Pembimbing:
Oleh:
170100002
MEDAN
2021
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan refarat ini dengan judul “Anemia
Defisiensi Besi”. Tujuan penulisan refarat ini adalah untuk melengkapi persyaratan
Kepaniteraan Klinik Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) di Departemen Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Penulisan refarat ini dapat diselesaikan karena ada
bimbingan, petunjuk, nasihat, dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terima kasih kepada dokter ruangan, chief of ward, dan dokter pembimbing yang
telah memberikan bimbingan dan arahan dalam menyelesaikan tugas ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik isi
maupun penyusunan bahasa yang digunakan. Untuk itu, penulis mengharapkan saran dan kritik
dari pembaca sebagai masukan dalam penulisan refarat selanjutnya. Semoga refarat ini dapat
bermanfaat bagi kita semua. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI..................................................................................................................ii
ii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Prevalensi anemia anak usia 0,5-12 tahun di Indonesia .................................4
Tabel 2.4 Level hemoglobin (gr/L) untuk diagnosis anemia (sea level) ........................12
iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Penyebab langsung dan tidak langsung anemia defisiensi besi .................5
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Zat besi adalah salah satu substansi penting untuk pelaksanaan fungsi fisiologis tubuh
manusia. Besi merupakan bagian integral dari banyak protein dan enzim. Hampir dua pertiga
besi di dalam tubuh ditemukan berikatan dengan hemoglobin yang merupakan protein pada sel
darah merah yang membawa oksigen ke jaringan. Sisanya kemudian dapat ditemukan pada
myoglobin, sebuah protein yang membantu menyuplai oksigen ke otot, dan pada enzim-enzim
yang membantu reaksi biokimia di tubuh.
Defisiensi besi adalah bentuk defisiensi nutrisi yang paling umum terjadi di dunia.
Prevalensinya paling tinggi ditemukan pada anak-anak dan perempuan usia produktif (subur).
Rendahnya kandungan besi dalam tubuh dapat terjadi mulai dari adanya deplesi yang belum
menyebabkan gangguan fisiologis, hingga sampai menjadi anemia defisiensi besi, yang mana
dapat memengaruhi fungsi beberapa sistem organ (1).
Anemia adalah kondisi yang menunjukkan jumlah atau kualitas sel darah merah (pembawa
oksigen) tidak mencukupi pemenuhan kebutuhan fisiologis tubuh. Kebutuhan fisiologis setiap
orang bervariasi berdasarkan usia, jenis kelamin, ketinggian lokasi tempat tinggal, kondisi
kesehatan, dan fase kehamilan (2). Secara global, kekurangan zat besi dianggap sebagai
penyebab anemia paling umum, sebab separuh perbaikan kondisi anemia dapat dikaitkan
dengan pemberian zat besi (3).
• Agar penulis dan pembaca dapat mengetahui dan lebih memahami tentang anemia defisiensi
besi pada anak dan tatalaksananya.
• Sebagai persyaratan dalam memenuhi Kepaniteraan Klinik Program Pendidikan Profesi
Dokter di Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.
1
1.3 MANFAAT PENULISAN
Refarat ini diharapkan dapat memberikan manfaat terhadap penulis dan pembaca terutama
yang terlibat dalam bidang medis dan juga memberikan wawasan kepada masyarakat umum
agar lebih mengetahui dan memahami tentang anemia defisiensi besi pada anak serta
tatalaksananya.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Anemia didefinisikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai turunnya massa
sel darah merah yang salah satunya dapat dinilai melalui dari kadar hemoglobin (Hb) kurang
dari nilai acuan pada kelompok demografi tertentu. Satu hal yang penting dipahami tentang
anemia adalah bahwa anemia bukanlah suatu penyakit, anemia adalah kondisi patologis yang
disebabkan oleh masalah kesehatan tertentu. Defisiensi zat gizi, penyakit dan kelainan genetik
pada haemoglobin merupakan kontributor utama penyebab anemia di dunia (4).
