Anda di halaman 1dari 11

Peran Wali Nikah Dalam Pandangan Islam

Yuftikha Freyla Safitri


Institut Agama Islam Negeri Metro
Jl. Ki Hajar Dewantara 15a Iringmulyo, Kota Metro, Lampung, Indonesia, 34112
E-Mail: yuftikhafreylasafitri1272@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini dilatarbelakangi dengan pentingnya peran wali nikah dalam


pandangan islam saat ini yang terus berkembang pada perkembangan zaman, hal
ini membawa beberapa pakar hukum islam yang telah membuat penelitian
tentang persoalan wali nikah dalam hukum pernikahan yang sebagai salah satu
aspek menarik untuk sebuah perbincangan. Pernikahan merupakan sebuah
ibadah dalam islam dan fitrah manusia sebagai makhluk-Nya. Manusia yang
sudah dewasa pasti akan membutuhkan teman hidupnya. Nikah yaitu suatu
ajaran yang sejak awal islam hingga saat praktik penyebaran agama islam
dengan melalui ajaran perkawinan yang dibawa walisongo.

Abstract
This research is motivated by the importance of the role of marriage
guardians in the current view of Islam that continues to develop in the times, this
brings several Islamic law experts who have made research on the issue of
marriage guardians in marriage law which is one of the interesting aspects for a
conversation. Marriage is a worship in Islam and human nature as His creatures.
Humans who have grown up will definitely need a life partner. Marriage is a
doctrine that from the beginning of Islam until the practice of spreading Islam
through marriage teachings brought by Walisongo.

Kata Kunci: Wali Nikah, Hukum Pernikahan.


A. Pendahuluan
Pernikahan merupakan bentuk terjemahan dari kata makaha dan zawaja,
kedua kata ini adalah suatu bentuk kekahsan antara golongan laki-laki dan
golongan perempuan, kemudian memiliki arti sebagai pasangan dengan lainnya.
Az-zaujah memiliki ati wanita yang pasangannya laki-laki dan az-zauj yaitu
laki-laki yang pasangannya perempuan atau biasa disebut dengan suami. Dalam
bahasa Indonesia, pernikahan memiliki kata nikah yang menurut bahasa sendiri
adalah mengumpulkan, saling memasukan, dan digunakan untuk arti bersetubuh
(wathi). Kata nikah mempunyai makna yang digunakan untuk arti persetubuhan.
Pernikahan ialah suatu asas yang sangat penting dalam kehidupan yang
paling utama dalam pergaulan atau masyarakat itu sendiri, bukan saja
pernikahan itu juga suatu jalan yang sangat mulia guna untuk mengatur
kehidupan dalam berumah tangga dan keturunan, namun pernikahan dalam
islam juga dapat dipandang sebagai suatu perjalanan untuk menuju pintu
perkenalan antara satu orang dengan orang yang lain,selanjutnya perkenalan itu
dapat menjadi tolak ukur untuk dapat saling tolong menolong antara satu dengan
yang lainnya. Pernikahan yaitu ikatan dalam perjanjian suci antara laki-laki dan
perempuan guna memenuuhi tujuan dalam berumah tangga sebagai pemenuhan
pasangan suami istri harus dengan menggunakan syarat dan rukun yang telah
ditetapkan dalam syariat islam, pernikahan sendiri juga memiliki tujuan untuk
menciptakan keluarga yang sakinah, mawadah dan warahmah, adapun tujuan
yang lainnya yaitu untuk memenuhi kebutuhan biologis, mencegah hal-hal untuk
berbuat maksiat, dan untuk menyempurnakan ibadah dalam islam.1
Di negara Indonesia sendiri ketentuan dengan pernikahan yakni telah
diatur oleh peraturan perundangan negara. Aturan yang dimaksud adalah UU
No.1 tahun 1974 disebutkan bahwa perknikahan dalam UU membahas tentang
ketentuan yang secara efektif dapat dijadikan oleh hakim untuk pedoman yang
wajib diikuti dalam perkara pernikahan. Hukum pernikahan adalah hal yang
sangat penting untuk dilakukan, esensinya hukum pernikahan tidak hanya untuk

