Anda di halaman 1dari 29

BAB II

TINJAUAN UMUM

2.1 Geologi Regional Sumatera

Pulau Sumatera adalah pulau keenam terbesar di dunia. Secara fisiografis,


pulau ini memiliki orientasi berarah baratlaut-tenggara. Luas area pada pulau ini
±435.000 km2, dengan panjang 1650 km dari Banda Aceh di bagian utara hingga
Tanjungkarang di bagian selatan. Memiliki lebar yang terhitung ±100-200 km di
bagian utara dan sekitar ±350 km di bagian selatan. Pegunungan Barisan yang
berada di sepanjang bagian barat membagi pantai barat dan timur Pulau Sumatera.

Pada ilmu geologi terdapat beberapa teori tentang sejarah pembentukan


Pulau Sumatera, yaitu:

1. Pulau Sumatera sebagai model jalur subduksi yang berkembang semakin muda
ke baratdaya-selatan dan ke arah utara.

2. Pulau Sumatera dari awal merupakan bagian dari benua asia.

3. Pulau Sumatera merupakan produk amalgamasi unsur-unsur dari Benua Asia


dan Gondwana.

Dari ketiga teori di atas, yang paling banyak diterima ialah teori ketiga
yaitu Pulau Sumatera merupakan produk amalgamasi unsur Asia dan Gondwana.

Proses terbentuknya Cekungan Sumatera Utara dibagi menjadi dua


periode, yaitu aktivitas tektonik selama Pre-Tersier dan Tersier. Pada Pre-Tersier,
aktivitas tektonik berawal dari munculnya volkanisme yang dapat dilihat dari
adanya kenampakan intrusi. Intrusi tersebut memiliki sifat asam dengan produk
batuan granit dan granodiorite (Fitriandi, 2006).

Pada Kala Tersier, aktivitas tektonik dapat dibagi menjadi tiga kelompok
yaitu Pre-Miosen, Miosen dan Post Miosen. Aktivitas tektonik pada saat Pre-
Miosen menghasilkan pola struktural dengan arah Utara – Selatan. Sedangkan
pada saat Miosen dan Post-Miosen memiliki pola struktural dengan arah Barat

Analisis biostrtigrafi berdasarkan foraminifera planktonik dari sumur X di cekungan Sumatera Utara
Romy Setiawan
Laut – Tenggara. Kedua gaya struktural tersebutlah yang menyebabkan
terbentuknya Bukit Barisan. Dan pada Kala Tersier juga terjadinya proses
penurunan (subsidence) yang membentuk Cekungan Sumatera Utara yang juga
menyebabkan pengendapan dengan tebal lebih dari 5500 meter. Proses orogenesa
pada saat itu masih sangat aktif hingga memiliki gradient temperature sebesar
2,7oF/100 feet, lebih besar dibandingkan nilai rata- rata nilai gradient temperature
di dunia yang sebesar 1o-1,5oF/100 feet (Fitriandi, 2006).

Pada masa kini salah satu proses aktif yang masih berlangsung pada Pulau
Sumatera ialah proses subduksi Lempeng Indo-Australia ke bawah Lempeng
Eurasia. Subduksi ini memiliki kecepatan diantara 6 hingga 7 cm per tahun dan
berarah N20ºE. Beberapa tatanan tektonik terbentuk akibat proses subduksi ini,
yaitu: Palung Sunda, Busur luar Mentawai, Cekungan depan busur Sumatera,
Jalur magmatik Bukit Barisan, dan Cekungan belakang busur. Proses subduksi
Lempeng Indo-Australia juga mempengaruhi kondisi di daerah Cekungan
Sumatera Utara akibat gempa tektonik. Gempa tektonik itu sendiri terjadi karena
pemampatan batuan akibat proses subduksi dan ketika elastisitas batuan telah
melampaui batas, batuan tersebut akan patah, pematahan tersebut menyebabkan
terjadinya gempa tektonik yang merupakan salah satu penyebab dapat terjadinya
caving.

2.2 Geologi Regional Cekungan Sumatera Utara

Pulau Sumatera sudah banyak diteliti dan dipetakan oleh peneliti – peneliti
lain. Salah satunya adalah oleh Crow dan Barber (2005). Hasil pemetaan dari
Crow dan Barber menghasilkan sebuah peta geologi dengan pembagian daerah
berdasarkan umurnya. Peta geologi itu sendiri mencakup keseluruhan Pulau
Sumatera, dimana Cekungan Sumatera Utara juga termasuk di peta tersebut
(Gambar 2.1)

Secara fisiografis, Cekungan Sumatera Utara terletak antara 94,8°-99,4°


Bujur Timur (BT) dan 2,7°-7,5° Lintang Utara (LU). Cekungan Sumatera Utara
dibatasi oleh Pegunungan Bukit Barisan di bagian barat, Paparan Malaka di

Analisis biostrtigrafi berdasarkan foraminifera planktonik dari sumur X di cekungan Sumatera Utara
Romy Setiawan
Gambar 2.1 Peta geologi regional Sumatera (Crow and Barber, 2005).

Analisis biostrtigrafi berdasarkan foraminifera planktonik dari sumur X di cekungan Sumatera Utara
Romy Setiawan
bagian timur, Lengkungan Asahan di bagian selatan, Laut Andaman di bagian
Utara (Gambar 2.2).

