Anda di halaman 1dari 7

KONSERVASI GAJAH SUMATERA

Pendahuluan
Berdasarkan beberapa artikel dapat diketahui bahwa penelitian Taufan (dkk) bahwa
keberadaan gajah sumatera di Kawasan Hutan Kabupaten Peunaron tidak terpusat
pada satu titik lokasi, namun tersebar ke berbagai titik berdasarkan ketersediaan
pakan dan berbagai faktor fisik lainnya yang dibutuhkan oleh gajah sumatera dalam
satu habitat. Jejak gajah yang ditemukan saat penelitian berupa kotoran, jejak tapak,
bekas sisa makanan, gesekan pada batang pohon serta patahan ranting pohon. Kondisi
habitat gajah sumatera di kawasan hutan Kecamatan Peunaron Kabupaten Aceh
Timur bedasarkan software SMART menunjukkan penurunan ketersediaan pakan
yang dibutuhkan oleh gajah sumatera dalam satu habitat. Penyebab kerusakan hutan
di Kecamatan Peunaron disebabkan oleh aktifitas manusia seperti penebangan pohon
di dalam hutan, adanya pembukaan lahan oleh masyarakat, pengalihan fungsi hutan
menjadi perkebunan sawit oleh perusahaan-perusahaan.
Penelitian yang sama dilakukan oleh Rianti dan Garsetiasih bahwa tingkat pendidikan
masyarakat berkorelasi dengan persepsi tentang upaya konservasi, khususnya jenis
hewan gajah. Di lokasi penelitian, tingkat pendidikan yang rendah mendorong
responden untuk memiliki persepsi negatif tentang upaya konservasi gajah. Gangguan
gajah terdapat di semua desa responden, terutama merusak lading dan kebun
masyarakat yang mengakibatkan kerugian secara ekonomi. Responden menyatakan
bahwa gajah tidak bermanfaat, hal ini dikhawatirkan akan berdampak pada
keterancaman populasi gajah.
Dari penelitian yang dilakukan Juwanto (dkk), jumlah gajah sumatera yang
ditemukan di Taman Nasional Tesso Nilo Provinsi Riau sebanyak 49 ekor. Dari 4
jalur yang telah teliti gajah dengan jumlah terbesar ditemukan di jalur Restoration
Camp yakni 19 ekor gajah, sedangkan jumlah terkecil di jalur Desa Lubuk Kembang
Bunga yakni sebanyak 2 ekor gajah. Kepadatan gajah yang didapat dari perhitungan
LUK didapat bahwa lokasi dengan kepadatan tertinggi terdapat di jalur Restoration

1
Camp dengan kepadatan sebesar 1,87/km² sedangakan kepadatan terendah ditemukan
di Desa Lubuk Kembang Bunga dengan kepadatan 0,12/km².
Berdasarkan pemaparan artikel-artikel di atas bahwa habitat sangat berpengaruh
terhadap keberlangsungan populasi gajah sumatera. Habitat yang disenangi gajah
sumatera salah satunya yaitu pakan yang melimpah. Namun seiring dengan
berjalannya zaman populasi manusia semakin meningkat sehingga mengakibatkan
kebutuhan akan lahan sebagai tempat tinggal juga meningkat. Hal ini berdampak
terhadap habitat gajah sumatera yang dialihkan menjadi lahan pemukiman. Oleh
karena itu, banyak gajah yang dibunuh karena dianggap mengganggu masyarakat
sekitar habitat. Jika peristiwa tersebut dibiarkan terus-menerus maka populasi gajah
akan mengalami penurunan, seperti di Aceh Timur populasi gajah mengalami
penurunan. Perlu dilakukan edukasi dan sosialisasi tentang konservasi gajah sumatera
untuk menjaga kelestarian dan eksistensinya.

