Anda di halaman 1dari 77

EFEKTIFITAS KEBUTUHAN TERAPI PERILAKU KOGNITIF

UNTUK MERUBAH PERILAKU PECANDU NARKOBA DI

RUMAH SINGGAH PEKA

Skripsi
Diajukan untuk melengkapi
persyaratan mencapai
gelar sarjana

NAMA : IRENE KATILI

NPM : 201701500304

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN DAN PENGETAHUAN SOSIAL

UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRI

2021
2

KATA PENGANTAR

Pada kesempatan yang berbahagia ini, Saya panjatkan puji dan syukur ke

hadirat Allah Yang Maha Kuasa dan Kasih Nya memberikan rahmat serta

karunia-Nya yang telah dilimpahkan bagi kita semua. Berkat rahmat-Nya, penulis

mampu menyelesaikan Laporan Akhir Kerja Praktek ini guna melengkapi

Proposal Skripsi serta kelulusan Srata Satu (S1) Jurusan Program Studi

Bimbingan dan Konseling Tahun akademik 2020/2021 di Universitas Indraprasta

PGRI, Jakarta. Shalawat serta salam tak lupa selalu tercurah kepada Nabi besar

kita, Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan pengikutnya yang setia

hingga Yaumul Akhir. Dalam penelitian ini penulis menyadari masih banyak

kekurangan dan kelemahan yang disebabkan oleh adanya keterbatasan

kemampuan, pengetahuan, pengalaman dan waktu penyusunannya serta bentuk

penulisannya. Menyadari dengan adanya kekurangsempurnaan skripsi ini, penulis

berharap bahwa pihak yang berkepentingan dan pihak terkait lain dapat

memakluminya. Melalui kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih

kepada pihak yang telah memberikan bimbingan, bantuan, dorongan dan

semangat serta petunjuk dan arahan kepada:

1. Prof. Dr. H. Sumaryoto. SE., MM., selaku Rektor Universitas Indraprasta

PGRI yang telah memberikan kepercayaan dan dukungan kepada pihak

terkait antara lain dosen dan para mahasiswa nya.


3

2. Sabrina Dachmiati, M.Pd., selaku Ketua Program Studi Bimbingan dan

Konseling yang telah menyetujui judul skripsi atas penelitian ini.

3. Sri Utami, M.Pd., selaku Penasehat Akademik atau PA kelas S8B yang

telah memberikan pembelajaran dalam mendidik, mengajar, pemberian

informasi dan mengayomi para mahasiswa nya dalam pembuatan skripsi

ini.

4. Miskanik W, M.Pd.I., Kons., selaku Dosen Pembimbing Materi yang telah

banyak memberikan bimbingan tentang isi dari rangkaian materi dengan

penuh kesabaran, pengertian, baik dan benar.

5. Sulastry Pardede, M.Psi., Psikolog., selaku Dosen Pembimbing Tekhnik

yang telah begitu banyak memberikan kontribusi yang baik dalam

mengajar dari semester awal sampai dengan memberikan bimbingan

tekhnik dengan tegas, baik, sabar dan teliti.

6. Dosen Program Studi Pendidikan Bimbingan dan Konseling Universitas

Indraprasta PGRI yang telah mengajarkan penulis selama perkuliahan

sebagai bekal dalam pembuatan tugas akhir ini.

7. Terima Kasih kepada para pihak Rumah Singgah Peka, Bogor Jawa Barat

dalam partisipasi, testimonial, kontribusi komunitas serta pihak terkait

yang telah memberikan izin untuk pengkajian dalam penulisan dan

penelitian.

8. Terima kasih tak terhingga kepada Ibu, Bapak dan keluarga saya tercinta

yang selama ini memberikan do’a, kasih sayang, cinta, perhatian dan

seluruh kemampuan akan bantuan dukungan moril dan material nya.


4

9. Semua partisipan yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu yang telah

membantu penyelesaian skripsi ini dengan berbagai kritik dan saran nya.

Penulis menyadari bahwa penelitian Tugas Akhir ini jauh dari kata

sempurna yang dimana kesempurnaan hakiki hanya milik Allah SWT namun

penulis tetap berharap adanya kritik dan saran yang bersifat membangun demi

mencapai hasil yang lebih baik lagi agar dapat bisa mendekati kesempurnaan

dalam penulisan.

Jakarta, Juli 2021

Peneliti
5

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………………………………………………………….

KATA PENGANTAR………………………………………………….…..….i

DAFTAR ISI…………………………………….……………………………iv

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………....1

A. Latar Belakang…………………………..…………………………………....1

B. Identifikasi Masalah…………………………………………………….........7

C. Pembatasan Masalah………………………………………..………………...8

D. Rumusan Masalah………………………………………………………….....8

E. Tujuan Penelitian…………………………………………………………......9

F. Manfaat Penelitian………………………………………………………........9

a. Manfaat Teoritis………………………………………………....................9

b. Manfaat Praktis………………………………………………………….....9

G. Sistematika Penulisan……………………..………………………………….10

BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR…………..13

A. Landasan Teori………………………………...……………...……..…...13

I. Teori Perilaku-Kognitif……….………………………………………....13

1. Pengertian Teori dan Konsep Terapi prilaku-Kognitif……...…….…...13

2. Manfaat dan Tujuan Terapi prilaku-Kognitif…………………………..16

3. Perkembangan Terapi prilaku-Kognitif……...……………….………. 18


6

4. Peran Konselor dalam Terapi prilaku-Kognitif CBT) bagi Pecandu

Narkoba yang Efektif beserta Elemennya……………………………..26

II. Perilaku……………………………………………………...…….….27

1. Pengertian Perilaku………………………………………………..27

2. Pemahaman Perilaku yang Menyimpang………………...……….29

3. Tujuan dan Model Tahapan Perubahan Perilaku………………….32

4. Pencegahan Perilaku Penggunaan Zat Kembali (Relapse)…….….34

III. Pecandu Narkoba………………………………………….………...35

1. Pengertian Pecandu Narkoba……………………………………...35

2. Jenis dan Golongan Narkoba……………………………………...36

3. Prinsip Dasar Zat yang Efektif bagi Pecandu Narkoba…………...39

4. Pemulihan Kecanduan pada Pecandu Narkoba…………………...40

IV. Efektifitas Kebutuhan Terapi Perilaku-Kognitif untuk Mengubah

Perilaku Pecandu Narkoba………………………...……………….40

1. Pengertian Efektifitas……………………………………………..40

2. Definisi Kebutuhan………………………………………………..42

3. Arti dari Perubahan Perilaku……………………………………...44

4. Pemahaman Efektifitas Kebutuhan Terapi Perilaku-Kognitif untuk

Mengubah Perilaku Pecandu Narkoba….……………….…..……46

B. Penelitian yang Relevan…………………………………..…….……...50

C. Kerangka Berpikir…………………………………...…….…..………..54
7

BAB III METODOLOGI PENELITIAN………………………...…...……….56

A. Pendekatan Penelitian Fenomenologis………………………………….….60

1. Tempat Penelitian………………………………………..……………..60

2. Waktu Penelitian…………………………………………….…………61

B. Tekhnik Penelitian………………………………………………...……….61

C. Populasi dan Sampel Penelitian……………………………...……….……61

1. Populasi Penelitian……………………………………………………..61

2. Sampel Penelitian………………………………………………………63

D. Instrumen Penelitian…………………………………………………….….64

1. Wawancara………………………………………………………..……67

2. Observasi……………………………………………………………….68

3. Dokumentasi…………………………………………………..…...…..69

4. Angket………………………………………………………………….

E. Tekhnik Pencatatan Data…………………………………..………………..70

F. Tekhnik Analisis Data……………………………..………………………..73

BAB IV HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN………………………88

A. Pengumpulan Data…………………………………………………….…….

B. Pengolahan Data……………………………………………………….……

C. Interpretasi Data……………………………………………………………

D. Hasil Wawancara…………………………………………………………….

E. Hasil Observasi………………………………………………………………
8

F. Hasil Dokumentasi…………………………………………………………..

G. Hasil Tes dan Pengumpulan Data Lainnya………………………………….

BAB V SIMPULAN dan SARAN………………………………………..

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………..96

LAMPIRAN……………………………………………………………………………..80

1. Informed Consent ke Half-way House PEKA………………………………...80

2. Balasan email Informed Consent dari Half-way House PEKA……………….82

3. Wawancara dengan Direktur Eksekutif (Program Manager)…...……………83

4. Wawancara dengan Psikolog………………………………………………….85

5. Wawancara dengan Konselor adiksi…………………………………………..87

6. Wawancara dengan Pecandu Narkoba………………………………………..89

7. Dokumentasi………………………………………………….……………….91

8. Angket………..
9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tujuan dari suatu negara berbeda-beda namun secara garis besar nya

secara umum dan luas adalah menjamin setiap hak-hak suatu kehidupan

bagi masyarakat negara itu sendiri. Kasus penyalahgunaan narkoba beberapa

tahun ini meningkat pesat oleh karena itu dibutuhkan suatu efektifitas kebutuhan

terapi perilaku-kognitif untuk mengubah perilaku pecandu narkoba. Permasalahan

narkoba yang sangat serius diberbagai negara diseluruh dunia tak terkecuali di

Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, Denpasar termasuk Yogyakarta dulu dikenal

hanya merupakan daerah transit peredaran narkoba, namun seiring perkembangan

waktu, kota-kota besar di Indonesia sudah merupakan pasar peredaran narkoba.

Ancaman hukuman pengedar narkoba di Indonesia, penyalahgunaan narkotika

sudah lama masuk dan dikenal di Indonesia, hal itu dapat dilihat dari

dikeluarkannnya Instruksi Presiden Republik Indonesia (INPRES) nomor 6 tahun

1971 kepada Kepala Badan Koordinasi Intelijen Nasional (BAKIN) untuk

menanggulangi enam permasalahan nasional yang menonjol, salah satunya adalah

penanggulangan penyalahgunaan narkotika. Penyalahgunaan narkotika ini

menjadi suatu masalah yang serius, pada zaman orde baru pemerintah

mengeluarkan regulasi berupa undang-undang nomor 22 tahun 1997 sebagaimana

telah diubah menjadi undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika

yaitu zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis

maupun semi sintetis dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,


10

hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat

menimbulkan ketergantungan yang dibedakan ke dalam beberapa golongan.

Narkotika digolongkan sebagai suatu zat atau bahan yang jika digunakan atau

dimasukkan ke dalam tubuh mempunyai efek lanjutan. menurut Dadang Hawari,

penyalahgunaan zat atau para pecandu narkoba adalah pemakaian zat di luar

indikasi medik, tanpa petunjuk resep dokter, pemakaian sendiri secara teratur atau

berkala sekurang-kurangnya selama 1 bulan. Kenyataan itulah yang menjadi latar

belakang berdirinya Badan Narkotika Nasional atau biasa disingkat dengan BNN

yang gencar melakukan upaya-upaya preventif dan represif untuk mewujudkan

Indonesia yang bebas dari narkoba. UU tentang larangan penyalahgunaan narkoba

di antaranya diatur dalam UU no 22 tahun 1997 tentang narkotika, diatur dalam

UU no 5 tahun 1997 tentang psikotropika. Apabila seseorang tertangkap oleh

pihak yang berwenang karena mengkonsumsi, mengedarkan, atau bahkan

memproduksi narkoba maka akan dipenjara atau bahkan juga didenda sesuai

ketentuan yang berlaku kecuali pemakai melaporkan dirinya ke pihak yang

berwenang maka tidak akan dipenjara melainkan akan hanya direhabilitasi di

pusat rehabilitasi narkoba.

Peneliti menyimpulkan bahwa narkotika adalah zat atau obat yang sangat

penting untuk keperluan pengobatan tetapi justru akan menimbulkan masalah

besar jika disalahgunakan. Pasal 7 UU no. 35 tahun 2009 menyatakan

bahwa narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan

dan atau pengembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Orang yang

menggunakan narkotika dapat diklasifikasikan sebagai pecandu dan pengedar,


11

menggunakan dan melakukan peredaran gelap narkotika. Undang-undang pun

sudah memberikan penjelasan secara transparan. Undang-undang no. 35 tahun

2009 itu pada dasarnya mempunyai 2 (dua) sisi yaitu sisi humanis kepada para

pecandu narkotika dan sisi yang keras dan tegas kepada bandar, sindikat, dan

pengedar narkotika. Sisi humanis itu dapat dilihat sebagaimana ada pada pasal 54

UU no. 35 tahun 2009 yang menyatakan bahwa para pecandu narkotika dan

korban penyalahgunaan narkotika diwajibkan menjalani rehabilitasi medis dan

rehabilitasi sosial, diperkuat lagi oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

nomor 25 tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika yang

bertujuan untuk memenuhi hak pecandu narkotika dalam mendapatkan

pengobatan serta perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial serta

memenuhi hak pecandu narkotika bahwa undang-undang menjamin hukuman bagi

pecandu/korban penyalahgunaan narkotika memiliki tujuan hukuman dengan

menjalani rehabilitasi sedangkan bandar, sindikat, dan pengedar narkotika berupa

hukuman pidana penjara. Pasal-pasal yang tercantum dalam bab XV UU no. 35

tahun 2009 yaitu termasuk ketentuan pidana yang pada intinya dikatakan bahwa

orang yang tanpa hak dan melawan hukum menanam, memelihara, memiliki,

menyimpan, menguasai, atau menyediakan, hukumannya adalah pidana penjara.

Peraturan Pemerintah no. 25 Tahun 2011 ini semestinya dijalankan pula

oleh para aparat penegak hukum mengingat PP termasuk dalam hirarki

perundang-undangan yang dapat dilihat dari sisi hakim yang seharusnya dapat

memperhatikan pasal-pasal pada UU No. 35 tahun 2009, antara lain dalam pasal

103 UU no. 35 tahun 2009 bahwa hakim yang memeriksa perkara pecandu
12

narkotika dapat memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani

pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu narkotika

tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika atau menetapkan

untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau

perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu narkotika tesebut tidak terbukti

bersalah melakukan tindak pidana narkotika. Berdasarkan ayat yang disebutkan

bagi para pecandu narkotika yang menjalani masa pengobatan dan/atau perawatan

maka akan diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman, sedangkan dalam

pasal 127 UU no. 35 tahun 2009 bahwa dalam memutuskan perkara, hakim wajib

memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 54, pasal 55

dan pasal 103. Pasal 54, 55, dan 103 UU no. 35 tahun 2009 lebih mengutamakan

para pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika untuk direhabilitasi.

Efektifitas berlakunya undang-undang ini sangat tergantung pada seluruh jajaran

penegak hukum karena dalam hal ini seluruh instansi yang terkait langsung yakni

peran Badan Narkotika Nasional, penegak hukum lainnya bersama masyarakat

sangat penting dalam membantu proses penegakan hukum terhadap tindak pidana

narkotika yang semakin merajalela. Kesadaran hukum dari seluruh lapisan

masyarakat guna menegakkan kewibawaan hukum dan khususnya terhadap

strategi BNN tentang Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan

Peredaran Gelap Narkotika (P4GN) yang diperkuat lagi oleh Instruksi Presiden

no. 11 tahun 2011 tentang Pelaksanaan Kebijakan dan Strategi Nasional P4GN.