Cekungan Sumatera Utara merupakan backarc basin yang memiliki


orientasi arah baratlaut-tenggara, mengikuti sistem Cekungan Neogen. Cekungan
ini terbentuk akibat terjadinya tumbukan Lempeng India-Australia dengan
Lempeng Eurasia. Cekungan Sumatera Utara terdiri atas beberapa subcekungan,
yaitu:
1. Subcekungan Aceh di bagian utara.
2. Subcekungan Aru di bagian tengah.
3. Subcekungan Langkat di bagian tenggara

2.3 Stratigrafi Cekungan Sumatera Utara

Stratigrafi Cekungan Sumatera Utara sudah diteliti oleh banyak peneliti, di


antaranya Oppenoorth & Zwierzycki (1917), Van Bemmelen (1949), GDRC,
Mulhadiono (1978) dan Cameron (1980) (Tabel 2.1). Salah satu peneliti pada
daerah ini yang terakhir adalah Cameron et al, 1980 (Gambar 2.3). Dengan urutan
– urutan stratigrafi mulai dari yang tua ke muda adalah Formasi Tampur, Formasi
Meucampli, Formasi Parapat, Formasi Bampo, Formasi Belumai, Formasi Peutu,
Formasi Baong, Formasi Keutapang, Formasi Seurela dan Formasi Julurayeu.
Dengan uraian masing – masing Formasi sebagai berikut :

2.3.1 Formasi Tampur

Proses pengendapan sedimen di Cekungan Sumatera Utara bermula pada


Eosen Akhir yang ditandai dengan terjadinya proses pengendapan Formasi
Tampur di atas Tampur Platform sebagai platform karbonat, yang di beberapa
lokasi sering disebut sebagai economic basement. Formasi ini diendapkan secara
tidak selaras di atas batuan dasar. Formasi Tampur tersusun atas batugamping
massif, batugamping bioklastik, kalkarenit, dan kalsilutit.

Analisis biostrtigrafi berdasarkan foraminifera planktonik dari sumur X di cekungan Sumatera Utara
Romy Setiawan
Gambar 2.2 Peta lokasi Cekungan Sumatera Utara (Darman, 2000).

Analisis biostrtigrafi berdasarkan foraminifera planktonik dari sumur X di cekungan Sumatera Utara
Romy Setiawan
Tabel 2.1 Perkembangan terminologi stratigrafi pada Cekungan Sumatera Utara (Barber, Crow, dan Milsom, 2005)

Analisis biostrtigrafi berdasarkan foraminifera planktonik dari sumur X di cekungan Sumatera Utara
Romy Setiawan
Gambar 2.3 Stratigrafi regional pada Cekungan Sumatera Utara (Kamili dan Naim, 1973, Mulhadiono, 1976, Cameron, et al.,1980).

10

Analisis biostrtigrafi berdasarkan foraminifera planktonik dari sumur X di cekungan Sumatera Utara
Romy Setiawan
Nodul-nodul rijang juga ditemukan di beberapa tempat pada Formasi ini, Formasi
ini juga dijumpai dolomite dan basal konglomerat. Formasi ini terendapkan di
daerah sublitoral – open marine selama Eosen Akhir hingga Oligosen Awal.
Batugamping Tampur Eosen pada umumnya ditemukan pada Paparan Malaka
(Sjahbuddin dan Djaafar, 1993).

2.3.2 Formasi Meucampli

Formasi Meucampli memiliki umur yang ekivalen dengan Formasi


Tampur, yaitu Eosen Tengah. Formasi ini tersusun atas sedimen klastik,
batugamping dan di beberapa tempat terdapat material volkanik.

2.3.3 Formasi Parapat

Formasi Parapat terendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Tampur.


Formasi ini diendapkan sebagai endapan kipas alluvial yang terendapkan di
sepanjang Sesar Sumatera. Litologi utama pada Formasi ini adalah breksi kuarsa
mikaan, konglomerat dan batupasir mikaan. Pada batupasir di Formasi ini terdapat
struktur ripple, struktur sedimen silang siur dan juga mengandung zat-zat
organik. Lingkungan pengendapan pada umumnya terdapat di cekungan graben
dari batuan asal, fluviatil kadang secara lokal dapat meningkat menjadi laut
dangkal. Ketebalan lapisan pada Formasi ini bervariasi dengan tebal maksimum
adalah 2700 m. Perubahan ketebalan maupun penipisan terjadi dengan cepat.
Umur Formasi ini adalah Oligosen Awal.

2.3.4 Formasi Bampo

Fase transgresi awal ditandai oleh terjadinya proses pengendapan Formasi


Bampo yang diendapkan pada lingkungan pengendapan marine/lacustrine.
Formasi Bampo diendapkan secara selaras di atas Formasi Parapat. Akan tetapi,
sebagian Formasi Bampo memiliki umur yang sama dengan Formasi Parapat.
Litologi pada Formasi ini didominasi oleh satuan batuan batulempung berwarna
abu-abu gelap-hitam, batulumpur dan lanau serta banyak ditemukan nodul-nodul
karbonat. Formasi ini mempunyai umur yang berbeda-beda. Di Aceh Formasi ini
memiliki umur Oligosen Akhir namun di daerah timur mempunyai umur Miosen

11

Analisis biostrtigrafi berdasarkan foraminifera planktonik dari sumur X di cekungan Sumatera Utara
Romy Setiawan
Awal. Ketebalan Formasi ini di bagian selatan antara 0-120 m, di timur antara
220-550 m, di utara 2400 m. Formasi ini terendapkan pada lingkungan yang
berbeda-beda untuk daerah yang berbeda-beda, di sebelah utara lingkungan
pengendapannya adalah neritik luar sampai bathyal atas, di tempat lain pda
umumnya Formasi ini diendapkan di lingkungan laut dangkal.

2.3.5 Formasi Belumai

Fase transgresi selanjutnya berlangsung pada Miosen Awal dan ditandai


dengan terjadinya pengendapan material-material klastik Formasi Belumai.
Formasi Belumai diendapkan secara selaras di atas Formasi Bampo. Formasi ini
mempunyai dua anggota yaitu Batupasir Belumai dan Batugamping Telaga.
Litologi utamanya batupasir abu-abu gelap kehijauan, kuning apabila sudah lapuk;
mengandung glaukonit dan gamping, juga mengandung batulanau dan sisipan
serpih. Pengendapan lapisan di Formasi ini terjadi pada lingkungan delta
bergradasi menjadi laut litoral dan shelf. Sumber sedimen diperkirakan berasal
dari selatan dan dari arah timur. Umur Formasi ini adalah Miosen Awal.

2.3.6 Formasi Peutu

Formasi Peutu memiliki umur yang sama dengan Formasi Belumai.


Litologi utama pada Formasi ini tersusun oleh lanau dan batugamping.