2
Tinjauan Pustaka

Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 tahun 1999 tentang konservasi sumber


daya alam hayati dan ekosistemnya perlu dilindungi dan dilestarikan. Gajah Sumatera
secara resmi telah dilindungi sejak 1931 dalam Ordonansi Perlindungan Binatang
Liar Nomor 134 dan 226 dan diperkuat SK Menteri Pertanian RI Nomor
234/Kpts/Um/1972 dan PP Republik Indonesia No.7 Tahun 1999 tentang
Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa (Mustafa et al., 2018).
Analisa sistem information geografis (SIG) yang dilakukan, menemukan tentang
kondisi habitat di Kecamatan Peunaron tentang perubahan luas areal terbuka, batas
kawasan Kecamatan Peunaron, dari hasil digitasi peta citra satelit diketahui
perubahan yang dialami selama jangka waktu 10 tahun, selama satu dekade terjadi
penyusutan hutan sebesar 12.726,02 hektar. Sementara pada tahun 2016, luas areal
terbuka di Kecamatan Peunaron bertambah drastis mencapai 18.112,12 hektar, maka
berdasarkan data tersebut, ditemukan adanya penyusutan hutan dan habitat gajah
yang sangat luas, banyak faktor yang menyebabkan hutan sebagai habitat gajah
akan terus berkurang (Mustafa et al., 2018). Hal tersebut akan memengaruhi
populasi gajah sumatera, seperti di Riau dilihat jumlah keseluruhan hasil analisis
dari tumpukan kotoran gajah di semua lokasi penelitian ditemukan 49 ekor gajah.
Jumlah individu gajah tertinggi berada pada daerah yang memiliki jarak yang jauh
dari pemukiman (Juwanto et al., 2020). Sedangkan yang dilakukan WWF,
ditemukan 113 sampel berbeda dan dapat diperkirakan jumlah minimal populasi
gajah yang terdapat di Tesso Nilo yakni 154 individu (WWF, dalam Juwanto et al.,
2020).
Beberapa penyebab terjadinya degradasi hutan yang di lakukan oleh masyarakat
maupun perusahaan yang memanfaatkan hasil alam tanpa terkendali, beberapa
temuan aktifitas manusia di dalam kawasan hutan Peunaron menjadi faktor
penyebab terusiknya gajah liar di habitatnya. Diketahui penyebab penyusustan hutan
alam yang sering ditemukan dilokasi adalah penebangan dan pengolahan kayu
(Mustafa et al., 2018).

3
Selama kegiatan penelitian, di sepanjang aliran sungai banyak mendapatkan kayu-
kayu glondongan hasil penebangan liar yang dilakukan oleh masyarakat, jika hal
ini tidak segera ditindaklanjuti maka kondisi hutan akan semakin terfragmentasi
sehingga kebutuhan pakan bagi Gajah Sumatera akan semakin berkurang (Mustafa et
al., 2018).
Kebutuhan pakan bagi gajah dewasa mencapai 200-300kg/hari sedangkan
kebutuhan air minumnya sekitar 200 liter/hari. Jumlah pakan gajah dalam
habitatnya semakin sedikit karena kompetisi dan adanya perubahan tutupan lahan
akibat perambahan oleh masyarakat. Kurangnya ketersediaan makanan dihabitat
aslinya mendorong gajah untuk keluar dari habitatnya masuk ke wilayah penduduk
(Juwanto et al., 2020). Hal serupa terjadi di Kecamatan Peunaron, Aceh Timur salah
satu pemilik lahan menceritakan bahwa dua ekor gajah liar baru saja melintasi areal
padi miliknya, namun padinya belum sempat dimakan gajah, karena lebih cepat
dilakukan pengusiran menggunaan petasan, lalu induk gajah bersama satu ekor
anaknya itu kembali masuk ke dalam hutan (Mustafa et al., 2018).
Upaya penanggulangaan ini dilakukan dengan tujuan menakut-nakuti agar gajah pergi
dari lokasi gangguan, hal ini dilakukan masyarakat untuk mempertahankan lahan
pertanian/perkebunan miliknya (Juwanto et al., 2020).
Berdasarkan studi literatur yang dilakukan, dalam laporan BKSDA yang dimuat
dalam media lokal portalsatu.com (2017) menyebutkan ada 10 ekor Gajah Sumatera
yang mati di Provinsi Aceh selama Tahun 2017. Dari 10 ekor gajah yang mati
tersebut, satu ekor diantaranya merupakan gajah jinak yang dilatih di Pusat Pelatihan
Gajah (PLG) Saree milik Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh,
disebabkan terkena Elephant endotheliotropic herpes virus (EEHV). Sembilan (9)
ekor yang lain adalah gajah liar yang mati di beberapa daerah di Aceh, dengan
berbagai macam penyebab kematian. Tiga ekor diantaranya mati di Aceh Timur, satu
ekor di tembak, dan dua ekor gajah mati akibat tersengat listrik di Kecamatan
Peunaron. Gajah lain yang mati karena ditembak juga terjadi di Kabupaten Aceh
Tengah. Kemudian di Tangse Kabupaten Pidie ditemukan satu ekor anak gajah yang
mati akibat jatuh kedalam jurang, ditemukan juga anak gajah liar yang mengalami

