Anda di halaman 1dari 8

Pengertian Masa’il Fiqhiyah

Kata Masail Fiqhiyah (‫ )المس ا ئ ل الفقهية‬secara etimologi berasal dari bahasa Arab yang
merupakan rangkaian dari dua lafazh, yakni masa’il dan fiqhiyah. Lafazh masa’il (‫)مسلئل‬
adalah bentuk dari jama’ taksir dari mas’alah (‫ )مسئلة‬yang bermakna masalah atau problem.
Kata dasarnya adalah sa’ala (‫ )سئل‬dan bermakna bertanya. Masail adalah masalah-masalah
baru yang muncul akibat pertanyaan-pertanyaan untuk dicari jawabannya. Masail fiqhiyah
menurut pengertian bahasa adalah permasalahan-permasalahan baru yang bertalian dengan
masalah-masalah atau jenis-jenis hukum (fiqh) dan dicari jawabannya.

Berdasarkan definisi secara kebahasaan di atas, maka secara istilah, masa’il fiqhiyah adalah
problem-problem hukum islam baru al-waqi’iyyah (faktual) dan dipertanyakan oleh umat
jawaban hukumnya karena secara eksplisit permasalah tersebut tidak tertuang di dalam
sumber-sumber hukum Islam. Ia juga berarti persoalan hukum Islam yang selalu dihadapi
oleh umat Islam sehingga mereka beraktivitas dalam sehari-hari selalu bersikap dan
berperilaku sesuai dengan tuntunan Islam.

Masa’il fiqhiyah atau fiqh kontemporer merupakan masalah-masalah baru yang muncul
setelah turunnya Al-quran dan hadits dan setelah wafatnya Rasulullah Saw yang belum ada
ketentuan hukum secara pasti, sehingga dalam mencari jawabannya memerlukan kesepakatan
para ulama dalam menentukan hukum yang diambil dari Al-Quran, hadits, ijma’ dan qiyas.

Masa’il fiqhiyah disebut juga masa’il fiqhiyah al-haditsah (persoalan hukum Islam yang
baru), atau masa’il fiqhiyyah al-ashriyyah (persoalan hukum Islam kontemporer).1

Yang dimaksud dengan hukum Islam pada masa kontemporer adalah hukum Islam pada masa
kini atau dewasa ini. Sedang yang dimaksud dengan hukum Islam dalam konteks ini adalah
fiqh. Jadi hukum Islam kontemporer adalah perkembangan pemikiran fiqh Islam dewasa ini.
Adapun penyebutan kontemporer pada fiqh maksudnya adalah pola pemahaman fiqh abad
XIX dan seterusnya (hingga sekarang) lawan dari klasik (fiqh klasik) yaitu pola pemahaman
fiqh abad VII-XII.

Namun dari pengamatan yang ada, sering muncul istilah hukum Islam kontemporer adalah
padanan dari masail fiqhiah, yaitu kajian fiqh atas isu-isu kontemporer. Dari tema-tema yang
diangkat dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan hukum Islam kontemporer adalah
perspektif hukum Islam terhadap masalah-masalah kekinian. Banyak sekali kasus baru atau
1
Abdurrohman Kasdi, Masail Fiqhiyyah, Kudus, Nora Media Enterprise, 2011, hlm : 5-6
problematika kekinian yang belum pernah muncul sebelumnya dipaparkan dan diulas. Karena
itu, sangat logis jika pengertian hukum Islam kontemporer seperti itu dikesankan bersifat
responsif. Artinya, fiqh dewasa ini mecoba merespons persoalan-persoalan baru yang
meminta penjelasan dari aspek status hukum (halal-haram)nya. Di samping itu, hukum Islam
kontemporer juga mencoba untuk melihat perubahan-perubahan signifikan hukum Islam dari
masa ke masa. Perubahan-perubahan signifikan itu muncul sebagai akibat, antara lain yang
paling menonjol adalah perkembangan zaman yang selalu meminta etika dan paradigma
baru.2

B. Ruang lingkup Kajian Masail Fiqiyah

Hukum Islam terkandung didalamnya sasaran pasti yaitu mewujudkan kemaslahatan.