Tahun 2014 ditetapkan sebagai tahun penyelamatan bagi para pecandu narkotika.
13

Penegakan hukum tentang narkoba di Indonesia, rehabilitasi maupun panti

sosial adiksi berbasis program masyarakat didukung oleh beberapa funding atau

pemberian dana program kerjasama dengan lembaga terkait dalam bidang

penjangkauan atau pendampingan dari luar negeri maupun dari dalam negeri yang

dimana terdapat strukturisasi perjanjian kontrak akan pencairan dana tersebut

sebagai alihan dana dan data yang akan diperoleh nantinya bermanfaat, dilakukan

dengan transparansi. Kontrak tersebut dalam jangka waktu tertentu seperti

program dari Global Fund, USAID, UNODC, Linkages dan lainnya bahwa dana

tersebut digunakan demi tercapainya efektifitas kebutuhan terapi perilaku-kognitif

dalam perubahan perilaku dalam keseharian pecandu dengan terapi yang efektif

untuk mengubah pola pikir negatif ke hal positif, mengubah perilaku, melakukan

berbagai aktifitas fisik dan mental, sesi pemulihan di rehabilitasi sosial, rumah

singgah sementara untuk mereka yang kecanduan secara fisik dan mental, spiritual

didukung pula dengan adanya dukungan internal keluarga, teman, pihak

pendukung lainnya.

Melihat perkembangan zaman dengan didukung oleh kemajuan

tekhnologi, diperlukan stimulus secara signifikan bahwa pendidikan saat ini, guru

atau konselor harus memiliki kemampuan untuk mengembangkan perubahan akan

tingkah laku, kemandirian serta observasi mendalam bagi setiap kalangan

khususnya generasi muda yaitu peserta didik. Bimbingan dan konseling sangat

diperlukan dalam efektifitas kebutuhan terapi perilaku-kognitif untuk mengubah

perilaku pecandu narkoba. Walgito (2004: 4-5) mendefinisikan bahwa bimbingan

adalah bantuan atau pertolongan yang diberikan kepada individu atau sekumpulan
14

individu dalam menghindari atau mengatasi kesulitan-kesulitan hidupnya, agar

individu dapat mencapai kesejahteraan dalam kehidupannya. Konseling adalah

hubungan pribadi yang dilakukan secara tatap muka antara dua orang dimana

konselor dalam hubungan tersebut memiliki dan menggunakan kemampuan-

kemampuan khusus yang dimilikinya, definisi tersebut dinyatakan oleh Prayitno

dan Amti (2004:101).

Peneliti menyimpulkan bahwa bimbingan dan konseling adalah

serangkaian kegiatan berupa bantuan yang dilakukan oleh seorang ahli dengan

memberikan pengetahuan tambahan dalam mengatasi permasalahan klien dengan

terus menerus dan sistematis. Berdasarkan tema skripsi, peneliti mengkorelasikan

bahwa begitu banyak pembahasan bimbingan dan konseling secara praktek dan

teori dengan kehidupan dan tujuan pecandu narkoba yang sempat kehilangan

arahnya, harus dapat dikembalikan sesuai awalnya yang tentunya diharapkan oleh

personal yang bersangkutan dan keluarganya. Banyak orang tidak tahu cara

bagaimana mereka seharusnya bersikap dan berperilaku dalam hidup bersosial dan

bermasyarakat lalu keluar dari masalah yang dihadapinya maka dibutuhkan

konselor dalam bimbingan dan konseling sebagai seorang yang memiliki kode

etik, menjunjung tinggi azas-azas, paham akan fungsi dan tujuan konseling serta

profesionalitas lain nya dalam menangani masalah tertentu khususnya jika

dihadapi dengan ada nya kasus yang terlibat dalam masalah kecanduan narkoba

atau Gangguan Pengguna Zat yang biasa juga disingkat dengan singkatan GPZ.
15

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, masalah dalam

penelitian ini dapat diidentifikasi sebagai berikut:

1. Terapi perilaku-kognitif untuk mengubah perilaku pecandu narkoba

akan efektif jika dilakukan dengan niatan, keyakinan dan keseriusan

dalam perubahan perilakunya dengan dukungan internal dan eksternal.

2. Peran Bimbingan dan konseling sangat penting dalam kebutuhan terapi

perilaku-kognitif dalam perubahan perilaku dan pola pikir para

pecandu narkoba.

3. Hakim wajib memperhatikan, jeli dan membedakan antara pengguna

atau pengedar dan lebih mengutamakan korban penyalahgunaan

narkotika untuk direhabilitasi atau rawat jalan.

4. Narkotika hanya digunakan sesuai kebutuhan dan anjuran dokter,

untuk kepentingan pelayanan Kesehatan.

5. Terhindar dari penyakit mental, perubahan perilaku dan pola pikir,

memiliki jiwa sehat, pengembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi.

6. Dibutuhkan kerjasama semua pihak demi kelancaran efektifitas terapi

perilaku-kognitif bagi para pecandu dalam rehabilitasi sosial rawatan

berkelanjutan.

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dijabarkan diatas maka

dengan adanya pembatasan masalah agar tidak bias dan tetap pada jalur
16

pembahasan. Penulis membatasi ruang lingkup tentang efektifitas kebutuhan

terapi perilaku-kognitif untuk merubah perilaku pecandu narkoba di Rumah

Singgah PEKA, Bogor tersebut tanpa meluas dan melebar.

1. Mengetahui kebutuhan terapi perilaku-kognitif sangat diperlukan oleh

pecandu narkoba.

2. Meninjau keefektifitasan kebutuhan terapi perilaku-kognitif dalam

rehabilitasi.

D. Rumusan Masalah

Judul yang diangkat harus adanya kesinambungan satu sama lain yaitu

berdasarkan dalam penelitian ini dapat dirumuskan yakni: Bagaimana Efektifitas

Kebutuhan Terapi Perilaku-Kognitif untuk Merubah Perilaku Pecandu Narkoba di

Rumah Singgah PEKA.

E. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui, memahami layanan konseling

tentang Efektifitas Kebutuhan Terapi Perilaku-Kognitif untuk Merubah Perilaku

Pecandu Narkoba di Rumah Singgah PEKA dengan fenomena yang ada.

F. Manfaat Penelitian

Terdapat manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat secara teoritis

Memberikan kontribusi tentang kajian ilmu pengetahuan, wawasan,

pengalaman tentang keefektifan layanan konseling dalam kebutuhan

terapi perilaku-kognitif untuk mengubah perilaku pecandu narkoba.


17

2. Manfaat secara Praktis

Peneliti berharap penelitian ini dapat bermanfaat dan memberikan

sumbangan dalam bimbingan dan konseling sebagai barometer tentang

efektifitas layanan konseling dan metode konseling perilaku-kognitif

bagi yang membutuhkan dan mampu menerapkannya.

G. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disajikan dalam beberapa bab dengan sistematika penulisan

sebagai berikut:

Bab I : Pendahuluan, bab ini berisikan: latar belakang masalah,

identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan

sistematika penulisan.

Bab II : Landasan teori dan kerangka berpikir dan juga

bab ini berisikan pembahasan mengenai

uraian beberapa penelitian yang relevan serta kerangka berpikir.

Bab III : Metode penelitian, bab ini berisikan

pendekatan

penelitian, tekhnik penelitian dengan, populasi

dan sampel penelitian, instrumen penelitian pencatatan

data dan tekhnik analisis data.

Bab IV : Hasil penelitian dan pembahasan, bab ini berisikan

tentang uraian mengenai deskripsi data


18

analisis data, pembuktian hipotesis dan interpretasi

data.

Bab V : Penutup, bab ini berisikan uraian tentang kesimpulan dan

saran dari keseluruhan skripsi yang telah disusun sesuai

observasi dan data yang dianalisa.


19

BAB II

LANDASAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR

A. Teori Terapi Perilaku-Kognitif

1. Pengertian Teori Terapi Perilaku-Kognitif beserta Konsep

Terapi kognitif perilaku atau CBT (Cognitive Behavioral  Therapy) adalah

istilah yang lebih umum dari terapi kognitif dan merupakan salah satu bentuk dari

psikoterapi yang bertujuan untuk melatih cara berpikir (fungsi) kognitif dan cara

bertindak (perilaku). Terapi perilaku kognitif dalam konseling sendiri adalah

Terapi Kognitif-Behavioral (TKB) atau Cognitive-Behavioral Therapy (CBT)

merupakan salah satu bentuk konseling yang bertujuan membantu klien agar dapat

menjadi lebih sehat, memperoleh pengalaman yang memuaskan, dan dapat

memenuhi gaya hidup tertentu, dengan cara memodifikasi pola pikir dan perilaku

tertentu. Terapi ini dapat dikatakan suatu pemulihan atau pengobatan terhadap

klien yang bertujuan untuk mengubah perilaku negatif yang dapat membahayakan

serta menangani pikiran dan perasaan yang dapat menyebabkan perilaku yang

membahayakan diri sendiri.

Sejarah permulaan munculnya teori tentang terapi kognitif dijelaskan

bahwa dalam kurun waktu 1970 ketika terapi perilaku muncul sebagai kekuatan

besar dalam psikoterapi dan pendidikan dan juga mengalami gerak pertumbuhan

yang signifikan. Periode ini menyebabkan terjadinya perkembangan terapi

cognitive-behavioral atau kognitif-perilaku yang menghalalkan tempat dan

peristiwa subyektif terhadap pikiran dan sikap dalam terapi tersebut, terdapat tiga
20

kawasan perkembangan antara lain kondisioning klasik, kondisioning operan dan

terapi kognitif.

Kondisioning klasik ialah dimana perilaku tertentu dari responden

membantu dalam menangani penderita fobia dalam latar belakang klinis dengan

contoh menghentakan lutut dan pengeluaran saliva dirangsang oleh organisme

pasif. Kondisioning operan adalah perilaku operan yang terdiri atas suatu

perbuatan yang beroperasi dalam lingkungan untuk menghasilkan konsekuensi

seperti contohnya membaca, menulis, menyetir mobil dan makan menggunakan

alat makan. Kawasan ketiga adalah kecenderungan kognitif dalam terapi perilaku.

Terapi behavioral perilaku sekarang adanya perubahan penting dan

perkembangan. Terapi behavioral kontemporer mencakup berbagai

konseptualisasi, metode penelitian dan prosedur penanganan untuk menjelaskan

hal pasti yaitu mengubah perilaku seseorang. Terapi perilaku sebagai proses dari

penentuan dan pemberian spesifikasi terhadap problema behavioral klien.

Kerjasama yang baik maka pelaku klinis atau konselor dan klien mengeksplorasi

perilaku alternatif yang dapat menyelesaikan masalah penilaian antara lain

berfungsinya klien dalam ranah afektif, kognitif, behavioral dan interpersonal.

Penting bagi klien diberikan informasi sepenuhnya menggunakan terapi

behavioral ini dan berperan serta dalam menentukan sasaran. Buku panduan

penelitian tentang perilaku dalam Principles of Drug Addiction Treatment: A

Research-Based Guide (Third Edition) dari National Institute of Drug Abuse

menyatakan tentang terapi bahwa terapi perilaku dapat membantu memotivasi

orang untuk berpartisipasi dalam perawatan narkoba, menawarkan strategi untuk


21

mengatasi kecanduan narkoba, mengajarkan cara untuk menghindari narkoba dan

mencegah kekambuhan, dan membantu individu menangani kekambuhan jika itu

terjadi. Terapi perilaku juga dapat membantu orang meningkatkan komunikasi,

hubungan, dan keterampilan mengasuh anak, serta dinamika keluarga.

Hakekat manusia dalam lingkungannya terdapat kemungkinan bahwa

pecandu narkoba akan mengalami suatu kekambuhan gangguan kesehatan secara

fisik, mental jika tidak ada nya dukungan dan strategi dari pihak terdekat

mengenai perilaku kecanduannya berulang.

Tujuan terapi perilaku-kognitif menurut Glasner-Edwards (2015) dalam

Gangguan Penyalahgunaan Zat (GPZ) ini adalah pada saat diterapkan untuk

mengubah perilaku adiktif, CBT sering disebut sebagai suatu pencegahan

kekambuhan (relapse). Penjabaran kalimat secara singkat bahwa terapi perilaku-

kognitif harus benar-benar dipelajari dan dipahami, pengembangan keterampilan

jika ada nya respon yang lebih adaptif, dapat mengidentifikasi pemicu sugesti atau

craving para pecandu narkoba tersebut.

Terapi perilaku-kognitif memiliki prinsip yaitu permasalahan yang dialami

oleh klien berawal dari bagaimana orang tersebut menginterpretasikan masalah

yang ada ke dalam pikiran dan pola pikirnya dan berpengaruh pada perasaan serta

tindakan yang dilakukannya. Terapi ini bertujuan untuk dapat menghentikan pola

pikiran-pikiran negatif tersebut dengan cara mengidentifikasi reaksi negatif yang

akan diproses oleh otak. Masalah emosional seringkali menjadi penyebab dari

pemikiran positif dan negatif dari seseorang sehingga terkadang membuat orang

merasa jika pikirannya tersebut adalah hal yang benar. Terapi perilaku-kognitif ini
22

akan mengganti pola pikir negatif terhadap sesuatu yang lebih bermanfaat dan

realistis. Pola pikiran negatif seseorang tersebut akan melalui proses yang

dinamakan negative reinforcement. Saya memiliki fobia pada ketinggian, secara

tidak langsung saya belajar untuk mengatasi hal tersebut saya harus menghindari

ketinggian. Cara ini memang efektif namun hanya akan memberikan ketenangan

sesaat, bahkan akan semakin membuat rasa takut menjadi berlebihan.

2. Manfaat dan Tujuan Terapi Perilaku-Kognitif

Manfaat Cognitive Behavior Therapy (CBT) adalah salah satu terapi bicara

digunakan untuk mengajar, mendorong dan mendukung individu agar berhenti

atau mengurangi penggunaan zat kecanduannya yang bertujuan memberikan

ketrampilan yg diperlukan dalam meraih abstinent (stop using drugs) sama sekali

tidak menggunakan hal-hal yang merugikan dirinya dan orang lain serta

masyarakat atau bahkan dengan proses mengurangi pemakaian atas kecanduannya

serta adanya penguasaan ketrampilan melalui praktek atau latihan.

McLeod (2006) mengatakan bahwa, tujuan utama dari sebagian besar

karya kognitif-perilaku adalah untuk menggantikan keyakinan yang memberikan

kontribusi kepada perilaku 158 self-defeating dengan keyakinan yang

diasosiasikan dengan penerimaan diri (self-acceptance) dan pemecahan masalah

yang konstruktif.

Nevid, dkk (2005) menyatakan, terapi kognitif-perilaku bertujuan untuk

membantu klien mengidentifikasi dan memperbaiki kebiasaan akan pola pikir dan

keyakinan-keyakinan yang salah atau biasa disebut maladaptif, jenis pikiran

otomatis dan sikap self-defeating yang menambah masalah emosional.


