Anda di halaman 1dari 9

MANAJEMEN PENGENDALIAN

VECTOR PENYAKIT KECACINGAN

Nur Hafid Kurniawan

Universitas Lampung, Program Studi Biologi, email: nurhafid07@gmail.com

A. Pendahuluan

Kecacingan merupakan masalah kesehatan yang masih banyak di temukan di


dunia. Berdasarkan data World Health Organi zati on (WHO) lebih dari satu

miliar orang terinfeksi Ascaris lumbricoides, 795 juta orang terinfeksi cacing
Trichiuris trichiura atau 740 juta orang terinfeksi cacing Hooworm (Suriani
dkk, 2019). Kecacingan meupakan penyakit endemik yang disebabkan oleh
cacing parasit yang cenderung tidak mematikan namun menggerogoti kesehatan
tubuh manusia, sehingga berakibat menurunnya kondisi gizi dan kesehatan
masyarakat (Juhairiyah, 2015). Penderita cacingan ialah seseorang yang dalam
pemeriksaan tinjanya mengandung telur cacing dan/atau cacing (Arrizky,
2021).

Penularan penyakit kecacingan melalui vektor. Vektor ialah hewan avertebrata


yang bertindak sebagai penular penyebab penyakit (agen) dari host yang sakit
ke yang rentan lainnya. Lalat dan tikus termasuk vektor dalam penyakit
kecacingan.

Lalat merupakan vektor foodborne diseases, seperti kecacingan (Andiarsa,


2018). Aktivitas transmisi agen patogen dari lalat ke manusia sangat ditentukan
oleh kemampuan lalat dalam memindahkan agen infeksius kepada inangnya
atau yang biasa disebut dengan vector competence ( Onwugamba etc al, 2018).
Lalat memindahkan agen penyakit dengan mengkontaminasi makanan yang
dihinggapinya, melalui muntahan, kotoran, maupun hanya memindahkan
kuman yang berada di permukaan tubuhnya (Andiarsa, 2018). Perilaku
memakan bahan organik yang berada pada kotoran hewan maupun manusia dan
sampah organik lainnya merupakan tahapan awal seekor lalat memulai
mencemari tempat apapun yang dihinggapinya. Penyakit kecacingan biasanya
terjadi pada anak-anak yang memiliki perilaku higiene yang kurang (Kartini,
2016). Perilaku tidak mencuci tangan sebelum makan merupakan faktor risiko
bagi tertularnya penyakit kecacingan. Lalat juga berpotensi menularkan
kecacingan ini dengan membawa telur cacing yang infektif dan
mengkontaminasi makanan atau minuman (Andiarsa, 2018).

Tikus memiliki peran yang penting dalam penularan berbagai penyakit.


Beberapa diantaranya diakibatkan oleh adanya kelompok cacing, yaitu
Schistosoma japonicum, Capillaria hepatica, Hymenolepis spp. dan Trichinella
spiralis (Widiastuti dalam Nurwidayati, 2019). Penularan infeksi dapat terjadi
melalui kontak langsung dengan feses tikus infektif atau melalui vektor yang
berupa pinjal ataupun tungau, maupun melalui keong perantara untuk
schistosomiasis (Nurwidayati, 2019). Tikus merupakan hewan yang habitatnya
berdekatan dengan lingkungan manusia. Keberadaannya merupakan faktor
risiko penularan beberapa jenis penyakit zoonosis, salah satunya adalah
schistosomiasis. Schistosomiasis sering disebut juga sebagai demam keong di
daerah endemis di Indonesia. Penyebab schistosomiasis di Indonesia adalah
cacing trematoda Schistosoma japonicum. Cacing S.japonicum dewasa hidup di
vena hepatika dan vena mesenterika. Akibat yang ditimbulkan oleh
schistosomiasis tingkat lanjut adalah terjadinya pembengkakan hepar, limpa
sehingga menimbulkan ascites atau pembengkakan perut penderita. Apabila
tidak diobati schistosomiasis dapat menimbulkan kematian. Penularan
schistosomiasis membutuhkan keong sebagai hospes perantara, di Indonesia
keong perantara schistosomiasis adalah keong Oncomelania hupensis
lindoensis. Penularan schistosomiasis di Indonesia adalah sebagai berikut: Telur
S.japonicum dikeluarkan bersama dengan tinja penderita, kemudian dalam air
menetas menjadi mirasidium yang akan menembus tubuh keong O. hupensis
lindoensis. Dalam tubuh keong mirasidium akan mengalami perkembangan
menjadi sporokista, kemudian menjadi serkaria yang akan keluar dari tubuh

keong. Infeksi terjadi melalui serkaria yang menembus kulit manusia dan atau
mamalia (Hadidjaja dalam Nurwidayati, 2019).