Anemia gizi atau nutritional anaemia dapat disebabkan oleh rendahnya asupan gizi
tertentu untuk memenuhi kebutuhan sintesis hemoglobin dan eritrosit terutama pada kelompok
demografi dengan peningkatan kebutuhan gizi misalnya pada wanita hamil atau anak di bawah
dua tahun. Kekurangan zat besi adalah penyebab paling umum anemia gizi, tetapi kekurangan
vitamin A, B2 (riboflavin), B6 (pyridoxine), B12 (cobalamin), C, D dan E, folat, dan tembaga
juga dapat menyebabkan anemia non gizi besi, karena peran spesifik mereka dalam produksi
hemoglobin atau eritrosit (5).
Anemia Defisiensi Besi (ADB) adalah anemia akibat kurangnya nutrient eritropoietik
berupa zat besi yang mena mengarah pada deplesi simpanan besi yang berat sehingga dapat
menyebabkan rendahnya konsentrasi hemoglobin. Sel darah merah akan tampak pucat dan
berukuran kecil pada ADB dan mereka akan tidak mampu membawa oksigen yang adekuat
dari paru-paru ke jaringan (6).
2.2 Epidemiologi
Terdapat beberapa kelompok populasi yang paling rentan terhadap anemia gizi besi.
Kelompok tersebut di antaranya adalah anak-anak di bawah usia 5 tahun, terutama bayi dan
3
anak-anak di bawah usia 2 tahun, remaja, wanita usia reproduksi (15–49 tahun), dan wanita
hamil serta lansia (5).
Laporan Riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan bahwa anemia gizi
besi masih merupakan masalah kesehatan masyarakat Indonesia dengan prevalensi pada anak
usia 5 - 12 tahun sebesar 29% (6).
Prevalensi anemia defisiensi besi untuk baduta (anak usia dibawah 2 tahun) sendiri
umumnya tergantung pada riwayat kehamilan dan kelahirannya. Cadangan besi pada bayi
cukup bulan, lahir normal yang lahir dari ibu yang memiliki cukup zat besi harusnya
mencukupi untuk mencegahnya jatuh pada anemia. Oleh karena itu, kejadian anemia lebih
sering pada bayi prematur dan bayi yang lahir dari ibu dengan anemia.
Prevalensi ini cenderung lebih tinggi terjadi di wilayah perdesaan dibanding perkotaan
dan diketahui usia 0,5–2 tahun adalah yang paling rentan untuk terjadinya anemia, lebih dari
separuh anak laki-laki dan perempuan usia 0,5–2 tahun (Baduta) mengalami anemia, baik di
perkotaan maupun perdesaan (7).
Penyebab langsung anemia gizi adalah konsumsi zat besi yang tidak cukup dan absorbsi
zat besi yang rendah dan pola makan yang sebagian besar terdiri dari nasi dan menu yang
kurang beraneka ragam. Selain itu, infestasi cacing tambang memperberat keadaan anemia
yang diderita pada daerah-daerah tertentu terutama daerah perdesaan. Penyebab tidak langsung
4
anemia adalah terbatasnya akses terhadap pangan berkualitas dan kaya zat besi, pola makan
yang tidak sehat serta kondisi lingkungan hidup yang menyebabkan anak menjadi rentan
terhadap infeksi misalnya diare atau malaria. Selain itu, keterbatasan akses terhadap pelayanan
kesehatan yang berkualitas menjadi kendala untuk memperoleh pelayanan pencegahan,
pengobatan, maupun pemulihan yang baik. Jadi, akar masalah ADB pada anak adalah
kebijakan kesehatan, ekonomi, pendidikan, maupun pangan yang menimbulkan ketimpangan
akses dan utilisasi pangan berkualitas dan kaya zat besi serta pelayanan kesehatan yang
berkualitas bagi seluruh masyarakat Indonesia utamanya pada ibu hamil (8).
