungan Sumatera Utara
Romy Setiawan
Gambar 2.2 Peta lokasi Cekungan Sumatera Utara (Darman, 2000).
Analisis biostrtigrafi berdasarkan foraminifera planktonik dari sumur X di cekungan Sumatera Utara
Romy Setiawan
Tabel 2.1 Perkembangan terminologi stratigrafi pada Cekungan Sumatera Utara (Barber, Crow, dan Milsom, 2005)
Analisis biostrtigrafi berdasarkan foraminifera planktonik dari sumur X di cekungan Sumatera Utara
Romy Setiawan
Gambar 2.3 Stratigrafi regional pada Cekungan Sumatera Utara (Kamili dan Naim, 1973, Mulhadiono, 1976, Cameron, et al.,1980).
10
Analisis biostrtigrafi berdasarkan foraminifera planktonik dari sumur X di cekungan Sumatera Utara
Romy Setiawan
Nodul-nodul rijang juga ditemukan di beberapa tempat pada Formasi ini, Formasi
ini juga dijumpai dolomite dan basal konglomerat. Formasi ini terendapkan di
daerah sublitoral – open marine selama Eosen Akhir hingga Oligosen Awal.
Batugamping Tampur Eosen pada umumnya ditemukan pada Paparan Malaka
(Sjahbuddin dan Djaafar, 1993).
11
Analisis biostrtigrafi berdasarkan foraminifera planktonik dari sumur X di cekungan Sumatera Utara
Romy Setiawan
Awal. Ketebalan Formasi ini di bagian selatan antara 0-120 m, di timur antara
220-550 m, di utara 2400 m. Formasi ini terendapkan pada lingkungan yang
berbeda-beda untuk daerah yang berbeda-beda, di sebelah utara lingkungan
pengendapannya adalah neritik luar sampai bathyal atas, di tempat lain pda
umumnya Formasi ini diendapkan di lingkungan laut dangkal.
12
Analisis biostrtigrafi berdasarkan foraminifera planktonik dari sumur X di cekungan Sumatera Utara
Romy Setiawan
tengahFormasi ini. Sebagai contohnya Lapangan Aru. Formasi Baong juga dapat
ditemukan di Bukit Barisan yang memiliki ketebalan sampai 2000 m. Batupasir
pada Formasi ini diendapkan dari tepi cekungan-cekungan utama.
13
Analisis biostrtigrafi berdasarkan foraminifera planktonik dari sumur X di cekungan Sumatera Utara
Romy Setiawan
2.4 Tektonostratigrafi Cekungan Sumatera Utara
14
Analisis biostrtigrafi berdasarkan foraminifera planktonik dari sumur X di cekungan Sumatera Utara
Romy Setiawan
Gambar 2.4 Konfigurasi Cekungan Sumatera Utara saat Eosen (satyana, 2008).
15
Analisis biostrtigrafi berdasarkan foraminifera planktonik dari sumur X di cekungan Sumatera Utara
Romy Setiawan
Gambar 2.5 Tektonostratigrafi Cekungan Sumatera Utara
(Darman dan Sidi, 2000 modifikasi Barber, Crow, dan Milsom, 2005)
16
Analisis biostrtigrafi berdasarkan foraminifera planktonik dari sumur X di cekungan Sumatera Utara
Romy Setiawan
2.4.2 Fase Early syn – rift (Eosen Akhir – Oligosen)
Fase early syn-rift yang terjadi pada Cekungan Sumatera Utara berawal
dari terjadinya proses tumbukan antara Benua India dengan Lempeng Eurasia
pada Eosen Akhir. Tumbukan ini menyebabkan terjadinya aktifasi 2 sesar utama,
yaitu Sesar Sumatera dan Sesar Malaka yang merupakan sesar mendatar dextral.
Aktifitas dari kedua sesar inilah yang menyebabkan terbentuknya horstgraben
pada Cekungan Sumatera Utara (Gambar 2.6).
Gambar 2.6 Struktur horst – graben yang merupakan produk konvergensi Benua India dengan
Lempeng Eurasia (Satyana, 2008)
Horst graben ini merupakan pull-apart basin yang memiliki arah orientasi
utara-selatan. Struktur horst graben ini mengubah bentukan morfologi dan
sedimentasi pada Pulau Sumatera. Bentuk awal Pulau Sumatera yang berupa
dataran (peneplain) berubah menjadi pegunungan dengan dalaman-dalaman yang
terisolasi. Proses sedimentasi dikontrol oleh sesar dan didominasi oleh proses
fluviatil dan lacustrain yang sumber sedimennya berasal dari tinggian setempat.