Tidak ada hal yang sia-sia di dalam syari’at melalui Al-Qur’an dan al-Sunnah kecuali terdapat
kemaslahatan hakiki di dalamnya.

Ruang lingkup pembahasan Masail fiqhiyah meliputi :

1. Hubungan manusia dengan Allah SWT

Ilmu fiqih mengatur tentang ibadah yaitu ibadah mahdzah dan ghairu mahdzah. Ibadah
mahdzah adalah ajaran agama yang mengatur perbuatan-perbuatan manusia yang murni
mencerminkan hubungan manusia itu dengan sang pencipta yaitu Allah SWT. Sedangkan
ibadah ghairu mahdzah adalah ajaran agama yang mengatur perbuatan antar manusia itu
sendiri serta manusia dengan lingkungan.

Contoh masail fiqhiyyah yang berhubungan dengan ibadah yaitu hukum fiqh menyikapi
shalat jum’at lebih dari satu tempat (ta’adud al jum’at). Pada zaman sekarang dalam
pelaksanaan shalat jum’at sering memunculkan beberapa fenomena menarik. Semisal aturan
lokasi pelaksanaan shalat jum’at yang menurut sebagian kalangan harus terpusat di satu
tempat. Hal ini terkadang menimbulkan masalah disaat keadaan menuntut sebagian
masyarakat membuat lokasi alternatif. Mungkin anggapan mereka hal itulah yang terbaik
dengan alasan kondisi pemukiman, kapasitas tempat peribadatan dan interaksi sosial di
tengah-tengah mereka adalah faktor-faktor potensial pemicu kejadian semacam itu.
Menyikapi perkembangan di atas, statement mayoritas ulama secara tegas menghukumi wajib

2
Turmudi, IJTIHAD PADA MASA KONTEMPORER (Konteks Pemikiran Islam dalam Fiqh Dan Ushul Fiqh), Volume
25 Nomor 1 Januari 2014, diakses dari http://ejournal.iai-tribakti.ac.id/ pada tanggal 23 februari 2021, hlm 1-
2.
melakukan shalat jum’at di satu tempat dalam sebuah balad atau qaryah. Al-Syafi’i dalam hal
ini berpendapat bahwa shalat jum’at jelas tidak diperkenankan lebih dari satu tempat, baik ada
hajat atau tidak. Namun istinbath (penggalian) dari ulama syafi’iyyah dalam permasalahan ini
akhirnya memperbolehkan dengan batas hajat tertentu.

Faktor pemicu terjadinya ta’adud al-jum’at di atas sangat luas pemahamannya apabila kita
dalami satu persatu. Hanya saja syari’at mempermudah kita dengan memberikan sebuah
standar yang lebih fokus dengan mengembalikan kepada batasan “urfi (tradisi mayoritas
masyarakat) yang ditopang rasionalisasi tinggi, yaitu semua faktor yang sudah sampai pada
tingkat kesulitan yang diluar batas kemampuan. Artinya semisal konflik masyarakat dalam
satu daerah sudah sampai menyebabkan antar pihak sulit berkumpul hingga pada taraf hampir
mustahil atau semisal kapasitas tempat shalat yang terbatas dan tidak memungkinkan
menampung seluruh masyarakat di daerah tersebut, disitulah ta’adud al-jum’at
diperbolehkan.3

2. Hubungan manusia dengan sesama manusia

Sebagai contoh masail fiqhiyyah yang mengatur hubungan manusia dengan sesama
manusia yaitu mendonorkan organ tubuh. Pendapat pertama mengatakan bahwa transplantasi
seperti hukumnya haram. Meskipun pendonoran tersebut untuk keperluan medis bahkan
sekalipun telah sampai dalam kondisi darurat.

Dalil pendapat yang pertama yang Artinya adalah : Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan
jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu
membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.

Kelompok kedua berpendapat bahwa transplantasi hukumnya jaiz (boleh) namun memiliki
syarat-syarat tertentu, diantaranya adalah : adanya kerelaan dari si pendonor, kondisi si
pendonor harus sudah baligh dan berakal, organ yang didonorkan bukanlah organ vital yang
menentukan kelangsungan hidup seperti jantung dan paru-paru serta merupakan jalan terakhir
yang memungkinkan untuk mengobati orang yang menderita penyakit tersebut.