Sebagaimana masalah gizi lainnya, Anemia Defisiensi Besi dapat dipotret dengan
kerangka kerja UNICEF yang melihat bahwa permasalahan gizi terjadi akibat interaksi
berbagai faktor penyebab langsung, penyebab tidak langsung dan akar masalah sebagaimana
digambarkan dalam Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Penyebab Langsung dan Tidak Langsung Anemia Defisiensi Nutrisi
Kurang asupan sebagai penyebab langsung anemia pada Balita kemungkinan besar
bersumber dari sejak dalam kandungan ketika ibu hamil menderita anemia. Beberapa sumber
menemukan bahwa ibu hamil pada trimester ketiga yang menderita anemia akan melahirkan
anak dengan anemia. Anak dengan berat badan lahir normal yang lahir dari ibu yang anemia
5
memiliki risiko lebih besar untuk menderita anemia (OR 1,81; CI 95%) (de Pee et al. 2002).
Kekurangan asupan zat besi juga dapat terjadi karena setelah anak lepas dari ASI eksklusif
kuantitas maupun kualitas pangan (MPASI)-nya tidak mencukupi atau karena ada faktor lain
yang mengganggu penyerapan zat besi (5).
Bayi dan anak anak adalah kelompok yang rentan terhadap anemia dengan risiko
tertinggi pada :
• Anak yang lahir prematur atau memiliki berat badan lahir rendah (BBLR)
• Bayi yang diberi minum susu sapi sebelum berusia 12 bulan
• Bayi atau anak yang disusui tetapi tidak mendapatkan makanan pendamping ASI yang kaya
zat besi
• Bayi yang minum susu formula, tetapi tidak difortifikasi dengan zat besi
• Anak usia 1–5 tahun yang diberi minum susu sapi, susu kambing atau susu kedelai lebih
dari 3 gelas sehari, picky eating, obesitas
• Anak berkebutuhan khusus, anak dengan masalah kesehatan kronis, dan anak dengan diet
ketat (9).
Beberapa kondisi di atas akan memberikan efek berupa penurunan terhadap status besi anak
tersebut (lihat Tabel 2.2).
6
Infeksi juga dapat menurunkan aktivitas
eritropoiesis;
Infeksi parasite dapat menyebabkan
perdarahan enteric.
Sumber : Iron Deficiency : Causes, Diagnosis, and Management
2.4 Patogenesis
✓ Adanya masalah produksi dan maturasi sel darah merah atau eritropoiesis yang tidak
efektif sehingga sel darah merah yang dihasilkan sedikit atau tidak berkualitas. Kondisi
ini disebut hipoproliferatif.
✓ Adanya peningkatan penghancuran atau lisis sel darah merah. Kondisi ini disebut
hemolisis.
✓ Kehilangan darah melalui perdarahan akut (segera) atau kronis (menahun) (10).
Anemia Defisiensi Besi (ADB) termasuk ke dalam anemia akibat adanya masalah dalam
produksi sel darah merah (hipoproliferatif) dikarenakan zat besi yang berperan penting dalam
7
pembentukan sel darah merah dan pengangkutan oksigen oleh hemoglobin. Empat mekanisme
dasar sehingga dapat terjadi kekurangan besi di dalam tubuh, antara lain :
Pada bayi dan anak di bawah usia 2 tahun, ADB umumnya terjadi karena tingginya
kebutuhan zat besi yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan uang cepat pada
usia ini. Selain itu makanan pendamping ASI yang diberikan kepada anak-anak usia ini sering
memiliki kandungan besi (dalam kuantitas dan bioavailabilitas) yang rendah dan memiliki
kandungan inhibitor besi yang tinggi, sehingga dapat mengganggu penyerapan zat yang pada
dasarnya sudah rendah ketersediaannya.
Individu dengan status gizi yang baik memiliki cadangan nutrient haemopoietic yang
memadai di tubuhnya, ketika kehilangan atau kebutuhan terhadap gizi melebihi penyerapan
maka cadangan ini akan dipakai dan ketika cadangan menipis barulah terjadi anemia gizi. Oleh
sebab itu anemia sebenarnya adalah manifestasi akibat defisiensi gizi yang berkepanjangan.
