Anda di halaman 1dari 3

PENANGANAN KONTRAK KRITIS

Oleh: Marwendi Putra

“Apabila penyedia terlambat melaksanakan pekerjaan sesuai jadwal, maka


PPK harus memberikan peringatan secara tertulis atau dikenakan ketentuan tentang
kontrak kritis”, kutipan diatas diambil dari SSUK dokumen kontrak standar
jasa konstruksi, dan juga terdapat pada Permen PUPR nomor
07/PRT/M/2019 tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi
Melalui Penyedia.
Sering terjadi suatu pekerjaan konstruksi memiliki progres pekerjaan
yang rendah dengan deviasi yang sangat jauh dari rencana semula, akan tetapi
tidak ditangani dengan baik oleh PPK sehingga mengakibatkan penyelesaian
pekerjaan tidak sesuai dengan kontrak bahkan dikasus lainnya ada PPK yang
berani menyatakan 100% walaupun progres sebenarnya tidak sesuai dengan
laporan, terutama jika pelaksanaan sudah mendekati akhir tahun anggaran.
Risiko timbulnya kondisi kontrak kritis bisa saja terjadi di semua
pelaksanaan jasa konstruksi dan untuk pencegahannya PPK dari awal setelah
kontrak ditandatangani sudah harus mempersiapkan strategi
penanggulangan, seperti meminta kepada kontraktor pelaksana untuk
menyampaikan rencana kerja mereka atau jadwal pelaksanaan yang mungkin
lebih dikenal dengan Time Schedule berbentuk Kurva_S. Permintaan time
schedule ini dapat dilakukan pada saat rapat awal atau lebih dikenal dengan
pre construction meeting (PCM) pada saat tandatangan kontrak atau setelah
tandatangan kontrak. Pada saat PCM, PPK mempersilahkan kontraktor
pelaksana dan konsultan pengawas konstruksi untuk memulai pelaksanaan
pekerjaan dengan membuat dokumen Berita Acara Penyerahan Lapangan
atau serah terima lokasi kerja. Pada saat PCM tersebut, PPK juga meminta
kepada kontraktor pelaksanaan untuk menyusun dokumen mutual check 0%
(MC 0) berdasarkan gambar rencana dan kondisi lapangan. Dokumen MC 0
dan time schedule ini sebaiknya diketahui oleh konsultan pengawas sebagai
tangan kanan dari PPK dalam mewakili pelaksanaan pengawasan lapangan.
Berdasarkan dokumen MC 0 tersebut, PPK dapat mengetahui lebih dini jika
terdapat perbedaan gambar dan kondisi lapangan dan untuk menantisipasi
perubahan tersebut PPK dapat meminta kepada kontraktor pelaksanaan
untuk mengajukan addendum kontrak.
Pada dasarnya pekerjaan kontruksi bangunan gedung tidak akan
banyak perubahan dari rencana gambar semula, kecuali di pertengahan
pelaksanaan ada permintaan khusus dari owner. Strategi ini sangat penting
diketahui dan dilaksanakan oleh PPK selaku pengendali pekerjaan, karena
salah satu penyebab timbulnya kondisi kontrak kritis adalah adanya
perbedaan kondisi lapangan dengan kontrak awal yang terlambat ditangani
oleh PPK, apalagi jika sudah mendekati periode akhir pelaksanaan atau akhir
kontrak.
Modus yang sering terjadi untuk paket pekerjaan dalam kondisi kritis
yaitu untuk menghindari denda keterlambatan, kontraktor mengajukan
addendum kontrak terhadap pekerjaan yang pada awal sudah bisa dipetakan
untuk dilaksanakan addendum, akan tetapi tidak dilakukan dengan berbagai
alasan yang salah satunya adalah karena dokumen MC 0 sebagai dokumen
yang dapat mengetahui adanya perubahan pekerjaan belum selesai dibuat.
Kebiasaan yang keliru dari PPK dan kontraktor jika terdapat perubahan
pekerjaan dari kontrak, pelaksanaan item pekerjaan yang berubah tetap
dilaksanakan dan pengadministrasiannya diselesaikan dipenghujung
kontrak. Dengan adanya perubahan item pekerjaan tersebut, cukup alasaan
bagi kontraktor dan PPK melaksanakan addendum kontrak sekalian
addendum waktu pelaksanaan, padahal seharusnya disetujui dulu perubahan
item pekerjaan dengan adanya addendum kontrak kemudian perubahan
tersebut dapat dilaksanakan. Kondisi ini dapat merugikan owner karena akan
menambah waktu, biaya pelaksanaan dan dapat dianggap tidak ada progres
pekerjaan untuk item pekerjaan yang dirobah jika addendum tidak jadi
dilaksanakan.
Kita kembali ke kontrak kritis, penanganan terhadap kontrak kritis
sebenarnya telah tertuang dalam dokumen kontrak jasa konstruksi standar
yaitu di syarat-syarat umum kontrak (SSUK) sebagai pedoman bagi kedua
belah pihak yaitu PPK dan Penyedia. Pedoman yang tersaji di SSUK sejalan
dengan penjelasan yang terdapat pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
dan Perumahan Rakyat Nomor 07/PRT/M/2011 tahun 2011 tentang standar
dan pedoman pengadaan pekerjaan konstruksi dan jasa konsultansi
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat Nomor 07/PRT/M/2019 tentang Standar dan Pedoman
Pengadaan Jasa Konstruksi Melalui Penyedia. Terkait dengan itu juga,
Direktorat Jenderal Cipta Karya telah menerbitkan petunjuk teknis
pengendalian pelaksanaan kegiatan infrastruktur pemukiman tahun 2019
yang menjelaskan pengendalian kontrak kritis.
Kontrak dinyatakan kritis apabila:
a. Dalam periode I (rencana fisik pelaksanaan 0%-70% dari kontrak),
realisasi fisik pelaksanaan terlambat lebih besar 10% dari rencana;
b. Dalam periode II (rencana fisik pelaksanaan 70%-100% dari kontrak),
realisasi fisik pelaksanaan terlambat lebih besar 5% dari rencana.
c. Rencana fisik pelaksanaan 70%-100% dari kontrak, realisasi fisik
pelaksanaan terlambat kurang dari 5% dari rencana dan akan melampaui
tahun anggaran berjalan.
Dari kriteria diatas dapat diketahui bahwa terkait dengan
keterlambatan pekerjaan yang tidak sesuai dengan rencana atau time schedule
dapat digolongkan dalam 3 periode dan dari awal dokumen kontrak telah
mengatur batas keterlambatan yang diperbolehkan, yaitu kecil dari 10% untuk
rencana progress 0%-70% dan kecil dari 5% untuk rencana progress 70%-
100%, dan untuk pekerjaan yang akan melampaui tahun anggaran maka
keterlambatan yang diperbolehkan adalah kurang dari 5% untuk progres
70%-100%.