Dalil pendapat kedua yang artinya adalah : Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-
binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, Padahal

3
Qomaruzzaman, Paradigma Fiqh Masail Kontekstualisasi Hasil Bahtsul Masail, Tim Pembukuan Manhaji
Bahtsul Masail, Kediri, 2003, hal.55-56.
Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu,
kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. dan Sesungguhnya kebanyakan (dari manusia)
benar benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan.
Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas.
Dari fatwa Majelis Ulama Indonesia menyatakan bahwa dalam kondisi tidak ada pilihan lain
yang lebih baik, maka pengambilan organ tubuh orang yang sudah meninggal untuk
kepentingan orang yang masih hidup dapat dibenarkan oleh hukum Islam dengan syarat ada
izin dari yang bersangkutan dan izin dari keluarga atau ahli waris.

3. Hubungan manusia dengan dirinya sendiri

Contoh masail fiqhiyyah yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri yaitu
tentang hukum rebonding. Rebonding adalah meluruskan rambut agar rambut jatuh lebih
lurus dan lebih indah. Prosesnya dua tahap. Pertama, rambut diberi krim tahap pertama untuk
membuka ikatan protein rambut. Kemudian rambut dicatok, yaitu diberi perlakuan seperti
disetrika dengan alat pelurus rambut bersuhu tinggi. Kedua, rambut diberi krim tahap kedua
untuk mempertahankan pelurusan rambut.

Proses rebonding melibatkan proses kimiawi yang mengubah struktur protein dalam
rambut. Proses rebonding menghasilkan perubahan permanen pada rambut yang terkena
aplikasi. Namun rambut baru yang tumbuh dari akar rambut akan tetap mempunyai bentuk
rambut yang asli. Jadi, rebonding bukan pelurusan rambut biasa yang hanya menggunakan
perlakuan fisik, tapi juga menggunakan perlakuan kimiawi yang mengubah struktur protein
dalam rambut secara permanen. Inilah fakta (manath) rebonding.

Rebonding hukumnya haram, karena termasuk dalam proses mengubah ciptaan Allah
(taghyir khalqillah) yang telah diharamkan oleh nash-nash syara’. Dalil keharamannya adalah
keumuman firman Allah.

Artinya : “Dan aku (syaithan) akan menyuruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu mereka
benar-benar mengubahnya”. (QS An-Nisaa` [4] : 119).

Ayat ini menunjukkan haramnya mengubah ciptaan Allah, karena syaitan tidak menyuruh
manusia kecuali kepada perbuatan dosa. Mengubah ciptaan Allah (taghyir khalqillah)
didefinisikan sebagai proses mengubah sifat sesuatu sehingga seakan-akan ia menjadi sesuatu
yang lain (tahawwul al-syai` ‘an shifatihi hatta yakuna ka`annahu syaiun akhar), atau dapat
berarti menghilangkan sesuatu itu sendiri (al-izalah). Dari definisi tersebut, berarti rebonding
termasuk dalam mengubah ciptaan Allah (taghyir khalqillah), karena rebonding telah
mengubah struktur protein dalam rambut secara permanen sehingga mengubah sifat atau
bentuk rambut asli menjadi sifat atau bentuk rambut yang lain. Dengan demikian hukum
rebonding adalah haram.

Selain dalil di atas, keharaman rebonding juga didasarkan pada dalil Qiyas. Dalam hadis
Nabi SAW, diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud RA, dia berkata,“Allah melaknat wanita yang
mentato dan yang minta ditato, yang mencabut bulu alis dan yang minta dicabutkan bulu
alisnya, serta wanita yang merenggangkan giginya untuk kecantikan, mereka telah mengubah
ciptaan Allah.” (HR Bukhari).

Sebagian ulama telah menyimpulkan adanya illat dalam hadis tersebut, sehingga mereka
mengambil kesimpulan umum dengan jalan Qiyas, yaitu mengharamkan segala perbuatan
yang memenuhi dua unsur illat hukum, yaitu mengubah ciptaan Allah dan mencari
kecantikan. Abu Ja’far Ath-Thabari berkata dalam hadis terdapat dalil “ bahwa wanita tidak
boleh mengubah sesuatu dari apa saja yang Allah telah menciptakannya atas sifat pada
sesuatu itu dengan menambah atau mengurangi, untuk mencari kecantikan, baik untuk suami
maupun untuk selain suami.” (Imam Syaukani, Nailul Authar, 10/156; Ibnu Hajar, Fathul
Bari, 17/41; Tuhfarul Ahwadzi, 7/91).