Seseorang bisa saja kekurangan zat besi tapi belum menderita anemia, akan tetapi pada
akhirnya ketika kadar zat besi semakin berkurang maka terjadilah ADB. Jadi dapat dikatakan
bahwa anemia defisiensi besi adalah akibat dari keseimbangan negatif zat besi yang sudah
berlangsung dalam jangka panjang. Secara perlahan eritron- kumpulan sel darah merah pada
semua tahap pematangan yang meliputi sel prekursor yang berkembang di sumsum tulang dan
eritrosit matang yang beredar dalam darah perifer atau singkatnya eritron adalah keseluruhan
sel eritroid dalam tubuh-mengalami “kelaparan” besi.
Ketika asupan zat besi secara terus-menerus tidak mampu mengimbangi daur
pergantian besi ini maka seiring waktu simpanan besi tubuh menjadi terkikis. Ketika simpanan
zat besi dalam bentuk haemosiderrin dan ferritin semakin menyusut dan tidak lagi mencukupi
kebutuhan normal untuk daur pergantian zat besi, pasokan zat besi ke protein transportasi
apotransferrin juga menjadi terganggu. Kondisi ini menghasilkan penurunan saturasi transferin
dan peningkatan reseptor transferin dalam sirkulasi dan di permukaan sel, termasuk erythron.
Dalam jangka panjang kualitas dan produksi sel darah merah menjadi menurun akibat
ketidakmampuan untuk menghasilkan hemoglobin (Hb) yang membutuhkan zat besi sebagai
salah satu komponen utamanya.
8
Di dalam tubuh besi didistribusikan di antara tiga kompartemen yaitu: 1) kompartemen
cadangan, terutama dalam bentuk ferritin di sumsum tulang, makrofag dan sel-sel hati serta
limpa serta otot, 2) kompartemen transportasi berupa serum transferin, dan 3) kompartemen
fungsional berupa Hb, mioglobin, dan sitokrom. Hampir 95% total distribusi zat besi adalah
dalam bentuk Hb dan ferritin intra sel.
Untuk mengatasi kekurangan cadangan zat besi, pertama-tama tubuh akan beradaptasi
dengan mempercepat penyerapan zat besi melalui usus untuk memenuhi permintaan besi yang
meningkat secara relatif, akan tetapi kondisi ini belum menimbulkan gejala dan belum
tergambarkan dalam tes laboratorium, tahapan ini disebut defisiensi besi tahap 1. Pada tahap
ini defisiensi besi ditandai dengan menurunnya cadangan besi secara progresif akan tetapi
cadangan ini masih cukup untuk mempertahankan keseimbangan pada kompartemen
transportasi dan kompartemen fungsional. Sel darah merah masih normal, tidak ada bukti
defisiensi besi pada gambaran darah perifer dan pasien tidak mengalami gejala anemia, tetapi
jika kadar ferritin diukur maka nilainya akan rendah.
Akhirnya, pada tahap 3 atau fase anemia klinis telah terjadi penurunan kadar Hb dan
hematokrit (HCT) dibandingkan dengan rentang referensi normal. Cadangan besi telah menipis
bahkan habis, zat besi pada kompartemen transportasi menurun drastis, sel darah merah tidak
dapat berkembang secara normal. Jumlah divisi sel prekursor meningkat karena akumulasi
hemoglobin dalam sel melambat sehingga memungkinkan lebih banyak waktu untuk
pembelahan sel dan menghasilkan sel darah merah yang lebih kecil atau mikrositik. Pada
awalnya konsentrasi Hb pada sel sel darah merah yang kecil ini masih memadai, tetapi lama
9
kelamaan menjadi semakin berkurang, maka terdapatlah gambaran sel darah merah yang
mikrositik dan hipokromik (5).
Gambaran hubungan profil besi pada tiap fase dapat dilihat pada Gambar 2.
Gejala dan tanda yang dapat ditemukan pada pasien dengan ADB, antara lain :
10
2.6 Diagnosis
Anamnesis
Tanyakan kepada orang tua ataupun anak (apabila sudah kompeten untuk menjawab), apakah
ada :
Pemeriksaan Fisik
o Gejala klinis ADB sering terjadi perlahan dan tidak begitu diperhatikan oleh keluarga. Bila
kadar Hb <5gr/dL ditemukan gejala iritabel dan anoreksia
o Pucat ditemukan bila kadar Hb<7gr/dL
o Tanpa organomegali
o Dapat ditemukan koilonikia, glossitis, stomatitis angularis, takikardia, gagal jantung,
protein-losing enteropathy
o Rentan terhadap infeksi
o Gangguan pertumbuhan
o Penurunan aktivitas kerja
Pemeriksaan Penunjang
✓ Darah lengkap yang terdiri dari : Hb rendah; MCV, MCH, dan MCHC rendah. Red Cell
Distribution Width (RDW) yang lebar dan MCV yang rendah merupakan salah satu skrining
defisiensi besi.
