“Apabila penyedia terlambat melaksanakan pekerjaan sesuai jadwal, maka
PPK harus memberikan peringatan secara tertulis atau dikenakan ketentuan tentang kontrak kritis”, kutipan diatas diambil dari SSUK dokumen kontrak standar jasa konstruksi, dan juga terdapat pada Permen PUPR nomor 07/PRT/M/2019 tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi Melalui Penyedia. Sering terjadi suatu pekerjaan konstruksi memiliki progres pekerjaan yang rendah dengan deviasi yang sangat jauh dari rencana semula, akan tetapi tidak ditangani dengan baik oleh PPK sehingga mengakibatkan penyelesaian pekerjaan tidak sesuai dengan kontrak bahkan dikasus lainnya ada PPK yang berani menyatakan 100% walaupun progres sebenarnya tidak sesuai dengan laporan, terutama jika pelaksanaan sudah mendekati akhir tahun anggaran. Risiko timbulnya kondisi kontrak kritis bisa saja terjadi di semua pelaksanaan jasa konstruksi dan untuk pencegahannya PPK dari awal setelah kontrak ditandatangani sudah harus mempersiapkan strategi penanggulangan, seperti meminta kepada kontraktor pelaksana untuk menyampaikan rencana kerja mereka atau jadwal pelaksanaan yang mungkin lebih dikenal dengan Time Schedule berbentuk Kurva_S. Permintaan time schedule ini dapat dilakukan pada saat rapat awal atau lebih dikenal dengan pre construction meeting (PCM) pada saat tandatangan kontrak atau setelah tandatangan kontrak. Pada saat PCM, PPK mempersilahkan kontraktor pelaksana dan konsultan pengawas konstruksi untuk memulai pelaksanaan pekerjaan dengan membuat dokumen Berita Acara Penyerahan Lapangan atau serah terima lokasi kerja. Pada saat PCM tersebut, PPK juga meminta kepada kontraktor pelaksanaan untuk menyusun dokumen mutual check 0% (MC 0) berdasarkan gambar rencana dan kondisi lapangan. Dokumen MC 0 dan time schedule ini sebaiknya diketahui oleh konsultan pengawas sebagai tangan kanan dari PPK dalam mewakili pelaksanaan pengawasan lapangan. Berdasarkan dokumen MC 0 tersebut, PPK dapat mengetahui lebih dini jika terdapat perbedaan gambar dan kondisi lapangan dan untuk menantisipasi perubahan tersebut PPK dapat meminta kepada kontraktor pelaksanaan untuk mengajukan addendum kontrak. Pada dasarnya pekerjaan kontruksi bangunan gedung tidak akan banyak perubahan dari rencana gambar semula, kecuali di pertengahan pelaksanaan ada permintaan khusus dari owner. Strategi ini sangat penting diketahui dan dilaksanakan oleh PPK selaku pengendali pekerjaan, karena salah satu penyebab timbulnya kondisi kontrak kritis adalah adanya perbedaan kondisi lapangan dengan kontrak awal yang terlambat ditangani oleh PPK, apalagi jika sudah mendekati periode akhir pelaksanaan atau akhir kontrak. Modus yang sering terjadi untuk paket pekerjaan dalam kondisi kritis yaitu untuk menghindari denda keterlambatan, kontraktor mengajukan addendum kontrak terhadap pekerjaan yang pada awal sudah bisa dipetakan untuk dilaksanakan addendum, akan tetapi tidak dilakukan dengan berbagai alasan yang salah satunya adalah karena dokumen MC 0 sebagai dokumen yang dapat mengetahui adanya perubahan pekerjaan belum selesai dibuat. Kebiasaan yang keliru dari PPK dan kontraktor jika terdapat perubahan pekerjaan dari kontrak, pelaksanaan item pekerjaan yang berubah tetap dilaksanakan dan pengadministrasiannya diselesaikan dipenghujung kontrak. Dengan adanya perubahan item pekerjaan tersebut, cukup alasaan bagi kontraktor dan PPK melaksanakan addendum kontrak sekalian addendum waktu pelaksanaan, padahal seharusnya disetujui dulu perubahan item pekerjaan dengan adanya addendum kontrak kemudian perubahan tersebut dapat dilaksanakan. Kondisi ini dapat merugikan owner karena akan menambah waktu, biaya