2.3.7 Formasi Baong

Pada saat terjadinya proses pengendapan Formasi Baong, ditemukan


banyak kumpulan fauna yang menunjukkan adanya puncak transgresi. Litologi
utamanya terdiri atas batulempung abu-abu hingga hijau dan napal yang terkadang
mengandung tufa. Pada tengah-tengah Formasi ini terdapat lensa-lensa batupasir.
Lingkungan pengendapan Formasi ini berada di daerah neritik dalam-luar dan
bathyal atas.

Bagian bawah Formasi ini merupakan batuan sumber hidrokarbon.


Hidrokarbon tersebut bermigrasi akibat adanya struktur diapir. Dimana sumber
daya hidrokarbon tertekan oleh batuan sedimen yang jenuh akan air yang
kemudian menyebabkan hidrokarbon terperangkap pada batupasir di tengah-

12

Analisis biostrtigrafi berdasarkan foraminifera planktonik dari sumur X di cekungan Sumatera Utara
Romy Setiawan
tengahFormasi ini. Sebagai contohnya Lapangan Aru. Formasi Baong juga dapat
ditemukan di Bukit Barisan yang memiliki ketebalan sampai 2000 m. Batupasir
pada Formasi ini diendapkan dari tepi cekungan-cekungan utama.

2.3.8 Formasi Keutapang

Formasi ini diendapkan secara selaras di atas Formasi Baong. Lingkungan


pengendapan pada Formasi ini adalah delta dan laut dangkal dengan ketebalan
±1500 m dan pada Bukit Barisan memiliki ketebalan ±900 m. Formasi ini
memiliki umur Miosen Akhir. Litologi utama pada Formasi ini, adalah: batupasir
yang memiliki warna coklat keabu-abuan berseling dengan serpih dan
batugamping tipis. Butiran batupasir beragam, dari halus hingga sangat kasar.
Pada batupasir ditemukan fosil (fragmen Gastropoda dan Pelecypoda,
Foraminifera) dan glaukonit pada umumnya. Pada Formasi ini juga dapat
ditemukan fragmen-fragmen kayu yang berseling dengan serpih, berwarna abu-
abu, blocky, dan terlihat banyak bioturbasi.

2.3.9 Formasi Seurela

Formasi ini diendapkan secara selaras di atas Formasi Keutapang dengan


ketebalan lapisan diantara 700 - 900 m. Di sebelah barat ditemukan kontak
ketidakselarasan. Litologi Formasi Seurela adalah konglomerat, batupasir, napal
dan batulempung. Fosil dan fragmen kayu pada umumnya ditemukan pada
batupasir dan serpih dari Formasi ini. Material klastik gunungapi juga banyak
ditemukan pada batupasir dari Formasi ini. Lingkungan pengendapan Formasi ini
litoral.

2.3.10 Formasi Julurayeu

Formasi ini terendapkan di lingkungan pengendapan fluviatil hingga


litoral. Litologi utama pada Formasi Julurayeu adalah lempung dan konglomerat
pada bagian bawah Formasi yang kemudian pada bagian atas berubah menjadi
batupasir tufaan yang lunak. Formasi ini memiliki ketebalan diantara 400-600 m
dengan umur adalah Plio-Plistosen.

13

Analisis biostrtigrafi berdasarkan foraminifera planktonik dari sumur X di cekungan Sumatera Utara
Romy Setiawan
2.4 Tektonostratigrafi Cekungan Sumatera Utara

Penelitian tentang stratigrafi pada Cekungan Sumatera Utara sudah


dilakukan sejak tahun 1880an, yaitu semenjak ditemukannya minyak di Telaga
Tiga (1883) dan Telaga Said (1885). Pada saat ini sudah banyak perkembangan
tentang pembagian stratigrafi pada Cekungan Sumatera Utara. Terminologi
stratigrafi pada Cekungan Sumatera Utara yang dipakai saat ini dapat dilihat pada
(Gambar 2.3). Untuk mengaitkan pertistiwa tektonik dan pengendapan yang
terjadi saat Tersier, maka dibentuklah suatu tektonostratigrafi oleh para ahli
sehingga dapat menggambarkan siklus pengendapan yang lebih lengkap.
Tektonostratigrafi (Gambar 2.4) pada Cekungan Sumatera Utara dibagi menjadi 5
fase (Gambar 2.5), yaitu (Darman dan Sidi, 2000): Fase Pre rift (Eosen), Fase
Early syn-rift (Eosen Akhir – Oligosen), Fase Late syn-rift (Oligosen Akhir –
Miosen Tengah), Fase transgresi maksimum (Miosen Tengah) dan Fase Syn-
orogenic (Miosen Tengah – Resen).

2.4.1 Fase Pre rift (Eosen)

Sedimen Tersier yang pertama kali terendapkan pada Pulau Sumatera


merupakan sedimen endapan laut dangkal pada batas kontinen (Shallow water
continental margint sedimen). Hal ini sesuai dengan konfigurasi cekungan pada
saat Eosen yang dapat dilihat pada Gambar 2.4.

Sedimen laut dangkal ini terendapkan di atas basement Sundaland


berumur pra-Tersier yang tererosi. Sedimen ini membentuk Formasi Tampur di
Cekungan Sumatera Utara (Gambar 2.3). Berdasarkan penelitian Van Bemmelen
tahun 1949, ditemukan sebuah singkapan batugamping di aliran Sungai Tampur
dan di dalamnya terdapat Laminasi alga, koral dan sisa-sisa coaly plants. Hal ini
membuktikan bahwa batugamping ini terendapkan pada lingkungan pengendapan
sub-litoral hingga laut terbuka. Umur dari Formasi Tampur ini diperkirakan
memiliki umur Eosen hingga Oligosen Akhir, perkiraan umur tersebut
berdasarkan dari posisi stratigrafi dan korelasi regional (Bennet dkk. 1981, dalam
Barber, Crow, dan Milsom, 2005).