Laporan survei pada 10 propinsi yang menyebutkan bahwa Provinsi Sumatera


Utara merupakan daerah yang memiliki angka kecacingan tinggi, yaitu
menduduki peringkat ketiga dengan angka kecacingan 60,4% setelah Nusa
Tenggara Barat (83,6%) dan Sumatera Barat (82,3%) dengan rincian

prevalensi cacing Ascaris lumbricoides 17,75%, cacing Trichuris trichiura


17,74% dan cacing Hookworm 6,46%. Prevalensi penyakit kecacingan di
Indonesia angka nasional (28,12%). Provinsi Sumatera Barat menduduki
tingkat tertinggi yaitu (85%) (Kemenkes RI, 2012).

Penanggulangan cacingan adalah semua kegiatan atau tindakan yang ditujukan


untuk menurunkan prevalensi serendah mungkin dan menurunkan risiko penu-
laran cacingan di suatu wilayah (Kementerian Kesehatan RI, 2017). Menurut
Direktur Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang (P2B2) Kementerian
Kesehatan mengatakan bahwa pengendalian cacingan harus terintegrasi, tidak
bisa hanya mengandalkan minum obat cacing saja. Harus ada peningkatan
kondisi lingkungan yang sehat dan mengubah perilaku orang yang berisiko
terkena cacingan. Oleh karena hal tersebut maka perlu adanya pengendalian
vektor penyakit kecacingan dengan strategi pengendalian tradisional dan
sederhana maupun berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 64 Tahun
2017 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan, kegiatan
pencegahan dan pengendalian penyakit tular vektor dan zoonosis.

B. Manajemen Pengendalian Vektor

Strategi dalam pengendalian vektor terutama dilakukan pada cara transmisinya


(Bangs et al. 2006; Fidayanto et al. 2013), serta harus memperhatikan interaksi
antara manusia dan hewan dengan ekosistem serta manajemen lingkungannya
(Wang & Crameri, 2014). Berikut manajemen pengendalian vector penyakit
kecacingan yang meliputi perencanaan, organisasi, pelaksanaan, dan controlling
(monitoring dan evaluasi).

1. Perencanaan

Pengendalian vektor dilakukan dengan memakai metode pengendalian


vektor terpadu . Proses perencanaan pengendalian vector penyakit
kecacingan menggunakan pendekatan pemecahan masalah (problem
solving). Secara terinci langkah-langkah yang dilakukan dalam perencanaan
kesehatan yang dilakukan oleh pengendalian vector penyakit kecacingan
adalah sebagai berikut: analisis situasi, identifikasi masalah, menetapkan
prioritas masalah, menetapkan tujuan, menetapkan strategi dan kebijakan,
menetapkan rencana kegiatan, menetapkan sasaran, waktu, organisasi dan
staf, rencana anggaran, rencana evaluasi (Rahardjo, 2019).

Masalah yang dihadapi dalam pengendalian vektor di Indonesia antara lain


kondisi geografi dan demografi yang memungkinkan adanya keragaman
vektor, belum teridentifikasinya spesies vektor (pemetaan sebaran vektor) di
semua wilayah endemis, belum lengkapnya peraturan penggunaan pestisida
dalam pengendalian vektor, peningkatan populasi resisten beberapa vektor
terhadap pestisida tertentu, keterbatasan sumber daya baik tenaga, logistik
maupun biaya operasional dan kurangnya keterpaduan dalam pengendalian
vektor. Mengingat keberadaan vektor dipengaruhi oleh lingkungan fisik,
biologis dan sosial budaya, maka pengendaliannya tidak hanya menjadi
tanggung jawab sektor kesehatan saja tetapi memerlukan kerjasama lintas
sektor dan program(Rahardjo, 2019).

2. Organisasi

Fungsi dari pengorganisasian menjadikan keseluruhan sumber daya yang


ada pada organisasi dapat diatur pemakaiannnya secara efisien dan efektif
dalam mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan dalam organisasi.
Kerjasama lintas sektor dibangun dengan dinas kesehatan sebagai leading
sektor, maka kekurangan-kekurangan tersebut dapat ditutupi. Seperti
penebaran ikan pemakan jentik dapat bekerjasama dengan Dinas Perikanan.
Penimbunan air yang tergenang, pengeringan genangan air, pembuatan
saluran penghubung dari kolam ke laut dapat bekerjasama dengan Dinas
Pekerjaan Umum sedangkan pembersihan lumut dapat bekerjama dengan
Dinas Kebersihan (Ekawasti & Martindah, 2016).