1
Wijaya, Sandy, “Konsep Wali Nikah Dalam Komplikasi Hukum Islam Perspektif Hukum Islam,”
Yogyakarta, 2017, 1.
mengatur cara pelaksanaan pernikahan, namun dapat juga mengatur persolan
yang menyangkut tentang pernikahan.
B. Peranan Wali dalam Pernikahan
1. Wali Pernikahan
Syarat dan rukun dalam sebuah pernikahan pada sebuah akad nikah yaitu
wali. Hukum wali dalam pernikahan ini sama dengan saksi nikah, yaitu wajib.
Wali dalam sebuah pernikahan adalah seseorang yang menikahkan
perempuan dengan laki-laki, dalam pengertian islam wali ialah orang yang
harus berada dipihak perempuan apabila dalam pernikahan tersebut tidak
terdapat wali dari pihak si perempuan maka pernikahan itu tidak dianggap
sah. Maka dari itu wali nikah harus memenuhi syarat-syarat dan rukun dalam
pernikahan, rukun adalah sesuatu yang menentukan suatu pekerjaan (ibadah)
itu sah atau tidaknya dan itu termasuk kedalam pekerjaannya. Wali dapat
ditunjuk sebagai salah satu seorang yang mempunyai hak dan yang paling
akrab, terlebihnya memiliki hubungan darah, Imam Syafi’i mengatakan
tentang wali itu diambil dari garis ayah dan bukan garis dari ibu. Mengenai
mengapa yang berhak menjadi seorang wali itu adalah laki-laki dan bukan
perempuan bahwa hal itu oleh adanya budaya dari agama, konsep islam yang
memiliki hubungan laki-laki dan perempuan adalah jelas yaitu kesastraan.
Tetapi banyak masyarakat yang beranggapan bahwa kepala keluaraga adalah
seorang lai-laki. Sedangkan keunggulan menurut pandangan dalam islam
laki-laki adalah ketakwaan dan memiliki amal yang sholeh. Berikut syarat-
syarat dalam pernikahan: adil, islam, baligh, laki-laki, merdeka, waras (tidak
gila).2 Orang yang memiliki hak sebagai wali adalah:
a. Ayah, kakek, dan garis dari laki-laki
b. Saudara kandung laki-laki (seayah dan seibu)
c. Kemenakan laki-laki kandung atau seayah (anak laki0laki saudara laki-
laki kandung atau seayah)
d. Paman kandung atau seayah (saudara laki-laki kandung atau seayah)

2
Wasik, Abdul and Arifin, Samsul, “Fiqh Keluarga: Antara Konsep Dan Realitas,” Yogyakarta: Deepublish
10 (2015): 43.
e. Saudara sepupu kandung atau seayah (anak laki-laki paman kandung atau
seayah)
f. Penguasa tertinggi (hakim)
g. Wali yang diangkat oleh yang bersangkutan (wali muhakkam)

Menurut izinya perwalian merupakan suatu kekuatan dalam pernikahan,


akad nikah tidak akan berlangsung tanpa adanya perizinan dari seseorang.
Perwalian itu ada dua macam diantaranya:
1) Perwalian terbatas
Merupakan sebuah kekuatan dari seseorang untuk menikahi diri sendiri
tanpa adanya izin dari seseorang. Ulama fuqaha bersepakat bahwa
pernikahan itu berlaku untuk laki-laki yang berakal, saat ia menikahkan
dirinya pada perempuan yang ia kehendaki maka nikahnya adalah sah
dan saat itulah orang lain tidak dapat menolaknya, baik ia menikah
menggunakan mas kawin matsal atau yang lainnya.
2) Perwalian yang tidak terbatas
Perwalian yang tidak terbatas merupakan seseorang yang mempunyai
hak untuk menikahkan orang secara paksa. Perwalian ini disebut dengan
perwalian paksa

Dalam hukum pernikahan islam, ada empat macam wali nikah yaitu3:
a) Wali Nasab: wali pertalian darah dari pihak perempuan
b) Wali Hakim: wali yang dilakukan oleh penguasa bagi seorang perempuan
diakrenakan wali nasabnya tidak ada atau dikarenakan ada sebab yang
lain
c) Wali Muhakkam: wali yang terdiri dari seorang laki-laki yang diangkat
oleh calon suami istri dalam suatu pernikahan.