14

Analisis biostrtigrafi berdasarkan foraminifera planktonik dari sumur X di cekungan Sumatera Utara
Romy Setiawan
Gambar 2.4 Konfigurasi Cekungan Sumatera Utara saat Eosen (satyana, 2008).

15

Analisis biostrtigrafi berdasarkan foraminifera planktonik dari sumur X di cekungan Sumatera Utara
Romy Setiawan
Gambar 2.5 Tektonostratigrafi Cekungan Sumatera Utara
(Darman dan Sidi, 2000 modifikasi Barber, Crow, dan Milsom, 2005)

16

Analisis biostrtigrafi berdasarkan foraminifera planktonik dari sumur X di cekungan Sumatera Utara
Romy Setiawan
2.4.2 Fase Early syn – rift (Eosen Akhir – Oligosen)

Fase early syn-rift yang terjadi pada Cekungan Sumatera Utara berawal
dari terjadinya proses tumbukan antara Benua India dengan Lempeng Eurasia
pada Eosen Akhir. Tumbukan ini menyebabkan terjadinya aktifasi 2 sesar utama,
yaitu Sesar Sumatera dan Sesar Malaka yang merupakan sesar mendatar dextral.
Aktifitas dari kedua sesar inilah yang menyebabkan terbentuknya horstgraben
pada Cekungan Sumatera Utara (Gambar 2.6).

Gambar 2.6 Struktur horst – graben yang merupakan produk konvergensi Benua India dengan
Lempeng Eurasia (Satyana, 2008)

Horst graben ini merupakan pull-apart basin yang memiliki arah orientasi
utara-selatan. Struktur horst graben ini mengubah bentukan morfologi dan
sedimentasi pada Pulau Sumatera. Bentuk awal Pulau Sumatera yang berupa
dataran (peneplain) berubah menjadi pegunungan dengan dalaman-dalaman yang
terisolasi. Proses sedimentasi dikontrol oleh sesar dan didominasi oleh proses
fluviatil dan lacustrain yang sumber sedimennya berasal dari tinggian setempat.
Hal ini dapat dianalogikan dengan proses sedimentasi yang terjadi pada rift valley
yang terdapat di bagian Afrika Timur pada saat ini. Pada Cekungan Sumatera

17

Analisis biostrtigrafi berdasarkan foraminifera planktonik dari sumur X di cekungan Sumatera Utara
Romy Setiawan
Utara, Formasi yang terendapkan pada tahapan ini ialah Formasi Bampo (Gambar
2.3).

2.4.3 Fase Late syn-rift (Oligosen Akhir – Miosen Tengah)

Pada saat Oligosen Akhir, tektonik regime pada Cekungan Sumatera Utara
mulai berubah. Subsiden regional akibat fase sagging terjadi pada saat itu. Pada
saat yang bersamaan, sistem busur Sumatera mulai terbentuk sehingga mulailah
dikenal dengan terminologi cekungan busur depan, cekungan busur belakang, dan
busur magmatik. Busur magmatik yang terbentuk ialah Bukit Barisan yang
memiliki arah orientasi baratlaut-tenggara. Kehadiran Bukit Barisan ini sangat
penting karena Bukit Barisan merupakan sumber persediaan sedimen yang
penting untuk cekungan busur depan dan cekungan busur belakang pada saat itu.
Cekungan Sumatera Utara terletak dekat dengan Bukit Barisan sehingga cadangan
sedimen pada cekungan ini berasal dari Bukit Barisan dengan sistem pengendapan
berupa sistem alluvial. Subsiden terus terjadi sehingga lingkungan pengendapan
mulai berubah menjadi laut terbuka, diawali dengan ditemukannya beberapa
pengendapan delta dan terumbu secara lokal. Formasi yang terendapkan pada
Cekungan Sumatera Utara pada fase ini ialah Formasi Peutu dan Formasi
Belumai. Formasi Peutu merupakan Formasi yang terendapkan pada fase awal
transgresi dengan lingkungan pengendapan berupa fluviatil. Formasi Belumai
merupakan Formasi yang terendapkan pada fase akhir transgresi sehingga
lingkungan pengendapan Formasi ini ialah delta bergradasi menjadi laut litoral
dan shelf.

2.4.4 Fase Transgresi Maksimum (Miosen Tengah)

Fase maksimum transgresi yang terjadi pada Miosen Tengah ini


sebetulnya tidak termasuk salah satu dari pembagian tektonostratigrafi, tetapi
biasanya fase ini dijadikan indikasi oleh beberapa peneliti sebagai suatu fase
terjadinya pengendapan maksimum dari marine shale dan minimum influx
klastik. Pada saat ini Bukit Barisan hampir seluruhnya mengalami
penenggalaman. Formasi yang terendapkan pada fase ini ialah Formasi Baong
(Gambar 2.3). Formasi Baong merupakan Formasi yang sangat baik sebagai seal

18

Analisis biostrtigrafi berdasarkan foraminifera planktonik dari sumur X di cekungan Sumatera Utara
Romy Setiawan
untuk lapisan reservoir dibagian bawahnya karena Formasi ini memiliki shale
yang cukup tebal.

2.4.5 Fase Syn – orogenic (Miosen Tengah – Resen).

Pada saat Miosen tengah, proses sagging yang terjadi di Cekungan


Sumatera Utara mulai melambat. Bukit Barisan pada fase ini uplift dan muncul
kembali sehingga menjadi sumber sedimen penting pada Cekungan Sumatera
Utara. Hal ini dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Morton dkk.,
1994, yang melakukan studi provenance pada Formasi Keutapang (Miosen Akhir)
dan menyimpulkan bahwa sedimen pada Formasi Keutapang berasal dari arah
barat atau baratlaut (Bukit Barisan terletak barat laut dari Cekungan Sumatera
Utara).