23

Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan dari

terapi kognitif-perilaku adalah untuk mengajak klien mengenali dan mengubah

distorsi kognitif yang mempengaruhi mood dan merusak dirinya sendiri yang

dititikberatkan pada masa kini untuk diubah dari negatif menjadi positif dengan

tidak mengabaikan masa lalu klien yang tentunya saja tidak dapat diubah namun

menyusun dan menata kembali masa depan yang diibaratkan puzzle yang hancur

berantakan namun dengan dukungan beberapa pihak seperti niat diri sendiri dan

keluarga, disusun dengan utuh kembali. Hilangnya dukungan dari orang-orang

terdekat, terkasih seperti keluarga, anak, pasangan, teman baik dan lainnya yang

biasa disebut significant others dapat menjadi pemicu kekambuhan mantan

pecandu narkoba.

3. Perkembangan terapi perilaku-kognitif

Kebutuhan terapi perilaku-kognitif untuk mengubah pendekatan ini yang

paling sering dipakai dan sesuai untuk kebanyakan program, telah banyak diteliti

dan dikaji, terstruktur, yang berorientasi pada tujuan dan menekankan pada situasi

terkini agar Orang Dengan Gangguan Pengguna Zat (ODGPZ) dapat menjalankan

keseharian serta flexible dan individual dapat diadaptasi di beragam klien dan

layanannya dikombinasikan.

Landasan atau tinjauan pokok teori yang akan dikaji lebih mendalam

membahas tentang terapi perilaku-kognitif menurut beberapa ahli dan

pendukungnya adalah teori yang mengkaji tentang bagaimana caranya persepsi

mempengaruhi perilaku dan bagaimana caranya pengalaman mempengaruhi

persepsi yang dilakukan oleh seorang pembelajar berlaku pada waktu proses
24

pembelajaran berlangsung, Cognition ini (Kognisi) adalah perolehan pengetahuan,

penataan dan penggunaannya. Kalau arti secara umumnya yaitu kemampuan

intelektual yang terdiri atas beberapa tahap mulai dari Knowledge (Pengetahuan),

Comprehention (Pemahaman), Application (Penerapan), Analysis (Analisis),

Sinthesis (Sintesa), sampai Evaluation (Evaluasi).

Perilaku yang nampak ini tidak dapat diamati dan diukur apabila tidak

dapat melibatkan proses mental seperti kesadaran, motivasi, keyakinan dan proses

mental di dalam diri yang menjelaskan tentang proses pemikiran dan perbedaan

terhadap kondisi mental serta pengaruh faktor internal dan eksternal dalam

menghasilkan belajarnya seorang individual. Proses kognitif mampu bekerja

secara normal maka perolehan informasi dan penyimpanan pengetahuan pun akan

bekerja dengan baik pula jika proses kognitif ini bekerja tidak sebagaimana

mestinya maka terjadilah masalah dalam proses tersebut.

Perkembangan teori terapi perilaku-kognitif ini diawali dengan sejarah

yang digawangi oleh pendiri terapi perilaku kognitif Aaron T. Beck, MD, lulus

dari Brown University dan Yale Medical School dengan mengembangkan terapi

perilaku kognitif pada awal 1960 ketika ia adalah seorang psikiater di University

of Pennsylvania. Terapi kognitif, didasarkan pada alasan teoritis dasar dimana

afektif dan perilaku individual ditentukan oleh cara dimana penyusunan dunia

seseorang didasarkan pada kognisi (idea verbal) atau gambaran yang ada bagi

alam sadar yang didasarkan pada skema yang dikembangkan dari pengalaman

sebelumnyamanusia yang sehat secara psikologis adalah mereka yang sadar

tentang kognisinya.
25

Definisi restrukturisasi kognitif juga dikemukakan oleh Cormier

(2009:380) yang mengatakan bahwa pengertian restrukturisasi kognitif menurut

Cormier kadang-kadang disebut sebagai kognitif pengganti, yaitu suatu teknik

yang melibatkan perubahan kognitif yang mendasar termasuk aspek emosi,

motivasi, tujuan dan nilai-nilai yang terdapat pada klien untuk kemudian

dimodifikasi dengan kognitif baru yang sifatnya lebih positif. Kesimpulan dari

beberapa definisi diatas teknik restrukturisasi kognitif merupakan teknik yang

dapat digunakan dalam mengidentifikasi dan mengubah keyakinan irasional klien

dan pernyataan diri atau pikiran-pikiranyang negatif yang berasal dari konseli dan

dapat juga digunakan sebagai mengatasi permasalahan yang dialami oleh klien

seperti kecemasan sosial. Klien yang mengalami kecemasan sosial dapat diberikan

bantuan dengan mengunakan teknik restrukturisasi kognitif dengan mengubah

pola pikir klien yang semula irasional menjadi lebih rasional dalam berpikir.

Pikiran otomatis merupakan pikiran khusus situasional secara spontan muncul

mereaksi pengalaman kita. Pikiran otomatis menjembatani situasi dan emosi. Oleh

karena itu, memahami pikiran otomatis konseling sangat penting untuk tujuan

mengubah emosinya.  Terapi perilaku-kognitif merupakan salah satu bentuk

konseling yang bertujuan membantu klien agar dapat menjadi lebih sehat,

pengalaman yang memuaskan dan dapat memenuhi gaya hidup tertentu dengan

cara memodifikasi pola pikir dan perilaku tertentu. Pendekatan kognitif berusaha

memfokuskan untuk menempatkan suatu pikiran, keyakinan dalam bentuk

pembicaraan diri (self-talk) terhadap orang lain, memfokuskan pada upaya

membelajarkan klien agar dapat memiliki cara berpikir yang lebih positif dalam
26

peristiwa kehidupan, tidak hanya sekedar berupaya mengatasi penyakit atau

gangguan yang sedang dialaminya. Konseling kognitif memfokuskan pada

kegiatan mengelola dan memonitor pola pikir klien sehingga dapat mengurangi

pikiran negatif dan mengubah isi pikiran agar dapat diperoleh emosi yang lebih

positif.

Corey (2012:205) mengatakan bahwa konseling perilaku (konseling

behavior) adalah penerapan aneka ragam teknik dan prosedur yang berakar pada

berbagai teori tentang belajar konseling behavioral memfokuskan pada kegiatan

atau tindakan yang dilakukan klien dalam bentuk imbalan (rewards) yang dapat

mendorong klien melakukan tindakan tertentu, pemberian konsekuensi yang tidak

menyenangkan agar mencegah klien melakukan Tindakan yang tidak dikendaki.

Penerapan prinsip-prinsip belajar ini berakar pada teori pengkondisian

klasik dari Ivan Pavlov maupun teori pengkondisian operan dari B.F. Skinner.

konseling perilaku-kognitif merupakan penggabungan teknik-teknik dari

perspektif perilaku dengan teknik-teknik dari perspektif kognitif karena dalam

perkembangannya para praktisi teori konseling perilaku menyadari adanya

keterbatasan dalam teori belajar dan mengakui peran kognisi dalam

mempengaruhi perilaku.

Bush (2003) mengungkapkan bahwa CBT merupakan perpaduan dari dua

pendekatan dalam psikoterapi yaitu cognitive therapy dan behavior therapy atau

terapi kognitif dan terapi perilaku. Terapi kognitif memfokuskan pada pikiran,

asumsi dan kepercayaan. Terapi kognitif memfasilitasi individu belajar mengenali

dan mengubah kesalahan. Tidak hanya berkaitan dengan positive thinking, tetapi
27

terapi kognitif berkaitan pula dengan happy atau positive thinking. Terapi perilaku

membantu hubungan situasi permasalahan dengan kebiasaan dalam

mereaksi/merespon suatu permasalahan. Klien belajar mengubah perilaku,

menenangkan pikiran dan tubuh sehingga merasa lebih baik, berpikir lebih jelas

dan membantu membuat keputusan yang tepat.

Menurut Nurhadi (2004) setiap pengalaman baru akan di hubungkan

dengan kotak-kotak atau struktur pengetahuan dalam otak manusia sedangkan

Piaget mengatakan bahwa pada saat manusia mempelajari sesuatu yang baru,

sebenarnya telah terjadi dua proses dalam dirinya yaitu proses organisasi

informasi dan proses adaptasi. Piaget mengemukakan empat konsep dasar yaitu

skemata, asimilasi, akomodasi dan keseimbangan.

McLeod (2006) berpendapat bahwa secara historis pendekatan perilaku-

kognitif merupakan aliran terapi utama yang paling muda, dan mungkin muncul

dalam fase paling kreatif dengan ide dan teknik yang terus ditambahkan ke

dalamnya setiap tahun. Prinsip dasar dalam pendekatan perilaku-kognitif adalah

perubahan dalam berpikir dapat menghasilkan perubahan dalam perilaku.

Pendapat serta pernyataan para ahli dengan begitu banyak teori yang

muncul dengan fenomena baru sesuai perkembangan jaman, pola pikir dan terapi

ilmu kognitif, pada inti nya adalah sama bahwa dari setiap teori yang dituangkan

mengenai konsep perubahan perilaku individu baik dalam proses pola pemikiran,

penerapan pembelajaran, kreatif, adaptasi intelektual seperti sosial dan lingkungan

bermasyarakat, pertumbuhan dan perkembangan hidup manusia, konsep akan

efikasi diri, pintar dalam menyusun strategi menghadapi masalah dengan tujuan
28

tepat sasaran untuk mengambil keputusan dalam berperilaku wajar dengan nilai,

norma serta normal bermasyarakat sesuai dengan hasil proses belajar dalam

lingkungan sosial.

Berdasarkan paparan definisi mengenai terapi perilaku-kognitif maka

dapat disimpulkan bahwa terapi perilaku-kognitif adalah pendekatan konseling

menitik beratkan pada restrukturisasi atau pembenahan kognitif yang

menyimpang akibat kejadian yang merugikan dirinya baik secara fisik maupun

psikis. Terapi perilaku-kognitif merupakan konseling yang dilakukan untuk

meningkatkan dan merawat kesehatan mental. Konseling ini akan diarahkan

kepada modifikasi fungsi berpikir, merasa dan bertindak dengan menekankan otak

sebagai penganalisa, pengambil keputusan, bertanya, bertindak dan memutuskan

kembali. Pendekatan pada aspek behavior (perilaku) diarahkan untuk membangun

hubungan yang baik antara situasi permasalahan dengan kebiasaan merespon

masalah.

4. Peran Konselor dalam Terapi Perilaku-Kognitif bagi Pecandu Narkoba

yang Efektif beserta Elemennya

a. Peran Konselor

1) Mengajar dan melatih ketrampilan kepada klien untuk mengubah

perilaku dan mengkontrol dirinya sendiri dalam situasi kondisi apapun.

2) Membentuk konseling yang aktif, empati dan konselor paham benar

akan wawasan tentang issue pecandu narkoba.


29

3) Memiliki sumber dukungan dan penguatan, sumber informasi yang

tepat, memiliki juga guru, pemandu, pelatih pemulihan serta konselor

yang objektif dan tegas.

4) Mengajari ketrampilan baru yang bermanfaat, wawancara, motivasi,

arahan yang mendukung harapannya dalam pelaksanaan terapi bagi

klien.

5) Konselor tidak menghakimi, tidak mengkritisi klien, paham akan

keseimbangan antara pendengar yang baik atau mengajukan pertanyaan

dengan baik pula agar klien mengerti arah, maksud dan tujuan

pembicaraan konselor.

b. Elemen terapi perilaku-kognitif

1) Analisa Fungsional

2) Latihan identifikasi (sesi inti dan pilihan) dan keterampilan yang

dibutuhkan

3) Mengenali “cognitive processes” dan identifikasi “past and future

high-risk situations”

4) Tinjauan implementasi keterampilan serta melatih keterampilan selama

sesi

Jelas bahwa proses konseling dari Cognitive Behavior Therapy itu sendiri

didasarkan atas konseptualisasi serta pemahaman dari konseli atas keyakinan

khusus pola perilaku dari konseli. Harapan yang didapatkan dari pendekatan

cognitive behavior therapy itu sendiri yaitu untuk memunculkan restrukturisasi

kognitif yang menyimpang dan sistem kepercayan dari konseli serta membawa
30

perubahan baik dilihat dari segi perubahan emosi dan perilaku kearah yang lebih

baik, Beck (2011:110).

B. Perilaku

1. Pengertian Perilaku

Menurut Skinner (Notoatmodjo, 2001) seorang ahli psikologi,

merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap

stimulus atau rangsangan dari luar. Respon terhadap stimulus tersebut sudah

jelas dalam bentuk tindakan atau praktik yang dengan mudah dapat diamati

atau dilihat orang lain. Perilaku menurut Ensiklopedi Amerika diartikan

sebagai suatu aksi dan reaksi organisme terhadap lingkungannya berarti bahwa

perilaku baru akan terwujud bila ada sesuatu yang diperlukan untuk

menimbulkan tanggapan yang disebut rangsangan maka suatu rangsangan

tertentu akan menghasilkan perilaku tertentu pula. Skinner, seperti yang dikutip

oleh Notoatmodjo (2003) merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau

reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari luar melalui proses

adanya stimulus terhadap organisme dan kemudian organisme tersebut

merespons, maka teori Skinner ini disebut teori “S-O-R” atau Stimulus –

Organisme – Respon.

Teori perilaku terencana atau TPB (Theory of Planned Behavior)

didasarkan pada asumsi bahwa manusia adalah makhluk yang rasional dan

menggunakan informasi-informasi yang mungkin baginya secara sistematis

menurut Achmat (2010). Orang memikirkan implikasi dari tindakan mereka


31

sebelum mereka memutuskan untuk melakukan atau tidak. Disebutkan pula

oleh Rakhmat (2001) bahwa terdapat tiga komponen

yang mempengaruhi perilaku manusia yaitu komponen kognitif, afektif, dan

konatif. Komponen kognitif merupakan aspek intelektual yang berkaitan

dengan apa yang diketahui manusia. Komponen afektif

merupakan aspek emosional Uraian tersebut bisa disimpulkan bahwa perilaku

manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang diamati

langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar Notoatmodjo

(2003).

Peneliti simpulkan bahwa perilaku adalah suatu tindakan terhadap suatu

peristiwa baik itu negatif atau positif namun dapat dibatasi sebagai keadaan,

situasi dan kondisi jiwa untuk berpendapat, berfikir, bersikap dan lainnya

sedangkan refleksi dari berbagai macam aspek, baik secara fisik maupun non

fisik dapat diartikan sebagai suatu reaksi psikis atau psikologis seseorang

terhadap lingkungannya, reaksi yang dimaksud digolongkan menjadi dua dapat

dalam bentuk pasif yaitu tanpa tindakan nyata atau konkrit dan dalam bentuk

aktif, dengan tindakan konkrit karena jika tidak dilakukan dengan serius untuk

pulih akan menimbulkan aspek yang merugikan diri sendiri dan orang-orang

tertentu yang paling utama adalah kognitif (intelektual), afektif (emosional),

konatif (tingkah laku yang membuat seseorang bertindak melakukan sesuatu

atau tindakan).