Hal ini dapat dianalogikan dengan proses sedimentasi yang terjadi pada rift valley
yang terdapat di bagian Afrika Timur pada saat ini. Pada Cekungan Sumatera
17
Analisis biostrtigrafi berdasarkan foraminifera planktonik dari sumur X di cekungan Sumatera Utara
Romy Setiawan
Utara, Formasi yang terendapkan pada tahapan ini ialah Formasi Bampo (Gambar
2.3).
Pada saat Oligosen Akhir, tektonik regime pada Cekungan Sumatera Utara
mulai berubah. Subsiden regional akibat fase sagging terjadi pada saat itu. Pada
saat yang bersamaan, sistem busur Sumatera mulai terbentuk sehingga mulailah
dikenal dengan terminologi cekungan busur depan, cekungan busur belakang, dan
busur magmatik. Busur magmatik yang terbentuk ialah Bukit Barisan yang
memiliki arah orientasi baratlaut-tenggara. Kehadiran Bukit Barisan ini sangat
penting karena Bukit Barisan merupakan sumber persediaan sedimen yang
penting untuk cekungan busur depan dan cekungan busur belakang pada saat itu.
Cekungan Sumatera Utara terletak dekat dengan Bukit Barisan sehingga cadangan
sedimen pada cekungan ini berasal dari Bukit Barisan dengan sistem pengendapan
berupa sistem alluvial. Subsiden terus terjadi sehingga lingkungan pengendapan
mulai berubah menjadi laut terbuka, diawali dengan ditemukannya beberapa
pengendapan delta dan terumbu secara lokal. Formasi yang terendapkan pada
Cekungan Sumatera Utara pada fase ini ialah Formasi Peutu dan Formasi
Belumai. Formasi Peutu merupakan Formasi yang terendapkan pada fase awal
transgresi dengan lingkungan pengendapan berupa fluviatil. Formasi Belumai
merupakan Formasi yang terendapkan pada fase akhir transgresi sehingga
lingkungan pengendapan Formasi ini ialah delta bergradasi menjadi laut litoral
dan shelf.
18
Analisis biostrtigrafi berdasarkan foraminifera planktonik dari sumur X di cekungan Sumatera Utara
Romy Setiawan
untuk lapisan reservoir dibagian bawahnya karena Formasi ini memiliki shale
yang cukup tebal.
2.5 Biostratigrafi
19
Analisis biostrtigrafi berdasarkan foraminifera planktonik dari sumur X di cekungan Sumatera Utara
Romy Setiawan
Biostratigrafi dapat berperan dalam penginterpretasian stratigrafi sekuen,
karena dalam proses penginterpretasian sebuah sekuen diperlukan pemahaman
akan hubungan stratigrafi, umur, dan fasies. Dimana fasies sendiri merupakan
suatu tubuh batuan yang memiliki karakteristik litologi yang sama secara fisik,
biologi, maupun kimia.
Fosil dulunya merupakan organisme hidup dan oleh karena itu mereka
merupakan indikator sensitif dari lingkungan masa lalu, pola sedimentasi, dan
distribusinya. Selain itu, karena proses evolusi bersifat permanen, fosil sangat
berguna dalam menentukan waktu asal relatif strata sedimen. Empat jenis interval
ditemukan pada batuan sedimen, antara lain : strata tanpa fosil, strata yang
mengandung organisme yang hidup dan terkubur di daerah tersebut (biocoenosis),
strata yang mengandung organisme yang hidup di daerah lain dan terbawa ke
daerah tersebut setelah mati (thanatocoenosis), dan strata yang mengandung
20
Analisis biostrtigrafi berdasarkan foraminifera planktonik dari sumur X di cekungan Sumatera Utara
Romy Setiawan
organisme yang terpindahkan saat masih hidup jauh dari lingkungan hidup normal
mereka. Fosil tersebut dapat tercampur atau terselingi dalam proporsi apa pun.
Semua kategori strata pengandung fosil dapat menjadi dasar untuk zonasi
biostratigrafi. Interval yang tidak memiliki fosil yang dapat diidentifikasi atau
yang tidak memiliki fosil sama sekali tidak digunakan untuk klasifikasi
biostratigrafi. Berbagai faktor dapat mempengaruhi keakuratan penentuan umur
dimana suatu fosil dapat terpindahkan ke sedimen yang lebih muda akibat erosi,
tertransport dan terendapkan ulang (Reworked fossils), fossil ditemukan pada
batuan yang lebih tua atau muda akibat fluida, melalui lubang hewan atau rongga
akar, atau oleh dikes atau diapirs sedimen (Introduced or infiltrated fossils) dan
tingkat sedimentasi yang sangat rendah dapat menyebabkan fosil dari umur dan
lingkungan yang berbeda menjadi terbaur atau sangat berasosiasi pada interval
stratigrafi yang sangat tipis, bahkan dalam satu dasar.