Pada Miosen Akhir hingga Plio-Pleistosen, proses tektonik kompresi


mulai mendominasi di daerah Cekungan Sumatera Utara. Proses kompresi ini
disebabkan oleh adanya aktifitas Sesar Sumatera dan pemekaran Laut Andaman.
Proses-proses kompresi ini dibantu dengan proses subduksi yang terjadi pada
Palung Sunda sehingga menyebabkan Bukit Barisan mencapai puncaknya saat
Plio-Pleistosen. Formasi yang terendapkan pada Cekungan Sumatera Utara saat
fase regresi ini ialah Formasi Keutapang, Formasi Seureula, dan Formasi
Julurayeu. Formasi Keutapang merupakan Formasi yang menandakan awal
lingkungan pengendapan deltaic pada Cekungan Sumatera Utara (Darman dan
Sidi, 2000).

2.5 Biostratigrafi

Biostratigrafi adalah salah satu cabang ilmu stratigrafi yang berkaitan


dengan studi paleontologi pada batuan sedimen. Berbagai macam fosil dapat
ditemukan dalam batuan sedimen yang diendapkan pada lingkungan yang
berbeda. Analisis biostratigrafi memiliki tujuan untuk dapat menentukan umur
relatif pada batuan sedimen, penentuan lingkungan pengendapan, paleoekologi,
paleotemperatur, paleomorfologi, analisis cekungan, dan sebagai penunjuk dalam
penentuan horizon marker untuk korelasi stratigrafi.

19

Analisis biostrtigrafi berdasarkan foraminifera planktonik dari sumur X di cekungan Sumatera Utara
Romy Setiawan
Biostratigrafi dapat berperan dalam penginterpretasian stratigrafi sekuen,
karena dalam proses penginterpretasian sebuah sekuen diperlukan pemahaman
akan hubungan stratigrafi, umur, dan fasies. Dimana fasies sendiri merupakan
suatu tubuh batuan yang memiliki karakteristik litologi yang sama secara fisik,
biologi, maupun kimia.

Satuan dasar dalam biostratigrafi disebut zona (biozona), yang merupakan


suatu lapisan tubuh batuan yang dapat dicirikan dari kandungan-kandungan
fosilnya yang terdiri dari satu takson atau lebih dan dapat dibagi lagi menjadi
satuan-satuan yang lebih kecil disebut dengan sub-zona. Unit biostratigrafi ada
dalam fitur diagnostik tertentu atau atribut yang digunakan sebagai dasarnya
terlah teridentifikasi. Oleh karena itu, unit biostratigrafi adalah unit objektif yang
berdasarkan dari identifikasi taksa fosil. Unit Biostratigrafi dapat dimasukkan
dalam catatan stratigrafi, baik secara vertikal maupun geografis, ketika data
tambahan diperoleh. Unit biostratigrafi dapat didasarkan pada satu takson, pada
kombinasi taksa, pada kelimpahan relatif, pada fitur morfologi terntentu, atau
pada berbagai fitur lain yang terkait dengan isi dan distribusi dari fosil dalam
strata. Interval suatu strata yang sama kemungkinan dapat berbeda tergantung dari
kriteria diagnostik atau kelompok fosil yang terpilih. Namun, ada beberapa jenis
strata yang mungkin memiliki celah di antara mereka atau tumpang tindih pada
rentang vertikal dan horizontal mereka. Unit biostratigrafi berbeda dari jenis unit
stratigrafi lainnya dimana organisme yang fosilnya terawetkan menunjukkan
perubahan evolusioner melalui waktu geologis yang tidak terulang dalam catatan
stratigrafi. Ini membuat kumpulan fosil dari suatu umur berbeda dari yang lain.

Fosil dulunya merupakan organisme hidup dan oleh karena itu mereka
merupakan indikator sensitif dari lingkungan masa lalu, pola sedimentasi, dan
distribusinya. Selain itu, karena proses evolusi bersifat permanen, fosil sangat
berguna dalam menentukan waktu asal relatif strata sedimen. Empat jenis interval
ditemukan pada batuan sedimen, antara lain : strata tanpa fosil, strata yang
mengandung organisme yang hidup dan terkubur di daerah tersebut (biocoenosis),
strata yang mengandung organisme yang hidup di daerah lain dan terbawa ke
daerah tersebut setelah mati (thanatocoenosis), dan strata yang mengandung

20

Analisis biostrtigrafi berdasarkan foraminifera planktonik dari sumur X di cekungan Sumatera Utara
Romy Setiawan
organisme yang terpindahkan saat masih hidup jauh dari lingkungan hidup normal
mereka. Fosil tersebut dapat tercampur atau terselingi dalam proporsi apa pun.
Semua kategori strata pengandung fosil dapat menjadi dasar untuk zonasi
biostratigrafi. Interval yang tidak memiliki fosil yang dapat diidentifikasi atau
yang tidak memiliki fosil sama sekali tidak digunakan untuk klasifikasi
biostratigrafi. Berbagai faktor dapat mempengaruhi keakuratan penentuan umur
dimana suatu fosil dapat terpindahkan ke sedimen yang lebih muda akibat erosi,
tertransport dan terendapkan ulang (Reworked fossils), fossil ditemukan pada
batuan yang lebih tua atau muda akibat fluida, melalui lubang hewan atau rongga
akar, atau oleh dikes atau diapirs sedimen (Introduced or infiltrated fossils) dan
tingkat sedimentasi yang sangat rendah dapat menyebabkan fosil dari umur dan
lingkungan yang berbeda menjadi terbaur atau sangat berasosiasi pada interval
stratigrafi yang sangat tipis, bahkan dalam satu dasar.

Dalam unit biostratigrafi terdapat beberapa istilah – istilah khusus


diantaranya :

1. Biostratigrafi
Unsur stratigrafi yang berkaitan dengan distribusi fosil dalam catatan
stratigrafi dan pengorganisasian suatu strata ke dalam unit – unit
berdasarkan fosil yang terkandung di dalamnya.
2. Klasifikasi biostratigrafi
Pembagian sistematis dan pengorganisasian dari bagian stratigrafi ke
dalam satuan bernama berdasarkan dari kandungan fosilnya.
3. Biozone
Istilah umum untuk segala jenis unit biostratigrafi tanpa memandang
ketebalan atau luas geografis. Biozone sangat bervariasi dalam ketebalan,
luas geografis dan rentang waktu yang ditunjukkan
4. Biohorizon
Batas, permukaan, atau tampilan stratigrafi dimana terdapat perubahan
signifikan dalam karakter biostratigrafi. Biohorizon tidak memiliki
ketebalan dan sebaiknya tidak digunakan untuk menjelaskan unit
stratigrafi yang sangat tipis yang memiliki ciri yang sangat khas.