2. Pemahaman Perilaku yang Menyimpang


32

Narkoba adalah zat atau obat yang dapat menenangkan syaraf,

mengakibatkan ketidaksadaran dan juga pecandu narkoba seringkali disebut

sebagai perilaku kriminal yang dimana hal yang membuatnya kecanduan akan

suatu zat tertentu membuatnya melakukan tindakan criminal seperti mencuri,

menipu, merampok karena dalam hal ini keluarga atau pihak terdekatnya

sekalipun sudah merasa lelah akan tindak tanduk nya berperilaku yang sudah

berubah pula dari tujuan hidup, nilai hidup serta konsep diri nya. Artwater

menyebutkan bahwa, konsep diri adalah keseluruhan gambar diri yang meliputi

persepsi seseorang tentang ketidaksadaran atau pembiusan, menghilangkan rasa

nyeri dan sakit, menimbulkan rasa mengantuk atau merangsang, menimbulkan

efek stupor atau biasa disebut gejala penurunan kesadaran, serta dapat

menimbulkan adiksi atau kecanduan, menurut Subagyo (2010:16).

Perilaku pecandu narkoba merasakan bahwa dirinya, perasaan, keyakinan

dan nilai-nilai yang ada dalam alam bawah sadarnya adalah benar menurut

versi pemikirannya yang namun itu adalah efek dari pemakaian zat tertentu

yang dipakai tersebut hal tersebut dapat dikatakan konsep diri yang merupakan

persepsi seseorang terhadap dirinya sendiri. Persepsi tersebut melalui

pengalaman seseorang dan interpretasi terhadap lingkungan serta dipengaruhi

secara khusus oleh penguat (reinforcement) penilaian dari orang-orang yang

berarti bagi seseorang terhadap tingkah lakunya sendiri mencakup seluruh

pandangan individu dan dimensi fisiknya, karakteristik pribadinya,

motivasinya, kelemahannya, kelebihannya atau kecakapannya, kegagalannya

dan sebagainya. Perilaku ini adalah termasuk salah satu perilaku yang
33

menyimpang yang menyebabkan kecanduan dalam suatu nilai social dan norma

yang ada di masyarakat.

Secara mendasar dalam kehidupan masyarakat ada tiga perspektif untuk

menemukan apakah perilaku menyimpang itu, yaitu absolutist, normative, dan

reactive (Goode, 2007:7). Perspektif absolutist berpendapat bahwa kualitas

atau karakteristik perilaku menyimpang bersifat intrinsik, terlepas dari

bagaimana dinilai, ditentukan bukan dengan norma, kebiasaan, atau aturan-

aturan sosial, namun dapat dikatakan pengertian perilaku menyimpang menurut

Rifa'i dan Anni (2016:68) adalah suatu perilaku yang mengacu pada suatu

tindakan yang bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Sebuah

tindakan dikatakan menyimpang atau tidak, ditentukan oleh batasan-batasan

norma kemasyarakatan atau budaya. Perspektif reactive, perilaku menyimpang

dapat ditemukan dalam bagaimana secara aktual dinilai untuk dikualifikasikan

sebagai penyimpangan, sebuah tindakan harus diamati atau paling tidak

didengar dan menyebabkan hukuman yang nyata bagi pelakunya. Perilaku

menyimpang bisa dilakukan secara individual atau kelompok. Seorang pecandu

narkoba merupakan penyimpangan individual, tetapi bila mayoritas warga

sebuah desa menjadi pecandu, maka penyimpangan ini merupakan

penyimpangan kelompok, tidak menutup kemungkinan bahwa dalam

kehidupan masyarakat selalu dijumpai adanya anggota masyarakat yang

perilakunya menyimpang.

Horton dan Hunt (1984:65) menyatakan perilaku menyimpang adalah

setiap perilaku yang dinyatakan sebagai suatu pelanggaran terhadap norma-


34

norma kelompok masyarakat. Seseorang yang telah melanggar norma-norma

dalam masyarakat disebut juga sebagai suatu perilaku yang menyimpang.

Lebih lanjut, Elly dan Usman (2015:188) menyatakan bahwa perilaku

menyimpang pada dasarnya adalah semua perilaku manusia yang dilakukan

baik secara individual maupun secara berkelompok tidak sesuai dengan nilai

dan norma yang berlaku di dalam kelompok tersebut.

Berdasarkan pengertian para ahli di atas, dapat dimaknai bahwa perilaku

menyimpang adalah semua perilaku manusia yang melanggar aturan, nilai dan

norma dalam suatu kelompok masyarakat karena tidak dapat menyesuaikan diri

dengan kehendak kelompok masyarakat tersebut. Tindakan menyimpang baik

primer maupun sekunder, tidak terjadi begitu saja, tetapi berkembang melalui

periode waktu dan juga sebagai hasil dari serangkaian tahapan interaksi yang

melibatkan interpretasi tentang kesepakatan untuk bertindak menyimpang,

pengalaman menyimpang juga didukung oleh pengendalian diri yang lemah

serta kontrol masyarakat yang longgar.

Penulis sekaligus peneliti bahwa secara jelas pengertian, pemahaman akan

perilaku pecandu narkoba adalah suatu pola hidup dan perilaku yang

menyimpang, tidak ada nya keseimbangan atau keselarasan dalam hidup,

terdapat hukum tersendiri bagi mereka yang berkuasa dalam melakukan suatu

hal tertentu, tidak berfungsi sebagai masyarakat seperti pada awalnya bahwa

memang tidak ada yang sama dari tiap manusia namun perilaku menyimpang

ini dalam penyalahgunaan narkoba adalah suatu labelling juga yang diberikan

oleh masyarakat tentang keadaan pecandu narkoba sebenarnya dikarenakan


35

pergaulan yang tidak terkendalilan lagi seperti labelling dengan adanya stigma

dan discrimination akan perilaku itu sendiri dan juga penyakit yang dideritanya

baik secara fisik maupun mental karena yang pada akhirnya perilaku tersebut

sudah mengkontaminasi terapi perilaku-kognitif secara tidak langsung, zat

yang masuk dalam tubuhnya sebagai salah satu kebutuhan hidup dalam diri dan

diperlukan setiap saat baik secara individual maupun secara kelompok.

3. Tujuan dan Model Tahapan Perubahan Perilaku

Berdasarkan studi dari Prochaska (1994) dalam bukunya Changing for

Good, terdapat beberapa tahap perubahan perilaku bagi para pecandu narkoba

yang dikembangkan tentang bagaimana orang berubah dengan melalui tahapan

yang dapat diperkirakan membuat perubahan. Memahami suatu proses

perubahan termasuk cara orang dengan atau tanpa bantuan orang yang

professional, dapat membantu konselor mengembangkan dan menggunakan

intervensi-intervensi untuk meningkatkan motivasi klien dalam mengubah

perilaku mereka.

Model Tahapan perubahan perilaku:


a. Prakontemplasi adalah suatu tahapan dimana individu masih tidak bisa

berpikir, belum ada niatan dalam perubahan, atau justru berpikir tidak

dapat berubah.

b. Kontemplasi adalah suatu tahapan bahwa individu sudah dapat

mengakui masalah perilaku nya yang menyimpang atas penggunaan zat

nya, mempertimbangkan kemungkinan untuk mengubahnya meskipun


36

masih terdapat keraguan atau kebimbangan/ambivalen yaitu

bercampurnya perasaan antara rasa ingin atau tidak serta tidak pasti.

c. Preparasi yang merupakan tahapan dimana individu sudah

mempersiapkan dan merencanakan perubahan perilakunya dalam waktu

dekat namun masih mempertimbangkan apa dan bagaimana

melakukannya.

d. Aksi adalah orang dalam tahap aksi telah melangkah namun belum

mencapai tahap stabil.

e. Pemeliharaan yaitu suatu tahapan dimana individu tersebut telah

mencapai tujuan-tujuan awal seperti abstinent dan sedang

mempertahankan perubahannya.

Saya menyimpulkan bahwa model tahapan perubahan perilaku ini

merupakan tujuan suatu langkah kearah manusia pada hakekatnya yang hidup

kembali dalam lingkungan sosial dan bermasyarakat dan hidup seutuhnya. Jika

semua model tahapan ini berjalan sesuai prosedur dan proses yang baik serta

terpenuhi sesuai rencana maka proses yang baik tidak akan mengkhianati hasilnya

itu sendiri.

4. Pencegahan Perilaku Penggunaan Zat Kembali (Relapse)

Lapse atau relapse kadang disebut sebagai tahapan selanjutnya dalam

tahapan perubahan perilaku, secara pola pikir sederhana dapat diibaratkan bahwa

tahapan ini bagaikan roda yang berputar namun urutan nya bisa saja melompati

kedalam urutan sesudah maupun sebelumnya. Kekambuhan berada diantara


37

pemeliharaan dan prakontemplasi namun dapat terjadi disetiap waktu dalam

proses perubahan. Klien bergerak dalam tahap berbeda-beda beberapa kali

sebelum mencapai masa kestabilan, rekurensi atau kekambuhan adalah normal

namun tidak harus terjadi. Perjalanan menuju suatu perubahan tidaklah mulus

namun banyak nya keraguan untuk terus berjalan maju mencapai tujuan, mundur

atau justru diam di tempat dalam tahapan perubahan tersebut, ada juga yang tidak

bergerak sama sekali, proses pemikiran yang sangat Panjang dalam penentuan

kearah yang lebih baik dan banyak pertimbangan sebagai alasan tersendiri. Proses

perubahan dipengaruhi oleh tingkat motivasi seseorang yang telah kita ketahui

bahwa motivasi bersifat tidak statis, mudah dapat diubah. Orang sering dapat

bertahan lama pada tahap awal perubahan perilaku dan mereka berjalan melalui

tahapan dengan kecepatan yang berbeda-beda pula. Konselor dapat meningkatkan

motivasi klien nya untuk berubah pada masa tahap perubahan karena penting

untuk memahami posisi tahapan klien dikarenakan klien membutuhkan dan

menggunakan dukungan motivasi yang berbeda sesuai tahap perubahannya.

Berdasarkan kesimpulan diatas dapat disimpulkan bahwa inti dari tiap

terapi sangatlah penting dari hal terkecil apapun namun pada inti terapi dan

pemulihan pecandu adalah adanya suatu perubahan yang tidaklah selalu mudah

bagi masing-masing orang dikarenakan juga motivasi tiap orang berbeda, non

statis, fluktuatif namun yang sangat penting untuk mengubah gaya atau pola hidup

terutama jika dibutuhkan dalam terapi medis, mematuhi jadwal medikasi,

berhadapan langsung dengan kecacatan atau kegangguan kejiwaannya jika sudah

masuk dalam tahapan yang sudah akut atau pun kronis maka pilihan yang
38

ditawarkan dalam hukum alam yang ada antara lain maka perilaku harus lah

diubah dengan menggunakan terapi perubahan perilaku, berhenti menggunakan

zat yang dapat mengakibatkan kematian atau over dosis tersebut bahkan akan

berada di penjara atau meninggalkan dunia ini selama-lamanya. Pilihan tersebut

dapat di justifikasi melihat kenyataan dari fenomena yang terdapat di lapangan

baik melihat, mendengar dan merasakan pengalaman yang ada di lapangan dan

terdapat kaitan yang sangat erat mengingat apa yang terjadi dalam suatu

penelitian. Jadi, dapat disimpulkan secara garis besar dalam pilihan mayoritas

bagi para pecandu narkoba atau individu yang paling inti adalah hubungan antara

hidup atau mati.

C. Pecandu Narkoba

1. Pengertian Pecandu Narkoba

Pecandu narkoba adalah seorang penyalahguna narkoba yang telah

mengalami ketergantungan terhadap satu atau lebih narkotika, psikotropika,

dan bahan adiktif lain atau narkoba, baik secara fisik maupun psikis.

Ketergantungan narkoba adalah dorongan untuk menggunakan narkoba terus-

menerus, dan apabila pemakaiannya dihentikan secara terpaksa tanpa niat

dalam diri sendiri maka ia akan melakukan berbagai macam cara yang

menghalalkan perilaku perbuatannya demi dorongan kebutuhannya tersebut

apapun, bagaimanapun, kapanpun, dimanapun dan siapapun yang akan

menjadi target atas kebutuhan nya tersebut.


39

2. Jenis dan Golongan zat adiktif bagi Pecandu Narkoba

Narkotika berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 35

tahun 2009, tentang narkotika yang dibedakan ke dalam golongan-golongan

antara lain:

a. Narkotika Golongan I tidak digunakan dalam pengobatan karena

mempunyai potensi sangat tinggi dan mengakibatkan ketergantungan.

Contoh: ganja, heroin/putaw, cocain, opium dan lain-lain.

b. Narkotika Golongan II digunakan dalam pengobatan tetapi memiliki

potensi yang sangat tinggi dan mengakibatkan ketergantungan. Contoh:

morfin, petidin dan lain-lain.

c. Narkotika Golongan III digunakan dalam pengobatan yang mempunyai

potensi ringan dan mengakibatkan ketergantungan. Contoh: codein, etil

morfin dan lain-lain jenis narkoba yang sering disalahgunakan adalah

morfin, heroin (putaw), petidin, termasuk ganja atau cannabis,

mariyuana, hashis dan kokain.

Psikotropika yang sering disalah gunakan adalah amfetamin, ekstasi,

shabu, obat penenang seperti mogadon, rohypnol, dumolid, lexotan, pil koplo,

Mushroom. Zat adiktif lainnya di sini adalah bahan atau zat bukan narkotika &

psikotropika seperti alkohol/etanol atau metanol, tembakau, gas yang dihirup

(inhalansia) maupun zat pelarut (solven). Sering kali pemakaian rokok dan

alkohol terutama pada kelompok remaja usia 14-20 tahun harus diwaspadai

orang tua karena umumnya pemakaian kedua zat tersebut cenderung menjadi

pintu masuk penyalahgunaan narkoba lain yang lebih berbahaya (putaw).


40

Berikut jenis-jenis narkoba:

a. Opiat atau opium Merupakan golongan narkotika alami yang sering

digunakan dengan cara dihisap (inhalasi).

b. Morfin merupakan zat aktif narkotika yang diperoleh melalui

pengolahan secara kimia. Umumnya candu mengandung 10% morfin.

c. Heroin atau putaw merupakan golongan narkotika semisintetis yang

dihasilkan atas pengolahan morfin secara kimiawi melalui empat

tahapan sehingga diperoleh heroin paling murni berkadar 80% hingga

99%. Heroin murni berbentuk bubuk putih, sedangkan heroin tidak

murni berwarna putih keabuan (street heroin).

d. Ganja atau Cannabis Berasal dari tanaman Cannabis sativa dan

Cannabis indica. Pada tanaman ini terkandung tiga zat utama yaitu

tetrahidrokanabinol, kanabinol dan kanabidiol.

e. Lsd atau lysergic, acid, trips, tabs termasuk sebagai golongan membuat

khayalan (halusinogen) yang biasa diperoleh dalam bentuk kertas

berukuran kotak kecil sebesar ¼ perangko dalam banyak warna dan

gambar, bentuk pil dan kapsul.

f. Kokain memiliki dua jenis atau bentuk antara lain bentuk asam (cocain

hidroklorida) dan bentuk basa (free base). Kokain asam berupa kristal

putih, rasa sedikit pahit dan lebih mudah larut dibanding bentuk basa

bebas yang tidak berbau dan rasanya pahit. Nama jalanannya kadang

disebut koka, coke, happy dust, snow, charlie, srepet, salju, putih

disalahgunakan dengan cara menghirup yaitu membagi setumpuk


41

kokain menjadi beberapa bagian berbaris lurus di atas permukaan kaca

dan benda.