Adapun meluruskan atau mengeriting rambut tanpa perlakuan kimiawi yang mengubah
struktur protein rambut secara permanen, yakni hanya menggunakan perlakuan fisik, seperti
menggunakan rol plastik dan yang semisalnya, hukumnya boleh. Sebab tidak termasuk
mengubah ciptaan Allah, tapi termasuk tazayyun (berhias) yang dibolehkan bahkan
dianjurkan syara’, dengan syarat tidak boleh ditampakkan kepada yang bukan mahrom.

4. Hubungan manusia dengan alam sekitar

Islam menekankan umatnya untuk menjaga kelestarian lingkungan dan berlaku arif
terhadap alam (ecology wisdom). Akan tetapi, doktrin tersebut tidak diindahkan. Perusakan
lingkungan tidak pernah berhenti. Eksplorasi alam tidak terukur dan makin merajalela.
Dampaknya, ekosistem alam menjadi limbung. Ini tentunya sangat mengkhawatirkan. Alam
akam menjadi amcaman yang serius. Fiqh Islam pun tumpul. Fiqh belum mampu menjadi
jembatan yang mengantarkan norma Islam kepada perilaku umat yang sadar lingkungan.
Sampai saat ini, belum ada fiqh yang secara komprehensif dan tematik berbicara tentang
persoalan lingkungan. Fiqh-fiqh klasik yang ditulis oleh para imam mazhab hanya berbicara
persoalan ibadah, mu’amalah, jinayah, munakahat dan lain sebagainya. Sementara, persoalan
lingkungan (ekologi) tidak mendapat tempat yang proporsional dalam khazanah islam klasik.
Karena itulah, merumuskan sebuah fiqh lingkungan (fiqh al-bi’ah) menjadi sebuah kebutuhan
yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Yaitu, sebuah fiqh yang menjelaskan sebuah aturan
tentang perilaku ekologis masyarakat muslim berdasarkan teks syar’i dengan tujuan mencapai
kemaslahatan dan melestarikan lingkungan.4

Di kalangan NU masail fiqhiyyah dibahas dalam forum khusus yang disebut Bahtsul Masail.
Bahtsul masail atau lembaga bahtsul masail diniyah (lembaga masalah-masalah keagamaan)
di lingkungan NU adalah sebuah lembaga yang memberikan fatwa-fatwa hukum keagamaan
kepada umat Islam.

Rambu-rambu yang tidak boleh dilanggar dalam penetapan hukum adalah :

a. Tidak boleh merusak akidah

b. Tidak boleh mengurangi/menghilangkan martabat manusia

c. Tidak boleh mendahulukan kepentingan peroangan atas kepentingan umum

d. Tidak boleh mengutamakan hal-hal yang masih samar-samar kemanfaatanyya atas


hal-hal yang sudah nyata kemanfaatannya

e. Tidak boleh melanggar ketentuan dasar akhlaq al-karimah (moralitas manusia).5

Tujuan mempelajari masail fiqihyyah secara garis besar diorientasikan kepada mengetahui
jawaban dan mengetahuiproses penyelesaian masalah melalui metodologi ilmiah, sistematis
dan analisis. Penetapan hokum akan difokuskan kepada 3 aspek :

1) Memperbaiki manusia secara individu dan kolektif agar dapat menjadi sumber
kabaikan bagi masyarakat.

2) Menegakkan keadilan dalam masyarakat islam.


4
Imdadun Rahmat, Kritik Nalar Fiqih NU : Transformasi Paradigma Bahtsul Masail, Lakperdas, Jakarta, 2002,
hal.3.

5
Abdurrohman Kasdi, Masail Fiqhiyyah, Nora Media Enterprise, Kudus, 2011, hal.6.
3) Hukum islam terkandung didalanya sasaran pasti yaitu mewujudkan kemaslahatan.
Tidak ada hal yang sia-sia didalam syariat melalui Al-Qur’an dan Al-Sunnah kecuali
terdapat kemaslahatan hakikki didalamnya.