4
malnutrisi karena ditinggal rombongan, yang akhirnya mati saat dilakukan perawatan
di PLG Saree. Satu ekor gajah liar betina juga ditemukan mati akibat luka yang
terinfeksi di Kawasan Seulawah Agam Aceh Besar. Terakhir di Kabupaten Gayo
Lues dan Aceh Jaya gajah liar juga ditemukan mati akibat diracun (Mustafa et al.,
2018).
Tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan pemahaman dan persepsi terhadap
konservasi gajah menjadi sangat rendah. Responden yang menyatakan tidak tahu
manfaat gajah bagi mereka sebenarnya sama persepsinya dengan yang menyatakan
gajah tidak bermanfaat, mereka menganggap keberadaan gajah menimbulkan
kerugian. Hanya sebagian kecil responden yang menyatakan belum merasa dirugikan
oleh kehadiran gajah, dikarenakan ladang mereka belum pernah diganggu oleh gajah
(Rianti dan Garsetiasih, 2017).

5
Kesimpulan
Gajah secara resmi telah dilindungi sejak 1931 dalam Ordonansi Perlindungan
Binatang Liar Nomor 134 dan 226. Namun seiring berkembangnya zaman populasi
manusia semakin meningkat sehingga menyebabkan kebutuhan lahan sebagai
pemukiman dan pertanian/perkebunan juga ikut meningkat. Hal tersebut
menyebabkan pembuakaan lahan pada hutan yang berakibat berkurangnya luas
habitat gajah sumatera. Habitat yang semakin sempit membuat persediaan pakan di
hutan juga semakin sedikit. Akhirnya populasi gajah keluar hutan memakan tanaman
pertanian dan terjadilah konflik antara gajah sumatera dengan manusia. Banyak gajah
sumatera yang dibunuh hanya untuk mengusir gajah dan mendapatkan lahan sebagai
pemukiman dan pertanian. Bagi masyarakat dengan tingkat pendidikan yang rendah
menganggap gajah tidak bermanfaat, serta tidak memahami makna konservasi gajah.
Oleh karena itu perlu adanya edukasi dan sosialisasi terkait konservasi gajah
sumatera.

6
Daftar Pustaka

Mustafa, Taufan et al., 2018. Analisis Habitat Gajah Sumatera (Elephas Maximus
Sumatranus) berdasarkan Software Smart di Kecamatan Peunaron Kabupaten
Aceh Timur. Jurnal Biotik, ISSN: 2337-9812, Vol. 6, No. 1

Juwanto, Umum et al., 2020. Populasi Gajah Sumatera (Elephas Maximus


Sumatranus Temminck) di Bagian Timur Laut Taman Nasional Tesso Nilo
Provinsi Riau. Jurnal Ilmu-ilmu Kehutanan Vol. 4 No.2

Rianti, Anita dan R.Garsetiasih. 2017. Persepsi Masyarakat terhadap Gangguan Gajah
Sumatera (Elephas Maximus Sumatranus) di Kabupaten Ogan Komering Ilir.
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.2, 2017 : 83-99
p-ISSN 1979-6013 e-ISSN 2502-4221

Anda mungkin juga menyukai