Masa era globalisasi sekarang ini, narkoba bukan lagi suatu masalah yang

melanda per-wilayah atau beberapa kota saja namun sudah menjadi masalah

global atau menjadi masalah dunia. UNODC (United Nations of Drugs and

Crime. 2011. World Drug Report. 2010. New York: United Nations)

terindikasi bahwa 149 sampai dengan 272 juta orang menggunakan zat illegal

setidaknya satu kali dalam sehari pada tahun 2009 pada pecandu atau

pengguna zat dalam tingkatan bermasalah yang dikenali dari jumlah orang

yang dilaporkan akan menjadi ketergantungan zat tertentu. Sekitar 18 % dari

jumlah 11 sampai 29 juta orang yang menyuntik zat selama tahun 2009

mengidap penyakit yang mematikan yaitu penyebaran virus HIV/AIDS dan

sekitar 50% dari jumlah orang yang menyuntik tersebut terinfeksi pula virus

Hepatitis-C.

3. Prinsip Dasar Terapi yang Efektif bagi Pecandu Narkoba

Mencocokkan lingkungan terapi, intervensi dan layanan sesuai dengan

kebutuhan individual klien sangat penting bagi kebutuhan pemulihannya yaitu

keberhasilan akhir pengembalian klien ke fungsi produktif dalam keluarga,

tempat bekerja dan masyarakat. terapi perilaku-kognitif yang efektif harus

tersedia setiap saat, memperhatikan berbagai kebutuhan individu dan bukan

hanya berfokus pada penggunaan zat narkoba saja. Konseling individu

ataupun kelompok serta terapi perilaku terapi perilaku-kognitif merupakan


42

komponen kritis dari suatu terapi dalam bidang adiksi atau kecanduan. Selama

menjalani terapi harus di observasi dan monitor secara berkala dan terus

menerus. Pemulihan kecanduan dapat merupakan proses jangka Panjang dan

seringkali memerlukan serangkaian episode dalam terapi dapat mengukur

kemampuan interpersonal dan kemampuan sosial. Membangun keterampilan

sosial seseorang, keterampilan komunikasi atau bersosialisasi, pelatihan

ketegasan, keterampilan meningkatkan hubungan, pelatihan resolusi konflik

dan management burn out, anger management, release feeling atau

meluapkan perasaan, pemberian materi di session pada jam tertentu, pelatihan

secara motorik kasar atau halus seperti penggunaan waktu luang dengan

berolahraga, menulis, tidak berfokus pada satu sisi saja atau tidak hanya

perilaku saja tetapi juga dalam pola pikir atau kognitif seseorang.

Kesimpulan dari peneliti mengenai hal ini adalah bahwa prinsip dasar

efektif yang dapat merubah perilaku dan kognitif pecandu selain terapi CBT

adalah niat diri sendiri, dirangkul dan dukungan dari orang terdekat serta

masyarakat tanpa adanya stigmatisasi dan diskriminasi.

4. Pemulihan Kecanduan pada Pecandu Narkoba

Kesehatan fisik dan mental sangat penting bagi pecandu narkoba karena

hal yang utama adalah kesehatan fisik agar dapat kembali menjalani

kehidupan normal seperti semula. Tempat tinggal yang aman dan lingkungan

yang sehat, dukungan keluarga, social, kegiatan rekreasi dan dukungan rekan

sebaya juga mempengaruhi perubahan perilaku dan pola pikir pecandu itu

sendiri. Ketenagakerjaan penting dalam tahapan kegiatan pecandu agar adanya


43

kegiatan dan produktif untuk menyalurkan kinerja yang ia miliki, penyelesaian

masalah hukum jika terlibat haruslah diselesaikan dan ditindaklanjuti agar

sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku. Pendidikan keterampilan

vokasional, dukungan budaya dan integrasi masyarakat. Berdasarkan hal-hal

yang tersebut diatas adalah beberapa tahapan pemulihan atas kecanduan agar

pemulihan berjalan sesuai sasaran dan tepat agar menemukan kembali makna

dan tujuan hidup.

D. Efektifitas Kebutuhan Terapi Perilaku-Kognitif untuk Mengubah Perilaku


Pecandu Narkoba

1. Pengertian Efektifitas

Pengertian Efektifitas menurut Susanto (2013:39) merupakan daya pesan

untuk mempengaruhi atau tingkat kemampuan pesan-pesan untuk

mempengaruhi. Efektifitas bisa diartikan sebagai suatu pengukuran akan

tercapainya tujuan yang telah direncanakan sebelumnya secara matang.

Menurut Beni (2016: 69) Efektivitas adalah hubungan antara output dan tujuan

atau dapat juga dikatakan merupakan ukuran seberapa jauh tingkat output,

kebijakan dan prosedur dari organisasi. Menurut Sondang dalam Othenk (2008:

4), efektivitas adalah pemanfaatan sumber daya, sarana dan prasarana dalam

jumlah tertentu yang secara sadar ditetapkan sebelumnya untuk menghasilkan

kegiatan yang dijalankannya. Efektivitas menunjukkan keberhasilan dari segi

tercapai tidaknya sasaran yang telah ditetapkan.


44

Berdasarkan pernyataan diatas pula, kesimpulannya adalah jika hasil

kegiatan semakin mendekati sasaran, berarti makin tinggi efektivitasnya,

berkaitan dengan terlaksananya semua tugas pokok, berjalan sesuai rencana, tepat

sasaran, tujuan tercapai, ketepatan waktu, partisipasi aktif dari anggota. Intinya

adalah proses, rencana, tujuan yang berkaitan erat sesuai dengan susunan strategi

yang pernah dibuat sebelumnya.

2. Definisi Kebutuhan

Definisi kebutuhan secara umum menurut begitu banyak kebutuhan yang

manusia butuhkan dan dibagi atas Kebutuhan sosial (social needs), terdiri dari

kebutuhan akan perasaan diterima oleh orang lain dalam hidup bermasyarakat

dan bekerja (sense of belonging). Kebutuhan akan perasaan dihormati karena

manusia merasa penting (sense of importance). Kebutuhan akan perasaan maju

dan tidak gagal (sense of achievement). Teori kebutuhan manusia secara garis

besarnya oleh Maslow dalam jurnal nursing studies, volume 1, Nomor 1 (2012,

175:182) mencakup kebutuhan dasar yang merupakan tokoh Hierarchy of Needs

yaitu teori kebutuhan dalam teori hirarki kebutuhan manusianya

mengklasifikasikan kebutuhan manusia menjadi lima tingkatan, yaitu: kebutuhan

fisiologis (psychological needs) yaitu kebutuhan akan sandang, pangan dan

papan yang merupakan kebutuhan primer, kebutuhan akan rasa aman (safety

needs) yaitu kebutuhan akan keamanan jiwa dan harga diri, kebutuhan sosial

(social needs) yaitu kebutuhan akan perasaan diterima oleh orang lain dalam

hidup bermasyarakat dan bekerja (sense of belonging) antara lain kebutuhan akan

perasaan dihormati karena manusia merasa dirinya penting (sense of


45

importance), kebutuhan akan perasaan maju dan tidak gagal (sense of

achievement), kebutuhan akan perasaan ikut serta (sense of participation),

kebutuhan akan prestise (esteem needs) yaitu suatu kebutuhan akan prestise yang

timbul karena prestasi, tapi ada pula yang berdasarkan kepada keturunan. Prestise

yang timbul karena prestasi adalah sesuatu yang diusahakan, semakin tinggi

kedudukan seseorang, prestisenya semakin baik, kebutuhan mempertinggi

prestasi kerja (self actualization) yaitu adalah suatu kebutuhan dengan melihat

berbagai kebutuhan di atas yang hendaknya pimpinan organisasi memberikan

peluang dan kesempatan kepada bawahan untuk memenuhi tingkat kebutuhan

tersebut secara simultan.

Penulis menyimpulkan bahwa kebutuhan adalah apapun yang manusia

perlukan dan wajib terpenuhi akan hal tersebut seperti kebutuhan makan karena

kalau tidak makan akan dapat menimbulkan sebab dan akibat seperti kelaparan

dan jika kelaparan berhari-hari maka tubuh akan menerima akibatnya karena tak

tertahankan secara fisik yang secara tidak langsung berhubungan dengan sebab

akibat jika kebutuhan tersebut tidak terpenuhi baik secara fisik, mental, jiwa,

kesehatan dan sebagainya. Pernenuhan terhadap kebutuhan ini menjadi titik awal

untuk meraih segala kebutuhan yang berada di atasnya. Pemenuhan kebutuhan

tersebut dalam keadaan berimbang dengan kekurangannya.

3. Arti dari Perubahan Perilaku

Perilaku berasal dari kata ‘peri’ dan ‘laku’. Peri berarti cara berbuat

kelakuan perbuatan, dan laku berarti perbuatan, kelakuan, cara menjalankan.

Belajar dapat didefinisikan sebagai salah satu proses yang dimana suatu
46

organisasi berubah perilaku yang bersangkutan sebagai akibat pengalaman.

Skinner membedakan suatu perilaku menjadi dua, yakni

perilaku yang alami (innate behaviour), yaitu perilaku yang dibawa sejak

organisme dilahirkan yang berupa refleks-refleks dan insting-insting dan perilaku

operan (operant behaviour) yaitu perilaku yang dibentuk melalui proses belajar.

Perilaku operan atau psikologis inilah yang dominan pada manusia yang dibentuk,

perilaku yang diperoleh, perilaku yang dikendalikan oleh pusat kesadaran atau

otak (kognitif).

Jadi dapat disimpulkan bahwa perubahan perilaku terhadap pecandu

narkoba adalah suatu reaksi psikis seseorang terhadap lingkungannya yang sudah

berubah dari bagian diri nya. Reaksi dapat diuraikan bermacam-macam bentuk

yang pada hakekatnya digolongkan menjadi dua, yaitu bentuk pasif (tanpa

tindakan nyata) dan dalam bentuk aktif (tindakan nyata). Proses pembentukan atau

perubahan perilaku dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berasal dari diri

individu itu sendiri, antara lain susunan syaraf pusat, persepsi, motivasi, emosi

dan belajar. Susunan syaraf pusat memegang peranan penting dalam perilaku

manusia, karena perilaku merupakan perpindahan dari rangsangan yang masuk ke

respon yang dihasilkan. Perpindahan ini dilakukan oleh susunan syaraf pusat

dengan unit-unit dasarnya yang disebut neuron. Neuron memindahkan energi

dalam impuls-impuls syaraf. Perubahan perilaku dalam diri seseorang dapat

diketahui melalui persepsi. Persepsi ini adalah pengalaman yang dihasilkan

melalui indra pendengaran, penciuman dan sebagainya.


47

Perilaku pada dasarnya berorientasi tujuan (goal oriented). Pecandu yang

telah berubah perilaku nya menjadi normal seperti sedia kala menandakan tujuan

hidupnya nya juga sudah berbeda dan berubah sesuai dengan perilakunya yang

pada umumnya dimotivasi oleh suatu keinginan untuk mencapai tujuan tertentu

atau terhadap sesuatu (situasi atau kondisi) lingkungan (masyarakat, alam,

teknologi atau organisasi). Pengaruh lingkungan dalam pembentukan perilaku

adalah bentuk perilaku yang berdasarkan hak dan kewajiban, kebebasan dan

tanggung jawab baik pribadi maupun kelompok masyarakat. Perilaku mendapat

pengaruh yang kuat dari motif kepentingan yang disadari dari dalam faktor

intrinsik dan kondisi lingkungan dari luar / faktor ekstrinsik atau exciting

condition. Perilaku terbentuk atas pengaruh pendirian, lingkungan luar dari dalam

diri atau eksternal, kepentingan yang disadari, kepentingan responsif, ikut-ikutan

atau yang memang tidak disadari serta rekayasa dari luar.

4. Pemahaman Efektifitas Terapi Perilaku-Kognitif untuk Mengubah

Perilaku Pecandu Narkoba

Merangkap sebagai peneliti dan penulis, berpendapat tentang pemahaman

akan efektifitas kebutuhan terapi perilaku-kognitif untuk mengubah perilaku

pecandu narkoba terdapat berbagai macam panduan dari arti tiap tema atau berupa

judul seminar proposal ini dikupas meskipun belum sampai kedalaman kulit ari

namun penulis dalam penelitian beberapa bulan mencoba memahami pemakai

atau pecandu narkoba dari masalah hukum yang sudah barang tentu terdapat

kaitan erat dengan beredarnya barang illegal tersebut dan digunakan sampai

terjerat hukum sebagai tahanan ataupun masuk rehabilitasi yang beragam antara
48

lain rehabilitasi religi, jiwa, sosial, mental, dan masih banyak jenis rehabilitasi

lainnya.

Keterbatasan tentang waktu dan wawasan penulis yang kurang maka jelas

bahwa terapi terapi perilaku-kognitif adalah salah satu terapi tolak ukur

keberhasilan pemulihan pecandu narkoba dan terapi lainnya sebagai pendukung

atau penyerta, namun hal yang paling pokok adalah terapi perilaku-kognitif ini

tidak dapat berdiri sendiri hanya berdasarkan pola pikir dan perubahan perilaku

namun terapi lain pun dibutuhkan seiring berjalan. Terapi perilaku-kognitif ini di

kombinasikan dengan terapi suatu komunitas didalam suatu kelompok atau yang

biasa disebutkan Therapeutic Community (TC). Bentuk system program terlalu

keras dibandingkan terapi perilaku-kognitif. TC pun menggunakan pendekatan

terapi perilaku-kognitif karena tidak ada hal yang tidak mungkin karena

kombinasi tersebut pun ada karena suatu terapi perilaku-kognitif yang efektif

dalam penggunaan dilandaskan penyampaiannya yang baik juga membuat

pecandu narkoba agar berpikir kembali jika ingin menggunakan lagi dengan

diberikannya beberapa doktrin dan kenyataan atau fakta bahwa jika

menggunakannya lagi terdapat beberapa pilihan pasti antara lain masuk penjara,

rehabilitasi atau justru dapat kemungkinan meninggal dunia karena Over Dosage

(OD) atau over dosis akibat penggunaannya juga kemungkinan terkena paparan

penyakit jika menggunakan jarum suntik yaitu HIV/AIDS yang dapat menyerang

siapa saja. Tidak ada seorang pun yang dapat menjamin bahwa kekambuhan

seorang pemakai atau pecandu narkoba kambuh lagi (relapse), masa pemulihan

hari demi hari sangatlah berharga bagi mereka mantan pecandu untuk bertahan
49

hidup setiap hari dan merasa bersyukur. Semua itu berdasarkan siapa yang

menyampaikannya dengan baik dan memiliki wawasan luas, empati, tidak

menghakimi, nilai diri, semua yang dimiliki oleh konselor yang handal dan

menguasai dalam bidang adiksi. Penjabaran konselor sangatlah luas begitu pula

mengenai pecandu narkoba. Terlalu banyak kaitan erat yang melibatkan satu sama

lain.