3
Hidayati, Taufika, “Analisis Yuridis Peranan Wali Nikah Menurut Fiqh Islam Dan Komplikasi Hukum
Islam,” no. 261 (2009): 4.
d) Wali Mu’tiq: wali nikah karena memerdekakan dalam artian seseorang
yang ditunjuk oleh pihak perempuan karena orang tersebut telah
memerdekakannya.
Telah dijelaskan bahwa wali nasab merupakan wali yang mempunyai
garis keturunan dari calon pengantinya, berbeda dengan wali yg lain. Wali
nasab yang memiliki kedudukan yang mutlak diantara wali yang lain.
Diantara wali tersebut ada yang memaksa seorang perempuan dibawah
perwaliannya untuk menikahkan dengan laki-laki tanpa si perempuan
mengetahuinya ialah yang disebut dengan “wali mujbir”. Kemudian tentang
wali hakim, yang posisinya dapat dijelaskan karena saling berkaitan yaitu:
(1) Wali yang jauh, dia hanya berhak menjadi wali saat wali terdekat tidak
bisa memenuhi syarat-syarat yang berlaku.
(2) Ketika wali yang dekat sedang tidak berada ditempat atau berpergian,
maka wali yang jauh bisa menggantikannya dengan mendapat
persetujuan dari kuasa wali terdekat itu.
(3) Apabila pemberi kuasa itu tidaklah ada, perwalian tersebut pindah ke
kepala negara atau yang telah diberi kuasa olenya.
Dalam keadaan tertentu wali nasab tidak bisa bertindak sebagai wali
dikarenakan tidak mampu memenuhi syarat atau menolak, demikianlah wali
hakim yang tidak akan bisa menjadi wali nasab karena beberapa sebab yang
ditimbulkan, maka mempelai dalam pernikahan dapat mengangkat seseorang
yang ditunjuk sebagai seorang wali untuk memenuhi syarat sahnya
pernikahan.

2. Kedudukan Wali dalam Pernikahan


Keberadaan wali nikah masih menjadi perselisihan, pemicu perbedaan
pendapat karena tidak adanya dalil Al-Quran maupun Al-Hadits yang secara
tegas sangat mensyariatkan adanya wali ketika berlangsungnya akad
pernikahan. Abu hanifah mengatakan bahwa dalam sebuah pernikahan
tidaklah mutlak memakai wali, karena wali yang dibutuhkan hanyalah untuk
permpuan yang masih kecil ataupun sudah dewasa tetapi memliki akal yang
kurang. Perempuan yang sudah dewasa tidak membutuhkan wali bahkan
bisa menikahkan dirinya sendiri, dengan artian pernikahan yang diucapkan
oleh perempuan dewasa dan berakal adalah sah.

C. Saksi dalam Pernikahan


Sebuah pernikahan tidaklah sah apabila tanpa adanya seorang wali. Saksi
merupakan orang yang menyaksikan suatu pernikahan yang akan dilaksanakan
secara langsung. Pada KUHP Pasal 1(26) “saksi yaitu orang yang bisa
memberikan suatu keterangan dalam suatu perkara yang ia dengar sendiri, dan ia
mengalaminya sendiri dengan menggunakan alasan pengetahuannya itu”. Jadi
saksi adalah orang yang secara langsung terlibat dalam sebuah pernikahan. Pada
sebuah kasus pernikahan, maka saksi adalah orang yang secara langsung melihat
proses ijab kabul dengan suatu tujuan agar masyarakat tahu bahwa mereka
menjadi pasangan suami istri yang sah dalam agama. Dalam Al-Quran tidak
dijelaskan mengenai saksi pernikahan tetapi ada satu ayat yang menjekaskan
tentang saksi rujuk.4
Allah Swt, berfirman:

ِ‫ف أَ ْو َف ا ِرقُ وهُنَّ ِب َمعْ رُوف‬ ٍ ‫َف إِ َذا َب َل ْغ َن أَ َج َلهُنَّ َفأَمْ ِس ُكو هُنَّ بش َمعْ رُو‬
َ ‫ظ ِبه> َمن َك‬
‫ان‬ ُ ‫َوأَ ْش ِه ُدوأ َذ َوىْ َع ْد ِل ِّم ْن ُك ْم َوأقِيمُوأ آل َّش َه َد َة هّلِل ِ َذلِ ُك ْم يُو َع‬
‫ َم ْخ َرجً ا‬,ُ‫ي ُْؤمِنُ ِباٌهّلل ِ َو ْال َي ْو ِم االَخ ِِر َو َمن َي َّت ِق هّللا َ َيجْ َعل لَّه‬

“Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka


dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan
dua orang saksi yang adil diantara kamu dan hendaklah kamu tegakkan
kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang
yang beriman kepada Allah dan hari akhir. Barang siapa bertakwa kepada Allah
niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar”. (QS. At-Thalaaq 65: 2)
Sedangkan dalil dalam hukum saksi pernikahan diantaranya:
4
Aizid, Rizem, “Fiqh Keluarga Terlengkap,” Yogyakarta, no. 22 (2018): 92.
1. “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dan dua orang saksi”. (HR.
Daruquthni).
2. “Tidak sah menikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi adil”. (HR.
Ahmad)
Berdasarkan dalil diatas, saksi pernikahan itu wajib. Saat pernikahan
dilangsungkan tanpa adanya saksi maka dengan demikian pernikahan itu
tidaklah sah atau batal. Namun, tidak semua orang dapat dijadikan saksi,
beberapa syaarat yang bisa menjadikan orang itu sebagai saksi dalam sebuah
pernikahan. Masalah menegenai hukum saksi pernikahan KHI menerangkan
pada pasal 24-26, pada pasal 24 yaitu:
a. Saksi dalam suatu pernikahan adalah rukun pelaksanaan berlangsungnya
akad nikah
b. Pada setiap pernikahan haruslah disaksikan oleh dua orang sebagai
saksinya.
Selanjutnya pada pasal 25 menerangkan bahwa saksi dalam pernikahan
“Yang dapat ditujuk sebagai seorang saksi pada sebuah akad pernikahan adalah
seorang laki-laki muslim, adil, baligh, tidak tuli dan tidak gila.
Kemudian KHI menjelaskan pada pasal 26 adalah “Orang yang menjadi saksi
haruslah mengadiri berlangsungnya akad pernikahan serta mendatangi akta
pernikahan pada suatu acara atau tempat yang telah ditetapkan.
Seperti itulah mengenai penjelasan saksi pernikahan, yang pada setiap pasal-
pasal itu tersirat ataupun tersurat menjelaskan syarat-syarat dalam saksi
pernikahan. Satu hal yang telah diberitahukan bahwa keberadaan saksi dalam
sebuah perknikahan itu (wajib). Ketidak adanya saksi maka pernikahan itu
tidaklah sah. Maka, agama islam melarang pernikahan dilakukaan secara diam
atau sembunyi-sembunyi tanpa adanya saksi yang harus mempunyai syarat
tersebut.

D. Dasar Hukum Melakukan Pernikahan


Suatu dasar hukum dalam sebuah pernikahan merupakan dua hal yang berbeda,
pernikahan dalam konsep islam merupakan ibadah, pernikahan jugalah yang
telah dianjurkan oleh Nabi Muhammad Saw, sabda Rasulullah Saw “Empat
perkara yang termasuk sunnah para rasul, yaitu sifat malu, memakai wewangian,
bersiwak dan menikah”. (HR. Tirmidzi dan Ahmad). 5 Adapun dasar hukum
pernikahan menurut Al-Quran dan Hadits adalah sebagai berikut:

ِ ‫وار َّب ُكمُالَّذِى َخ َل َق ُكم مِّن َّن ْف‬


‫س َواحِدَ ٍة َو َخ َل َق ِم ْن َه ا َز ْو َج َه ا‬ َ ُ‫َيآأ ُّي َها ال َّناسُ ا َّتق‬
،‫ث ِم ْن ُه َما ِر َجاالً َك ِثيرً ا َون َِسآ ًء َوا َّتقُواهّللا َ الَّذِى َت َسآ َءلُون ِبهِ> َواأْل رْ َحا َم‬ َ ‫َو َب‬
َ ‫إِنَّ هّللا َ َك‬
‫ان َع َل ْي ُك ْم َرقِيبًا‬

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan


kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya, dan dari
pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang
banyak. Dan, bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-
Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan
silahturahim. Sesungguhnya, Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”. (QS.
An-Nisa’ [4]:1)

1. Melakukan Sebuah Pernikahan yang Hukumnya Wajib


Seseorang yang sudah memiliki kemauan untuk menikah jika tidak
dinikahkan maka bisa tergelincir dalam kemaksiatan atau berbuat zina, oleh
karena itu, wajib hukumnya melakukan perniakahan untuk orang tersebut.
Dalam islam hal ini aadalah wajib dilakukan guna untuk menjaga diri agar
tidak terjerumus kedalam suatu kemaksiatan. Jika suatu penjaagan diri harus
melakukan pernikahan itupun sesuai dengan kaidah:

ٌ‫الوا ِجبُ ِاالَّ ِب ِه َفه َُو َوا ِجب‬


َ ‫َماالَ َي ِت ُّم‬
5
Rahman Abdul, Ghazaly, M.A, “Fiqh Munakahat,” Pernadamedia, no. 23 (2003).
Sesuatu yang wajib tidak sempurna kecuali dengannya, amak sesuatu itu
hukumnya wajib juga.