pelaksanaan dan dapat dianggap tidak ada progres pekerjaan untuk item pekerjaan yang dirobah jika addendum tidak jadi dilaksanakan. Kita kembali ke kontrak kritis, penanganan terhadap kontrak kritis sebenarnya telah tertuang dalam dokumen kontrak jasa konstruksi standar yaitu di syarat-syarat umum kontrak (SSUK) sebagai pedoman bagi kedua belah pihak yaitu PPK dan Penyedia. Pedoman yang tersaji di SSUK sejalan dengan penjelasan yang terdapat pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 07/PRT/M/2011 tahun 2011 tentang standar dan pedoman pengadaan pekerjaan konstruksi dan jasa konsultansi sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 07/PRT/M/2019 tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi Melalui Penyedia. Terkait dengan itu juga, Direktorat Jenderal Cipta Karya telah menerbitkan petunjuk teknis pengendalian pelaksanaan kegiatan infrastruktur pemukiman tahun 2019 yang menjelaskan pengendalian kontrak kritis. Kontrak dinyatakan kritis apabila: a. Dalam periode I (rencana fisik pelaksanaan 0%-70% dari kontrak), realisasi fisik pelaksanaan terlambat lebih besar 10% dari rencana; b. Dalam periode II (rencana fisik pelaksanaan 70%-100% dari kontrak), realisasi fisik pelaksanaan terlambat lebih besar 5% dari rencana. c. Rencana fisik pelaksanaan 70%-100% dari kontrak, realisasi fisik pelaksanaan terlambat kurang dari 5% dari rencana dan akan melampaui tahun anggaran berjalan. Dari kriteria diatas dapat diketahui bahwa terkait dengan keterlambatan pekerjaan yang tidak sesuai dengan rencana atau time schedule dapat digolongkan dalam 3 periode dan dari awal dokumen kontrak telah mengatur batas keterlambatan yang diperbolehkan, yaitu kecil dari 10% untuk rencana progress 0%-70% dan kecil dari 5% untuk rencana progress 70%- 100%, dan untuk pekerjaan yang akan melampaui tahun anggaran maka keterlambatan yang diperbolehkan adalah kurang dari 5% untuk progres 70%-100%.
Apabila kontrak dinyatakan kritis dan berpotensi waktu pelaksanaan
tidak sesuai dengan jadwal penyelesaian pekerjaan yang telah ditetapkan, maka mesti dilaksanakan rapat Pembuktian/Show Cause Meeting (SCM). Adapun penanganan kontrak kritis secara garis besar adalah sebagai berikut: a. Pada saat Kontrak dinyatakan kritis, Pengawas Pekerjaan memberikan peringatan secara tertulis kepada Penyedia dan selanjutnya menyelenggarakan Rapat Pembuktian (SCM) Tahap I. b. Dalam SCM Tahap I, PPK, Pengawas Pekerjaan dan Penyedia membahas dan menyepakati besaran kemajuan fisik yang harus dicapai oleh Penyedia dalam periode waktu tertentu (uji coba pertama) yang dituangkan dalam Berita Acara SCM Tahap I. c. Apabila Penyedia gagal pada uji coba pertama, maka PPK menerbitkan Surat Peringatan Kontrak Kritis I dan harus dan harus diselenggarakan SCM Tahap II yang membahas dan menyepakati besaran kemajuan fisik yang harus dicapai oleh Penyedia dalam waktu tertentu (uji coba kedua) yang dituangkan dalam Berita Acara SCM Tahap II. d. Apabila Penyedia gagal pada uji coba kedua, maka PPK menerbitkan Surat Peringatan kontrak Kritis II dan harus diselenggarakan SCM Tahap III yang membahas dan menyepakati besaran kemajuan fisik yang harus disepakati oleh Penyedia dalam waktu tertentu (uji coba ketiga) yang dituangkan dalam Berita Acara SCM Tahap III. e. Apabila Penyedia gagal pada uji coba ketiga, maka PPK menerbitkan Surat Peringatan Kontrak Kritis III dan PPK dapat melakukan pemutusan Kontrak secara sepihak dengan mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 Kitab undang-Undang Hukum Perdata. f. Apabila uji coba berhasil, namun pada pelaksanaan pekerjaan selanjutnya Kontrak dinyatakan kritis lagi maka berlaku ketentuan SCM dari awal.