Terapi spiritual atau religi juga menggunakan terapi perilaku-kognitif pada

saat konseling atau pendekatan kepada klien, keluarga dan sistem pendukung

seperti teman atau pasangan yang membedakan rehabilitasi dimana pun hanyalah

tempat, lokasi, program, system, sarana dan prasarana, sesi pelatihan, pembina

atau pelatih program, instruktur pelaksana dan beragam macam variasi yang ada

dalam tiap rehabilitasi tentunya berbeda namun yang terpenting dalam rehabilitasi

tersebut adalah begitu banyak pertanyaan, seperti: Apakah program didalam

rehabilitasi itu? Bagaimana strukturisasi manajemen nya? Apakah sesuai dengan

apa yang pecandu harapkan saat masuk dalam rehabilitasi bahwa tidak adanya

kekerasan verbal maupun nonverbal?

Berdasarkan jaman modern sekarang ini bahwa tidak ada kekerasan secara

verbal sudah wajar dalam suatu sistem dalam rehabilitasi kecuali saat belum

adanya tekhnologi dan teori hanya sebatas teori namun pada prakteknya di

lapangan tak terpakai, hanya berdasarkan insting. Satu kesalahan dalam program

terapi rehabilitasi baik verbal dan non-verbal meskipun hanya sekali namun hal

tersebut tidak menutup kemungkinan akan menjadi tradisi bahkan kebiasaan yang

tak mudah untuk diubah, menjadi budaya atau kultur rehabilitasi secara terus
50

menerus bertahun-tahun sampai adanya perubahan, entah perubahan strukturisasi

dalam manajemen atas ataupun konselor yang memberi hukuman tersebut sudah

pindah. Konselor tersebut mencari rasionalization atau pembenaran bahwa ia

memberi efek jera kepada pecandu tersebut agar tidak melakukannya lagi, akan

tetapi tidak ada yang tahu isi kepala tiap pecandu, dapatkah ia menerimanya atau

justru saat keluar dari rehabilitasi tersebut akan menjadi boomerang dan balas

dendam karena sakit hati atas pengalaman pembelajaran yang begitu menyiksa

dan akhirnya pun setelah pemulihan dua tahun keluar dari rehabilitasi ia kembali

memakai barang haram tersebut.

Akar dari permasalahan bahwa karakteristik tiap individu unik bahkan

pecandu pun unik karena tetap pada hakekatnya ia adalah seorang manusia yang

mencoba berhati besar menerima kenyataan akan konsekuensi yang dibuatnya.

Efektifitas pendekatan akan terapi perilaku-kognitif pun unik dengan segala

metode rancangan dan isi materi nya jika konselor menguasai. Konselor harus

menguasai hal apapun yang berkaitan dengan makhluk hidup, tidak hanya dalam

soal pembelajaran saja namun secara global atau universal secara keseluruhan.

E. Penelitian yang Relevan

Penelitian relevan adalah penelitian tersebut merupakan suatu penelitian

sebelumnya yang sudah pernah dibuat dan dianggap cukup relevan atau

mempunyai keterkaitan dengan judul dan topik yang akan diteliti yang berguna

untuk menghindari terjadinya pengulangan penelitian dengan pokok permasalahan

yang sama tergantung kepada sudut pandang perspektif masing-masing pembaca.


51

Pertama, penelitian Skripsi (2005) yang dilakukan Maslichah, alumnus

fakultas Tarbiyah jurusan Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Negeri

Malang, dengan judul: Peranan pondok pesantren rehabilitasi mental AzZayni

dalam pembinaan korban narkoba (studi kasus di pondok pesantren rehabilitasi

mental Az-Zainy Tumpang Malang). Berdasarkan hasil penelitiannya diperoleh

data bahwa pembinaan korban narkoba menggunakan: a). Metode pembiasaan, b).

Metode wirid, c). Metode sorogan, d). Metode kebebasan. Tahap pertama yang

selalu dilakukan dalam pembinaan korban narkoba sebelum menerapkan metode

di atas, yaitu dengan menemukan masalah yang selama ini dirasakan oleh korban

penyalahgunaan narkoba. Bagi santri yang ingin direhabilitasi di wajib

didampingi oleh orang tuanya atau keluarganya. Pihak pondok pesantren meminta

informasi mengenai permasalahan yang dialami oleh anaknya, khususnya

mengenai masalah tentang narkoba. Pertanyaannya sekilas tentang

penyalahgunaan narkoba sekaligus alasan santri menggunakan narkoba serta

masalah kepribadian santri tersebut. Setelah semua pertanyaan dijawab oleh santri

8 (delapan) dan keluarganya, kemudian Kyai memberikan informasi perihal apa

yang harus dilakukna oleh santri saat berada dipondok pesantren. Mengacu pada

penelitian Maslichah, bahwa ada beberapa faktor pendukung bagi Pondok

Pesantren Rehabilitasi Mental AzZainy dalam pembinaan korban penyalahgunaan

narkotika yaitu: a. Niat yang sungguh-sungguh untuk membenahi akhlak dan

mendalami ilmu agama yang dimiliki santri. b. Suasana pondok pesantren yang

harmonis, penuh keakraban di antara pengasuh dan santri layaknya seperti

keluarga sendiri, sedangkan yang menjadi faktor penghambatnya adalah adanya


52

santri yang tidak mengikuti dan tidak serius dalam mengikuti pembinaan,

kurangnya sarana dan prasarana yang memadai. Penelitian jurnal hisbah (2015)

yang dilakukan oleh Fibriana Miftahus Sa’adah yang sedang mengambil studi

lanjutan Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, berfokus mengambil

konsentrasi Bimbingan dan Konseling Islam dengan tema Konsep Bimbingan dan

Konseling Terapi Perilaku-Kognitif dengan Pendekatan Islam untuk

Meningkatkan Sikap Altruisme. Santri ditekankan melakukan praktek ibadah

yang meliputi tiga macam yaitu mandi taubat, Shalat, Puasa, dzikir. Rehabilitasi

jiwa di Pondok Pesantren An-Nawwai mengarah pada penyembuhan gangguan

kejiwaan akibat penyalahgunaan narkoba, hasil yang dicapai dalam rehabilitasi ini

sangat baik dilihat dari tahun 2002-2004 tingkat kesembuhan mencapai 90% ini

menunjukkan hasil 9 (sembilan) yang signifikan dan terpenting adalah mampu

memikirkan, melaksanakan kewajibannya sebagai manusia yakni menyembah,

mengabdi kepada Allah SWT.

Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Abdur, tesis (2009) alumnus Program

Pasca Sarjana konsentrasi Pemikiran Islam, Institut Agama Islam Negeri Sunan

Ampel Surabaya. Penelitiannya mengenai: Penyembuhan Pecandu Narkoba dan

Stress di Pondok Sapu Jagad Yayasan Pesantren Raudlatul Ulum Kencong,

Kepung, Kediri, Jawa Timur. Ditempat ini telah diterapkan model psikoterapi

religious dalam proses penyembuhan para pecandu narkoba, dimana pondok ini

berada dilingkungan penganut Terekat Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah. Mereka

meyakini faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap kesembuhan para

pecandu narkoba yang telah berhijrah dari tempat asalnya. Kesembuhan para
53

pecandu narkoba juga dilatarbelakangi munculnya kembali potensi-potensi dalam

diri manusia, seperti yang telah diyakini oleh ajaran Terekat Qadiriyah Wa

Naqsyabandiyah. Ajaran-ajaran tersebut antara lain adalah Fitrah yaitu manusia

pada dasarnya merupakan pembawaan sejak lahir yakni potensi beragama yang

cenderung lurus sesuai perjanjian dengan tuhannya saat masih dalam kandungan,

Nafs pada dasarnya merujuk pada sisi kejiwaan manusia yang berpotensi

melakukan perbuatan yang baik dan yang buruk, Qalb Kalbu adalah tempat

doktrin mengenai, kasih sayang, takut dan keimanan sesorang, Ruh adalah

merupakan suatu sistem dari diri manusia yang saling mengenal akan bergabung

dan yang tidak saling mengenal akan saling berselisih, Aql adalah dorongan untuk

memahami dan menggambarkan sesuatu.

Berdasarkan hasil penelitian terdahulu di atas terdapat perbedaan dengan

penelitian yang akan peneliti lakukan. Perbedaan tersebut dapat disimpulkan

sebagai berikut.

a. Penelitian Maslichah yang membahas tentang peranan pondok

pesantren rehabilitasi mental AzZayni dalam pembinaan korban

narkoba.

b. Penelitian yang dilakukan Zidni Istiqomah juga fokus pada rehabilitasi

jiwa bagi pecandu narkoba di pondok pesantren.

c. Penelitian yang dilakukan oleh Abdur Rokib lebih fokus membahas

mengenai Penyembuhan Pecandu Narkoba dan kesakitan mental akan

stress yang dialaminya di Pondok Sapu Jagad Yayasan Pesantren

Raudlatul Ulum Kencong, Kepung, Kediri, Jawa Timur.


54

Penelitian relevan yang sebelumnya telah dilakukan oleh beberapa peneliti

maka saya sebagai penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa sangat wajar

dalam berbagai tempat pemulihan bagi pecandu baik di rehabilitasi, panti maupun

rawat jalan maupun rawat inap atau bahkan dalam rumah sendiri akan terdapat

persamaan dan perbedaan serta kelebihan dan kekurangan dari masing-masing

hasil penelitian diatas bahwa persamaan dalam penelitian ini adalah menuju hasil

akhir yaitu pemulihan dari pecandu narkoba tersebut namun perbedaannya adalah

proses menggunakan rehabilitasi sebagai jembatan dalam pemulihan dan metode

nya pun berbeda yaitu hampir rata-rata menggunakan rehabilitasi sosial atau

religious, rehabilitasi mental dan rehabilitasi jiwa namun metode terapi konseling

nya adalah sering menggunakan terapi perilaku-kognitif agar perilaku pecandu

pun memiliki pilihan akan metode konseling, kombinasi penggunaan dan pola

pikirnya pun berubah bersamaan dengan fisik, relatif cepat sembuh atau bahkan

ada yang lama proses penyembuhan tergantung zat apa yang digunakan.

Jika saya teliti dan kaji ulang kembali bahwa adanya perbedaan tersebut

dalam bimbingan dan konseling terdapat layanan referral yang dimana jika

adanya ganguan dalam kesehatan jiwa dan mental nya akan dialihtangankan ke

pihak yang lebih profesional dalam bidang nya misalkan dokter, suatu rehabilitasi

yang memiliki sarana dan pra sarana yang sangat lengkap dan serba tersedia

sehingga keluarga tidak perlu merasa cemas meninggalkan anaknya dalam proses

rawat inap di rehabilitasi.

F. Kerangka Berpikir
55

Model konseptual perihal bagaimana teori bekerjasama dengan aneka

macam faktor yang telah diidentifikasi sebagai persoalan yang penting adalah

definisi dari kerangka berpikir Uma (1992). Perilaku pecandu narkoba tidak

diubah dalam keadaan sebelum individu tersebut menjadi pecandu maka akan

adanya konsekuensi antara hidup dan mati. Efektif atau tidaknya suatu terapi dan

berbagai macam tekhnik seseorang dalam menjalankan suatu terapi konseling

kognitif untuk mengubah perilaku pecandu narkoba adalah beberapa hasil dari

motivasi, dorongan, niat, dukungan dari keluarga, sosial, masyarakat sehingga

membentuk suatu sikap bentuk perubahan kembali kepada suatu awal yang baru.

Jalur perilaku yang tidak menyimpang agar terbentuk kembali suatu keadaan

dimana mendapatkan hasil yang sesuai dengan kodrat sebagai manusia baik dalam

hasil yang diperoleh di tempat baru maupun kembali kepada masa sebelum ia

mengenal narkoba melalui pergaulan sosial nya yang negatif maka terapi tersebut

efektif untuk dijalankan kepada individu tersebut namun jika sebaliknya, sama

sekali tidak ada niatan atas diri sendiri untuk berubah dan tidak ada dukungan dari

pihak tertentu yang dekat dengan nya maka akan sulit pula ia mendapatkan

keefektifitasan terapi konseling tersebut, baik kognitif atau pun metode terapi

konseling lain nya karena sangatlah penting suatu dorongan atau motivasi

terhadap keluarga yang dimana saling membutuhkan dan ketergantungan dalam

hal kepedulian, menyayangi dan rasa sayang. Mendapatkan pembelajaran sesuai

pengalaman yang dijalani merupakan guru yang baik dan bijaksana, tidak terdapat

didalam buku berupa buku teks namun ia rasakan dan alami sendiri. jiwa maupun

mental dan dalam segi religinya maka serta merta secara perlahan dan bertahap ia
56

menjauh dari Tuhan yang selama ini melindungi dan mengasihi nya sebagai umat

dan hamba kesayangannya yang selalu aktif beribadah. Efektifitas kebutuhan

terapi perilaku kognitif untuk merubah perilaku pecandu narkoba di rumah

singgah peka, Bogor, dapat dibuat skema menurut uraian diatas sebagai berikut:

Gambar 1. Skema Kerangka Berpikir

antara variabel X dan variabel Y

Variabel X: Variabel Y:

Kebutuhan Terapi Perilaku Pecandu


Kognitif Narkoba

BAB III
57

METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Moleong (2016:6) menyebutkan bahwa penelitian kualitatif adalah

penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami

oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan secara

holistic dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu

konteks khusus alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah

dengan menggunakan pendekatan fenomenologi. Menurut Moleong (2017)

mendefinisikan penelitian kualitatif adalah suatu penelitian ilmiah yang bertujuan

untuk memahami suatu fenomena dalam konteks sosial secara alamiah dengan

mengedepankan proses interaksi komunikasi yang mendalam antara peneliti

dengan fenomena yang diteliti. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini

menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode fenomenologi. Pendekatan ini

dipilih dengan data yang dikumpulkan yang berkaitan dengan observasi,

wawancara mendalam, serta pengumpulan berbagai studi pustaka, analisis data

yang akan dihasilkan adalah analisis data kualitatif. Metode yang digunakan

dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi.

Pendekatan fenomenologi berhubungan dengan pemahaman tentang kehidupan

keseharian dan dunia intersubjektif (dunia kehidupan) partisipan. Penelitian

fenomenologi mencoba menjelaskan atau mengungkap makna konsep atau

fenomena pengalaman yang didasari oleh kesadaran yang terjadi pada beberapa

individu. Fenomenologi dilakukan dalam situasi yang alami, sehingga tidak ada

batasan dalam memaknai atau memahami fenomena yang dikaji dan peneliti
58

bebas untuk menganalisi data yang diperoleh. Menurut Creswell (2014:450),

pendekatan fenomenologi menunda semua penilaian tentang sikap yang alami

sampai ditemukan dasar tertentu. Penundaan ini biasa disebut epoche (jangka

waktu). Konsep epoche adalah membedakan wilayah data (subjek) dengan

interpretasi peneliti. Konsep epoche menjadi pusat dimana peneliti menyusun dan

mengelompokkan dugaan awal tentang fenomena untuk menunda interpretasi

tentang apa yang dikatakan oleh partisipan. Creswell (2014: 453), fenomenologi

adalah suatu pendekatan dalam sosiologi yang mengidentifikasi masalah dari

dunia pengalaman inderawi yang bermakna kepada dunia yang penuh dengan

objek-objek yang bermakna, suatu hal yang semula terjadi dalam kesadaran

individual secara terpisah dan kolektif, di dalam interaksi-interaksi antara

kesadaran-kesadaran. Creswell (2017) menyatakan bahwa penelitian kualitatif

merupakan metode-metode untuk mengeksplorasi diri dan memahami makna oleh

sejumlah individu atau sekelompok orang yang berasal dari masalah sosial atau

kemanusiaan. Penelitian kualitatif yang digunakan adalah rancangan penelitian

fenomenologis. Peneliti fenomenologis berusaha mencari tentang hal-hal yang

perlu (esensial), struktur invarian (esensi) atau arti pengalaman yang mendasar

dan menekankan pada intensitas kesadaran dimana pengalaman terdiri hal-hal

yang tampak dari luar dan hal-hal yang berada dalam kesadaran masing-masing

berdasarkan memori, image dan arti. Penelitian ini menggunakan pendekatan

fenomenologi yang didukung oleh kenyataan bahwa data penelitian ini adalah

data laten yaitu fakta dan data yang nampak di permukaan, termasuk pola perilaku

sehari-hari klien (pecandu narkoba) dalam berinteraksi dengan teman atau


59

lingkungan masyarakat sebagai aktor yang diteliti hanyalah suatu fenomena dari

apa yang tersembunyi pada diri klien di mana masih diperlukan pemahaman dan

pemaknaan yang dimiliki. Ditinjau dari kedalamannya, penelitian ini mengungkap

pengalaman responden atau klien pecandu narkoba dan fokus penelitian melihat

bagaimana pengalaman nya dapat membentuk makna atau tidak nya pada situasi

lingkungan masyarakat atau bahkan sosialisasi setempat yang klien tempati saat

ini.