2. Melakukan Pernikahan yang Hukumnya Sunnah


Alasan mengapa adanya hukum pernikahan sunnah tersebut merupakan
anjuran dari Al-Quran seperti pada surat an-Nur ayat 32 dan Hadits Nabi
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud yag
didalamnya menerangkan sikap atau prilaku agama islam terhadap suatu
pernikahan, baik dari Al-Quran maupun As-sunnahnya yang berbentuk
perintah, namun perintah Nabi tidak memfaedahkan hukum yang wajib
tetapi hanya hukum sunnahnya .

3. Melakukan Pernikahan yang Hukumnya Haram


Seseorang yang tidak memliki sebuah keinginan dan kemudian tidak
mempunyai kemampuan atas tanggung jawab guna melakukan kewajiban
dalam berumah tangga sehingga saat melangsungkan sebuah pernikahan
akan terlantarlah dirinya beserta istrinya, oleh karena itu hukum orang yang
telah melakukan pernikahan itu adalah haram. Pada suara Al-Baqarah ayat
195 yang menjelaskan tentang dilarangnya seseorang untuk berbuat
kerusakan.

… ‫وابأ َ ْيدِي ُكم إلى ال ّت ْهلُ َك ِة‬


ِ ُ‫…وال ُت ْلق‬
َ
… Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri kedalam kebinasaan …

4. Melakukan Pernikahan yang Hukumnya Makruh


Bagi setiap orang memiliki kemauan guna melakukan pernikahan untuk
bisa menahan dirinya agar tidak terjerumus dalam kemaksiatan (zina), hanya
saja orang ini ketidak adanya suatu keinginan yang kuat untuk memenuhi
tanggung jawabnya sebagai suami istri yang baik.
5. Melakukan Pernikahan yang Hukumnya Mubah
Seseorang yang sudah memiliki kemampuan tetapi tidak bisa
melakukannya karena merasa khawatir akan berbuat kemaksiatan dan apabila
ia melakukannya juga maka tidak akan menerlantarkan istrinya. Dengan
demikian pernikahan orang tersebut hanya berdasarkan untuk memenuhi
suatu kesenangan bukan karena tujuan untuk menjaga kehormatan agamnya
maupun membina sebuah keluarga.

E. Kesimpulan
Nikah merupakan salah satu asas terpenting dalam pokok hidup yang paling
utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna, bukan saja pernikahan
itu juga satu jalan yang sangat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga
dan keturunan, akan tetapi pernikahan tersebut juga dapat dipandang sebagai
suatu jalan untuk menuju pintu perkenalan antara satu orang dengan orang yang
lain, serta perkenalan itu dapat menjadi sebuah jalan untuk dapat saling tolong
menolong antara satu dengan yang lainnya.
Wali ditunjuk sebagai orang yang mempunyai hak dan yang paling akrab,
lebih kuat memiliki hubungan darah, Imam Syafi’i mengatakan tentang wali itu
diambil dari garis ayah dan bukan garis dari ibu. Mengenai mengapa yang
berhak menjadi seorang wali itu adalah laki-laki dan bukan perempuan bahwa
hal itu oleh adanya budaya dari agama, konsep islam yang memiliki hubungan
laki-laki dan perempuan adalah jelas yaitu kesastraan. Tetapi banyak masyarakat
yang beranggapan bahwa kepala keluaraga adalah seorang lai-laki. Sedangkan
keunggulan menurut pandangan dalam islam laki-laki adalah ketakwaan dan
memiliki amal yang sholeh. Abu hanifah mengatakan bahwa dalam sebuah
pernikahan tidaklah mutlak memakai wali, karena wali yang dibutuhkan
hanyalah untuk permpuan yang masih kecil ataupun sudah dewasa tetapi
memliki akal yang kurang. Perempuan yang sudah dewasa tidak membutuhkan
wali bahkan bisa menikahkan dirinya sendiri, dengan artian pernikahan yang
diucapkan oleh perempuan dewasa dan berakal adalah sah.
Daftar Pustaka
Aizid, Rizem. “Fiqh Keluarga Terlengkap.” Yogyakarta, no. 22 (2018): 92.
Hidayati, Taufika. “Analisis Yuridis Peranan Wali Nikah Menurut Fiqh Islam Dan
Komplikasi Hukum Islam,” no. 261 (2009): 4.
Rahman Abdul, Ghazaly, M.A. “Fiqh Munakahat.” Pernadamedia, no. 23 (2003).
Wasik, Abdul, and Arifin, Samsul. “Fiqh Keluarga: Antara Konsep Dan Realitas.”
Yogyakarta: Deepublish 10 (2015): 43.
Wijaya, Sandy. “Konsep Wali Nikah Dalam Komplikasi Hukum Islam Perspektif
Hukum Islam.” Yogyakarta, 2017, 1.

Anda mungkin juga menyukai