21

Analisis biostrtigrafi berdasarkan foraminifera planktonik dari sumur X di cekungan Sumatera Utara
Romy Setiawan
5. Subbiozone (Subzone)
Adalah subdivisi dari biozone.
6. Superbiozone (Superzone)
Pengelompokkan dari dua atau lebih biozone dengan sifat biostratigrafi
yang berkaitan.
7. Zonule
Penggunaan istilah berikut tidak disarankan. Dikarenakan telah memiliki
arti yang berbeda dan sekarang pada umumnya digunakan sebagai
subdivisi dari biozone atau subbiozone.
8. Barren intervals
Interval stratigrafi yang tidak memiliki fosil yang biasanya umum pada
bagian stratigrafi tersebut.

Secara umum, terdapat 5 (lima) jenis biozone yang digunakan, antara lain :
Zona kisaran, Zona selang, Zona kumpulan, Zona puncak dan Zona keturunan.
Jenis – jenis Biozone ini tidak memiliki signifikansi hierarkis, dan tidak
berdasarkan pada kriteria yang saling eksklusif. Oleh karena itu, interval
stratigrafi tunggal dapat dibagi secara independen ke dalam zona kisaran, zona
selang, dan sebagainya, tergantung pada fitur biostratigrafi yang dipilih. Zona
kisaran memiliki 2 (dua) tipe utama yaitu zona kisaran takson dan zona kisaran
bersamaan. Berikut adalah penjelasan dari setiap jenis – jenis biozone :

A). Zona Kisaran Takson (Taxon-range Zone)


Badan strata yang mewakili kisaran stratigrafi dan geografis yang
diketahui dari spesimen takson tertentu. Zona ini merupakan jumlah
kenampakkan yang terdokumentasi di semua bagian individu dan lokasi
dimana takson tertentu tersebut telah diidentifikasi (Gambar 2.7).
Batas – batas zona kisaran takson adalah biohorizon yang menandai batas
terluar dari kejadian yang diketahui disetiap bagian lokal dari sebuah
spesimen yang kisarannya diwakili oleh zona tersebut. Batas – batas zona
kisaran takson disetiap bagian adalah batas dari kenampakkan stratigrafi
terendah dan kenampakkan stratigrafi tertinggi dari takson yang ditentukan
di bagian yang ditentukan.

22

Analisis biostrtigrafi berdasarkan foraminifera planktonik dari sumur X di cekungan Sumatera Utara
Romy Setiawan
Zona kisaran takson dinamai dari takson yang menggambarkan
penyebarannya.

Gambar 2.7 Contoh diagram zona kisaran takson (IUGS, 2013)

B). Zona Kisaran Bersamaan (Concurrent-range Zone)


Badan strata yang mencakup zona kisaran yang menimpa satu sama lain
dari dua taksa tertentu. Tipe zona ini dapat mencakup taksa tambahan yang
ditentukan sebagai penggambaran zona tersebut, tetapi hanya dua taksa
tertentu yang digunakan untuk menentukan batas zona (Gambar 2.8).
Batas – batas zona kisaran bersamaan didefinisikan dalam setiap bagian
stratigrafi tertentu oleh kenampakkan stratigrafi terendah dari dua taksa
pembatas dengan kisaran tinggi dan kenampakkan stratigrafi tertinggi dari
dua taksa pembatas dengan kisaran rendah.
Zona kisaran bersamaan dinamai dari taksa yang menjelaskan dan
mengkarakterisasi biozone berdasarkan kenampakkannya.

Gambar 2.8 Contoh diagram zona kisaran bersamaan (IUGS, 2013)

C). Zona Selang (Interval Zone)


Badan strata fosil antara dua biohorizon tertentu. Zona semacam itu tidak
dengan sendirinya merupakan zona kisaran dari sebuah takson atau
kebersamaan sebuah taxa, zona selang hanya didefinisikan dan

23

Analisis biostrtigrafi berdasarkan foraminifera planktonik dari sumur X di cekungan Sumatera Utara
Romy Setiawan
diidentifikasi berdasarkan dari biohorizon yang membatasinya (Gambar
2.9). Pada contoh berikut, batas bawah zona adalah kenampakkan takson a
yang diketahui paling rendah, dan batas atas zona adalah kenampakkan
takson b yang diketahui paling tinggi. Zona meluas secara lateral selama
kedua biohorizon yang digunakan masih dapat dikenali.

Gambar 2.9 Contoh diagram zona selang (IUGS, 2013)

Dalam pekerjaan stratigrafi bawah permukaan, di mana bagian tersebut


ditembus dari atas ke bawah dan identifikasi paleontologis umumnya
dibuat dari cutting bor, sering terkontaminasi oleh resirkulasi dari sedimen
yang telah dibor sebelumnya dan material yang terlepas dari dinding
lubang bor, zona selang yang terdefinisikan sebagai bagian stratigrafi yang
terdiri antara kenampakkan tertinggi yang diketahui dari 2 (dua) taksa
tertentu sangat berguna (Gambar 2.10).