✓ Kadar besi serum yang rendah, TIBC, serum ferritin <12ng/mL dipertimbangkan sebagai
diagnostic defisiensi besi
✓ Nilai retikulosist : normal atau menurun, menunjukkan produksi sel darah merah yang tidak
adekuat.
11
✓ Serum Transferrin Receptor (STfR) : sensitif untuk menentukan defisiensi besi, mempunyai
nilai tinggi untuk membedakan anemia defisiensi besi dan anemia akibat penyakit kronik.
✓ Kadar Zinc Protoporphyrin (ZPP) akan meningkat.
✓ Terapi besi (therapeutic trial) : respons pemberian preparate besi dengan dosis 3
mg/kgBB/hari, ditandai dengan kenaikan jumlah retikulosit antara 5-10 hari diikuti
kenaikan kadar hemoglobin 1 gr/dL atau hematokrit 3% setelah 1 bulan menyokong
diagnosis ADB. Kira-kira 6 bulan setelah terapi, hemoglobin dan hematokrit dinilai kembali
untuk menilai keberhasilan terapi.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan sesuai dengan fasilitas yang ada di fasilitas kesehatan.
Nilai hemoglobin diketahui dapat bervariasi antar usia, jenis kelamin, dan ada tidaknya
kehamilan. Nilai konsentrasi hemoglobin dibawah nilai cut-off yang ditentukan seperti pada
Tabel 4 cukup indikatif untuk anemia (2).
Tabel 2.4 Level hemoglobin (gr/L) untuk diagnosis anemia (sea level)
Tidak Anemia Anemia Anemia
Populasi, usia
anemia Ringan Sedang Berat
Anak – anak, 6 – 59 bulan ≥ 110 100 – 109 70 – 99 < 70
Anak – anak, 5 – 11 tahun ≥ 115 110 – 114 80 – 109 < 80
Anak – anak, 12 – 14 tahun ≥120 110 – 119 80 – 109 < 80
Wanita tidak hamil, ≥ 15
≥ 120 110 – 119 80 – 109 < 80
tahun
Wanita hamil ≥ 110 100 – 109 70 – 99 < 70
Laki – laki, ≥ 15 tahun ≥ 130 110 – 129 80 – 109 < 80
Sumber : Haemoglobin concentration for the diagnosis of anaemia, WHO 2011
Kriteria ini harus dipenuhi, paling sedikit kriteria nomor 1,3, dan 4. Tes yang paling efisien
untuk mengukur cadangan besi tubuh yaitu ferritin serum. Bila sarana terbatas, diagnosis dapat
ditegakkan berdasarkan :
12
• Gambaran darah tepi : mikrositik, hipokromik, anisositosis, sel target
• Respons terhadap pemberian terapi besi
Anemia defisiensi besi harus dibedakan dengan anemia mikrositik hipokromik lainnya,
seperti anemia akibat penyakit kronik, thalassemia, dan anemia sideroblastik (14). Cara
membedakan keempat jenis anemia ini, dapat dilihat pada Tabel 2.5 dibawah ini.
13
2.8 Komplikasi
Anemia sedang sekalipun (Hb < 10 gr/dL) secara konsisten diketahui memiliki kaitan
dengan adanya penurunan mental dan fungsi motorik anak. Meskipun mekanisme mengapa hal
ini dapat terjadi belum begitu jelas diketahui, studi sebelumnya menyatakan bahwa hal ini ada
hubungannya dengan peran besi pada fungsi neurotransmitter pada sistem saraf pusat (15).
Komplikasi yang dapat terjadi pada anak dengan anemia pada masing-masing dapat dilihat
pada Tabel 5 dibawah ini.