Apabila kontrak dinyatakan kritis dan berpotensi waktu pelaksanaan


tidak sesuai dengan jadwal penyelesaian pekerjaan yang telah ditetapkan,
maka mesti dilaksanakan rapat Pembuktian/Show Cause Meeting (SCM).
Adapun penanganan kontrak kritis secara garis besar adalah sebagai berikut:
a. Pada saat Kontrak dinyatakan kritis, Pengawas Pekerjaan memberikan
peringatan secara tertulis kepada Penyedia dan selanjutnya
menyelenggarakan Rapat Pembuktian (SCM) Tahap I.
b. Dalam SCM Tahap I, PPK, Pengawas Pekerjaan dan Penyedia membahas
dan menyepakati besaran kemajuan fisik yang harus dicapai oleh
Penyedia dalam periode waktu tertentu (uji coba pertama) yang
dituangkan dalam Berita Acara SCM Tahap I.
c. Apabila Penyedia gagal pada uji coba pertama, maka PPK menerbitkan
Surat Peringatan Kontrak Kritis I dan harus dan harus diselenggarakan
SCM Tahap II yang membahas dan menyepakati besaran kemajuan fisik
yang harus dicapai oleh Penyedia dalam waktu tertentu (uji coba kedua)
yang dituangkan dalam Berita Acara SCM Tahap II.
d. Apabila Penyedia gagal pada uji coba kedua, maka PPK menerbitkan
Surat Peringatan kontrak Kritis II dan harus diselenggarakan SCM Tahap
III yang membahas dan menyepakati besaran kemajuan fisik yang harus
disepakati oleh Penyedia dalam waktu tertentu (uji coba ketiga) yang
dituangkan dalam Berita Acara SCM Tahap III.
e. Apabila Penyedia gagal pada uji coba ketiga, maka PPK menerbitkan
Surat Peringatan Kontrak Kritis III dan PPK dapat melakukan pemutusan
Kontrak secara sepihak dengan mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267
Kitab undang-Undang Hukum Perdata.
f. Apabila uji coba berhasil, namun pada pelaksanaan pekerjaan selanjutnya
Kontrak dinyatakan kritis lagi maka berlaku ketentuan SCM dari awal.

Anda mungkin juga menyukai