Peneliti menyatakan bahwa jenis penelitian ini menggunakan penelitian

kualitatif dengan pendekatan fenomenologi yaitu memahami esensi pengalaman

seseorang dengan cara mengelompokkan isu yang ada dan memberikan makna

atas isu tersebut sesuai pandangan orang tersebut. Pecandu narkoba diharapkan

mampu memberikan pandangan mereka berdasarkan pengalaman dalam

mengkonsumsi narkoba tersebut. Menurut Edmund Husserl dalam Moleong

(2007) istilah fenomenologis sering digunakan sebagai anggapan umum untuk

menunjuk pada pengalaman subjektif dari berbagai jenis dan tipe subjek yang

ditemui. Dalam arti yang lebih khusus, istilah ini mengacu pada penelitian

terdisiplin tentang kesadaran dari perspektif pertama seseorang. Fenomenologi

merupakan pandangan berpikir yang menekankan pada fokus kepada pengalaman-

pengalaman subjektif manusia dan interpretasi dunia. Fenomenologi menyelidiki

pengalaman kesadaran, yang berkaitan dengan pernyataan seperti, bagaimana

pembagian antara subjek dengan objek muncul dan bagaimana sesuatu hal di

dunia diklasifikasikan. Peneliti dalam pandangan fenomenologis berusaha


60

memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang yang berada

dalam situasi-situasi tertentu (Moleong, 2007).

B. Pendekatan Penelitian
1. Tempat Penelitian

Penelitian ini bertujuan mendapat gambaran dan informasi yang lebih jelas,

lengkap, memungkinkan dan mudah bagi peneliti untuk penelitian observasi.

Penulis menetapkan lokasi penelitian terletak di Rumah Singgah PEKA

(PEKA Halfway House), Jln. Cifor Sindang Barang Jero No. 50 Kp. Pilar I

Bogor, Jawa Barat 16117.

2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian, observasi ini dimulai dari bulan Desember 2020 sampai

dengan bulan Juni tahun 2021. Penelitian dilakukan disesuaikan dengan

kebutuhan akan informasi terkait menjadi tugas akhir berbentuk skripsi.

C. Tekhnik Penelitian

Penting penggunaan fenomenologi dalam penelitian kualitatif

adalah untuk mempelajari fenomena manusia tanpa mempertanyakan

penyebabnya, realitas yang sebenarnya, dan penampilannya. Penulis lebih

memilih kajian observasi dalam pendekatan kualitatif fenomonologi deskriptif

dengan mengobservasi situasi dan fenomena, keadaan atau kejadian yang terjadi

di sekitar lingkungan sosial, masyarakat dengan maksimal untuk memperoleh

hasil yang maksimal pula.


61

D. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi Penelitian

Populasi penelitian biasa disebutkan dengan kata satuan kajian yang

ditetapkan dalam satuan rancangan penelitian namun lebih tepatnya lagi bahwa

dalam penelitian kualitatif tidak mengenal istilah populasi, apalagi sampel.

Populasi atau sampel pada pendekatan kualitatif lebih tepat disebut sumber data

pada situasi sosial (social situation) tertentu.

Satuan kajian biasa disebutkan oleh (Moleong, 2018) atau populasi adalah

bersifat perseorangan, pengumpulan data akan disiapkan dan dipusatkan di

sekitarnya. Populasi yang bersifat kelompok pada intinya memperlihatkan bahwa

populasi tersebut berbeda, memiliki fokus yang tersendiri, berbeda tingkatan,

penarikan kesimpulan akan berbeda pula. Sumber data menggunakan sampel

purposif (purposive sample) yang memfokuskan pada informan- informan terpilih

yang kaya dengan kasus untuk studi yang bersifat mendalam Syaodih (2007:101).

Berdasarkan pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa populasi dalam

penelitian ini terdapat (6) enam orang para pecandu narkoba yang dijadikan

sumber data dalam penelitian, (1) satu orang direktur eksekutif atau program

manager sebagai pemegang kendali suatu tempat, (1) satu orang psikolog dan (1)

satu orang konselor adiksi. Kontribusi dari beberapa orang yang telah disebutkan

sebagai bahan pengamatan dan penelitian yaitu memperoleh informasi yang

relevan dan signifikan berdasarkan informan yang tak tercatat dalam perencanaan.
62

2. Sampel Penelitian

Menurut Moleong (2007) sampel penelitian ini secara tekhniknya berbeda

karena pada penelitian non-kualitatif sampel dipilih dari dari suatu populasi

sehingga dapat digunakan untuk generalisasi. Penelitian kualitatif erat kaitannnya

dengan faktor kontekstual. Sample (sampling) disini untuk menjaring sebanyak

mungkin informasi dari berbagai macam sumber dan bangunannya (constructions)

dan bertujuan merinci kekhususan yang ada dalam ramuan konteks yang unik.

Penggalian informasi yang menjadi dasar rancangan dan teori, tidak ada sampel

acak namun sampel bertujuan (purposive sample).

Tekhnik sampling adalah cara untuk menentukan sample, jumlahnya

sesuai dengan ukuran sample yang akan dijadikan sumber data sebenarnya dengan

memperhatikan sifat-sifat dan penyebaran populasi agar diperoleh sampel yang

representative atau mewakili populasi. Sutopo (2002:56) mengatakan bahwa

purposive sampling dengan kecenderungan peneliti untuk memilih informan yang

dianggap mengetahui informasi dan masalahnya secara mendalam dan dapat

dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap. Penulis mengungkapkan

fenomena terkait dengan upaya para pecandu dalam efektifitas nya suatu

kebutuhan konseling terapi perilaku-kognitif dalam mengubah perilaku. Penelitian

ini berusaha menelaah fenomena sosial dalam suasana yang berlangsung secara

wajar atau alamiah, bukan dalam kondisi terkendali, diatur, teratur atau

laboratories dan sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang

dimiliki oleh populasi.


63

E. Instrumen Penelitian

Penelitian ini, terdapat beberapa instrumen yang akan digunakan, yakni:

1. Instrumen utama, yang menjadi pelaku penelitian ini dijadikan sebagai

instrumen utama, yakni diri peneliti sendiri.

2. Observasi dan wawancara. Pengumpulan data yang dilakukan dengan

menggunakan observasi. Observasi digunakan untuk menuliskan kembali hasil

dan mencatat apapun yang tidak terdapat di alat perekam. Wawancara berikut

dengan kemungkinan beberapa contoh pertanyaan sebagai pedoman:

a. Apa yang akan dilakukan konselor untuk merubah perilaku kognitif

terhadap pecandu narkoba?

b. Metode apa saja yang dapat dipakai dalam perubahan perilaku pecandu?

c. Apakah perilaku pecandu narkoba merupakan perilaku yang menyimpang?

d. Apa saja faktor yang mempengaruhi perilaku kognitif pecandu narkoba?

Instrumen penelitian dalam tradisi penelitian kualitatif adalah

manusia/orang yakni peneliti sendiri dengan menggunakan alat bantu berupa

catatan, tape recorder, dan tustel (camera). Penyampaian Moleong (2007) bahwa

peneliti sebagai instrumen memiliki senjata yang secara luwes dapat

digunakannya. peneliti merupakan intrumen utama (key instrumen) dengan

bantuan orang lain merupakan alat pengumpul data utama dalam pengumpulan

data dan menginterpretasi data dengan dibimbing oleh pedoman wawancara

mendalam atau menyebar kuisioner berupa pertanyaan, dengan asumsi bahwa

hanya manusia yang dapat memahami makna interaksi sosial, menyelami


64

perasaan dan nilai-nilai yang dapat terekam dalam ucapan dan perilaku

responden.dan observasi. Memanfaatkan alat bantu bukan manusia dan

mempersiapkan dirinya secara lazim digunakan dalam penelitian klasik,

penyesuaian terhadap kenyataan-kenyataaan. Penulis sekaligus peneliti lebih

leluasa dalam mencari informasi dan data yang terperinci dari subjek penelitian

tentang berbagai hal yang diperlukan dalam penelitian, seperti:

1. Wawancara

Selain itu Moleong (2012:186) penelitian kualitatif digunakan

sebagai patokan umum dan dapat dikembangkan peneliti melalui

pertanyaan yang muncul ketika kegiatan wawancara berlangsung.

Tekhnik wawancara (interview), pewawancara harus mampu menciptakan

hubungan yang baik sehingga informan bersedia bekerja sama, dan

merasa bebas berbicara dan dapat memberikan informasi yang

sebenarnya. Teknik wawancara yang peneliti gunakan adalah secara

terstruktur (tertulis) dengan menyusun terlebih dahulu beberapa

pertanyaan yang akan disampaikan kepada informan, dimaksudkan agar

pembicaraan dalam wawancara lebih terarah dan fokus, percakapan tanya

jawab lebih dari satu orang dan membahas masalah tertentu, wawancara

sistematik dan telah direncanakan yang sebelumnya dibuat daftar

pernyataan yang akan diajukan agar tidak menyimpang dari tujuan

semula.

2. Observasi
65

Menurut Herdiansyah (2013:131) observasi didefinisikan sebagai

suatu proses melihat, mengamati, dan mencermati serta “merekam”

perilaku secara sistematis untuk suatu tujuan tertentu. Observasi ialah

suatu kegiatan mencari data yang dapat digunakan untuk memberikan

suatu kesimpulan atau diagnosis. Observasi ini bertujuan untuk

memperoleh data kondisi fisik dan visual. Observasi yang penulis lakukan

untuk mengetahui secara langsung kondisi tempat penelitian, lingkungan,

sarana dan prasarana termasuk fasilitas yang erat hubungannya dengan

proses-proses terapi kegiatan layanan bimbingan dan konseling bahwa

observasi adalah suatu teknik pengumpulan data tentang diri klien

dilakukan secara sistematis melalui pengamatan langsung, pencatatan

terhadap gejala-gejala yang ingin di selidiki untuk melengkapi informasi

keperluan klien dalam pelayanan bimbingan dan konseling. Observasi

harus jelas dengan kenyataan yang ada di lapangan selama beberapa waktu

lamanya, membuat catatan lapangan serta mengerti ciri-ciri dan signifikasi

dari interelasi elemen-elemen tingkah laku manusia pada fenomena sosial

yang ada data yang diperoleh melalui instrumen observasi untuk

melengkapi data angket, mengamati perkembangan konsep diri positif

subjek penelitian. Perkembangan tersebut adalah karakteristik perilaku

dalam konsep diri yang positif dalam masing-masing klien. Tekhnik

pengumpulan data dengan observasi digunakan bila penelitian berkenaan

dengan perilaku manusia, proses kerja, gejala-gejala alam yang dapat

terjadi secara spontan.


66

3. Dokumentasi

Berdasarkan tujuan penelitian, pendokumentasian yang berupa foto

kegiatan yang berlangsung, lingkungan setempat, hasil wawancara berupa

hasil rekaman atau data yang terkumpul dari beberapa sumber lain selain

pihak terkait dan kegiatan pendukung lainnya sebagai syarat telah

melakukan penelitian kualitatif. Dokumentasi menggunakan kamera atau

alat perekam (tape-recorder) sebagai suatu alat penyerta atau tambahan

catatan penelitian dan bukti nyata lapangan.

4. Angket

Proses peneliti menggunakan instrumen peneliti yaitu kuesioner

atau angket. Menurut Moleong (2001:112) pencatatan sumber data melalui

wawancara atau pengamatan merupakan hasil gabungan dari kegiatan

melihat, mendengar, dan bertanya. Kegiatan-kegiatan ini dilakukan secara

sadar, terarah, bertujuan memperoleh suatu informasi yang diperlukan.

Berbagai sumber data yang akan dimanfaatkan dalam penelitian ini sebagai

berikut:

a. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari

sumbernya yang digunakan dalam penelitian atau informan yang

dianggap berpotensi dalam memberikan informasi relevan yang

terjadi di lapangan. Data primer diperoleh melalui observasi dan

wawancara terhadap subjek peneltian. Adapun data primer

dalam penelitian ini diperoleh langsung dari subjek penelitian


67

bersedia dijadikan subjek wawancara agar mendapatkan

informasi yang lebih mendalam mengenai fenomena ini, peneliti

secara spesifik mengambil dua subjek untuk diwawancarai,

subjek dipilih dengan teknik purposive sampling yaitu teknik

pengambilan sumber data yang didasarkan dengan pertimbangan

misalnya orang tersebut dianggap paling tahu tentang apa yang

diharapkan Sugiyono (2018) subjek yang sesuai dengan tujuan

penelitian, sehingga tidak semua orang berkesempatan untuk

menjadi subjek.

b. Data sekunder atau data pelengkap dalam penelitian ini adalah

data diperoleh bukan secara langsung dari sumbernya tapi

sumber tertulis seperti sumber buku, majalah ilmiah, dan

dokumen-dokumen dari pihak yang terkait tentang pecandu

narkoba agar penelitian ini menghasilkan data yang lebih tepat

dan akurat. Adapun jumlah data primer pada penelitian ini

masing-masing subjek terkait.

A. Tekhnik Pencatatan Data

Teknik pencatatan data merupakan cara-cara yang ditempuh untuk

memperoleh data yang diperlukan sehingga data yang diperoleh menjadi

sempurna dan dapat dipertanggungjawabkan bahwa data dicatat lebih dulu lalu

dikumpulkan untuk diolah sebagaimana mestinya. Teknik pengumpulan data yang

peneliti gunakan adalah sebagai berikut:

1. Wawancara Mendalam (In-Depth Interview)


68

Penulis menggunakan teknik dengan wawancara mendalam secara

langsung jika dalam situasi dan kondisi yang memungkinkan dan dapat dilakukan

dengan mengikuti prosedur yang telah ditetapkan oleh pihak terkait di dalamnya.