Gambar 2.10 Contoh diagram zona selang (Zona kenampakkan tertinggi)


(IUGS, 2013)

24

Analisis biostrtigrafi berdasarkan foraminifera planktonik dari sumur X di cekungan Sumatera Utara
Romy Setiawan
Zona selang tipe ini telah disebut sebagai “zona kenampakkan terakhir”
tetapi lebih disarankan disebut sebagai “zona kenampakkan tertinggi”.
Batas – batas zona selang ditentukan oleh kenampakkan dari biohorizons
yang dipilih untuk definisinya.
Nama yang diberikan ke zona selang dapat berasal dari nama horizon
pembatas, nama batas bawah lebih dahulu dari batas atas, contohnya Zona
Selang Globigerinoides sicanus – Orbulina suturalis. Dalam pendefinisian
zona selang, kriteria untuk pemilihan biohorizons pembatas sebaiknya
ditentukan secara spesifik, misal kenampakkan terendah, kenampakkan
tertinggi, dll. Metode penamaan alternatif lainnya menggunakan nama dari
satu takson sebagai penamaan zonanya. Takson yang digunakan harus
merupakan bagian umum dari zona tersebut, meskipun tidak harus terbatas
pada zona tersebut.
D). Zona Keturunan (Lineage Zone)
Zona keturunan dianggap sebagai kategori terpisah karena untuk didefinisi
dan diakui tidak hanya membutuhkan identifikasi taksa tertentu tetapi juga
membutuhkan jaminan bahwa taksa yang dipilih sebagai definisi memiliki
segmen berturut-turut dari garis keturunan evolusi.
Zona keturunan merupakan badan strata yang mengandung spesimen yang
mewakili segmen tertentu dari garis keturunan evolusi. Kemungkinan
dapat mewakili keseluruhan takson dari sebuah keturunan (Gambar 2.11
A) atau hanya bagian dari penyebaran takson di bawah dari kenampakan
takson keturunan (Gambar 2.11 B).
Batas – batas zona keturunan mendekati batas unit kronostratigrafi.
Namun, zona keturunan berbeda dari unit kronostratigrafi yang sangat
terbatas, seperti semua unit biostratigrafi, terhadap penyebaran spasial dari
fosil yang sebenarnya. Zona keturunan merupakan cara yang paling dapat
diandalkan untuk mengkorelasikan waktu relatif dengan menggunakan
metode biostratigrafi.
Batas zona keturunan ditentukan oleh biohorizon yang mewakili
kenampakkan terendah dari unsur keturunan evolusioner yang berurutan
yang dapat dipertimbangkan.

25

Analisis biostrtigrafi berdasarkan foraminifera planktonik dari sumur X di cekungan Sumatera Utara
Romy Setiawan
Zona keturunan dinamai dari takson dalam garis keturunan yang kisaran
atau kisaran parsialnya diwakilinya.

Gambar 2.11 Contoh diagram zona keturunan (IUGS, 2013)

E). Zona Kumpulan (Assemblage Zone)


Badan strata yang dicirikan oleh sebuah kumpulan dari tiga atau lebih
taksa fosil yang terambil secara bersamaan, dibedakan di karakteristik
biostratigrafi dari strata yang berdekatan (Gambar 2.12).
Batas zona kumpulan ditarik di biohorizon yang menandai batas – batas
kenampakkan dari kumpulan yang ditentukan yang merupakan
karakteristik dari unit tersebut. Tidak semua anggota dari suatu kumpulan
tersebut perlu muncul untuk sebuah bagian agar dapat dikategorikan
sebagai zona kumpulan, dan penyebaran total dari setiap anggotanya dapat
melebihi batas – batas zona.
Nama zona kumpulan berasal dari nama salah satu fosil yang paling
penting.

Gambar 2.12 Contoh diagram zona kumpulan (IUGS, 2013)

26

Analisis biostrtigrafi berdasarkan foraminifera planktonik dari sumur X di cekungan Sumatera Utara
Romy Setiawan
F). Zona Puncak (Abundant Zone)
Badan strata di mana kelimpahan dari takson atau kelompok takson
tertentu jauh lebih besar dari biasanya. Kelimpahan dari sebuah takson
atau taksa yang tidak biasa dalam catatan stratigrafi dapat merupakan hasil
dari sejumlah proses yang bersifat lokal, tetapi dapat terulang di tempat
lain diwaktu yang berbeda. Karena itu, satu – satunya cara pasti untuk
mengidentifikasi sebuah zona kelimpahan adalah dengan melacaknya
secara lateral (Gambar 2.13).
Batas zona puncak didefinisikan oleh biohorizon yang mana terdapat suatu
perubahan penting pada kelimpahan dari taksa yang dipilih atau taksa yang
mencirikan zona tersebut.
Zona puncak dinamakan dari takson atau taksa yang memiliki kelimpahan
yang sangat signifikan.

Gambar 2.13 Contoh diagram zona puncak (IUGS, 2013)


2.5.1 Foraminifera

Foraminifera diklasifikasikan ke dalam Kerajaan Protista, yaitu kerajaan


organisme bersel satu dan masuk kedalam Filum Protozoa yang hidup secara
akuatik (hidup di dalam laut), memiliki satu atau lebih kamar yang terpisah satu
sama lain oleh sekat (septa) yang ditembus oleh banyak lubang halus atau
foramen (Pringgoprawiro dan Kapid, 2000). Foraminifera biasanya terdapat pada
batuan sedimen dan jumlahnya sangat melimpah dan memiliki peranan penting
dalam analisis mikropaleontologi dan paleokologi.

27

Analisis biostrtigrafi berdasarkan foraminifera planktonik dari sumur X di cekungan Sumatera Utara
Romy Setiawan
Foraminifera memiliki proses perkembangbiakan secara seksual maupun
aseksual, hal ini dilihat dengan adanya dua bentuk yang berbeda dalam satu
spesies Foraminifera (dimorfisme) antara lain mikrosferik dan megalosferik.
Berdasarkan ukurannya Foraminifera dibagi menjadi dua kelompok, yaitu
kelompok Foraminifera besar dan kelompok Foraminifera kecil. Namun
berdasarkan cara hidupnya Foraminifera dibagi menjadi dua bagian, yaitu
Foraminifera plangtonik dan Foraminifera bentonik. Kelompok Foraminifera
besar pada umumnya termasuk dalam Foraminifera bentonik.