Kerja sama/kemitraan dengan pihak lain baik pemerintah, swasta, maupun


Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang digalakkan masing-masing
daerah. Membangun kemitraan itu sangat penting karena tidak akan ada
penurunan kasus apabila tidak ada perubahan perilaku masyarakat dan
perubahan perilaku masyarakat bukanlah pekerjaan yang mudah, untuk itu
diperlukan strategi dan kerja sama dengan pihak lain (Margarethy, Yenni,
Wurisastuti, Salim, & Santoso, 2018).

3. Pelaksanaan

Pelaksaanaan merupakan kegiatan yang dilaksanakan dalam pengendalian


vektor penyakit kecacingan. Berikut pelaksanaan pengendalian vector
kecacingan yaitu lalat, tikus, dan keong mas.
a. Pengendalian lalat vector penyakit kecacingan

Beberapa strategi pengendalian tradisional dan sederhana misalnya


menggunakan perangkap yang berisi umpan organik berbahan protein,
yeast dan insektisida alami dianggap mampu setidaknya mengendalikan
melonjaknya populasi lalat pada suatu musim tertentu yang menjadi
puncak pertumbuhan populasi lalat di suatu wilayah. Insektisida alami
misalnya minyak essensial monoterpen (dari ekstrak tanaman Conifer

resins (sejenis pinus)) bisa menjadi salah satu alternatif dalam kontrol
serangga ini.

Kondisi yang sangat mendukung perkembanganbiakan lalat hingga


menjadi populasi yang cukup meresahkan lingkungan antara lain
kelembaban tinggi, suhu hangat, dan melimpahnya sumber makanan
bagi lalat yaitu sampah organik sisa rumah tangga dan kotoran hewan.
Kondisi tersebut sangat ideal bagi perkembangbiakan lalat dan hanya
bisa terjadi pada suatu wilayah yang memiliki sanitasi yang buruk dan
cenderung kumuh. Strategi utama tentu perbaikan sanitasi lingkungan
dan perbaikan pola perilaku hidup bersih sudah cukup signifikan dalam
menurunkan populasi lalat.

b. Pengendalian tikus vector penyakit kecacingan

Pengendalian tikus yang telah dilakukan ialah menangkap dan mem-


bunuh tikus baik di rumah maupun di sawah yaitu menggunakan racun,
perangkap kurungan, jeplakan, menggunakan lem tikus, meme-lihara
kucing, gropyokan, menjaring tikus, pengasapan dengan belerang dan
karbit, disetrum kemudian di rendam ke dalam air, bahkan salah seorang
informan mengatakan jika tikus tertangkap dibakar kemudian diumpan-
kan ke kolam lele. Selain itu ada beberapa cara mengusir tikus antara
lain dengan diberi makan jengkol yang telah direndam dalam air atau
telo kemudian diletakkan disamping "rong-rong" tikus di sawah,
menggunakan pewangi pakaian molto, menggunakan jangkrik karena
diyakini suaranya bisa mengusir tikus, menggunakan cendana, diberi
duri salak di tempat yang sering dilewati tikus, menggunakan kamper
dan daun pandan yang dipotong kecil-kecil kemudian disebar di tempat
yang sering dilewati tikus, tikus yang sudah diperoleh dicat pilok atau
diberi klinthingan kemudian dilepas untuk mengusir temannya, suara
tokek, burung hantu (Kemenkes RI, 2012).

4. Controlling

Kegiatan ini sangat penting dilaksanakan untuk tiap kegiatan. Melakukan


monitoring bertujuan agar setiap kegiatan yang sudah dilaksanakan sesuai
dengan yang direncanakan. Sedangkan melakukan evaluasi atau supervisi
bertujuan untuk melihat kendala-kendala yang dihadapi pada saat
melaksanakan kegiatan manajemen lingkungan.

Monitoring dan evaluasi program yang dilakukan yaitu untuk puskesmas


dilakukan setiap bulan pada saat mini loka karya sedangkan di dinas
kesehatan dilakukan pertriwulan, untuk monitoring kegiatan penyemprotan
insektisida alami dan peangkapan tikus berdasarkan penurunan angka
kejadian kecacingan, sedangkan evaluasi tentang kepadatan vektor dan
parity rate sebelum dan sesudah penyemprotan tidak ada.

C. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan dapat disimpulkan bahwa lalat dan tikus termasuk


dalam vector penyakit kecacingan. Pengendalian lalat vector tersebut dengan
penyemprotan insektisida alami dan sanitasi lingkungan sekitar. Sedangkan
pengendalian tikus vector penyakit kecacingan yaitu dengan melakukan
penangkapan secara rutin dan penggunaan hewan lainnya seperti jangkrik.
DAFTAR PUSTAKA

Andiarsa, Dicky. Lalat: Vektor yang Terabaikan Program. BALABA Vol. 14 No. 2,
(2018) 201-214, https://doi.org/10.22435/blb.v14i2.67
Arrizky, Muhammad Heickal Ikhlasul Amal. Faktor Risiko Kejadian Infeksi
Cacingan. Jurnal Medika Hutama Vol 02 No 04, E-Issn. 2715-9728 P-Issn.
2715-8039, (2021) 81-86.
Bangs Mj, Larasati Rp, Corwin Al, Wuryadi S. Climatic Factors Associated With
Epidemic Dengue In Palembang, Indonesia: Implications Of Short-Term
Meteorological Events On Virus Transmission. Southeast Asian J Trop Med
Public Health. (2006) 37:1103- 1116.
Ekawasti, Fitrine, Dan E Martindah. Pengendalian Vektor Pada Penyakit Zoonotik
Virus Arbo Di Indonesia. Wartazoa Vol. 26 No. 4 Th. 2016 Hlm. 151-162
Doi: Http://Dx.Doi.Org/10.14334/Wartazoa.V26i4.1402.
Juhairiyah, Aninda, Dan Liestiana Indriyani. 2015. Gambaran Faktor Kecacingan
Pada Anak Sekolah Dasar Di Kota Banjamasin. Junal Vektor Penyakit, Vol.9
No.1
Kartini S. Kejadian Kecacingan Pada Siswa Sekolah Dasar Negeri Kecamatan
Rumbai Pesisir Pekanbaru. J Kesehat Komunitas. 2016;3(2):53-58.
Kemenkes Ri. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta: Kemenkes Ri; 2012.
Kementerian Kesehatan Ri. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
15 Tahun 2017 Tentang Penanggulangan Cacingan. Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia 2017.
Margarethy, I., Yenni, A., Wurisastuti, T., Salim, M., & Santoso, (2018). Hubungan
Program Penanggulangan Malaria Dengan Kasus Malaria Di Kabupaten
Lahat. Balaba, 14(1), 71-84.
Nurwidayati, Anis Dan Hayani Anastasia Siahaan. Jenis Tikus Dan Potensi Penularan
Penyakit Zoonosis Di Daerah Endemis Schistosomiasis Napu, Kabupaten
Poso, Provinsi Sulawesi Tengah. Seminar Nasional Pendidikan Biologi Dan
Saintek (Snpbs) Ke-Iv, P-Issn: 2527-533x, (2019) 47-51.
Onwugamba Fc, Fitzgerald Jr, Rochon K, Guardabassi L, Alabi A, Kuhne S, Et Al.
The Role Of Filth Flies In The Spread Of Antimicrobial Resistance. Travel
Med Infect Dis. 2018;22(Mar-Apr):8-17.
Rahardjo, Teguh. Analisis Manajemen Lingkungan Dan Pengendalian Vektor Untuk
Menurunkan Angka Kejadian Malaria Di Kabupaten Batu Bara Tahun 2019.
Tesis, (2019) 1-96.
Suriani, Endang, Nuzulia Irawati, Dan Yuniar Lestari. Analisis Faktor Penyebab
Kejadian Kecacingan Pada Anak Sekolah Dasar Di Wilayah Kerja Puskesmas
Lubuk Buaya Padang Tahun 2017. Jurnal Kesehatan Andalas. 2019; 8(4),
(2017) 81-88.
Tiuria, Risa dan Sherly Noviara. Infeksi Larva Angiostrongylus cantonensis pada
Keong Mas (Pomacea canaliculata) di Lima Desa Lingkar Kampus IPB
Dramaga. Jurnal Medik Veteriner, Vol.3 No.2, (2020) 182-187, DOI:
10.20473/jmv.vol3.iss2. 2020.182-187
Wang Lf, Crameri G. Emerging Zoonotic Viral Diseases. Rev Sci Tech Off Int Epiz.
33:569-581. Fidayanto R, Susanto H, Yohanan A, Yudhastuti R. 2013. Model
Pengendalian Demam Berdarah Dengue. J Kesehatan Masyarakat Nasional.
(2014)7:522-528.

Anda mungkin juga menyukai