1. Biostratigrafi
Unsur stratigrafi yang berkaitan dengan distribusi fosil dalam catatan
stratigrafi dan pengorganisasian suatu strata ke dalam unit – unit
berdasarkan fosil yang terkandung di dalamnya.
2. Klasifikasi biostratigrafi
Pembagian sistematis dan pengorganisasian dari bagian stratigrafi ke
dalam satuan bernama berdasarkan dari kandungan fosilnya.
3. Biozone
Istilah umum untuk segala jenis unit biostratigrafi tanpa memandang
ketebalan atau luas geografis. Biozone sangat bervariasi dalam ketebalan,
luas geografis dan rentang waktu yang ditunjukkan
4. Biohorizon
Batas, permukaan, atau tampilan stratigrafi dimana terdapat perubahan
signifikan dalam karakter biostratigrafi. Biohorizon tidak memiliki
ketebalan dan sebaiknya tidak digunakan untuk menjelaskan unit
stratigrafi yang sangat tipis yang memiliki ciri yang sangat khas.
21
Analisis biostrtigrafi berdasarkan foraminifera planktonik dari sumur X di cekungan Sumatera Utara
Romy Setiawan
5. Subbiozone (Subzone)
Adalah subdivisi dari biozone.
6. Superbiozone (Superzone)
Pengelompokkan dari dua atau lebih biozone dengan sifat biostratigrafi
yang berkaitan.
7. Zonule
Penggunaan istilah berikut tidak disarankan. Dikarenakan telah memiliki
arti yang berbeda dan sekarang pada umumnya digunakan sebagai
subdivisi dari biozone atau subbiozone.
8. Barren intervals
Interval stratigrafi yang tidak memiliki fosil yang biasanya umum pada
bagian stratigrafi tersebut.
Secara umum, terdapat 5 (lima) jenis biozone yang digunakan, antara lain :
Zona kisaran, Zona selang, Zona kumpulan, Zona puncak dan Zona keturunan.
Jenis – jenis Biozone ini tidak memiliki signifikansi hierarkis, dan tidak
berdasarkan pada kriteria yang saling eksklusif. Oleh karena itu, interval
stratigrafi tunggal dapat dibagi secara independen ke dalam zona kisaran, zona
selang, dan sebagainya, tergantung pada fitur biostratigrafi yang dipilih. Zona
kisaran memiliki 2 (dua) tipe utama yaitu zona kisaran takson dan zona kisaran
bersamaan. Berikut adalah penjelasan dari setiap jenis – jenis biozone :
22
Analisis biostrtigrafi berdasarkan foraminifera planktonik dari sumur X di cekungan Sumatera Utara
Romy Setiawan
Zona kisaran takson dinamai dari takson yang menggambarkan
penyebarannya.
23
Analisis biostrtigrafi berdasarkan foraminifera planktonik dari sumur X di cekungan Sumatera Utara
Romy Setiawan
diidentifikasi berdasarkan dari biohorizon yang membatasinya (Gambar
2.9). Pada contoh berikut, batas bawah zona adalah kenampakkan takson a
yang diketahui paling rendah, dan batas atas zona adalah kenampakkan
takson b yang diketahui paling tinggi. Zona meluas secara lateral selama
kedua biohorizon yang digunakan masih dapat dikenali.
24
Analisis biostrtigrafi berdasarkan foraminifera planktonik dari sumur X di cekungan Sumatera Utara
Romy Setiawan
Zona selang tipe ini telah disebut sebagai “zona kenampakkan terakhir”
tetapi lebih disarankan disebut sebagai “zona kenampakkan tertinggi”.
Batas – batas zona selang ditentukan oleh kenampakkan dari biohorizons
yang dipilih untuk definisinya.
Nama yang diberikan ke zona selang dapat berasal dari nama horizon
pembatas, nama batas bawah lebih dahulu dari batas atas, contohnya Zona
Selang Globigerinoides sicanus – Orbulina suturalis. Dalam pendefinisian
zona selang, kriteria untuk pemilihan biohorizons pembatas sebaiknya
ditentukan secara spesifik, misal kenampakkan terendah, kenampakkan
tertinggi, dll. Metode penamaan alternatif lainnya menggunakan nama dari
satu takson sebagai penamaan zonanya. Takson yang digunakan harus
merupakan bagian umum dari zona tersebut, meskipun tidak harus terbatas
pada zona tersebut.
D). Zona Keturunan (Lineage Zone)
Zona keturunan dianggap sebagai kategori terpisah karena untuk didefinisi
dan diakui tidak hanya membutuhkan identifikasi taksa tertentu tetapi juga
membutuhkan jaminan bahwa taksa yang dipilih sebagai definisi memiliki
segmen berturut-turut dari garis keturunan evolusi.