Dalam analisis mikrofosil, cangkang dari sebuah Foraminifera merupakan


bagian yang paling penting. Determinasi Foraminifera pada dasarnya dilakukan
berdasarkan kenampakan fisik atau morfologi cangkang serta struktur dalam
cangkang. Cangkang Foraminifera memiliki karakteristik tertentu yang dapat
dijadikan sebagai acuan dalam identifikasi dan analisis Foraminifera itu sendiri.
Cangkang Foraminifera bisa terdiri atas sebuah kamar atau beberapa kamar. Batas
antar kamar disebut sutura dan biasanya mempunyai satu atau lebih lubang
bukaan yang di sebut aperture. Pada umumnya ukuran cangkang Foraminifera
kurang dari 1 mm kecuali Foraminifera dari beberapa kelompok Rotaliina dan
Fusulina. Selain susunan kamar masih terdapat beberapa karakteristik yang harus
diamati dari cangkang Foraminifera yaitu bentuk cangkang (Gambar 2.14), bentuk
kamar (Gambar 2.15), bentuk dan posisi aperture (Gambar 2.16), hiasan (Gambar
2.17) dan permukaan dinding.

2.5.2 Foraminifera Plangtonik

Dalam aplikasi mikropaleontologi Foraminifera plangtonik sangat penting


dalam penentuan umur relatif suatu tubuh batuan. Penentuan umur relatif suatu
tubuh batuan dengan menggunakan Foraminifera plangtonik telah banyak
dilakukan karena cukup mudah dan murah. Penentuan umur relatif batuan dapat
kita lakukan dengan mengamati pemunculan awal dan akhir dari suatu takson
yang merupakan takson indeks dari suatu umur tertentu.

28

Analisis biostrtigrafi berdasarkan foraminifera planktonik dari sumur X di cekungan Sumatera Utara
Romy Setiawan
Gambar 2.14 Gambar jenis – jenis bentuk cangkang pada Foraminifera
(Loeblich dan Tappan, 1988)

Gambar 2.15 Gambar jenis – jenis bentuk kamar pada Foraminifera


(Loeblich dan Tappan, 1988)

29

Analisis biostrtigrafi berdasarkan foraminifera planktonik dari sumur X di cekungan Sumatera Utara
Romy Setiawan
Gambar 2.16 Gambar jenis – jenis bentuk aperture pada Foraminifera
(Loeblich dan Tappan, 1988)

Gambar 2.17 Gambar jenis – jenis bentuk hiasan pada Foraminifera


(Loeblich dan Tappan, 1988)

30

Analisis biostrtigrafi berdasarkan foraminifera planktonik dari sumur X di cekungan Sumatera Utara
Romy Setiawan
2.5.3 Foraminifera Bentonik

Foraminifera bentonik memiliki daerah distribusi pada hampir semua


lingkungan laut dan transisi. Foraminifera bentonik merupakan indikator penting
untuk suatu lingkungan. Fosil dari Foraminifera bentonik dapat digunakan untuk
melakukan interpretasi lingkungan pengendapan purba dan paleobatimetri. Dalam
penentuan paleobatimetri digunakan hubungan seperti pola fauna dalam
keragaman dan kelimpahan spesies, kehadiran spesies porselen, aglutinan, serta
hyalin, rasio plangtonik-bentonik, kemudian kisaran kedalaman biofasies dan
batas atas kedalaman dari spesies pada kedalaman yang sama (isobathyal).
Penentuan paleobatimetri pada penelitian ini menggunakan suatu model yang
dibuat oleh Adi P Kadar (IPA 1996) dari model cekungan Kutei Basin (Gambar
2.18).

31

Analisis biostrtigrafi berdasarkan foraminifera planktonik dari sumur X di cekungan Sumatera Utara
Romy Setiawan
0 - 10 M 30 M 100 M 200 M 1000 M 2000 M
Inner Middle Outer Upper Lower
Neritic Neritic Neritic Bathyal Bathyal
Transition
Inner Middle Outer Upper Lower
Shelf Shelf Shelf Slope Slope

photic zone, most plankton


Trochammina spp. Clastic Facies -------- 75 – 150M --------
Haplophragmoides Pseudorotalia yabei
Milliammina fusca Psd. alveiformis
aphotic zone
Ammobaculites Psd. gaimardii 20% planktonic
foliaceus Elphidium crispum Amphistegina lessonii
Elphidium advenum Amphistegina radiata 40-80% planktonic
Ammonia beccarii Elphidium macellum Cibicides praecintus Eponides umbonatus
Elphidium spp. Globocassidulina 90% planktonic
Operculina spp. small Bolivina
subglobosa Uvigerina schwageri
Nonionella spp. Operculinella spp. Carbonate facies Anomalina spp.
Trochammina Larger forams : Bolivina spp. Gyroidina soldanii
small Cibicides Anomalinella rostrata Bathysiphon
Operculina spp. Uvigerina crasicostata Globocassidulina spp.
Haplophragmoides spp. Peneroplis Asterigerina spp. arenacea
Operculinella spp. Uvigerina asperula Hoeglundina elegans
Milliammina fusca carinatus Angulogerina Large
Lepidocyclina Cassidulina Melonis pompilinoides
Ammobaculites Miliolida Larger forams : Ammodiscus
Miogypsina Bulimina Pullenia
Ostracods - Lepidocyclina Cyclammina
Amphistegina lessonii Lenticulina Sigmoilopsis
- Miogypsina schlumbergeri elegans
Amphistegina radiata - Cycloclypeus Gyroidina soldanii
Austrotrillina Globobulimina spp. Large Ammodiscus Cyclammina
Eponides Cyclammina cancellata
howchini Virgulina Cibicides
Flosculinella dorsopostulosus cancellata Sigmoilopsis
Robulus/Lenticulina sp. Cyclammina elegans Dorothia
Anomalinella rostrate Cibicides Nodosaria spp.
Asterigerina spp. Dentalina Dorothia bradyana bradyana
dorsopustulosus Karreriella
Anomalina colligera Pyrgo
Anomalina glabrata

Gambar 2.18 Indikator paleoenvironmental Foraminiferal terpilih di Cekungan Kutai pada umur Miosen
(Disusun oleh Adi P, Kadar, Hudianto, Armein, 1996, modified by Romy Setiawan).

32

Analisis biostrtigrafi berdasarkan foraminifera planktonik dari sumur X di cekungan Sumatera Utara
Romy Setiawan

Anda mungkin juga menyukai