2.9 Tatalaksana
Tatalaksana ADB dapat dilakukan dengan tepat setelah terlebih dahulu diketahui factor
penyebab berupa riwayat nutrisi dan kelahiran, adanya perdarahan yang abnormal, pasca
pembedahan.
o Preparat besi
Preparat yang tersedia ferous sulfat, ferous glukonat, ferous fumarate, dan ferous suksinat.
Dosis besi elemental yang diberikan adalah 4 – 6 mg/kgBB/hari. Evaluasi terapi dengan
menilai kenaikan kadar Hb/Ht setelah satu bulan, yaitu kenaikan kadar Hb sebesar 2 gr/dL
atau lebih.
Bila respons ditemukan, terapi dilanjutkan sampai 2 – 3 bulan.
Komposisi besi elemental :
Ferous fumarate : 33% merupakan besi elemental
Ferous glukonat : 11,6% merupakan besi elemental
14
Ferous sulfat : 20% merupakan besi elemental
o Transfusi darah
Jarang diperlukan, hanya diberi pada keadaan anemia yang sangat berat dengan kadar Hb <
4 gr/dL. Komponen darah yang diberi PRC (13).
2.10 Pencegahan
Pencegahan primer terhadap anemia defisiensi besi yang dapat dilakukan, antara lain :
Pencegahan sekunder terhadap anemia defisiensi besi yang dapat dilakukan, antara lain :
• Skrining ADB
o Skrining ADB dilakukan dengan pemeriksaan HB atau Ht, waktunya disesuaikan
dengan berat badan lahir dan usia bayi. Waktu yang tepat masih kontroversial.
American Academy of Pediatrics (AAP) menganjurkan antara usia 9 – 12 bulan, 6 bulan
kemudia, dan usia 24 bulan. Pada daerah dengan risiko tinggi dilakukan tiap tahun sejak
usia 1 tahun sampai 5 tahun.
o Skrining dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan MCV, RDW, ferritin serum, dan trial
terapi besi. Skrining dilakukan sampai usia remaja.
o Nilai MCV yang rendah dengan RDW yang lebar merupakan salah satu alat skrining
ADB
o Skring yang paling sensitif, mudah, dan dianjurkan yaitu zinc erythrocyte
protoporphyrin (ZEP)
o Bila bayi dan anak diberi susu sapi sebagai menu utama dan berlebihan, sebaiknya
dipikirkan melakukan skrining untuk deteksi ADB dan segera memberi terapi.
15
• Suplementasi besi
Merupakan cara paling tepat untuk mencegah terjadinya ADB di daerah dengan prevalens
tinggi. Dosis besi elemental yang dianjurkan
o Bayi berat lahir normal dimulai sejak usia 6 bulan, dianjurkan 1 mg/kgBB/hari
o Bayi 1,5 – 2,0 kg : 2 mg/kgBB/hari, diberikan sejak usia 2 minggu
o Bayi < 1 kg : 4 mg/kgBB/hari, diberikan sejak usia 2 minggu
• Bahan makanan yang sudah difortifikasi seperti susu formula untuk bayi dan makanan
pendamping ASI seperti sereal (13).
16
BAB III
KESIMPULAN
Masalah anemia di Indonesia paling banyak menimpa kelompok rentan seperti Ibu hamil
dan anak Balita (bawah lima tahun) utamanya anak bawah dua tahun (Baduta). Salah satu
penyebab anemia yang paling banyak dijumpai di Negara berkembang adalah anemia kurang
besi atau Anemia defisiensi besi (ADB).
Dampak dari anemia ini bergantung pada lamanya, dan seberapa parah anemia yang
diderita. Berbagai dampak ini mungkin tidak reversible jika intervensi diberikan terlambat.
Tetapi, pada dasarnya anemia ini dapat dicegah dengan beberapa cara, misalnya suplementasi
zat gizi mikro, fortifikasi pangan, dan edukasi yang dirancang khusus untuk pengasuh anak
termasuk dalam pemberian ASI dan MPASI.
17
DAFTAR PUSTAKA
18