Zona keturunan merupakan badan strata yang mengandung spesimen yang
mewakili segmen tertentu dari garis keturunan evolusi. Kemungkinan
dapat mewakili keseluruhan takson dari sebuah keturunan (Gambar 2.11
A) atau hanya bagian dari penyebaran takson di bawah dari kenampakan
takson keturunan (Gambar 2.11 B).
Batas – batas zona keturunan mendekati batas unit kronostratigrafi.
Namun, zona keturunan berbeda dari unit kronostratigrafi yang sangat
terbatas, seperti semua unit biostratigrafi, terhadap penyebaran spasial dari
fosil yang sebenarnya. Zona keturunan merupakan cara yang paling dapat
diandalkan untuk mengkorelasikan waktu relatif dengan menggunakan
metode biostratigrafi.
Batas zona keturunan ditentukan oleh biohorizon yang mewakili
kenampakkan terendah dari unsur keturunan evolusioner yang berurutan
yang dapat dipertimbangkan.
25
Analisis biostrtigrafi berdasarkan foraminifera planktonik dari sumur X di cekungan Sumatera Utara
Romy Setiawan
Zona keturunan dinamai dari takson dalam garis keturunan yang kisaran
atau kisaran parsialnya diwakilinya.
26
Analisis biostrtigrafi berdasarkan foraminifera planktonik dari sumur X di cekungan Sumatera Utara
Romy Setiawan
F). Zona Puncak (Abundant Zone)
Badan strata di mana kelimpahan dari takson atau kelompok takson
tertentu jauh lebih besar dari biasanya. Kelimpahan dari sebuah takson
atau taksa yang tidak biasa dalam catatan stratigrafi dapat merupakan hasil
dari sejumlah proses yang bersifat lokal, tetapi dapat terulang di tempat
lain diwaktu yang berbeda. Karena itu, satu – satunya cara pasti untuk
mengidentifikasi sebuah zona kelimpahan adalah dengan melacaknya
secara lateral (Gambar 2.13).
Batas zona puncak didefinisikan oleh biohorizon yang mana terdapat suatu
perubahan penting pada kelimpahan dari taksa yang dipilih atau taksa yang
mencirikan zona tersebut.
Zona puncak dinamakan dari takson atau taksa yang memiliki kelimpahan
yang sangat signifikan.
27
Analisis biostrtigrafi berdasarkan foraminifera planktonik dari sumur X di cekungan Sumatera Utara
Romy Setiawan
Foraminifera memiliki proses perkembangbiakan secara seksual maupun
aseksual, hal ini dilihat dengan adanya dua bentuk yang berbeda dalam satu
spesies Foraminifera (dimorfisme) antara lain mikrosferik dan megalosferik.
Berdasarkan ukurannya Foraminifera dibagi menjadi dua kelompok, yaitu
kelompok Foraminifera besar dan kelompok Foraminifera kecil. Namun
berdasarkan cara hidupnya Foraminifera dibagi menjadi dua bagian, yaitu
Foraminifera plangtonik dan Foraminifera bentonik. Kelompok Foraminifera
besar pada umumnya termasuk dalam Foraminifera bentonik.
28
Analisis biostrtigrafi berdasarkan foraminifera planktonik dari sumur X di cekungan Sumatera Utara
Romy Setiawan
Gambar 2.14 Gambar jenis – jenis bentuk cangkang pada Foraminifera
(Loeblich dan Tappan, 1988)
29
Analisis biostrtigrafi berdasarkan foraminifera planktonik dari sumur X di cekungan Sumatera Utara
Romy Setiawan
Gambar 2.16 Gambar jenis – jenis bentuk aperture pada Foraminifera
(Loeblich dan Tappan, 1988)
30
Analisis biostrtigrafi berdasarkan foraminifera planktonik dari sumur X di cekungan Sumatera Utara
Romy Setiawan
2.5.3 Foraminifera Bentonik
31
Analisis biostrtigrafi berdasarkan foraminifera planktonik dari sumur X di cekungan Sumatera Utara
Romy Setiawan
0 - 10 M 30 M 100 M 200 M 1000 M 2000 M
Inner Middle Outer Upper Lower
Neritic Neritic Neritic Bathyal Bathyal
Transition
Inner Middle Outer Upper Lower
Shelf Shelf Shelf Slope Slope
Gambar 2.18 Indikator paleoenvironmental Foraminiferal terpilih di Cekungan Kutai pada umur Miosen
(Disusun oleh Adi P, Kadar, Hudianto, Armein, 1996, modified by Romy Setiawan).
32
Analisis biostrtigrafi berdasarkan foraminifera planktonik dari sumur X di cekungan Sumatera Utara
Romy Setiawan