In-depth Interview merupakan proses menggali informasi secara mendalam,

terbuka, bebas dengan masalah, fokus penelitian dan diarahkan pada pusat

penelitian (Moleong 2005:186). Daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan

sebelumnya merupakan bagian dari metode kualitatif proses memperoleh

keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka

antara pewawancara dengan responden/klien, dengan atau tanpa menggunakan

pedoman (guide) dimana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan

sosial yang relatif lama. Ciri khusus/kekhasan wawancara-mendalam ini adalah

keterlibatannya dalam kehidupan responden/informan.

2. Observasi

Metode observasi ialah pengamatan mengoptimalkan kemampuan peneliti

dari segi motif, kepercayaan, perhatian, perilaku tak sadar, kebiasaan dan

sebagainya. Pengamatan memungkinkan peneliti menangkap arti fenomena dari

segi pengertian subjek, menangkap kehidupan budaya dari segi pandangan dan

panutan para subjek pada keadaan waktu tertentu, pengamatan memungkinkan

peneliti merasakan apa yang dirasakan dan dihayati oleh subjek, sehingga

memungkinkan pula peneliti menjadi sumber data (Moleong, 2018). Beberapa

alasan mengapa metode observasi dimanfaatkan didasarkan atas pengalaman

secara langsung karena pengalaman secara langsung merupakan alat yang ampuh

untuk mengetes suatu kebenaran. Ini dilakukan jika data yang diperoleh kurang
69

meyakinkan. Teknik pengamatan juga memungkinkan melihat dan mengamati

sendiri, kemudian mencatat perilaku dan kejadian sebagaimana yang terjadi pada

keadaan sebenarnya. Pengamatan memungkinkan peneliti mencatat peristiwa

dalam situasi yang berkaitan dengan pengetahuan proporsional maupun

pengetahuan yang langsung diperoleh dari data. Peneliti adakalanya merasakan

keraguan disaat ada kemungkinan terdapat data yang bias karena hasil wawancara

menentukan data yang akan diolah adanya jarak antara peneliti dan yang

diwawancarai ataupun karena reaksi peneliti yang emosional. Jalan yang terbaik

untuk mengecek kepercayaan data tersebut ialah dengan memanfaatkan observasi.

Teknik observasi memungkinkan peneliti mampu memahami situasi-situasi yang

rumit mungkin terjadi jika peneliti ingin memperhatikan beberapa tingkah laku

sekaligus. Pengamatan dapat menjadi alat yang ampuh untuk situasi-situasi yang

rumit dan untuk perilaku yang kompleks, jika tekhnik komunikasi lainnya tidak

memungkinkan, observasi dapat menjadi alat yang sangat bermanfaat. Melalui

observasi ini, peneliti mencoba melihat secara langsung situasi komunikasi antara

orang tua dan anaknya untuk memahami dan mencari jawaban atas kejadian atau

fenomena yang sebenarnya terjadi. Observasi dapat diartikan sebagai pengamatan

dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala yang tampak pada obyek

penelitian. Observasi ini dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung.

Observasi langsung dilakukan terhadap obyek ditempat berlangsungnya kegiatan,

sehingga observer berada bersama obyek yang diteliti Nawawi (1993).

Memudahkan bagi peneliti pula untuk mendapatkan data secara mendalam, sebab

peneliti sudah melihat sendiri bagaimana keadaan obyek tersebut.


70

3. Dokumentasi

Teknik dokumentasi digunakan untuk memperoleh data-data yang tidak

bisa didapatkan dengan teknik wawancara maupun observasi. Hasil yang

diperoleh dari teknik dokumentasi adalah berupa foto, gambar, bagan, struktur

dan catatan-catatan yang diperoleh dari subjek penelitian. Menurut Moleong

(2000:105) dokumen dapat digunakan sebagai sumber data dan dapat

dimanfaatkan sebagai barang pembuktian, penafsiran dan pemaknaan suatu

peristiwa. Dokumen-dokumen yang dibutuhkan untuk kepentingan penelitian

yaitu berupa foto kegiatan, data nilai-nilai karakter beberapa orang dengan sasaran

tertentu. Metode documenter sangat menunjang data yang peneliti butuhkan

karena terdapat data-data yang sudah terjamin kebenarannya. Peneliti berusaha

mengumpulkan data yang diperoleh melalui observasi dan wawancara maka juga

menggunakan analisis dokumen sebagai bahan tertulis untuk melengkapi data-

data yang dianggap masih kurang. Cara yang dilakukan adalah dengan mencari

teori atau membaca dokumen dan hasil-hasil penelitian terdahulu yang berkaitan

dengan permasalahan yang akan diteliti.

4. Tekhnik Analisis Data

Menurut Moleong (2001: 103) pengertian analisis data adalah suatu proses

mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam bentuk suatu pola kategori

dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan rumusan hipotesa

kerja seperti yang disarankan oleh data. Tekhnik analisis yang penulis gunakan

adalah analisis kualitatif. Analisis kualitatif merupakan analisis data yang


71

didasarkan pada hubungan antara fakta satu dengan fakta yang lain secara

hubungan sebab akibat untuk menerangkan suatu peristiwa. Analisis kualitatif

yang peneliti gunakan adalah teknik analisis interaktif yang merupakan proses

siklus yang bergerak diantara ketiga komponen pokok yaitu reduksi atau seleksi

data, sajian data dan penarikan kesimpulan. Analisis data terdiri atas pengujian,

pengkategorian, pentabulasian, ataupun pengkombinasian kembali bukti-bukti

untuk menunjuk proposi awal suatu penelitian.

Yin (2008) Menurut Patton yang dikutip Moleong (2009) analisis data

adalah proses mengatur urutan data, dan mengorganisasikannya kedalam salah

satu pola, kategori dan satuan uraian dasar. Analisis data adalah upaya peneliti

kualitatif untuk meringkas data yang dikumpulkan secara akurat dan dapat

diandalkan. Peneliti akan melakukan reduksi data, penyajian data, penarikan

kesimpulan dan verifikasi dengan cara mendiskusikan dan bertanya kepada ahli

mengenai terapi perilaku-kognitif kemudian, data yang telah didapatkan akan

disajikan dalam bentuk uraian naratif yang sebelumnya dianalisis menggunakan

tabel. Hal terakhir adalah menarik kesimpulan dan melakukan verifikasi.

Kesimpulan yang didapat akan dipaparkan dalam penyajian deskriptif. Data yang

diperoleh akan dianalisis berdasarkan instrumen penelitian yang telah disiapkan

hingga peneliti menemukan sesuatu yang berkaitan dengan kajian relevan yang

dikemukakan oleh pecandu. Data yang berupa lisan akan ditransliterasikan

terlebih dahulu sebelum dilakukannya analisis.

Berdasarkan analisis data pada penelitian ini dapat diketahui bahwa

layanan konseling dalam prosesnya yaitu memberikan konseling terapi kognitif


72

secara umum dengan pendekatan konseling individual pendekatan konseling

kelompok, pendekatan konseling keluarga dan pendekatan spiritual. Pendekatan-

pendekatan teori konseling seperti pendekatan psikoanalisis, behavioristik,

rasional emotif terapi juga diberika diikutsertakan sebagai layanan informasi

namun persentase dengan konseling terapi perilaku-kognitif terbukti efektif

karena semua layanan yang penulis sebutkan mencakup di dalamnya adalah terapi

perilaku-kognitif.

Perumusan, mengolah data dengan adanya asesmen untuk pengumpulan

informasi klien dan konselor mempunyai keterampilan dalam membimbing

dengan terciptanya kenyamanan unuk perubahan perilaku pecandu tersebut pada

khususnya. Semua pendekatan konseling akan terapi perubahan terapi perilaku-

kognitif ditentukan dengan niatan klien sendiri tentunya dengan dukungan orang

terdekat pendekatan-pendekatan ini dilakukan sesuai kondisi dan kebutuhan klien.

Penulis berpendapat bahwa dimana pun pengguna narkoba ditempatkan

untuk pemulihannya baik fisik, mental dan jiwa. Semua berdasarkan perilaku

kognitif yang sangat mempengaruhi kehidupannya. Rehabilitasi, panti, penjara,

rumah sakit, rumah sakit jiwa, rumah pribadi dan dimanapun ia berada jika

metode yang didapatkan atau diterapkan tidak efektif maka perilaku pecandu

narkoba tersebut kecil kemungkinannya untuk berubah secara signifikan. Tidak

ada manusia yang sempurna namun setidaknya perilaku yang menyimpang dalam

kategori tema ini dapat meminimalisir dengan mencegah penggunaannya kembali

(relapse prevention). Efektifitas kebutuhan terapi konseling terapi perilaku-

kognitif dalam mengubah perilaku pecandu narkoba sangat penting dan


73

diperlukan terutama adanya kombinasi bentuk layanan program di dalam suatu

rehabilitasi apapun, baik dalam bentuk perawatan personal secara fisik dan mental

yaitu menuju pemulihan jangka pendek atau panjang dengan metode substitusi

legal, cara berpikir atau konsep pemikiran manusia untuk dapat belajar dan

merespons suatu hal karena mental merupakan kata lain dari pikiran, sehingga

mentalitas dapat dikatakan sebagai cara berpikir tentang suatu hal.

Skripsi yang bertema efektifitas kebutuhan terapi perilaku kognitif untuk

mengubah perilaku pecandu narkoba yang berlokasi di Rumah Singgah Peka atau

Half-way House, Bogor Jawa Barat adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan

fenomenologis bersifat deskriptif. Saya sebagai penulis juga sebagai peneliti

menyimpulkan bahwa suatu tekhnik konseling terapi kebutuhan khususnya

membahas tentang perilaku dan kognitif yang biasa disebut dengan pola pikir atau

mind-set adalah merupakan suatu tantangan bagi saya sendiri untuk menjawab

dengan banyaknya pertanyaan yang terdapat dalam pemikiran saya, apakah

mereka dapat berubah perilaku dan cara berpikirnya, bagaimana caranya,

kapankah hal perubahan perilaku dan pola pikir mereka itu akan terealisasi,

adakah jaminan bahwa perilaku yang diluar dari aturan dan norma dapat

ditoleransi, adakah jaminan bahwa mereka tidak memakai kembali (relapse).

Begitu banyak pertanyaan saya, oleh karena itu saya membuat rancangan

pelaksanaan proposal dalam rangka pengajuan skripsi untuk memperoleh gelar

sarjana dengan mengambil tema ini sekaligus menjawab pertanyaan yang ada

dalam benak saya dalam penelitian.


74

Terdapat banyak kemungkinan bahwa adanya kombinasi tekhnik atau

metode konseling beserta pendekatannya terkait kebutuhan perubahan kognitif

dan perilaku dalam merubah perilaku pecandu narkoba, namun kali ini peneliti

berfokus hanya terapi perubahan perilaku-kognitif saja yang menarik perhatian

karena ternyata bukan hanya yang terlibat dalam kecanduan narkoba saja

memerlukan atau membutuhkan terapi perilaku kognitif ini namun bagi mereka

yang mengalami depresi, stress, frustasi, trauma dan penyakit mental lain dapat

menggunakan cara ini. Terapi perilaku-kognitif mempunyai fungsi yang

signifikan dan terbukti memperoleh peran tertentu dan proses nya tersendiri.

Terapi ini tidak berdiri sendiri namun didukung dengan teori atau metode lainnya,

hanya saja teori terapi perubahan terapi perilaku-kognitif ini adalah hal yang

utama dan pertama kali digunakan pada saat pendekatan awal dengan klien

dengan menggali informasi, cara berpikir, perilaku nya sebelum dan sesudah ia

memakai apakah ada perbedaan dalam kaitan tersebut. Kinerja metode terapi

perilaku-kognitif itu dapat lebih mumpuni jika disandingkan dengan tekhnik atau

metode terapi lainnya dengan pendekatan tertentu, bersama para profesional

dalam bidangnya masing-masing yaitu konselor, psikolog, pskiater, dokter umum,

dokter penyakit dalam, ustadz, dan lainnya yang dapat menganalisa atau melihat

kepribadian dan perilaku pecandu itu dalam keseharian saat klien sebelum atau

sesudah withdrawl atau putus zat.


75

DAFTAR PUSTAKA

Alterman, A.I.; Gariti, P.; and Mulvaney, F. (2001). Short- and long-term
smoking cessation for three levels of intensity of behavioral treatment.
Psychology of Addictive Behaviors.

Bungin, Burhan. (2003). Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT.


Rajagrafindo Persada.

Cloud, W., & Granfield, R. (2001). Natural Recovery from Substance


Dependency: Lessons for treatment providers. Journal social of work practice
in the Addiction, 1(1. 83-104).

Corey, Gerald. (1995). Theory and Practice of Counseling and Psychoteraphy.


Brooks and Cole Publishing Company: Pacific Grove, California.

Glasner, Suzette-Edwards. (2015). The Addiction Recovery Skills Workbook.


University of California, Los Angeles. UCLA.

Center Team, US. (2001). For Substance Abuse Treatment and Family Therapy.
UNODC.

Hawari, Dadang. (2003). penyalahgunaan dan ketergantungan NAZA, (Narkotika


dan Zat Adiktif). Jakarta: Gaya Baru.

International Network of Drug Dependence Treatment and Rehabilitation


Resource
Centres. (2008). Projects: UNODC, WHO, UNAIDS, BNN.

McLeod, J. (2006). Pengantar Konseling Teori Dan Studi Kasus. Ed.3. Jakarta:
Prenada Media Group.

Moleong, Lexy J. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja


Rosda Karya.

Presiden, Peraturan (Perpres) Pasal 2 Ayat 2 No. 23 (2010). Jakarta: Badan


Narkotika Nasional.
76

PEKA, Rumah Singgah. (2020). Perbincangan khusus pecandu narkoba. Bogor:


Jawa Barat.

Prochaska, J., NorPKoss, J., & DiClemente, C. (1994). Changing for good. New
York: William Morrow and Company.

Rasimin. (2009). Konseling Populasi Khusus. Diktat Kuliah. Jambi: Program


Ekstensi Bimbingan Konseling Universitas Jambi.

Sasangka, Hari. (2003). Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana.


Bandung: Mandar Maju.

Sevila, Consevelo G. (1993). Pengantar Metode Penelitian. Tery Alirumuddin


Tuwu. Jakarta: Universitas Indonesia.

Sobur, Alex. (2003). Psikologi Umum. Bandung: Pustaka Setia.

Stephen P, Timothy A. (2008). Perilaku Organisasi Teori Hierarki Kebutuhan


Abraham Maslow. Editor: Serafica Gischa.

Subagyo, Kenali Narkoba dan musuhi penyalahgunaannya. (Jakarta: Gelora


aksara pratama, 2012),10.

Programme, Colombo Plan Drugs Advisory. (2005). Management of Drug 170


Treatment and Rehabilitation Programmes in Asia. Colombo Plan.

Undang–Undang Dasar 1945. Lembaga Informasi Nasional Republik Indonesia


2002, hal 34.

Undang–Undang Dasar 1945 Lembaga Informasi Nasional Republik Indonesia


(2002). BAB XA tentang Hak Asasi Manusia dari Pasal 28A -28J.

World Health Organization. (2004). Neuroscience of Psychoactive Substance Use


and Dependence. Geneva: Author.
77

Yin. (2008). Studi Kasus Desain Metode. Penerjemah muzakir. Jakarta: Raja
Grasindo.

Anda mungkin juga menyukai