Objek kajian Masail Fiqhyyah yaitu Syariat hukum yang akan terus hidup sekalipun tak
lagi diterapkan oleh manusia dalam kehidupannya. Didalam syariat tersebut ada norma dan
prinsip yang kemudian ditafsirkan oleh berbagai macam ahli fiqh untuk dapat diaplikasikan
kesetiap kehidupan manusia yang waktu dan kondisinya. Adalah sangan naïf apabila syariat
yang ditafsrkan menjadi fiqh pada masa terdahulu akan dapat menyelesaikan persoalan masa
kini. Oleh karena itu syariat selalu memerlukan penafsiran atau ijtihad.

Dalam hal diatas jelaslah bahwa setiap manusia menuntut dan mencari kebahagiaan dan
kesempurnaan, sedangkan keduanya tidak akan dicapai kalau manusia hidup semaunya
sendiri tanpa adanya peraturan dan kode etik hidup yang mengaturnya.

Selain berbagai makna syariat yang berkonotasi hokum, syariat dalam arti luas juga berarti
segala hal yang ditetapkan oleh Allah SWT. Kepada makhluknya tentang berbagai kaidah
atau aturan yang disampaikan kepada umat-Nya melalui nabi-nabi-Nya termasuk Nabi
Muhammad SAW baik yang berkaitan dengan hokum amaliah (Fiqh), hokum tauhid
(Akidah), maupun yang berhubungan dengan hokum etika (Akhlak).

Ungkapan hokum-hukum menunjukkan bhwa hokum tersebut dinisbatkan kepada syara’ atau
diambil darinya sehingga hokum akal (logika) seperti satu adalah separuh dari dua atau
semua lbih besar dari sebagian. Hokum-hukum syar’I dalam fiqh jjuga harus bersifat
amaliyah atau terkait langsung dengan perbuatan mukallaf seperti ibadahnya atau
muamalahnya.

Ilmu tentang hokum-hukum syar’i yang bersifat amaliah ini juga harus diperoleh dari dalil-
dalil rinci melalui proses penelitian mendalam terhadap dalil-dalil tersebut. Berarrti ilmu
Allah atau ilmu rosul Nya tentang hokum-hukum ini tidak termasuk dalam definisi karena
ilmu Allah berdiri sendiri tanpa penelitian bahkan Dialah pembuat hokum-hukum tersebut,
sedangkan ilmu Rosululah SAW diperoleh dari wahyu bukan dari kajian dalil. Demikian pula
pengetahuan seseorang tentang hokum syar’i dengan mengikuti pendapat ulama’, tidak
termasuk kedalam definisi ini, karena pengetahuannya tidak didapat dari kajian dan penelitian
yang dilakukan terhadap dalil-dalil.
Secara garis besar kandungan dalam ilmu fiqh ada tiga macam, hubungan seorang hamba
dengan Tuhan, dengan dirinya dan dengan masyarakat luas. Sehingga semua masalah
manusia diatur oleh fiqh islam karena fiqh bukan hanya mengurus urusan dunia saja namun
juga urusan akhirat. Fiqhy juga merupakan agama dan Negara. Fiqh islam selalu relevan
hingga hari kiamat. Sehingga konsep yang ditawarkan oleh fiqh islam menjanjikan
kebahagiaan abadi dunia dan akhirat. Dari alasan itulah pembahasan didalam fiqh islam
mencakup semua aspek kehidupan manusia.6

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrohman Kasdi, Masail Fiqhiyyah, Kudus, Nora Media Enterprise, 2011

Turmudi, IJTIHAD PADA MASA KONTEMPORER (Konteks Pemikiran Islam dalam Fiqh
Dan Ushul Fiqh), Volume 25 Nomor 1 Januari 2014, diakses dari http://ejournal.iai-
tribakti.ac.id/ pada tanggal 23 Februari 2021

6
Abudin Nata. 2003. Masail Al Fiqihyah, Jakarta: Prenada Media

Anda mungkin juga menyukai